Jilid 24
DITENGAH keheningan malam hanya cahaya bintang yang menerangi seluruh jagad, pemandangan yang tertera disitu benar-benar merupakan suatu pemandangan yang sangat indah.
Menyaksikan kesemuanya itu, Hoa In-liong bergirang dihati.
Walaupun demikian ia tak mau kehilangan martabatnya sebagai seorang laki-laki sopan. Ia tahu mana yang boleh dilakukan dan mana yang tak boleh dilakukan. Atau dengan perkataan lain, pada saat itu dia tidak mempunyai pikiran lain. Tindakannya memeluk dan mencium mesra gadis itu dilakukan karena spontan dan tindakan spontan tersebut tak jauh bedanya dengan kasih sayang seorang kakak yang lebih tua terhadap adik perempuannya yang cantik dan menawan hati.
Sebab itulah sesudah mendengar perkataan ilu dengan wajah berseri sahutnya, “Baik…. Baiklah, aku tidak akan berkata lagi…. aku tidak akan berkata lagi! Bicara sesungguhnya, kita memang seharusnya mulai memikirkan kemana perginya Toako”
Caranya mengalihkan pokok pembicaraan benar benar amat sempurna, bukan saja lembut dan wajar, malahan sama sekali tidak meninggalkan bekas apa-apa.
Coa Wi wi malah dibikin tertegun. “Memikirkannya….” ia bergumam.
“Yaa, kita harus mulai memikirkan” lanjut Hoa In-liong, “Coba lihatlah bekas bekas telapak kaki ditanah semuanya menunjukkan bahwa ketiga orang nona dari Cian-li-kau sudah pernah menampakkan diri disini dan mengetahui juga kalau Toako sudah berlalu agak lama dari sini. Tapi mereka tak tahu bagaimana keselamatannya dan kemana ia telah pergi, sebab itulah kita harus memikirkannya secara baik-baik”.
“Masa dengan kemunculan orang-orang Cian-li-kau disini sudah cukup membuktikan kalau Toako betul-betul meninggalkan tempat ini?” Coa Wi-wi bertanya lagi dengan perasaan tak habis mengerti.
“Yaa, kaucu dari Cian-li-kau mempunyai hubungan yang sangat akrab dengan ayahku. Kalau toh anak buahnya bisa mengejar Wan Ek-hong disekitar tempat ini, hal tersebut membuktikan kalau mereka sudah agak lama tiba disini. Seandainya mereka telah bertemu dengan Toako atau Kiu-im kaucu, masa tadi tidak mereka singgung-singgung?”
“Aku kan hanya menduga saja kalau Wan Ek-hong telah dikejar-kejar oleh ketiga orang nona dari Cian-li-kau, masa kau gunakannya sebagai suatu dasar untuk analisa?”
Hoa In-liong tersenyum, “Aku tahu, akupun hanya menduga saja. Cuma dugaanku ada dasar-dasarnya yang kuat”
“Oya….? Lantas dasar apakah yang kau pakai” mencorong sinar tajam dari sepasang mata Coa Wi-wi.
“Tujuan dari perkumpulan Cian-li-kau!”.
“Apakah tujuan mereka? “desak gadis itu lebih lanjut. “Kalau dibicarakan kembali sebetulnya amat panjang, tapi
kalau kau ingin tahu, maka biarlah aku bercerita mulai depan saja”
“Yaa, kau musti bicara sejujurnya, sebab lain kali aku toh musti membantu kau, maka aku harus mengetahui sedikit banyak tentang latar belakang perkumpulan Cian-li-kau”
Setelah pembicaraan dibuka, mau tak mau Hoa In-liong harus berbicara sejujurnya. Setelah berpikir sebentar, maka diputuskan untuk mengatakan hal-hal yang penting saja.
Secara ringkas diapun menceritakan semua pembicaraan yang pernah berlangsung antara Pui-Che-giok dengan murid- muridnya, serta pembicaraan Pui Che-giok dengan Giok-teng hujin. Di balik kisah tersebut, sudah tentu dia harus menerangkan juga semua hubungan yang diketahui olehnya. Diapun menyinggung juga tentang diri Giok-teng hujin yang sudah menjadi seorang Tookoh dengan julukan Tiang-heng.
Coa Wi-wi mendengar penuturan tersebut dengan seksama, selesai itu dia menghembuskan napas panjang, katanya dengan gegetun, “Sungguh tak kusangka….benar- benar tak kusangka…. kiranya kaucu ini diam-diam mencintai juga diri empek, maka dibentuknya perkumpulan Cian-li-kau untuk mendukungnya. Aaaia…. cinta yang murni dan sedalam ini benar-benar jarang ditemui didunia ini”
Hoa In-liong lebih tersentuh, dia menghela napas panjang. “Yang jarang ditemui ini justru Tiang-heng cianpwe itu” katanya, “Terhadap ayahku bukan saja ia menaruh rasa cinta yang mendalam, bahkan ia sangat memahami watak serta tindak tanduk ayahku. Ia rela dirinya yang tersiksa, rela dirinya menderita. Tapi ia tak rela membiarkan ayahku merasakan pahit getirnya. Lain kali…. Aku pasti akan berusaha dengan segala kemampuan untuk memapak orang tua itu pulang Im Tiong-san”.
“Yaa benar” sambung Coa Wi-wi pula dengan bersemangat, “Kalau dibilang bercinta dapat mempunyai rasul, maka Tiang- heng cianpwe lah yang paling cocok dengan kedudukan tersebut. Jiko! lain kali kita harus mencarinya bersama-sama, mau bukan?”
Setelah pembicaraan berlangsung sampai disitu perasaan kedua orang itupun mengalami banyak perubahan, sampai- sampai tujuan mereka yang semulapun terlupakan. Padahal, membicarakan cita-cita dan tujuan perkumpulan Cian-li-kau dalam keadaan semacam ini hanyalah suatu perbuatan yang tak ada gunanya.
Tiba-tiba ditengah keheningan yang mencekam kegelapan malam, dari sisi hutan itu berkumandang suara helaan napas yang rendah dan lirih.
Demikian rendah dan lirihnya helaan napas tersebut hingga boleh dibilang sukar diketahui. Namun dalam pendengaran Hoa In-liong serta Coa Wi-wi yang merupakan jago tangguh dalam dunia persilatan, suara tersebut dapat didengar dengan amat jelasnya.
Tak heran kalau mereka berdua jadi tertegun sesudah mendengar suara helaan napas itu mereka berusaha pasang telinga untuk mencari sumber suara itu, namun tiada suara apa-apa lagi yang kedengaran.
Lama kelamaan Hoa In-liong tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, dia lantas berseru dengan lantang, “Jago silat dari manakah yang telah berkunjung kemari? Kenapa tidak munculkan diri untuk bertemu?”
Tiada jawaban yang terdengar Hoa In-liong mengulangi kata katanya sekali lagi, nanum tiada jawaban juga.
“Mari kita geledah sekitar tempat ini!” bisik Coa Wi-wi kemudian.
“Tak usah digeledah!” tiba-tiba dari balik hutan berkumandang suara jawaban yang cukup nyaring, “Nak, sebetulnya aku tak ingin mengganggu
kalian, orang yang sedang kalian cari sekarang berada di….” “Eeeh…. Bukankah engkau adalah Ku locianpwe?” sebelum ucapan itu selesai, Hoa In-liong telah bersorak kegirangan, “Boanpwe ingin sekali bertemu dengan kau!”
“Aaaai…. Engkau si bocah cilik” kata orang itu sambil hela napas. “Sebetulnya pinto tak ingin membuat kalian tahu akan kehadiranku. Sungguh tak nyana daya ingatanmu bagus sekali. Yaah…. setelah tebakanmu jitu, akupun tak akau mengelabuhi engkau lagi. Pinto memang Tiang-heng adanya….!”
Begitu mengetahui kalau orang itu adalah Tiang-heng atau Giok-teng hujin, cepat-cepai Coa Wi-wi berseru, “Bagus sekali! Baru saja kami membicarakan tentang dirimu! Apakah kau orang tua mengijinkan kami untuk menyambangi dirimu?”
“Tak usah!” tampik Tiang heng Tookoh “Ketahuilah nak, pinto adalah seorang pendeta yang telah melepaskan diri dari urusan. Apa gunanya kita berjumpa? Lebih baik selesaikan urusan kalian lebih dulu….!”
“Aku sudah berpikir sampai ke situ” ujar Coa Wi-wi manja, “Dan aku percaya urusan yang sesungguhnya telah kau selesaikan untuk kami, maka aku tetap berharap untuk berjumpa denganmu!”
Sewaktu mengucapkan kata-kata itu, bukan saja nada suaranya sangat menawan hati, rasa kagum dan hormatnya tercermin amat jelas.
Ini membuat Tiang-heng Tookoh memuji tiada hentinya. “Oooh…. Anak cerdik…. Anak pintar, siapa namamu?” “Aku bernama Coa Wi-wi, ibu memanggil aku Wi-ji, kau juga boleh panggil anak Wi kepadaku!” buru-buru gadis itu menyahut.
