Jilid 22
SEDIKIT banyak usia Wan Hong-giok jauh lebih besar dibandingkan Coa Wi-wi. Apalagi dia adalah seorang perempuan yang sudah berpengalaman dalam pelbagai peristiwa besar. Maka walaupun dihati ia gugup dan terkejut, perasaan tersebut masih dapat ia kendalikan secara baik.
Pelan-pelan ia bangkit berdiri, lalu maju ke muka.
Dihampirinya Coa Wi-wi dan dibelainya bahu dara itu. “Adik Wi tak boleh terlalu sedih” hiburnya dengan muka serius, “Caramu begini bukan saja tak ada manfaatnya bagi keadaan Hoa kongcu, justru amat merugikan kesehatan badanmu sendiri. Ayoh bangun, mari kita rundingkan, siapa tahu kalau kita bisa temukan cara yang baik untuk mengatasi keadaan tersebut”
“Tapi…. Tapi dia tak mau turuti perkataan kita!” keluh Coa Wi-wi sambil angkat kepalanya, air mata masih berlinang membasahi seluruh wajahnya.
Wan Hong-giok mengangguk lirih. “Maksud adik Wi, Hoa kongcu enggan mengerahkan tenaganya untuk mengusir sari racun dari tubuhnya?”
Coa Wi-wi sesenggukan menahan isak tangisnya yang kian menjadi. “Ia sendiri yang bilang, katanya racun tersebut mungkin bisa didesak keluar dengan menggunakan suatu jenis sim-hoat tenaga dalam yang istimewa, tapi…. tapi….”
Belum selasai perkataan itu, tiba-tiba Hoa In-liong berbisik dengan suara yang sangat lemah, “Bi….biarlah aku….akan…. mencobanya….”
Mendengar ucapan itu, dua orang dara tersebut sama-sama jadi tertegun dan melongo. Selang sesaat kemudian, Coa Wi-wi telah tersenyum kembali, dia lantas menggerutu, “Aaah…. kamu ini, setan binal!”
Seraya menggerutu dia lantas ulapkan tangannya, memberi tanda kepada Ki-ji untuk mengundurkan diri sedang dia sendiri segera melompat bangun dengan enteng. Lalu setelah membisikkan sesuatu disisi telinga Wan Hong-giok, diapun mundur dan menyingkir kesamping.
Jelas ia telah memikul tanggung jawab sebagai pelindung dari Hoa In-liong selama pemuda itu melakukan semedinya.
Walaupun demikian, sepasang matanya yang jeli menatap wajah Hoa In-liong lekat lekat, rupanya ia sedang mengawasi perubahan wajah sang pemuda dan berusaha memberikan penilaiannya.
Waktu Coa Wi-wi dan Wan Hong-giok berdiri beriring Coa Wi-wi di depan dan Wan Hong-giok di belakang. Dengan begitu Wan Hong-giok tak dapat menyaksikan perubahan wajah dari nona tersebut, tapi ia dapat mendengar detak jantungnya yang amat keras.
Selang sesaat kemudian, detak jantung Coa Wi-wi makin lama kedengaran makin nyaring. Nafasnya juga makin lama semakin memburu hingga akhirnya mendekati tersengkal.
Keadaan tersebut jelas menunjukkan bahwa keadaannya luar biasa. Wang Hong-giok terkesiap, cepat-cepat ia beranjak dan berusaha menengok keadaan dari Hoa In-liong.
Seluruh ilmu silat yang dimiliki gadis itu baru saja punah, ketajaman matanya secara otomatis juga jauh berkurang.
Mula-mula dia mengira keadaan Hoa In-liong bertambah kritis. Tapi setelah diamatinya dengan seksama, ternyata ia tidak menemukan suatu gejala yang kurang beres pada air muka anak muda itu, maka sinar matanya lantas dialirkan ke atas wajah Coa Wi-wi.
Paras muka Coa Wi-wi juga tidak menunjukkan perubahan apa-apa, cuma bibirnya gemetar seperti mau mengucapkan sesuatu. Dadanya bergelombang matanya memancarkan cahaya tajam, ia sedang mergawasi Hoa In-liong tanpa berkedip.
oooOOOOooo
DITINJAU dari semua gejala tersebut, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa bergelombangnya dada nona itu serta memberatnya dengusan napas adalah dikarenakan tekanan jiwa yang teramat sangat.
Setelah melihat jelas keadaan dari dua orang tersebut, Wan Hong-giok mengerutkan dahinya lalu diam-diam menghembuskan napas panjang. “Aaaai…. Dasar bocah, apa gunanya bersikap tegang seperti itu….?” demikian ia berpikir.
Belum habis ingatan tersebut melintas, satu ingatan tiba- tiba berkelebat dalam benaknya. Kenangannya ketika berjumpa dengan Hoa In-liong di kota Lok yang kembali terbayang kembali dalam benaknya.
Itulah suatu tanah berbukit diluar kota Lok-yang, ketika itu fajar baru menyingsing. Si-nio-pun baru saja kabur terbirit- birit. Di atas bukit hanya tinggal dia dan Hoa In-liong dua orang.
Memandang kegagahan dan ketampanan wajah Hoa In- liong, ia merasa begitu terpikat, begitu terpesona, sehingga jantungnya berdebar keras, sehingga napasnya memburu dan hampir saja tak mampu bernapas lagi. Sejsk itulah batinnya seakan-akan sudah terbelenggu disisi Hoa In-liong. Setiap waktu, setiap saat ia selalu mengenang diri Hoa In-liong.
Terbayang kembali kenangan masa lalu, tiba-tiba saja Wan Hong-giok merasa bahwa keadaannya ketika itu ternyata tidak jauh berada dengan keadaan Coa Wi-wi sekarang ini.
Terbayang sampai disana, tanpa sadar iapun berpaling kearah Coa Wi-wi
Kali ini ia telah merasakan, merasa bahwa Coa Wi-wi sudah bukan seorang bocah lagi.
Dalam pandangan Wan Hong-giok, seolah-olah secara tiba- tiba Coa Wi-wi telah tumbuh jadi dewasa. Tumbuh jadi seorang gadis cantik rupawan
yang memiliki daya pikat yang hebat. Yang bisa meruntuhkan hati setiap laki-laki manapun….
Suatu keanehan segera dirasakan kembali, tiba-tiba Wan Hong-giok merasa bahwa kehadiran gadis yang cantik jelita itu seolah-olah merupakan suatu daya kekuatan yang menekan diatas tubuhnya. Kekuatan itu mencapai ribuan kati beratnya. Ini membuat Wan Hong-giok merasakan kakinya jadi lemas, badannya jadi sempoyongan dan hampir saja tak sanggup berdiri tegap….,
Yaa…. maklumlah, ia sampai ternoda, sampai menderita, bahkan ilmu silatnya sampai musnah kesemuanya itu lantaran apa?
Atau tenaganya saja, ia sampai merasa rendah diri, sampai tak pantas untuk mendampingi Hoa In-liong. Dari sini dapat kita ketahui betapa mendalamnya perasaan cinta gadis itu terhadap sang pemuda sehingga boleh dibilang sudah mencapai puncaknya.
