Jilid 28
SEMENTARA berpikir sampai kesitu, terdengar Cu thong berkata sambil tertawa, “Liong ji, kau benar-benar punya rejeki bagus! Ada seorang gadis secantik itu yang memanggil Pek loji sebagai gwakong, aku yakin saking girangnya Pek loji sampai tak tahu apa yang musti di lakukan” Kata-kata tersebut dilakukan secara terang-terangan tanpa tedeng aling-aling, tentu saja hal ini membuat Coa Wi-wi jadi amat jengah hingga tak sanggup mengangkat kepalanya.
Beberapa orang itu bercakap-cakap sendiri tanpa mengindahkan kalau disana hadir pula orang-orang Hian- beng-kauw dan Mo-kauw, hal ini tentu saja membuat Hong Liong dan Beng Wi-cian jadi tak enak hati.
Beng Wi-cian tertawa kering.
“Yang barusan datang apakah Sin ki pangcu serta Siau yau sian Cu tayhiap….
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehhh….sebutan yang paling cocok untuk saat ini adalah Pek tayhiap ejek Hong Liong sambil tertawa dingin tiada hentinya.
Jelas ucapan tersebut berada ejekan, dimana Pek Siau thian telah berpihak golongan kaum pendekar.
“Hmm….tenyata memang memperoleh banyak kemajuan!” Pek Siau-thian balas mengejek dengan mata melotot.
Sikap gagah semacam itu tentu saja tak mungkin bisa ditiru Hong Liong, hanya sepatah kata yang sederhana saja kesombongan Hong tertekan, malah ia tak mampu menambahi sepatah katapun ucapan sindiran.
Hoa In-liong yang paling gembira menghadapi keadaan seperti itu, pikirnya.
“Gwakong memang tak malu menjadi seorang totoh dunia persilatan, cukup dengan sikapnya yang gagah dan penuh kewibawaan itu rasanya masih jauh aku ketinggalan dari padanya….”
Perlu diterangkan, dalam tubuh anak muda itu mengalirkan darah Pek Siau thian, sebab itu diapun memiliki semangat seperti yang di miliki gwakongnya, coba berganti dengan toako-nya Hoa Si, dia pasti akan menghadapi orang dengan cara yang lembut.
Orang bilang anak menuruni watak orang tuanya, meskipun ia bukan keturunan langsung dari Pek Siau thian, tapi oleh karena Pek Siau-thian teramat memanjakan dirinya, karena itulah watak Hoa In-liong lebih banyak menuruni gwakongnya itu.
Dalam pada itu Pek Siau thian telah melirik sekejap ke arah Beng Wi-cian kemudian ujarnya, “Tempo dulu, lohu pernah mendengar bahwa diluar perbatasan terdapat seorang Thian ki siusu yang mengaadalkan Sin eng pit ciang nya menjagoi dunia persilatan….”
“Haahh…. haaahh…. haaahh…. orang liar dari perbatasan, kurang sedap untuk di singgung-singgung” Beng Wi-cian menyela sambil tertawa tergelak.
Setelah mengelus jenggotnya, ia berkata kembali, “Lohu harus menyebut diri Pek pangcu sebagai pangcu, ataukah sebagai tayhiap?”
“Licik benar orang yang bernama Beng Wi-cian ini” pikir Pek Siau thian dalam hatinya, “ia jauh lebih licik bila dibandingkan Hong Liong…. aku musti berhati-hati!”
Dengan nada dingin sahutnya, “Lohu she Pek bernama Siau thian terserah kau mau sebut apa kepadaku….” “Kalau begitu akan kusebut sebagai Pek pangcu saja” kata Beng Wi-cian kemudian sambil tertawa.
Dalam ucapannya itu, secara lapat-lapat ia menyindir kedudukan Pek Siau thian yang telah berubah saat itu.
Pek Siau thian mendengus dingin.
“Beng thamcu, sampai sekarang engkau masih mengurung cucuku dan nona Coa ini, apakah kau masih ingin melangsungkan pertarungan lagi?”
Beng Wi-cian lantas bsrpikir, “Situasi yang terbentang didepan mata saat ini sangat tidak menguntungkan bagi kami, bila ingin peroleh keuntungan dari keadaan seperti ini, tak ubahnya seperti orang bodoh lagi mengigau!”
Tanpa berunding lagi dengan Hong Liong, dia lantas ulapkan tangannya sambil berseru, “Segenap anak murid Hian-beng-kauw mundur dari posisi sekarang!”
Bagaikan gulungan air bah, kawanan laki-laki berbaju ungu itu menyingkir semua ke belakang.
“Para jago dari Mo-kauw yang mengepung dari luar, mau tak mau harus menyingkir juga untuk memberi jalan kepada mereka.
Ciu Hoa lotoa menunjukkan sikap tak senang hati, bibirnya bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya niat itu dibatalkan, mengikuti yang lain diapun mundur ke belakang.
Hong Liong yang marah-marah menghadapi kejadian itu, dengan ilmu menyampaikan suara dia berseru, “Wahai oraag she Beng, memangnya kau hendak bentrok sendiri dengan kami?”
“Aku rasa Hong heng jauh lebih memahami keadaan situasi yang terbentang didepan mata saat ini” jawab Beng Wi-cian pula dengan ilmu menyampaikan suara, “mau bertempur atau tidak, siau te menunggu perintah diri Hong heng”
Walapun amat gusar, Hong-liong bukannya seorang manusia yang tidak mempunyai akal, ia tahu pada hakekatnya memang tiada harapan untuk menang bagi pihaknya, sekalipun ucapan Beng-Wi enak di dengar, seandainya benar- benar terjadi pertarungan, masih untung kalau kakinya tidak di gaet sendiri.
Karena itu sambil mendengus marah ia berseru lagi dengan ilmu menyampaikan suara
“Baiklah orang she Beng, akan kulihat bagaimana caramu untuk mempertanggung jawabkan kejadian hari ini kepada kaucu kalian?”
Beng Wi-cian hanya tersenyum sambil mengelus jenggotnya, ia tidak berbicara apa-apa lagi.
Hong Liong benar-benar amat gusar, setengah berpekik teriaknya.
“Segenap anak murid auri perkumpulan kami, mundur semua kemari!”
Dalam waktu singkat, suasana dalam gelanggang kembali mengalami perubahan, agaknya mereka bermaksud menyudahi pertarungan tersebut dengan begitu saja. Coa Wi-wi yang menjumpai hal itu tak bisa mengekang hawa napsunya, ia berseru, “Gwa….Pek yaya, jangan biarkan mereka berhasil kabur dari sini, walau hanya seorangpun, persoalan yang menyangkut diri empek Yu belum diselesaikan!”
Kali ini dia merubah panggilannya atas diri Pek Siau thian menjadi “Pek yaya” tentu saja Pek Siau thian tahu bahwa muka gadis itu tipis dan gampang merasa malu, perubahan itu sama sekali tidak menjadikan hatinya kaget.
Justru Cu Thong lah yang sangat memperhatikan penyakit- penyakit kecil semacam itu, kontan saja ia tertawa cengar- cengir.
“Waaah….waaah….Pek loji bakal merasa kehilangan lagi, tahukah kau anak Wi?”
“Budak ingusan she Coa” mendadak Hong Liong berteriak sambii menyeringai seram, benarkah bacotmu itu? Suatu ketika pasti akan kusuruh kau merasa kelihayan loya mu!”
Sebaliknya Beng Wi-cian tersenyum.
“Nona Coa telah salah paham, pada saat ini Yu Sin-gi (Yu tabib sakit) merupakan tamu terhormat dari perkumpulan kami, diampuni bersedia mengamalkan kepandaian pertabibannya melalui kekuasaan perkumpulan kami untuk menyelamatkan sesama umat manusia”
Mula-mula Coa Wi-wi menyibirkan bibirnya, lalu dengan manja ia berseru, “Cu yaya, memalukan sekali kau sebagai seorang cianpwe, jika yang tuapun tidak menindahkan ketuaannya, lain kali akupun tak akan memanggil dirimu sebagai yaya” Kemudian dengan bibir yeng semakin dicibirkan ia berkata kepada Hong Liong dengan nada menghina, “Setan tua she Hong, engkau mempunyai ilmu silat macam apa lagi yang dikatakan lihay? Kenapa tidak kau gunakan sekarang juga?