“Pinto akau mengingatnya selalu lain waktu kita boleh berjumpa lagi!”
“Tidak! Tidak! Aku sangat ingin bertemu denganmu.
Sekarang aku ingin sekali bertemu denganmu” teriak Coa Wi- wi dengan gelisah, “Cianpwe, kenapa kau tidak ijinkan diriku untuk menyambangimu?”
“Aaaai…. Pinto kan sudah berkata bahwa aku tak lebih cuma seorang Pendeta. Tak ada gunanya kita saling bertemu muka. Apalagi pujianmu tadi juga keliru besar, pinto menjadi pendeta lantaran harus menahan rasa benci. Mana cocok menjadi Cing-seng Rasul cinta seperti yang kau maksudkan?”
Dalam waktu singkat Coa Wi-wi yang menguasai semua pembicaraan, sepatah demi sepatah ia mendesak dan memohon terus kepada Tiang-heng Tookoh agar diijinkan untuk bertemu muka dengannya.
Hoa In-liong yang tidak sempat ikut menimbrung, terpaksa hanya bisa pusatkan perhatiannya untuk menangkap sumber dari suara tersebut.
Apa mau dikata rupanya Tiang-heng Tookoh tidak berharap untuk berjumpa muka dengan mereka. Sumber suara itu terkandang muncul dari arah timur, sebentar beralih kebarat, seakan-akan orang yang berbicara itu berpindah-pindah tempat.
Maka setelah didengarnya sesaat ia berhasil juga menemukan asal suara yang sebenarnya. Pemuda itupun berubah rencana, dia menukas dari samping, “Engkau pantas untuk mendapat julukan itu locianpwe. Terus terang katakan bahwa apa yang engkau bicarakan dengan Pui Che-giok cianpwe malam itu telah kudengar semua. Apa yang terjadi ketika itu juga kusaksikan semua. Kalau toh di dunia ini ada Bun-seng (Rasul Sastra), ada Bu-seng (Rasul Silat) maka engkau orang tua adalah Ciang-seng (Rasul Cinta).
Sesungguhnya aku tidak mengetahui banyak akan dirimu, tapi malam itu aku telah menangis karena terharu”
Tiang-heng Tookoh menghela napas sedih. “Aaaai….! Tampaknya engkau juga seorang pemuda yang romantis, engkau bernama Hoa Yang nak?”
“Yaa benar, boanpwe Hoa Yang alias In-liong. Semua angkatan tua menyebutku sabagai Liong-ji” sahut Hoa In-liong dengan hormat. “Berbicara sesungguhnya boanpwe pantas memanggil I-ih (bibi) kepadamu. Locianpwe. Bolehkah kusebut kau dengan panggilan itu? Dan kau tentu bersedia memanggil Liong-ji kepadaku bukan?”
Ketika mengucapkan kata-kata tersebut suaranya penuh bernada kasih sayang. Selain rasa kagum dan hormat yang bersungguh-sungguh, membuat siapapun yang mendengar dapat ikut merasakan bahwa ucapan tersebut benar-benar diucapkan dengan hati yang tulus.
Rupanya Tiang-heng Tookoh dibuat terharu oleh perkataan itu, ia menghela napas panjang, “Pinto bukan seorang yang manja. Apabila delapan atau sepuluh tahun berselang kau sebut aku dengan panggilan I-ih atau Kokoh, belum tentu pinto akan merasa puas! Tapi sekarang, pinto hanya seorang pendeta, sebutan sebutan bagi orang awam itu sudah terlampau asing bagi diriku”
Mendengar sampai disitu, mendadak satu ingatan melintas dalam benak Coa Wi-wi, pikirnya, “Yaaa benar! Kenapa tidak kumanfaatkan kesempatan yang sangat baik ini untuk menemukan tempat persembunyiannya? Bila kuberhasil temukan tempat persembunyiannya, sekalipun dia tak ingin berjumpa dengan akupun tak bisa. Hmmm…. suatu ide yang sangat bagus, aku harus segera melaksanakannya”
Begitu ingatan tersebut melintas dalam benaknya, ia segera melaksanakannya tanpa memberitahukan hal itu kepada Hoa In-liong lagi. Diam-diam ia menyelinap ke dalam hutan dan lenyap di-balik kegelapan.
Hoa In-liong sendiripun segera mengimbangi tindakan dara itu, katanya kemudian, “Bibi Ku, apa asingnya dalam soal panggilan? Sekalipun dia seorang Pendeta toh ia masih mempunyai sanak keluarga? Bibi Ku, sudikah kau panggil aku dengan sebutan Liong-ji? Tahukah kau, semenjak bertemu dengan kau malam itu, andaikata tiada kejadian diluar dugaan yang menghalangiku, semenjak dulu Liong-ji sudah pergi mencarimu”
Panggilan itu adalah suatu panggilan yang tulus tentu saja Tiang-heng Tookoh dapat menangkapnya, karena itu sesudah termenung sebentar ia menghela napas sedih. “Nak, sejak dulu sampai sekarang banyak bercinta hanya meninggalkan kebencian, perasaanmu terlalu sensitif….”
“Kelirukah aku? Bibi Ku, apakah Liong-ji tak pantas menaruh perasaan hormat dan sayang kepadamu?”
“Pinto tak bisa mengatakan kalau pandanganmu keliru. Tapi akupun tidak setuju dengan caramu berpikir. Ingatkah engkau dengan dua bait syair kono yang berbunyi demikian? Bila Thian punya perasaan Thian akan ikut tua, Bila rembulan tiada rasa benci rembulan akan selalu purnama? Nak, perasaanmu terlalu kaya dan sensitif, lain waktu banyak penderitaan yang bakal kau rasakan….” “Liong-ji tidak percaya” bantah Hoa In-liong, “Burung belibis selalu sepasang. Burung manyar terbang berombongan. Burung dan binatangpun masih mempunyai perasaan apalagi manusia? Bila manusia tak berperasaan bukankah sama halnya dengan makhluk berdarah dingin?”
“Aaaai…. Pengalaman hidupmu belum banyak, jalan pikiranmu terlampau polos. Ketahuilah perubahan yang dialami manusia hidup itu tak terhitung banyaknya. Banyak kesulitan yang tak bisa diatasi dengan kekuatan manusia, bahkan kadangkala sampai waktunya kasih sayang Thian juga tak dapat mengatasi kebencian yang tertanam ditaati. Waktu itulah engkau baru akan tahu bahwa manusia dan binatang tak dapat dibanding-bandingkan!”
“Apakah Bibi Ku maksudkan ayahku? “tanya Hoa In-liong. “Ibumu juga sama saja, ketika ia jatuh cinta kepada
ayahmu, mereka juga mengalami pelbagai siksaan dan penderitaan, bahkan sampai nyawa sendiripun tidak….”
Sebelum kata-kata itu diucapkan sampai selesai Hoa-In- liong telah menyela dari samping, “Bibi Ku keliru. Kedua orang tua Liong-ji saling cinta mencintai, saling hormat menghormati. Sekalipun dimasa lalu harus mengalami banyak penderitaan, itu juga berharga!”
Begitulah mereka berdua segera terlibat dalam pembicaraan yang serius untuk memperdebatkan perlukah seseorang berperasaan. Mereka tak ada yang tahu bahwa Coa Wi-wi sudah hilang.
Hoa In-liong cerdik dan pandai berbicara, lagi pula reaksinya juga cekatan, makin berbicara ia semakin berhasil membawa Tiang-heng Tookoh untuk masuk jebakan. Dalam gugupnya untuk sesaat rahib perempuan itu tak mampu berkata-kata.
Ketika ditunggunya Tiang heng Tookoh belum juga bersuara, buru buru Hoa In-liong berkata lagi, “Bibi Ku, engkau tak usah bersedih hati. Bicara sesungguhnya engkaupun tidak salah. Yang salah adalah orang orang keluarga Hoa kami. Tidak seharusnya kami mengesampingkan bibi Ku sehingga membuat engkau harus memendam cinta menahan benci dan menjadi seorang rahib. Dulu Liong-ji tidak mengetahui akan hal ini, tapi sekarang setelah mengetahuinya Liong-ji tak dapat berpeluk tangan belaka. Bibi Ku, bolehkah Liong-ji bertemu muka denganmu?”
Tiang-heng Tookoh menghela napas panjang. “Aaaai….kau sibocah cilik pandai benar bersilat lidah, apakah engkau hendak menaklukan hati pinto?”
“Oooh…. tidak…. tidak demikian” buru-buru Hoa In-liong menyahut, “Bibi Ku, ibuku (Chin Wan-hong yang dimaksudkan) juga mengatakan bahwa
keluarga Hoa kami sangat berhutang budi kepadamu. Kalau tidak percaya, kau boleh tanyakan soal ini kepada nenek. Bila Liong-ji mengucapkan sepatah kata bohong saja, kau boleh rangket pantatku dengan sepuluh kali gebukan….!”
Mendengar perkataan itu, Tiang-heng Tookoh tertawa geli. “Aaah…. kamu si bocah cilik…. Aaaai…. pinto merasa tak mampu menangkan pembicaraanmu. Aku tak mau tertipu oleh siasat busukmu lagi….”
