Jilid 26
“ADA apa jiko?”
Hoa In-liong tersenyum, ia tidak menjawab pertanyaan tersebut, sebaliknya sambil memberi hormat kepada Bwe Su- yok katanya, “Sampai waktunya aku pasti akan datang memenuhi janji, silahkan Bwe kaucu berlalu lebih dulu”
Secara tiba-tiba ia merubah panggilannya dari “nona” jadi “kaucu, perubahan tersebut segera disambut Bwee Su-yok dengan perasaan yang bergetar keras, ia merasa seolah-olah kehilangan sesuatu hingga semangatnya secara terbang tinggalkan raga.
Untunglah perasaan semacam itu hanya berlangsung sebentar, pikiran yang bercabang dengan cepat dapat disatukan kembali.
“Baik, akan kutunggu kedatanganmu!” katanya kemudian. Dia lantas putar badan dan berpaling kearah Coa Wi-wi.
“Engkau adalah adiknya Coa Con-gi? Siapakah namamu?” tegurnya. Sudah dua kali mereka saling berjumpa, tapi ke dua kalinya Coa Wi-wi berdandan sebagai pria dengan nama samaran Cwan Wi, meski potongannya waktu itu perempuan bukan perempuan, laki bukan laki, ketika bertemu kembali untuk ke tiga kalinya, ia segera mengenalinya kembali dalam pandangan pertama.
Kendati begitu, ia tidak mengetahui nama Coa Wi-wi yang sebenarnya, dia hanya tahu namanya menggunakan huruf “Wi”, sebab begitulah Hoa In-liong memanggil dirinya.
Coa Wi-wi tidak senang dengan sikapnya yang sombong, maka sahutnya pula dengan suara yang ketus, “Aku bernama Coa Wi-wi, ingat baik-baik namaku itu!”
Bwe Su-yok tidak banyak bicara lagi dia pun lantas berlalu dari situ, tampaklah ujung gunanya yang berwarna putih salju berkibar terhembus angin, sekilas pandangan seakan-akan lambat padahal cepatnya bukan kepalang, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dibalik puing- puing bangunan.
Sepeninggalnya gadis itu, Coi Wi-wi baru mengomel, “Jiko, kenapa kau bicarakan orang itu pergi dari sini”
Hoi In liong tertawa, apalagi gadis itu tampak lebih cantik dan mempesona hati dalam sikap cemberutnya ini, ia semakin terlena oleh kecantikan si nona yang jarang dijumpainya itu.
Sambil membelai rambutnya yang hitam putus, berkatalah anak muda itu dengan lembut, “Bwe Su-yok bukan anak kemarin sore, dia mempunyai perhitungan yang matang dalam setiap tindak tanduknya, memang kau anggap dia berani kerkunjung kemari….” “Aaah….omong kosong, kecuali dia, kita kan tak melihat sesosok bayangan manusiapun?” bantah si nona.
Siapa tahu baru saja dia menyelesaikan kata-katanya, mendadak terdengar suara pekikan yang amat nyaring menggema diudara, menyusul kemudian suara pekikan lain berkumandang saling bersahutan, suara itu ada yang nyaring ada pula yang rendah dan berat, tapi yang pasti semua pekikan tersebut disertai pencaran tenaga dalam yang sempurna, jelas suara-suara itu berusal dari sekawanan jago silat yang amat tangguh.
“Bagaimana….?” goda Hoa In-liong tertawa. Merah padam wajah Coa-Wi-wi karena jengah.
“Tidak aneh….” sahutnya tak mau kalah, “aku rasa Kiu im- kaucu juga hanya begitu-begitu saja, sekalipun semua anak buahnya di bawa serta aku juga tidak takut, paling-paling kuhajar mereka semua sampai kocar kacir….”
“Jangan takebur! Ketahuilah, semua jago yang tergabung dalam perkumpulan Kiu-im-kauw memiliki kepandaian silat yang amat tangguh, Bwee Su-yok sendiri merupakan seorang musuh yang kosen, apabila mereka sampai maju bersama, bagi kita soal mundur memang bukan persoalan, tapi kalau ingin cari keuntungan dari pertarungan itu….waah, sulit! Sulit! Benar-benar amat sulit, makanya…. adik Wi tak boleh memandang enteng pihak mereka”
Padahal alasan yang dikemukannya itu hanya merupakan alasan nomor dua, yang terpenting baginya adalah lantaran penyakit sayangnya terhadap gadis she Bwe itu.
Ia tahu sebagai seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, apalagi dengan wataknya yang congkat dan tinggi hati, seandainya Bwee Su-yok sampai cedera atau dikalahkan oleh Coa Wi-wi, sembilan puluh persen dalam jengkelnya gadis itu pasti akan bunuh diri.
Bila gadis itu sampai nekad mengambil keputusan pendek, berarti juga berita tentang Kanglam ji-gi akan hilang dengan begitu saja.
Karena itu ia merasa lebih baik kalau peristiwa yang tak diinginkan itu jauh sebelumnya dicegah lebih dulu.
Sudah tentu rahasia hatinya ini tak sampai di katakan kepada Coa Wi-wi, sebab bagaimanapun juga hati perempuan memang paling sukar diduga dalamnya.
Meski begitu, Coa Wi-wi bukan orang bodoh, dengan perasaan halusnya sebagai seorang gadis, secara lapat-lapat ia merasakan sesuatu, biji matanya lantas berputar.
“Jiko!” katanya kemudian, “sejak tadi kau main mata dan saling mengerling dengan Bwee Su-yok….
“Huuuuss….! Ngaco belo, siapa yang bilang aku main mata?” bentak Hoa In-liong sambil tertawa.
“Lantas kalau kau menatap dia dan dia menatapmu, jika bukan main mata lalu apa namanya?” kata Coa Wi-wi dengan nada bersungguh-sungguh.
Hoa In-liong tertawa geli,
“Masa begitu saja disebut main mata? Kamu ini sianak kecil, tidak tahu urusan juga berani ngomong sembarangan”
“Anak kecil? Huuhh….memangnya kau sendiri yang sudah dewasa?” Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya. Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dia lantas alihkan pembicaraan kesoal lain, katanya, “Adik Wi, ilmu pukulan apa yang barusan kau gunakan? Jurus Ciu-liu luk si yang kau pakai tadi mirip dengan Ci yu jit ciat (Tujuh Kupasan dari Cu-yu) bagian kedua, boleh kan beri tahu kepadaku?”
“Kenapa tidak boleh? Jujur kedua yang baru kupakai adalah Su siu hua heng ciang (Ilmu pukulan empat gajah berubah bentuk) gerakan kedua dan ketujuh, ilmu pukulan tersebut merupakan inti sari dari himpunan seluruh jurus pukulan terbagus dari dunia persilatan yang dihimpun Im cousu kami, puluhan tahun beliau harus bersusah payah memeras keringat sebelum berhasil menciptakan ilmu pukulan tersebut, disamping tenaga sim hoat Bu kek teng heng. Jiko! Kalau pingin belajar, nanti kuajarkan ilmu kepandaian tersebut kepadamu”
“Itu kan ilmu rahasia dari keluargamu, mana boleh diwariskan kepada orang lain?” ujar Hoa In-liong dengan wajah serius.
Coa Wi-wi gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak apa-apa! Toh Kongkong ku telah wariskan ilmu Bu kek teng heng sim hoat kepada jiko, itu berarti beliau ada hasrat untuk waris kan kepandaian silatnya kepada jiko, maka seandainya kuwariskan pula ilmu Su siu hua heng ciang kepadamu, tidak berarti kuwariskan kepandaian keluargaku secara pribadi. Apalagi Cousu pernah berpe san, bila bertemu dengan seseorang yang cocok dengan karakter kita, atau seseorang yang telah memiliki kepandaian tinggi, boleh saja orang itu diterima menjadi murid perguruan kami, ataupun mendapat warisan ilmu silat aliran kami tanpa harus menjadi anggota perguruan kami” Tertarik juga Hoa In-liong oleh perkataan tersebut tapi ia tak sudi menerima pelajar silat dari Coa Wi-wi, maka setelah merenung sebentar berkatalah dia
“Urusan tersebut lebih baik bicarakan nanti saja, sekarang yang penting adalah memeriksa dulu ruang batu dimana cahaya terang itu berasal….”
Selesai berkata ia lantas melayang ke udara, menyeberargi permukaan air dan balik keatas bukit dimana jendela kayu itu ditemukan.
Coa Wi-wi Segera menyusul dari belakang.
“Aku rasa sudah tak ada waktu lagi sekarang, kata pemuda itu kemudian sambil berpaling.
Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi berjalan dengan kepala tertunduk, mukanya aras-arasan dan tidak bersemangat, jelas gadis itu lagi ngambek dan tak senang hati.