Cisss…. omong membual selangit, sungguh tak tahu malu”
Akhirnya kepada Beng Wi-cian katanya pula setelah tertawa dingin tiada hentinya, “Manusia yang manis dimulut busuk dihati adalah manusia paling jahat. Tamu agung apaan?
Terang-terangan dia sudah kalian culik dengan kekerasan…. Hmm! Menyelamatkan umat persilatan?”
“Kenapa tidak kau terangkan saja secara blak-blakan untuk mencelakai seluruh umat persilatan didunia ini! Memangnya keluarga Hoa dari im-tiong-san tak dapat menandingi perkumpulan sesat aliran kiri macam kalian itu?”
Meskipun selembar bibirnya yang kecil harus menghadapi tiga arah yang berbeda, paras mukanya ikut berubah tiga kali, tapi sikapnya yang lincah, polos dan menarik sama sekali tidak menjadi hilang. Jangankan Cu Thong yang malahan tertawa terbahak-bahak, sampai Hong Liong serta Beng Wi-cian juga tidak merasa kalau dirinya sedang dimaki.
Hoa In-liong yang berada disampingnya segera menowel ujung bajunya sambil berbisik, “Jangan kau sela dalam pembicaraan yang sedang berlangsung, biarlah gwakong ku yang menyelesaikan persoalan ini”
Coa Wi-wi berpaling dan menjawab, “Justru aku kuatir kalau gwakong tak tahu duduknya persoalan hingga kena mereka tipu”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong tertawa geli. “Memangnya gwakong ku itu manusia macam apa?
Gampang saja dipecundangi manusia-manusia macam begitu? Kau tak usah kuatir!”
Setelah dikatai begitu, Coa Wi-wi baru tidak berbicara lagi.
Keadaan mesra yang diperlihatkan dua orang muda-mudi ini segera menimbulkan pelbagai reaksi bagi yang memandangnya, ada yang memuji mereka sebagai pasangan yang paling ideal ada yang merasa bahwa kecuali Hoa In-liong memang tiada orang lain yang pantas mendampingi gadis secantik Coa Wi-wi, ada pula yang merasa dengki iri….
Terutama Ciu Hoa losam, rasa dengki yang membakar hatinya benar-bsnar sukar dikembalikan, dengan langkah lebar ia menghampiri Beng Wi-cian kemudian sesudah memberi hormat katanya, “Siautit minta diperintahkan untuk membunuh Hoa In-liong, bajingan di muka itu!”
“Harap sam kongcu mundur dulu!” tukas Beng Wi-cian sambil mengulapkan tangannya.
“Beng thamcu….” Ciu Hoa losam masih penasaran. Tiba-tiba paras muka Beng Wi-cian berubah jadi keren,
ujarnya kembali dengan tegas, “Jika sam kongcu sendiripun berusaha melanggar pertarungan, bagaimana pula dengan anak murid perkumpulan lainnya?”
Ciu Hoa lotoa yang selama ini sudah penasaran tiba-tiba berteriak dengan lantang, “Losam, Beng thamcu sudah punya rencana pembunuhan yang hebat, kau begitu tak tahu diri, memangnya ingin mampus?”
Dengan ketakutan buru-buru Ciu Hoa losam mengundurkan diri ke belakang. Beng Wi-cian mengerutkan dahinya, kemudian berkata, “Perkataan toa kongcu berlebihan, lohu tak berani menerimanya!”
Ciu Hoa lotoa hanya tertawa dingin tiada hentinya tanpa berkata-kata lagi.
Sedangkan Beng-Wi cian menyumpah didalam hati, “Hmmm…. memang dianggapnya setelah menjadi murid kaucu, lantas boleh malang melintang semaunya sendiri? Bila kalian dibandingkan dengan bocah she Hoa itu…. huuuh, masih jauh ketinggalan, maju kemukapun paling-paliag hanya menghantar kematiannya sendiri”
Sejak Beng Wi-cian memerintahkan mundurnya anggota Hian-beng-kauw sampai Ciu Hoa losam mengundurkan diri dari gelanggang, waktu hanya berlangsung dalam beberapa saat saja.
Ketika itu Pek Siau thian sudah tidak sabaran lagi terdengar ia membentak keras, “Mau bertempur atau damai, sudah kalian putuskan belum?”
“Pek pangcu dan Cu tayhiap tentu sudah agak lama bukan datang kemari” kata Beng Wi-cian, “tentunya kalian juga mengetahui sendiri kalau perkumpulan kami hanya bermaksud mengundang Hoa kongcu serta nona Coa menjadi tamu-tamu agung kami, kalau toh kalian tak mau menerima undangan ini, tentu saja lohu juga tidak akan memaksa lebih jauh”
Habis berkata kembali ia tertawa terbahak-bahak.
Menjumpai keadaan seperti ini, Hoa In-liong lantas berpikir dalam hatinya, “Kulit muka orang she Beng ini benar benar sangat tebal, kejadian yang barusan berlangsung bukannya tidak diketahui semua orang, tapi ia bisa membolak balikkan duduknya persoalan tanpa berubah muka, ini baru namanya si muka badak!”
Sudah sering ia berkumpul dengan gwakongnya, diapun cukup mengetahui keadaan, pemuda itu tahu Pek Siau thian berbuat demikian tentu mengandung maksud-maksud tertentu, maka itupun tidak ikut menimbrung.
Tentu saja Coa Wi-wi tak dapat menahan diri, ia kontan saja menyindir dengan suara sinis.
“Memutar balikkan duduknya persoalan, kulit mukanya betul-betul lebih tebal daripada tembok kota!”
Cu Thong ikut tertawa,
“Haaahh…. haaahh…. haaahh…. betul, entah siapa yang telah melepaskan gas busuknya, sampai-sampai nasi yang telah kumakan kemarin malam rasanya ikut ingin tumpah”
Hong liong membungkam dalam seribu bahasa, sebaliknya Beng Wi-cian pura-pura tidak mendengar, semuanya sedang menunggu bagaimanakah jawaban dari Pek Siau thian.
“Jikalau toh demikian, lohu sekalian hendak mohon diri lebih dulu” ujar Pek Siau thian kemudian.
Yaa, tabiat dari jago tua ini benar-benar sudah mengalami perubahan besar, coba kalau menuruti adatnya dimasa lalu, sepatah dua patah kata sindiran tentu akan dilontarkan keluar.
Kepada Hoa In-liong dia lantas berseru, “Liong-ji, hayo kita pergi!” Hoa In-liong berpikir sebentar, kemudian sambil menggandeng tangan Coa Wi-wi, dengan wajah yang sama sekali tidak berubah, pelan pelan ia berjalan menuju kearah mana Pek Siau thian dan Cu Thong berada.
Terbayang kembali kejadian yang baru dialaminya belum lama berselang.
Coa Wi-wi merasa terlalu keenakan jika membiarkan orang- orang itu berlalu dengan begitu saja, ketika lewat dihadapan Beng Wi-cian serta Hong Liong, ia melotot sekejap kearah mereka dengan gemasnya.
Semua jago dari Hian-beng-kauw maupun Mo-kauw hanya mengawasi gerak gerik mereka dengan mulut membungkam, tak seorangpun yang menunjukkan reaksi apa-apa.
Menanti keempat orang itu sudah bergabung menjadi satu, Hong Liong baru berkata dengan wajah menyeramkan, “Pek loji, marilah kira membaca buku sambil menunggang keledai, lihat saja nanti, pokoknya hutang baru hutang lama, suatu hari pasti akan kita selesaikan sampai beres”
“Lohu akan menunggunya setiap Waktu!” jawab Pek Siau thian tegas.
Setelah mengulapkan tangannya, ia berjalan lebih dulu keluar dari lembah tersebut, sementara tiga orang yang lain menyusul dari belakangnya.
Diam-diam Hoa n iong merasa terkejut bahkan si dewa yang suka kelayaban Cu Thong yang selamanya, suka tertawa haha hihi pun saat ini menyimpan kembali semuanya, dari sini dapat diketahui betapa seriusnya keadaan pada waktu itu. Selang sesaat kemudian mereka sudah keluar dari lembah, Coa Wi-wi baru bertanya, “Pek yaya, Cu yaya, kenapa kalian bisa datang tepat pada waktunya….?”
Pek Siau thian masih tetap berwajah serius, ia tidak menjawab pertanyaan itu.