Setelah berhenti sebentar dia alihkan pokok pembicaraan ke soal lain, ujarnya lagi dengan wajah bersungguh-sungguh, “Dengarkanlah Liong-ji, kakakmu sudah ditotok jalan darahnya oleh seorang manusia berkerundung. Sekarang oleh orang- orang dari Cian-li-kau mudah dikirimi ke Kim-leng. Cara manusia berkerundung itu melancarkan totokannya istimewa sekali. Pinto tak sanggup membebaskan totokan itu, maka ada baiknya cepat-cepatlah pergi kesana”
Begitu mendengar perkataan itu, Hoa In-liong merasa amat terkejut, lagi pula dari nada ucapan tersebut ia tahu bahwa Tiang-heng Tookoh ada niat meninggalkan tempat itu.
Dalam begini salahnya, tanpa terasa lagi dia menukas, “Tunggu sebentar bibi Ku, Liong-ji ingin bertemu denganmu!”
“Tidak bisa menunggu lagi, sebab kalau aku menunggu lebih lama lagi maka telinga pinto jadi tidak berhasil lagi. Liong-ji harus penurut, segera berangkat ke Kim-leng dan bilamana perlu hantarlah kakakmu ke perkampungan Liok- son-soat-ceng. Kau punya jodoh dengan diriku, lain waktu kita pasti ada kesempatan untuk bertemu lagi, Nah, pinto berangkat lebih dulu….!”
Begitu kata-kata itu berakhir, terdengarlah suara ujung baju tersampok angin memecahkan kesunyian.
Hoa In-liong merasa amat gelisah, segera teriaknya dengan suara lengking, “Bibi Ku! Bibi Ku! Kau jangan pergi dulu, bagaimana keadaan yang sebenarnya? Kenapa tidak kau terangkan dulu kepada Liong-ji hingga lebih jelas?”
Disaat yang kritis, akhirnya ia teringat kembali tentang kakaknya, bahkan dia hendak menggunakan urusan Hoa Si untuk menahan Tiang-heng Tookoh beberapa saat lagi.
Itulah hubungan persaudaraan yang amat erat juga merupakan kecerdikan dari Hoa In-liong. Sayang Tiang-heng Tookoh tidak menjawab lagi, tampaknya ia sudah berlalu dari situ. Dalam waktu yang amat singkat tadi, ia telah menggunakan segala daya upayanya untuk berjumpa muka dengan Tiang-heng Tookoh. Bahkan ada niat untuk menaklukkan hati rahib tersebut hingga apa yang diharapkan dapat tercapai. Siapa tahu Tiang-heng Tookoh dapat menyelami perasaannya, bahkan begitu mengatakan akan pergi, saking cemasnya ia sampai mendepak-depakkan kakinya ketanah. Meski tiada sesuatu apapun yang bisa dilakukan lagi.
Sementara ia sedang cemas sambil mendepakkan kakinya ketanah, tiba-tiba terdengar Coa Wi-wi tertawa cekikikan. “Hiiiihh…. hiiihh…. hiiih…. Bibi Ku, sudah lama anak Wi menantikan dirimu. Benarkah kau orang tua tidak sudi bertemu dengan kami….?”
Sementara Hoa In-liong tertegun, Tiang-heng Tookoh telah menjerit kaget lalu menghela napas panjang. “Aaai….anak pintar. Otakmu memang luar biasa, bagaimana caramu menemukan tempat persembunyianku?”
“Kepandaian cianpwe dalam merubah irama memancarkan suara memang luar biasa sekali” ucap Coa Wi-wi dengan nakalnya, “Darimana anak Wi bisa menemukan tempat persembunyianmu? Dewa lah yang mengatakan itu kepadaku. Bibi Ku, Jiko lagi gelisah, mari kita turun bersama-sama!”
Setelah mendengar percakapan tersebut, Hoa In-liong baru sadar akan apa yang sebenarnya telah terjadi. Dengan cepat dia menerjang ke arah hutan sebelah kiri, kemudian soraknya dengan penuh kegembiraan, “Bibi Ku! Bibi Ku! Rupanya engkau masih belum meninggalkan tempat ini….!”
Tiang-heng Tookoh memang belum pergi. Waktu itu dia masih bertengger diatas sebuah dahan pohon diatas sebuah pohon yang tak jauh letaknya dalam hutan itu. Sementara Coa Wi-wi yang berdiri ditengah hembusan angin berada tak jauh di belakang punggungnnya.
Jadi dua orang itu berada diatas sebuah dahan yang sana. Hanya Tiang-heng Tookoh sama sekali tidak merasakan akan kehadiran si nona tersebut. Dari sini dapat diketahui bahwa ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coa Wi-wi sudah mencapai pada puncak kesempurnaan.
Setelah Hoa In-liong tiba dibawah pohon Tiang-heng Tookoh pun sebentar memandang ke arah Coa Wi-wi sebentar memandang pula kearah Hoa In-liong akhirnya dengan perasaan boleh buat katanya, “Baik! Mari kita turun bersama. Setelah bertemu dengan dua orang bocah cerdik seperti kalian, terpaksa pinto harus mengaku kalau…. Yaa, apa boleh buat?”
Berbicara simpai disitu, pelan pelan dia bangkit berdiri lalu melompat turun keatas tanah.
Coa Wi-wi ikut melompat pula kebawah, katanya dengan wajah berseri, “Anak Wi membohongi dirimu. Bibi Ku, ilmu kepandaianmu memang betul-betul sangat lihay. Barusan andaikata engkau tidak menjatuhkan selembar daun pohon karena kurang sengaja sehingga menimbulkan suara yang mendesis, mungkin aku masih belum berhasil menemukan tempat persembunyianmu….”
Mendengar perkataan itu, tanpa terasa Tiang-heng Tookoh tersenyum, “Kau tak usah mengada-ada lagi, bagaimanapun juga toh persembunyian pinto sudah kalian temukan. Apa yang ingin dibicarakan lebih baik katakan saja secara terus terang!” Sementara itu Hoa In-liong sudah menyongsong kedepan, mendengar perkataan itu cepat sembungnya, “Apa yang diucapkan bibi Ku memang benar. Silahkan duduk, mari kita bercakap-cakap disini saja”
Tiang-heng Tookoh memandang sekejap sekeliling tempat itu lalu mengangguk, maka diapun mencari sebuah batu gunung didekat sana dan duduk.
Hoa In-liong serta Coa Wi-wi saling berpandangan sekejap lalu tertawa, mereka ikut mencari batu dan duduk dihadapannya.
Waktu itu malam sudah semakin kelam, rembulan sudah menyinari jagad. Sinar yang kelabu memancar masuk lewat celah-celah daun pohon yang rimbun, serta membiaskan beratus-ratus titik perak yang membiaskan sinar redup.
Seorang Tookoh yang cantik dan bertubuh indah duduk bersila diatas sebuah batu cadas. Dihadapannya duduk pula sepasang muda mudi yang tampan dan cantik jelita. Itulah suatu pemandangan yang sangat indah, sangat menawan dan mempersonakan hati.
Mereka bertiga duduk saling bertatapan tanpa mengucapkan sepatah katapun. Selang sesaat kemudian Tiang-heng Tookoh baru buka suara memecahkan keheningan yang mencekam sekeliling tempat itu. “Anak bodoh buat apa kalian memaksa terus? Apakah cuma ingin menyaksikan keadaan pinto ini?”
Hoa In-liong tidak menjawab, dia hanya menatap perempuan itu tak berkedip.
Sedangkan Coa-Wi-wi segera mengangguk seraya memuji, “Hmmm…. Cantik nian bibi Ku….” Tiang-heng Tookoh tersenyum. “Pinto adalah seorang pendeta, dalam pandangan, orang yang beribadat cantik atau jelek sama sekali tiada artinya”
“Aaaai….! Cantik atau jelek dapat saja dibandingkan!” bantah Coa-Wi-wi lagi dengan alis berkeryit, “Sesungguhnya, kau memang benar-benar cantik jelita. Andaikata tidak mengenakan jubah pendeta, Wi-ji percaya kecantikanmu tentu luar biasa. Bibi Ku, kenapa kau memilih jadi seorang pendeta? Kenapa kau suka mangenakan jubah kependetaan yang longgar dan serba kedodoran?”
Gadis itu adalah seorang yang belum dapat menyelami perasaan orang. Caranya berbicarapun seenaknya sendiri dan tanpa dipikirkan dulu. Ia tak menyangka kalau pertanyaan yang diajukan itu justru sudah menyentuh bagian yang paling menyedihkan bagi Tiang-heng Tookoh.
Sekejap kemudian, rahib perempuan itu merasakan hatinya jadi kecut, wajahpun ikut jadi murung dan sedih.
Untunglah bagaimanapun juga dia adalah seorang perempuan yang berpengalaman dan pandai menyusaikan diri dengan keadaan. Hanya sebentar ia merasa sedih kemudian pulih kembali seperti sedia kala.
Ia menengadah lalu tersenyum. “Mungkin pinto akan membuat engkau merasa sangat kecewa!” demikian katanya.