Menyaksikan sikapnya itu, pemuda kita jadi tercengang, diapun menegur dengan lembut, “Kenapa kau? Lagi ngambek lantaran perkataan ku barusan? Jangan sok serius aah….”
“Jii….! jiko….” bisik Coa Wi-wi sambil menarik wajah, suaranya agak tersendat.
“Kenapa adik Wi?” jawab Hoa In-liong lembut, “jika kurang puas terhadap jikomu, katakanlah terus terang!”
“Bukan, bukannya tidak puas!” Kata Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aneh benar….!” pikir Hoa In-liong dalam hati, tapi diluaran cepat ia bertanya, “Lantas karena apa?” Coa Wi-wi berpikir sebentar, kemudinn sahutnya, “Jiko, tahukah kau tentang kisah kehidupan Im cousu-ku dimasa yang lalu?”
Secara tiba-tiba gadis itu membawa pokok pembicaraan ke soal yang tiada sangkut pautnya dengan kejadian didepan mata, Hoa In-liong jadi tertegun dibuatnya.
“Aku kurang begitu tahu” sahutnya.
Coa Wi-wi tarik napas panjang, lalu katanya, “Ketika Im cousu terjun ke dunia persilatan untuk pertama kalinya dulu, ilmu silat yang dimilikinya amat rendah, bahkan ilmu silat kelas tiga pun tidak dikuasahi olehnya, beliau dapat mempela jari tenaga dalam pun karena secara kebetulan berhasil mempela-jarinya dari sari kepandaian Lo ho sim hoat, jurus pukulan yang dimilikinya boleh dibilang adalah ajaran dari Coa bo semua, kendatipun demikian toh kejadian ini tak sampai mempengaruhi kebesaran namanya sebagai Bu seng (Rasul Silat)….”
Kiranya ketika Bu-seng terjun kedalam dunia persilatan untuk pertama kalinya dulu, dia hanya bisa serangkaian ilmu pukulan Kay-sim ciang(pukulan pembuka hati) belaka, ilmu pukulan tersebut begitu umumnya sehingga seorang jagoan kelas satupun tak mampu ia kalahkan.
Kemudian, oleh tay hujinnya (Istri Pertama) Ko Cing ia diberi pelajaran pelbagai ilmu pukulan yang sangat lihay, tak sampai setahun kemudian, Bu seng benar-benar sudah menjadi seorang manusia yang amat tangguh….
Ketika dara tersebut menyinggung kembali kejadian, dengan cepat Hoa In-liong dapat memahami maksud katinya, timbullah rasa kasihan dalam hati kecilnya setelah menyaksikan kesengsaraannya si nona hanya dikarenakan dirinya menolak untuk menerima ajaran ilmu silat dirinya.
Memang raut wajahnya yang cantik jelita, untuk sesaat anak muda itu lupa untuk buka suara.
Sementara itu Coi Wi wi telah berkata kembali, “Aku rasa untuk berhasil mencapai sukses dalam masalah yang besar, orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, jiko! Kau….”
Ucapannya kembali terputus ditengah jalan, sedang biji matanya yang jeli menatap wajah anak muda itu tanpa berkedip.
Walaupun perkataan itu amat sederhana dan umum, tapi terutama kata-kata yang menyatakan bahwa untuk mencapai sukses dasar masalah besar yang orang tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, ibaratnya suatu gelombang dahsyat dengan cepatnya menerjang masuk ke lubuk hati anak muda itu.
“Yaa, benar juga perkataan itu”, teriaknya dalam hati, “untuk berhasil dalam suatu masalah, aku tak perlu merisaukan hal-hal yang kecil, bila kabut iblis telah bermunculan dari mana-mana, suatu badai pembunuhan sudah mengancam seluruh dunia persilatan, inilah saatnya bagiku untuk memperkuat diri, jika hal-hal yang kecilpun ikut kurisaukan, bukankah masalah besar akan terbengkalai dengan begitu saja….?”
Harus diketahui, meskipun pemuda ini suka bermain cinta ditempat luar, diam-diam ia menaburkan benih cinta dan gerak geriknya mirip seorang laki-laki hidung bangor, pada hakekatnya setiap waktu setiap saat ia selalu memikirkan bagaimana caranya untuk meneruskan cita-cita ayahnya, membasmi hawa jahat serta menegakkan keadilan serta kebenaran dalam muka bumi. Dan kini hawa iblis sudah muncul dari mana-mana, dalam pandangannya inilah kesempatan yang terbaik baginya untuk mewujudkan cita-citanya itu meski sebagai anak muda ia gemar urusan, tapi sifat gagah sifat jantan dan bijaksana dari keluarga Hoa tetap mengalir dalam tubuhnya, membangun dunia yang aman damai adalah cita-cita luhur yang sebenarnya dari pemuda tersebut.
Begitulah, meskipun dalam hati kecilnya timbul suatu gelombang yang amat besar, tapi ia berusaha untuk mengendalikan pergolakan itu.
Dalam pada itu, disangkanya ia menolak penawarannya, lama sekali anak muda itu tak berkata-kata, disangkanya ia menolak penawarannya, tak tertahan lagi air mata jatuh bercucuran membasahi pipinya.
“Saa….salahkah perkataanku?” bisiknya lirih.
“Adik Wi, hubungan kita bagaikan terhadap saudara sekeluarga, memangnya aku musti mengucapkan terima kasih dulu kepadamu?” ujar Hoa In-liong sambil merangkul pinggangnya yang ramping.
Setelah mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi baru tertawa gembira.
“Oooh….jiko….!” serunya.
Meskipun wajahnya berseri, butiran air mata masih mengembang dalam kelopak matanya, ibaratnya sekuntum bunga yang basah oleh air hujan, kecantikan dari itu sukar dilukiskan dengan kata-kata. Semakin dilihat Hoa In-liong merasa makin tertarik, akhirnya ia tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, dipeluknya dara itu erat-erat, diciumnya butiran air mata yang membasahi pipinya lalu dikecupnya bibir yang mungil itu dengan penuh kemesraan.
Sekujur badan Coa Wi-wi tergetar keras, ia mendesis lirih lalu jatuhkan diri kedalam rangkulan Hoa In-liong dan bersandar didadanya yang dingin.
Sekalipun ia belum tahu akan hubungan antara laki dan perempuan, toh usianya tahun ini sudah mencapai tujuh belasan, ibaratnya sekuntum bunga yang mekar, ia telah siap dihisap madunya oleh kumbang-kumbang yang beterbangan di sekelilingnya.
Maka, dikala bibirnya dikecup dengan mesra, untuk sesaat anak dara itu merasakan suatu perasaan aneh yang belum pernah dirasakan sebelumnya, bagaikan kena aliran listrik bertegangan tinggi ia merintih lirih lalu mendekap anak muda itu lebih kencang.
Harus diterangkan disini, walaupun sebelumnya antara mereka berdua telah berlangsung suatu perselisihan, namun keadaan waktu itu jauh berbeda dengan perselisihan- perselisihan yang pada umumnya terjadi, sebab itu Coa Wi-wi sama sekali tidak merasakan sesuatu ganjalan.
Sebelum itu, sekalipun dihati kecil sang dara hanya terhadap Hoa In-liong seorang, gambaran tersebut masih terlalu samar baginya, tapi sekarang gambaran itu sudah semakin nyata, secara otomatis pula perasaan cinta antara muda mudi ikut berkembang dihatinya. Lama…. lama sekali, dua orang itu akhirnya sadar dari impian indah, Hoa In-liong angkat mukanya lebih dulu dan berbisik lembut, “Adik Wi!”
Coa Wi-wi masih membenamkan kepalanya dalam pelukan pemuda itu, mukanya merah dadu karena jengah, ia hanya mendesis lirih kemudian membungkam terus dalam seribu bahasa.
Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong lantas berpikir, “Adik Wi baru mekar dan masih malu-malu, aku tak boleh membuat dia lebih jengah lagi….”
Berpendapat demikian, iapun berbisik disisi telinga Coa Wi- wi dengan suara lirih, “Tunggulah sebentar disini adik Wi, lihatlah bagaimana caraku menangkap pencoleng!”
Setelah melepaskan rangkulannya atas gadis itu dia berseru nyaring, “Sobat, sabar amat engkau, setelah bersembunyi sekian lama, sekarang tiba waktunya bagimu untuk menampakkan diri!”
Sembari berseru, telapak telapak tangannya segera diayun ke muka melepaskan sebuah pukulan dahsyat yang menghancurkan jendela kayu itu.
Hancuran kayu berhamburan kemana mana, dibawah sorotan cahaya lampu tiba-tiba muncul sekilas rentetan tajam, menyusul kemudian tampaklah sebilah pedang langsung membacok kearah pergelangan tangan kanannya….