Dan secara tiba-tiba menyaksikan bagaimanakah sikap Coa Wi-wi terhadap Hoa In-liong, betapa cintanya gadis itu terhadap pujaan hatinya. Tentu saja pukulan tersebut dirasakan semakin berat lagi, terutama dalam keadaan seperti ini.
Setelah termangu-mangu beberapa waktu lamanya, ia merasa sepasang kakinya bertambah lemas, badannya jadi semboyongan. Hampir saja ia jatuh terjerembab.
Siau-ki buru-buru menghampiri dan membimbing tubuhnya, kemudian bisiknya dengan lirih, “Nona Wan, kenapa kau?
Apakah masih bisa bertahan? Apakah badanmu merasa kurang enak?’
“Hey, jangan berisik!” tiba-tiba Coa Wi-wi menegur sambil ulapkan tangannya.
Meskipun mulutnya berbicara dengan nada tajam, sinar matanya sama sekali tidak beralih dari tempat semula.
Kenyatan tersebut semakin melemaskan tubuh Wan Hong- giok.
Paras mukanya semakin pucat, kelompok matanya jadi berat. Dengan lemas tak bertenaga sedikitpun ia bersadar ditubuh Ki-ji dan menghela napas berulang kali.
Yaa, berbicara sesungguhnya semua gerak gerik, semua tingkah laku Coa Wi-wi dengan jelas menunjukan bahwa dalam hatinya, dalam pikirannya hanya ada Hoa In-liong seorang. Sikap semacam itu adalah suatu sikap penaruh perhatian yang mendalam, suatu sikap kuatir yang amat sangat.
Wan Hong-giok adalah seorang perempuan yang berpengalaman, sudah tentu keadaan semacam itu cukup dipahami olehnya. Hanya saja Coa Wi-wi lebih muda dari padanya. Lebih cantik darinya dan lagi diapun berhutang budi atas pertolongan yaug telah menyelamatkan jiwanya. Bukan saja ia tak boleh menjadi musuh cintanya, iapun tak boleh berebut cinta dengannya….
Yaaa, padi hakekatnya keadaan dara ini terlalu mengenaskan. Ia betul-betul berada dalam keadaan terjepit, bayangkan saja, bagaimana caranya kesulitan ini harus diatasi?
Ki-ji tidak paham akan perasaan si nona. Dianggapnya nona itu kurang sehat badan, maka sambil membimbingnya duduk kesamping dia bertanya, “Wan siocia, bagian manakah badanmu yang kurang sahat? Biar Ki-ji memijatkan, mau kan?”
“Aku…. aku….”pelan-pelan Wan Hong-giok membuka kembali matanya.
Tapi pandangan matanya kemudian dialihkan kearah Coa Wi-wi dan memandang bayangan punggungnya dengan terpesona.
Ki-ji tidak memahami perasaan orang, dengan dahi yang berkerut dia berseru, “Nona-Wan! Yang paling penting adalah urusi dulu badanmu!. Serahkan saja soal Ji-kongcu kepada nonaku, kau tak usah mengurusinya. Nona seorang rasanya masih cukup uituk mengatasi segala kesulitan!” Wan Hong-giok tidak menjawab. Pada hakekatnya ia tidak mendengar apa yang dikatakan dayang itu, dihati kecilnya ia sedang berpikir, “Aaaia…. Aku hanya sekuntum bunga yang mulai layu dan rontok. Dapatkah aku dibandingkan dengan sekuntum bunga yang masih segar….? Aku…. aku…. harus….”
Sekilas keteguhan hati yang tebal melintas di atas wajahnya, mendadak ia bangkit berdiri.
“Eeeeeh…. Kau…. Kau mau apa?” Ki-ji segera menegur dengan kaget.
Sambil berusaha mengendalikan perasaannya yang kalut, Wan Hong giok tertawa getir. “Nona Ki- ji, banyak terima kasih atas usahamu yang beberapa kali menyelamatkan jiwaku.
Meski saat ini Wan-Hong-giok tak sanggup membalas budi kebaikan itu, namun budi tersebut akan selalu terukir dalam hati sanubariku”
Tentu saja Ki-ji membuat pusiug tujuh keliling dan tak habis mengerti oleh ucapan-ucapan semacan itu. Dia malah melongo dan berdiri tercengang dibuatnya.
“Aneh betul kau nona Wan. Tiada hujan tiada angin kenapa kau singgung urusan tersebut? Toh urusan semacam itu pada dasarnya tiada harganya untuk disinggung! “demikian ia berseru.
“Yaaa, apa boleh buat, terpaksa aku harus tinggalkan tempat ini” bisik Wan Hong-giok dengan mata yang menjadi merah, “Setelah aku pergi nanti, tolong sampaikan salamku kepadanya, katakan saja bahwa aku….”
“Enci Wan! Cepat lihat, dia….” teriak kegirangan dari Coh Wi-wi mendadak memotong perkataannya yang belum diucapkan hingga selesai itu…. Tapi ketika Goa Wi-wi tidak menemukan teman berbicaranya ada disisinya, kontan saja nona itu menghentikan kata-katanya.
Wan Hong-giok tertegun, tanpa sadar ia berpaling ke arah mana berasalnya suara itu.
Dikala empat mata saling beradu, badan Coa Wi-wi yang separuh berputarpun terhenti ditengah jalan. Dengan wajah tercengang dan tidak habis mengerti ia berpaling serta menatap tajam-tajam wajahnya.
“Siocia, dia mau pergi katanya!” Ki-ji berteriak dengan suara penuh kegelisahan.
“Kenapa? Kenapa kau hendak pergi?” dengan langkah terburu-buru, Coa wi-wi lari menghampirinya, “Enci Wan, kenapa kau? Hendak kenapa kau?”
“Aaaai…. Selama manusia masih diberi kesempatan untuk melanjutkan hidupnya, aku tak dapat mengatakan kemana kuakan pergi. Aku hanya
tahu sampai dimana aku pergi, sampai disitu pula kehidupanku” jawab Wan Hong-giok diiringi helaan napas sedih.
“Aaaai…. Tidak boleh, kau tidak boleh pergi!’ teriak Coa Wi- wi sambil berkerut kening, “Apalagi badanmu begitu….”
Tiba-tiba ia meresa dibalik perkataan gadis itu terselip suatu nada kesedihan yang luar biasa. Ini menyebabkan ia jadi bingung dan tidak habis mengerti, maka sampai ditengah jalan kata-katanya terhenti, ditatapnya dara itu dengan wajah termangu. Noda air mata masih membasahi pipi Wan Hong-giok, hal ini semakin mencengangkan Coa wi-wi, ia sampai berdiri melongo. “Enci Wan, kau menangis? “tanyanya agak tercengang.
Mendengar itu, cepat Wan Hong-giok menyeka air matanya. “Aku…. Aku…. Merasa sangat berhutang budi kepada adik Wi, aku merasa tak mampu untuk membalas budi itu….”