Sebaliknya Cu Thong telah tunjukan kembali wajahnya yang penuh senyuman cengar cengir,ahutnya sambil tertawa, “Siapa yang bilang kebetulan? Sejak semula aku serta Pek heng telah bersembunyi didalam lembah itu, andaikata kalian tidak menyusup masuk secara gegabah, sekarang kami masih meneruskan penyadapan terhadap apa yang mereka bicarakan, coba bayangkan sendiri, apakah perbuatan kalian itu tidak pantas dihukum?”
“Pantas dihukum?” Coa Wiwi mencibirkan bibirnya, “Cu yaya lah yang pantas dihukum, masa kami sudah terancam bahayapun kalian masih belum turun tangan juga”
Cu Thong tertawa.
“Yaa, benar memang pantas dihukum, cuma yang harus dihukum bukan aku melainkan Pek loji, Pek loji menginginkan Liong-ji menerima penderitaan yang lebih banyak lagi, maka dia hanya bersembunyi terus tidak mau keluar”
“Tidak, aku tetap akan menghukum Cu yaya” seru Coa Wi- wi dengan nada ngotot.
Cu Thong segera gelengkan kepalanya pura-pura tidak habis mengerti.
“Aaaai…. agaknya jadi orang memang lebih baik bersikap serius dan bersungguh-sungguh, sebab orang yang sering tertawa seringkali dianggap orang mudah dipermainkan” Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Siapa suruh tampang Cu yaya mirip Mi lek hud? Rasain sekarang…. Hiiihh…. hiiihh…. hiiihh….”
Selama ini Hoa In-liong hanya tersenyum belaka, ia menyaksikan percekcokan itu tanpa menimbrung barang sepatah katapun.
Pada hakekatnya keempat orang itu semuanya merupakan jago-jago yang berilmu tinggi, sekalipun tidak mengerahkan tenaga dalamnya, tapi hanya sekejap mata mereka sudah tinggalkan lembah itu sejauh puluhan li lebih, tiba-tiba Pek Siau thian menghentikan gerakan tubuhnya.
“Kita berhenti saja di sini!” katanya.
Hoa In-liong melirik sekejap sekeliling tempat itu, ia saksikan dimana mereka berada saat ini kembali merupakan sebuah lembah yang sunyi, sekeliling tempat itu merupakan batu-batu cadas yang berserakan serta semak belukar yang liar tiada pohon besar dan tak bisa dipakai untuk menyembunyikan diri, jelas Pek Siau thian hendak membicarakan tentang sesuatu urusan yang penting, karenanya dia memilih tempat semacam itu sebagai tempat pembicaraan.
Pek Siau thian duduk terlebih dahulu di atas sebuah batu cadas, menyusul kemudian Cu Thong dengan wajah penuh senyuman ikut pula duduk pula diatas sebuah batu, Hoa In- liong serta Coa Wi-wi segera ikut mengambil tempat pula disekitar sana.
“Gwakong apakah engkau ada urusan yang hendak dibicarakan dengan kami….?” tanya Hoa In-liong kemudian. Pek Siau thian tidak langsung menjawab pertanyaannya itu, sebaliknya sambil berpaling ke arah Coa Wi-wi ujarnya.
“Nona Coa….”
Tapi sebelum Coa Wi-wi sempat menyahut sambil tertawa ia telah merubah sebutannya, “Maaf kalau lohu hendak menyebut dirimu sebagai anak Wi!”
“Memang seharusnya demikian!” Coa Wi-wi dengan manjanya.
“Anak Wi, meskipun aku tidak tahu siapakah gurumu, tapi aku yakin dia pastilah seorang manusia luar biasa yang memiliki ilmu silat yang sangat tinggi!”
“Cousu dari adik Wi bukan lain adalah Bu seng (rasul silat) Im locianpwe…. soal Hoa In-liong.
“Biar aku saja yang berbicara” Coa Wi-wi segera menimbrung dari samping, “kongcu ku sudah menjadi pendeta, beliau bergelar Goan-cing, sedang ayahku bernama Goan hau, ibu she Kwan bernama Bun sian, masa Pek yaya tidak tahu, mungkin ibuku sudah berada di Im tiong san”
Pek Siau thian tersenyum.
“Beberapa hari belakangan ini Pek yaya benar-benar repot sekali, aku tidak berkesempatan mengunjungi perkumpulan Liok Soat san ceng”
Setelah terhenti sebentar, ujarnya kembali, “Sebenarnya aku ingin bertanya kepadamu tentang cara berpandangan orang tuamu terhadap badai iblis yang menyelimuti dunia persilatan dewasa ini, akan tetapi tak pernah kamu mengetahuinya, ini membuktikan bahwa kalian tak ingin mencampuri urusan dunia persilatan. Tapi sekarang tidak perlu kutanyakan lagi, bukan saja sudah berlanjut usia, lagipula dapat kusaksikan kesaktian Rasul silat merajai kolong langit, kejadian ini benar-benar merupakan suatu keberuntungan buat kami semua”
Betapa terharunya Coa Wi-wi ketika mendengar bahwa Pek Siau-thian begitu menaruh hormat terhadap keluarganya, ia bertanya kembali, “Kenapa tak usah ditanyakan lagi?”
“Oleh sebab gwakongku mendengar bahwa ibumu telah berkunjung ke rumahku, itu berarti bahwa kalian telah mengambil keputusan untuk melibatkan diri dalam persoalan ini” sela Hoa In-liong.
“Yaa, aku tahu kau cerdik, makanya aku tidak tahu lantas kau musti menimbrung dari samping?” seru Coa Wi-wi manja.
Menyaksikan tingkah laku kedua orarg muda mudi itu, Pek Siau-thian dan Cu Thong saling berpandangan sekejap lalu tersenyum.
“Selama hampir sebulan terakhir ini, aku sudah melakukan perjalanan hampir mencapai selaksa li lebih….” ujar Pek Siau thian kembali.
“Mengapa gwakong sesibuk itu?” tanya Hoa In-liong tak tahu.
“Mengapa? Pek Siau-thian mengerutkan dahinya, hmmm! Mengapa lagi kalau bukan lantaran kau binatang cilik, bukan saja aku musti bersusah payah, bahkan harus tebalkan muka untuk menggunakan kembali Hong lui leng guna memberitahukan rekan-rekan lamaku disegenap tempat agar mereka awasi gerak gerik Hian-beng-kauw secara diam-diam!” Setelah menghela napas, ia berkata lebih jauh, “Meraba kembali lencana Hong lui leng yang telah berdebu itu, aku benar-benar merasa sangat terharu, sungguh tak nyana menjelang usia tuaku aku Pek Siau tbian harus melakukan suatu tindakan yang bertolak belakang dengan ucapanku sendiri”
Tempo dulu, sewaktu perkumpulan Sin ki-pang masih jaya- jayanya, Hong lui leng merupakan panji kekuasaan paling tinggi daiam perkumpulan tersebut, kecuali dipegang oleh Pek siau thian dan Pek kun gie, daiam dunia ini tidak terdapat panji yang ketiga.
Sebagai seorang tokoh persilatan yang berambisi besar, ketika membubarkan perkumpulan Sin ki pang nya tempo dulu, sebenarnya ia hendak punahkan ilmu silat dari beberapa orang anak buahnya yang paling diandalkan, tapi kemudian setelah dibujuk oleh istrinya Kho-hong bwe, putri sulungnya dan Pek Soh gie, menantunya Bong pay, mengingat pula bahwa orang-orang tersebut sudah banyak tahun mengikuti dirinya dengan setia, maka niat itu kemudian diurungkan.
Sungguh tak nyana, justru disaat seperti inilah ternyata tenaga mereka kembali harus digunakan.
Sekalipun kawanan jago itu sudah melepaskan ikatannya dengan Sin ki pang, bukan berarti mereka sudah melepaskan diri secara lahir batin, karena buktinya begitu perintah Hong lui leng diterima, serentak mereka penuhi perintah tersebut serta melaksanakannya.
Yaa, kenyataan tersebut memang kedengarannya aneh, perkumpulan telah dibubarkan tapi perintah masih diturunkan, jadinya peristiwa tersebut saling bertolak belakang. Tidak aneh Pek Siau thian sebagai bekas ketuanya merasa amat bersedih hati, tapi apa boleh buat lagi? Demi keselamatan Hoa In-liong mau tak mau ia harus melakukannya juga.
