Jilid 23
MAKA setelah ditegur, gadis itupun berseru tertahan dan buru buru melepaskan ikat pinggangnya. Tapi baru melepas sampai tengah jalan, mendadak paras mukanya berubah jadi merah, sambil mendorong pemuda itu kemuka teriaknya marah. “Sana, menghadap kesitu, awas jangan mengintip yaa!”
“Baiklah, aku akan berjalan pelan-pelan, tapi kau harus cepatan sedikit….”‘
Selesai berkata, ia benar benar putar badan dan pelan- pelan maju kemuka.
Waktu itu senja telah lewat, malam yang gelap mencekam seluruh jagad, dari kejauhan tampak cahaya lampu yang lapat-lapat memancar dari arah kota Ci-tin, kadangkala
terdengar juga suara tertawa orang, suasana amat tenang dan nyaman. Sambil berjalan Hoa In-liong kembali berpikir sudah berapa ratus langkah ia lanjutkan perjalanannya tapi Coa Wi-wi belum menyusul juga. “Perempuan memang paling merepotkan” pikirnya kemudian, “Untuk melepaskan sebuah jubah luarnya makan waktu selama ini”
Sementara dia masih berpikir, mendadak Coa Wi-wi sedang membentak keras, “Siapa itu? Hayo cepat berhenti!”.
Hoa In-Hong merasa terkesiap tak ssmpat berpikir panjang lagi, buru-buru ia menjejakkan kakinya ke tanah dan melayang kembali ke tempat semula.
Tampaklah sesosok bayangan abu-abu sedang kabur menuju kearah timur, agaknya Coa Wi-wi termangu sesaat sebelum akhirnya melakukan pengejaran yang ketat.
Gerakan tubuh orang itu amat cepat, meski permukaan tanah tidak rata namun dalam beberapa kali lompatan saja sudah hampir lenyap di balik pepohonan yang luas.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coa Wi-wi memang amat sempurna, tapi lantaran ia agak terlambat sewaktu melakukan pengejaran, maka tak berhasil disusulnya.
Hoi In-liong sangat gelisah, cepat-cepat sepasang kakinya menggunting lalu menerobos masuk ke dalam hutan, hardiknya, “Sahabat, ayoh hentikan langkahmu!”.
Pemuda itu berada lebih jauh lagi jaraknya dengan orang itu apalagi bergerak jauh lebih lambat. Untuk menyusul orang tersebut sudah, jelas lebih-lebih tak mungkin lagi.
Siapa sangka ketika bayangan abu-abu itu tiba ditepi hutan yang lebat itu, mendadak ia berhenti dan malahan memutar badannya seraya menegur, “Apakah yang datang adalah adik In-liong?”
Didengar dari nada suaranya jslas orang itu sangat dikenal olehnya dan tak bisa diragukan lagi orang itupun menghentikan gerakan tubuhnya setelah mengenali suara teguran dari Hoa In-liong.
Hoa In-liong juga agak tertegun sesudah mendengar seruan tersebut, tanpa menghentikan gerakan tubuhnya dia menyahut, “Yaa, aku adalah Hoa loji, siapakah saudara?”
“Aaaai….Payah sekali aku mencari dirimu” teriak bayangan abu-abu itu dengan nada kegirangan.
Cepat dia melompat kedepan dan menyongsong kedatangan anak muda itu.
Hoa In-liong yang bermata jeli segera dapat mengenali pula siapa gerangan bayangan abu-abu itu, diapun tampak amat kegirangan. “Oooh…. Kiranya Saudara Ek-hong, haa…. haa…. haa…. Ibaratnya air bah menggenangi kuil raja naga, orang keluarga sendiripun tidak dikenali”
Seraya berkata ia buru-buru maju ke muka dan menyongsong pula kedatangan orang itu.
“Tunggu sebentar!” tiba-tiba Coa Wi-wi membentak dengan suara yang dingin.
“Kenapa?”dengan wajah tercengang dan setengah tertegun Hoa In-liong berpaling, “Masa kalian tidak saling mengenal?
Dia kan saudara Wan Ek-hong?
“Tentu saja kenal” sahut Coa Wi-wi tetap berdiri kurang lebih satu kali dihadapan pemuda itu. “Aku hanya ingin bertanya kepadamu, mengapa kau main sembunyi dengan cara yang sangat mencurigakan, menegurpun tidak apalagi bersuara?”
“Oooh…. Rupanya adik dari keluarga Coa?” seperti baru tahu Wan Ek-hong segera menyapa, “Aku kira…. aku kira…. aiaai! Kalau begitu akulah yang telah salah melihat orang”
Coa Wi-wi mendengus dingin, tampaknya rasa dongkol dan marahnya belum mereda. Bibirnya kembali gemetar seperti hendak mengucapkan sesuatu, namun tak sepatah katapun yang sampai meluncur keluar.
Hoa In-liong dapat merasa keadaan yang kurang harmonis, buru-buru serunya sambil tertawa, “Adik Wi, malam sudah kelam apalagi suasana diliputi gelap gulita, salah melihat orang itu lumrah, aku rasa kaupun tak usah….”
“Kamu tak usah turut campur” belum habis pemuda itu berbicara, Coa Wi-wi sudah menukas dengan mata melotot, “Sedari dulu waktunya memang sudah begitu. Dia paling suka mempermainkan aku. Hmmm! Ini hari aku tidak akan menyudahi urusan sampai disitu saja. Bagaimanapun jua dia musti memberi penjelasan yang seterang-terangnya kepadaku”
Berbicara sampai disitu dia lantas berbaling dan ditanya Wan Ek-hong dengan mata melotot. “Hayo jawab!” kembali bentaknya, “Mengapa kau bersembunyi dibelakang batu tanpa bersuara? Mau mempermainkan aku yaa?”
Wan Ek-hong dibuat jadi serba kikuk dan serba jengah. Mukanya jadi merah seperti kepiting rebus, senyum yang menghiasi bibirpun senyuman yang teramat getir. “Hian-moay, janganlah menuduh aku dengan tuduhan yang bukan-bukan” pintanya, “Jangan bikin aku jadi penasaran. Aku betul-betul tidak tahu kalau engkau yang berada disitu!”
“Huuuh….! Setan baru percaya dengan obrolanmu” Coa Wi- wi mencibirkan bibirnya, “Kami sudah bercakap-cakap, sedang kau bersembunyi dibelakang batu hanya tiga kaki jauhnya dari tempat kami berbicara, masa suara kamipun tidak kedengaran?. Apalagi diantara Kim-leng ngo-kongcu engkaulah yang paling lihay dalam hal ilmu silat. Sekalipun tidak dapat mengenali suara kami rasanya juga tak usah kabur. Hmmm! Kau tak berlagak pilon, mau tipu orang mesti lihat dulu siapa yang hendak kau tipu. Hendak membohongi aku? Huuuh! jangan mimpi disiang hari bolongi”
Hoa In-liong yang menyaksikan percekcokan itu diam-diam tertawa geli, pikirannya dalam hati, “Adik Wi betul-betul tidak pakai aturan. Itu namanya orang yang tidak salah dituduh berbuat salah. Berbicara sampai tiga hari tiga malampun tak akan ada habisnya. Yaa, mungkin kedua orang itu memang sudah tidak cocok sedari dulu, atau mungkin gurauan saudara Ek-hong dimana dulu sedikit keterlaluan, maka akibatnya adik Wi sampai sekarang masih merasa mendongkol”
Sementara dia masih terpikir, Wan Ek-hong telah tertawa serak untuk menutupi perasaan jengahnya. “Aaaaai….! Kalau dibicarakan sungguh bikin hati menjadi menyesal. Aku benar- benar tidak tahu kalau engkau yang berada disana. Terus terang saja kuakui, andaikata pada dari yang terakhir kukenali suara teguran tersebut sebagai suara diri adik In-liong, mungkin semenjak tadi aku sudah kabur ke dalam hutan dan melenyapkan jejakku disana”
“Hee….hee…. hee…. Mungkinkah kau bisa lolos dari cengkeraman?” ejek Coa Wi-wi sambil tertawa dingin, mukanya tampak sinis sekali. Agak tertegun Wan Ek-hong ketika menghadapi pertanyaan tersebut. “Bisa kabur atau tidak, itu urusan lain. Pada hakekatnya andaikata aku sudah tahu bahwa orang yang ada disitu adalah engkau buat apa aku musti melarikan diri? Bukan begitu adik In-liong?”
“Tidak boleh bertanya kepadanya” Coa Wi-wi sangat marah, “Kau juga tak boleh menghindari yang sedang berkecamuk didalam benakmu?”
Nada tegurannya kian lama kian bertambah keras dan nyaring, seakan-akan gadis itu tak mau menyadari persoalan tersebut sebelum urusan menjadi jelas keseluruhnya.