“Oooh…. Maka Enci Wan lantas mau pergi?” tukas Coa Wi- wi setelah berseru perlahan.
Setelah berhenti sebentar, ditatapnya gadis itu dengan tajam, kemudian ia mengomel, “Enci Wan ini juga keterlaluan, pertolongan macam begitu itu terhitung budi macam apa?
Buat apa mesti bikin hatimu jadi risau dan ingin pergi secara diam-diam?”
Wan Hong-giok tertawa getir dihati. Mesti ada persoalan tersebut sulit rasanya untuk diutarakan keluar, terpaksa sahutnya dengan cepat, “Perkataan adik Wi-wi terlampau serius. Aku tidak ingin kabur tanpa pamit, aku cuma tak ingin mengganggu konsentrasimu….”
“Aku tak ambil perduli, pokoknya kau tak boleh pergi dari sini!” sekali lagi Coa Wi-wi menukas dengan bibir yang dicibirkan, boleh dibilang ia agak enggan untuk mendengarkan perdebatan itu.
Ketika mengucapkan kata-kata tersebut seratus persen gayanya masih merupakan gaya seorang gadis remaja.
Wan Hong-giok merasa dalam hatinya muncul sebuah bisul besar, ia enggan untuk mengumbar hawa amarahnya maka sambil tertawa gaeir, dia berusaha untuk menahan emosi hatinya. “Dengarkan dulu perkataanku adik Wi” kata-nya kemudian, “Kini aku hanya seorang perempuan cacad. Aku hanya akan menjadi beban selama Mengikuti kalian. Akupun mengerti bahwa tugas kalian berat, banyak urusan penting yang harus dikerjakan. Terutama tugas kalian untuk menyapu hawa iblis dari muka bumi dan menegakkan keadilan serta kebenaran dalam dunia persilatan. Aku tak mau menjadi beban kalian, akupun tak ingin menjadi perintang dari cita-cita kalian sebab baik dalam urusan pribadi maupun demi kepentingan umum, kehadiranku hanya menambah beban kalian!”
Sebenarnya perkataan tersebut bertolak belakang dengan apa yang menjadi beban pikirannya, tapi pada hakekatnya kata-kata itu mengandung kebenaran yang tak bisa dibantah oleh siapapun.
Sayang jalan pikiran Coa Wi-wi berbeda. Ia tidak menggubris perkataan itu, sebaliknya sambil angkat kepala dan mengernyitkan dahi ujarnya kembali, “Apa itu beban, apa itu perempuan cacad? Kalau berkata bahwa cita-cita kita adalah menyapu hawa siluman. Kalau dibilang tugas kita berat, sekali pun engkau betul-betul cacad juga sepantasnya ikut memikirkan keselamatan dunia persilatan. Lebih-lebih lagi kami, sudah sepatutnya kalau melindungi keselamatanmu.
Tahukah engkau tanggung jawab bukanlah tugas. Sudahlah, pokoknya apapun yang kau katakan, aku tetap tidak porkenankan engkau pergi”
Kalau perkataannya tadi masuk diakal, maka perkataan ini lebih masuk diakal. Dalam kata-katanya itu meski ada nada jengkel, namun dibalik kejengkelan ada nada hangat. Untuk sesaat Wan Hong-giok malah dibikin tertegun setelah mendengar perkataan itu. Pelbagai ingatan segera berkecamuk dalam benaknya, sesudah merenung sebentar, ujarnya kembali, “Adik Wi, aku tidak bertindak karena turuti emosi, ketahuilah bencana besar telah menyelimuti dunia persilatan. Setiap waktu setiap saat kemungkinan besar kita dapat bertemu dengan kaum iblis dan siluman setan. Bila aku ikut hadir pada waktu itu, sudah pasti perhatian kalian aku bercabang. Bila sampai dimanfaatkan kesempatan itu oleh musuh, bukankah lebih berabe?”
“Sudah….sudah ah…. Kau tak usah banyak berbicara lagi”, potong Coa Wi-wi rada mangkel, “Apa nya yang perlu dikuatirkan? Pokoknya aku tak akan biarkan aku pergi, bicara seratus kalipun juga sia-sia belaka”
“Adik….” sambil tertawa getir Wan Hong-giok gelengkan kepalanya berulang kali.
Tampaknya Coa Wi-wi mulai tak sabar, dengan kening berkerut dan nada mangkel dia menukas, “Cerewet amat kau enci Wan, kenapa kau hanya memikirkan dirimu sendiri?
Pikirkan dulu keadaan orang sebelum memikirkan dirimu pribadi! Jika kau pergi dengan begitu saja bukankah sama artinya dengan tidak setiap kawan terhadap Jiko? Bagaimana pula tanggung jawabku terhadap Jiko nanti? Terus terang kukatakan kepadamu, aku sudah mempunyai susunan rencana yang matang. Asal Jiko telah pulih kembali kesehatannya, kita akan berkunjung ke bukit Im Tiong-san lebih dulu. Konon tempo haripun Lo-tay-kun dari keluarga Hoa pernah kehilangan ilmu silatnya, tapi kemudian ilmu silatnya berhasil dipulihkan kembali. Dengan pengalaman serta kemampuan yang dimiliki dia orang tua, aku percaya beliau pasti akan banyak membantu untuk dirimu. Makanya kalau ingin pergi, kau harus tunggu sampai berjumpa dulu dejgan dia orang tua”
Perkataan itu ada benarnya juga. Dalam peristiwa tersebut banyak orang yang memuji akan ketangguhan Hoa lo-hujin, terutama kemampuannya untuk memulihkan kembali kepandaiannya yang telah punah. Hampir setiap umat persilatan memujinya. Semua orang menganggap kejadian itu merupakan peristiwa paling aneh dalam sejarah ilmu silat.
Sebelum terjun kedalam dunia persilatan, Wan Hong-giok sudah pernah mendengar tentang kisah cerita itu. Maka ketika persoalan tersebut disinggung kembali oleh Coa Wi-wi, hatinya jadi rada bergerak, timbullah sebercak harapan dalam hatinya.
Tapi ketika sinar matanya terbentur kembali dengan raut wajah Coa Wi-wi yang cantik jelita, ia jadi terbungkam dalam seribu basa, bahkan hatipun ikut tergetar keras.
Menyaksikan nona itu tertegun, tiba-tiba Coa Wi-wi tertawa cerah, dicekalnya lengan Hong-giok dan dibisiknya dengan lembut. “Sungguh, enci Wan! Kita dapat memohon kepada Lo taykun dari keluarga Hoa untuk memulihkan kembali ilmu silatmu yang hilang. Kalau tidak Jiko tentu akan selalu murung dan kaupun selalu kesal oleh kejadian ini. Oh Enci ku yang baik! Turutilah perkataanku, jangan pergi dari sini….mau kan?”
Ketika, dimohon dengan suara lembut, Wan-Hong giok jadi kelabakan, akhirnya dia menghela napas. “Aaai…. Adik Wi, kau tidak akan mengerti!” katanya.
