BAB 34. UN KIN MENCERITAKAN PENGALAMANNYA BERTEMU IN HOAN
Dengan mata basah. Un Kin mengawasi Tiang Keng. Ia lihat anak muda itu diam saja. Ia terisak sedih dan berkata, "Aku sadar, aku telah berbuat salah padamu. Aku menyesal, berharap kelakuanku itu tak kau taruh dalam hatimu. Jika kau mau menjelaskan padaku, aku sangat berterima kasih seumur hidupku..."
Tiang Keng menghela nafas. "Benar, Nona. Aku tahu sedikit tentang kematian kedua orang tuamu itu," kata Tiang Keng. "Tapi ceritanya panjang sekali. Nona. Bagaimana kau tahu tentang orang tuamu itu. Apakah imam bernama Kho Koan Ie- su yang memberitahumu? Kecuali dia siapa orang yang memberitahumu?" Si nona terbelalak heran. "Siapa Kho Koan Ie-su itu?" tanya si nona. "Namanya pun baru sekarang aku dengar!"
Tiang Keng heran Tak lama ia dengar si nona berkata lagi dengan agak sangsi.
"Mengenai diriku," kata si nona. "Aku bersedia menceritakannya padamu. Hanya aku minta kau jangan menceritakannya lagi pada orang lain. Tadi malam aku sudah tidur. Tiba-tiba aku mendengar ada orang mengetuk jendela kamarku. Aku kaget. Saat itu aku tidur di kamar belakang, sedang di kamar depan tidur para jago silat. Yang aku heran orang itu bisa datang ke kamarku dan mengetuk jendela kamarku. Siapa orang yang bergitu berani "
Tiang Keng mengawasi ke arah si nona ia heran. Ia ingat cerita nona-nona berbaju merah di atas kereta tadi. Kemudian Tiang Keng teringat pada orang yang disebut Hoa-long Pit-ngo oleh nona-nona itu. Semula kata-kata nona-nona itu ia anggap lucu. sekarang ia jadi serius.
Un Kin bicara agak likat. Ia malu sendiri barang kali. Tapi ia melanjutkan. "Aku mendongkol, dengan hati-hati kukenakan pakaianku, perlahan-lahan aku turun dari pembaringan. Aku tak membuka pintu atau jendela, aku pun tak menjawab ketukan pada jendela kamar. Tapi dengan cepat aku melompat dari jendela yang lain. Aku akan menghajar orang yang iseng itu. Tiba di luar aku jadi melongo. Aku tak melihat apa-apa. Tengah aku keheranan, aku dengar suara tawa di belakangku, perlahan dan disusul dengan kata-kata bahwa dia ada di dekatku!" .
Nona Un berhenti bicara, ia menarik nafas panjang.
"Saat itu aku kaget bukan kepalang." ia melanjutkan. "Aku kaget karena aku pikir orang ini lihay sekali. Buru-buru aku menoleh. Setelah melihatnya hatiku jadi lega. Ternyata dia orang Rimba Persilatan yang ilmu silatnya sangat mahir.
Pantas ia bisa masuk dengan leluasa ke kamarku. Aku kira guruku pun tak akan mampu menyentuh sekalipun hanya bayangannya saja!"
Mendengar itu alis Tiang Keng berkerut
"Orang paling lihay di dunia Kang-ouw?" tanya Tiang Keng. "Siapakah dia?”
Tiang Keng cuma tahu orang yang lihay itu gurunya, apa mungkin yang dimaksudkan Un Kin itu gurunya '
'"Mungkin kau kenal pada orang itu."' kata Un Kin. "Dia Ban Biauw Cin-kun In Hoan. Dia..”
Tubuh Tiang Keng gemetar
"Ban Biauw Cin-kun In Hoan!" kata Tiang Keng terlepas bicara. "Bukankah dia orang tua yang berkopiah imam dengan tubuh tinggi besar dan kumis serta jenggot panjang pecah lima. Dia selalu memakai jubah seorang imam?"
Un Kin mengangguk, tapi ia agaknya heran.
'Kau tak kenal dia. sebaliknya dia mengenalimu!" kata Un Kin. Baru sekarang Tiang Keng ingat, orang berkopiah tinggi yang mengaku bernama Kho Koan le-su itu adalah Ban Biauw Cin-kun In Hoan. Dia salah satu musuh ayah dan ibunya.
Sekejap saja perasaan Tiang Keng jadi tak enak.
Berbagai perasaan berkecamuk di otaknya. Dia heran mengapa imam itu bersandiwara di depannya? Sekalipun cerdas, karena Tiang Keng masih muda ia berhasil dibuat pusing kepala.
Un Kin tak mengetahui apa yang ada di pikiran anak muda ini Ia tak tahu masalah itu jadi sulit dan berbelit-belit.