Kiranya orang yang bersembunyi baik untuk melancarkan mengetahui akan kelihayan Hoa In-liong maka dia lantas menutup semua pernapasannya sambil menunggu ada kesempatan baik untuk melancarkan sergapan. Siapa tahu tunggu punya tunggu Hoa In-liong tidak masuk juga kedalam ruangan, pernapasan yang ditutup jadi sesak rasanya, hingga akhirnya tak bisa ditahan lagi ia bernapas berat.
Hoa In-liong bukan seorang jago sembarangan, dengan ketajaman pendengarannya serta hembusan napas berat itu dapat terdengar olehnya dengan nyata.
Kini, menghadapi serangan maut dari musuhnya ia lantas mendengus dingin, tangan kanannya dengan menggunakan ilmu Menyerang sampai ma ti bagian pertama secepat kilat melepaskan sebuah totokan maut ke arah urat nadi pada pergelangan musuh.
Orang itu menjerit kesakitan termakan oleh totokan tersebut pedangnya terlepas dari cekalan dan terjatuh ke tanah.
Hoa In-liong tidak ragu-ragu lagi, begitu senjata musuh berhasil dirontokkan, ia lantas bergerak ke muka dan menerobos masuk melalui jendela itu.
Coa Wi-wi agak tertegun sebentar, kemudian dengan perasaan malu bercampur mendongkol dia ikut menerobos masuk ke dalam ruangan.
Padahal, berbicara dari kesempurnaan tenaga dalam yang dimilikinya, seharusnya ia sudah mengetahui akan kehadiran seseorang disana semenjak tadi, tapi lantaran pertama pengalamannya kurang banyak, kedua segenap perhatian dan perasaannya tertuju pada Hoa In-liong seorang, otomatis urusan lain terkesampingkan olehnya dan sama sekali tidak peroleh perhatian apa-apa. Tapi sekarang setelah mengetahui bahwa ada orang mengacau kemesraan mereka, dari rasa malunya gadis itu jadi marah, hawa napsu membunuh yang belum pernah terlintas dalam benaknya segera menyelimuti seluruh wajahnya yang cantik.
Ruang batu itu luasnya cuma dua kaki, dalam ruanganpun hanya terdapat sebuah pembaringan, sebuah meja, tiga empat buah kursi, sebuah lampu lentera diatas meja dan tiada benda lainnya lagi.
Orang yang barusan melancarkan serangan adalah seorang laki-laki kekar berbaju ungu, cukup dalam sekilas pandangan saja Hoa In-liong segera mengenali kembali orang itu sebagai salah seorang diantara delapan lelaki kekar yang muncul bersama Ciu-Hoa di ruang peti mati keluarga Suma Tiang- cing.
Lengan kanan laki-laki itu terkulai lemas kebawah, mukanya diliputi rasa takut, ngeri yang luar biasa, matanya celingukan kesana kemari, tampaknya ia bermaksud kabur dari situ.
Diam-diam Hoa In-liong mendengus dingin, namun diluaran sambil tersenyum sapanya, “Sahabat, agaknya kita pernah berjumpa muka bukan? Siapa namamu?”
Laki-laki berbaju ungu itu agak tertegun, kemudian tanpa mengucapkan sepatah kata pun ia putar badan dan kabur lewat pintu ruangan.
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dengan suatu gerakan yang cepat ia menghadang dihadapannya, lalu mengejek lagi, “Sobat, masa sebelum mengucapkan sepatah katapun kau sudah ingin kabur dari sini? Oooh…. atau mungkin kau merasa bahwa Hoa loji ti dak pantas bersahabat denganmu?”
“Enyah kau bangsat dari sini!” teriak laki-laki berbaju ungu itu kaget bercampur marah.
Telapak tangan kanannya dengan membawa desiran angin tajam melepaskan sebuah pukulan kencang kedada Hoa In- liong.
Coa Wi-wi mendengus dingin, jari tangannya setengah tombak disodok kemuka, dengan kepandaian silatnya yang sangat lihay tentu saja laki-laki berbaju ungu itu tak sanggup menghindarkan diri….
Diiringi dengusan tertahan, jalan darah Ping hong hiat di tubuhnya terkena totokan, tak ampun badannya segera roboh terjungkal.
Melihat itu Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. sobat, itulah yang
dinamakan arak kehormatan kau tolak arak hukuman kau raih, siapa suruh mencari penyakit buat diri sendiri?”
Laki-laki berbaju ungu itu menggertak gigi sambil melotot gusar, ia membungkam dalam seribu bahasa.
“Jiko, aku rasa sebelum digunakan siksaan dia tak akan buka suara….” seru Coa Wi-wi lagi
Hoa In-liong cukup memahami perasaan si gadis tersebut, ia tahu Coa Wi-wi lagi tak senang hati berhubung kemesraan mereka diketahui orang tapi diapun tak ingin sampai gadis itu ternoda oleh kejadian itu sehingga kelembutan dan kemuliaannya sebagai seorang dara tersinggung. Maka sambil tersenyum ujarnya, “Adik Wi, bagaimana kalau urusan ini kuselesaikan, hati kecilnya mengatakan segan toh ia mundur juga selangkah.
Setelah gadis itu mundur, Hoa In-liong baru berpaling lagi dengan muka lebih serius.
“Sobat, engkau berasal dari marga mana?”
“Tan” sahut laki-laki itu ketus, agaknya ia tahu bahwa tiada harapan lagi untuk melarikan diri maka pertanyaan yang diajukan kepadanya harus dijawab.
“Lantas siapakah namamu?” tanya pemuda itu lagi dengan raut wajah yang jauh lebih lembut.
“Beng-tat!”
“Tan Beng-tat, ehmm…. sebuah nama yang bagus, lalu apa kedudukan saudara Tan didalam perkumpulan Hian-beng- kauw?”
“Maaf, hal ini tak dapat dijawab”
Hoa In-liong tidak menjadi gusar oleh jawaban tersebut, dia malah tersenyum.
“Jadi kalau begitu, orang-orang dari perkumpulan kalianlah yang sudah membakar pesanggrahan pertabiban ini?”
Tan Beng-tat termenung sebentar, kemudian baru menjawab dengan nada dingin.
“Yaa, benar!” Mendengar pengakuan tersebut, Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan amarahnya lagi, ia berteriak keras, “Dendam sakit hati apakah yang telah terjalin antara empek Yu dengan kamu semua? Mengapa kalian berbuat sekeji ini terhadap mere ka semua? Sebenarnya kalian masih memiliki sifat kemanusiaan atau tidak?”
Dengan sinar mata yang jelalatan Tan Beng-tat melotot kearah gadis itu, bibirnya sudah bergetar seperti mau melontarkan caci makinya, tapi ketika ditemuinya Coa Wi-wi tampak cantik jelita bak bidadari dari kahyangan kendatipun berada dalam keadaan gusar, kontan saja ia terbungkam dan tak mampu melanjutkan kata-kata makiannya, Hoa In-liong sendiri sebetulnya juga marah sekali setelah mendengar ucapan tadi, namun dia masih sanggup mengendalikan perasaannya,
“Lantas empek Yu kami itu kini berada dimana?” tanyanya lebih jauh, “apakah saudara Tao bersedia memberi tahukan kepada kami?”
“Aku tidak tahu!” sahut Tan Beng-tat dengan suara yang dingin, kaku dan tak sedap didengar.
Hoa In-liong tersenyum,
“Saudara Tan, rupanya kau sudah menganggap aku Hoa Yang terlampau pelit sehingga tiada sayur mayur dari hidangan lezat untuk menjamu dirimu, maka engkaupun segan memberi petunjuk kepadaku?”
Tan Beng tai terkesiap, dia bukan orang goblok tentu saja maksud yang sebenarnya dari ucapan tersebut diketahui juga olehnya, segera pikirnya di hati, “Bajingan, keparat ini jelas adalah seorang Siau bin hau (harimau bermuka tertawa), entah siksaan kejam apakah yang hendak ia limpahkan terhadapku?”
Ia jadi nekad, segera teriaknya dengan suara melengking, “Bocah keparat dari keluarga Hoa, kau mempunyai permainan busuk apa saja? hayo keluarkan semua dan silahkan dihadiahkan kepada toaya mu, jika toaya mu sampai berkerut kening, anggap saja bahwa aku bukan seorang laki-laki sejati”
Coa Wi-wi semakin gusar lagi sehabis mendengar kata-kata musuhnya yang tak senonoh, ia segera membentak keras, “Bangsat, rupanya sebelum diberi siksaan mulutmu tetap kotor, bagus, tidak ada susahnya kalau kau memang ingin mencicipi bagaimana rasanya kelihaiyanku”
Berbicara sampai disitu, tangannya yang putih mulus lantas di ayun kebawah siap melancarkan serangan.
