BAB 07. IN TIONG TENG BERTEMU DENGAN TO TIANG KENG
Api berkobar-kobar makin hebat. Di rumah-rumah itu sudah tidak terdengar lagi suara jeritan lagi kecuali rintihan yang menyayatkan hati dari beberapa orang yang bergeletakan di tanah. Rintihan mereka sudah sangat lemah, pertanda bahwa mereka akan segera menghembuskan nafas terakhir.
Tiba-tiba terlihat sepotong balok besar roboh. Suaranya sangat berisik. Tiong Teng diam saja. Dia seperti tak mendengar suara robohnya balok besar tersebut. Dia terpesona oleh pemandangan yang sangat mengenaskan itu. Karena belum pernah dia menyaksikan kejadian seperti itu.
Hawa api itu panas sekali tapi Tiong Teng justru merasakan kaki dan tangannya dingin. Kemudian dia menghampiri seorang yang paling dekat dengannya. Dengan tangan kanan memegang pedang, dengan tangan kirinya dia rabah bahu korban api itu. Pakaian orang itu sudah terbakar habis, kulitnya melepuh dan dadanya terluka parah. Orang itu bertubuh besar dan kekar tapi dia tidak sanggup melawan panasnya api tersebut. Ketika bahunya diangkat, dia menjerit keras. Matanya dibuka lebar, ia mengawasi Jin Gie Kiam-kek Tiong
Teng. Dia membuka mulut tetapi tidak dapat mengucapkan sepatah kata pun.
Tiong Teng mengawasi orang itu sambil menghela napas. Dia mengenali korban api itu ialah Teng Toa-ya, ketua dari Ang Kin Sam Kiat, salah satu dari tiga jago Ang Kin Hwee (Perkumpulan Ikat Kepala Merah). Baru tiga bulan yang lalu dia melihatnya dijalan Kang-lam saat orang she Teng itu sedang mengayunkan cambuk mengaburkan kudanya. Dia tersohor di dunia Kang-ouw, tapi sekarang hampir mati...
Sekalipun orang she Teng ini jahat. Tiong Teng merasa kasihan juga melihat keadaannya. "Saudara Teng, apakah kau masih kenali aku?" Tiong Teng bertanya sambil menghela napas. "Bagaimana peristiwa ini terjadi? Siapa yang telah mencelakakanmu?"
Mata jago Kawanan Ikat Kepala Merah itu memain, mulutnya bergerak-gerak tapi dia tetap tidak dapat bicara.
"Bukankah pelakunya dari golongan Koay Too Hwee?" tanya Tiong Teng.
Koay Too Hwee adalah perkumpulan si Golok Cepat. Teng Toa-ya menggelengkan kepalanya.
"Apakah mereka dari Hek Bie Tan?"
Tiong Teng bertanya lagi. "Mungkinkah dari Thay Ouw Sha- cap-lak Cee? Atau dari Thian Im Kauw?"
Semua pertanyaan itu dijawab dengan gelengan kepala oleh orang she Teng itu.
Tiong Teng mengawasi, dia bingung dan berduka. Dia jadi terkejut. Tiba-tiba dia lihat tubuh orang itu bergerak-gerak, kemudian diam. Itu tanda jiwanya sudah melayang. Untuk kesekian kalinya, Tiong Teng menarik napas panjang. Dia lepaskan rangkulan tangannya.
Teng Toa-ya mati dengan mata mendelik. Sinar matanya tertuju pada suatu arah, rupanya di saat terakhir, dia seperti melihat sesuatu.
Tiong Teng terperanjat, buru-buru dia menoleh. Dia rasakan ada angin bertiup. Dia tidak melihat orang tapi dia melihat sebuah mutiara kecil menggelinding di tanah. Sinarnya merah seperti darah. Dengan cepat Tiong Teng melompat maju. Justru saat itu juga, di depan dia terlihat ada bayangan orang melompat. Bahkan bayangan itu mendahului dia setengah langkah! Tiong Teng keheranan. Dia terpaksa membatalkan niatnya untuk maju lebih jauh. Dia berdiri diam mengawasi, rasa herannya jadi bertambah hebat hingga dia tertegun sejenak.
