Bagian 15
“Cici, kau hendak ke mana?” teriak Tan Ki panik. “Dunia ini luas sekali, ke manapun aku bisa pergi…”
Entah karena hati Tan Ki terlalu panik sehingga tidak dapat mendengar jelas ucapannya atau perasaan Liang Fu Yong yang terlalu pedih sehingga suaranya seperti tercekat di tenggorokan. Pokoknya setelah mengucapkan beberapa patah kata itu, orangnya sudah jauh sekali dan sekejap mata kemudian menghilang dari pandangan.
Yang tersisa hanya gema suaranya yang terdengar begitu menyayat dan mengandung penderitaan yang hebat. Sampai saat ini Tan Ki baru tersadar. Liang Fu Yong mendapat caci maki dari para murid Bu Tong Pai, hal ini membangkitkan kenangan masa lalunya yang gelap. Dalam keadaan tertekan, juga pukulan bathin yang hebat. Meskipun dirinya sendiri sudah berniat bertobat, tetapi dia seperti kehilangan rasa percaya diri. Dengan terang-terangan dia minta dicium oleh Tan Ki, pada dasarnya hanya sebagai kenangan menjelang perpisahan.
Berpikir sampai di sini, tanpa dapat dipertahankan lagi, dia memaki-maki dirinya sendiri.
Mengapa sampai hal sekecil ini dia juga tidak menyadarinya sejak semula?
Sembari menyalahkan dirinya sendiri, matanya terus memandang arah di mana Liang Fu Yong pergi. Untuk sesaat dia menjadi termangu-mangu. Tiba-tiba wajahnya terasa sejuk. Setetes embun menyadarkannya dari rasa sedih.
Dia mendongakkan kepalanya. Di ujung langit telah terbit seberkas sinar. Fajar sebentar lagi akan menyingsing, angin masih terasa sejuk. Hal itu membuat perasaan anak muda itu semakin pilu.
Setelah berbaring sejenak, hatinya berpikir untuk membalikkan tubuhnya, tetapi tenaganya tidak ada sama sekali. Keinginannya pun tidak dapat terkabul. Tanpa sadar dia menarik nafas panjang.
‘Seandainya aku pernah mempelajari Lwe Kang, tentu aku dapat melancarkan hawa murni untuk menerobos urat yang tertotok. Sayangnya Cici hanya menjelaskan sedikit pelajaran tersebut. Sehingga totokan yang tidak seberapa berat ini pun membuat aku tidak berdaya!’ pikirnya dalam hati.
Tepat pada saat itu juga, telinganya menangkap kibaran pakaian yang sedang menuju ke tempatnya. Cepat-cepat dia mengerlingkan matanya memandang. Hatinya menjadi gembira bukan kepalang.
“Aku tahu kau pasti akan kembali.” katanya sambil tersenyum.
Liang Fu Yong hanya tertawa datar. Tampaknya dia tidak merasa heran. Wajahnya juga tidak menunjukkan perasaan apa-apa.
“Bagaimana kau bisa tahu?” Tan Ki tersenyum.
“Kau meninggalkan aku terbaring seorang diri di tempat ini, apalagi aku tidak dapat bergerak sama sekali. Kalau aku sampai tergigit ular berbisa atau disantap binatang buas, tamatlah riwayatku. Aku rasa setelah kau pergi, tentu kau baru teringat akan hal ini. Itulah sebabnya kau kembali lagi.”
Liang Fu Yong tertawa getir.
“Tekadku untuk pergi sejak semula sudah kupertimbangkan matang-matang. Meskipun gunung Thai San menjulang di hadapanku, niatku juga tidak akan berubah. Kali ini aku kembali, hanya untuk menyampaikan beberapa patah kata. Pertemuan kita terlalu lambat, dalam hal ini entah siapa yang harus disalahkan. Dunia memang penuh dengan tragedi.
Mungkin ini adalah pertemuan kita yang terakhir kalinya…”
Berkata sampai di sini, dia merandek sejenak. Dia membuka jubah panjang yang diberikan oleh Tan Ki. Dia menyelimuti anak muda tersebut dengan jubahnya sendiri. Kemudian dia mengeluarkan bendera merah yang terselip di pinggangnya. “Bendera ini dinamakan Tiat Hiat (Darah Besi). Di lihat dari luar memang biasa-biasa saja. Tidak ada keistimewaannya sama sekali. Tetapi benda ini merupakan lambang perintah dari Barisan Jendral Langit. Keampuhannya sampai di mana, kau sudah pernah menyaksikan sendiri. Tetapi harap kau ingat baik-baik, si tua bangka Oey Kang merupakan manusia yang sangat licik. Ilmu senjata rahasianya tinggi sekali. Barisan Jendral Langit merupakan hasil didikannya langsung. Setiap orangnya dapat menimpukkan tiga macam senjata rahasia sekaligus. Apabila kelak kau kebetulan datang lagi ke Pek Hun Ceng, maka kau harus berhati-hati terhadap bokongan senjata rahasia mereka. Aku sudah berkhianat terhadap Pek Hun Ceng, bahkan mencuri Tiat Hiat Ki ini. Oey Kang pasti membenci aku sampai ke tulang sumsum. Kelak apabila aku sampai terjatuh ke tangannya. Hidup atau mati sulit ditentukan.”
Otaknya segera membayangkan bagaimana Oey Kang membereskan seorang murid yang mengkhianatinya. Cara turun tangannya yang demikian keji, rasanya tiada duanya lagi di dunia ini. Tanpa terasa tubuhnya bergetar hebat. Keringat dingin membasahi keningnya.
Sejenak kemudian dia meletakkan bendera tersebut di atas kepala Tan Ki.
“Baik-baiklah menjaga diri, aku pergi…” kata-katanya pendek, tetapi mengandung makna yang dalam. Tan Ki yang mendengarnya sampai tertegun. Dia melihat kaki Liang Fu Yong melangkah mundur setindak demi setindak. Tampaknya sebentar lagi dia akan meninggalkan Tan Ki. Hati anak muda itu menjadi panik. Rasanya dia ingin berteriak sekeras-kerasnya agar Liang Fu Yong membatalkan maksudnya. Tetapi dia tidak tahu kata-kata apa yang harus diucapkannya. Dia hanya merasa ada segulung kepedihan yang memenuhi hatinya. Perasaannya bagai hancur lebur. Ingin rasanya dia mengorek hatinya sendiri agar Liang Fu Yong dapat melihat bagaimana khawatirnya dia saat itu.