Lama-lama Hoa In-liong merasa tak tega, cepat selanya dari samping, “Adik Wi, jangan keterlaluan! Kita semua toh mempunyai hubungan persaudaraan yang erat. Masa saudara Ek-hong bakal mempunyai ingatan jahat terhadap dirimu….”
“Aaaah….! Kamu ini tahu apa?” kembali Coa Wi-wi menukas, “Tampangnya saja seperti orang yang tahu sopan santun dan halus budinya. Padahal. Huuuuh! otaknya busuk, pikirannya jahat dan semua akal busuknya hanya bertujuan untuk perbuatan yang terkutuk….”
“Sudah….sudah….cukup, jangan seperti anak anak lagi” Hoa In-liong segera menukas pula sambil tersenyum, “Saudara Ek-hong adalah saudara angkat dari kakakmu Cong- gi. Dia memandang engkau sebagai adik sendiri juga. Kalau cuma bergurau atau menggoda dirimu itu lumrah dan tak bisa dihindari. Buat api kau musti pikirkan di dalam hati, apalagi menggunakan kata-kata yang kurang didengar untuk mencari maki dirinya, itu kurang baik” Berbicara sampai disitu diapun lantas berpaling ke arah Wan Ek-hong seraya bertanya, “Saudara Ek-hong, karena urusan apa engkau datang kemari? Apakah kau sedang mencari diri siau-te?”
Tentu saja tujuannya mengalihkan pokok pembicaraan adalah untuk menghilangkan suasana kaku yang mencekam suasana disitu.
Siapa tahu sebelum Wan Ek-hong sempat menjawab pertanyaan tersebut, Coa Wi-wi sudah menerjang kemuka sambil berteriak lagi, “Tunggu sebentar, biar dia menjawab dulu pertanyaanku. Sebenarnya apa maksud dan tujuannya engkau bersembunyi dibelakang batu disana?”
Hoa In-liong tertegun. “Apa sebenarnya yang telah terjadi?” demikian
pikirnya, “Kenapa kali ini adik Wi demikian keras kepala? Meskipun saudara Ek-hong berbuat salah, sepantasnya kalau ia memberi sedikit muka kepadanya, agar dia tak sampai benar-benar kehilangan muka. Mungkinkah…. Mungkinkah kepribadian dan akhlak saudara Ek-hong memang benar-benar ada penyakitnya? Tapi….”
Berpikir sampai disitu, tanpa sadar sinar matanya ikut dialihkan pula keatas wajah Wan Ek-hong.
Diperhatikan orang dengan cara begini, Wan Ek-hong semakin kikuk dan serba salah. Ia tertawa getir, lalu ujarnya dengan perasaan apa boleh buat, “Baiklah! Kalau toh hian- moay memaksa aku untuk mengakuinya, akupun tak akan melindungi nama baikku lagi untuk mengaku terus terang.
Yaa, pada hakekatnya aku sedang dikejar kejar oleh beberapa orang perempuan hingga kehilangan jalan. Dengan susah payah aku baru saja berhasil lolos dari kejaran mereka. Aku merasa lelah dan kehabisan tenaga, ibaratnya burung yang ketakutan oleh bidikan. Baru saja aku bersemedi mengatur tenaga dibelakang batu itu. Ketika kalian da-tang maka akupun tak berani berbisik. Aku kuatir kalian adalah orang- orang yang mengejar diriku itu. Hian-moay, aku sudah mengakui kelemahanku yang amat memalukan ini, ibaratnya kulit mukaku sudah kau sayat, puaskah kau?”
Begitu pengakuan diberikan, Hoa In-liong jadi tertegun bercampur kaget, ia segera bertanya dengan nada terkejut, “Beberapa orang perempuan? Apakah mereka adalah anak buah dari Kiu-im kau?”
“Huuuh….! Siapa yang tahu kalau cerita itu sungguhan atau bohong” Coa Wi-wi kembali mengejek. “Aku tidak percaya kalau dengan andalkan beberapa orang perempuan, dia bisa dibikin kalang kabut ketakutan selengah mati!”
“Tapi apa yang kuceritakan adalah kenyataan” seru Wan Ek-hong agak penasaran, “Jika kau tidak percaya, silahkan ke
belakang batu sana dan periksa sendiri. Disitu ada sebuah kain putih, bila bukan lantaran desingan dari baju, mungkin aku belum sadar dari samadiku!”
“Tak usah dilihatpun aku juga tahu” kata Coa Wi-wi dengan alis mata berkenyit, “Kain itu adalah baju luarku. Hanya sebuah jubah luar sana sudah bikin kau ketakutan sampai kabur terbirit-birit. Hmmm! siapa yang akan percaya dengan obrolanmu?”
“Aku adalah ibaratnya burung yang baru kena dibidik” keluh Wan Ek-hong dengan muka yang mengenaskan, “Apalagi aku dibikin samar ditengah kegelapan….”
“Huuuh….! hanya bertemu dengan seorang perempuan saja sudah dibikin ketakutan setengah mati?” ejek Coa Wi-wi sambil mencibirkan bibirnya. “Hmmm, sayang seribu kali sayang, bila ingin suruh aku percaya lebih baik karanglah alasan lain yang lebih tepat lagi”
Wan Ek-hong tertegun, dia alihkan pandangan matanya ke sekeliling tempat tersebut, kemudian sesudah berpikir sebentar ujarnya, ‘”Aaaai….! berkata begini tidak percaya, berkata begitu tidak percaya, tampaknya aku harus mohon diri saja dari tempat ini”.
Coa Wi-wi mendengus dingin. “Hmmm! Mau pergi kek, mau tidak pergi kek, siapa yang sudi mengurusi dirimu?”
Hoa In-liong makin tercengang lagi sudah menyaksikan kejadian itu, dahinya berkerut, “Sebenarnya apa yang terjidi?” demikian pikirnya, “Dengan susah payah ia memaksa orang untuk menjawab, seakan-akan sebelum urusan dibuat terang ia tak mau menyudahi urusan dengan begitu saja. Tapi setelah orang mau pergi, dia tidak menahannya, aneh benar kejadian ini”
Sementara itu Wan Ek-hong telah menghela napas panjang. “Aaaaai! Baiklah kalau toh demikian. Baiknya aku mohon diri saja dari sini!”
“Eeeeh…. Jangan pergi…. Jangan pergi” dengan terkejut Hoa In-liong berusaha menghalangi kepergiannya, “Adik Wi masih terlampau muda, harap saudara Ek hong jangan….”
Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, Coa Wi-wi kembali sudah menukas, “Kalau dia mau pergi, kenapa kau musti menahan dirinya lebih lanjut….?”
Hoa In-liong tertegun, sambil berpaling teriaknya, “Adik Wi….” Sekilas rasa benci dan gemas melintas diatlas wajah Wan Ek-hong, segera sambungnya, “Adik Liong tak usah banyak berbicara lagi, aku sudah mengenali watak adik Wi. Sekalipun kau paksa untuk menahan diriku juga percuma, paling-paling hanya membuat dia semakin marah saja. Untuk sementara waktu biar aku menyingkir saja lebih dulu”
Coa Wi-wi mendengus dingin, ia melengos ke arah lain dan tidak menggubris lagi.
Hoa In-liong kuatir dia benar-benar akan pergi, segera ujarnya pula, “Aiaai, perkataan apa itu, adik Wi tak ada alasan untuk marah. Harap saudara Ek-hong juga tak usah tersinggung. Hayo berangkat,kita bercakap-cakap dalam kota saja”
Wan Ek-hong menggerakkan tubuhnya menyingkir ke samping, cepat tampiknya sambil tersenyum, “Tak usah, melihat kau berada dalam keadaan segar bugar, hatiku juga ikut lega, urusan lain kita bicarakan lain waktu saja!”
Selesai berkata ia lantas memberi hormat, kemudian putar badan dan berlalu dari situ.
Hoa In-liong betul-betul amat gelisah melihat kepergian pemuda itu, sebab masih banyak urusan yang bendak dia tanyakan. “Eeeh…. tunggu sebentar!”‘ teriaknya kemudian, “Kau hendak pergi kemana?”.
Cepat kakinya menjejak tanah dan siap mengejar kemuka, tapi sebelum ia sempat bergerak, tangannya sudah terlanjur ditangkap Coa Wi-wi.
“Aku tak bisa menunggu lebih lama lagi” terdengar Wan Ek- hong sambil lari sambil berteriak “Saudara Siau-lam sudah berangkat ke barat, aku harus menyusulnya dengan segera” “Saudara Siau-lam mau apa berangkat ke barat?” Hoa In- liong semakin gelisah, sehingga ia mendepak-depakkan kakinya berulang kali keatas tanah.