“Eeeh….tunggu sebentar adik Wi!” buru-buru Hoa In-liong mengghalangi perbuatannya.
Kemudian dengan wajah serius dia berseru, “Hayo jawab, siapa-siapa saja yang terlibat dalam peristiwa pembakaran terhadap pesanggrahan pertabiban ini!”
“Kau ingin tahu?” ejek Tan Beng-tat dengan wajab licik. “Sambil menyeringai seram berkatalah Tan Beng-tat,
“Mereka adalah Jin Hian, Thian Ik cu, Kiu-im-kauwcu selain tentu saja yayamu sendiri puas bukan?”
Hoa In-liong betul-betul amat gusar menghadapi perlakuan seperti ini,pikirannya, “Bajingan ini terlalu keras kepala dan sombong agaknya jika tidak diberi sedikit pelajaran yang setimpal, dia tak mau mengakuinya secara berterus terang….” Berpikir demikian diapun tertawa tergelak.
“Haaahhh…. haaahhh…. haaah….puas. puas, aku merasa puas sekali….!”
Secara beruntun tangan kanannya melancarkan beberapa totokan keatas jalan darah ditubuh Tan Beng-tat.
Termakan oleh beberapa totokan tersebut, seketika itu juga Tan Beng-tat merasakan sekujur badannya linu dan gatal, seakan-akan ada semut yang beribu-ribu banyaknya berjalan didalam tubuhnya.
Mula-mula ia masih bertahan sambil menggigit bibir, tapi akhirnya ia merasa sekujur badannya seperti digigit oleh berjuta-juta ekor semut, sakitnya masih bisa ditahan tapi rasa gatalnya, benar-benar sudah merasuk sampai ke dalam, bukan hatinya saja yang gatal bahkan semua isi perutnya ikut menjadi gatal.
Sedemikian menderitanya rasa gatal itu, kalau bisa dia ingin mengorek keluar semua isi perutnya agar rasa gatal itu berkurang, bayangkan sendiri sampai ke tingkat yang bagaimanakah penderitaan tersebut?
Padahal ketika itu jalan darahnya tertotok, jangankan merangkak bangun, untuk bergerakpun tak mampu, bisa dimengerti kalau laki-laki itu akhirnya tak tahan juga.
“Anak jadah she Hoa…. anak anjing budukan, laki perempuan bangka…. kalau punya kepandaian ayoh bunuh aku kalau berani….!” makinya kalang kabut.
Apa yang diharapkan pada keadaan seperti ini hanyalah satu yakni kematian, untuk mewujudkan keinginannya itu maka terlontarlah segala macam kata-kata makian yang paling kotorpun.
Hoa In-liong tidak menjadi marah karena itu, malah ejeknya, “Ayoh makilah, maki terus sampai tua, haahh…. haahh…. haahh…. semakin banyak kata-kata kotormu, semakin lama pula penderitaan yang akan kau rasakan”
Melihat makiannya tidak mendatangkan hasil, Tan Beng-tat segera berganti taktik, ia mulai merengek-rengek, “Hoa Yang, berbuatlah sedikit kejadian, bunuhlah aku dengan sekali bacokan, kalian keluarga Hoa….”
Berbicara sampai disini, kembali ia tak dapat mengendalikan rasa sakitnya hingga merintih ngeri.
“Diam-diam Hoa liong mengerutkan dahinya dan berpikir, “Entah siapakah Hian-beng Kaucu ini? Betapa ketatnya peraturan perkumpulan mereka, sampai-sampai dalam keadaan demikianpun Tan Beng-tat tak berani membocorkan rahasia perkumpulannya….”
Coa Wi-wi Juga merasa tak tega melihat keadaan tersebut, terutama setelah jalan darah Ping-hong-hiat ditubuh Tan Beng-tat tertotok, sekalipun badannya tak mampu bergerak, tapi seluruh kulit wajahnya mengejang keras dan rintihannya semakin mengenaskan.
Sebagai seseorang yang berhati mulia, akhirnya toh gadis itu merasa tak tega, katanya kemudian, “Jiko, aku pikir….”
Tapi dengan cepat ia membungkam kembali”.
Hoa In-liong berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya bibir gadis itu bergetar seperti hendak mengucapkan sesuatu tapi niat itu kemudian dibatalkan, bahkan Wajahnya menunjukkan rasa tak tega, dia lantas tahu bahwa gadis itu sedang memintakan ampun bagi Tan Beng-tat.
Namun un cukup merasakan betapa pentingnya masalah tersebut, bagaimanapun jua tak mungkin korban tadi dilepaskan dengan demikian saja.
Akhirnya setelah mempertimbangkan beberapa saat, dia menghela napas, secara beruntun ditepuknya beberapa buahjalan darah ditubuh orang itu hingga siksaan “digigit berjuta-juta ekor semut” pun ikut lenyap dengan sendirinya.
“Tan Beng at!” bentaknya kemudian, “empek Yu ku itu masih hidup atau sudah mati?”
Teringat berapa tersiksanya digigit semut, setelah sangsi sejenak Ta Beng at menyahut juga, “Masih hidup!”
“eandainya aku bertanya dimanakah empek Yu berada, ku yakin kau tak berani mengatakannya, bahkan belum tentu mengetahuinya, maka aku hanya ingin bertanya kepadamu, ada utusan apa kau seorang diri datang kemari….?”
Tan Beng at kelihatan seperti tertegun.
“Darimana kau bisa tahu kalau aku datang kemari seorang diri?” ia balik bertanya.
Hoa In ng tidak langsung menjawah diam-diam ia membatin, “Orang ini keras diluar lunak didalam, jelas kedatangannya kemari mempunyai tugas tertentu, akan kulihat apa yang dia lakukan disini?”
Sambil menengadah ia pun tertawa terbahak-bahak. “Haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. baiklah akupun tak akan menanyakan kepada kau datang kemari, tapi dimanakah Ciu kongcu mereka berada tentunya kau tahu bukan?”
Tan Beng-tat tidak menduga kalau secara tiba-tiba musuhnya bersikap selembut itu, ia benar-benar merasa kaget bercampur curiga selang sejenak kemudian dia baru menyahut, “Pokoknya ada dikota Kim-leng, Hoa jiya kan orang yang hebat dan punya kemampuan luar biasa kenapa tidak berusaha mencari sendiri?”
“Beritahu kepadaku akan kuperkenankan kau berlalu dari sini! ujar Hoa In-liong lagi dengan wajah serius.
Janji tersebut benar-benar ada diluar dugaan Tan Beng-tat, dia melongo.
“Bagaimana caranya aku bisa mempercayai dirimu?” serunya kemudian dengan nada sangsi.
“Dengan dasar nama baik keluarga Hoa kami, memangnya aku akan membohongi dirimu?” seru pemuda itu lagi dengan wajah makin serius.
Yaa, memang! Pada hakekatnya keluarga Hoa semenjak dari kakek Hoa In-liong yang bernama Hoa goan siu sudah merupakan tonggak atau tulang punggung bagi kaum pendekar dari golongan putih, setiap perkataan yang mereka ucapkan mau pun setiap tindakan yang mereka lakukan secara otomatis merupakan tindakan resmi dari seluruh umat persilatan golongan putih yang didunia ini, hingga serta-merta pihak lawan pun hampir semuanya mempercayai apa yang dikatakan orang-orang keluarga Hoa. Tan Beng-tat agak sangsi sebentar, kemudian tanyanya, “Bila kukatakan tapi engkau tidak percaya, apa pula yang musti kulakukan?”
“Asal kau bersedia mengatakannya, benar atau tidaknya aku Hoa loji dapat menentukan sendiri, tak perlu kau musti repot-repot meresahkannya bagiku!”
Berkilat sepasang mata Tan Beng-tat sehabis mendengar perkataan itu, ia bertanya lagi, “Jadi aku diperbolehkan pergi dari sini tanpa kekurangan sesuatu bendapun diri semua yang kubawa?”
“Goblok, “pikir Hoa Tn liong dengan gelinya, “dengan perkataanmu itu, bukankah sama halnya dengan kau beritahukan rahasiamu kepadaku?”
Ia menengok kearah Coa Wi-wi, kebetulan gadis itu lagi memandang kearahnya, merekapun saling berpandangan sambil tertawa.
“Jiko!” bisik Coa Wi-wi kemudian dengan ilmu menyampaikan suaranya, “perlukah kita geledah dulu isi sakunya?”
“Tidak usah!” jawab Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan suara juga, “aku mempunyai perhitungan sendiri”
Dsngan wajah serius ia menyahut, “Boleh saja permintaanmu itu, Nah, katakanlah!”