“Apakah bibi Ku tidak bersedia untuk mengucapkannnya keluar?” ia bertanya keheranan.
Tiang heng Tookoh segera tersenyum. “Pinto justru menjadi pendeta karena ingin menjadi pendeta. Akupun mengenakan jubah pendeta ini karena senang memakainya. Nah, puas bukan dengan jawaban ini?”
Mendengar jawaban tersebut, Coa Wi-wi tertegun dan berdiri terbelalak dengan mulut melongo. Jawaban tersebut benar-benar berada diluar dugaannya.
Sayang jawaban yang ibaratnya menghindar yang berat memilih yang enteng ini tidak dapat memuaskan Hoa In-liong yang cukup mengenal latar belakang penghidupan perempuan itu.
Dengan dahi berkerut Hoa In-liong yang cukup segera menukas, “Aaaah…. tidak benar!….”
Tiang-heng Tookoh berpaling lalu tertawa. “Kalau toh engkau sudah tahu tidak benar, buat apa mesti banyak bertanya lagi?”katanya.
Mula-mula Hoa In-liong tertegun menyusul kemudian berkata, “Tapi…. Aku tahu bahwa perasaan kau orang tua benar-benar amat tersiksa!”
Mendengar jawaban tersebut, diam-diam Tiang-heng Tookoh merasa terperanjat segera pikirnya, “Dua orang ini sungguh amat cerdik. Mereka semua adalah manusia-manusia yang kaya akan perasaan. Aku harus memangguhkan perasaan sendiri. Akupun harus mempergunakan akal sehatku. Jangan lantaran godaan perasaan yang mereka lontarkan membuat aku bertepuk lutut. Kalau sampai begitu habislah sudah karierku”
Setelah timbul kewaspadaan dalam hatinya, ia semakin hambar lagi dalam jawaban: ‘Bukankah pinto banyak berbicara dan banyak tertawa? Malahan Wi-ji memuji pinto masih amat cantik! Ketahuilah, pinto adalah seorang yang telah berusia empat puluh tahunan lebih, jauh lebih tua daripada ibumu. Bila aku sangat menderita, bila batinku tersiksa, mana mungkin Wi-ji masih memuji kecantikanku?”
“Yaa, tentu saja kau masih cantik karena kau sudah melatih ilmu Cha-li cinkeng yang bisa bikin orang awet muda. Apa artinya seseorang yang baru berusia empat puluh, tahunan?
Pada dasarnya engkau memang seorang perempuan yang cantik jelita! Bibi Ku, buat apa kau mengatakan kesemuanya itu? Tahukah kau bahwa engkau sendiri pun bersalah?”
Tiang-heng Tookoh tertawa. “Liong-ji, tak usah mengucapkan kata-kata yang sok mengagetkan orang. Kau juga tak perlu berlagak sok pintar” tegurnya.
“Liong-ji sama sekali tidak sok pintar, apa yang Liong-ji katakan semuanya mempunyai dasar fakta yang bna dipertanggung jawabku!” teriak Hoa In-liong agak emosi.
Dalam hati Tiang-heng Tookoh merasa terkejut, sementara diluar ia pura-pura tercengang. “Ooooh…. Kalau begitu sungguh aneh sekali” katanya” katanya, “Benarkah batin pinto tersiksa? Fakta apakah yang kau miliki?”
“Bibi Ku, apakah kau mengira bahwa apa yang kuketahui tidak banyak?” ujar Hoa In-liong sambil berkerut dahi. “Ketahuilah gwa-kong pernah menceritakan kisah tentang kejadianmu dimasa lampau kepadaku. Malam itu, semua perkataan dan semua tindak tanduk yang kau lakukan dalam kuil ditengah hutan juga Liong-ji saksikan dengan mata kepala sendiri!”
Begitu perkataan tersebut diucapkan keluar, paras muka Tiang-heng Tookoh berubah hebat. “Apa yang telah diucapkan gwa-kong mu?” serunya dengan gelisah. Perlu diketahui Pek-Siau-Thian engkong luar dari Hoa In- liong dulunya adalah seorang psmimpin dunia persilatan yang disegani banyak orang. Bukan saja ia memiliki nama besar dan kedudukan, wataknya agak aneh. Jalan pikirannya agak sempit dan ia paling suka membelai orang sendiri. Ia termasuk seorang manusia yang mempunyai pandangan istimewa terhadap cinta dan benci.
Tiang-heng Tookoh tidak takut semua perkataan maupun gerak-geriknya dalam To koan diketahui Hoa In-liong. Tapi ia sangat kuatir kalau Pek Siau-thian menambahi bumbu dalam pembicaraannya, sehingga apa yarg dikatakan kepada Hoa In- liong sama sekali bertolak belakang dengan kenyataan.
Padahal Pek Siau-thian yang sekarang berbeda jauh dengan Pek Siau-thian yang dulu. Jago tua ini kini sudah menjadi seorang pendeta besar yang budiman dan baik hati, hanya perempuan itu tidak mengetahuinya.
Tidak aneh kalau paras mukanya berubah dan hatinya jadi gelilah setelah mendengar ucapan itu.
Hoa In-liong tidak terlalu memperhatikan perubahan wajahnya, dia lantas menyahut. “Kejadian dikota Cho-ci, kata gwa-kong waktu itu kau sedang menderita siksaan Im-hwe- lian-hun (Api dingin melelehkan sukma). Ketika ayahku mengetahui kejadian ini beliau segera menyusul kesana untuk menolongmu. Konon ayah di pancing kesana oleh Kiu-im-kau memang bertujuan untuk memaksa ayahku menyerahkan pedang bajanya agar ditukar dengan jiwamu. Ayah tidak menolak syarat tersebut, tapi kau malah selalu memikirkan bagi kepentingan ayah, kau malah berpesan kepada ayah agar jangan mau tunduk kepada orang lain, jangan mau ditundukkan oleh ancaman musuh….” Menyinggung kembali kejadian mata lalu, Tiang-heng Tookoh merasa seakan-akan bayangan tubuh dari Hoa Thian- hong yang berdiri dengan badan gemetar, mata merah membara dan sikap mendekati seperti orang gila itu melintas kembali dalam benaknya. Ia merasa hatinya sakit sekali, ia tak ingin mendengarkan lebih lanjut.
“Apakah gwakongmu hanya membicarakan tentang soal ini?” segera tukasnya.
“Tentu saja masih ada yang lain, Gwvakong berkata pula bahwa engkau orang tua bukan perempuan sembarangan. Cinta kasihnya terhadap ayah benar-benar lebih dalam dari samudra, budi yang dilimpahkan lebih tinggi dari langit. Ia mengatakan juga bahwa bahwa siksaan Im-hwe-lian-hun merupakan siksaan yang tidak berperi kemanusiaan, membuat siapapun yang menyaksikan akan jadi marah dan sukar mengendalikan emosinya. Tapi kau orang tua lebih rela disiksa oleh siksaan yang bukan kepalang kejinya itu daripada menyaksikan ayahku harus tunduk dibawah tekanan orang lain. Bibi Ku, Liong-ji ingin bertanya kepadamu, dulu kau adalah sahabat paling karib dari ayahku tapi sekarang kau menjadi pendeta karena menahaan rasa kebencian lantaran putus asa dan sedih hati. Apakah tindakanmu ini bukan sama artinya bahwa kau merasa
tak suka dengan tindakan keluarga Hoa kami yang telah melupakan kau, sebaliknya kaupun tak ingin menyalahi keluarga Hoa kami….”
Mendengar perkataan itu, Tiang-heng Tookoh merasakan pipinya jadi panas, tapi hatinya juga lega. Setelah berpikir sebentar, maka pikirnya kembali, “Untunglah, apa yang dikisahkan Pek loji adalah kejadian yang sesungguhnya. Tapi Liong-ji, bocah ini terlalu cerdik dan cermat. Iapun pandai bersilat lidah. Kalau pembicaraan dilangsungkan terus, niscaya akhirnya aku yang tak tahan dan kewalahan dibuatnya”
Berpikir demukian, buru-buru katanya sambil tersenyum, “Anggap saja apa yang kau duga memang tak salah. Tapi urusan kan sudah lewat, hutang lama pun sudah basi. Apalagi kedua belah pihak tiada yang menderita rugi, bukankah hal ini bagus sekali?”
“Maka dari itu aku mengatakan bahwa engkau pun bersalah! “sambung Hoa In-liong dengan sinar mata mencorong tajam.
“Salah juga boleh, tidak salah juga tak mengapa yang pasti urusan sudah lewat dan menjadi basi, tak perlu kita singgung- singgung lagi” potong Tiang-heng Tookoh.
Berbicara sampai disitu, satu ingatan melintas kembali dalam benaknya, buru-buru ujarnya lebil jauh. “Oya….! Pinto teringat sekarang, bukankah tadi kau menahan diriku lantaran ingin menanyakan soal kakakmu dengan lebih jelas?”
“Yaa benar. Persoalan tentang diri kau orang tua, aku musti bertanya sampai jelas. Lebih-lebih lagi persoalan tentang diri kau orang tua, aku musti bertanya sampai jelas pula” jawab Hoa In-liong tanpa ragu-ragu lagi.