“Aku mengerti!” Coa Wi-wi angkat mukanya, “Aku tahu enci Wan, kau sangat baik terhadap Jiko”
“Aaaai…. Apa yang kau mengertikan?” batin Wan Hong giok setengah mengeluh, “Disisi pembaringan, apakah kau ijinkan kehadiran perempuan lain? Sekalipun Wan Hong-giok amat mencintai dirinya, aku toh bukan tandinganmu” Mendadak ia merasa bahwa perkataan itu diucapkan dengan nada bersungguh-sungguh, maka dia pun jadi tertegun.
Maka sesudah merenung sejenak, kembali pikirnya, “Yaaa.
Benar bocah ini masih setengah mengerti setengah tidak. Sekalipun dia cintai Hoa kongcu, namun tidak mengerti untuk cemburu kepadaku, Aku…. Aku….aai…. hati itu merah. Aku lebih-lebih tak boleh merintangi hubungan mereka”
Berpikir sampai disitu, niatnya untuk meninggalkan, tempat itu semakin mantap, kembali dia angkat muka dan tertawa. “Adik Wi”, demikian katanya, “Jika semua orang didunia ini dapat mempunyai perasaan yang suci dan tak ternoda seperti kau, alangkah ramainya dunia kita ini”
“Kau…. apa kau bilang?” Coa Wi-wi tertegun dan tidak habis mengerti arti dari perkataan itu.
Sambil tersenyum Wan Hong-giok menepuk bahunya. “Maksudku”, katanya, “Jika semua orang didunia ini berpikiran polos dan jujur seperti kau niscaya banyak perselisihan dan pertikaian yang tak berguna dapat dihindari!”
“Aaaai…. masih jauh!” Coa Wi-wi tertunduk dengan
kemalu-maluan, “Enci Wan, bila kau tidak terlalu jemu dengan kebinalanku, harap jangan pergi tinggalkan kami. Sungguh bila ilmu silatmu dapat pulih kembali, langsung kita menggrebeg bareng bajingan-bajingan itu di Seng-sut-hay.
Kita ganyang semua orang Mo-kau sampai ludas, biar mereka merasa kapok dan tahu diri”
Lincah, manja, polos dan hangat, begitulah nada ucapan nona tersebut, bikin hati orang yang lebih keras dari bajapun akan menjadi lumer dibuatnya. Menghadapi keadaan seperti ini, disamping rasa gembira, Wan Hong giok merasakan pula kegetiran dan kepedihan. “Adik Wan tahukah kau bahwa engkau cantik?” tiba-tiba ia bertanya setelah berpikir sebentar.
Coa Wi-wi terbelalak dengan wajah tercengang, “Eeeeeh….
Apa yang telah terjadi? Enci Wan, masa bicara pulang pergi pokok pembicaraan ditimpakan pada diriku lagi. Bukankah makin berbicara kau menarik pokok pembicaraan semakin jauh?”
Agaknya Wan Hong-giok mempunyai rencana yang cukup matang dengan pembicaraannya, pelan pelan katanya kembali, “Adik Wi, aku hendak mengucapkan sepatah dua patah gurauan kepadamu. Dulu lantaran aku sedang bersedih hati, wajah dan gerak gerikmu tidak terlalu kuperhatikan. Tapi setelah kuperhatikan sekarang, aku benar-benar sedikit merasa terkejut. Sungguh, kecantikan dari seorang gadis cantik adalah paling memikat hati, aku sebagai seorang perempuan-pun ikut terpikat rasanya oleh kecantikanmu”
Coa Wi-wi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi sejenak kemudian tiba-tiba ia tertawa cekikikan. “Jadi kau iri hati?” godanya dengan nakal.
“Yaa, aku iri hati” Wan Hong-giok mengakuinya, “kau memiliki mata yang jeli bagaikan bintang timur, mempunyai bibir yang mungil bagaikan delima merekah. Apalagi kulit badanmu yang putih bersih, potongan badan yang ramping tapi padat berisi, terutama tindak tanduknya yang lincah, hatimu yang polos dan manja serta kelakuanmu yang halus berbudi. Coba bayangkan, siapa yang tidak merasa iri?”
“Nah, kalau memang demikian, tidak seharusnya kau merusak makhluk alam!” jawab Coa Wi-wi sambil mengerling manja. Menyaksikan “kerlingan yarg memikat itu, tanpa terasa Wan Hong-giok ikut tertawa. “Coba lihat tampangmu, ternyata berani mengomeli orang!”
“Sesungguhnya, apa yang kau ucapkan barusan justru merupakan kelebihan yang kau miliki” kata Coa Wi-wi dengan wajah serius, “Cuma, dewasa ini kau rada kurusan sedikit. Bila tubuhmu sudah sehat kembali dan pulih seperti sedia kala, tentu kau akan lebih cantik, jauh lebih cantik dari pada aku….”
“Aaah…. cukup, tak usah kita bicarakan soal semacam itu lagi” tukas Wan Hong-giok sambil tersenyum, “Mari kita bicarakan tentang soal-soal yang lain saja”
“Kalau begitu kau sudah setuju bukan kalau tidak akan pergi?” Coa Wi-wi menatapnya dengan pandangan mengharap.
Wan Hong-giok tetap menggelengkan kepalanya. “Aku harus pergi, bagaimanapun juga aku harus pergi dari sini” sahutnya tegas.
“Waaah….setengah harian sudah kita buang tenaga untuk berbicara, tapi akhirnya kau toh ngotot ingin pergi juga. Buat apa kita berbicara lebih lanjut?” dengan agak mendongkol Coa Wi-wi mencibirkan bibirnya yang mungil.
Dengan cepat dia memutar badannya dan tidak menggubris gadis itu lagi….
Cepat Wan Hong-giok menangkap bahunya dan memutar badannya dengan paksa, pintanya, “Adik Wi dengarkan dulu perkataanku….” “Ogah…. ogah…. aku tak mau dengarkan perkataanmu….” teriak Coa Wi-wi sambil menutup telinga dengan kedua belah tangannya.
Wan-Hong-giok tidak menggubris teriakan itu malah sambil tersenyum ia bertanya, “Aku ingin bertanya kepadamu, apakah kau amat menyukai dirinya?”
Mula-mula Coa Wi-wi agak tertegun, menyusul kemudian tanyanya agak tercengang, “Siapa yang kau maksudkan?”
“Hoa kongcu!”
Mula-mulaCoa Wi-wi agak tertegun, menyusul kemudian sahutnya tergagap, “Aku…. Aku….”
Warna merah dengan cepat menjalar diatas wajahnya.
Tanpa sadar ia tertunduk dengan wajah malu. Untuk sesaat gadis itu merasa gelagapan dan tak sanggup meneruskan kata-katanya.
Dipegangnya dagu nona itu dengan tangan kanan, lalu diangkatnya wajah Coa Wi-wi hingga bertatapan muka dengannya, kemudian berkatalah Wan Hong-giok, “Tak usah malu-malu adik Wi. Laki-laki mencintai kaum wanita kaum wanita mencintai laki-laki kejadian tersebut sudah lumrah. Kau menyukainya?”
