BAB 47. TIANG KENG DAN UN KIN BERTEMU DUA MURID IN HOAN
Dengan bantuan sinar matahari Tiang Keng langsung melihat jelas. Rambut kedua orang itu kusut. Pakaiannya yang berwarna kuning melambai-lambai tertiup angin dan acak- acakan. Tiang Keng mengenali mereka adalah Tiat Tat Jin dan Cio Peng. dua orang murid Ban Biauw Cin-kun. Mereka tak menghiraukan Tiang Keng tapi langsung menghampiri Un Kin. Un Kin mengawasinya dengan tajam.
"Sudah beres?" tanya Un Kin dengan suara tawar. "Sudah." sahut keduanya bersamaan, dada mereka
kelihatan naik turun
"Apa yang beres?" tanya Un Km
Dua orang itu kaget, mereka saling mengawasi, mulut mereka terbuka, mata mereka mendelong.
"Aku.. Aku. " kata Tat Jin. tampaknya ia sulit bicara, la batuk sekali.
'"la sudah. Sudah.. " kata Cio Peng.
Kiranya Cio Peng pun sulit bicara. Mereka berdua ini orang- orang licik dan ganas, namun mereka masih sulit untuk bicara terus terang bahwa mereka telah membunuh gurunya sendiri. Un Kin tertawa dingin, ia memutar tubuh dan tak menghiraukan kedua orang itu. "Tiang Keng. mari!" kata si nona.
"Nona Un." tiba-tiba salah seorang dari kedua orang itu bicara. Mereka melompat ke sisi Nona Un Kin. "Nona. tunggu sebentar!"
Un Kin menghadapi mereka dengan sikap gagah. "Kita tak saling kenal, mengapa kau terus mengacau di sini?"' kata Un Kin. “Apa kau sudah bosan hidup.!"
Un Kin masih terpengaruh didikan Un JieGok. maka itu suaranya kasar dan bengis.
Tiang Keng memperhatikan kedua orang itu. wajah mereka berkeringat Menyaksikan hal itu Tiang Keng jadi tak tega.
"Kalian mau apa? Apa kalian mau mencari Un Jie Giok agar bebas dari Cit Ciat Tiong Ciu°" tanya Tiang Keng.
Kedua orang itu mengawasi Tiang Keng.
"Benar!" jawab mereka hampir bersamaan. "Jika Tuan bersedia memberi tahu. budi Tuan tak akan kami lupakan!"
Mendapat jawaban itu Tiang Keng mengawasi keduanya sebentar. Lalu ia menoleh ke lain arah dan berkata.
"Sekarang kami pun tak tahu. di mana Un Jie Giok berada..."
Mendengar jawaban itu Tiat Tat Jin dan Cio Peng jadi pucat, mata mereka menunjukkan sinar memohon, dengan tangan gemetar mereka menyeka keringatnya.
"Tuan tak tahu. tapi barang kali Nona Un tahu..." kata Cio Peng.
Alis Un Kin berkerut dan matanya bercahaya. "Andai kata aku tahupun. aku tak akan memberitahu kalian." kata Un Kin. "Orang seperti kalian berkurang satu dua orang semakin baik! Tiang Keng mari kita pergi!"
Sesudah itu ia membalikkan tubuhnya mengajak Tiang Keng pergi. Tiang Keng menarik nafas, saat ia memperhatikan kedua orang itu ia lihat mereka berdiri diam. tangan mereka turun dan dikepal-kepalkan. Rupanya mereka menyesal, gemas dan ketakutan. Tiba-tiba mereka melompat ke depan akan menghadang Un Kin dan Tiang Keng.
"Nona Un." kata Tiat Jin. Ia pegang ujung baju Cio Peng. "Sekalipun kami hina dan busuk, tapi semua kami lakukan atas perintah guru kami. Kita tidak bermusuhan masakan Nona tega membiarkan kami berdua…”
Kata-kata Cio Peng gemetar, romannya menunjukkan mereka sangat memohon bantuan. Mereka berlutut sambil menangis tanpa malu-malu. Tiang Keng jemu tapi ia pun jadi tak tega.
"Hanya begini harga sebuah jiwa°" kata Tiang Keng. Kedua orang itu melongo.