Akhirnya, dia hanya melihat saja Liang Fu Yong meninggalkan dirinya setindak demi se- tindak.
Ketika akan melangkah pergi, Liang Fu Yong seperti merasa berat berpisah dengan Tan Ki. Meskipun kakinya terus maju, namun setiap tiga langkah, dia pasti menoleh kembali.
Dari sinar matanya terpancar kerinduan dan kepedihan yang tidak terkirakan.
SeBagian sukma Tan Ki seakan dibawa pergi juga oleh perempuan itu. Meskipun Liang Fu Yong sudah meninggalkannya cukup lama, namun dia masih memandangi arah kepergiannya dengan termangu-mangu. Tampak air matanya mengalir dengan deras membasahi kedua pipinya.
Yang Kuasa seperti mempermainkan nasib anak manusia. Takdir memang tidak dapat ditolak. Dia ingat ketika pertama kali bertemu dengan Mei Ling serta pelayannya Kiau Hun. Meskipun, gadis itu hanya seorang budak, tetapi api asmara di dalam kalbunya juga berkobar-kobar. Namun, gadis itu juga meninggalkan dirinya dengan membawa hati yang terluka…
Kalau dibandingkan, tampaknya penderitaan Liang Fu Yong lebih hebat, belum lagi pukulan bathin yang diterimanya, juga berlipat ganda!
Berpikir sampai di sini, tanpa terasa dia menarik nafas panjang. Air matanya mengalir semakin deras. Tiba-tiba telinganya menangkap suara tawa yang dingin yang datang dari samping tubuhnya.
“Seorang laki-laki sejati lebih memilih terjun ke jurang yang dalam daripada cengeng seperti perempuan. Coba lihat dirimu, menangis tersedu-sedu, menarik nafas panjang pendek, masa pantas disebut seorang pendekar yang gagah?” sindir orang itu.
Mendengar ucapan orang itu, Tan Ki terkejut setengah mati. Dirinya tenggelam dalam kesedihan sampai sedemikian rupa, sampai ada orang yang berdiri di sampingnya, dia tidak menyadarinya sama sekali. Begitu terperanjatnya Tan Ki, sampai seluruh tubuhnya basah oleh keringat. Dia segera memalingkan wajahnya. Si pengemis sakti Cian Cong dengan tubuhnya yang tinggi besar sudah berdiri dalam jarak kurang lebih lima langkah di sebelah kirinya. Cepat-cepat dia mengembangkan seulas senyuman.
“Locianpwe…” sapanya.
Belum lagi kumandang suaranya sirap, Cian Cong sudah mendengus dingin. Mulutnya langsung mengomel.
“Pagi-pagi buta ada tempat tidur tidak ditiduri, malah datang ke tempat ini dan pura- pura gila. Kau kira si pengemis tua tidak menjadi marah?” tiba-tiba sebelah kakinya terjulur dan ditendangnya Tan Ki keras-keras.
Orang ini memang tidak malu disebut sebagai salah satu dari dua tokoh sakti di dunia ini. Pengetahuannya sangat luas. Sekali pandang saja dia sudah tahu kalau Tan Ki dalam keadaan tertotok. Tendangannya tadi begitu cepat, namun begitu sampai di tubuh Tan Ki, tidak terasa sakit sama sekali. Malah jalan darahnya yang tertotok jadi terbuka.
Dengan pandangan kagum, Tan Ki langsung meloncat bangun. Dia menggerakkan anggota tubuhnya yang terasa kaku. Kemudian dia mengambil bendera merah yang
ditinggalkan Liang Fu Yong dan menyelipkannya di pinggang. Setelah itu dia menjura dalam-dalam kepada Cian Cong.
“Terima kasih atas pertolongan Locianpwe. Kalau tadi Locianpwe tidak menghadiahkan sebuah tendangan, entah sampai kapan Boanpwe harus terbaring di tempat ini.” hatinya teringat kesedihan Liang Fu Yong ketika akan meninggalkannya. Hatinya masih terasa pilu. Tetapi di hadapan seorang tokoh sakti, dia tidak berani berlaku kurang ajar. Selesai berkata, sekali lagi dia membungkukkan tubuhnya rendah-rendah.
“Menurut Ciong San Suang-siu, kau mengejar Oey Kang. Sampai sekarang dua hari sudah berlalu, mengapa kau malah terbaring di tempat ini dan bermimpi yang bukan- bukan?”
Tan Ki tertawa getir. Dia menceritakan bagaimana dirinya ditolong oleh Mei Ling, sampai ia dibawa oleh Oey Kang. Seluruhnya dikisahkan dengan jelas. Tetapi dia menutupi nama busuk Liang Fu Yong di luaran, malah mengisahkan bagaimana dia mengorbankan diri sehingga diperkosa oleh Oey Kang.
Cian Cong mendengarkan dengan seksama. Akhirnya dia menarik nafas panjang. “Di dunia ini ternyata ada seorang gadis yang begitu mulia hatinya. Pada suatu hari
nanti, si pengemis ingin sekali belajar kenal dengannya.” dia merandek sejenak. Kemudian mengalihkan ‘pokok pembicaraan. “Tua bang-ka itu benar-benar jahat. Mengapa tidak mencari wanita penghibur saja malah…”
Dia tidak jadi melanjutkan kata-katanya. Seperti ada sesuatu yang terlintas dalam benaknya. Rupanya orangtua ini memang membenci sekali segala macam kejahatan. Dan wataknya juga agak aneh. Tindak-tanduknya kadang-kadang menyimpang dari jalur dan selalu di luar dugaan orang lain. Sejak bertarung dengan Ciu Cang Po di atas genting Cui Sian Lau tempo hari, meskipun dia berhasil melukai nenek tua tersebut, namun dia juga dikejutkan oleh gerakan tubuh Oey Kang ketika datang dan pergi. Dia menjadi kagum sekali. Timbul perasaan menyayangkan dalam hatinya. Saat ini, mendengar keterangan Tan Ki bahwa orang itu juga mata keranjang, memang tepat kalau disebut sebagai raja iblis nomor satu di dunia ini. Hatinya menjadi tergerak, tanpa sadar dia menarik nafas panjang kembali.
Mendengar ucapannya yang sepotong itu, Tan Ki sudah paham isi hati tokoh tua tersebut. Dia teringat saat-saat di mana Liang Fu Yong diperkosa oleh raja iblis itu, hawa amarahnya langsung meluap-luap. Sepasang alisnya terjungkit ke atas.