Tan Beng-tat termenung sebentar, lalu menjawab, “Mereka berada di istana Tiau thin-kiong, percaya atau tidak terserah padamu” “Omong kosong, kau sedang membohong “Coa Wi-wi segera membentak nyaring, “istana Tiau thian kioag adalah tempat umum yang dapat dikunjungi setiap orang, masa mereka bersembunyi disana?”
Tan Beng-tat kuatir Hoa In-liong turun tangan menyiksa dirinya lagi, cepat-cepat ia berseru, “Kami masuk dengan memanjat dinding pekarangan, istana itu luas sekali, disanapun merupakan tempat yang bisa dipakai untuk bersembunyi, lagipula jarang ada orang yang masuk sampai tengah istana, sudah tentu jejak kami sulit diketahui orang”
“Setelah berhenti sebentar, ia berkata lagi, “Semua jago tangguh dari perkumpulan kami telah tiba semua disini, aku rasa tiada keharusan bagiku untuk mengelabuhi kalian semua”
Tapi setelah perkataan itu meluncur keluar, ia merasa sangat menyesal, untuk dibatalkan kembali jelas tak mungkin, maka diapun membungkam dalam seribu basa.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu berpikir, “Kalau dilihat dari gerak-geriknya, apa yang di katakan memang dapat dipercaya, coba kuselidiki lebih lanjut rahasia perkumpu- lannya”
Berpikir lebih lanjut, diapun bertanya kembali, “Siapa saja yang telah datang? Apakah ke delapan orang Ciu Hoa juga sudah berkumpul semua disini? bagaimana dengan kaucu kalian?”
Waktu itu Tan Beng-tat sedang gelagapan lantaran salah berbicara, mendengar perkataan itu ia jadi paik pitam.
“Wahai orang she Hoa!” demikian teguran “engkau toh cuma menanyakan dimana kongcu kami bersembunyi, dan aku telah menjawab sejujurnya, Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak tangannya bergerak cepat menepuk bebas jalan darah peng hong hiat yang tertotok itu.
“Baiklah, kalau begitu kau boleh pergi!” katanya Mimpipun Tan Beng-tat tak pernah percanya kalau dirinya
bakal dilepaskan dengan begitu saja tanpa musti melalui prosedur yang menyulitkan, tidak banyak berbicara lagi dia segera melompat bangun dan berdiri tertegun.
“Apa lagi?” tegur Coa Wi-wi dengan suara ketus, “sudah tak pingin pergi? Bagus sekali, kalau begitu tinggal saja disini!”
Tan Beng-tat amat terkejut, dia kuatir Hoa In-liong berubah pikiran, karenanya tanpa berani mengucapkan sepatah katapun ia kabur ke pintu ruangan, kemudian setelah menatap sekejap kearah musuhnya dengan penuh kebencian, buru- buru dia angkat kaki dan kabur dari situ.
Begitu Tan Beng-tat meninggalkan ruangan tersebut, Coa Wi-wi lantas berbisik lirih, “Jiko, ayoh kejar!”
“Tak mungkin lolos dari kejaran kita, tunggu saja sebentar lagi” kata Hoa-In liong sedikitpun tidak gugup.
Dengan sorot mata yang tajam ia mengawasi sekejap sekeliling tempat itu, setelah mengamatinya beberapa waktu, akhirnya pemuda itu berkesimpulan bahwa keempat kaki pembaringan yang terbuat dari bambu itulah merupakan bagian yang paling mencurigakan diantara sekian benda dalam ruangan tersebut.
Semenjak kecilnya pemuda ini memang bandel dan nakal, soal mencari barang yang disembunyikan sesuatu benda boleh dikata merupakan keahliannya yang terutama, maka bila seseorang hendak menyembunyikan sesuatu dihadapannya, tak mungkin benda tersebut dapat lolos dari ketajaman sepasang matanya.
Begitulah, setelah menaruh curiga pada suatu bagian tempat itu, pemuda itu pun maju menghampiri pembaringan, berjongkok ditepinya dan mulai melakukan percarian dengan seksama, ia berusaha menemukan sesuatu yang aneh dari tempat itu. Betul juga, ternyata diantara kaki pembaringan yang terbuat dari bambu, ada satu ruas diantaranya yang dapat dibuka, oleh karena pandangan yang dilakukan secara sempurna, hal ini tak gampang ditemukan orang.
Tapi apa yang ditemukan? Ketika ruas bambu itu dibuka, ternyata isinya kosong, tiada sesuatu benda apapun di situ.
Kendatipun demikian, Hoa In-liong tidak menyerah dengan begitu saji, dengan jari tengah dan telunjuknya ia coba mengorek tabung bambu vang kosong tadi.
Melihat tingkah laku Hoa In-liong yang tiada bosan- bosannya mengorek tabung bambu yang kosong, habislah kesabaran Coa Wi-wi, “ia maju kesisinya lalu menegur, “Ayoh berangkat! Aaaai…. kamu ini memang keterlaluan, andaikata benar-benar ada barangnya sudah pasti barang itu telah dibawa lari, masa harus menunggu sampai aku datang untuk mengam bilnya?”
Hoa In lioag tertawa lirih, merasa ucapan dari gadis itu ada benarnya juga, ia siap bangkit berdiri.
Tapi….secara tiba-tiba satu ingatau melintas dalam benaknya, ia merasa dalam tabung bambu itu seakan-akan telah menyentuh suatu benda yang licin, jelas benda tersebut bukan merupakan lembaran bambu. Dalam keadaan begini, ia segan untuk membuang tenaga lagi, sekali bacok tabung bambu itu dihajarnya sampai hancur.
Betul juga dugaannya, begitu tabung bambu terhajar pecah, dari hancuran bambu muncullah sebuah benda panjang yang memancarkan cahaya hijau muda, menyilaukan sekali cahaya tersebut.
Cepat dipungutnya benda tersebut, ternyata adalah sebuah penggaris kemala, diatas penggaris terukir enam huruf besar yang berbunyi: Istana Kiu ci kiong, tempat penyimpanan kitab.
Selain keenam huruf besar itu, diatas penggaris terukir pula penuh huruf kecil yang lembut dan sebesar lalat, selain itu terukir juga lukisan manusia dilam posisi yang bsraneka ragam.
Dalam sekilas pandangan saja, pemuda itu segera mengetahuinya sebagai benda peninggalan Kiu-ci Sinkun, hanya entah apa sebabnya ternyata bisa disimpan secara rahasia disitu.
“Apakah itu? Sebuah Giok pek-ci (Penggaris Kemala Hijau)?” tanya Coa Wi-wi sambil menghampiri dari belakang.
Hoa In-liong tak sempat meneliti lebih jauh, seraya angsurkan benda itu kepadanya ia menyahut, “Bukan batu kemala, sebab kalau kemala hijau, sudah pasti tak akan tahan oleh pukulan tanganku!”
Selesai berkata, ia melanjutkan kembili penggeledahannya dengan menghancurkan tabung-tabung bambu lainnya namun tiada sesuatu apapun yang ditemukan.
Dengan patahnya keempat buah Laki pembaringan tersebut, maka dikala anak muda itu melepaskan pegangannya, ambruklah pembaringan itu ketanah sementara, ia sendiri lantas bangun.
“Istana Kiu ci kioag itu terletak dimana?” Coa Wi-wi bertanya lagi.
Sambil putar badan jawab Hoa In-Iiong, “Istana Kiu ci- kiong di dirikan oleh seorang jago silat yang bernama Kiu-ci Sinkun, letaknya ada dibakit Kiu ci-san karesidenan Sam kang- siam propinsi Kwang-see!”
Setelah berhenti ssjenak. ia berkata lagi, “Sepanjang hidupnya Kiu-ci Sinkun mempunyai banyak pengalaman yang menarik, lain hari akan kuceritakan kesemuanya itu kepadamu, juga tentang kisah penggalian harta Karun dibukit Kiu ci-san yang berlangsung sampai tiga kali, penuh dihiasi oleh kejadian-kejadian yang ramai dan tegang, cuma seluruh harta karun yang tersimpan dalam istana Kiu ci-kiong akhirnya habis terkuras dalam penggalian yang diadakan untuk ketiga kalinya….”
Tiba-tiba ditemuinya Coa Wi-wi sedang mengawasi penggaris kemala hijau itu dengan penuh semangat, ia lantas bertanya dengan tercengang.
“Ada apanya sih penggaris kemala hijau itu? Kok serius amat caramu memperhatikan?”
“Jiko, cepat libat, lukisan orang-orangan yang ada dipenggaris tersebut agaknya merupakan pelajaran ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam yang amat dahsyat “teriak Coa Wi-wi dengan nada sangat gembira.