Sebagai pemuda yang cerdas, tentu saja Hoa In-liong memahami kesulitan yang sedang dihadapi gwakongnya, tak terkirakan rasa haru yang menyelimuti hatinya, air mata tanpa terasa jatuh bercucuran membasahi pipinya.
“Gwakong, mengapa kau musti melanggar sumpahmu sendiri hanya lantaran aku seorang?”
Pek Siau thian menyahut dengan tegas, “yang paling penting adalah membalaskan dendam bagi kematian Suma siok ya mu dan menanggulangi bencana besar yang sedang mengancam dunia persilatan dewasa ini, Liong ji! Kau tak usah banyak bicara lagi, pokoknya aku berbuat demikian disertai dengan maksud yang dalam!”
Hoa In-liong hanya dapat mengiakan dengan air mata yang masih bercucuran.
Memandang kegelapan yang mencekam seluruh japad, kembali Pek Siau thian berkata, “Pertama-tama gwakong menaruh curiga atas asal usul dari Hian-beng-kauw, aku pernah mencurigai perkumpulan tersebut didalangi oleh Si Seng tek, keturunan dari Ngo liong hau, sebab jarang sekali ada orang lihay yang bermukim di perbatasan”
“Tidak mungkin!” Cepat Coa Wi-wi membantah “hitung- hitung Im cousu kami masih terhitung cucu menantu luar dari Ngo liong hou, padahal dia orang tua adalah seorang tokoh silat yang saleh, tak mungkin keturunannya mendirikan perkumpulan sesat seperti itu” Tiba-tiba Cu Thong tertawa.
“Wiji, apakah belakangan ini keluarga Coa kalian masih berhubungan dengan keluarga Si?”
Coa Wi-wi menggeleng.
“Sejak kongcu kami empat generasi yang lalu melarang anak keturunannya melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, kami telah putus hubungan….”
“Nah, itulah dia!” seru Cu Thong dengan cepat, “seorang suami saja sulit untuk mencegah istrinya nyeleweng, apalagi membiarkan anak yang tidak berbakti melakukan kontak dengan kaum iblis dari muka bumi? Siapa tahu pada generasi yang ada sekarang mereka sudah menjadi seorang gembong iblis yang jahat?”
Ketika Pek Siau-thian melihat Coa Wi-wi sudah siap membantah perkataan itu, buru-buru ia menyela, “Akan Wi, Pek yaya hanya menduga saja, toh tidak menuduh secara benar-benar!”
Kemudian sambil mengelus jenggotnya yang putih, ia berkata lebih lanjut, “Sekalipun demikian, bukan berarti kami menuduh sewenang-wenang tanpa dasar yang kuat, misalnya saja dengan Beng Wi-cian yang barusan temui, dia kan pengurus rumah tangganya keluarga Si!”
“Sungguh?” Coa Wi-wi menjerit kaget, Pek Siau-thian tersenyum.
“Masa Pek yaya membohongi dirimu?” balik tanyanya. Merah jengah selembar pipi Coa Wi-wi saking malunya,
untuk sesaat ia tak mampu berkata apa-apa sementara perasaannya benar benar menderita, benar-benar bersedih hati.
Menyaksikan kejadian itu, buru-buru Hoa In-liong ikut menimbrung, “Adik Wi buat apa musti bersedih hati? Keluarga Si adalah keluarga Si, Yan len si keh adalah Yan len si keh, apalagi tuduhan tersebut kan belum di sertai bukti yang nyata”
“Yaa benar” ujar Pek Siau thian pula, “setelah Pek yaya adakan penyelidikan lebih jauh, kembali kutemukan sejumlah orang lagi”
Coa Wi-wi menaruh perhatian terhadap urusan ini ketimbang orang lain, dengan cemas dia lantas bertanya, “Siapakah mereka?”
Pek Siau thian kembali tersenyum.
“Kalau aku sudah tahu siapakah mereka, urusan kau jauh lebih beres….!”
“Dimana Pek yaya bisa menemukan kalau musti ada orang lain?” desak Coa Wi-wi lagi keheranan.
“Tak usah gelisah, aku toh musti akan mengatakannya kepadamu” kata Pek Siau thian tertawa.
Setelah mengumpulkan kembali bahan pikirannya, ia berkata lebih jauh, “Pada waktu itu, aku menduga orang yaag jadi kaucu dari Hian-beng-kauw adalah Si Seng tek, aku mengira ambisinya untuk merajai dunia persilatan tak terbendung, maka ia lantas melanggar perintah dan anjuran nenek moyangnya untuk merajai dunia, cuma aku hanya menduganya saja tanpa berani melantarkan tuduhan secara langsung, sebab orang ini tinggal jauh diluar psrbatasan aku kurang begitu memaham tentang karakter orang ini….”
“Hey Pek loji” tukas Cu Thong, jika kau memang tidak memahami tentang orang ini apa gunanya kau bicarakan begitu banyak kata-kata yang tak ada gunanya?”
“Jangan menukas dulu saudara Cu, tentang hal ini aku yakin masih mengetahui sedikit”
Ucapan tersebut memang kata-kata yang sejujurnya, perlu diketahui sewaktu tiga kekuatan besar masih merajai dunia dahulu, dialah yang paling menonjol dan perkumpulannya juga yang paling banyak menyerap tokoh-tokoh sakti dari dunia.
Kontan saja Cu Thong tertawa menyengir.
“Memuji diri sendiri, menyombongkan diri, huuuh, segan aku mendengarnya….”
Pek Siau-thian tidak menggubris ejekan rekannya, kembali ia berkata lebih jauh, “Baiklah, aku kupersingkat keteranganku! Kemudian aku mencurigai kalau Hian-beng Kaucu itu mempunyai dendam kesumat dengan Hoa Thian- gong, seandainya Si Seng ek yang memusuhi keluarga Hoa, tak mungkin dia namakan semua mu ridnya sebagai Ciu Hoa (mendendam keluarga Hoa) Maka dalam suatu kesempatan yang tak sengaja, akhirnya kuketahui bahwa Si Seng tek telah ditawan orang, malahan akupun berhasil mengetahui jika
Hian-beng Kaucu itu kenal dengan Kun-ji (maksudnya Pek Kun gie), ini dapat kulihat dari pembicaraan pembicaraannya….”
Keterangan tersebut diberikan demikian ringkas dan singkatnya, sehingga tentang darimanakah berita seperti ditangkapnya Si Seng tek serta darimana ia tahu kalau Hian- beng Kaucu kenal dengan Pek Kun-gie tak pernah diutarkannya.
“Gwakong, terangkan lebih jelas lagi!” pinta Hoa In-liong dengan nada gelisah.
“Tidak ada yang harus dibicarakan lagi.“ Pek Siau thian gelengkan kepalanya beberapa kali.
Lalu sambil berpaling kearah Cu Thong, tambahnya, “Sekarang giliranmu untuk bicara!”
Betapa herannya Hoa In-liong menyaksikan tindak-tanduk gwakongnya, jelas kakeknya tidak berniat melanjutkan kata- katanya itu, ini membuat anak muda itu harus berpikir dengan wajah tercengang.
“Heran, kenapa gwakong musti mengelabuhi diriku? Urusan apakah yang sengaja ia selimurkan itu? Kendatipun ibu kenal dengan Hian-beng Kaucu, toh urusannya lumrah dan bukan kejadian besar…. Yaa. pastilah dibalik kesemuanya ini terdapat rahasia besar, tampaknya aku harus menyelidiki sendiri….”
Dalam pada itu Cu Thong telah berkata dengan hambar, “Apa yang harus dibicarakan lagi? Untung kau berhasil mendapatkan berita yang baik, ketimbang aku yang cuma gigit jari tidak dapat apa-apa? Mau menyesalpun tak sempat!”
Pek Siau thian tertawa.
“Jika kau segan bicara, biar aku yang bantu kau untuk mengatakannya….”
Kemudian sambil berpaling kearah dua orang itu, terusnya, “Cu yaya mu telah berangkat kebukit Hong san untuk memenuhi Ciu pek ya kalian!” “Tak usah membicarakan dirinya lagi!” tiba-tiba Cu Thong berteriak marah.
“Cu yaya!” Hoa In-liong segera bertanya dengan keheranan, “mengapa kau merasa begitu tak puas terhadap Ciu pek ya?”
Cu Thong termenung sebentar, lalu menjawab.