Makin lari Wan Ek-hong berlalu semakin cepat. Dari kejauhan sempat terdengar suaranya mengalun tiba, “Konon empek Yu ditangkap orang orang Mo-
kau, mati hidupnya belum ketahuan”
Meski orangnya sudah sangat juah, tapi suaranya lapat- lapat masih kedengaran, tapi sampai akhirnya suara itu tak terdengar lagi.
Hoa In-liong tak berani menggunakan tenaga terlampau besar, maka ketika ia gagal untuk melepaskan diri dari cengkeraman Coa Wi-wi, kakinya didepak-depakkan keatas tanah dengan gelisah. “Lepaskan tanganku adik Wi. Persoalan ini bukan permainan anak-anak, kita musti menyusul saudara Ek-hong dengan cepat!”
Tapi Coa Wi-wi tetap memegang tangannya erat-erat, malahan sambil menatap wajah pemuda itu dia berseru, “Kau amat percaya dengan perkataannya?”
Hoa In-liong menghela napas panjang. “Aaai…. Kau terlalu nakal. Urusan ini menyangkut mati hidup empek Yu, masa bisa kabar bo-hong belaka?”
“Lantas, kau tidak akan mengurusi urusan Toako lagi? “Tiba-tiba Coa Wi-wi menegur.
Hoa In-liong tertegun, ia jadi serba salah, malahan untuk menjawabpun bingung. Tiba-tiba Coa Wi-wi bertanya lagi, “Tahukah kau, orang she-Wan itu pergi kemana?”
Kembali Hoa In-liong tertegun. “Bukankah dia bilang mau menyusul saudara Siau-lam?” pemuda itu balik bertanya.
“Berarti dia seharusnya ke barat bukan? Sayang dia mengatakan mau ke barat padahal sekarang mungkin ada di timur. Kalau tidak percaya, silahkan kau susul dirinya”
Tangannya direntangkan menunjukkan sikap terserah, lalu pelan-pelan dia berangkat ke kota Ci-tin.
Hoa In-iong makin serba salah dibuatnya, jangan toh dia niscaya tak tega meninggalkan urusan Hoa Si, sekalipun sekarang disusul juga bayangan tubuh dari Wan Ek-hong sudah lenyap tak berbekas. Apa lagi dibalik ucapan Coa Wi-wi terkandung arti yang amat mendalam.
Sebagai seorang pemuda yang pandai membawa diri, setelah berpikir sebentar dan mengetahui bahwa disusulpun tak ada gunanya, dia memutuskan untuk menyelesaikan dulu masalah yang menyangkut Toakonya Hoa Si.
Karena itulah dia percepat langkah kakinya dan menyusul diri Coa Wi-wi….
Ketika dilihatnya pemuda itu menyusul datang Coa Wi-wi segera tertawa cekikikan, seraya berpaling tegurnya, “Kenapa tidak kau susul dirinya?”
“Lebih baik kita cari Toako lebih dulu!”
“Seharusnya memang begitu” Coa Wi-wi berkata dengan wajah berseri, “Orang she-Wan itu adalah manusia paling busuk, semua perkataannya tidak dapat dipercaya” Mendengar perkataan tersebut, Hoa In-liong segera mengerutkan alisnnya. “Adik Wi! Tampaknya engkau menaruh prasangka jelek yang amat mendalam atas diri saudara Ek- hong?”
“Prasangka jelek?” Ejek Coa Wi-wi, sambil berkerut kening, “Hmmm…. Manusia macam begitu itu lain dimulut lain dihati. Aku paling benci kepadanya. Andaikata saudaraku tidak mempunyai hubungan baik dengannya, hee…. hee…. heee sejak dulu dulu aku sudah memberi pelajaran yang setimpal kepadanya”
“Lain dimulut lain dihati?” ulang Hoa In-liong dengan wajah makin tercengang, “Aku lihat saudara Ek-hong itu….”
“Aaaah…. Engkau tak usah menyebut saudara Ek-hong saudara Ek-hong melulu. kalau bisa aku malah menganjurkan dirimu untuk putus hubungan dan tak usah berhubungan dengan dirinya lagi” tukas Coa Wi-wi dengan nada jemu.
Hoa In-liong semakin berkerut kening, diapun berpikir, “Benar-benar suatu kejadian aneh. Tampaknya rasa benci adik Wi terhadap dirinya bukan terbatas cuma benci saja, bahkan sudah meningkat menjadi suatu dendam kesumat, yang seakan-akan sedang berhadapan dengan musuh bebuyutan saja. Apa yang telah terjadi? Aku lihat saudara Ek-hong tampan, gagah dan setia kawan. Dia tidak mirip seorang manusia yang busuk atau memuakkan”
Walaupun ia sudah putar otak dan memikirkan persoalan itu berulang kali, namun pikirannya tak pernah dia bawa ke bagian yang jelek. Dia selalu beranggapan bahwa Coa Wi-wi masih muda, berdarah panas, dan rasa sentimennya terhadap Wan Ek-hong hanya lantaran pandangannya yang tidak cocok. Karena itu meski dihati ia berpikir demikian, senyum manis masih tersungging diujung bibirnya. “Adik Wi, engkau suruh aku putus hubungan dengannya, tentu anjuran ini disebabkan oleh alasan yang kuat bukan? Nah, tolong ajukanlah suatu contoh yang membuktikan bahwa dia adalah seorang manusia lain dimuka lain dihati. Jika ada dasar, buktimu itulah akan kupertimbangkan haruskah hubunganku dengannya diputuskan atau tidak”.
Coa Wi-wi segera mencibirkan bibirnya. “Aku sudah tahu kalau kamu ini manusia yang susah diberitahu. Baiklah! Akan kuberitahukan kepadamu. Orang itu luarannya saja yang gagah dan tampan, seakan-akan dia itu manusia yang jujur. Manusia yang gagah perkasa, terutama didepan kakakku sekalian waduh…. Lagaknya macam orang yang sok mulia, sok bijaksana dan sok setia kawan…. Padalah hanya, huuh…. ! Dia adalah seorang busuk, manusia munafik, manusia rendah tak tahu malu”
“Kau punya bukti?” tanya Hoa In-liong kemudian setelah tertegun dan melongo.
Coa Wi-wi manggut-manggut, “Tentu saja! Bukan saja kusaksikan dengan mata kepala sendiri, bahkan mengalaminya juga sendiri. Oleh karena dia mempunyai hubungan yang sangat baik dengan kakakku sekalian, dulu akupun memanggilnya sebagai “Wan-suko”. Siapa tahu dia selalu saja menggoda aku. Waktu itu meski aku rada jemu dan sebal, itupun hanya terbatas pada rasa sebal belaka. Hingga pada suatu ketika…. hingga…. hingga pada suatu ketika….”
Tiba-tiba ia jadi tergagap dan tak mampu menerusnya kembali kata-katanya.
“Kenapa? Apakah dia kurangajar kepadamu?” Coa Wi-wi mendengus dingin. “Hmmm! Dia berani? Kalau dia berani kurang ajar kepadaku, sejak dulu dulu aku sudah beri pelajaran yang paling pahit kepadanya”
Mendengar jawaban itu, Hoa In-liong merasa agak lega, dia menghembuskan napas lega. “Bagus sekali, lanjutkan ceritamu!”
“Aaaah…. tak usaH diceritakan lagi,!” Coa Wi-wi gelengkan kepalanya beberapa kali, “Dibayangkan saja keki, apalagi diceritakan!”
Hoa In-liong mengerdipkan matanya berulang kali, diam- diam ia mulai berpikir, “Agaknya saudara Ek-hong adalah seorang laki-laki yang gemar main perempuan dan mata keranjang. Mungkin ada sesuatu perbuatan jeleknya yang ketangkap basah oleh adik Wi. Karena malu maka adik Wi segan untuk menceritakan kembali….”
Walaupun masih banyak persoalan yang mencurigakan hatinya, namun persoalan persolan itu tak sampai diutarakan keluar. Dia hanya melanjutkan perjalanannya dengan mulut membungkam.
Melihat pemuda itu membungkam dalam seribu bahasa, tiba-tiba Coa Wi-wi berkata lagi, “Apakah engkau masih belum percaya? Baiklah akan kuceritakan kepadamu. Dia telah mempermainkan dayang dari Ko Samko, Ko Siong-peng.
Dayang tersebut dia totok jalan darahnya, tapi ketika hendak melucuti gaun dayang tersebut telah ketahuan aku. Sejak itulah aku tak sudi menyebut Suko lagi kepadanya. Coba bayangkan, manusia macam begitu apa patut disebut laki-laki sejati? Tampangnya saja gagah, padahal diam-diam melakukan perbuatan terkutuk yang sangat memalukan. Tidak pantaskah kalau manusia seperti itu disebut manusia munafik? Jika engkau tak mau putuskan hubungan dengannya, lain kali kau musti akan merasakan pahit getir di tangannya”
Perkataan itu diucapkan dengan tegas dan sungguh- sungguh. Bahkan makin berbicara semakin panas hatinya. Sekalipun orang lain yang mendengar, tidak percaya juga akhirnya jadi percaya.