“Sikap Locianpwe terhadap orang tersebut seakan menutupi sesuatu, hal ini benar- benar membuat Boanpwe tidak habis pikir…” tiba-tiba dalam perutnya terdengar suara air yang beriak-riak. Rupanya dia sudah kelaparan setengah mati. Sudah dua hari dua malam dia tidak mengisi perut, malah dirinya tidak sadar akan hal ini.
Mendapat pertanyaan seperti itu, Cian Cong malah seperti tidak mendengarkan.
Tampak dia tertawa terbahak-bahak. “Mari ikut aku.” katanya.
Tiba-tiba tubuhnya berkelebat dan dia menghambur menuju lembah sebelah kiri.
Melihat tindak-tanduknya, mula-mula Tan Ki tertegun. Tetapi pada dasarnya dia memang
seorang pemuda yang cerdas. Tanpa berpikir panjang lagi, dia segera menggerakkan kakinya mengejar ke depan.
Meskipun si pengemis sakti Cian Cong tidak menolehkan kepalanya sama sekali. Tetapi setiap gerak-geriknya dapat diketahui oleh tokoh sakti tersebut. Begitu Tan Ki mengejar, dia pun menambali kecepatan langkahnya.
Tampaknya dia ingin mengadu kecepatan kaki dengan Tan Ki. Langkahnya mendadak dipercepat, gerakan tubuhnya laksana terbang dan menerjang ke depan. Sepasang alis Tan Ki bertaut erat.
‘Rupanya kau ingin menguji diriku?’ katanya dalam hati.
Dipertahankannya luka dalam yang dideritanya, kecepatan kakinya ditambah. Dikerah- kannya ilmu ginkang tingkat tinggi. Tubuhnya pun seakan melayang di udara. Pakaiannya berkibar-kibar, menimbulkan deruan angin.
Gerakan mengadu kecepatan kedua orang ini benar-benar seperti dua ekor kijang yang saling mengejar. Di bawah sorotan terik matahari, tampak dua titik hitam yang berendeng dan melesat ke depan. Dalam pandangan orang biasa, tentu tidak mengira bahwa kedua titik hitam itu merupakan dua orang tokoh silat kelas tinggi yang sedang berlari.
Dalam waktu yang singkat mereka sudah berlari sejauh dua li. Jarak diantara mereka tetap kurang lebih dua depa. Tan Ki tidak dapat lebih dekat satu inci pun, dan Cian Cong juga tidak sanggup menarik jarak lebih jauh satu langkahpun.
Tiba-tiba tampak sepasang lengan Cian Cong bergerak sedikit, tahu-tahu tubuhnya sudah mencelat ke atas setinggi satu depa. Dia melayang melewati sebuah batu karang dan tahu-tahu hilang dari pandangan.
Tan Ki menghentikan langkah kakinya dan memandang ke daerah sekitar. Dia melihat semak belukar di mana-mana. Udara terasa agak lembab. Rupanya kedua orang itu terus berlari dan tidak memperhatikan arah sama sekali. Tahu-tahu mereka sudah sampai di pegunungan yang ditumbuhi rumput-rumput serta semak-semak belukar.
Mula-mula Tan Ki agak ragu, tetapi akhirnya dia melangkah perlahan-lahan memanjat batu karang. Segulungan angin gunung menghembuskan bau harum arak dan daging bakar. Tanpa sadar kakinya mengikuti sumber bau harum itu.
Begitu matanya memandang, dia melihat si pengemis sakti Cian Cong sedang duduk ber-sandar di batang pohon. Matanya terpejam, dia sedang beristirahat. Di hadapannya terdapat tiga bongkah batu yang mana di atasnya menangkring sebuah panci. Tungku api alami yang dibuatnya sudah menyala. Uap mengebul-ngebul dari dalam panci. Sehingga tutup di atasnya bergerak-gerak. Entah apa yang dimasaknya. Bau daging yang menusuk terendus dari panci tersebut.
Hidung Tan Ki mengendus bau harum masakan. Dia memandang panci yang sedang mengepulkan uap panas tersebut. Perutnya semakin keroncongan. Matanya sampai berkunang-kunang. Diam-diam dia meneguk air liur, tetapi tidak berani membuka mulut meminta makanan itu.
Setelah berdiri agak lama, terdengar suara bersin dari hidung si pengemis sakti.
Dengan gerak lambat dan kemalas-malasan, dia mengeluarkan tujuh delapan biji bakpao yang sudah gepeng karena terlalu sering tertekan. Dia melemparkannya ke arah Tan Ki.
“Sambutlah!”
Caranya melempar bakpao itu seakan menggunakan ilmu yang khas. Jarak bakpao itu kurang lebih masih kurang lebih dua inci, sudah terasa hembusan angin yang terpancar dari lemparannya.
Hati Tan Ki diam-diam merasa kagum. Dengan cepat dia mengulurkan tangannya dan secara berturut-turut dia berhasil menangkap lima butir bakpao. Tampak Cian Cong tersenyum simpul kepadanya.
“Gerakan yang bagus. Tampaknya mau tidak mau, kau harus ikut ke Pek Hun Ceng kali ini.”
Tan Ki langsung tertegun.
‘Rupanya lemparan bakpao ini mempunyai maksud tersendiri. Tampaknya kau ingin menguji kesigapanku dalam menyambut senjata rahasia.’ pikirnya dalam hati.
Begitu hatinya tergerak, tadinya dia bermaksud mengajukan beberapa pertanyaan.
Tetapi rasa lapar di perutnya tidak tertahankan lagi. Dengan lahap dia menikmati makanan di tangannya. Dalam waktu yang singkat, kelima butir bakpao tersebut sudah habis tertelan ke dalam perutnya.
Sementara itu, tangan kanan Cian Cong menggenggam sepotong paha ayam.
Sedangkan tangan kirinya memegang hiolo arak kesayangannya. Setiap menggigit ujung paha ayamnya sekerat, dia pun minum araknya seteguk. Tampaknya dia sangat menikmati cara makannya itu.
Tan Ki tahu, diantara tokoh-tokoh sakti di dunia Bulim, ada beberapa yang wataknya aneh. Biasanya mereka tidak suka segala peradatan. Melihat Cian Cong menikmati makanannya dengan lahap, dia jadi tidak enak hati mengganggunya dengan pertanyaan- pertanyaan. Diam-diam dia berdiri di samping dan menunggu kurang lebih setengah kentungan. Akhirnya sepotong paha ayam dan sekendi arak itu habis juga. Tan Ki baru berani menghampiri tokoh tua itu.