Semakin jengah Coa Wi-wi dibuatnya dengan muka merah ia meronta dari cekalan tangannya kemudian tundukkan kepalanya rendah-rendah. “Aku…. Aku…. Bukankah kau juga menyukainya?” tiba-tiba ia balik bertanya.
Wan Hong-giok tersenyum. “Yaa, aku memang menyukainya, karena itu aku harus membicarakan persoalan ini denganmu” “Apa lagi yang musti kita bicarakan?” dengan perasaan heran, tidak habis mengerti Coa Wi-wi menengadah.
“Engkau menyukainya, aku juga menyukainya, apakah tidak cemburu kepadaku?”
“Cemburu kepadamu?” Coa Wi-wi mengerdipkan matanya dengan keheranan “Kenapa aku musti cemburu kepadamu?”
“Itulah persoalan yang hendak kubicarakan denganmu.
Selain daripada itu….”
“Aaaah…. Masalah apalagi yang perlu kita bicarakan!” sela Coa Wi-wi dengan hati berkerut, “Aku tahu bahwa kau berkenalan lebih dulu dengan Jiko. Kalian adalah teman, apalagi kau baik sekali kepada Jiko, selalu berusaha untuk membantunya. Setelah kuketahui kesemuanya itu, hatiku semakin berterima kasih kepadamu”
“Bukankah kau berterima kasih kepadaku lantaran itu maka kau melarang aku pergi dari sini?” desak Wan Hong-giok sambil menggut-manggut.
Coa Wi-wi mengangguk tanda membenarkan. “Yaa, kalau toh aku menyukai Jiko maka semua sahabat Jiko adalah sahabatku juga. Semua musuh Jiko adalah musuhku juga. Kau baik sekali kepada Jiko lantaran Jiko hingga musti mengalami musibah seberat ini. Tentu saja aku tak boleh membiarkan kau pergi. Sebab kalau tidak demikian, berarti aku tidak menyukai Jiko. Sebaliknya, bila aku harus cemburu kepada orang yang memperhatikan Jiko, bukankah hal ini membuat aku jadi terlalu egois, terlalu mementing diri sendiri? Manusia macam begitu berhargakah untuk dicintai Jiko?” Kata-kata itu terlalu polos, tarlalu bersifat kekanak-kanakan tapi sedap didengar.
Bila Hoa In-liong berprinsip bahwa cinta itu harus dimiliki untuk semua orang, maka cocoklah kalau pandangan itu ditrapkan dengan jalan pemikiran Coa Wi-wi. Entahlah bagaimana reaksi Hoa In-liong seandainya ia mendengar kata- katanya itu.
Hal ini berbeda pula dengan reaksi dari Wan Hong-giok. Ketika mendengar perkataan itu, dia gelengkan kepalanya berulang kali sambil menghela napas panjang. “Aaaai…. Adik Wi, kau terlalu polos, terlalu berpandangan kekanak-kanakan. Cinta antara muda dan mudi tak bisa ditinjau dari keadaan pada umumnya!”
“Tapi…. Aku rasa semua orang juga berpandangan demikian! Bukankah bersahabat adalah salah satu kewajiban utama sebagai manusia?”
Tertawa geli Wan Hong-giok mendengar ucapan itu.
“Dasar bocah….!” serunya, “Mana ada hubungan antara laki dan perempuan yang dilakukan seperti kau? Aaah…. kamu ini setengah mengerti setengah tidak. Bila kau campur baurkan antara hubungan laki perempuan dengan hubungan persahabatan, siapapun yang mendengar perkataanmu tentu akan ikut tergelak sampai gigipun menjadi copot”
“Kenapa?” Coa Wi-wi tertegun dengan wajah tidak mengerti, “Masa dibalik hubungan tersebut masih ada hal-hal yang istimewa?”
“Banyak sekali kalau menyinggung soal hal-hal yang istimewa, misalnya saja, bila kurebut Jiko mu, Apakah kau tidak membenci kepadaku? Masa kau tidak cemburu kepadaku?”
“Tentang soal ini….” Coa Wi-wi tertegun dan mengerdipkan matanya berulang kali.
Wan Hong-giok tersenyum, lanjutnya, “Tentunya kau akan cemburu bukan? Tentunya? kau akan membenci aku kan? Jika engkau tidak merasakan gejala tersebut berarti kau tidak menyukai Jiko mu dengan sungguh hati. Nah, disinilah letak persahabatan, sudah mengerti bukan?”
Coa Wi-wi bukan seorang gadis yang bodoh. Setelah dijelaskan Wan Hong-giok secara terperinci, apalagi ditanyai dengan cermat, tentu saja ia jadi paham.
Bukan saja ia paham. Bahkan selapis lebih dalam kepahamannya itu. Sorot matanya dengan tajam dialihkan keatas wajah Wan Hong giok. Setelah ditatapnya beberapa kejap, sekulum senyuman segera terlintas dan menghiasi bibirnya. “Ooooh…. Sekarang aku baru mengerti” teriaknya setengah menjerit, “Rupanya kau…. kau sedang cemburu kepadaku!”
Jeritannya yang lengking itu seketika mengejutkan hati Ki-ji yang berada disisinya. Dengan agak gelagapan karena terkejut ia pun berseru lirih, “Ssst…. Siocia, bagaimana sih kamu ini?
Kok jerit-jerit seperti anak kecil, bagaimana coba kalau sampai mengejutkan Ji kongcu?”
Teguran tersebut membuat Coa Wi-wi terkesiap dengan cepat dia berpaling dan memandang kearah Hoa In-liong.
Wan Hong giok ikut terkejut, tanpa terasa dia ikut berpaling kearah si anak muda itu. Tapi ketika dilihatnya Hoa In-liong tidak apa-apa, hatinya jadi lega dan tatapan matanya segera ditarik kembali.
Sementara itu Coa Wi-wi telah menjulurkan lidahnya memperlihatkan muka setan, lalu berbisik, “Sialan, aku sampai kaget setengah mati. “Eeh…. Enci Wan! Ayoh ngaku terus terang, bukankah kau lagi cemburu kepadaku?”
Wajah Wan Hong giok yang semula pucat pias seketika itu jua berubah jadi semu merah. “Yaa, memang kuakui, semula aku memang rada cemburu kepadamu!” jawabnya kemudian setengah berbisik.
Dasar Coa Wi-wi yang polos dan masih kekanak-kanakan, kontan saja ia tertawa cekikikan. “Hiiik…. hiik…. hiikk…. Enci Wan ini lucu amat, kalau cemburu yaa cemburu, masa cuma sedikit? Masa semula cemburu sekarang tidak?”
Wan Hong-giok betul-betul menjadi tobat menghadapi kebinalan si nona cantik itu, akhirnya dengan gemas ditudingnya ujung hidung dara itu sambil tertawa geli. “Aaaah…. Kamu ini….ada-ada saja….”
Coa Wi-wi- semakin cekikikan. “Kenapa aku? Aku toh tak pernah cemburu kepadamu, kaulah yang dalam hati ada setannya.”