Tapi lain halnya dengan Hoa In-liong. Dia tak mempercayai perkataan orang dengan begitu saja. Sekalipun dia lebih percaya lagi beberapa bagian atas kisah tersebut, sekalipun ia merasa terkejut dihati. Tapi lantaran kejadian itu tidak disaksikan sendiri, maka diapun tak ingin memberi tanggapan atau komentar apapun jua.
Sesudah termenung sebentar, akhirnya iapun berkata, “Adik Wi, kita tak usah membicarakan tentang dia lagi. Hayo kita percepat perjalanan kita”
Coa Wi-wi tertegun. “Kenapa kau masih tidak percaya juga?
Kau masih akan berhubungan lagi dengannya?”
Hoa In-liong tersenyum. “Asal aku lebih waspada kan beres” sahutnya, “Pepatah bilang: Siapa yang tidak jujur berarti dia sedang bunuh diri. Andaikata dia benar-benar seorang manusia yang jahat dan busuk, lain kali akulah yang pertama-tama tak akan lepaskan dia, tak usah kuatir”
Coa Wi-wi termenung sejenak, akhirnya diapun menghela napas. “Baiklah! Terserah kepadamu. Kau mempunyai pandangan sendiri sedang aku tak bisa memaksakan pandanganku kedalam pandanganmu. Cuma kalau bertemu lagi lain kali, kuharap engkau bersedia meningkatkan kewaspadaanmu. Jangan sampai kau tertipu oleh akal muslihatnya” Hoa In-liong hanya bisa manggut-manggut belaka. Maka kedua orang itupun melanjutkan perjalanan sambil bergandengan tangan.
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba kembali d kota Ci-tin, tepatnya di loteng Cwan-seng-lo.
Waktu itu Coa Wi-wi mengenakan pakaian wanita, maka pelayan yang bernama Go Bei-ci sudah tidak mengenalnya lagi. Berbeda dengan Hoa In-liong yang mengenakan pakaiah sama, hanya mantelnya sekarang penuh debu. Maka hanya sekilas pandangan saja pelayan itu sudah mengenalinya kembali.
Dengan wajah penuh senyuman pelayan itu buru-buru maju menyongsong kedatangannya. “Kongcu-ya sudah kembali? “sapanya, “Kiong-hi, tidak sia-sia rasanya perjalananmu kali ini. Haa…. haa…. haa…. silahkan…. silahkan naik ke oteng”
Jelas ia telah salah menganggap Coa Wi-wi sebagai Wan Hong-giok.
Hoa In-liong sendiripun tidak memberi penjelasan lebih jauh. Sambil naiki tangga loteng dia berkata sambil tersenyum, “Tak nyana engkau masih mengenali diriku.
Tolong tanya apakah selama dua hari belakangan ini ada orang yang menyolok mata berkunjung kemari?”
“Orang-orang yang menyolok? Oooh….” Pelayan yang menyusul dari belakang itu mendadak berseru tertahan, lalu sambil merendahkan suaranya dia berbisik, “Ada beberapa orang, bahkan sekarang masih berada di atas loteng!” Mendengar kabar tersebut dengan kaget Hoa In-liong menghentikan langkah kakinya, kemudian ikut berbisik, “Ada berapa orang? Bagaimana dandanan mereka?”
Pelayan itu mengerling sekejap ke atas loteng, lalu sambil pura-pura sok misterius sahutnya, “Tiga orang nona cantik, potongan, badannya menggiurkan, parasnya juga menarik. Belum pernah kota ini dikunjungi nona secantik itu, mereka mirip…. mirip….”
Dia ada maksud menggunakan Coa Wi-wi sebagai perumpamaan. Siapa tahu begitu sorot matanya terbentur dengan wajah gadis tersebut, seketika itu juga ia merasakan bahwa kecantikan Coa Wi-wi tiada tandingannya dikolong langit.
Maka pelayan itu hanya bisa menjulurkan lidahnya gelagapan dan tak mampu melanjutkan kembali kata-kata.
Ketika Coa Wi-wi mendengar bahwa di atas loteng hanya beberapa orang bocah perempuan saja, ia lantas membentak nyaring, kemudian melanjutkan langkahnya keatas loteng.
Hoa In-liong juga tertawa rawan, sambil ulapkan tangannya dia berkata kemudian, “Sediakan saja beberapa sayur, selesai bersantap kira masih harus melanjutkan perjalanan.
Siapkanlah buat kami”
Habis berkata pemula itu memutar badannya dan pelan- pelan naik ke atas loteng.
Loteng itu hampir penuh oleh tamu yang sedang bersantap.
Coa Wi-wi sedang berdiri didepan tangga sambil celingukan kesana-kemari. Sementara tiga orang “bocah perempuan” yang dimaksudkan pelayan duduk disudut barat dekat jendela. Bila ditinjau dari dandanan mereka, memang wajahnya cakup ayu dan menarik hati.
Disuatu sudut timur dekat jendela ia mencari tempat duduk lalu menggandeng tangan Coa Wi-wi untuk duduk.
Menggunakan kesempatan tersebut matanya memandang sekejap sekeliling tempat itu untuk memeriksa apakah disekitar sana ada orang persilatan yang menyolok pandangan mata atau tidak.
Ternyata tamu yang bersantap disana sebagai besar adalah penduduk kota. Yang bisa disebut sebagai “rnenyolok” memang tak lain hanya tiga orang “bocah perempuan itu”.
Nona nona tersebut tidak terlalu besar usianya. Yang paling tuapun baru berusia delapan sembilan belas tahunan.
Diantaranya satu mengenakan baju warna hijau pupus, satu mengenakan baju warna merah menyala dan terakhir mengenakan baju warna kuning telur.
Mereka itu sama-sama memakai gaun panjang dengan celana ketat. Ikat pinggangnya memakai warna yang sama. Pada sanggulnya memakai pita kupu-kupu dengan warna yang sama. Kecuali berdandan sebagai gadis remaja, tiada tanda- tanda lain yang istimewa.
Selang sesaat kemudian, pelayan muncul menghidangkan sayur dan arak, maka sekali lagi Hoa In-liong berseru, “Eeeh…. pelayan, tolong tanya, tengah hari tadi apakah ada seorang kongcu berbaju biru yang mampir dikedai ini?”
Pelayan itu termenung dan berpikir sebentar, kemudian balik bertanya, “Apakah dia manyoren pedang dan usianya agak sedikit tua dari kongcu….?” Diam-diam Hoa ln-liong merasa gembira. Cepat dia mengangguk berulang kali. “Yaaa, Betul. Betul. Apakah kau tahu setelah berlalu dari warung ini dia telah pergi kemana?”
Pelayan itu segera menggeleng. “Kongcu itu bertampang keren dan penuh wibawa, berbeda dengan engkau yang ramah dan suka bergaul. Hee…. hee…. hee…. karenanya hambapun tidak berani banyak bertanya”
“Lantas dia pergi ke arah mana? Apakah kau masih ingat?” desak Hoa In-liong lebih jauh dengan wajah sedih.
Pelayan itu segera tertawa serak. “Maaf, seribu kali maaf, hamba betul-betul tidak memperhatikannya!”
Hoa In-liong merasa hatinya makin tercekam kemurungan, akhirnya ia ulapkan tangannya dengan sedih. “Terima kasih atas pemberitahuanmu. Lanjutkanlah pekerjaanmu….” katanya kemudian.
“Yaa…. yaa….” pelayan itu mengiakan berulang kali sambil membungkukkan badannya, kemudian mengundurkan diri dari situ.
Setelah gagal untuk mencari tahu kabar berita tentang kakaknya, Hoa In-liong berpikir sebentar sambil menatap wajah Coa Wi-wi katanya, “Mari kita bersantap dulu, kemudian kita putar mengelilingi kota. Coba lihat adakah sesuatu tanda yang mencurigakan?”
Selesai berkata dia lantas mengambil sumpit dan mangkuk dan bersantap dengan lahapnya. Terhadap sepoci arak yang disediakan, ia sama sekali tidak memandangnya.
Pada dasarnya Coa Wi-wi sendiripun tak pandai minum arak, sambil bersantap dlapun berbisik, “Eeeeh…. Jiko, Aku lihat apa yang dikatakan Wan Ek-hong ada beberapa bagian yang bisa di-percayai”
Hoa In-liong tertegun, tapi ketika dilihatnya gadis itu bersikap sok misterius, maka tanpa terasa diapun ikut berbisik, “Kenapa begitu? Bukankah kau sendiri yang mengatakan bahwa perkataannya tak dapat dipercaya?”