“Aaaah….! Masa iya?” seru Hoa In-liong pula dengan nada tercengang. “Benar jiko, cuma ilmu pukulan dan Sim-hoat tenaga dalam itu ditulis tak berurutan, kacau kalau tak karuan hingga sukar diikuti dengan sebaik-baiknya”
Seraya berkata, dengan hati berkerut gadis itu menyerahkan kembali penggaris kemala hijau itu kepada Hoa In-liong.
Hoa In-liong menerima benda itu dan menyahut, “Bila dugaanku tak salah, ilmu pukulan dan sim-hoat tenaga dalam itu tentulah peninggalan dari Kiu-ci Sinkun, atau mungkin juga penggaris kemala hijau ini adalah batas bukunya”
Setelah menyimpannya kedalam saku, ia berkata lagi, “Sekarang tak ada waktu lagi bagi kita untuk menduga lebih jauh, lebih baik kita percepat lakukan pengejaran….”
Ia merasa sudah terlalu banyak waktu yang terbuang, karenanya pemuda itu tak berani berayal lebih jauh, setelah keluar dari ruang batu, mereka memanjat sebuah pohon besar diatas bukit gunung-gunungan tersebut, dari situ mereka arahkan pandangannya jauh kedepan.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menunjuk kearah timur sambil berseru, “Disebelah sana ada sesosok bayangan hitam sedang bergerak, mungkin dia adalah Tan Beng-tat!”
Hoa In-liong tahu bahwa ketajaman mata sidara manis ini jauh melebihi kemampuannya, kalau toh ia berkata demikian, maka boleh dibilang perkataannya itu tak bakal salah.
Mereka berdua tak berani berayal lagi, dengan cepat dilakukan pengejaran ketat kedepan.
Terhadap benda penemuan yang diperolehnya tanpa sengaja itu baik Hoa In-liong mampu Coa Wi-wi sama-sama tidak menaruh perhatian, padahal mereka tak menyangka kalau benda itu justru merupakan modal yang paling diandalkan Hoa In-liong dalam usahanya melenyapkan hawa iblis dari muka bumi di kemudian hari.
Yaa, kalau takdir telah menentukan demikian, siapa lagi yang dapat membantah?
Apa yang diucipkan Hoa In-liong tadipun hanya merupakan suatu dugaan belaka, tapi apa yang diduganya itu memang sembilan puluh persen persis seperti kenyataannya,
Dahulu, penggarisan kedalam hijiu itu memang digunakan Kiu-ci Sinkun sebagai batas bukunya, apa yang diperolehnya setiap hari boleh dibilang dicatat semua diatas penggaris tadi.
Kiu-ci Sinkun dapat berbuat demikian, boleh dibilang masih membawa suatu tujuan tertentu, oleh sebab dia adalah seorang yang latah, ia berharap setiap benda yang pernah digunakannya dimasa lalu akan dipandang sebagai benda pusaka oleh mereka yang menemukannya kembali dikemudian hari, maka semua kepandaian yang diperolehnya pada waktu itu hampir boleh dibilang tercatat semua di sana.
Penggaris kemala hijau sebagai batas bukunya itu ia selipkan di salah satu kitab-kitab pusaka yang dimilikinya, dan secara kebetulan terselip di dalam kitab pusaka Hoa to cin keng yang didapatkan Yu Siang tek.
Pada hakekatnya kitab pusaka yang ditemukan dalam penggalian harta pusaka di bukit Kiu ci san itu tak terhitung banyaknya, dalam keadaan demikian, sudah tentu siapapun tidak menaruh perhatian atas sebuah batas buku.
Menanti Yu Siang-tek menemukan keistimewaan tersebut, operasi pencarian harta karun telah berakhir, semua orang sudah saling berpisah untuk menuju ke rumahnya masing- masing.
Sayang tenaga dalamnya amat cetek, lagipula catatan ilmu pukulan dan sim hoat tenaga dalam yang tertera diatas penggaris kemala hijiu itu kalut dan tidak beraturan, banyak keistimewaan dan keampuhan dari sari kepandaian itu tak berhasil ia pahami.
Timbul kemudian satu ingatan untuk mengirim benda itu keluarga Hoa dibukit Im-tiong-san, tapi diapun merasa kuatir benda yang tak seberapa nilainya itu akan menimbulkan gelak tertawa orang.
Akhirnya setelah mempertimbangkannya berulang kali, ia putuskan untuk menyimpan saja benda tersebut sambil menunggu kesempatan baik dikemudian hari.
Kebetulan kali ini Hoa In-liong berkunjung ke selatan, sebenarnya benda itu hendak diserahkan kepada anak muda tersebut, tapi kemudian Hoa In-liong berlalu dengan tergesa gesa, hingga benda mustika tersebutpun untuk sementara waktu ditangguhkan penyerahan-nya.
Siapa tahu selelah mengalami pelbagai rintangan dan persoalan, akhirnya toh penggaris kemala hijiu tersebut terjauh kembali ke tangan Hoa In-liong, boleh dibilang memang begitulah takdir berbicara.
“Begitulah, dengan kecepatan bagaikan sambaran petir, kedua orang itu melakukan pengejaran kemuka, sekejap kemudian mereka berhasil menyusuli laki laki itu.
Benar juga, dari kejauhan tampak Tan Beng-tat melanjutkan perjalanannya sambil bersembunyi, ia selalu memilih tempat yang gelap dan tersembunyi untuk menyembunyikan jejaknya, bahkan sering kali menoleh ke belakang rupanya ia kuatir kalau perjalanannya dibuntuti orang.
Sampai detik itu, mau tak mau Hoa In-liong harus memuji ketajaman mata Coa Wi-wi, berganti orang lain, mungkin sulit untuk menemukan jejak laki-laki itu.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menempelkan bibirnya ke sisi telinga anak mudi itu, lalu berbisik, “Bajingan ini sedang berbohong, kalau benar istana Tiau thian-kiong semestinya dia lewat pintu kota sebelah barat, karena letak istana tersebut adalah Hu see sak shia, padahal dia perginya ke arah bukit Ciong san pingit, sekali kubacok bangsat itu sampai modar.
Hoa In-liong tertawa.
“Kau tak usah begitu marah, pokoknya asal kita tak sampai tertipu, itu kan cukup” hiburnya.
00000O00000
28
TIBA-TIBA ia menarik ujung baju Coa-Wi-wi sambil berseru, “Eeeh….tunggu sebentar!”
Ternyata mereka berdua telah menyusul sampai jarak sepuluh kaki dibelakang sasaran, Hoa In-liong takut pembuntutan yang terlampau dekat bakal diketahui Tan Beng- tat, maka dia usulkan untuk berhenti lebih dulu.
“Jiko” kata Coa Wi-wi kemudian, “lebih leluasa buat kita untuk mengawasinya dari atas pohon bagaimana menurut pendapatmu?” Hoa In-liong mengawasi lebih dulu sekeliling tempat itu, ketika dilihatnya sekeliling tempat itu adalah sebuah hutan yang luas, ia menyadari bahwa pengejaran yang dilakukan dari atas tanah gampang kehilangan sasaran, maka setelah mempertimbangkannya sejenak akhirnya pemuda itupun mengangguk.
Coa Wi-wi tidak banyik berbicara lagi, ia menarik tangan Hoa In-liong dan diajak naik keatas dahan pohon.
Hoa In-liong membiarkan dirinya ditarik, tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun, tubuhnya sudah melambung ke udara dan hinggap diatas dahan pohon.
Ketika ia berpaling ke arah Coa-Wi-wi, terlihat gadis itu tetap wajar dan sama sekali tidak kelihayan payah, kenyataan tersebut membuat pemuda kita jadi kagum.
“Adik Wi!” pujinya, “sim hoat tenaga dalam dari perguruanmu benar-benar hebat sekali”
Yaa, betapapun juga, tenaga dalam yang dimiliki Coa Wi-wi memang patut dikagumi.
“Ehmm….!” sahut sang dara, “kecuali sim-hoat tenaga dalam yang hebat, masih ada lagi sebab sebab lainnya”
“Oya? Kalau begitu kau pernah makan obat mustika atau bahan obat yang mujarab?”
“Yaa, aku pernah minum cairan sari buah yang tak ternilai harganya….” sahut Coa Wi-wi serius.
Hoa In-liong tertawa. “Ooh…. kalau begitu, tentunya Leng ci beruSaha seribu tahun?” ujarnya kembali.
Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Bukan Leng ci, melainkan buah Tho dsri perjamuan See- ong-bo di nirwana….”
Tentu saja Hoa In-liong tahu kalau gadis tersebut sedang bergurau. Ini membuat timbulnya sifat binal dalam hati kecil anak muda itu.