Sesudah berhenti sebentar, tiba-tiba dengan wajah serius ujarnya lebih lanjut, “Aku ingin bertanya kepadamu, enci Wan! Sekarang kau harus bicara yang sesungguhnya, tentunya kau tak akan pergi lagi bukan?”
Sambil berkata dia angkat muka dan menantikan jawaban dari Wan Hong-giok dengan penuh pengharapan. “Tidak! Aku harus pergi” Wan Hong-giok berseru kemudian sambil gelengkan kepalanya berulang kali.
Coa Wi-wi jadi tak senang hati. Sepasang alis matanya berkenyit, matanya melotot besar, tampaknya dia hendak mengumbar hawa amarahnya.
Melihat gelagat kurang baik, buru-buru Wan Hong-giok berseru, “Dengarkan dulu perkataanku adik Wi. Aku bersikeras ingin pergi dari sini bukan lantaran cemburu kepadamu, tapi dikarenakan oleh alasan-alasan lain”
Coa Wi-wi mendengus dingin. “Hmmmm! Kamu ini selamanya sudah diajak bicara kalau memang ada alasan lain cepatlah katakan, aku segan untuk banyak cingcong lagi dengan dirimu”
Wan Hong-giok sama sekali tidak tersinggung oleh perkataan itu, dia malahan tersenyum. “Baik, aku akan berbicara. Tolong tanya sudah berapa lama adik Wi berkenalan dengan Hoa kongcu?”
“Eeeh…. Sebetulnya akal setan apalagi yang sedang berputar dalam benakmu itu? “tegur Coa Wi-wi dengan wajah tercengang, “Kenapa yang kau tanyakan selalu persoalan persoilan yang tak penting?”
Wan Hong-giok tersenyum. “Harap jangan kau tanyakan dulu persoalan itu. Sekarang beritahukan saja kepadaku, sudah berapa lama engkau berkenalan dengan Jiko mu itu….”
Sebetulnya Coa Wi-wi tak mau menjawab tapi ketika dilihatnya pertanyaan itu diajukan dengan wajah serius, ia jadi tak tega untuk mendiamkan terus. Akhirnya setelah merenung sebentar, dia menjawab singkat, “Sejak kemarin!”
“Sejak kemarin….?”
Wan Hong-giok keheranan, bahkan hampir tak mempercayainya, “Masa kalian baru sehari lamanya berkenalan?”
“Kalau kenalnya sih sudah lama, cuma sejak kemarin baru mengadakan pembicaraan secara resmi”
“Oooh…. Jadi kalau begitu, kalian boleh dibilang jatuh cinta pada pandangan yang pertama”.
“Siapa bilang begitu?” Coa Wi-wi mengerutkan dahinya dengan sengit, “Ketika berjumpa untuk pertama kalinya tempo hari, aku malah ingin sekali memberi hajaran kepadanya”
“Aaaah…. Masa iya?” tanya Wan Hong-giok agak tertegun. “‘Buat apa kau kubohongi?” Coa Wi-wi berkerut kening,
“Waktu itu engkohku memuji-muji dia. Kongkong-ku juga memuji-muji dia, seakan-akan dia itu manusia super yang tiada taranya di bumi dan tiada keduanya dikolong langit. Huuh….! Aku jadi gemas rasanya, maka pingin kuberi pelajaran yang setimpal kepadanya agar dia tahu rasa!”
“Oooh…. Jadi begitu ceritanya” pelan-pelan Wan Hong-giok mengangguk, “Jadi rasa simpatikmu kepada Jiko dan rasa senangmu kepadanya baru tumbuh dengan pelan-pelan setelah berlangsungnya pembicaraan kemarin?”
“Aku sendiri juga kurang jelas” jawab Coa Wi-wi sambil putar otak tiada hentinya, “Ketika kutemui dirinya kemarin, sebenarnya ingin sekali kuhajar adat kepadanya, cuma kemudian…. kemudian….”
“Kemudian kau terpikat oleh kegagahannya dan membatalkan niatmu itu?” sambung Wan Hong-giok sambil tertawa.
“Aaah…. bukan begitu!” seperti baru sadar dari kenangan, Coa Wi-wi mengerdipkan matanya beberapa kali.
Lalu setelah berpikir sebentar, tiba-tiba ia tertawa dan berkata, “Sekarang aku teringat sudah, semuanya itu adalah lantaran kau, selain tentu saja terpengaruh oleh Toako”
“Lantaran aku? ” Wan Hong-giok tertegun, ia merasa tercengang dan tidak habis mengerti.
Coa Wi-wi mengangguk tanda membenarkan. “Yaa! Empat hari berselang, aku berjumpa dengan Hoa Si Toako. Waktu itu Toako mendapat tugas menuju kota Kim-leng, maka akupun menemani Toako berangkat ketimur. Tujuanku hanya satu yakin ingin mengajar Jiko. Sepanjang jalan lantaran tak ada urusan maka aku banyak menanyakan urusan tentang diri Jiko. Toako yang jujur dan baik bati selalu menjawab setiap pertanyaan yang kuajukan. Ia membicarakan kelebihan- kelebihan dari Jiko tapi menyinggung juga kekurangan- kekurangannya. Maka jika kupikirkan kembali, kesanku atas diri Jiko mungkin didapatkan semenjak itu dan untungnya kesan tersebut adalah kesan yang semakin baik”
Setelah berhenti sebentar, diapun berkata lebih jauh, “Dua bari berselang, kami telah berjumpa dengan rombongan kakakku di kota Si-sian. Dari mereka kamipun tahu kalau engkau ada janji dengan Jiko. Kebetulan Toako mendapat perintah dari empek Hoa untuk memperingatkan Jiko agar lebih waspada dan kalau bisa jangan bentrok dulu dengan orang-orang Mo-kau. Sedang dikota Kim-leng pun kebetulan terjadi peristiwa yang membutuhkan bantuan orang. Toako jadi kelabakan dan gelisah sekali, sebab seorang diri tak mungkin baginya untuk mengatasi dan kejadian ditempat yang berbeda. Maka ketika kulihat ada kesempatan segera kuajukan diri untuk memikul tugas tersebut dan memburu kebukit Sian- san, maksudku hendak menghalangi Jiko untuk datang memenuhi janji….”
Menyinggung soal janji dibukit Sian-san, Wan Hong-giok merasa murung bercampur kesal. Ia menghela napas sedih. “Kesemuanya ini…. Akulah yang bersalah” keluhnya, “Hanya satu hal yang kuherankan, secara bagaimana rahasia tersebut dapat diketahui musuh? Aku tak dapat menebak teka-teki ini”
“Urusan toh sudah lewat buat apa kau pikirkan lagi” hibur Coa Wi-wi cepat.
Wan Hong-giok mengangguk, “Yaa…. Perkataan adik Wan memang ada benarnya. Ayo, ketika kau memburu kebukit Sian-san, ingatan untuk menghajar Hoa kongcu tentu masih terbayang terus dalam benakmu bukan?”