“Gwakong-mu toh sudah mengungkapnya, baiklah, akupun tak akan mengelabuhi darimu lagi”
Tiba-tiba dengan wajah merah ia meneruskan, “Ciu pek ya- mu itu sekarang…. heeehh…. heeeh…. heeehh…. sekarang sudah bertambah saleh!” Meskipun Hoa In-liong mengerti bahwa Cu Thong sedang mengatakan kebaikannya, tapi ia tertawa juga, walau senyuman paksa.
“Kalau memang begitu kan baik sekali!” katanya “Hmm….! Memang baik sekali” Cu Thong marah-marah
dengan mata mendelik, “mula-mula kukira jelek-jelek Ciu Thian hau terhitung sahabat karibnya dari siok-ya mu, yang lain tak usah dibicarakan, cukup memandang dari hubungan mereka selama puluhan tahun belakang ini yang seringkali minum arak dan main catur bersama, sedikit banyak mereka kan masih mempunyai hubungan batin? Hehh…. heehhh…. heeeh….engkau tahu tahu, apa katanya setelah mendengar berita kematian dari suma siok yamu? Dia bilang begini: Hidup seratus tahun lagi manusia toh tetap bakal mati, apa artinya mati sekarang mati besok? Begitu selesai berkata, akupun dipaksa pergi…. coba lihat masa begitukah cara Ciu Thian hau terhadap sahabat karibnya?” “Tapi…. tapi…. Ciu pekya bukan manusia macam itu!” seru Hoa In-liong dengan hati berkerut.
Cu Thong mendengus.
“Kalau Ciu Thiap hau bukan manusia semacam itu memangnya aku Cu Thong adalah penipu yang suka menfitnah orang?”
“Cu yaya, mungkin kau salah paham, mungkin kau salah mengartikan maksud Ciu pekya, aku tahu Ciu pekya adalah seorang manusia bermuka dingin tapi berjiwa panas, bila dugaan Liong-ji tidak keliru, mungkin kaki depan Cu yaya baru tinggalkan bukit Hong san, kaki belakang Ciu pek ya telah menyusul pula dibelakangmu”
Tiba-tiba Pek Siau thian tertawa tergelak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh….bagaimana?” serunya, “aku toh tidak bersekongkel dengan Liong-ji, tapi nyatanya pendapat kita sama. Aku rasa, lebih baik berkunjunglah ke Bukit Hong san sekali lagi, coba tengok apa yang lagi dikerjakan saudara Ciu!”
Cu Thong termenung beberapa saat lamanya, akhirnya diapun menghembuskan napas panjang.
“Aaaai….mungkin juga memang akulah yang terlalu berangasan” keluhnya, “tapi, bagaimanapun juga Ciu loji pasti akan kucaci maki habis-habisan bila bertemu lagi nanti, apa yang diandalkan Ciu-Thian hau itu sehingga dia pingin mengangkangi sendiri urusan ini? Memang dianggapnya hubungan aku orang she Cu dengan Suma Tiang-cing kalah akrabnya dengan dia?” Sekalipun ucapannya masih bernada jengkel, tapi ia sudah percaya, ia percaya memang begitulah kenyataannya.
Padahal, Cu Thong bukanlah seorang anak kemarin sore yang masih bodoh, iapun sudah menduga sampai kesitu, hanya rasa mangkelnya terhadap Ciu Thian hau masih mangkel dalam hatinya ia merasa kurang puas sebelum dilampiaskan keluar.
Coa Wi-wi tidak kenal dengan Ciu Thian hau, maka dalam persoalan ini dia hanya membungkam tanpa ikut memberi komentar.
Setelah suasana reda kembali, Hoa In-liong baru bertanya, “Cu yaya, bagaimana dengan toako ku?”
“Sudah kuserahkan kepada ayahmu!” jawab Cu Thong hambar.
Hoa In-liong memandang ayahnya bagaikan malaikat, ia percaya kepandaian ampuh macam apapun pasti dapat dipecahkan Hoa Thian-hong, maka setelah mengetahui bahwa Hoa Si telah di serahkan kepada ayahnya, diapun jadi lega dan tidak banyak bertanya lagi.
“Gwakong!” ujarnya kemudian alihkan pembicaraan kesoal lain, “mengapa kau lepaskan Hong Liong serta Beng Wi-cian dengan begitu saja? Apa salahnya kalau kita sekalian ganyang sampai habis?”
Pek Siau thian tertawa geli.
“Bocah dungu, jangan terlalu pandang remeh musuh- musuhmu!” tegurnya, “kau anggap mereka itu mudah dilawan? Ketahuilah nak, tenaga lwekang yang dimiliki Hong Liong cuma selisih sedikit dibandingkan dengan gwakong, andaikata benar-benar terjadi pertarungan, sukar untuk diramalkan siapa bakal menang dan siapa bakal kalah”
Coa Wi-wi yang membungkam selama ini, tiba tiba ikut menimbrung, “Aku rasa bajingan tua she Hong itu tidak seberapa hebat. Aku tidak percaya kalau dia sanggup menerima pukalan Su siu hua heng elang dari keluargaku!”
Mendengar komentar tersebut, Pek Siau thian tertawa. “Anak Wi, tenaga dalammu lihay, ilmu silatmu jiga tangguh,
tentu saja keadaanmu lain dibandingkan dengan kami”
Tiba tiba Coa Wi-wi ingat, bukankah Pek Siau thian bilang tenaga dalamnya hanya selisih sedikit dibandingkan Hong Liong? Dengan ucapannya itu bukankah secara tidak langsung ia pandang remeh juga kemampuan Pek Siau thian?
Gadis itu jadi tersipu-sipu, bisiknya cepat, “Aaaah…. tenaga dalamku rendah sekali!”
“Tak usah merendahkan diri anak Wi, siapapun tahu bahwa tenaga dalammu sangat tinggi, kenapa musti malu?” kata Pek Siau thian.
Ia cukup mengetahui pantangan-pantangan yang berlaku dalam dunia persilatan, karenanya kakek inipun tidak mencari tahu lebih jauh tentang asal usul ilmu silat keluarga Coa.
Sesudah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Alasan yang paling utama dari tindakan kita ini adalah lantaran tibanya Tang Kwik-siu di wilayah Kanglam!”
Ucapan yang sederhana tapi menimbulkan rasa kaget yang luar biasa bagi Hoa In-liong, pemuda itu sampai melongo untuk berapa saat lamanya. Perlu diterangkan disini, dalam peristiwa pencarian harta karun dibukit Kiu ci san, dikala Seng sut pay kabur terbirit-birit setelah mengalami kekalahan total. Tang Kwik-siu pernah sesumbar sesaat meninggalkan tempat itu, katanya sepuluh tahun atau seratus tahun mendatang, bila Seng sut pay telah muncul seorang manusia yang berbakat, dia pasti akan menjelajahi kembali daratan Tionggoan untuk merebut kembali barang-barang Seng sut pay yang tertinggal. Artinya, mereka berhasrat untuk merebut kekuasaan tertinggi umat persilatan dari tangan keluarga Hoa.
Jelek-jelek Tang kwik Siau terhitung juga seorang tokoh persilatan yang luar biasa, orang bilang siapa yang tahu keadaan, dialah manusia pintar.
Terhadap kemampuan Hoa Thian-hong, jagoan tersebut cukup memahaminya, karena itu dapat ditarik kesimpulan, andaikata tiada keyakinan yang teguh tak nanti benggolan Mo-kauw itu akan jauh-jauh berkunjung kemari hanya untuk menghantar nyawa sendiri.
Dengan perkataan lain, kemunculannya kembali di daratan Tionggoan berarti suatu tantangan buat keluarga Hoa, suatu pertarungan yang maha serupun secara lapat-lapat sudah makin mendekat.
Sesudah berhasil mengendalikan rasa kagetnya yang amat sangat, dengan tenang Hoa In-liong berkata, “Apakah ayah Liong-ji sudah mengetahui tentang berita ini? Apakah Hian- beng Kaucu juga sudah datang ke Kanglam?”
“Ayahmu cerdik dan berpengalaman, kurasa hal ini sudah berada dalam dugaannya, cuma bila gwakong nilai gelagatnya sekarang, tampaknya ayahmu segan untuk turun tangan sendiri, justru karena itulah diutusnya seorang kurcaci seperti kau untuk menanggulangi kesemuanya ini”
“Liong ji justru bersyukur karena diserahi tugas ini” seru Hoa In-liong cepat, “kalau Tang Kwik-siu sudah datang lantas kemana? Kalau Kiu im-kaucu mau ikut-ikut kenapa? Apalagi Hian-beng Kaucu yang main sembunyi macam kura-kura busuk itu? Hmm, jangan dianggap Liong-ji bakal jeri.
