BAB 29. PENYUSUPAN TIANG KENG AKHIRNYA TERBONGKAR
Kereta besar itu sudah memasuki wilayah pegunungan.
Jalan semakin sulit, tapi si kusir bisa mengendalikan kereta itu karena ia sudah tahu dan hafal jalannya, namun keretanya berjalan agak perlahan sedikit. Tiang Keng sudah menduga orang itu Ban Biauw Cin-jin, tapi setelah mendengar suara si nona bandel ia jadi lebih yakin lagi.
"Kau benar-benar pintar," kata si enci. "Lalu apa kau kira selain kau orang lain tak tahu juga? Awas jika rahasia ini diketahui orang lain!"
"Jangan khawatir, Ci! Sekalipun aku diancam akan dibunuh, aku tak akan buka rahasia!" kata si bandel.
"Hm!" si enci berdehem. "Tak kusangka, begitu gampang Couw-koh bisa dikelabuinya," kata seorang nona yang tak pernah tedengar suaranya ikut bicara. "Aku sudah menduga lama si imam bukan orang baik, seumur hidupku aku tak ingin kenal dengan segala pria"
Si enci kagum pada ucapan nona itu. "Bukan aku tidak tahu orang she In itu mengincar baang-barang Couw-koh," kata dia sambil menghela naFas.
"tapi apa yang bisa kita lakukan? Aku kira Couw-su kesepian seorang diri, hingga ada baiknya jika ada pria yang menghiburnya "
"Aku tak berpikir sampai di situ," kata si bandel, "kau tahu banyak, Ci! Coba kau katakan apa lagi itu.”
Si enci bicara perlahan. "Tahukah kalian pemuda berbaju kuning itu murid siapa?" tanya dia.
"Oh!" semua nona mengeluarkan suara heran. "Bukankah dia murid orang she In?" kata seorang nona.
"Benar," kawab si enci. suaranya perlahan. "Dia murid orang she In sahabat Couw-koh itu Nah kalian pikir saja
sendiri, apakah itu tidak aneh. Mengapa Couw-koh mengurung pemuda itu?"
Tak lama terdengar bisik-bisik, mungkin orang sedang menerka-nerka.
Tiang Keng yang berada di atas kereta semakin mengerti. Ia berpikir, setelah berhasil menguasai harta Un Jie Giok, si jelek, Ban Biauw tak sudi kencan dengan si jelek itu, lalu ia bersembunyi. Karena itu Un Jie Giok jadi kesepian. Ini berbahaya. Cinta itu seperti air bah, setelah banjir hebat tak ada yang akan mampu membendungnya...
Setelah berpikir begitu, ia mengawasi ke sekelilingnya, terutama ke depan. Ia sadar ia sudah tiba di tempat tujuan. Itu berarti akan tiba saatnya ia berhadapan dengan bahaya baru. Tak heran ia jadi tegang.
Sekian lama nona yang ada di kereta itu bungkam. "Mengapa mereka diam?" pikir Tiang Keng. "Apa mereka
berduka memikirkan Couw-kohnya atau sedang memikirkan
yang lain0"
Kereta terus melaju, guncangannya semakin terasa, suara roda semakin berisik. Di seluruh tempat keadaannya sunyi, sampai suara kutu malam pun tak terdengar....
Saat sesunyi itu tiba-tiba terdengar suara nyaring, "Berhenti!"
Suara itu bekumandang jauh di seluruh lembah, telinga Tiang Keng serasa mendengung. "Berhenti! Berhenti!" kembali teriakan itu berkumandang berulang kali.
Sais langsung berseru dan menahan les kudanya. Keempat kuda itu menahan langkah mereka, kaki depannya terangkat dan kereta pun mendadak berhenti sambil mundui sedikit.
"Siapa?" terdengar suara bentakan dari dalam kereta.
Tak lama melompat beberapa bayangan dari dalam kereta.
Dari dalam rimba sejenak sunyi, tak lama terdengar suara nyaring.
"Apa kalian sudah mati semua? Mengapa kalian sampai tak tahu ada orang yang membonceng di belakang kereta kalian? Apa benar-benar kalian tak mengetahuinya?" kata suara itu nyaring sekali.
Tiang Keng terkejut, ia sadar telah kepergok. Tapi ia belum tahu siapa orang lihay itu, maka ia menoleh ke arah rimba untuk melihatnya
Semua bayangan itu adalah bayangan nona-nona di kereta, mereka berdiri tegak di kedua sisi kereta, mata mereka mengawasi ke arah rimba. Merekajuga kaget oleh suara bentakan peringatan itu.