“Siapa bilang tidak! Ketika kujumpai dirinya disebuah warung teh dikota Ci-tin, dengan segala tipu daya aku berusaha untuk menjengkelkan hatinya. Siapa tahu ia cukup supel dan gagah perkasa. Setiap hari menghadapi dampratan- dampratanku yang tajam, ia selalu melayaninya dengan ramah tamah. Pembicaraan yang kurang enak dihati segera dibelokkan dengan manisnya….”
“Karena itu maka kau berubah rencana? “desak Wan Hong- giok sedikit kurang sabar.
“Aku sendiri juga tak tahu kenapa bisa berubah pikiran. Pokoknya setelah kutak berhasil mencari gara-gara akhirnya maksud hatipun kuutarakan secara terus terang, malah sengaja kutuduh dirinya terpikat oleh kecantikan perempuan, tak sudi menuruti nasehat saudara. Diapun tahu dia memang keras kepala, bicara baik-baik atau bicara kasar, ia tetap kukuh dengan pendiriannya. Aku dibikin kehabisan akal terpaksa akupun memohonnya dengan kata-kata yang lembut dan halus. Aaaai…. Kalau dibicarakan betul-betul menjengkelkan hati, tahukah kau apa yang dia katakan waktu itu?”
“Dia bilang bagaimana?”
“Dia bilang begini, ‘Saudaraku, dengarkan dulu kata-kataku, cinta adalah cinta, setia kawan adalah setia kawan, kukabulkan permintaanmu karena cinta, kupenuhi janjiku dibukit Sian-san karena setia kawan. Sebagai manusia yang hidup didunia, kita harus dapat membedakan apakah itu cinta dan apakah itu setia kawan. Sekarang aka ingin bertanya kepadamu, apakah kau masih memaksa aku untuk membatalkan janjiku dibukit Sian-san? Padahal waktu itu aku sudah menyebutnya sebagai Jiko.’ Sungguh tak kusangka kalau orang ini tidak doyan kekerasan juga tak doyan cara lembut, malahan akulah yang betul-betul ketanggor batunya”
Tersenyum Wan Hong-giok mendengar perkataan itu. “Sepintas lalu orang itu tampaknya setengah sungguh- sungguh setengah berpura pura. Padahal dia adalah seorang laki-laki sejati yang mengutamakan kebajikan serta kesetia kawanan, kadangkala bahkan rada keras kepala….”
“Yaaa…. Kemudian akupun berpikir sampai ke situ” ujar Coa Wi-wi sambil mengangguk, “Justru lantaran aku berpikir sampai ke situ, maka….maka….” Tiba-tiba ia jadi gelagapan dan tak mampu melanjutkan kembali kata katanya, pipi yang semu merah pun bertambah memerah, ia tertunduk dengan wajah jengah.
“Maka dari itu kau jadi menyukainya dan menaruh perhatian kepadanya, bukankah demikian?” sambung Wan Hong giok sambil tersenyum.
Coa Wi wi menundukkan kepalanya semakin rendah, ia makin tersipu sipu di buatnya. “Aku….Aku….aku merasa bahwa dia adalah seorang laki laki yang pegang janji. Manusia semacam ini biasanya tak pernah menyia-nyiakan perhatian orang”
Wan Hong-giok yang sudah memperhatikan mimik wajahnya semenjak tadi, segera berpikir didalam hati, “Benih cinta dalam hati bocah ini baru saja tumbuh. Sungguh tak nyana begitu cepat ia sudah ada niat untuk menyerahkan dirinya untuk diperistri….”
Berpikir sampai disitu, diapun membelai rambutnya yang mulus dengan tangan kanannya, kemudian berkata, “Adik Wi, tak usah malu. Aku juga perempuan. Hanya perempuanlah yang dapat menyelami perasaan kaum perempuan. Yaa, Hoa- kongcu memang gagah dan tampan. Bukan begitu saja dia pun punya nyali, punya daya pikat, memandang tinggi soal hubungan dengan seseorang dan manusia macam begini biasanya tak bermain licik, bertanggung jawab dan memang seorang pemuda yang dapat dipercaya”
Setelah berhenti sebentar, diapun melanjutkan kembali kata katanya, “Adik Wi, sekarang aku paham, rupanya cinta kasihmu kepada Hoa-kongcu tumbuh dari rasa penasaran dan mendongkol yang meluap-luap. Itu berarti datangnya cinta telah mengalami pelbagai liku liku percobaan. Bukan saja halus, lembut bahkan jauh lebih berkesan. Jauh bedanya kalau dibandingkan dengan aku yang jatuh cinta pandangan pertama. Yaa…. dari sini dapatlah kita analisa bahwa cintamu jauh lebih mendalam bila dibandingkan dengan cintaku.
Cintamu lebih berakar lebih berbobot dan lebih berarti”
Merah jengah Coa Wi-wi dibuatnya, tapi ia angkat juga mukanya dan memandang ke arah gadis itu dengan muka tertegun.
“Enci Wan lagi menggoda aku? Apa itu dalam cetek? pula berbobot atau tidak. sebenarnya apa yang ingin kau bicarakan. Kenapa kau katakan secara ringkasnya saja? Putar sana putar kemari hanya bikin aku jadi pusing saja”
Wan Hong-giok tertawa ringan. “Nah…. Naah….
Keadaanmu semacam itulah yang dinamakan orang jatuh cinta sampai lupa diri! Kau begitu polos, begitu sederhana, yang dipikirkan hanyalah berusaha berdiri segaris dengan Hoa kongcu. Sebentar ingin tidak menyalahi aku, sebentar ingin menahan diriku. Apakah kau tidak tahu bahwa tetap tinggalnya aku disini adalah suatu tindakan yang hanya mendatangkan kerugian belaka bagi Hoa kongcu? Kalau toh engkau cinta kepadanya, kenapa tidak berusaha mencari suatu tempat yang nyaman dan berpikirlah sedikit demi Hoa kongcu?”
“Mencari tempat yang nyaman….?”
Coa Wi-wi tertegun dengan dahi berkerut, “Masa….
Masakan aku salah?”.
“Pada hakekatnya engkau juga tidak terhitung salah, cuma kau telah mengetrapkan pikiran sendiri menjadi pendapat orang. Aku sudah mengalami sendiri betapa parah dan menderitanya orang yang terluka. Aku dapat memegang teguh pendapat yang mengatakan bahwa, “Jika badan tak utuh, bulupun tak akan tumbuh. Kini dunia persilatan sedang terancam oleh bahaya maut, padahal Hoa kongcu adalah panglima membuka jalan. Pelbagai persoalan yang serius dan menyulitkan perlu diatasi semuanya olehnya. Bila engkau harus bertambah seorang semacam aku ini, bukankah sama halnya dengan menambah kerepotan dirinya?”
Meskipun alasan itu tidak berbobot akan tetapi memiliki alasan-alasan yang kuat untuk dipercayainya. Apalagi ketika Wan Hong-giok mengucapkan kata-kata tersebut, ia sama sekali tidak mengutarakan kata-kata yang kurang sedap didengar, seketika itu juga Coa Wi-wi dibuat amat terperanjat.