Kendatipun Liong ji masih kalah jauh dibandingkan ayah, tak mungkin akan kubuat nama baik keluarga Hoa jadi ternoda”
Meskipun dalam hati memuji, diluaran Pek Siau thian pura- pura menjadi gusar.
“Aaaaah….Hong Liong saja tak sanggup dilawan, apalagi membicarakan diri Tang Kwik-siu…. Huuh, ngibul! Omong besar! Tidak malu kau ditertawakan orang?”
Coa Wi-wi tidak tahu bagaimanakah jalan pikiran Pek Siau thian yang sebenarnya, ia mengira kakek itu benar-benar sedang gusar ketika dilihatnya Hoa In-liong kena dimaki, sebenarnya nona itu ingin mengucapkan beberapa patah kata agar suasana jadi reda, siapa tahu bibirnya saja yang dapat menganga sedang tak sepotong katapun yang sempat meluncur keluar….
Hoa In-liong sendiri, sebaliknya malah kelihatan tenang- tenang saja seperti tak pernah terjadi sesuatu apapun.
“Yang muda sudah sepantasnya meniru yang tua”, Liong-ji tak mau terlalu merendahkan diri sendiri sahutnya.
“Kalau memang begitu, lakukanlah seorang diri, gwakong tak mau urusi dirimu lagi” Sambil berkata, bekas ketua Sin ki pang itu lantas bangkit berdiri dan berseru kembali, “Cuheng, mari kita pergi!”
Hoa In-liong tertegun, tindakan kakeknya benar-benar diluar dugaannya, ia ikut berdiri.
“Gwakong, kau marah?” tanyanya. Pek Siau thian tersenyum.
“Terhadap cucu sendiri masa gwakong tega marah?”
Agak lega juga perasaan Hoa In-liong setelah mengetahui gwakongnya memang tidak marah.
“Tapi kenapa gwakong ingin pergi?” tanyanya agak tercengang, “masih banyak urusan yang hendak Liong-ji laporkan kepadamu!”
“Yaa benar” timbrung Coa Wi-wi pula sambil ikut berdiri, “Pek yaya, hari sudah malam apa salahnya kalau kau orang tua beristirahat dulu di rumahku!”
“Lain kali saja! Sekarang aku dan saudara Cu masih harus menyelesaikan beberapa urusan penting, oya…. Liong ji, gwakong ada dua urusan penting yang hendak kesampaikan kepadamu”
Hoa In-liong segera pasang telinga dan siap mendengarkannya dengan wajah serius.
Terdengar Pek Siau thian berkata, “Meskipun Mo-kauw dan Kiu-im-kauw mempunyai wilayah kekuasaan yang luar, kedua kelompok tersebut masih belum merupakan ancaman yang serius. Menurut pandangan Gwakong, justru Hian-beng-kauw lah yang merupakan sumber segala penyakit, siapa gerangan Hian-beng Kaucu itu musti kau selidiki sampai tahu, mengerti? Itulah hal pertama yang harus kau ingat!”
Sementara itu Cu Thong sudah ikut bangkit, tiba-tiba ia menimbrung dari samping.
“Pek loji, kalau kau masih juga ngobrol seenak udelnya sendiri, lebih baik aku berangkat selangkah lebih dulu”
Kemudian sambil menggoyangkan kipasnya, kepada Coa Wi-wi ujarnya kembali, “Anak Wi, sekarang aku lagi repot dan tak sempat mampir dirumahmu lain kali saja, bila minum arak kegiranganmu aku pasti akan hadir!”
Diiringi gelak tertawa yang nyaring dewa yang suka kelanyaban itu putar badannya dan berlalu dari situ.
Memang dashyat ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya, sekejap kemudian tubuhnya sudah lenyap dibalik tikungan bukit sebelah depan sana.
Meskipun merah jengah selebar pipi Coa Wi-wi, sempat juga gadis itu berseru, “Cu yaya, kau hendak kemana?”
Tiada jawab dari Cu Thong.
“Anak Wi tak perlu meuggubris dia lagi” Pek Siau thian yang ada disisinya menjawab sambil tertawa.
Setelah berhenti sebentar dia baru berkata lagi, “Kau harus melindungi baik-baik si nona baju ungu yang dan Si Nio, sebab aku curiga kalau mereka punya hubungan yang erat dengan Si Seng tek, inilah urusan kedua yang harus kau ingat baik-baik!”
“Siapakah si nona baju ungu itu Pek yaya?” tanya Coa Wi- wi mendadak. “Tanyakan sendiri kepada Liong-ji, dia mengetahui lebih jelas daripada Pek yaya mu!”
Tiba tiba Hoa In-liong berkata, “Liong ji telah mengingat semuanya, apakah gwakong masih ada petunjuk lainnya?”
“Tidak ada lagi, aku hanya berharap agar kau tahu diri, jangan sampai menodai nama baik keluarga”
Kepada Coa Wi-wi tambahnya, “Anak Wi, kita semua berasal dari satu keluarga, akupun tidak akan banyak bicara lagi”
“Kalau Pek yaya sudah mengatakan tidak banyak bicara, baiklah, kitapun tidak akan banyak bicara”
Pek Siau thian terbahak-bahak, sekali berkelebat, tampaklah bayangan warna ungu melintas didepan mata, kemudian lenyaplah si kakek sakti itu dari hadapan mereka.
Ketika Hoa In-liong menjumpai gadis itu masih termangu sepeninggal Pek Siau-thian, dihampirinya nona itu dan ditepuknya bahunya seraya menegur, “Adik Wi-wi kitapun harus pulang!”
Coa Wi-wi mengiakan, tiba-tiba ia menjerit, “Bagus! Bagus sekali! Belum pernah kau katakan kepadaku kalau pernah perkenalan dengan seorang nona baju ungu, ayoh ngaku! kalian kenalan dimana? Bagaimana kisah perkenalannya?”
Tentu saja Hoa In-liong mengetahui apa yang sedang dikatakan Coa Wi-wi, geli juga rasanya. “Kau sendiripun tak pernah bertanya, masa urusan sekali inipun mesti kukatakan secermatnya kepadamu, tapi kalau toh ingin tahu, tentu saja akan kukatakan kepadamu”
“Hayo bicara!” seru Coa Wi-wi sambil melebarkan matanya Hoa In-liong tertawa.
“Tempat ini bukan tempat aman, mari kita jalan sambil bercerita!”
Ditariknya lengan Coa Wi-wi yang halus lalu dengan ilmu meringankan tubuh yang sempurna mereka kembali ke dalam kota.
Hoa In-liong paling memahami perasaan seorang anak dara, sudah tentu diapun memahami kecurigaan gadis tersebut, lantaran hubungannnya dengan si nona baju ungu hanya hubungan yang lazim dan tidak disertai kontak cinta, maka sebelum diminta untuk kedua kalinya ia telah membeberkan semua kisah perkenalannya secara terus terang.
Dengan demikian, kecurigaan Coa Wi-wi pun secara otomatis ikut terhapus dari dalam benaknya.
Padahal Coa Wi adalah gadis yang polos dan manja, ia belum mengerti apa artinya cemburu, gadis itu hanya merasa bila tidak turut mengetahui gadis-gadis mana yang dikenal Hoa In-liong, hal ini akan merupakan suatu bisul yang besar dalam hatinya.
Demikianlah, dengan kecepatan kedua orang itu sekejap kemudian mereka sudah berada kembali di kota, kebetulan suara kentongan keempat berkumandang dari arah loteng Ciau lo, karena pintu kota belum dibuka mereka masuk dengen melompati dinding kota.
Setibanya dirumah sendiri, Coa Wi-wi juga tidak mengetuk pintu depan, tapi langsung masuk dengan melompati pagar pekarangan, dilihatnya lampu masih menerangi ruang tengah, rupanya Kok Hong seng masih menunggu.
Coa Wi-wi mempersilahkan Hoa In-liong menunggu di ruang tengah, ia sendiri masuk seorang diri ke halaman belakang.
Selang sesaat kemudian, gadis itu muncul kembali dengan wajah cemberut dan diliputi hawa amarah, tiga kali Hoa In- liong menegurnya tanpa peroleh jawaban, sebaliknya dara itu malahan ribut memerintahkan dayangnya Huan ji untuk memanggil Kok Hong seng agar menghadap.