"Jiwa memang berharga." kata Tiang Keng lagi. "Tapi kalian berdua seharusnya sadar bahwa di dunia bukan tak ada yang tak bisa diatasi. Kalian ini laki-laki. mengapa sekarang sikap kalian jadi begini?"
Tiat Jin melengak kemudian menunduk. "Kami tahu." kata Tiat Jin. "Tapi kami masih muda dan terpaksa kami menyayangi jiwa kami…”
"Umur Tuan hampir sama dengan umur kami berdua, jika Tuan mengalami hal yang kami alami, kami kuatir... " Cio Peng menunduk dan batuk-batuk, ia tak meneruskan kata-katanya.
Alis Tiang Keng rapat satu sama lain. "Kita mendambakan hidup dan nama. jika tak bisa meraih keduanya, salah satu harus diraih. Dan nama baik kurasa lebih penting!" kata Tiang Keng.
Sesudah itu Tiang Keng ingat kedua pemuda itu dididik sejak masih kecil oleh In Hoan. tak heran jika mereka ketularan adat gurunya. Maka benar pepatah yang mengatakan : Sifat manusia asalnya suci. tapi jika tidak dididik dengan baik. maka sifat itu bisa berubah. Jadi tak semestinya mereka disalahkan. Tiang Keng menghela nafas lalu menambahkan kata-katanya.
"Sebenarnya aku dan Nona Un tidak tahu di mana Un Jie Giok sekarang. Tapi katanya nanti malam ia akan menemui kami di kuil yang tadi malam. Jika kalian mau kalian boleh datang ke sana..”
"Sebenarnya melihat kelakuan mereka, sebaiknya mereka dibiarkan mati saja." kata Un Kin sambil tertawa.
Tiang Keng batuk-batuk ia mau bicara tapi tak jadi. la lambaikan tangannya pada kedua orang itu. "Apa kalian masih tak mau segera pergi?" ujarnya.
Tiat Tat Jin dan Cio Peng mengawasi ke arah Un Kin. wajah mereka kelihatan penasaran dan benci sekali pada Un Kin.
Keduanya lalu berpaling ke arah Tiang Keng dan memberi hormat.
"Gunung biru tak berobah. air selalu mengalir!" kata Tiat Jin. "Sampai bertemu lagi!" Mereka melompat dan pergi.
Un Kin mengawasi kedua orang itu dengan sikap sebal. "Sepatutnya mereka berdua dibunuh saja. itu lebih baik!" kata Un Kin.
"Semula sifat mereka baik. tapi lingkunganlah yang membuatnya berubah, lak ada orang yang ingin jadi penjahat. Alangkah lebih baiknya jika kita bisa mengubah sifat jahat mereka dibanding membunuhnya! Adik. Kin. sebagai manusia kita harus welas asih. Kumohon lain kali kau jangan berkata begitu lagi!" kata Tiang Keng.
Wajah Un Kin berubah merah ia menunduk, la angkuh, belum pernah ada orang yang berani menegurnya, namun ketika Tiang Keng memohon padanya dan menasihatinya, ia tak membantahnya.
Angin gunung meniup rambut si nona hingga jadi kusut. Di lain saat ia merasakan ada tangan yang lembut meraba rambutnya yang hitam. Hati si nona sedang kusut, namun sekarang ia merasa lebih lega sedikit. Hatinya agak tenteram.
Lain halnya keadaan di kota Limau, sesudah kejadian yang mengerikan itu. banyak hati penduduk Lim-an yang goncang dan bimbang. Mereka juga sedang berpikir tentang pertemuan di Thian-bak-san yang waktunya semakin dekat saja....
Pertemuan di Thian-bak-san ini mirip besi sembrani yang bisa menarik perhatian orang banyak bagaikan sebuah teka- teki yang diharap-harap akan segera terbuka tabirnya. .
Orang-orang telah banyak yang berdatangan ke kota Lim- an. mereka datang dari berbagai penjuru dengan bermacam- macam tujuan. Ada yang hanya sekadar ingin menonton, tak sedikit yang ingin ambil bagian dalam pertandingan itu. Tak heran kalau kota Lim-an saat itu jadi bertambah ramai saja. Di samping orang yang hati-nya berdebar-debar tak sabar menunggu tibanya pertemuan, ada juga orang-orang yang bersenang-senang dengan nona-nona cantik di kota Lim-an.