“Kalau mendengar kata-kata Locianpwe tadi, apakah yang dimaksudkan sebagai Pek Hun Ceng adalah tempat tinggal si raja iblis Oey Kang?”
“Tidak salah. Orang yang pergi ke sana bukan hanya si pengemis tua saja. Masih ada orang-orang dari lima partai besar yakni, Siau Lim, Bu Tong, Kun Lun, Go Bi dan Ceng Cen. Kalau seluruh Hwesio dan Tojin dihitung sekaligus, jumlahnya tidak kurang dari seratus orang. Mereka semua berbondong-bondong menuju Pek Hun Ceng. Bahkan ada beberapa pendekar yang tidak termasuk perguruan maupun partai lima besar ikut mengambil Bagian.” selesai berkata, dia langsung mendongakkan wajahnya dan tertawa terbahak-bahak. “Dengan berkumpulnya tokoh-tokoh ini, tentu ada keramaian yang dapat disaksikan.”
“Kalau para pendekar dunia Bulim semuanya menggabungkan diri, meskipun Oey Kang mempunyai kepandaian setinggi langit, juga tidak sanggup menghadapi kemarahan mereka. Satu Pek Hun Ceng yang demikian kecil, tentu tidak sanggup menahan…”
Wajah Cian Cong menjadi serius. Dia segera menukas ucapan Tan Ki yang belum selesai.
“Si pengemis tua sengaja menerjunkan diri ke dunia Kangouw untuk kedua kalinya, karena mendengar gerak-gerik Cian bin mo-ong yang sudah keterlaluan. Itulah sebabnya, si pengemis tua tiba-tiba muncul di Lok Yang. Dalam beberapa hari ini, tidak terdengar berita si iblis seribu wajah itu, malah perasaan si pengemis tua semakin khawatir.
Sekarang karena terdesak oleh keadaan, hati si pengemis tua malah dibebani persoalan yang lain…”
Diam-diam Tan Ki merasa geli.
‘Cian bin mo-ong justru ada di hadapan kau, si pengemis sakti. Sayangnya pandanganmu kurang tajam sehingga tidak mengenali…’ katanya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi wajahnya tetap tidak menunjukkan perasaan apapun.
“Apa persoalan yang lainnya itu?” tanyanya tenang.
“Ya, urusan Oey Kang itulah. Orang ini mempunyai berbagai macam kepandaian.
Ilmunya sudah mencapai tingkat yang tinggi sekali. Bukan si pengemis sakti memujinya, kalau suruh si pengemis tua bertarung dengannya tiga hari tiga malam juga tidak menjadi persoalan, tetapi dia mempunyai keahlian dalam senjata rahasia. Itulah yang membuat kepala si pengemis tua menjadi pusing tujuh keliling. Sekali bergebrak, senjata rahasianya langsung disambitkan ke mana-mana. Hebatnya, pukulan maupun totokan jarinya tidak berhenti melancarkan serangan. Hal ini membuat orang yang diserangnya tidak dapat menduga-duga atau mengadakan persiapan sebelumnya. Walaupun dapat meloloskan diri dari tiga batang pisaunya, atau sembilan keping uang logam emas, tetap sulit menghindar dari dua puluh tujuh jarum beracunnya. Malah pernah dengar orang mengatakan, sejak berhasil melatih ilmu tersebut, dia tidak pernah melancarkan ketiganya sekaligus.”
Tan Ki seperti kurang percaya.
“Benarkah sampai sedemikian hebat ilmunya?”
“Benar atau tidaknya, asal sudah dicobakan bisa ketahuan. Kita juga sudah boleh berangkat. Kalau sampai terlambat mengikuti pertemuan, mungkin akhirnya bisa menyesal seumur hidup.”
Orangtua itu segera berdiri kemudian menepis-nepis pantatnya yang kotor. Tan Ki tertawa lebar.
“Dengan adanya bantuan dari Locianpwe, kekuatan para pendekar menjadi berlipat ganda.”
Sembari berkata, kedua orang itu segera mengerahkan ilmu ginkangnya. Secepat kilat mereka berlari. Tampak dua baris pepohonan yang ada di kiri dan kanan seakan bergerak mundur dengan pesat. Angin terus menimbulkan suara dengungan di telinga.
Pada saat sedang berlari itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong berkata: “Ulurkan tanganmu ke mari!”
Tan Ki segera mengikuti perkataannya dengan mengulurkan tangan kanan.
Dibiarkannya Cian Cong menggandeng tangannya itu meskipun dia tidak mengerti maksud si pengemis sakti tersebut. Namun langkah kaki keduanya tidak berhenti, mereka terus berlari ke depan. Mendadak dia merasa ada segulungan hawa panas mengalir dari telapak tangan orangtua itu yang mendorong masuk lewat tangannya lalu menyusup ke dalam dada serta isi perutnya.
Aliran hawa panas ini kuat sekali, setingkat demi setingkat, segulung demi segulung, terus mendesak ke dalam. Setingkat demi setingkat bertambah panas, segulung demi segulung bertambah cepat. Seluruh anggota tubuh terasa hangat, ada semacam kenyamanan yang sulit diuraikan dengan kata-kata. Tanpa dapat ditahan lagi, keringat segera membasahi seluruh tubuh Tan Ki. Pikiran seakan menjadi lebih terang, nafaspun lebih teratur, luka yang dideritanya pun sudah pulih seBagian besar.
Rasa terkejut serta gembira bercampur aduk dalam hatinya. Orangtua ini mempunyai watak yang aneh. Kalau bicara selalu ceplas-ceplos yang mana sering membuat orang menjadi jengah dan serba salah. Tapi setiap tindak-tanduknya, tidak ada satupun yang tidak membuat orang menjadi kagum. Bahkan terhadap seseorang yang tidak ada hubungannya seperti aku ini, dia juga tidak sayang menyalurkan hawa murninya guna membantuku menyembuhkan luka dalam. Tindakan yang demikian bijak dan berhati mulia, di dunia ini masih ada berapa orang yang bersedia melakukannya? Gerakan kakinya tetap tidak berhenti, sembari berlari dia sanggup menyalurkan hawa murni dengan lancar menerobos seluruh tubuh. Hal ini membuktikan bahwa ilmu orangtua ini telah mencapai taraf yang tidak terkira tingginya.
Begitu pikirannya tergerak, dalam hati Tan Ki pun timbul rasa hormat kepada si pengemis sakti tersebut. Tanpa sadar dia menolehkan kepalanya melirik Cian Cong beberapa kali. Di wajahnya tersirat perasaan terima kasih serta haru yang tidak terkatakan.