Dari sikapnya itu, Hoa In-liong lantas menduga telah terjadi sesuatu yarg tak beres di rumah itu, tapi ia tak tahu apa yang terjadi, karena itu duduklah pemuda itu dengan tenang dan senyuman dikulum.
Tak sampai seperminum teh kemudian, Kok Hong seng muncul diruang tengah, menyusul kemudian Huan ji masuk kembali, rupanya sekembalinya ke kamar ia belum sempat tukar pakaian ketika Huan-ji datang memanggilnya.
Dengan rasa kaget, tak habis mengerti dan ingin tahu, pengurus rumah tangga she Kok itu masuk kembali ke ruang tengah.
“Siocia….” sapanya. Sebelum ia menyelasaikan kata-katanya, Coa Wi-wi telah menukas, “Empek Kok, kemana larinya pil Yau ti wan tersebut?”
“Apa? Yau ti wan?” Kok Hong seng mengulangi dengan nada terperanjat.
“Memangnya didunia ini masih ada keluarga kedua yang memiliki pil Yau ti wan?” Coa Wi-wi mengernyitkan alis matanya.
Kok Hong-seng terbelalak lebar.
“Tapi….bukankah Yau ti wan disimpan oleh hujin dan siocia? Masa bisa hilang?”
“Aaaaa….sungguh menjengkelkan!” keluh Coa Wi-wi sambil mendepak depakkan kakinya ketanah.
Dari tanya jawab tersebut, Hoa In-liong mengetahui juga apa yang telah terjadi, dia lantas menyela sambil tertawa, “Adik wi! kok congkoan! Ada urusan marilah kita rundingkan sambil duduk, sekalipun Yau ti wan sudah hilang, ya sudahlah apa gunanya musti ribut-ribut dengan perasaan gelisah?”
“Huuuh….! Enak benar omonganmu” Coa Wi-wi mengeling sekejap kearahnya sambil mengomel, tahukah kau Yau ti wan dibuat dari dewa jinsom berusia seribu tahun, Ho sio wu serta sebatang Hu leng yang berumur tiga ribu tahun ditambah lagi dengan puluhan jenis bahan obat mustika lainnya waktu dibuatpun cuma jadi sepuluh butir, turun temun sampai tiga ratus tahun kemudian kini tinggal dua biji….”
“Kalau begitu adik Wi sudah makan sebutir? tukas Hoa In- liong. “Yaa benar” Coa Wi-wi mengiakan, sewaktu kecil badanku lemah dan nyaris mati karena sakit, karena itu aku beruntun mendapat sebutir yang mengakibatkan tenaga dalamku sekarang amat lihay, tentunya tahu bukan betapa besarnya kasiat Yau ti-wan tersebut”
“Sekalipun tak ternilai harganya, kalau sudah hilang apa boleh buat?”
Digelisahkan juga percuma, kata Hoa In-liong sambil tertawa.
Coa Wi-wi makin mendongkol lagi setelah menyaksikan sikap acuh tak acuh dari si anak muda itu, teriaknya, “Aku sebenarnya aku mengingkari pesan cousu ku dengan menghadiahkan dua biji yang tersisa untukmu, tapi sekarang…. Aaaai, memang kau lagi sial!”
Dengan air mata berlinang, ia berpaling kearah Kok Hong- seng, lalu rengeknya, “Hayo katakan, siapa yang telah mengambil obat itu?”
“Soal ini….”Kok Hong-seng menunduk dengan perasaan minta maaf.
Coa Wi-wi marah sekali melibat sikap congko-annya itu, dia berteriak dengan nada lengking, “Jangan ini itu melulu, empek Kok! Bukan saja kau pandai dan cekatan, ilmu silatmu juga terhitung nomor satu, masa dirumah sampai terja di pencurianpun kau tidak tahu, aku lihat keluarga persilatan dari kota Kim-leng sudah waktunya untuk gulung tikar”
Dihari-hari biasa, gadis ini selalu menghormati Kok Hong seng sebaegai seorang cianpwe, tak pernah ia bersikap kasar ataupun mengucapkan kata-kata pedas. Tak sekarang, dalam gusarnya ia jadi lupa diri dalam perkataan pun tidak pilih bulu.
Tapi kemudian, setelah ucapan itu terlanjur meluncur keluar, anak dara itu baru merasa agak keterlaluan, dengan nada mohon maaf ia berkata kembali, “Empek Kok, maafkanlah daku, aku masih muda dan tak pandai berbicara, mungkin ucapan tadi telah menyinggung perasaanmu”
Sudah tentu Kok Hong seng tak dapat marah atau tersinggung oleh teguran tersebut, dengan nada menyesal dia ikut berkata, “Apa yang siocia katakan memang benar, aku Kok Hong-seng betul betul seorang manusia yang tak berguna”
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tentu saja diapun tahu kecemasan Coa Wi-wi sebagai besar adalah lantaran dia, betapa terharu dan berterima kasihnya pemuda kita.
“Adik Wi, maksud baikmu biar jiko terima dalam hati saja” katanya dengan lembut, “aku rasa kesuksesan dalam ilmu silat harus dilatih dengan tekun dan penuh semangat, apa gunanya musti andalkan kemustajaban suatu obat-obatan?”
“Ucapan yang bagus! Perkataan yang tepat!” tiba tiba dari pintu ruangan berkumandang suara teguran seseorang yang sudah tua tapi nyaring sekali, “untuk mencapai suatu kesuksesan, orang harus merasakan apa yang tak dapat dirasakan orang, melakukan apa yang tak dapat dilakukan orang, dengan begitulah kekuatan yang digunakan pada saatnya betul betul merupakan kekuatan sempurna yang tak perlu mengandalkan bantuan orang….”
Tak ada yang tidak merasa kaget diantara tiga orang jagoan lihay itu, pada hakekatnya mereka merupakan jago- jago berilmu tinggi yang sudah mencapai tingkatan, mendengar suara terbangnya bunga dan rontokannya daun dari jarak sepuluh langkah, tapi nyatanya, seseorang berhasil menyelinap masuk ke dalam ruangan tanpa diketahui akan kehadirannya, ini menunjukkan betapa sempurnanya tenaga lwe-kang yang dimiliki orang itu.
Serentak mereka berpaling, mengalihkan pandangan matanya kearah di mana berasalnya suara itu.
Seorang Pendeta kurus kering, berjubah Pendeta warna abu-abu dengan muka yang penuh berkeriput berdiri dengan agungnya dibawah sinar lampu ,orang itu tak lain adalah Goan cing taysu.
00000O00000
30
Coa Wi-wi pertama-tama yang berteriak kegirangan lebih dulu, dia lari ke depan menyongsong kedatangan padri itu dan jatuhkan diri kedalam rangkulannya.
“Kongkong!” serunya manja, “tahukah engkau, pil Yau ti wan milik kita telah dicuri orang?”
Dengan lembut dan penuh kasih sayang Goan cing taysu membelai rambutnya yang hitam mulus itu, kemudian menjawab, “Kongkonglah pencurinya, tentu saja mengetahui akan kejadian itu!”
Serentak Coa Wi-wi angkat kepalanya dan menjerit lengking, “Rongkong, kau….”
Tiba-tiba ia tutup mulut kembali. Hoa In-liong yang pernah mendapat pelajaran Bu kek teng hen sim-hoat dari Goan-cing taysu belum pernah bertemu muka langsung dengan si pemberi pelajaran ini, tapi sebagai orang yang cerdik dan tahu diri, tentu saja ia tahu Goan-cing tayau yang berada dihadapannya itulah yang memberi budi kepadanya.
Cepat-cepat ia membenahi bajunya lalu memberi hormat dengan penuh hikmat.
“Boanpwe Hoa In-liong menjumpai cianpwe, terima kasih pula atas budi cianpwe yang telah mewariskan kepandaiannya kepada aku yang muda”
Goan-cing taysu menerima penghormatannya itu, kemudian dikala ujung bajunya dikebutkan kedepan, Hoa In-liong segera merasakan timbulnya suatu kekuatan besar yang menekan tubuhnya, dia mana mau tak mau terpaksa ia harus bangkit berdiri.
Merasakan itu, pemuda kita lantas berpikir, “Waaah….lihay juga tenaga dalam yang dimiliki cianpwe ini, jelas sudah mencapai titik kesempurnaan, itu berarti kemampuannya tidak berada dibawah ayahku!”