Begitulah, pagi-pagi sekali bagaikan orang yang hendak pergi ke pasar, mereka keluar rumah atau penginapan, lalu berjalan secara rombongan. Berdua-dua atau bertiga bahkan lebih, mereka berjalan menuju ke satu arah. Mereka sekarang seperti sudah melupakan kejadian yang mengerikan itu.
Hari itu To-pie Sin-kiam In Kiam telah keluar dari kamar penginapanny a. ia berjalan bersama puteranya dengan langkah agak berat menuju ke warung teh langganannya. In Kiam mengawasi ke sekitarnya, alisnya berkerut, la ingin menghapus perasaan hatinya, la berjalan dengan diam seolah tak mendengar sapaan orang kepadanya. Tiong Teng terpaksa harus mewakili ayahnya menjawab sapaan mereka.
Tak lama tampak seorang perempuan yang rambutnya kusut keluar dari sebuah gang. Ia berbedak tapi bedak di pipinya itu telah pudar. Tangan kanannya memegangi rambutnya dan tangan kirinya memegang ujung baju tangan kanannya. Ia mengenakan sebuah bakiak bercat keemasan. Ia berjalan cepat dan langsung masuk ke sebuah toko cita. Tapi baru saja ia masuk tak lama ia sudah keluar lagi. ia berjalan cepat sekali, la mengepit sekayu cita kembang di ketiaknya Sekarang tampak jelas pada wajahnya tersungging sebuah senyuman puas. la masuk ke gang dan hilang di sana seperti ditelan bumi. Menyaksikan kelakuan perempuan itu In Kiam menghela nafas.
"Jika kelak kita sudah kembali ke Bu-ouw," kata sang ayah pada Tiong Teng. ""Kau temui Kwee Kay Tay (Kepala Polisi) agar ia menertibkan cara hidup perempuan yang kita lihat tadi!"
Sambil ngintil di belakang ayahnya. Tiong Teng menjawab dengan sabar. "'Baik, Ayah. akan kulakukan seperti perintahmu itu!"
"Semoga dia berhasil, paras elok yang digunakan secara sesat sangat ber-bahaya.. .** kata In Kiam lagi.
Tak lama mereka telah sampai di warung teh dan jongos menyambut kedatangan mereka. Di situ orang sudah ramai dan suara mereka berisik sekali. Saat duduk santai In Kiam berulang-ulang mendengar suara gaduh. Lalu ia memanggil seorang pelayan yang segera menghampirinya.
"Kedengarannya ramai sekali, sedang apa mereka di belakang?" kata In Kiam pada pelayan. "Maaf Tuan. suara berisik itu bukan dari warung kami." kata si pelayan tua. 'Tapi dari tetangga kami yang ada di belakang warung ini!"
"Oh ya! Tapi apa yang mereka kerjakan sepagi ini?" tanya In Kiam.
Pelayan tua itu melihat ke sekitarnya, lalu berbisik pada In Kiam.
'"Tuan. itu bengkel kayu pembuat peti mati " jawab
pelayan itu
In Kiam kaget.
"Biasanya bengkel itu sepi tak ada pembeli.'* bisik si pelayan. "'Tapi akhir-akhir ini perusahaannya maju pesat karena banyak pesanan peti mati. Karena banyaknya pesanan maka mereka harus bekerja siang malam. Tak jauh dari situ ada bengkel kayu pembuat alat rumah tangga, tapi karena peti mati sedang laku mereka pun ikut membuat peti mati juga! Aku pernah bertanya. "Apa peti mati mereka akan laku?" Mereka menyahut dua tiga hari lagi pasti peti mati mereka akan laris sekali. Keterlaluan mereka itu. apa mereka berharap orang yang datang ke Lim-an ini supaya mati semua!"
"Hm!" In Kiam mengeluarkan suara dari hidung, la memandang ke sekitarnya. Saat jongos melihat mata In Kiam bersinar, ia jadi ketakutan Untung ada tamu baru hingga ia bisa segera meninggalkan tamu tua ini....
0oo0