Tiang-heng Tookoh segera membenahi bajunya yang kusut seraya menjawab dengan lirih, “Kalau begitu, bertanyalah cepat urusan tentang kakakmu!”
Ucapan ini mengandung dua arti rangkap, selain arti yang sebenarnya, iapun maksudkan bila pemuda tersebut tidak menanyakan soal tentang Hoa Si maka dia akan segera pergi. Tindakan tersebut memang lihay dan sangat jitu, Hoa ln- liong benar-benar dibuat serba susah.
Kalau bertanya? Selesai memberikan keterangannya Tiang- heng Tookoh tentu akan pergi, sepeninggal rahib perempuan itu, kemana dia harus pergi untuk menemukan jejaknya kembali.
Sebaliknya kalau tidak bertanya? Saudara kandung sendiri sedang berada dalam keadaan bahaya, bukankah itu sama artinya dengan tidak mengindahkan keselamatan saudara sendiri? Apalagi ia sendiri memang selalu menguatirkan persoalan tersebut.
Ketahuinya, sebab musabab mengapa ia begitu berhasrat dan berusaha dengan sepenuh tenaga untuk memancing Tiang-heng Tookoh masuk perangkapnya, ini dikarenakan ia bermaksud untuk menaklukan perasaan si rahib perempuan tersebut. Ia selalu merasa bahwa membencinya Tiang-heng Tookoh terhadap kegagalan bercinta adalah merupakan suatu peristiwa yang patut disesalkan.
Dalam hal ini, walaupun dikatakan lantaran perasaan serta emosinya yang membara serta persesuaian didalam watak, tapi pada hakekatnya hal itu merupakan hasil dari didikan serta peraturan rumah tangga keluarga Hoa yang turun temurun.
Keluarga Hoa mereka mengutamakan prinsip yang tak boleh melupakan kebaikan orang. Tapi justru pada diri ayahnya telah terjadi peristiwa yang masih merupakan suatu ganjalan sampai kini. Hoa In-liong sebagai putranya sudah tentu berusaha sedapat mungkin untuk melenyapkan ganjalan itu, tidak aneh pula kalau dia jadi banyak urusan dan berusaha mencapai apa yang diharapkan. Akan tetapi, nyatanya apa yang diharapkan sukar tercapai, apa yang musti dia lakukan?”
Hoa In-liong memang cerdik dan mempunyai banyak akal muslihat, tapi tak urung ia dibikin tertegun juga.
Sementara dia masih termangu, tiba-tiba ia merasa sikut Coa Wi-wi menyentuh pinggangnya, kemudian terdengar dara itu berseru, “Yaaa betul! Kau memang seharusnya menanyakan soal tentang diri Toako….”
Ketika mendengar perkataan itu, sekali lagi Hoa In-liong tertegun. Tapi lantaran Coa Wi-wi menyikut pinggangnya lebih dulu, dengan perasaannya yang tajam ia lantas tahu bahwa Coa Wi-wi telah mempunyai rencana tertentu.
Sayang ia tak tahu rencana apakah yang telah dipersiapkan dari itu dan lagi diapun tak dapat menanyakan secara langsung. Maka setelah mengeriing sekejap kearahnya, dia pura-pura berkata dengan suara tak senang hati, “Bertanyalah sendiri! Aku…. aku mau….”
Sambil pejamkan mata, sepasang tangannya bertopang dagu lalu pelan pelan membaringkan diri di tanah.
“Aaah…. kamu ini!” omel Coa Wi-wi sambil menuding ujung hidung pemuda itu.
Setelah mendengus dingin, diapun membatalkan niatnya untuk berbicara lebih jauh.
Tiang-heng Tookoh yang menjumpai keadaan itu segera tersenyum. “Anak Wi, engkau saja yang bertanya” ujarnya, “Dia lagi ngambek! Tak usah digubris lagi” Sekali lagi Coa Wi-wi mendengus dingin, kemudian ia baru berpaling seraya berkata, “Baiklah! Tolong tanya Bibi Ku, sebetulnya jalan darah yang manakah dari Hoa Si Toako yang tertotok? Masa engkaupun tak mampu untuk membebaskannya?’
“Jalan darah Ki-tong-hiat!”
“Ki-tong-hiat? “Coa Wi-wi melongo dengan perasaan heran, “Itu kan jalan darah tertawa!?”
“Yaaa, justru disinilah letak keanehan tersebut” kata Tiang- heng Tookoh lebih jauh, “Ketika jalan darah tertawa itu tertotok, bukan saja tidak tertawa, sang korban malahan jatuh tak sadarkan diri. Pinto sudah periksa sekujur badan Hoa Si dan tidak menjumpai luka ditempat lain. Diapun tidak tampak seperti keracunan”
“Oooooh….! Masa sampai terjadi begitu? “teriak Coa Wi-wi dengan nada tercengang, sepasang matanya sampai terbelalak lebar.
“Yaa. memang demikianlah kenyataannya. Yang aneh justru terletak pada caranya menotok jalan darah. Pada umumnya cara orang menotok jalan darah itu sama semua. Tapi kenyataan yang pinto jumpai ternyata jauh berbeda dari keadaan pada umumnya. Bila Hoa Si tak dapat sadar sendiri dari pingsangnya, maka didunia pada saat ini hanya ayahmu seorang yang dapat membebaskan pengaruh totokan tersebut”
Meskipun tercengang dan merasa keheranan, jelas tujuan Coa Wi-wi bukan disitu. Maka ketika mendengar sampai disana, diapun terhenti sebentar sebelum akhirnya bertanya lagi “Macam apakah manusia berkerudung itu? Apakah bibi Ku pernah menjumpainya?” “Dia adalah seorang laki-laki berperawakan sedang, berdada bidang dan berotot kekar. Paras mukanya tidak kelihatan, tapi tampaknya dia masih muda”
“Mungkin orang itu adalah anak buah Kui-im-kau” Coa Wi- wi mengajukan dugaannya.
“Mereka sealiran, bukan anak buah. Ketika pinto menjumpai keadaan Hoa Si ketika itu, si orang berkerudung tersebut justru sedang ribut-ribut dengan Kiu-im kaucu”
Berbicara sampai di sini, paras muka Tiang-heng Tookoh berubah jadi murung. Setelah merenung sebentar ia baru berkata lebih jauh, “Kiu-im kaucu yang sekarang bernama Bwee Su-yok. Orangnya cantik dan berasal dari angkatan muda. Ketika itu Hoa Si berada didalam dukungannya, si orang berkerudung mengatakan bahwa Hoa Si ditangkap olehnya, sepantasnya kalau diserahkan kepadanya untuk dibawa pergi. Tapi Bwee Su-yok segera menjawab: ‘Apabila kau tidak menyergap dikala orang tak siap, tak nanti engkau adalah tandingan dari anak keturunan keluarga Hoa.
Dihadapanku, aku tak akan mengijinkan kau melukai orang dengan cara serendah itu’. Kebetulan tempo dulu pinto mempunyai hubungan dengan perkumpulan tersebut. Hitung- hitung aku masih merupakan seorang cianpwe dihadapan Bwee Su-yok. Maka ketika pinto munculkan diri, Bwee Su-yok menyebut cianpwe kepadaku. Sikapnya terhadap pinto juga sangat menaruh hormat. Si manusia berkerudung yang tak tahu duduknya perkasa salah menganggap diriku sebagai pembantu dari Bwee Su-yok, sambil mendengus buru-buru ia mengundurkan diri dari sana”
Ketika berbicara sampai disini, tiba-tiba ia menghela napas lalu menghentikan ceritanya, Apa arti dari helaan napas itu? Jangankan Coa Wi-wi, Hoa In-liong sendiripun merasa tercengang dan tidak habis mengerti. Sampai-sampai dia harus bangun dan membuka matanya.
Tujuan Coa-Wi-wi tidak disana, iapun segan untuk bertanya lebih lanjut, maka ujarnya kembali, “Kapan peristiwa itu terjadi? Dan dimanakah
peristiwa itu berlangsung….?”
Tiang-heng Tookoh berpikir, lalu menjawab, “Mungkin tengah hari kemarin kejadiannya disuatu tempat kurang lebih lima puluh li disebelah timur dari sini”
“Jadi kalau bagitu bibi Ku datang dari Kim-leng? “tanya Coa Wi-wi kemudian.
Tiang-heng Tookoh mengangguk, sementara dia mau berkata lebih jauh, Coa Wi-wi telah menyambung kembali
kata-katanya, “Tahukah bibi Ku kemana perginya Kui-im kaucu serta manusia berkerudung itu?”
Sebelum mendapat jawaban, tiba-tiba saja nona itu melanjutkan kembali dengan pertanyaannya, kesemuanya itu segera menggerakkan hati Hoa In-liong. Ia seperti memahami akan sesuatu. “Oooh…. Rupanya begitu” pikirnya.