Cara lari kedua orang itu demikian ringan dan cepat. Tidak berapa lama kemudian, mereka sudah sampai di sebuah hutan yang lebat sekali. Sampai di tempat ini, mendadak Cian Cong menghentikan langkah kakinya. Matanya menatap ke arah papan peringatan yang bertuliskan: ‘Sebelum masuk wilayah ini, urus dulu masalah penguburan.’ Cian Cong langsung tertawa dingin, dia menolehkan kepalanya dan berkata:
“Kau tunggu di sini, si pengemis tua ingin masuk ke dalam dan meninjau sebetulnya ada persiapan apa yang mengejutkan orang.”
Tan Ki tahu orangtua itu merasa sayang kepadanya, dia tidak ingin dirinya terjerumus dalam bahaya, tetapi karena hatinya merasa kagum serta hormat kepada orangtua ini, tanpa sadar diapun mengkhawatirkan keselamatannya.
“Locianpwe hendak masuk ke sarang harimau, mana boleh Boanpwe ketinggalan. Kalau memang mau meninjau, biar kita tinjau sama-sama, hidup atau mati kita jalani bersama. Untung rugi kita bagi rata.”
Mendengar ucapannya yang gagah, Cian Cong langsung tersenyum simpul. Dia segera menganggukkan kepalanya.
“Boleh juga, kalau si pengemis tua sampai pulang ke rumah kakek moyang, toh jadi tidak kesepian karena ada yang menemani.”
Selesai berkata, dia langsung mendahului masuk ke dalam hutan tersebut.
Sejak mendapat saluran hawa murni dari si pengemis sakti, luka Tan Ki sudah hampir pulih. Hanya saja dalam beberapa hari ini dia terus dikecewakan masalah cinta kasih, jadi tekanan bathinnya yang agak parah itu masih terasa. Melihat Cian Cong sudah mendahului masuk ke dalam hutan, dia segera menghimpun hawa murninya guna melindungi tubuh.
Kakinya langsung berlari mengejar Cian Cong.
Baru saja sebelah kakinya menginjak ke dalam hutan, tiba-tiba matanya terasa berkunang-kunang. Keadaan langsung berubah. Tampak di depan belakang kiri maupun kanannya semua merupakan pepohonan. Dirinya bagai terkepung. Dia mempertajam penglihatannya memperhatikan, tetapi dirinya malah seperti berada di lautan luas yang tidak terlihat tepiannya. Dia juga tidak berhasil menemukan arah dari mana dia masuk tadi.
Saat itu, tengah hari belum lagi tiba. Matahari bersinar cerah. Tetapi diri Tan Ki yang terperangkap dalam hutan itu malah tidak dapat melihat sinar sedikitpun. Cahaya matahari yang terik itu seakan diselimuti oleh dedaunan serta pohon-pohon yang lebat sehingga tidak dapat menerobos sedikitpun. Meskipun biasanya nyali Tan Ki sangat besar, menghadapi situasi seperti ini, diam-diam hatinya tercekat juga. Perubahan ini memang terlalu aneh.
‘Ketika berdiri di luar, tampaknya hutan ini tidak ada kelainan apa-apa. Mengapa begitu masuk ke dalam, semuanya jadi berubah? Kecuali tempat di mana aku berdiri, di mana- mana yang terlihat hanya bayangan pepohonan, bahkan sedikit tempat yang kosongpun tidak terlihat.’ pikirnya dalam hati.
Pada saat pikirannya dilanda kebingungan itulah, tiba-tiba terdengar Cian Cong mendengus dingin. Tan Ki segera mengalihkan pandangannya. Tampak mimik wajah orangtua itu kelam sekali. Mulutnya terus bergerak-gerak, seakan sedang menghitung sesuatu. Oleh karena itu, Tan Ki hanya berdiri di belakangnya tanpa berani menganggu pikiran si pengemis sakti.
Kurang lebih sepeminuman teh kemudian, di wajah Cian Cong yang tadinya kelam mulai merekah seulas senyuman.
“Si maling tua Oey Kang itu ternyata memang bukan tokoh sembarangan. Dia sanggup menggabung perubahan Pat Kua dan Kiu
Kong sehingga pengaruhnya lebih kuat. Hampir saja si pengemis tua tertipu olehnya.”
Tiba-tiba dia menghimpun hawa murninya, kaki kiri digerakkan perlahan-lahan seakan takut ada jebakan yang terpasang di hadapannya. Dengan hati-hati orangtua itu maju setengah langkah, orangnya pun segera membelok di balik sebatang pohon.
Tan Ki sadar dirinya tidak mengerti unsur langkah seperti Pat Kua maupun Kiu Kong. Biasanya perubahan unsur-unsur ini memang ajaib sekali. Dia takut kehilangan jejak Cian Cong, maka dari itu, cepat-cepat dia menyusul dari belakang. Langkah kaki Cian Cong baru saja berhenti, Tan Ki sudah sampai di belakangnya.
Cian Cong menolehkan kepalanya dan tersenyum. Kemudian dia melangkah ke dalam sejauh sembilan tindak. Setelah itu menggeser ke kanan sejauh empat tindak. Tan Ki terus mengikuti dengan ketat, ternyata memang tidak terdapat halangan apapun. Dalam waktu yang singkat, mereka sudah masuk sejauh lima enam puluh depa, hati Tan Ki diam-diam menghitung. Dia tahu apabila mereka melangkah beberapa tindak lagi, mereka segera dapat menerobos keluar dari bayangan pepohonan yang menyeramkan itu. Tanpa terasa hatinya menjadi gembira. Perasaan hormatnya kepada Cian Cong semakin bertambah.
Pikirannya melayang-layang, tetapi sebetulnya hanya sekejap mata. Tiba-tiba terdengar suara keluhan dari mulut Cian Cong. Langkah kakinya mendadak terhenti. Wajahnya menyiratkan rasa terkejut serta penasaran.
Tan Ki jadi tertegun. Baru saja dia ingin bertanya, sudah terdengar Cian Cong menarik nafas panjang.
“Tadinya pengemis tua mengira bahwa barisan pepohonan ini hanya merupakan gabungan dari unsur Pat Kua dan Kiu Kong, tidak tahunya masih banyak unsur lainnya yang terdapat di dalamnya. Malah Im dan Yang dapat diputar balikkan sehingga arahnya menjadi berubah…”
Tan Ki terkejut sekali.