Dari dalam rimba terdengar suara tawa, disusul suara nyaring bagaikan suara genta, "Sahabat yang membonceng kereta, apa kau tetap ingin bersembunyi di sana dan tak mau turun?" kata suara itu.
Tiang Keng sadar ia tak bisa bersembunyi terus, tapi ia tak turun dari kereta, malah melompat ke atas atap kereta.
Kemudian ia mengawasi ke arah rimba dengan tajam, ia pun menegur. "Sahabat yang ada di dalam rimba, kau juga sudah seharusnya keluar dari persembunyianmu!" kata Tiang Keng.
Kawanan nona-nona itu kaget mendengar teriakan Tiang Keng itu Mereka berseru dan berniat melompat ke atas kereta. "Tahan!" kata suara dari dalam rimba.
Tak lama terlihat dua orang muncul dari dalam rimba.
Mereka adalah seorang imam dan seorang pendeta. Yang satu bertubuh pendek dan yang lainnya jangkung. Yang satu kurus kering dan yang satunya gemuk sekali. Yang kurus mirip rebung memakai Ka-see atau jubah pendeta, sedang yang seorang lagi mengenakan pakaian gerombongan dan di pinggangnya terselip golok Kay-too, golok istimewa gegaman (senjata) seorang pendeta. Sedang wajahnya pucat tak mirip manusia yang masih hidup..
Si kate dan gemuk mengenakan jubah imam yang pendek dan ringkas, sedangkan rambutnya kusut. Dia kelihatan seperti orang yang baru bangun tidur. Di pinggang si kate tergantung sebuah pedang yang lebih pendek dari pedang biasa. Sarung pedang itu hitam mengkilap, bukan dari kulit maupun logam. Selain tubuh mereka yang berbeda, suara mereka pun berbeda, ada yang nyaring ada keras. Mereka muncul secara bersamaan dan mereka pun jadi berendeng. Hingga perbedaan mereka jadi makin mencolok, hebatnya suara mereka menyeramkan.
Melihat kedatangan kedua orang itu, Tiang Keng keheranan.
"Siapakah mereka ini?" pikir Tiang Keng.
Ketika nona-nona itu sudah melihat tegas siapa mereka, keadaan jadi sunyi dan nona-nona itu segera membungkuk memberi hormat. Sikapnya hormat sekali.
Si pendeta dan si iman menghampiri Tiang Keng sambil tertawa dingin. Sediktpun ia tak menghiraukan nona-nona berpakaian merah itu. Mereka langsung berjalan ke arah kereta, kemudian mengawasi ke arah Tiang Keng. Si imam tertawa geli, ia menoleh ke arah si pendeta sambil tertawa terus. "Ah kiranya dia bocah yang tampan sekali," kata si imam. "Hwee-shio tua, pasti kau akan merasa kasihan. Tapi sayang nafsu membunuhku tak pernah hilang!"
Kata-kata itu tak sedap bagi telinga Tiang Keng. Dengan sangat dongkol Tiang Keng membentak.
"Kalian bersedia bersembunyi di dalam rimba, apa mau kalian?" kata Tiang Keng. "Kalian orang Rimba Persilatan, tapi mengapa kelakuan kalian begini..." Tiang Keng tak meneruskan kata-katanya. Sebenarnya ia akan mengatakan tak tahu malu, tapi tak jadi ia katakan.
Imam itu tak menjawab malah tertawa.
Pendeta kurus kering itu maju sambil melambai-lambaikan tangannya yang kurus kering, mencegah si imam menjawab kata-kata anak muda itu. Sedang matanya yang beralis pendek dengan tajam mengawasi ke arah Tiang Keng.
"Eh, bocah," katanya. "Mengapa kau bicara tanpa aturan? Bukankah kau yang bersembunyi di belakang kereta orang, mengapa kau malah menegur kami?"
Ia menggapai dua kali dan berkata lagi.
"Mari turun, Loo-kap ingin bertanya padamu! Mengapa kau bersembunyi di belakang kereta orang? Apa kau hendak berbuat busuk atau kau "
Tapi sebelum kata-kata pendeta kurus itu selesai. Tiang Keng sudah membentak dengan keras.