Baru saja ingatan tersebut melintas didalam benaknya, terdengar Tiang-heng Tookoh telah berkata lagi, “Manusia berkerudung itu menuju kearah timur laut. Bwee Su-yok sendiri sesudah berpisah dengan pinto juga berangkat kearah timur laut. Dimanakah ia sekarang, pinto kurang begitu tahu”
“Bibi Ku datang dari kota Kim-leng, apakah kau telah bertemu dengan seorang hwesio tua yang tinggi dan kurus?” Mendapat pertanyaan itu Tiang-heng Tookoh tampak tertegun. “Seorang hwesio tua? Pinto tidak menjumpainya” ia menyahut.
“Oooo, Wi-ji tidak menerangkan secara jelas, tak aneh kalau bibi Ku jadi heran” kata Coa Wi wi lebih jauh, “Hwesio tua itu adalah kongkong ku. Jika bibi Ku tidak menjumpainya, tentu dia kalau bukan pergi ke selatan sudah pasti telah ke lautan timur!”
Tiang-heng Tookoh tertawa geli. “Aaah…. kamu si bocah cilik, kenapa kalau bicara mencla-mencle begitu? kalau ke selatan ya katakan saja ke selatan, kalau ke lautan timur katakan saja kelautan timur, mana ada orang yang berbicara macam kamu itu? Tampaknya dalam hati kecilmu ada urusan, bukan begitu?”
“Yaa, memang! Dihati Wi ji memang ada persoalan. Itulah disebabkan racun ular sakti yang mengeram ditubuh Jiko.
Kongkong ku pernah berkata, katanya di dalam beberapa hari ini jika ia tidak berada di Kim-leng, berarti sudah barangkat ke laut timur. Bila tidak berada di laut timur berarti sudah pergi keselatan. Maka….”
Hoa In-liong yang mendengar pembicaraan tersebut makin lama dibawa makin jauh dari pokok pembicaraan, dihati kecilnya lantas menyumpah, “Silahkan…. omongan setan kok tiada habisnya. Sampai kapan pembicaraan itu akan berlangsung?”
Sebaliknya Tiang-heng Tookoh jadi terperanjat tanpa sadar ia berpaling kearah Hoa In-liong dan mengawasi wajahnya dengan seksama. “Racun ular sakti? “serunya tercengang, “Apakah racun ular sakti itu? Kenapa diatas wajahnya tidak tampak gejala apa apa?”
“Racun tersebut merupakan sejenis siksaan racun dari Mo- kau_yang bernama Sin-hui-si-sim (Ular Sakti Menggigit Hati). Jiko kena dikecundangi oleh orang orang Mo-kau secara licik. Racun tersebut sudah meresap didalam tubuhnya. Hanya kongkong ku seorang yang bisa membantu dirinya untuk memunahkan racun tersebut”
“Ooooh…. jadi sudah berlangsung peristiwa seperti itu?” Tiang-heng Tookoh mengerutkan keningnya.
“Yaa benar!” Coa Wi-wi mengeluh sedih, “Karenanya bila kali ini bibi Ku hendak pergi ke lautan timur atau selatan, maka bila bertemu dengan kongkongku tolong sampaikanlah pesan dari Wi-ji, katakan kalau Wi-ji nantikan kedatangannya di kota Kim-leng, mau bukan?”
Tiang-heng-Tookoh menengok sekejap ke arah Hoa In- liong, kemudian dengan nada minta maaf katanya, “Pesan tersebut mungkin…. mungkin tak dapat pinto sampaikan…. sebab….sebab….”
Begitu ucapan tersebut diucapkan keluar, Coa Wi-wi tak dapat mengendalikan emosinya lagi. Siapa tahu dalam gembiranya ia berbuat kurang hati-hati, suara tertawanya menyelinap keluar dari bibirnya.
Menanti ia buru-buru tutup mulutnya dan sekali lagi berlagak sedih. Tiang heng Tookoh sudah keburu berpaling dan menyaksikan kesemuanya itu dengan amat jelasnya.
Jelek jelek Tiang-heng Tookoh terhitung juga sebagai seorang prrempuan yang cerdik dan berpengalaman. Tindak tanduk Coa Wi-wi yang diam-diam tertawa geli dan sikapnya yang takut diketahui olehnya itu segera mengundang kecurigaan hatinya. Dari curiga diapun jadi memahami akan duduk persoalan yang sebenarnya.
Kontan saja ia melotot besar, dengan lagak seperti marah tapi bukan marah bentaknya keras-keras, “Bagus sekali setan cilik, rupanya kau sedang menjebak aku dengan siasat yang licik. Hmm, pinto peringatkan kepadamu, jika kau berani mengintil ke barat, lihat saja kutabok tidak pantatmu!”.
Mula-mula Coa Wi-wi rada sedikit kikuk, tapi setelah Tiang beng Tookoh berkata begitu, ia malahan mengerutkan dahinya seraya mencibirkan bibirnya yang mungil. “Kalau mau pukul aku pukullah. Kan aku tidak bertanya, kau sendiri yang memberitahukan kepadakui” katanya.
Hoa In-liong sendiri, setelah menyaksikan keadaan tersebut tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, ia bangkit dan ikut tertawa terbahak-bahak.
Tiang-heng Tookoh tertegun, lalu berpikir, “Yaa, benar juga perkataannya. Sejak awal sampai akhir si budak cilik ini toh tidak menanyakan kepadaku akan kemana? Aaai…. Sungguh tak nyana karena kurang berhati-hati, bukan saja arah Kepergianku ketahuan, bahkan kata-kata ku malah dibuat untuk menyerang diriku kembali”
Siapa tahu, belum habis ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tiba-tiba terdengar Coa Wi-wi berteriak lagi, “Hayo tertawa…. hayo tertawa terus. Bibi Ku marah kepadaku, kau malah gembira, senang yaa melihat aku dimarahi?”
Sambil terbahak-bahak karena geli dan tersengkal napasnya karena kehabisan napas Hoa In-liong menyahut! “Baik aku tidak tertawa lagi….Ooooh…. Ooooh…. lepaskan dulu tanganmu. Aku tidak akan tertawa lagi Hii…. hii…. hi…. haa…. haa…. haa….”
Ketika Tiang-heng Tookoh berpaling, tampaklah Coa Wi-wi sedang mencibirkan bibirnya dengan wajah cemberut, tangan kanannya mencekal pergelangan tangan Hoa In-liong.
Sementara targan kirinya menggelitik pinggang pemuda tersebut.
Kena dicekal kedua buah tangannya, apalagi pinggangnya digelitik terus menerus, pemuda itu jadi kegelian. Ia melenggak-lenggok seperti lagi tari perut. Suara tertawanya yang tersendat-sendat pun makin terputus-putus.
Bagaimanapun juga sudah tentu suara tertawanya tak dapat berhenti.
Menyaksikan sdrgan itu, paras muka Tiang-heng Tookoh berubah jadi lembut kembali. Dia malah ikut tertawa. “Sudah….Sudah cukup, kalian tak usah bersandiwara lagi” teriaknya, “Cukup banyak permainan kalian yang kusaksikan. Lebih baik pinto sampai disini dulu, kalau ada persoalan utarakan saja secara berterus terang….!”
Mendengar kata-kata itu, Coa Wi-wi benar-benar menghentikan perbuatannya, dengan mata yang jeli ia berpaling kemudian serunya, “Sungguh? Perkataan yang telah diucapkan tak boleh dipungkiri lagi lho!”
Tiang-heng Tookoh tersenyum. “Orang yang beribadah tak pernah bicara bohong. Kecuali kau menanyakan tempat pemondokanku, persoalan apapun pasti akan kujawab, setuju bukan….?”.
oooOOOOooo COA WI-WI mengerdipkan matanya, tiba-tiba ia berpaling ke arah Hoa In-liong, “Sudah, sekarang giliranmu untuk bertanya!” katanya.
Hoa In-liong tersenyum, satelah mengucapkan terima kasih. Sorot matanya dialihkan kembali ke wajah rahib tersebut, ujarnya dengan nada minta maaf, “Bibi Ku, maafkanlah daku. tidak seharusnya kami bersikap demikian kepadamu….”
“Tak usah kau bicirakan tentang permintaan maaf” tukas Tiang-heng Tookoh seraya ulapkan tangan, “Kesemuanya ini adalah hasil keteledoran pinto sendiri. Coba kalau pinto tidak gegabah dari bersikap lebih cermat, tak mungkin aku sampai terjerumus dalam perangkap kalian”
“Terima kasih atas kebesaran jiwa bibi Ku. Padahal sekalipun bibi Ku meninggalkan alamat, belum tentu kami akan sering mengganggu ketenanganmu”
“Nah! Lagi-lagi soal ita, memangnya kau anggap pinto tak bisa membaca suara hatimu?” tegur Tiang-heng Tookoh serius.