“Apa? Jadi kita sudah tersesat dan tidak dapat keluar lagi?” Wajah Cian Cong berubah kelam kembali.
“Walaupun belum sampai tersesat, tetapi babak kali ini, si pengemis tua rela mengaku kalah. Memang sulit untuk keluar dari barisan pepohonan ini.”
Tan Ki tersenyum simpul.
“Seseorang salah menduga, merupakan hal yang wajar. Kita bisa mundur kembali ke tempat semula dan mulai lagi dari awal.” katanya menghibur.
Cian Cong tidak berkata apa-apa. Dia hanya menarik tangan Tan Ki dan mengajaknya kembali ke tempat semula. Setelah berputar ke kiri dan membelok ke kanan beberapa kali, akhirnya mereka sampai di luar hutan.
Tan Ki melihat mimik wajah Cian Cong jauh berbeda dengan biasanya. Kali ini sungguh tidak enak dipandang. Hatinya jadi sedih. Dia tetap membungkam seribu bahasa. Perlu di ketahui, seorang tokoh Bulim, apabila namanya menjulang semakin tinggi, maka ia akan memandang harga dirinya semakin tinggi juga. Si pengemis tua ini merupakan salah satu dari dua tokoh sakti di dunia Kangouw. Nama besarnya sudah menggemparkan dunia
persilatan. Tapi justru dia terkurung di dalam barisan pepohonan ini dalam waktu yang dibilang lama juga tidak, tapi sebentar juga tidak. Tentu saja dia merasa malu sekali. Padahal dia orang yang optimis dan selalu berpandangan luas, tetapi kali ini mau tidak mau menelan seluruh kekesalan hatinya dalam-dalam.
Sementara itu, di sekeliling mereka kembali terkepung pepohonan dalam jumlah yang tidak terhitung. Angin lembut berhembus. Pikiran yang tegangpun seakan ikut terbang seiring dengan tiupan angin tersebut. Tetapi wajah Cian Cong masih murung seperti tadi. Keriangannya di waktu kemarin-kemarin seolah lenyap entah ke mana.
Mata Tan Ki segera beredar, tiba-tiba dari Bagian depan terlihat belasan orang sedang berlari dengan tergesa-gesa ke arah mereka. Gerakan setiap orang itu seperti burung camar yang terbang melayang. Jarak yang masih empat puluh depaan, dalam sekejap mata, tahu-tahu sudah ada di hadapan mereka.
Orang yang paling depan, mungkin yang bertindak sebagai pemimpin, merupakan seorang pemuda berwajah tampan. Alisnya bagus matanya bersinar terang. Tampaknya dia melihat Cian Cong dan Tan Ki berjalan keluar dari hutan maka merasa di luar dugaan sehingga terkejut sekali. Langkah kakinya pun otomatis terhenti. Dia memperhatikan kedua orang itu dari atas kepala sampai ke bawah kaki. Dari mulutnya terdengar suara keluhan yang lirih. Kemudian dia merangkapkan sepasang kepalan tangannya menjura dalam-dalam.
“Yang ini mungkin ’si lengan koyak’ Cian Cong Locianpwe yang namanya sudah meng- getarkan dunia Kangouw?”
Cian Cong mengeluarkan suara dengusan dari hidungnya.
“Baju rombeng milik si pengemis tua ini, lengannya memang sudah koyak seBagian. Ini merupakan lambang gelar si pengemis tua.”
Anak muda itu tersenyum lembut. Tiba-tiba sepasang alisnya mengerut di atas.
Matanya beralih kepada Tan Ki. “Kenapa kau kembali lagi?”
Tan Ki yang mendengar nada suaranya serasa tidak asing. Hatinya jadi tergerak. Dia segera maju dua langkah dan menjura dalam-dalam.
“Apakah Saudara ini yang bersembunyi di dalam hutan dan memberikan obat penyembuh luka kepadaku?”
Alis anak muda itu bergerak-gerak. Dia seakan ingin mengatakan sesuatu namun seperti ada suatu ingatan yang melintas di benaknya. Tiba-tiba dia mengibaskan ujung pakaiannya dan melesat ke tengah udara. Dalam dua kali loncatan saja, tahu-tahu orangnya sudah berada dalam jarak dua depaan.
Melihat keadaan itu, Tan Ki jadi termangu-mangu. Hatinya sedang berpikir mengapa anak muda itu tiba-tiba pergi dengan tergesa-gesa, dalam waktu yang bersamaan, telinganya menangkap suara panggilan ‘Locianpwe…! Locianpwe!’ sebanyak beberapa kali berturut-turut.
Kepalanya segera menoleh untuk melihat apa yang telah terjadi. Entah sejak kapan Bu Ti Sin Kiam Liu Seng, Ciong San Suang-siu, Kok Hua-hong beserta delapan orang lainnya yang tidak dikenal oleh Tan Ki sedang mengerumuni Cian Cong.
Melihat kehadiran Liu Seng, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam hati Tan Ki meluap seketika. Tubuhnya sampai gemetar melihat musuh yang membunuh ayahnya ada di depan mata dan apabila dia mengulurkan tangannya saja, tubuh orang itu dapat tersentuh. Tetapi terasa begitu jauh dan hanya dapat dipandang saja. Begitu bencinya perasaan Tan Ki terhadap orang yang satu ini, sampai-sampai matanya mendelik lebar- lebar. Dari dalamnya terpancar sinar yang dingin menusuk serta mengandung hawa pembunuhan yang tebal. Dia menatap Liu Seng lekat-lekat. Seakan setiap waktu dia sudah siap melancarkan serangan yang mematikan ke arah orang tersebut.
Tan Ki menggunakan berbagai samaran dengan nama Cian bin mo-ong hampir setengah tahun lamanya. Tapi begitu pandai pemuda itu merahasiakan identitas dirinya. Orang yang mengetahui masalah ini hanya Liang Fu Yong serta dua Tosu Bu Tong Pai yang sempat dibiarkan pergi oleh Tan Ki. Bahkan tokoh sakti seperti Cian Cong dan lain- lainnya tidak ada seorangpun yang tahu. Malah mereka melakukan kesalahan berulang kali dengan menolong jiwa anak muda itu.
“Sebetulnya urusan apa yang membuat kalian mengejar pemuda tadi?” terdengar Cian Cong bertanya.
Liu Seng segera maju satu langkah lalu menjura dalam-dalam.