Diam-diam Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya ke arah barat, kemudian bisiknya lebih jauh, “Coba kau lihat! Diam-diam saja kalau melirik, agaknya ilmu silat yang dimiliki tiga orang gadis itu sangai tangguh. Mungkin benar juga kalau dia berkata bahwa ia sedang dikejar-kejar oleh beberapa orang gadis hingga musti melarikan diri terbirit-birit”
Dengan suatu lirikan seperti tak sengaja Hoa In-liong menperhatikan sekejap gadis-gadis disudut barat itu, lalu sahutnya, “Meskipun ketiga orang gadis itu adalah orang- orang persilatan, tapi kalau dikatakan ilmu silat mereka lebih tangguh daripada Wan Ek-hong, bahkan dapat memaksa Wan Ek-hong sampai melarikan diri terbirit-birit, aku rasa hal itu suatu hal yang tak masuk diakal. Ayolah bersantapl Paling penting kita harus temukan Toako. Jangan sampai menimbulkan kecurigaan orang hindari segala kerepotan dan perselisihan-perselisihan yang tak penting!”
Coa Wi-wi mengerling sekejap kearahnya, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh katanya, “Engkau bisa mengatakan demikian lantaran kau tidak memperhatikannya secara sungguh-sungguh. Coba periksa sekali lagi, lihat sinar mata mereka, bukankah cahaya matanya berbeda jauh dibandingkan dengan orang lain?”
Ketika didengarnya bahwa perkataan itu diucapkan dengan wajah serius, tanpa sadar Hoa In-liong berpaling lagi kearah barat. Kali ini ia memperhatikan lebih seksama lagi. Betul juga, ia temukan sesuatu yang sebelumnya tak ditemukan olehnya.
Ketiga orang gasis duduk dengan dua orang menghadap ke barat, seorang menghadap ke timur. Dua orang yang duduk menghadap kearahnya dapat dilihat betapa tajamnya sinar mata mereka, terutama kerlingan-kerlingan matanya yang tajam. Ini semua menunjukkan bahwa tenaga dalam yang mereka miliki sudah mencapai pada puncak kesempurnaan.
Yang lebih aneh lagi, bukan saja ketiga orang gadis itu masih muda-muda dan memiliki paras muka yang cantik jelita bahkan raut wajah mereka sangat dikenal olehnya, seakan- akan pernah di jumpai disuatu tempat….
Sambil putar otak memikirkan soal itu ia berpikir lebih jauh, “Aneh benar aku seperti pernah bertemu dengan mereka, tapi dimana? Sejak turun gunung memang tak sedikit perempuan yang pernah kujumpai, tapi belum pernah rasanya berjumpa dengan beberapa orang ini. Jangan-jangan…. jangan- jangan…. Aaaah benar! mereka adalah anak muridnya Pui Che-giok. Ya pasti! Mereka pasti anak muridnya Pui Che-giok. Tak salah lagi!”
Akhirnya ia teringat anak Pui Che-giok, teringat akan sekawanan perempuan geait yang pernah dijumpainya di rumah pelacuran Gi-sim-wan di kota Kim-leng. Ia teringat juga akan perkumpulan Cha-li-kau yang oleh Pui Che-giok katanya segera akan diresmikan, maka dari itu sinar matanya segera ditarik kembali dan diapun manggut-manggut ke arah Coa Wi- wi.
“Sudah melihat jelas?” bisik Coa Wi-wi kemudian, “Bukankah sinar mata mereka sedikit agak istimewa?” Sambil tundukkan kepalanya bersantap, Hoa In-liong segera menyahut dengan lirih, “Ehmmm. Mereka semua adalah anak murid dari perkumpulan Cha-li-kau!”
“Perkumpulan Cha-li-kau?” diam-diam Coa Wi-wi merasa amat terkejut. Bukankah suatu perkumpulan kaum sesat? Darimana kau bisa tahu tentaag perkumpulan tersebut?”
“Aku sudah pernah berjumpa dengan kaucu mereka.
Meskipun nama dari perkumpulan itu kurang begitu sedap didengar, pada hakekatnya mereka tidak merugikan bagi kita”
“Benarkah itu? “tanya Coa Wi-wi dengan dahi berkerut. Ia tidak percaya dengan perkataan tersebut.
Hoa In-liong tersenyum. “Tentu saja benar, buat apa kubohongi dirimu? Hayo cepat bersantap, jangan membuang waktu dengan percuma”
Tiba-tiba Coa Wi-wi tertawa. “Yaa, sekarang aku baru mengerti, tentu Wan Ek-hong mencari gara-gara dengan mereka, akibatnya ia kena batunya dan musti melarikan diri terbirit-birit!”
Pada mulanya dia yang menganggap Wan Ek-hong itu orang yang tidak jujur, seorang laki-laki yang halus diluar tapi busuk didalam. Menjadi agak kaget dan rada curiga ketika mendengar nama “Cha-li kau” tersebut.
Tapi setelah mendapat tahu bahwa perkumpulan “Cha-li- kau” hanya tak sedap dalam nama sebutan tapi nyatanya merupakan suatu perkumpulan yang lurus dan kebetulan cocok dengan jalan pikirannya, maka dengan hati yang lega diapun mengucapkan beberapa patah kata itu. Menyinggung kembali tentang diri Wan Ek-hong tiba-tiba Hoa In-liong merasa hatinya agak tergerak, segera pikirnya, “Yaaa, kenapa saudara Ek-hong mengganggu mereka? Siapa tahu kalau merekalah yang mengganggu saudara Ek-hong? Kedua belah pihak sama sama tidak mengenali asal-usul masing-masing. Siapa yang mengganggu siapa rasanya semua ada kemungkinannya. Jika merekalah yang mencari gara gara dengan saudara Ek-hong, lalu terjadi perselisihan dan saudara Ek-hong kabur lantaran tak sanggup menandingi kepandaian mereka, ini toh kemungkinan bisa terjadi juga. Andaikata demikianlah kejadiannya, bukankah berarti bahwa perkataan dari saudara Ek-hong dapat dipercayai?”
Perlu diketahui, Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang selalu ingat akan persahabatan lama. Dalam benaknya ia selalu tak berharap kalau Wan Ek-hong itu seorang manusia cabul yang se-sat. Kalau tidak demikian. andaikata menuruti wataknya yang amat membenci akan segala bentuk kejahatan, mungkin anak muda itu sudah dilabraknya semenjak semula.
Tapi, seandainya Wan Ek-hong itu seorang manusia yang dapat dipercaya, bagaimana pula penjelasannya atas sikap Coa Wi-wi yang bicara tegas-tegas?
Pelbagai persoalan yang saling bertentangan ini seketika itu juga membuat anak muda itu kebingungan sendiri. Mana yang benar mana yang salah untuk sesaat sulit baginya untuk membedakan.
Tentu saja Coa Wi-wi tak dapat merasakan betapa kalutnya pikiran si anak muda itu, dia malahan diam-diam merasa gembira karena pendapatnya benar.
Karenanya sewaktu ia saksikan Hoa In-liong hanya termangu-mangu belaka, sambil tersenyum segera ujarnya, “Jiko, hayo cepat bersantap! Selesai bersantap kita harus segera berangkat. Jangan sampai urusan penting jadi tertunda!”
Tuguran itu seketika itu juga menyadarkan Hoa In-liong dari lamunan. Ketika dirasakan bahwa ia sudah berbuat sifat, cepat kepalanya ditundukkan untuk melanjutkan santapannya.
Selesai membayar rekening dan keluar dari rumah makan Cwan-seng-lo, kedua orang itu berunding sebentar sebelum melanjutkan perjalanannya menuju kearah timur.
Dalam perundingan tersebut mereka telah memutuskan untuk melakukan pemeriksaan yang teliti dari timur kearah barat lalu dari barat ke arah timur dengan melingkari selatan menuju utara. Bila pencarian itu tidak mendapatkan hasil, maka mereka akan melakukan pencarian lagi dengan menelusuri sungai hingga ke kota Kim-leng untuk melihat keadaan dari pesanggrahan pertabiban, setelah itu rencana baru di susun kembali.
Sedang mengenai kejadian apakah yang dialami Hoa Si, lantaran waktu amat mendesak maka terpaksa mereka harus mencari kabar dengan sebisanya.
Waktu malam sudah menjelang tiba, rembulan belum muncul diangkasa. Suasana amat gelap gulita, untunglah kedua orang itu memiliki ketajaman mata yang melebihi orang lain. Meski demikian pencarian yang sudah dilakukan hampir makan waktu setengah jam lamanya itu sama sekali tidak mendatangkan hasil apa-apa.