Merah dadu wajah Hoa In-liong karena jengah. Terdengar Tiang-heng Tookoh melanjutkan kembali kata-
katanya, “Liong-ji, kau musti tahu segala kesukaran yang ada didunia ini hanya suara iblis dihati manusia yang paling sukar diatasi. Sudah hanyak tahun pinto berjuang dengan susah payah dan mengalami banyak penderitaan sebelum berhasil memandang rawan urusan keduniawian dan berhasil menenangkan hatiku. Kau adalah seorang laki-laki yang kaya akan perasaan. Bila kau masih simpatik atas segala penderitaan yang telah kualami selama ini, seandainya kau bersedia mengurangi kemurungan dan kesukaran yang bakal dijumpai kedua orang tuamu, sepantasnya kalau niatmu ini kau batalkan, padamkan saja cita-citamu itu”
Perkatan ini diucapkan cukup jelas dan cukup tegas.
Sayangnya Hoa In-liong bukan seorang manusia yang akan mundur setelah menjumpai kesulitan. Ia merasa tanggungjawabnya walau berat namun keputusannya tak boleh dibaikan dengan begitu saja.
Setelah merenungkan sebentar, dia mengangguk. “Apa yang bibi Ku katakan memang sangat beralasan. Kalau toh demikian Liong-ji juga tidak akan berbelok-belok lagi dalam pembicaraan. Aku akan berkata pula dengan terus terang”.
“Memang seharusnya demikian!” jawab Tiang-heng Tookoh meski hatinya terasa menegang.
Dengan wajah serius Hoa In-liong menatap perempuan itu beberapa waktu lamanya, kemudian berat, “Bibi Ku, tahukah kau bahwa pandanganmu, itu sebenarnya keliru besar….?”
Tiang-heng Tookoh tertegun. “Berkorban diri sendiri demi menyempurnakan kedua orang tuamu, kelirukah pandangan pinto tersebut?”
“Paling sedikit demikianlah pandangan Liong-ji” sahut anak muda itu, “Tolong tanya bibi Ku, apa yang diartikan oleh Siang Tiong-san dari An-leng setiap kali kudanya minum air disungai Wi-sui, dia lantas melemparkan tiga biji mata uang kedalam sungai”.
“Siang Tiong-san adalah seorang manusia yang jujur dan bijiksana. Ia merasa air yang diminum kudanya harus dibayar. Karena ia tak ingin merugikan orang lain dengan perbuatan kudanya yang minum air disungai Wi-sui….!” “Aku rasa sepanjang pesisir sungai Wi-sui jarang ditemui penduduk ynag berdiam disitu. Apakah bibi Ku merasa cukup dengan penjelasan bahwa ia melemparkan uang kedalam sungai hanya, disebabkan karena dia itu orang jujur dan tak ingin merugikan orang lain?”
Tiang-heng Tookoh tertegun. “Apakah engkau masih mempunyai penjelasan lain kecuali itu?” dia balik bertanya.
“Yaa, Liong-ji masih ada sedikit tambahan. Liong-ji rasa perbuatan Siang Tiong-san melemparkan mata uang kedalam sungai setiap kali kudanya selesai minun hanya dimaksusudkan untuk mencari ketentraman bagi hatinya sendiri. Kalau tidak begitu maka dia boleh dianggap sebagai manusia yang mencari nama dengan menipu dunia, tak pantas dinamakan seorang manusia yang jujur dan bijaksana”
Tiang-heng Tookoh berpikir sebentar, ia merasa benar juga perkataan itu. maka diapun manggut-manggut.
Hoa In-liong tersenyum, kembali ujarnya, “Bibi Ku, liong-ji ingin bertanya lagi kepadamu apa lagi yang dimaksudkan dengan Membuka pintu mempersilahkan maling masuk?”
Begitu mendengar pertanyaan, tersebut kontan saja Tiang- heng Tookoh mengenyitkan alis matanya. “Ada apa?” tegurnya, “Jadi kau anggap penderitaan tak lebih adalah lantaran mencari penyakit bagi diri sendiri?”
Cepat-cepat Hoa In-liong menggeleng, “Bibi Ku telah salah menafsirkan maksudku. Lam-Si pernah berkata begini, “Bila buka pintu mempersilahkan maling masuk, itu berarti buang rejeki mencari kesialan. Kemudian Go-Ki pernah berkata pula, “Bila para penjahat mulai bersaing, kejahatan akan merajarela. Saudara sendiri dirampok, peraturan diinjak-injak. Karenanya bila buka pintu mempersilahkan maling masuk, keadilan dan kebenaran akan tumbang. Liong-ji tidak begitu mengetahui tentang keadaan kau orang tua. Tapi aku percaya kau orang tua adalah seorang yang sangat mementingkan kesetiaan kawan….!”
Sengaja ia berhenti sebentar, kemudian baru melanjutkan, “Walaupun begitu, Liong ji tetap merasa bahwa caramu berpikir terlampau picik. Selain itu liong-ji juga rada sangsi, benarkah yang dimaksudkan sebagai ‘memandang remeh soal keduniawian, hati akan jadi tenteram’ itu benar-benar bisa dipercaya?”
Beberapa patah kata yang terakhir ini boleh dibilang sedikit menyudutkan posisi rahib perempuan itu. Tiang-heng Tookoh jadi terdesak hebat, maka sambil melototkan matanya ia balik bertanya: Jadi maksudmu, pinto sedang membohongi engkau?”
“Oooh…. Sudah tentu liong-ji tak berani sekurang ajar itu.
Maksud Liong-ji. sekalipun kau orang tua sudah hidup menyepi, belum tentu perasaanmu setenang air. Paling tidak kau hanya berusaha dengan sekuat tenaga untuk mengendalikan diri, agar perasaan serta emosinya tidak sampai meluap dan tak terbendungkan lagi”
“Tapi…. Aku rasa itu toh tidak keliru!” seru Tiang-heng Tookoh setelah tertegun.
“Kelirunya memang tidak, cuma terlampau berlebihan, Ketahuilah bahwa manusia hidup didunia ini mempunyai kewajiban. Kewajiban tersebut bukan hanya buat diri sendiri, tapi juga demi orang lain. Bukan hanya untuk sekelompok manusia kecil tapi untuk sekawanan manusia dalam jumlah yang lebih banyak. Apa gunanya hidup mengasingkan diri? Sekalipun persoalan pribadi juga belum tentu dapat diselesaikan”
Setelah berhenti sebentar, pemuda itu berkata lebih lanjut, “Mari kita ambil contoh dalam persoalanmu dengan ayah.
Menurut anggapan bibi Ku, asal hidup mengasingkan diri dalam biara maka ketenangan yang didambakan pasti akan didapat. Kepusingan hidup pasti bisa teratasi. Yaaa. memang datlam soal tata cara kau memang berhasil. Dalam soal cita- cita kaupun terpenuhi sebab dengan demikian kau tidak mengalutkan perasaan ayahku lagi. Tapi bagaimanalah dengan dirimu sendiri? Bibi Ku merasakan siksaan batin.
Merasakan penderiraan. Merasaka….”
“Pinto tidak merasa menderita” tukas Tiang-heng Tookoh dengan lantang sebelum pemuda itu sempat menyelesaikan kata-katanya, “Pinto tak merasa tersiksa batinnya. Pinto malah merasa pandangan hidup serta jalan pikiranku makin terbuka”
“Liong-ji bukan bermaksud mengajak bibi Ku untuk berdebat. Liong-ji hanya ingin bertanya, apakah kau orang tua masih kangen dan memikirkan ayahku?”.
“Pinto kan sudah berkata, jangan singgung-singgung lagi kenangan masa lampau. Aku telah melupakan kesemuanya itu!”
Hoa In-liong berar-benar tidak membantah atau mendebat lagi ucapan tersebut. Ia tersenyum, “Bibi Ku, tahukah engkau bahwa ayahku masih seringkali kangen dan memikirkan dirimu?” katanya kemudian secara tiba tiba.
Sementara Tiang heng Tookoh masih tertegun, Hoa In- liong telah berkata lebih jauh, “Bibi Ku, Liong-ji berani berbicara sesungguhnya, ayahku pasti selalu memikirkan dirimu baik siang ataupun malam. Bukan ayahku saja, bahkan nenekku, ibuku (Chin Wan-hong) maupun mamaku mereka juga selalu memikirkan engkau. Aku percaya apa latar belakang dari kejadian tersebut kau orang tua pasti lebih memahami dari pada aku”
Tiang-heng Tookoh tidak menjawab, tapi ia mendengus dingin.
Ketika Hoa In-liong tidak mendapat jawaban darinya, ia tampak berpikir sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi, “Bibi Ku, pernahkah engkau memikirkan tentang ayahku?”
“Memikirkan apa?” Tiang-heng Tookoh bertanya dengan wajah tertegun dan tidak habis mengerti.
“Tentu saja keadaan dari ayahku! Dirumah ia masih ada ibu. Dibawah ada istri dan anak. Bibi Ku yang jadi pendeta tentu saja dapat membuang jauh-jauh semua pikiran dan urusan keduniawiaan tapi bagaimanakah dengan ayahku? Tentu saja ayah tak dapat meninggalkan ibunya, istri dan anaknya untuk menyusul jejakmu, mencukur rambut dan hidup menyepi sebagai seorang pendeta?”