"Ban Biauw Cin-kun kenal baik dengan guruku." kata si nona. "Dulu ia sering datang ke mari. Tapi kemudian ia tak pernah datang lagi. hingga aku tak pernah melihatnya lagi. Tentang dia kuketahui dari guruku dan beliau sedang mencarinya! tiba-tiba ia muncul, tapi bukan mencari guruku, tapi justru dia datang menemuiku. Bukankah itu aneh sekali? Begitu dia berhadapan denganku, ia tertawa. Kemudian dia bertanya kepadaku. "Apakah kau tahu nama a\ah dan ibumu. Maukah kau kuberitahu?”
Sesudah itu Un Kin menghela nafas panjang. Tak lama dia sudah melanjutkan ceritanya
"Setelah aku dewasa, pertanyaan itu selalu ada di benakku.
Pertanyaan itu menggangguku, apakah aku sedang duduk atau kapan saja. lak pernah sesaat pun aku melupakan masalah itu. Sebenarnya aku curiga pada Ban Biauw Cin-kun. namun pertanyaannya menggodaku. Itu pertanyaan yang menusuk hatiku!"
Tiang Keng berpikir keras, ia juga jadi pusing oleh masalah si nona ini. Oleh karena itu ia diam mendengarkan saja.
Sampai si nona berhenti bicara ia tetap diam Bahkan ia lupa saat itu mereka masih berlutut dan berhadapan mereka tak ada yang ingat untuk bangun..... "Aku tertarik oleh pertanyaannya itu," kata Un Kin. "Maka aku minta agar dia memberitahuku. Tapi kembali ia tertawa. Dia bersedia memberitahuku, asal aku mau melakukan sesuatu untuknya. Dia minta agar aku melepaskan anak muda yang tertangkap oleh guruku. Aku kira anak muda itu telah berbuat salah pada guruku, jika tidak untuk apa guruku menangkap dia sebagai murid Ban Biauw. Aku tahu Ban Biauw lihay sekali, tapi ia takut menemui guruku. Malah dia minta bantuanku, untuk itu dia bersedia membuka rahasia tentang orang tuaku yang selama ini jadi rahasia bagiku. Ucapannya menarik hatiku. Jangankan hanya melepaskan pemuda itu. masalah yang berlipat ganda dari itu pun. aku bersedia melakukannya. Semua demi aku bisa mengetahui tentang kedua orang tuaku."
Tiang Keng mengerutkan alisnya.
"Jadi kau telah lepaskan anak muda she Gim itu?" tanya Tiang Keng.
Un Kin mengangguk. "Benar," katanya. "Kemudian?" kata Tiang Keng.
Un Kin membuka kedua matanya, la tahan air matanya agar tak keluar, ia kembali menghela nafas.
"Lalu ia memberitahuku nama dan she kedua orang tuaku, ia juga bilang kedua orang tuaku itu binasa di tangan seseorang." kata si nona. "Aku kaget dan berduka. Aku menyesal aku tak bisa segera menemui musuh besarku. Saat itu muridnya mengawasiku dan sinar matanya bermaksud buruk. Aku bersikap sabar. Lalu aku tanya siapa musuh besarku itu?"
Tiang Keng mengerutkan alisnya. Dia heran dan masgul. "Apa ia memberitahukannya?" tanya Tiang Keng.
"Tidak!" jawab si nona.
"Mengapa ia tak memberitahumu?" tanya Tiang Keng lagi. Kembali Un Kin menarik nafas. "Mendengar pertanyaanku itu. dia menunjukkan wajah berduka. Justru saat itu kami mendengar langkah kaki mendatangi. Dia kaget sekali, dia tarik tangan muridnya, sambil berkata, sebaiknya aku tanyakan hal ini pada To Tiang Keng! Kemudian ia kabur bersama muridnya. Ah sungguh hebat ilmu meringankan tubuhnya. Dia membawa orang tapi toh aku tak mampu mengejarnya. Di samping itu aku juga kuatir guru tahu. aku yang melepaskan anak muda itu. Dengan terpaksa aku kembali ke kamarku. Aku berduka, bingung dan menyesal. Aku juga penasaran sekali. Selain itu aku jadi berpikir, siapa To Tiang Keng? Ke mana aku harus mencarinya? Kepalaku jadi pusing. Sampai terang tanah (pagi) aku tak bisa tidur lagi."
Air mata si nona terus mengalir hingga setiap saat ia harus menghapus dengan tangannya.
"Tadi aku bertemu dengan guruku." kata si nona melanjutkan. "Suhu sedang gusar karena pemuda tawanannya hilang. Aku tutup mulut. Tapi diam-diam aku membuat leng- pay orang tuaku, agar rohnya tenang... Mulutku sembahyang tapi otakku bekerja keras. Tak habisnya aku memikirkan musuh besarku itu Aku juga berpikir, siapa To Tiang Keng? Ke mana aku mencarinya?"