Makin lama kedua orang itu semakin mendekati tempat yang dijanjikan Kiu-im Kaucu sebagai tempat pertemuannya dengan Hoa Si. Tempat itu adalah sebuah hutan yang tidak terlampau luas.
Ditengah hutan terdapat sebidang tanah lapangan yang berumput. Di atas rumput tertera dengan jelasnya bekas- bekas telapak kaki yang masih baru, cuma anehnya disana tak terlihat sesosok bayangan manusiapun.
Coa Wi-wi tak dapai menahan sabar, dia celingukan sebentar kesana kemari, kemudian bisiknya, “Mereka telah pergi?”
Hoa In-liong mengangguk. “Yaa, sudah pergi, agaknya belum sampai terjadi bentrokan kekerasan….!”
“Darimana kau bisa tahu?”
Hoa In-liong menuding bekas-bekas telapak kaki diatas tanah. “Coba kau lihat bekas-bekas telapak kaki itu, jumlah seluruhnya hanya belasan saja. Bahkan bekas tongkat baja kepala setan dari Kiu-im Kaucu pun tertera amat jelas. Bekas- bekas telapak kaki itu bersih, teratur dan sama sekali tidak kalut. Ini menandakan bahwa disini belum sampai terjadi suatu pertarungan”
“Lantas dimanakah Toako?” tanya Coa Wi-wi lebih jauh dengan perasaan tidak mengerti, “Kenapa Toako tidak langsung balik keatas puncak bukit?”
“Aku sendiripun tidak jelas dengan masalah tersebut” sahut Hoa In-liong sambil celingukan kesana kemari, “Semestinya Toako adalah seorang laki-laki yang tak pernah merubah kata- katanya. Diapun laki laki yang pegang janji. Anehnya ternyata ia tidak balik lagi ke atas puncak bukit.”
Coa Wi-wi murung sekali, pikirannya ikut menjadi kusut. “Jangan-jangan Kiu-im-kaucu turun tangan secara tiba-tiba dengan menotok jalan darah dari Toako, kemudian menculik Toako pergi dari sini?”
“Tidak mungkin!” Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali, “Toako berbeda dengan aku. Kalau aku kadang kala memang bisa berpikiran cabang hingga kena dikecundangi orang, sedang Toako orangnya serius dan selalu waspada….”
Berbicara sampai disitu, tiba-tiba ia tertawa tergelak. “Haa…. haa…. haa…. Sahabat darimanakah yang telah berkunjung kemari? Jika tidak keluar lagi dari tempat persembunyianmu, jangan salahkan kalau aku Hoa loji terpaksa harus mengundangnya dengan cara kekerasan!”.
Baru saja Coa Wi-wi merasa terperanjat, dari dalam hutan disebelah kanan sana berkumandang serentetan suara yang merdu dan nyaring bagaikan suara genta, “Ilmu silat yang dimiliki ji-kongcu memang benar-benar luar biasa. Kami mengira tempat persembunyian kami ini cukup rapat dan rahasia. Tak tahunya masih tidak berhasil juga untuk melolos diri dari pengawasanmu”
Ditengah pembicaraan tersebut, bayangan manusia berkelebat berulang kali, secara beruntun munculah tiga orang dari dalam hutan.
Ketiga orang gadis itu bukan lain adalah gadis-gadis yang telah dijumpainya dirumah makan Cwan-seng-lo.
Maka begitu berjumpa muka, Coa Wi-wi berseru, “Oooh…. kiranya kalian!”
Dengan langkah yang lemah gemulai tiga orang gadis itu maju kedepan. Setelah berada dihadapan kedua orang muda- muda itu serentak mereka memberi hormat. “Apakah ji- kongcu mengetahui asal-usul kami?” Dara baju kuning diantara tiga orang gadis itu mennyapa.
Sambil balas memberi hormat jawaban Hoa In-liong, “Jika dugaanku tidak keliru, kalian bertiga semestinya adalah anak murid dari perkumpulan Cha-li-kau”
“Keliru!” tiba-tiba dara baju kuning itu gelengkan kepalanya, “Kami adalah murid perkumpulan Cian-li-kau!”
Jawaban tersebut membuat Hoa In-liong terbelalak dengan mulut melongo, ia benar-benar dibuat tertegun.
Kembali dara berbaju kuning itu tertawa cekikikan, kemudian katanya lebih jauh, “Namun dugaan ji-kongcu juga tidak keliru se-bab perkumpulan Cian-li-kau bukan lain adalah berkumpulan Cha-li-kau. Hanya namanya saja mengalami perubahan beberapa saat berselang”
Selesai berbicara, bersama dua orang gadis lainnya mereka tertawa cekikikan dengan santainya, sama sekali tidak tampak rikuh.
Menyaksikan keadaan mereka, diam-diam Coa Wi-wi mengerutkan dahinya dan berpikir, “Apakah anggota dari perkumpulan Cian-li-kau adalah manusia-manusia yang tidak pakai aturan dan bergaul bebas seperti itu?”
Lain halnya dengan Hoa In-liong yang sudah pernah menyaiksikan keanehan mereka, sambil tersenyum ujarnya, “Menurut apa yang kuketahui, nama dari perkumpulan kaliau itu berasal mula dari kitab pusaka Cha-li-cin-keng, kenapa nama yang sudah baik diganti lagi?”
“Bukankah kau pernah mengatakan bahwa perkumpulan Cha-li-kau adalah suatu perkumpulan sesat yang memikat orang dengan mengandalkan kecantikan perempuan? “ujar dara berbaju kuning itu.
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak karena geli. “Haa…. haa…. haa…. Perkataan itu kuucapkan ketika lagi jengkel. Sungguh tak nyana kalau kaucu kalian menanggapinya dengan serius”
Dara berbaju kuning itu kembali tertawa cekikikan. “Hiih…. hiih…. hiih…. Sekali lagi kau keliru besar. Apa yang kau katakan kendatipun merupakan salah satu dari alasan kami, tapi yang paling penting hal ini adalah merupakan saran dari sucou kami. Dia orang tua suka segala yang berbau ketenangan. Tak mau lantaran nama “Cha-li” hingga menyebabkan ketenangan dan kesuciannya terganggu. Selain daripada itu kaucu kamipun bermaksud demikian, maka atas dasar pelbagai alasan itulah maka nama perkumpulan kami mengalami penggantian”
Hoa In-liong benar-benar dibikin serba salah, mau tertawa tak bisa mau menangis juga sungkan. “Lantas bagaimana pula dengan maksud hati kaucu kalian?” tanyanya kemudian.
“Maksud kaucu kami, lebih baik nama perkumpulan itu dirubah dengan nama yang sekarang ini. Hal tersebut mengingatkan beliau akan kisah cerita yang berjudul Cian-li- lei-hun (gadis ayu kehila-ngan sukma). Pernah baca ceritanya tidak?”
Hoa ln Hong sebagai seorang pemuda romantis yang suka berganti pacar, tentu saja pernah membaca cerita Cian-li-lei- hun tersebut. Bahkan sudah pernah membacanya beberapa kali, tentu saja ia tahu akan isi cerita tersebut.
Maka sambil tersenyum ia manggut berulang kali, bahkan sengaja berseru tertahan sambil berkata, “Oooh….kiranya begitu. Jadi perkumpulan kalian sudah dibuka secara resmi? Lantas dimanakah markas besar dari perkumpulan kalian itu? Bagaimana pula organisasi itu tersusun? Apa pula jabatan dari nona bertiga? Apakah aku boleh tahu semuanya?”
“Tentang soal itu tak bisa kukatakan” tiba-tiba si nona baju kuning itu berkata dengan serius, “Sebab urusan menyangkut tentang rahasia perkumpulan. Bila kukatakan, niscaya kami akan dijatuhi hukuman yang sangat berat. Karenanya maafkanlah kami, terpaksa kami musti membungkam dalam seribu bahasa”
Menyaksikan sikap serius dan bersungguh-sungguh yang ditunjukkan nona itu, hingga tampaklah jelas raut wajah kegadisan mereka yang sebenarnya, Coa Wi-wi tak bisa menahan rasa gelinya lagi, dia tertawa cekikikan.
Mendengar suara tertawa itu, si nona baju kuning pun berpaling, tiba-tiba ia menyapa, “Bukankah cici ini adalah adik perempuan dari Coa Cong-gi, Coa kongcu….?”
Coa Wi-wi tertegun. “Yaa, benar! Aku bernama Coa Wi-wi, adik da-ri Coa Cong-gi tapi darimana kalian bisa tahu?” tegurnya.
Nona baju kuning itu segera tersenyum. “Terus terang kukatakan kepadamu, setiap orang yang mempunyai hubungan dengan Hoa kongcu tak pernah lepas dari pengawasan kami. Semuanya dapat kami ketahui dengan jelasnya”
Berbicara sampai disini diapun melemparkan sebuah kerlingan maut ke arah Hoa In-liong. Kerlingan tersebut betul betul memiliki daya pikat yang mempesonakan hati siapapun jua, jangankan manusia yang terdiri dari darah daging, manusia dari bajapun akan melumer.