Dua orang nona telah berdiri di hadapannya. Mereka itu adalah dua nona berpakaian serba merah yang datang ke rumahnya sambil membawa rupa-rupa bingkisan. Kedua nona itu yang mengepalai tarian Ni-tong Sian-bu saat meladeni Gim Soan si pemuda berbaju kuning berkelahi.
Nona yang satu berdiri sambil tersenyum manis. Kawannya memegang mutiara itu yang tadi dipungut dari tanah. Dia juga tersenyum manis berseri-seri. Nona itu mengawasi Tiong Teng seperti kawannya.
Kedua nona itu buru-buru menutupi mulut mereka dengan tangannya untuk mencegah suara tawanya keluar. Dia memberi hormat pada Tiong Teng, kemudian nona yang satu berkata dengan suara merdu.
"Aku kira siapa, tidak tahunya In Siauw-hiap! Mengapa Siauw-hiap juga datang ke mari? Lihat, mutiara ini indah sekali, sangat menarik hati! Apakah ini milik Siauw-hiap? Bolehkah mutiara ini dihadiahkan saja pada kami berdua?"
Tiong Teng segera dapat menenangkan diri. Buru-buru dia membalas hormat kedua nona itu.
"Belum lama aku tidak melihat kalian berdua Nona-nona, ternyata kau jadi semakin manis!" kata Tiong Teng sambil tertawa. "Kenapa Nona-nona tertarik pada tempat yang berlumuran darah seperti ini?"
Mereka tidak menjawab hanya balik bertanya. Kedua nona itu tertawa geli. Nona yang berdiri di sebelah kiri mengantongi mutiara itu ke dalam sakunya.
Melihat hal itu, alis Tiong Teng berkerut. Melihat kelakuan Tiong Teng, mereka tertawa geli.
"In Siauw-hiap," kata nona itu dengan manis. "Karena kau tidak mengatakan mutiara ini milik Siauw-hiap, maka kami hendak menyimpannya."
Nona yang di sebelah kanan menoel pipinya yang merah dadu sambil tertawa.
"Lihatlah, In Siauw-hiap, bukankah mukaku ini tebal sekali?
Melihat barang bagus langsung diambil dan dimiliki sendiri!"
"Bukankah kau sendiri ikut berebut denganku?" kata si nona yang ada di sebelah kiri itu. "Tapi kau gagal, lalu kau iri, bukan? In Siauw-hiap, aku kasih tahu padamu, di seluruh kolong langit ini, dia ini orang yang paling tebal kulit mukanya!"
Tiong Teng berdehem.
"Mutiara itu bukan milikku, cuma...," kata Tiong Teng.
Tiba-tiba Tiong Teng berhenti bicara. Tapi tak lama, dia melanjutkan ucapannya. "Pasti mutiara itu harus jadi milik kalian. Nona-nona!" kata Tiong Teng.
Nona yang berdiri di sebelah kiri tersenyum, sinar matanya berputar-putar.
"Terima kasih!" kata si nona.
Tapi tiba-tiba dia kelihatan kaget, muka nona itu berubah jadi pucat, matanya mengawasi mendelong ke satu arah.
Nona yang berdiri di sebelah kanan sama kagetnya dan matanya pun mengawasi ke arah yang diawasi oleh si nona yang ada di sebelah kirinya.
Buru-buru Tiong Teng berpaling ke arah yang diawasi oleh kedua nona itu. Segera dia jadi kaget dan heran, hampir saja Tiong Teng tak percaya pada sepasang matanya sendiri.
Dari arah api yang sedang berkobar-kobar itu terlihat seorang sedang mendatangi. Dia bertubuh jangkung, matanya tajam dan bagus. Dia mengenakan baju panjang berwarna abu-abu agak mengkilat. Pakaiannya begitu juga kopiahnya yang warnanya serupa, tidak dimakan api. Dia berjalan dengan tenang-tenang saja.