Sementara dia masih termenung, Goan-cing tay Su telah berkata, “Nah, lolap sudah menerima hormat itu. Nah, bangunlah sekarang!”
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, “Tahukah kau mengapa lolap menerima penghormatanmu itu?”
Hoa In-liong termenung sebentar, lalu jawabnya dengan serius, “Boanpwe tahu, cianpwe ada maksud untuk menjadikan diriku….” Sebelum ucapan tersebut diselesaikan, Coa Wi-wi sudah ribut lebih dahulu, “Kongkong, tenaga lwekangmu toh sudah mencapai tingkatan yang tak terhingga, masa kau orang tua hendak menambah tenaga dalammu lagi dengan obat Yau li wan tersebut?”
Karena ditimbrung, terpaksa Hoa In-liong membungkam.
Dengan penuh kasih sayang Goan-cing taysu membelai rambut Wi-wi yang mulus, kemudian tertawa.
“Kongkong sudah mendekati sembilan puluh tahun, sebentar lagi juga akan masuk kubur, buat apa kutambah tenaga dalamku?”
Ia lantas berpaling kearah Kok Hong seng dan tegurnya, “Hong-seng, masih ingat dengan lolap?”
Sebetulnya sejak kemunculan pendeta itu Kok Hong-seng berdiri dengan wajah kaget dan sangsi Setelah disapa ia baru mengucurkan air matanya sambil jatuhkan diri berlutut ke tanah.
Kiranya ketika Goan-cing taysu belum menjadi pendeta, Kong-seng lah yang melayani diri Goan seng taysu.
Ketika itu bukan saja Kok Hoan-seng belum menjadi congkoan, usianya masih sangat muda. Setelah lama tak berjumpa, paras muka Goan cing taysupun banyak mengalami perubahan, tak aneh kalau ia tak dapat mengenalinya kembali meski mukanya dirasakan pernah dikenal.
Goan-cing taysu ulapkan tanganya memancarkan segulung hawa pukulan yang lembut mengangkat Kok Hong-seng dari tanah, lalu ujarnya, “Sekarang lolap sudah bukan majikan tuamu lagi, penghormatan semacam itu tak perlu kau lakukan lagi”
Kok Hoan-seng tertegun.
“Majikan tua….” buru-buru serunya.
Goan cing taysu gelengkan kepalanya sambil menghela napas.
“Aaaai….! Jika kalian semua hanya menangis dan merengek-rengek macam begitu saja setelah bertemu dengan lolap, lain kali lolap tak nanti akan melangkah masuk ke Kin leng se keh lagi walau selangkahpun”
Buru-buru Kok Hong seng menyusut air mata dan tundukkan kepalanya.
Sementara itu Coa Wi-wi yang terada dalam gendongan Goan cing taysu telah berpaling dan memalu-malui congkoannya sambil menggoda, “Kok pepek tak malu, jenggotnya saja sudah begitu panjangnya, tapi tingkah polanya masih seperti anak kecil, nangis lagi, idiih…. tak tahu malu!”
“Huusss…. anak Wi tak boleh senbarangan omong!” tegur Goan-cing taysu.
Kemudian kepada Kok Hong seng ujarnya lagi, “Hong-seng, pergilah beristirahat! Disini tidak memerlukan engkau lagi, aku aku masih ada urusan lain hendak dibicarakan dengan Hoa kongcu serta anak Wi”
“Cianpwe” Hoa In-liong segera menyela,” lain kali panggilan boanpwe dengan sebutan anak, karena sebutan itu jauh lebih mesra kedengarannya, kenapa kau malah menyebutnya dengan sebutan lain?”
Goan cing taysu tersenyum.
“Baik! Lolap akan memanggil anak Liong kepadamu!” “Kongkong!” tiba-tiba Coa Wi-wi menyela, “cianpwe dari
jiko pada memanggil anak Wi kepadaku, cianpwe dari anak Wi sudah semestinya memanggil jiko dengan sebutan anak Liong!”
Sementara itu Kok Hong seng telah berkata, “Hamba tidak lelah, lebih baik aku berada disini saja, tanggung tak akan mengganggu majikan tua, Hong kongcu maupun siocia”
Goau cing taysu menghela napas.
“Aaaai…. aku mengetahui maksud baikmu itu, baiklah, lolap juga tak akan terlalu memaksa dirimu”
Setelah masuk ke dalam ruangan, pendeta itu turunkan Coa Wi-wi dari bopongannya, beberapa orang impun mengambil tempat duduk sementara Kok Hong seng berdiri menanti disampingnya, semua orang suruh ia duduk tapi congkoan itu tak mau, akhirnya mereka pun biarkan congkoan tersebut berbuat sekehendak hatinya.
“Huan-ji, hidangkan air teh!” Coa Wi-wi kembali berteriak. Huan-ji mengiakan dan mengundurkan diri.
Goan cing taysu tersenyum.
“Anak Wi” katanya, “kongkong juga bukan tamu, kenapa musti dihidangkan air teh?” Justru kata-kata itulah yang ditunggu Coa Wi-wi, serentak ia menyambung dengan cepat, “Kalau kongkong bukan tamu berarti tuan rumah, kalau jadi tuan rumah masa tidak tinggal di rumah sendiri, kau orang tua tak usah pergi lagi….!”
Merasa tak mampu menandingi ketajaman lidah si nona, Goan cing taysu hanya bisa tertawa.
“Anak Wi, kau pandainya cuma ngaco belo saja, apakah tidak merasa kuatir lagi dengan racun ular sakti yang mengeram dalam tubuh jiko mu?”
“Yaa, apa boleh buat lagi?” Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya, “kongkong sudah membawa kabur Yau ti wan, padahal tanpa Yau ti wan, racun ular sakti dalam tubuhnya tak bisa dipunahkan, yaa nasib namanya!”
Goan cing taysu tertawa lebar mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh, “Justru kongkong kuatir engkau yang tak tahu keadaan, akan menggunakan Yau ti-wan secara sembarangan, maka kuambil dulu obat itu untuk disembunyikan”
Kepada Hoa In-liong ujarnya pula, “Liong-ji, apakah engkau merasa dendam atau kesal atas tindakan yang lolap lakukan sekarang?”
“Liong-ji ji merasa tindakan yang diambil cian…. kongkong tepat sekali” jawab Hoa In-liong dengan serius, “obat mustika itu bukan milik anak Liong, kenapa anak Liong musti dendam atau kesal? Bukankah cara semacam itu hanya mencerminkan karakter seorang yang rendah dan tak tahu malu?”
Dia telah menyebut Goan cing taysu sebagai kongkong, betapa gembiranya Coa Wi-wi karena itu. “Aku yang kesal, aku yang dendam, yaa, aku mempunyai rasa kesal dan dendam” ributnya.
Goan cing taysu tidak menggubris ribut-ribut dari cucu perempuannya, ia berpaling kearah Hoa In-liong, ketika dilihatnya pancaran mata pemuda itu demikian lembut dan tenangnya, sedikitpun tidak terpengaruh emosi, dalam hati ia memuji tiada hentinya.
“Ehmmm…. meskipun bocah ini agak romantis dan binal, dia memang berwatak seorang laki-laki sejati, tak malu jadi ketururan keluarga Hoa….!”
Setelah termenung sebentar, kembali ia berkata sambil tersenyum, “Yau ti wan memang merupakan obat manjur untuk melenyapkan racun ular sakti, tapi lolap tak akan menyerahkannya kepadamu, apakah engkau merasa tindakanku ini terlalu mementingkan diri sendiri?”
Hoa In-liong agak tertegun, lalu menjawab dengan tercengang, “Kongkong adalah seorang yang berjiwa besar, jauh dari pikiran keduniawian, jelas bukan orang yang mementingkan diri sendiri, namun Liong-ji memang merasa tidak habis mengerti”
Pemuda itu jujur berjiwa terbuka dan tak pernah menaruh minat terhadap Yau ti wan, sebab itu ia tak takut dicurigai, apa yang ingin diucapkan segera diutarakan secara blak- blakan.
Goan cing taysu tersenyum.
“Lolap berbuat demikian karena tak ingin mengingkari pesan leluhur, atas penjelasan ini tentu nya kau merasa puas bukan?” “Kongkong!” tiba-tiba Coa Wi-wi berteriak.