“Pemuda tadi adalah anak angkat Oey Kang, yakni Pek I Tay-hiap (Pendekar Baju Putih) Oey Ku Kiong.”
Cian Cong langsung tertawa dingin mendengar keterangannya. “Usia semuda itu, memangnya pantas disebut segala Tayhiap?”
Tiba-tiba si gemuk pendek Cu Mei yang merupakan salah satu dari Ciong San Suang-siu terdengar menukas…
“Dia sendiri yang mengatakan hal ini kepada kita. Itulah sebabnya kita bisa tahu. Aku pikir, tadinya mungkin dia hanya ingin membanggakan dirinya sendiri agar pandangan kita terhadap harga dirinya jadi lebih tinggi.”
Mendengar ucapannya, Cian Cong tampak berdiam diri. Seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan olehnya. Setelah agak lama’ baru dia berkata:
“Pertama kali melihat wajah tampan serta gagah dari pemuda tadi, pikiranku tiba-tiba teringat seorang sahabat lama yang sudah berpuluh tahun tidak pernah berjumpa lagi.” dia menarik nafas panjang-panjang. Kemudian dia mengalihkan pokok pembicaraannya. “Kalian datang ke Pek Hun Ceng untuk menolong orang. Lebih baik kalian pergi sekarang juga. Si pengemis tua kali ini dibuat bingung sekian lama, rasanya seluruh kegembiraan sampai kabur jauh-jauh. Diri si pengemis tua pun jadi enggan menemani lama-lama.”
Tiba-tiba dia mengerahkan ginkangnya, dengan kecepatan tinggi dia melesat meninggalkan tempat itu. Dalam sekejap mata saja, orangnya sudah menghilang dari pandangan.
Para hadirin tidak tahu kalau hati tokoh tua ini sedang penasaran. Melihat dia tiba-tiba pergi begitu saja, mereka menjadi tidak mengerti sama sekali. Oleh karena itu, semuanya saling pandang sekilas kemudian termangu-mangu untuk beberapa saat.
Justru ketika para hadirin masih termangu-mangu itulah, Tan Ki segera menggunakan kesempatan itu untuk ngeloyor pergi secara diam-diam. Orang-orang yang disekitarnya merupakan tokoh kelas tinggi di dunia Bulim. Pendengaran mereka tajam sekali. Ternyata mereka tidak sadar kapan Tan Ki pergi dari tempat tersebut. Kalaupun ada yang melihat, juga mengira bahwa anak muda itu hendak menyusul Cian Cong, maka tidak ada yang mengajukan pertanyaan kepadanya.
Sebetulnya, Tan Ki pergi secara diam-diam, tujuannya sama sekali bukan menyusul Cian Cong. Justru setelah melihat Liu Seng juga hadir di sana, gejolak kebenciannya membara di dada. Dia ingin memikirkan cara membalas dendam, itulah sebabnya dia ngeloyor secara diam-diam.
Penderitaan di masa lalu menghasilkan watak yang luar biasa pada dirinya. Tabah, angkuh dan dingin. Harapan untuk membalas dendam atas kematian ayahnya juga lebih dalam dari orang lain. Sejak mendapat petunjuk dari Bu Beng Lojin (Orangtua tanpa nama) serta berhasil mencuri belajar dari kuburan para ketua Ti Cian Pang, keinginan dalam hatinya semakin bergejolak. Itulah sebabnya, belum sampai setengah tahun dia terjun ke dunia Kangouw, secara berturut-turut dia telah membunuh dua puluh tujuh orang pendekar kenamaan.
Dia selalu beranggapan, pada mayat ayahnya terdapat empat puluh delapan jenis senjata rahasia, dari sini dapat dibuktikan bahwa musuh yang membunuh ayahnya ada empat puluh delapan orang. Dalam perhitungannya saat ini, sisa musuh ayahnya tinggal dua puluh satu orang. Nama Liu Seng sangat terkenal. Lagipula dia juga termasuk seorang pendekar yang gagah serta menjunjung tinggi keadilan. Meskipun dia sudah menggantung pedangnya sekian tahun, tapi kebesaran namanya tetap tersohor. Sedangkan Hek Hong Ciam adalah senjata rahasia andalan keluarganya. Ilmu tersebut hanya diwariskan kepada anak laki-laki dan tidak diwariskan kepada anak perempuan. Justru senjata rahasia tersebut termasuk salah satu jenis yang membunuh ayahnya. Hal ini pula yang akhirnya menimbulkan kegemparan di kota Lok Yang.
Sepanjang perjalanan dia terus berpikir, kakinya tidak pernah berhenti melangkah.
Tidak di sadari oleh Tan Ki bahwa dia malah kembali ke jalan semula.
Tiba-tiba dari belakang tubuhnya berkumandang suara tawa yang dingin. Kemudian di susul dengan bentakan dari mulut seorang gadis.
“Berhenti!”
Mendapat bentakan yang tidak terduga-duga ini, hati Tan Ki terkejut sekali.
Lamunannya jadi tersentak. Untuk sesaat dia tidak dapat mengendalikan diri, kakinya tetap melangkah maju dua tindak baru kemudian terhenti. Perlahan-lahan dia membalikkan tubuhnya dan memusatkan perhatiannya memandang. Entah sejak kapan, di belakang punggungnya sudah berdiri seorang gadis berpakaian hitam dengan sebatang pedang panjang terikat di punggungnya.
Hati Tan Ki langsung tercekat.
“Apakah nona memanggil aku?”
Gadis berpakaian hitam itu tertawa dingin.
“Di sekitar ini tidak ada orang lainnya, kalau bukan kau yang dipanggil, habis siapa lagi?”
Diam-diam Tan Ki mengusap keringat yang membasahi keningnya.
‘Perempuan ini sungguh tidak tahu aturan. Ketusnya bukan main. Bahkan tokoh sakti seperti Cian Cong Locianpwe saja enggan mencari gara-gara dengannya…’ pikirnya dalam hati.
Meskipun hatinya berpikir demikian, tetapi tampangnya tetap tenang. Dia segera merang-kapkan sepasang kepalan tangannya dan menjura kepada gadis tersebut.
“Kalau Nona memang memanggil, bolehkah Cayhe tanya untuk urusan apa gerangan?” Gadis berpakaian hitam itu segera memalingkan wajahnya. Dia mendengus lirih.