Pertama-tama orang itu memandang ke arah kedua nona itu. baru dia memandang tajam ke arah pedang lunak yang ada di tangan Tiong Teng. Kedua nona itu mengawasi orang itu. tetapi tidak lama. Mereka sudah pulih ketenangannya, bahkan keduanya bisa tersenyum lagi.
"In Siauw-hiap," kata nona-nona itu sambil tertawa manis. "Kami mohon diri dulu. Nanti, selang dua hari. kami akan berkunjung ke tempat In Loo-ya-cu. Kami minta tolong kau sampaikan saja hormat kami kepadanya!"
Sambil berkata begitu, empat mata nona-nona itu bergerak-gerak. Kemudian mata mereka menyapu ke arah anak muda berbaju abu-abu itu Sesudah itu keduanya bergerak untuk angkat kaki dengan cepat.
Pemuda berpakaian abu-abu itu tersenyum, air mukanya menunjukkan bahwa dia kagum dan tertarik pada kedua nona itu. Mungkin karena kecantikan mereka atau kegesitannya, atau untuk kedua-duanya. Tapi dia tidak terus mengawasi ke arah kedua nona itu karena mereka sudah lenyap dengan cepat. Dia memutar tubuh menghadapi Tiong Teng untuk memberi hormat sambil menjura.
"Maafkan aku," kata dia sambil tertawa. "Bukankah aku sedang berhadapan dengan Jin-gie Kiam-kek In Siauw-hiap In Tiong Teng?"
Tiong Teng tidak segera menjawab. Dia heran orang bisa mengenali dirinya.
Pemuda itu tersenyum.
"Aku baru merantau, aku masih asing pada Dunia Rimba Persilatan," kata si baju abu-abu. "Meskipun begitu, nama siauw-hiap sudah tidak asing lagi bagiku, terutama aku mengenali pedang siauw-hiap yang luar biasa itu. Bukankah itu Liong-bun Joan-kiam? Tentang pedang itu, telah lama aku mendengarnya, dari almarhum Ayah dan guruku. Tak heran aku segera bisa mengenalimu, Siauw-hiap."
"Oh, kiranya dia mengenali pedangku...," pikir Tiong Teng.
Karena itu rasa herannya seketika jadi berkurang. Tapi dia tatap orang itu. Dia mengawasi orang dari atas ke bawah. Dia berhadapan dengan seorang pemuda tampan dan ramah.
Tanpa terasa segera timbul kesan baiknya. Dia yakin orang ini pasti lihay sekali.
"Aku yang rendah benar In Tiong Teng," jawab Tiong Teng kemudian. "Apakah saudara suka memberitahukan padaku she dan nama saudara yang mulia serta siapa guru saudara yang terhormat?"
Sambil berkata begitu, Tiong Teng menyarungkan pedangnya ke pinggangnya. Tiba-tiba si anak muda menghela napas. "In Toa-ko," kata pemuda itui. "Apa benar kau ini In Toa-ko. Apa kau sudah tidak mengenaliku lagi? Pada sepuluh tahun yang lalu, aku Tiang Keng telah merepotkanmu, aku minta diajari dua jurus ilmu pedang In Bun Kiamhoat padamu..."
Tiong Teng terkejut hingga dia melompat mundur. Tak lama dia sudah melompat maju lagi, untuk menyambar tangan orang itu dan dipegang erat-erat.
"Oh, kiranya kau adik Tiang Keng!" Tiong Teng berseru. "Sepuluh tahun sudah kita tidak bertemu, bukan main lamanya aku memikirkan kau! Adik Tiang Keng, kenapa kau datang ke mari? Selama sepuluh tahun ini ke mana saja kau pergi? Apakah Loo-pee baik? Begitu cepat sang waktu berlalu, sekarang kau telah jadi begini besar dan tampan, bahkan kau lihay sekali! Aku Kakakmu dan sekarang telah tua..."
Bukan main girangnya Jin-gie Kiam-kek Tiong Teng.