Ia menatap ke arah si anak muda.
"Kau datang ke mari, hatiku jadi tak enak." kata si nona lagi. "Aku tak ingin bermusuhan denganmu. Siapa sangka ... kau justru bernama To Tiang Keng!"
Si nona berhenti bicara, kepalanya ditundukkan. Tiang Keng mengawasi si nona. otaknya bekerja.
"Ban Biauw Cin-jin berbuat begitu. dengan demikian dia telah mengatur siasat." pikir Tiang Keng. "Aku tahu maksud Ban Biauw. jelas ia ingin kami bersatu untuk bersama-sama menghadapi Un Jie Giok! Un Jie Giok benci pada Ban Biauw. karena itu Ban Biauw ingin membunuhnya dengan tangan orang lain. Tapi Ban Biauw licik, ia pikir aku bukan tandingan Un Jie Giok, maka ia berupaya agar aku bergabung dengan Un Kin.
Barang kali juga dia senang jika aku bisa menyingkirkan Un Jie Giok. Rupanya dia
takut aku gagal, maka dia berjaga-jaga. Dia juga takut Un Jie Giok tahu kalau yang
membocorkan rahasia orang tua Un Kin itu dirinya. Maka diam-diam dia suruh Un
Kin menanyakan padaku. Ah sungguh licin Ban Biauw ini.
Dia mirip dengan ular berbisa dan kalajengking!"
0oo0
Biauw Cin-kun In Hoan tidak takut pada Tiang Keng. tetapi yang dia takutkan adalah Un Jie Giok. Lalu ia membuat rencana, la tak peduli seandainya Tiang Keng mati di tangan Un Jie Giok. Sebenarnya dia pun berencana akan membunuh anak muda itu. Bukankah pemuda itu pun musuhnya? Hanya In Hoan belum tahu jelas siapa Tiang Keng sebenarnya.
Sudah biasa In Hoan membunuh orang dengan meminjam tangan orang lain. begitu pun kali ini. Apapun hasil siasatnya ia tak akan rugi.
Tiang Keng sadar, ia jadi benci pada In Hoan. Ia anggap In Hoan jauh lebih jahat dari Un Jie Giok.
Nona Un menghela nafas.
"Semuanya telah kujelaskan padamu, sekarang tinggal kau menjelaskan padaku. .." kala si nona.
Tiang Keng mengawasi si nona. ia lihat mata si nona sangat memohon. Saat Tiang Keng akan memberikan jawaban, tiba-tiba di luar terdengar suara bentakan. "Tak peduli kau siapa, jika kau memaksa masuk, kau akan merasakan senjataku ini!" begitu suara itu.
Itu suara To-su Tauw-to.
Kedua muda-mudi itu kaget, sekarang mereka sadar mereka sedang berhadapan sambil berlutut. Tiba-tiba keduanya bangun hampir bersamaan. Keduanya saling mengawasi. Mereka dengar suara ribut di luar serta suara beradunya senjata yang sedang bertempur....
Tak ayal lagi Tiang Keng mengibaskan tangannya memadamkan api. pelita itu jatuh ke lantai.
Un Kin diam pikirannya kacau. "Siapa? Siapa itu?" tanya Un Kin.
Suara pertempuran makin hebat, begitu juga bentakan si pendeta. barangkali ia sedang bertarung dengan musuh yang tangguh.
Kemudian terdengar suara tawa dingin yang disusul oleh kata-kata nyaring dan tajam.
"Aku sudah tahu, kau bukan orang baik, pendeta. Aku tak mengira kalau kau mata-mata musuh dan seorang pengkhianat!" kata suara itu.
Menyusul suara bentakan itu, ada suara bentakan yang lain. suaranya keras bagaikan suara gembreng pecah.
"Hai kalian kedua bocah, lekas keluar! Hm! Jika kalian berpikir akan main gila di sini. kau benar-benar buta!" kata suara itu.
Tiang Keng kaget.
"Barang kali orang sudah tahu kita ada di sini?" kata Tiang Keng pada si nona. la jadi sangsi. Sebelum ia mengambil sikap, ia dengar lagi suara keras itu. "Di sini! Di sini. Saudara Gu. saudara Siauw, lekas! Kedua bocah itu sudah kabur turun gunung!"
Mendengar suara itu Tiang Keng jadi bertambah heran. "Siapa yang turun gunung?" pikir Tiang Keng. "Jadi yang
dimaksudkan orang-orang itu bukan kita berdua, lalu siapa mereka itu?"
Un Kin juga heran dan sangsi, la tahu orang-orang yang ada di luar sana adalah orang-orang gurunya. Dia juga tahu yang mereka kejar-kejar bukan dia dan Tiang Keng tapi orang lain. sekarang mereka tak terlihat. Dia juga sangsi sambil berdiri diam dan tak tahu apa dia harus keluar untuk menyingkir atau tetap diam saja....