“Aaaai….! Memangnya teori tersebut tidak kupahami? buat apa mesti kau singgung lagi?” pikir Tiang-heng Tookoh dengan perasaan masgul,
Tampaknya Hoa In-liong memang tidak terlalu mengharapkan jawabannya, ia berkata lebih lanjut, “Wahai bibi Ku! Liong-ji hendak membahas semua persoalan yang ada didepan mata. Sekarang juga dihadapanmu aku hendak mengeritik tentang dirimu!”
“Katakan saja! Pinto akan memperhatikannya” kata Tiang- heng Tookoh dengan dingin. “Pepatah kuno mengatakan: Siapa yang telah berusaha dengan segenap kemampuan, dialah yang setia….”
“Apa?” teriak Tiang-heng Tookoh dengan gusar. Matanya melotot besar, “kau menuduh aku tak setia kepada ayahmku?”
“Ooooh…. Tentu saja bukan demikian! Liong-ji hanya membicaiakan persoalan, bukan mempersoalkan manusianya. Dulu ada seorang bocah kecil jalan-jalan dengan ayahnya.
Setengah jalan mereka jumpai sebuah batu gunung yang besar sekali menghalangi perjalanan mereka maka berkatalah sang ayah: ‘Nak, singkiikan batu dari tengah jalan!’ Bocah itu menurut dan segera berusaha untuk menyingkirkan batu besar tersebut dari tengah jalan. Sayang lantaran tenaganya terlampau kecil, meskipun sudah didorong kesara ditarik kembali, sampai sekujur badan basah oleh karena capainya batu itu belum juga bergeser dari tempatnya semula”.
“Eeeeh…. Cerita apa yang lagi kau dongengkan? tukas Coa Wi-wi setengah berteriak karena habis sabarnya, “Aku pikir ayah dalam ceritamu itu adalah seorang ayah telur busuk, maka engkau juga seorang telur busuk kecil”
Kata-kata itu mempunyai arti rangkap maksud. Dalam keadaan seperti ini, bukannya membicarakan urusan penting, sebaliknya malahan mendongeng apa gunanya?”
“Wi-ji, jangan menukas, biarkan saja ia bercerita!” sela Tiang-heng Tookoh cepat.
Hoa In-liong tersenyum, “Waktu itu si bocah sudah ngos- ngosan napasnya seperti kerbau” kembali ia lanjutkan dongengnya, “Maka dalam lelahnya diapun merengek kepada sang ayah sambil berkata: ‘Oh ayah, ananda tak mampu menggeserkan batu itu!’, maka sang ayahpun menjawab: ‘Sudahkah kau gunakan segenap kekuatan yang kau miliki?’. ‘Sudah ayah!’ sahut si bocah dengan wajah merengek ingin menangis, ‘sekujur badan ananda jadi lemas, sedikitpun tak bertenaga lagi!’. Adik Wi, tahukah kau bagaimana jawaban dari sang ayah dari si bocah itu?”
“Apa lagi yang musti dia katakan? Sudah tentu membantu anaknya untuk menggeserkan batu tersebut!” sahut Coa-Wi-wi dengan alis mata yang berkenyit kencang.
“Yaaa, benar, seharusnya ia memang musti membantu sang anak. Cuma itu adalah persoalan si ayah dan bukan urusan si bocah!”
“Lantas….lantas apa jawaban dari si ayah?” tanya Coa Wi- wi setelah tertegun sejenak.
“Ia bilang begini: ‘Wahai anakku sayang! Dengarkanlah, kau sama sekali belum menggunakan segenap kekuatan yang kau miliki. Atau paling sedikit kau toh masih dapat memohon bantuanku. Masa buka mulut untuk mengajukan pertolongan saja kau tak mampu untuk melakukannya?’ Akhirnya ayah dan anakpun bergotong-royong, dengan mudahnya batu gunung itu berhasil mereka singkirkan dari tengah jalan”
Berbicara sampai disitu, iapun berpaling ke arah Tiang- heng Tookoh sambil berkata, “Bibi Ku, dulu engkau orang tua selalu melindungi dan membantu ayahku. Mengapa selama dua puluh tahun belakangan belum pernah kau kunjungi perkumpulan Liok-soat-san-ceng kami? Apakah cuma berkunjung saja kau tak mampu untuk melakukannya?”
Tiang-heng Tookoh merasakan hatinya bergetar keras, diam-diam pikir hatinya, “Yaa, benar juga perkataan ini! Thian-hong sedang menghadapi kesulitan, kenapa tidak pergi mencarinya? Apakah tindakanku ini merupakan suatu kesetiaan terhadap cinta, kesetiaan terhadap kasih sayang. Kesetiaan terhadap Thian-hong?”
Meskipun ia berpikir demikian, lain pula dengan apa yang diucapkan. Katanya dengan dingin, “Mengapa pula ayahmu tidak tadang mencari aku? Kenapa akulah yang harus mencarinya?”
“Oleh karena itulah ibu berkata kepadaku, bahwa kami keluarga Hoa telah berbuat salah kepadamu!”
“Sekuat tenaga Tiang-heng Tookoh berusaha untuk mengendalikan pergolakan perasaan dalam hatinya. Kembali ia berkata dengan suara yang amat dingin, “Dari tadi kasak kusuk melulu, sebenarnya apa yang kau bicarakan….? Aku tidak mengerti!”
“Liong-ji cuma ingin bibi Ku menanggalkan pakaian pendetamu. Pulihkan wajahmu yang sebenarnya dan berdiam dirumah keluarga Hoa kami!”
“Aaaah…. itu impian kosong. Itu hanya omong kosong belaka!’ teriak Tiang-heng Tookoh cepat-cepat, “Jika aku sampai berbuat demikian, bukankah sia-sia belaka pertapaanku selama delapan tahun ini? Bukankah hasil yang kuperoleh selama ini akan hancur berantakan dan lenyap dengan begitu saja?”
“Tenteramkan perasaan bibi Ku? Dengan mata kepala sendiri Liong-ji pernah mendengar kau berkata begitu. ‘Akar cinta pinto sukar diputuskan, hingga tanpa sadar selalu muncul dalam benakku sebercak harapan untuk berjumpa sekali lagi dengannya!’. Kalau toh demikian, kenapa tidak secara terang-terangan saja kita berbicara dan buka kartu, lalu kita hidup bersama dengan penuh kegembiraan dan kebahagiaan” “Walaupun pinto pernah mengatakan demikian, namun pinto juga pernah berkata begini: ‘Usiaku telah lanjut, daripada bertemu lebih baik tak usah bertemu lagi!’. Apakah kau tidak mendengar kata kataku itu?”
“Tentu saja Liong-ji juga mendengar kata kata tersebut.
Cuma Liong-ji masih sempat mendengar bibi Ku berkata begini: ‘Che-giok, dirikanlah Cha-li-kau mu dan bantulah dirinya!’ Kemudian kau juga pernah berkata: ‘Yang penting dalam bercinta adalah mencintai, jangan mengharapkan akan berhasil atau tidak’. Lantas bagaimanakah penjelasannya dengan kata-kata tersebut?”
Tiang-heng Tookoh benar-benar merasa kehilangan muka, sinar matanya kontan mencorong tajam, bentaknya dengan tajam, “Liong-ji, sebetulnya kau pakai aturan atau tidak?”
“Bibi Ku, apakah kau berharap rasa hormat Liong-ji kepadamu hanya tergantung dibibir belaka. Kau tak akan perduli perasaan tersebut sesungguhnya atau pura-pura belaka?” kata Hoa In-liong dengan wajah yang amat serius.
Mula-mula Tiang-heng Tookoh agak tertegun. Kemudian dengan suara yang lebih lembut dia mengeluh, “Aaaaai…. Kau si bocah cilik…. memang kau anggap urusan didunia ini segampang apa yang kau duga? Kuakui memang pandai berbicara dan bersilat lidah tapi jangan toh belum tentu kan bisa menaklukan perasaan pinto. Sekalipun aku berhasil kau taklukan, bagaimana kedua orang tuamu dan nenekmu?
Bagaimana dengan jalan pikiran mereka? Ketahuilah “berbuat salah kepada pinto” adalah
satu urusan. Melakukan sesungguhnya adalah urusan lain. Kau masih terlalu muda, jalan pikiranmu terlalu polos, hanya mengandalkan kehangatan perasaan belaka….” Yaa, setelah bertemu dengan manusia macam Hoa In-liong mau tak mau Tiang-heng Tookoh harus bermain akal. Maka nada suaranya jauh di perlunak, ia berusaha membicarakan tentang soal cengli dengannya.
Siapa tahu begitu Hoa-In-liong mendengar perkataan tersebut, ia lantas menukas kembali, “Bibi Ku tak usah memikirkan tentang soal lain lagi. Soal ayah ibuku bahkan tentang nenekku serahkan saja kepada Liong-ji. Liong-ji yang akan bertanggung jawab tentang soal ini”
“Aaaah…. tanggung jawab apa yang bisa kau pikul?”, ejek Tiang-heng Tookoh. “Paling-paling kalau tidak berhasil, kau lantas menggunakan kekerasan!”
“Jika kekerasan tidak berhasil, aku akan berbicara soal cengli. Aku yakin semua urusan didunia ini tak dapat mengalahkan soal cengli” tegas anak muda itu.