Pemuda di depannya ini ternyata putera dari Tiong-goan Tay- hiap To Ho Jian yang terus jadi pikiran ayahnya siang dan malam. In Kiam mengharap-harap kedatangannya. Dia masih menatap wajah orang itu. Tiong Teng melihat selain rasa girang, tampak juga perasaan duka yang samar terpeta di wajahnya. Tiong Teng juga merasakan tangan Tiang Keng yang dia cekal sedikit gemetar. Tiong Teng yakin perasaan pemuda ini sedang tak tenang.
"Adik Tiang Keng kau... kenapa?" tanya Tiong Teng cepat saat orang itu diam saja. "Apa mungkin Loo-pee "
Tiong Teng kaget sendiri atas pertanyaannya itu. Padahal tadi Tiang Keng berkata tentang ayahnya dengan menyebut kata "almarhum".
Kedua mata Tiang Keng segera basah. Dia mengangguk perlahan, air matanya meleleh turun.
"Benarkah Ayahmu telah tiada?" Tiong Teng menegaskan.
Tiang Keng sangat berduka karena pertanyaan itu. Mungkin dia ingat pada peristiwa sepuluh tahun yang lampau di kaki gunung Sie Sin Hong. Kini kejadian itu terbayang kembali di depan matanya.
Itu peristiwa yang sangat hebat dan menyedihkan. Saat itu dia kehilangan ayah dan ibunya secara berbareng. Kematian ayah dan ibunya itu menyakitkan hatinya dan sangat mengenaskan. Karena itu, selang sepuluh tahun dia kini telah berubah dari orang biasa menjadi seorang yang luar biasa.
Sudah sekian lama dia menahan hati untuk tidak menangis apabila dia teringat pada orang tuanya. Tetapi sekarang ketika ditanya oleh sahabat lamanya, kesedihannya datang kembali secara tiba-tiba. Dia tidak sanggup menahan tangisnya lagi.
"Toa-ko," kata ia kemudian. "Ayah dan Ibuku telah menjadi korban orang jahat, keduanya telah meninggal pada sepuluh tahun yang lampau di kaki Sie Sin Hong gunung Hong-san "
Tiang Keng agak sulit mengeluarkan kata-katanya itu. Mendengar keterangan itu Tiong Teng kaget bagaikan orang disambar geledek. Ia berdiri bengong. Jika bukan Tiang Keng sendiri yang bicara, dia tidak akan percaya, apa benar To Ho Jian telah binasa secara mengenaskan.
Keduanya sama-sama diam, mereka saling berpegangan tangan. Tiang Keng merasakan hangatnya tangan orang yang ada di hadapannya itu.
Lewat sekian lama, pemuda she To lebih dulu membuka mulut.
"Toa-ko, mari antar aku ke tempat Loo-pee..." kata Tiang Keng perlahan.
Tiong Teng bagaikan baru sadar dari lamunannya. "Mari!" dia mengangguk.
Mereka memutar tubuh untuk berjalan bersama. Saat itu Tiong Teng telah melupakan peristiwa barusan. Cahaya api memancar di belakang kedua orang itu. Mereka berjalan bersama di tempat yang sunyi itu.
Tangan mereka berdua masih saling bergandengan.
Sekarang mereka merasakan tangan mereka masing-masing mulai terasa dingin.
"Adik," kata Tiong Teng sambil berhenti sebentar sesudah mereka berjalan sekian jauh. "Jika sebentar kau bertemu dengan Ayahku, jangan bilang dulu tentang Ayahmu sudah menutup mata. Ayahku sudah berusia lanjut, aku khawatir dia tidak kuat mendengar berita hebat itu.. ,"
Tiang Keng mengangguk. Dia memang sudah tahu "To-pie Sin-kiam" sangat sayang pada ayahnya, seperti juga ayahnya pun sangat hormat pada saudara angkatnya yang lebih tua itu. Sahabat ayah Tiang Keng banyak, tapi tidak ada yang melebihi kasih sayang jago tua she In itu. Tiang Keng bersedih atas kematian ayahnya itu. Dia anggap ayahnya bisa dibanggakan. Dia yakin tidak ada orang seperti ayahnya yang begitu mengasihinya.
0oo0