“Waaah…. kalau begitu adik Wi adalah Dewi cantik dari Nirwana?” godanya, “aku si manusia sederhana dari bumi, sungguh merasa amat beruntung dapat berkenalan dengan dirimu”
Mendengar godaan tersebut Coa Wi-wi tertawa berseri-seri. “Kau tidak percaya yaa dengan perkataanku? Baik, sampai
dirumah nanti akan kuberikan juga cairan itu untukmu,
tanggung sesudah minum cai-tay tersebut tenaga dalammu akan bertambah sepuluh kali lipat dari keadaan sekarang ini”
“Waaah…. kalau bisa mengalami kejadian semacam itu, sembilan keturunanku pasti akan selalu memperoleh rejeki” Hoa In-liong mendesis setengah percaya setengah tidak.
Melihat pemuda itu masih tidak percaya, Coa Wi-wi mengalihkan kembali pembicaraannya ke soal pokok.
“Jiko, kalau toh engkau sudah tahu bahwa pihak Hian- beng-kauw lah yang telah menculik empek Yu, aku rasa janjimu dengan Bwee Su-yok besok malam tak usah dipenuhi lagi” katanya. Hoa In-liong tersenyum.
“Aku rasa kurang baik kalau kita terbuat demikian!” Meskipun perkataan itu diucapkan dengan suara lembut,
tapi nadanya tegas dan mantap.
Tidak berhasil membujuki pemuda itu untuk membatalkan pertemuannya dengan Kiu-im-kauwcu, Coa Wi-wi berpikir sebentar lalu bertanya lagi, “Jiko, seandainya Kiu-im-kauwcu bersedia meninggalkan yang sesat untuk kembali kejalan yang benar, gembirakah jiko menghadapi keadaan tersebut?”
“Sudah tentu sangat gembira, cuma…. haaahhh…. haaahhh…. haaahhh…. aku rasa hal ini takmungkin terjadi”
“Aku mempunyai suatu akal yang bagus sekali, bukan saja dapat membuat Kiu-im-kauwcu meninggalkan jalan yang sesat kembali kejalan yang benar, bahkan dia malahan akan membantu pihak kita. Apakah jiko ingin mengetahuinya?”
Hoa In-liong tidak tahu permainan apa lagi yang sedang dipersiapkan anak gadis itu, tapi ketika dilihatnya dara tersebut bicara dengan wajah bersungguh-sungguh, ia toh tertawa juga.
“Kalau engkau memang ada akal bagus, hayolah katakan kepadaku, coba kulihat sampai dimanakah kebagusan akalmu itu!”
“Sejak dulu sampai sekarang, perbuatan paling sulit didunia ini adalah menasehati orang untuk berbuat kebajikan, tentunya kau juga pernah mendengar bukan orang berkata begini: Mencuci muka membersihkan hati adalah perbuatan yang sulit diatas sulit….” “Yaa, aku sudah tahu, merubah orang sesat menjadi orang budiman adalah perbuatannya yang paling sukar didunia ini” tukas Hoa In ling. “oleh sebab amat sukar, maka kalau engkau punya cara yang bagus, hayolah cepat katakan kepadaku”
Coa Wi-wi tidak langsung menjawab pertanyaan itu, sebaliknya dengan nada serius ia berceramah kembali, “Sekalipun dapat menyuruh orang jahat melepaskan golok pembunuhnya dan bertobat, orang yang memberikan nasehatnya itu entah harus menelan berapa banyak penderitaan dan pahit getir, dulu orang pernah bilang begini: Nasehat Malaikat, membuat batu yang keraspun menganggukkan kepala.
Dari sini dapat diterangkan betapa penderitaannya dan betapa banyaknya, pengorbanan yang harus dikeluarkan Hoah-su itu sebelum berhasil membuat batu yang bandel menganggukkan kepalanya belaka”
Mendengarkan ceramah tentang betapa sukarnya orang menasehati seseorang yang berbuat kejahatan menjadi orang baik, Hoa In-liong tertawa lebar.
“Sudah, sudahlah, sebetulnya engkau mempunyai pusaka apa lagi? Ayo tunjukkan semua kepadaku, memangnya aku bakal berbuat pahala dengan dirimu?”
Coa Wi-wi tertawa cekikikan.
“Caraku ini bukan saja merupakau cara paling jitu diseluruh dunia, bila berhasil, bukan saja akan mendapat pahala besar, bukan su atu rejeKi nomplok yang tak terkirakan besarnya”
Begitu mendengar ucapan yang terakhir itu, Hoa In-liong segera menebak isi fikiran dari dara tersebut, sambil menarik muka ia lantai tepuk lengannya sambil pura-pura marah. “Omong sembarangan, lihat saja kuberi pelajaran yang setimpal tidak kepadamu”
“Tapi aku bicara yang sesungguhnya! Bwe Su-yok cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, jika kau berhasil mempersunting dirinya, bukankah tindakan ini sama halnya dengan sekali tepuk dapat dua lalat?”
“Haahh…. haahh…. haah…. , agaknya kau sedang mengigau disiang bari boloag “kami Hoa In-liong sambil tertawa.
Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, ia merasa perkataan dari Coa Wi-wi ada benarnya juga.
Haruslah diterangkan disini, pada dasarnya Hoa In-liong memang gemar bergaul dengan para gadis, ia binal, bertindak menurut suara harinya dan tak pernah menurut peraturan.
Baginya asal perasaan mengatakan benar maka itu berarti, dengan waktu semacam ini tentu saja ia tak berani berbuat yang sembarangan susila, menipu perasaan orang lain.
Meski begitu, pada dasarnya bukannya ia tidak berminat terhadap Bwe Su-yok.
Tapi dengan dasar waktunya yang romatis, ia lebih suka bermain perempuan kesana kemari dari pada menitik beratkan perhatiannya khusus untuk mencari istri.
Rasa cintanya terhadap Bwee Su-yok adalah suatu letupan cinta yang murni, dalam benaknya ia hanya terbatas ingin mengajak gadis itu pesiar bersama saja soal mengawininya boleh dibilang belum pernah ia pikirkan. Bercanda, bergurau ataupun pesiar bersama bukan suatu perbuatan yang melanggar hukum tapi kalau meningkat selangkah lebih kedepan, itu sudah menjurus perbuatan cabul.
Mendekati ia teringat kembali akan peringatan dari gwakongnya Pek Siau thian sendiri”
Berpikir tentang hal ini, anak muda tersebut jadi panik bercampur ngeri, ia mulai bertanya pada diri sendiri, “Tindakan ku ini apakah merupakan suatu perbuatan yang telah menipu perasaan sendiri?”
Semakin dipikir ia semakin ngeri, sehingga akhirnya kening yang berkerutpun kian berkerut.
Melihat anak muda itu membungkam terus, Coa-Wi-wi jadi tak senang hati, sapanya dengan lirih, “Jiko!”
Hoa In-liong pura-pura tertawa dan gelengkan kepalanya berulang kali.
“Aku tidak apa-apa!” jawabnya berbohong.
Sorot matanya dialihkan kembali ke depan, tiba-tiba ia saksikan bukit yang tinggi dengan hutan yang lebat terbentang didepan mata, ternyata mereka sudah sampai di bukit Ciong san.
Ditengah kegelapan, bukit terbebat tampak mengerikan sekali.
Tan Beng-tat masih berlarian di depan, peluh sudah membasahi seluruh punggungnya, tapi ia masih berlarian terus. Pepohonan yang terbentang di kiri kanannya seakan- akan sedang mentertawakan ketololan dan kepengecutan hatinya. Setelah masuk bukit Ci kim-san, selang sesaat kemudian ia menelusuri sebuah lorong sempit menuju ke dalam sebuah lembah gunung.
Lembah itu sedemikian sempitnya sehingga hanya bisa dilalui dua orang secara bersama, dinding terjal menjulang tinggi diangkasa, sekeliling mulut lembah tumbuh semak belukar yang lebat hingga sekilas pandangan berbentuk sebuah tanah lapang yang lebar.
Baru saji Tan Beng-tat mendekati mulut lembah, seketika itu juga muncul beberapa buah serot cahaya lampu yang menerangi tubuhnya, menyusul kemudian seorang menghardik, “Berhenti! sebutkan kata-kata sandi!”
Menyaksikan pemandangan tersebut, Hoa In-liong lantas berbisik dengan suara lirih.
“Adik Wi, dapatkah kau lewati tanah lapang didepan situ dan sekaligus menguasahi seluruh penjaga yang bercokol di situ?”
Diam-diam Coa-Wi-wi memperhitungkan dulu jarak antara tanah lapang itu dengan tempat persembunyiannya, kemudian setelah yakin kalau jaraknya hanya lima kaki, ia termenung sebentar.