Kurang senang Coa Wi-wi menyaksikan tindak-tanduk lawannya, keningnya berkerut kencang, sementara dalam hati kecilnya menggerutu terus, “Silahkan…. Silahkan…. entah perempuan-perempuan ini perempuan genah atau perempuan nakal?. Kalau dibilang perempuan baik-baik, kerlingan matanya aduhai, kalau dihilang perempuan nakal, lagaknya tampak alim”
Berbeda dengan Hoa In-liong, terhadap kerlingan tersebut boleh dibilang ia tak ambil perduli, melirikpun tidak. “Perhatian dan bantuan dari perkumpulan kalian sangat mengharukan hatiku” demikian ujarnya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tak terkirakan besarnya. Cuma…. bolehkah aku tahu, ada urusan apa hingga nona-nona sekalian menyusul aku sampai disini?”
Mendapat pertanyaan itu, si nona baju kuning segera merogoh kedalam sakunya dan mengeluarkan selembar kertas, lalu sambil diangsurkan ke muka katanya, “Apa yang hendak kukatakan sudah tercantum semua diatas kertas itu, silahkan periksa sendiri”
Ketika Hoa In-liong menerima surat itu dan siap untuk dibacanya, tiba-tiba nona baju kuning itu putar badan seraya ulapkan tangannya. “Ngo-moay, kiu-moay, ayoh kita pergi!”
Kemudian bagaikan burung-burung walet yang terbang di angkasa, mereka melayang ke udara dan meluncur ke dalam hutan. Cepat, gesit dan lincah sekali gerakan tubuh ketiga nona itu sudah lenyap dari pandangan. Tindakan yang diambil ketiga orang gadis itu sungguh diluar dugaan Hoa In-liong maupun Coa Wi-wi. Mereka tak menyangka kalau gadis-gadis itu akan segera pergi begitu mereka mengatakan akan pergi, bahkan sepatah kata pun tak diucapkan. Untuk sesaat lamanya mereka berdua hanya bisa berdiri melongo dengan muka tercengang.
Selang sesaat kemudian, Coa Wi-wi baru serentak bangun dari lamunannya. Dengan nada tertegun dan keheranan ia bergumam sambil gelengkan kepalanya berulang kali, “Manusia aneh…. benar-benar manusia aneh….”
Ia berpaling, ketika dilihatnya Hoa In-liong masih berdiri termangu, maka diapun berteriak, “Eeeh Jiko…. Orangnya sudah pergi jauh, kenapa masih melamun terus? Coba kita periksa dulu apa isi surat tersebut? Siapa tahu kalau kita akan menemukan kabar berita tentang Toako!”
“Oya….benar…. benar…. Memang benar….kata-katamu itu” seperti baru sadar, Hoa In-liong manggut-manggut, “Kemarilah, hayo kita…. baca bersama isi surat ini.”
Coa Wi-wi melompat ke muka, mereka berdua segera alihkan sinar matanya ke atas surat tersebut.
Dan terbacalah surat itu berbunyi demikian…., “Sinar iblis memancar sampai di Kiu-ciu. Semak berduri banyak di depan sana. Kembali dan lapor kepada Thian-cu kiam, waspada terhadap orang di depan mata”
Itulah selembar kertas kecil yang mungil dan tulisan yang indah. Hanya isi surat tersebut tanpa diberi pembukaan maupun surat penutup. Hanya diujung paling bawah terlukis sebuah lukisan perempuan cantik yang menunggal. Lukisan tersebut hanya tunggal ibaratnya ayam emas yang berdiri di satu kaki. Meski huruf tulisannya amat minim tapi lukisannya hidup dan mempersona hati.
Begitu selesai membaca beberapa huruf tulisan itu, kontan saja Coa Wi-wi menyumpah, “Sialan, setan kepala gede.
Berani betul menulis yang bukan-bukan, biar kurobek saja kertas sialan ini!”
Seraya berkata dia lantas merampas kertas surat itu dan siap dirobek-robek jadi berkeping.
“Eeeeh…. Tunggu sebentar!” Hoa In-liong bertindak cepat, pergelangan tangan gadis itu segera dicekal.
“Kenapa?” teriak Coa Wi-wi penasaran, “Isi surat itu bukankah bermaksud agar engkau selalu waspada terhadap diriku? Apa kau mempercayai perkataan mereka?”.
Hoa Ia liong gelengkan kepala berulang kali. “Aaaah….
Engkau banyak curiga, Bukan demikian yang dimaksudkan isi surat tersebut. Arti yang tercakup dalam surat itu amat luas lagi pula belum tentu engkau yang mereka maksudkan. Toh sampai sekarang aku masih belum mempercayainya?”
“Sungguh?” tanya Coa Wi-wi dengan wajah tertegun.
Hoa In-liong tersenyum, “Tentu saja sungguh, kalau tidak percaya coba periksa lagi isi surat itu kemudian camkan benar-benar”
Dia menundukkan kepalanya dan sekali lagi membaca isi surat itu kemudian menganalisa maksud yang sebenarnya. Selang sesaat kemudian, ia sudah angkat muka kembali, kemudian ujarnya dengan wajah serius, “Jiko! Aku rasa situasinya kok makin lama semakin serius, apakah kau juga merasakannya?” “Apakah yang dimaksudkan adalah situasi di dalam dunia persilatan?” tanya Hoa In-liong.
Coa Wi-wi mengangguk dengan wajah sungguh-sungguh. oooOOOooo
“YAAA, memang begitulah” sahutnya, “Kalau toh perkumpulan Cian-li-kau bukan suatu perkumpulan kaum sesat dan lagi agaknya kedatangan mereka memang khusus untuk menghantar surat pemberitahuan ini, maka semestinya mereka membawa suatu peringatan yang mempunyanyai sangkut paut yang amat serius dengan kepentingan kita.
Kalau tidak, bukankah maksud dari isi surat itu jadi serba kacau, tidak sesuai dengan kenyataan dan sedikttpun tak ada harganya?”
“Hmmmm! Memang masuk diakal “sahut Hoa In-liong kemudian sambil tersenyum, “Yaa…. terutama kata-kata yang mengatakan: ‘Sinar iblis memancar sampai di Kiu-ciu, semak berduri banyak di depan sana.’ Dua kalimat tersebut bukan saja mengandung nada peringatan, bahkan situasi dalam dunia persilatan dewasa inipun sudah mereka terang dengan sejelas jelasnya”
“Betul” sambung Coa Wi-wi, “Kalau pada kalimat pertama mereka terangkan bahwa bencana dan hawa iblis sudah timbul dari empat penjuru dan seluruh dunia persilatan mulai tercekam, maka pada kalimat yang kedua mereka terangkan bahwa pelajaran selanjutnya banyak rintangan dan kesulitan dimana saja mara bahaya bisa datang mengancam. Sedang kalimat berikutnya, mereka menganjurkan kepadamu agar pulang dulu kerumah dan melaporkan keadaan situasi dunia kepada empek. Aku rasa dalam kalimat ini mereka bukan bermaksud memberi peringatan saja, bahkan menganjurkan kepadamu agar dalam menghadapi masalah besar, setiap tindakan mesti dilakukan dengan hati hati cermat dan waspada. Jangan sekali-kali bertindak dengan sembrono ataupun menempuh marah bahaya”
“Apakah engkau berpendapat begitu?” tanya Hoa In-liong sambil tersenyum. Sinar terang mencorong keluar dari sepasang matanya.
“Tentu saja. Kalau tidak, buat apa orang-orang Cian-li-kau menghantar surat itu kepadamu?”
“Haa…. haa…. haa…. Bukankah tadi kau bilang bahwa mereka suruh aku waspada terhadap dirimu?”goda Hoa In- liong sambil tergelak.
“Aaah…. Bagaimana sih kamu ini! “omel Coa Wi-wi sambil berkerut kening, “Aku kan lagi berbicara serius, tapi kau selalu berusaha untuk mengorek borokku. Memangnya aku musti ngaku salah dan minta maaf dulu kepadamu?”
Melihat gadis itu cemberut Hoa In-liong jadi senang, apalagi dalam keadaan demikian nona itu tampak lebih cantik dan menawan hati, tak tahan lagi dirangkulnya gadis itu dan serunya sambil tertawa, “Perduli amat! Setibanya di mulut jembatan, perahu akan lurus dengan sendirinya, kenapa kita musti risau dulu sejak sekarang?”