“Rupanya kau memang pandai berpura-pura. Tempo hari kau ikut dengan kakekku pulang ke pondok kami. Kau justru menggunakan kesempatan di saat aku tidak ada untuk melarikan diri secara diam-diam. Hari ini ke-pergok olehku…”
Semakin dibicarakan hatinya semakin kesal. Tubuhnya sampai gemetaran, Seakan baru saja mendapat penghinaan yang tidak kepalang pahitnya. Berbicara sampai di situ, dia tidak sanggup meneruskan lagi.
“Dengan seorang diri berada di daerah pegunungan seperti ini pasti membahayakan sekali. Apakah kakekmu tidak ikut bersamamu?”
Gadis berpakaian hitam itu tambah jengkel.
“Tidak perlu kau urus masalah ini. Kalau aku sampai mati, hatimu malah merasa tentram!”
Jantung Tan Ki sampai berdebar-debar mendengar perkataannya.
‘Mulai lagi, adatnya selalu keras kepala serta tidak tahu aturan kalau bicara.’ pikir Tan Ki dalam hati.
Tiba-tiba, dia seperti teringat sesuatu hal. Sepasang kakinya berjinjit ke atas dan diedar-kannya pandangannya ke sekeliling tempat itu. Setelah yakin di sana tidak ada pihak ketiga, hatinya baru merasa tenang.
Memang ilmu silat Tan Ki merupakan hasil curian dari kuburan para leluhur Ti Ciang Pang. Dia menimbulkan huru hara di dunia Kangouw, selama ini boleh dibilang tidak ada yang ditakutinya. Justru terhadap Pangcu Ti Ciang Pang, Lok Hong, dia merasa pusing tujuh keliling. Setiap kali bertemu, hatinya pasti ketakutan. Sedangkan gadis ini adalah cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang tersebut. Mencari perkara dengannya sama saja mencari gara-gara dengan Lok Hong.
Berpikir sampai di situ, hatinya yang sudah agak tenang menjadi gelisah kembali.
Gadis berpakaian hitam itu melihatnya tanpa mengucapkan sepatah katapun dalam jangka waktu sekian lama, tanpa terasa hatinya jadi marah kembali.
“Mengapa tidak bicara? Apakah mulutmu tiba-tiba menjadi bisu atau telingamu yang mendadak budek?”
“Perkataan Nona setiap kali selalu menyindir orang dengan tajam. Hal ini membuat aku jadi serba salah. Kalau aku diam saja, Nona malah marah kembali. Kalau aku lancang mengucapkan kata-kata yang salah, hasilnya sama saja.”
Lok Ing menjadi kesal mendengar jawabannya.
“Aku justru ingin kau bicara!” pinggangnya meliuk ke samping, kemudian secara mendadak menegak kembali. Tangannya diulurkan ke kiri lalu merentang ke depan. Dalam waktu yang singkat dia sudah melancarkan empat buah pukulan dan satu buah totokan.
Serangan yang gencar ini, kecepatannya tidak terkirakan. Empat buah pukulan diarahkan ke tempat yang berlainan. Seiring dengan gerakan tubuhnya, serangan yang dilancarkan gadis itu pun menyerang datang. Pukulannya belum sampai, angin yang ditimbulkannya sudah menerpa duluan.
Padahal Tan Ki sudah berusaha untuk tidak berurusan dengannya. Melihat kekasaran gadis itu, tanpa dapat ditahan lagi hawa amarah dalam dadanya jadi meluap. Dia menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba kakinya mundur tiga langkah, menunggu gerakan tubuh Lok Ing hampir mencapai dirinya, sepasang telapak tangannya segera menghantam ke depan. Tampak bayangan pukulan berkibar-kibar. Angin yang terpancar keluar menderu-deru.
Dalam sekejap mata, dia sudah melancarkan dua belas pukulan secara berturut-turut.
Lok Ing mencibirkan bibirnya sambil tersenyum mengejek. “Bagus, kau benar-benar ingin berkelahi?”
Dua jari tangannya terjulur keluar. Dengan kecepatan kilat meluncur ke arah urat darah di Bagian pinggang sebelah kiri Tan Ki.
Sepasang alis Tan Ki langsung terjungkit ke atas.
“Sifat Nona sungguh keras kepala. Kalau tidak mengajar adat padamu sekali-sekali, tentu kau tidak tahu kemarahan dalam hatiku.”
Kegagahannya sebagai seorang laki-laki seakan terbangkit karena kata-katanya yang di-ucapkannya sendiri. Untuk sesaat dia tidak berpikir panjang lagi. Lengan kirinya menghimpun tenaga dalam dan menyambut totokan gadis itu. Dalam waktu yang hampir bersamaan, telapak tangannya terulur keluar melancarkan sebuah pukulan.
Dalam satu jurus dia melakukan dua gerakan. Secara bergantian dikerahkannya, angin yang kencang segera terpancar keluar serta menimbulkan suara seperti siulan.
Terdengar suara keluhan dari mulut Lok Ing. Tubuhnya sempoyongan dan langkah kakinya tergetar mundur lima tindak. Bibirnya bergerak-gerak, dia seakan sedang bergumam kepada dirinya sendiri.
“Jurus Bintang-Bintang Berputaran ini baru diajarkan oleh Yaya beberapa hari yang lalu.
Mengapa dia juga bisa?”
Hati Tan Ki jadi tercekat mendengar gu-mamannya. Keringat dingin segera membasahi seluruh tubuhnya. Gadis ini merupakan cucu kesayangan ketua Ti Ciang Pang, tentu saja dia dapat melihat ilmu yang kugunakan ini sama dengan yang dipelajarinya:
Dari kuburan para leluhur Ti Ciang Pang, Tan Ki berhasil mempelajari berbagai ilmu. Kecuali Bu Beng Lojin yang sudah mati itu, tidak ada orang ketiga lagi yang mengetahui hal ini. Kalau sampai karena kecerobohan sesaat, gadis itu berhasil membongkar rahasianya, tentu merupakan hal yang gawat bagi Tan Ki.
Hatinya mempertimbangkan bolak balik. Akhirnya dia mengambil keputusan lebih baik melarikan diri saja. Tiba-tiba telinganya mendengar suara siulan yang panjang.
Kumandangnya menimbulkan gema yang bergaung-gaung. Lok Ing langsung tertawa lebar.
“Bagus, kakekku sudah datang. Lihat kau bisa kabur ke mana?”
Hati Tan Ki terkesiap mendengar kata-katanya. Saat itu juga dia merasa sukmanya seperti terbang entah ke mana. Seumur hidupnya dia tidak pernah merasa takut menghadapi apapun. Justru terhadap kakek gadis itu, rasa gentarnya tidak terkirakan.