“Mungkin saja dapat kulukukan!” jawabnya kemudian.
Sementara itu Tan Beng-tat telah menyebutkan kata-kata sandinya, dari mulut lembah muncullah seorang laki-laki berbaju ungu, selesai memeriksa tanda lencana, membuktikan kebenaran indentitas-nya, ia baru diperkerankan masuk kedalam lembah. “Waaah…. rupa-rupanya pemeriksaan yang dilakukan disini amat ketat “bisik Hoa In-liong lagi sambil tertawa, “coba dengarlah dengan cermat adik Wi, bukankah hanya ada lima orang yang menjaiga mulut lembah tersebut….?”
Coa Wi-wi pasang telinga dan mendengarkannya dengan seksama, kemudian sahutnya, “Yaa, aku rasa cuma lima orang, kecuali ada diantara mereka yang memiliki tenaga dalam lebih tinggi dariku, kehadiran mereka tak mungkin dapat mengelahui sepasang telingaku”
Oleh karena semakin tinggi tenaga dalam yang dimiliki seseorang jalan pernapasan makin panjang dan dengusan napasnya makin lilih, maka bagi seseorang yang memiliki tenaga dalam sempurna, dari pernapasan musuhnya sudah bisa menduga tinggi rendahnya kemampuan yang dimiliki lawan, hal ini boleh dibilang merupakan suatu keuntungan yang istimewa.
“Setelah berhasil kau taklukkan kelima orang ltu “kata Hoa In-liong selanjutnya, “orang she-Hoa itu….”
Belum habis perkataan itu diucapkan, pandangan matanya terasa jadi kabur, terasa ada hembusan bau harum melintas didepan matanya, dan tahu tahu Coa Wi-wi sudah lenyap dari pandangan mata.
Menyusul lenyapnya bayangan gadis itu, beberapa dengusan tertahan menggema dari arah mulut lembah, tahulah pemuda itu bahwa musuh berhasil ditaklukkan.
“Wwoouw….sungguh cepat gerakan tubuhnya!” ia mendesis dalam hati.
Dengan suatu gerakan yang tak kalah cepatnya dia ikut menerobos masuk kearah mulut lembah. Dalam waktu yang amat singkat, segenap laki-laki berbaju ungu yang ada disekitar mulut lembah sudah roboh terkapar dalam keadaan tak sadar, a»da yang masih tersangkut diatas dahan pohon, ada juga yang terkapar ditanah, sementara Coa Wi-wi sendiri berdiri di bawah sebuah pohon kurang lebih tiga kaki jauhnya sambil menggape ke arahnya
Dengan gerakan cepat, ia menyusul ke situ, tampaknya Tan Beng-tat juga ikut terkapar ditanah
“Sstt…. Coba kau geladahi isi sakunya” bisik Coa Wi-wi serius, “aku agak kurang leluasa untuk melaksanakannya sendiri”
Hoa In-liong mengangguk, ia geledah seluruh isi saku orang she-Tan itu dengan teliti kecuali menemukan sebuah botol porselen yang tingginya dua inci didalam sepatunya, pemuda itu menemukan juga selembar lencana tembaga serta beberapa keping uang perak.
Ia serahkan botol porselen itu kepada Coa Wi-wi, seraya ujarnya, “Mungkin botol porselen inilah yang dimaksudkan, coba lihatlah apakah benar milik empek Yu?”
“Coa Wi-Wi menyambut botol porselen itu dan diperiksanya sekejap, kemudian diapun mengangguk “Yaa. benar, pada dasar botol terdapat tanda milik empek Yu” sahutnya botol itupun di masukan ke dalam saku.
Tiba-tiba ia liat Hoa In-liong sedang berusaha membuka mulut Tan Beng-tat yang terkatup dan kedua jari tangannya mengorek sela-sela gigi orang itu seperti lagi mencari sesuatu, perbuatan tersebut menimbulkan rasa heran dalam hatinya.
“Eeeh…. apa yang sedang kau cari?” “Konon sementara organisasi tersembunyi telah menyiapkan obat-obatan beracun atau kipsul berisi bisa keji diantara sela-sela gigi psra anggotnya, menurut berita tersebut jika mereka sampai tertawan musuh maka kapsul berisi racun itu akan digigitnya dengan segera untuk membereskan nyawa sendiri, mereka seringkali berbuat demikian demi untuk menghindari rahasia perkumpulannya diketahui orang serta menghindari siksaan perkumpulan yang keji. Aku pikir Hian beng-kau sebagai suatu perkumpulan rahasia tentu menyiapkan pula permainan semacam ini bagi para anggotanya”
Rupanya Coa Wi-wi merasa tertarik sekali dengan cerita tersebut, ia berseru tertahan.
“Ooooh….jadi rupanya begitu, lain kali bila aku berhasil menawan seorang musuh, pasti akan kugeledah dulu sela-sela giginya, daripada mereka takut disiksa dan mengambil keputusan untuk bunuh diri”
Hoa-In liong tertawa renyah, pikirnya, “Sekarang saja, kalau bicara sok gede, padahal kalau siksaan benar-benar sudah dilakukan, untuk menutupi mata sendiripun tak sempat”
Ternyata penggeledahan tersebut tidak menghasilkan apa- apa, dengan kecewa pemuda itu bangkit berdiri.
“Rupanya pihak Hian beng-kau hanya dapat mengendalikan anggota-anggota perkumpulan belaka” ia berkata.
Setelah celingukan sebentar kesana kamari, kembali ujarnya, “Para penjaga yang berhasil dirobohkan harus disembunyikan baik-baik, kalau tidak usaha penyusupan kami ke dalam lembah akan segera diketahui oleh mereka” Tidak menunggu jawaban dari Coa-Wi-wi lagi, dengan suatu gerakan cepat ia menyeret beberapa orang laki-laki berbaju ungu itu ke dalam semak dan menyembunyikannya di sana.
Sejak awal sampai akhir Coa Wi-wi tak pernah berpisah sejengkalpun dengan anak muda itu, sebagai gadis remaja yang baru mekar, ia tidak begitu memahami tentang hubungan antara muda dan mudi, dalam perasaannya bila Hoa In-liong tidak berada disisinya, ia seakan akan merasa seperti kehilangan sesuatu.
Karena itu, ketika dilihatnya pemuda itu menyembunyikan tawanan-tawanannya, sambil mengedipkan matanya diapun bertanya.
“Bila kita berbuat demikian, apakah usaha penyusupan kita ini tidak mudah ditemukan?” Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali
“Oooh….tidak semudah apa yang kau duga” jawabnya.
Ketika dilihatnya Coa Wi-wi masih kebingungan, ia menjelaskan lebih jauh, “Pihak Han beng-kau pasti mempunyai petugas peronda yang akan memeriksa semua pos penjagaan setiap jangka waktu tersebut, untuk sementara Waktu perbuatan kita ini memang bisa mendatangkan hasil, tapi lama kelamaan toh bakal ketahuan juga, yaa, dalam keadaan demikian kita hanya bisa main ulur waktu saja, bisa diulur sekian lama kita tunda sekian lama, paling-paling juga peristiwa ini diakhiri dengan suatu pertarungan massal yang sengit”
Coa-Wi-wi masih menguatirkan racun ular keji yang masih mengeram dalam tubuhnya, cepat ia berseru, “Seandainya terjadi pertarungan massal, kau tak boleh turun tangan sendiri, semua urusan serahkan saja kepadaku, mengerti?”
Hoa In-liong tersenyum.
“Tahu sih sudah tahu, tapi kalau aku tak perlu turun tangan sendiri, itu bukan pertarungan massal lagi namanya”
Ketika dilihatnya gadis itu kembali akan berdebat, cepat- cepat ia menyambung kembali, “Kita sudah membuang waktu terlalu lama disini, ayoh cepat berangkat….!”
Hutan dalam lembah itu lebat sekali, ditambah udara gelap tak berbintang ataupun rembulan, ini menyebabkan suasana betul-betul tercekam dalam kegelapan yang luar biasa.
Hoa In-liong mengerti bahwa sepanjang perjalanan mereka memasuki lembah tersebut, tentu akan melewati banyak pos pos penjagaan yang ketat, karena itu dengan suatu tindakan yang amat berhati-hati, kedua orang itu melanjutkan penyusupannya kedalam lembah.
Selain daripada itu, anak muda tersebut juga tahu bahwa usaha penyusupan mereka segera akan ketahuan musuh, karenanya dia hendak manfaatkan kesempatan yang ada untuk mencari tujuannya dengan sebaik-baiknya, sebab begitu jejak mereka diketahui, otomatis suatu pertarungan tak akan bisa dihindari lagi.