Coa Wi-wi meronta dengan sepenuh tenaga. Setelah lepas dari rangkulannya dia lantas mencibirkan bibirnya yang kecil. “Coba lihat tampangmu itu “omelnya, “Tidak serius, tidak genah dan sok mata keranjang. Kalau berani main gila lagi, awas! Lihat saja nanti, kuhajar dirimu atau tidak”
Dalam hati kecilnya Hoa In-liong merasa geli, tapi diluaran jawabnya berulang kali, “Baik! Baik! Aku tidak main gila lagi, aku tak akan mata keranjang, Nah, sekarang bicaralah yang serius!”
Dengan muka yang lebih lembut. Coa Wi-wi pun bertanya, “Mereka menganjurkan kepadamu agar pulang dan melaporkan situasi ini kepada empek, apakah kau mau pulang?”
“Tidak! Aku tidak akan pulang!”
Mendengar jawaban dari si anak muda ini singkat tapi jelas, Coa Wi-wi malahan tertegun dibuatnya.
“Kenapa? “tanyanya kemudian.
“Ayah paling mementingkan soal tugas. Kalau aku musti pulang kerumah dan melaporkan semua kejadian ini, ibaratnya baru melihat angin lantas menduga bakal hujan. Waaah….
Bukan pujian yang didapat, bisa jadi aku bakal dicaci maki habis-habisan”
“Kalau hendak dimaki biar saja dimaki. Kan lebih baik dicaci maki ayah sendiri daripada menempuh bahaya deagan percuma”
“Jadi kau berharap aku dicaci maki oleh ayahku? tiba tiba Hoa In-liong balik bertanya sambil tersenyum
“Aaaah…. kamu ini, kalau bicara yang betul sedikit. Siapa yang mengharapkan kau di caci maki?’ omel Coa Wi-wi dengan kening berkerut “Aku bisa berkata demikian karena mengingat bahwa perkumpulan Cian-li-kau adalah suatu organisasi yang memiliki anggota yang sangat banyak. Mereka bisa menyampaikan peringatan kepadamu dan menganjutkan kepadamu agar pulang dulu dan melaporkan kejadian ini kepada ayahmu. Tentu saja semua masalah telah mereka bahas. Semua situasi telah mereka teliti sebelum akhirnya memutuskan demikian. Aku yakin anjuran tersebut bukan mereka ajukan tanpa disertai oleh alasan yaig kuat!”
“Apa yang mereka bahas?. Apa yang mereka analisa?” kata Hoa In-liong sambil tertawa, “Apakah lantaran usiaku masih muda? Lantaran ilmu silatku masih terbatas dan tak becus untuk memikul tanggung jawab yang sangat berat ini?”
Coa Wi-wi lantas menuding ujung hidungnya sambil mengomel, “Aaaah! Kamu ini! Sudah benar diberi tahu, kamu hanya tahunya pingin cari menangnya sendiri!”
Meuggunakan kesempatan itu Hoa In-liong segera menangkap jari-jari tangannya yang lembut dan halus, lalu katanya dengan wajah bersungguh-sungguh, “Bicara sesungguhnya adik Wi, aku bukan ingin cari menangnya sendiri, tapi hal ini menyangkut soal semangat. Seseorang tak boleh tidak memiliki semangat, bukan demikian?”
“Semangat?” Coa Wi-wi sedikit tertegun ketika dilihatnya pemuda itu bicara serius, “Jadi engkau hendak memikul tanggung jawab yang maha berat ini, menyapu hawa siluman dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan?”
Hoa In-liong tersenyum. “Kalau dikatakan aku hendak memikul tanggung jawab yang maha berat ini, maka ucapan tersebut terlampau latah, terlampau sombong dan tak tahu diri. Jelek jelek begini aku masih tahu bekas kemampuan yang kumiliki. Maksudku, sekalipun cahaya iblis sudah bermunculan dimana-mana, toh keadaan yang sebenarnya masih belum kita ketahui dengan jelas. Maka kita musti selidiki lebih dulu keadaan situasi yang sebenarnya sebelum mengambil sesuatu tindakan sebagai pence-gahnya” “Kalau toh demikian, apa salahnya jika kita laporkan dulu keadaan tersebut kepada empek? “tanya Coa Wi-wi sambil berkerut kening.
“Itulah yang dinamakan semangat, mengerti kamu?” sahut Hoa In-liong, “Ketika ayah mulai berkelana tempo dulu, usianya jauh lebih muda dibandingkan aku. Ilmu silat yang dimiliki juga lebih rendah dari aku. Tapi bagaimana hasilnya, dia orang tua toh masih mampu untuk menanggulangi semua kesulitan. Semua kejadian besar serta semua hadangan yang merintangi kariernya, akhirnya dia juga berhasil dengan sukses. Justru keadaan semacam inilah merupakan kesempatan yang paling baik bagi diriku untuk melatih diri.
Ibaratnya pisau yang tumpul, sekaranglah waktunya untuk diasah agar menjadi tajam. Bila aku serahkan kembali tugas ini kepada ayahku, lalu sampai kapan aku baru dapat membasmi hawa sesat dari muka bumi? Sampai kapan aku baru bisa menciptakan ketenangan dan keadilan didalam persilatan?”
Ketika pemuda itu berbicara sampai disitu, Coa Wi-wi telah menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu.
Melihat itu, dengan cepat Hoa In-liong menukas, “Adik Wi tak usah berbicara lagi. Pokoknya jelek-jelek begini, Jiko masih terhitung seorang laki-laki sejati, seorang pria jantan yang tak jeri menghadapi segala rintangan dan mara bahaya. Seorang- laki-laki yang masih mempunyai ambisi untuk menciptakan suatu keberhasilan dalam karier. Andaikata aku penakut, seorang pengecut dan tak berani menghadapi kenyataan, jangankan orang lain, mungkin engkau pun tak akan memandang sebelah mata kepadaku”.
Coa Wi-wi berpikir sebentar, akhirnya dengan sedih ia berkata, “Baiklah! terserah padamu. Pokoknya aku tak akan meninggalkan dirimu lagi!” Belum habis ia berkata, Hoa In-liong sudah memeluk pinggangnya dan berseru dengan penuh kegembiraan, “Bagus…. Horee…. Asal kau membantu aku, sekalipun ada kejadian yang lebih mengerikan Aku juga tak akan takut!”
Kali ini pelukan itu dilakukan dengan muka berhadapan dengan muka, dada dan perut masing-masing saling menempel satu sama lainnya. Coa Wi-wi bukan saja tidak meronta, dia malah balas memeluk anak muda itu, kemudian sambil mengangkat dagu Hoa In-liong keatas katanya lembut, “Tapi kau musti menurut perkataanku! Aku tak akan mengijinkan engkau berbuat gegabah, tidak acuh terhadap segala urusan. Misalnya saja sebelum racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhmu punah, kau dilarang bertarung dengan siapapun. Kemudian…. kemudian…. ucapan dari perkumpulan Cian-li-kau juga harus dituruti. Siapa tahu kalau diantara sobat karibmu atau teman perempuanmu ada yang hendak mencelakai dirimu. Daripada terlanjur kena dicelakai, kan lebih baik sedia payung sebelum hujan, bukan begitu?”
Waktu mengucapkan kata-kata tersebut, gadis itu berbicara dengan serius. Hoa In-liong hanya merasakan biji matanya yang jeli berkedip penuh tantangan. Makin dilihat makin menawan hati, akhirnya ia tak dapat mengendalikan perasaannya lagi, diciumnya pipi kanannya dengan mesra. “Tentu saja, sekalipun tidak kau katakan, aku juga bisa bertindak lebih hati-hati” katanya.
Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya yang kecil dan memukul bahu anak muda itu dengan gemas. “Aaaah…. benci!” serunya manja, “Hayo turunkan aku, kita musti segera mencari Toako”
“Jangan keburu napsu, biar kucium lagi pipimu yang lain!” Habis berkata betul juga, dia lantas mencium pula pipi kiri Coa Wi-wi dengan mesra.
Tentu saja Coa Wi-wi dibikin tersipu-sipu, ia memukuli bahu pemuda itu dengan manja, dan serunya berulang kali, “Benci….! Benci….! Benci….!”
Hoa In-liong terbahak bahak, sambil turunkan Coa Wi-wi dari pelukannya ia berkata, “Adik Wi, tahukah engkau bahwa kau itu cantik?”
Coa Wi-wi mengerling sekejap kearah dengan gemas, lalu sahutnya manja, “Masih ngoceh terus? Kau ini paling tengik, tahunya cuma menggoda orang saja”
“Siapa yang menggoda kau? Aku berbicara yang sesungguhnya. Kau memang benar-benar cantik, jauh lebih cantik dibandingkan dengan Kiu-im Kaucu”
“Berani bicara lagi? Sekali lagi berbicara, aku akan benar- benar menghajar dirimu!” ancam si nona sambil ayun tangan kanannya.