"Tutup mulutmu!" bentak Tiang Keng.
Nona-nona itu geli. Mereka ingin tertawa tapi mereka segera menutup mulut dengan tangan mereka.
Pendeta kurus itu tak peduli kata-katanya dipotong oleh Tiang Keng, ia bicara terus. "Bocah, bagaimana pun kau telah bersembunyi di belakang kereta orang, pasti kau berniat jahat! Jika aku menuruti adatku seperti dulu, kau sudah kubunuh. Sekarang aku penganut agama Buddha, hatiku sudah lemah, aku tak ingin menghinamu yang masih muda belia. Tak pantas kau yang masih semuda ini, harus kehilangan jiwa " kata si pendeta
kurus.
Mendadak imam gemuk tertawa.
"Apa kubilang," kata si imam. "Kiranya kau menaruh belas kasihan padanya. Dasar hatimu lemah! Baiklah, aku pandang mukamu, maka akupun tak jadi membunuhnya!" kata si imam.
Tiang Keng mendongkol karena kedua orang itu bicara seenaknya seolah Tiang Keng sudah berada di tangan mereka. Tiang Keng hendak menjawab kata-kata hinaan itu, tapi si pendeta kurus kering dengan matanya yang tajam mengawasi dia. "Hai imam tua, makin tua kau makin tak karuan. Dengan begitu apakah kau masih seorang suci?" kata si pendeta kurus.
Mau tak mau seyelah mendengar ucapan si kurus, nona- nona itu akhirnya tertawa juga, karena mereka anggap kata- katanya lucu seperti juga tubuh mereka.
Imam gemuk mengawasi dengan bengis, lalu ia mengangkat bahu, pipinya bergerak-gerak. Tak demikian dengan si kurus yang memang seolah tak berdaging.
Tiang Keng mengawasi ke arah kedua orang itu. Ia tak kenal mereka, tapi dari gerak-geriknya ia yakin mereka ini lihay. Pasti mereka ini dua orang undangan Un Jie Giok.
Dengan tajam ia awasi mereka dan sikap Tiang Keng tenang sekali. Ia tak marah seperti tadi. malah sekarang ia bersikap waspada dan siap sedia. Ia tak ingin kedua orang itu jadi gusar.
Pendeta kurus memutar-mutar matanya. Ia menatap tajam ke arah Tiang Keng dan berkata, "Loo-lao berjodoh denganmu! Seharusnya kau kubunuh, tapi sekarang tidak! Tapi dengan cara kau harus mengangkat aku menjadi gurumu! Maka dengan demikian, selain kau akan mendapat ilmu silat yang istimewa, kau juga akan menikmati kesenangan yang istimewa!"
Tiang Keng berusaha menahan kemarahannya, lalu ia tertawa.
"Baik, baik. Kau akan kuangkat menjadi guruku!" kata Tiang Keng. "Tapi ada syaratnya, kalian harus menyebutkan siapa kalian, setelah aku tahu siapa kalian, dengan demikian aku bisa menimbang-nimbang apakah kau pantas menjadi guruku atau tidak?"
Pendeta itu tertawa menyeramkan.
Tempat itu sunyi karena terdengar tawa si pendeta itu. maka keadaan jadi menyeramkan.
"Kau masih begini muda, sudah jelas kau tak kenal siapa Loo-lap?" kata si pendeta. "Apa gurumu tak pernah cerita tentang kami berdua?"
Berbareng dengan selesainya ucapan si pendeta, terdengar suara, "Sreet!" Tahu-yahu tangan si pendeta kurus sudah memegang golok Kay-too yang panjangnya lima kaki, tak lama ia memainkan golok yang panjangnya lebih panjang dari golok biasa.
Si imam gemuk tertawa sambil berkata," Jika kau belum juga mengenali kami, kau lihat ini!"
Tak lama terdengar suara orang menarik senjata dari sarungnya, ia kini telah memegang pedang pendek setelah ia hunus dan cahayanya berkilauan. Itu pedang luar biasa, selain pendeknya yang istimewa, juga pipih sekali dan kedua sisinya tajam sedangkan lebar pedang dua kali lebih besar dari pedang biasa, hingga mirip dengan tameng Kun-goan-pay. Sekarang muncul lagi keanehan lain selain kedua orang itu sudah aneh. senjata mereka pun aneh sekali. Tian-Keng mengawasi dengan tajam terutama pada senjata mereka. ..
0oo0