“Yaa, benar…. Kenapa aku tidak berpikir sampai kesitu?” kemudian ia membatin, “Dewasa ini situasi amat kritis, banyak urusan harus diselesaikan. Padahal Jiko bukan seorang manusia yang melupakan teman. Kendatipun ia secara langsung menuju bukit Im Tiong-san, sedikit banyak kaum bajingan yang membayanginya pasti akan coba melakukan penghadangan. Bukankah itu berarti banyak kesulitan yang harus dihadapi, tapi…. tapi…. walaupun begitu, ilmu silat enci Wan toh sudah punah, kalau membiarkan ia melakukan perjalanan sendiri pasti akan sangat berbahaya!”
Untuk sesaat lamanya ia jadi serba salah, dia tak tahu bagaimana musti mengatasi kesulitan tersebut.
Wan Hong-giok menghela napas lirih, kembali ia berkata, “Aaaai…. Sekalipun cara kita berpandangan berbeda, tapi berbicara soal kasih sayang kita terhadap Hoa kongcu boleh dibilang tak jauh berbeda. Adik Wi, bila kau mencintainya, kau harus berpikir demi dirinya pula. Apakah masih tetap menahan diriku untuk tetap tinggal ditempat ini….?” Waktu itu Coa Wi-wi sedang dibuat serba salah, setelah didesak terus menerus maka diapun bertanya, “Lantas bagaimana dengan kau? Apa yang hendak kau lakukan?”
“Tak usah merisaukan diriku” Wan-Hong-giok tertawa sedih, “Bila adik Wi sudah dapat memahami, itu lebih bagus lagi”
“Tidak bisa, tidak bisa!” teriak Coa Wi-wi dengan gelisah, “Sebetulnya apa rencanamu selanjutnya? Sedikit banyak harus kau terangkan dulu kepadaku!”
Wan Hong-giok pejamkan matanya berpikir sebentar, kemudian menyahut dengan lirih, “Aku ingin melakukan perjalanan menuju keluar perbatasan. Disitu aku hendak mencari guruku!”
“Siapakah gurumu?” Coa Wi-wi masih juga merasa kuatir, “Apakah dia dapat membantu dirimu untuk memulihkan kembali ilmu silatmu yang telah punah itu?”
Wan Hong-giok bertujuan menghindari yang berat dan mencari yang enteng, menghadapi pertanyaan tersebut iapun menyahut dengan hambar, “Asal alirannya sama aku pikir masih ada harapannya!”
Tampaknya ia sudah bulatkan tekad untuk pergi dan situ, maka diapun enggan untuk banyak berbicara lagi, pokok pembicaraan segera dialihkan ke soal lain, tiba tiba ujarnya, “Adik Wi, Hoa kongcu kuserahkan perawatannya kepadamu. Bila lain hari masih berjodoh, kita pasti akan berkumpul kembali!”
Berbicara sampai disitu hatinya jadi kecut dan amat sedih, tak bisa dicegah lagi titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya. Coa Wi-wi juga tak dapat membendung rasa sedih, dia ikut mengucurkan air matanya sambil sesenggukan.
“Kau…. kau…. apakah kau…. bersikeras ingin pergi juga dari tempat ini ?” bisiknya.
Wan Hong- giok tertawa terpaksa, cepat ia menyeka air mata yang membasahi pipinya. “Omongan anak kecil,” katanya, “kalau tidak pergi mana bisa? Terus terang saja kukatakan, seandainya bukan memikirkan kepentingan Hoa kongcu, memangnya aku tega untuk berpisah kembali setelah berkumpul? Tak usah terlalu kekanak-kanakan. Pergilah! Coba tengok bagaimana keadaan Hoa-kongcu sekarang ini”
Sambil berkata pelan-pelan dia memutar badan Coa Wi-wi dan mendorongnya maju ke muka.
Terdorongnya oleh tenaga si nona tak kuasa Coa Wi-wi maju beberapa langkah, tapi ia memutar kembali badannya.
“Eaci Wan, katakan kepadaku siapakah gurumu itu?” pintanya, “Bila ada kesempatan, aku tentu akan berangkat ke perbatasan untuk mencari dirimu….”
“Tidak usah!. Suatu ketika datang mencari sendiri” tampik Wan Hong-giok cepat.
Sampai disitu, dengan cepat dia mengerling sekejap ke arah Hoa In-liong kemudian putar badan dan cepat-cepat berlalu dari pintu gerbang kuil bobrok itu.
Coa Wi-wi memburu beberapa langkah seperti hendak mengucapkan sesuatu, Tiba-tiba satu ingatan melintas dalam benaknya. Ia merasa tak ada gunanya banyak berbicara, maka sambil keraskan hati ia hentikan langkah kakinya dan membiarkan Wan Hong-giok keluar dari pintu gerbang menuruni bukit dan lenyap dibawah cahaya matahari.
Pada ketika yang terakhir ini. bati kecilnya seakan-akan kelihatan sesuatu, tapi seakan-akan kekurangan juga sesuatu, padahal benaknya terasa kosong. Sekalipun ada perasaan, diapun tak bisa merasakan perasaan apakah itu.
Sementara dia masih tertegun, tiba-tiba Ki-ji berbisik memecahkan keheningan disekeliling tempat itu. “Wan siocia sudah pergi jauh”
“Aaah….” sekarang Coa Wi-wi baru sadar kembali dari lamunannya, ditatapnya wajah Ki-ji berulang kali, tiba tiba ia berseru, “Cepat…. cepat…. kau susul dirinya.
“Kenapa musti disusul? “tanya Ki-ji seperti tertegun dengan ucapan tersebut.
“Hantar dia sampai diperbatasan” tukas Coa Wi-wi sambil ulapkan tangannya berulang kali. “Cepat…. cepat…. ayoh cepat pergi?”
“Dihantar sampai perbatasan? “ulang Ki-ji terperanjat.
Kontan saja Coa Wi-wi melotot besar. “Masa hanya sepatah katapun kurang jelas? Kalau tidak pergi lagi, bila Wan siocia sampai terjadi sesuatu, engkaulah yang harus bertanggung jawab.”
Ki-ji makin terperanjat lagi. “Lantas kau…. kau…. siapa yang akan meladeni kau?”
“Aaah…. kamu ini cerewet amat, siapa yang suruh engkau meladeni aku? Ayoh cepat berangkat!” Setelah didesak berulangkali, terpaksa Ki-ji hanya bisa mencibirkan bibirnya. “Pergi yaa pergi. Cuma ilmu silatku cetek sekali. Bila sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, aku tak mau tanggung jawab”
Ki-ji adalah dayang kepercayaan dari Coa Wi-wi. Sejak kecil ia dibesarkan disisi Coa Wi-wi maka kalau dia disuruh meninggalkan nonanya tentu saja sangat keberatan. Sebab itulah meski dimulut ia menjawab, tubuhnya sama sekali tidak beranjak.
Coa Wi-wi sendiripun sebetulnya tak tega membiarkan dayangnya pergi jauh. Apa mau dikata di situ tiada orang lain yang bisa disuruh dan lagi diapun amat menguatirkan keselamatan Wan Hong-giok yang harus pergi jauh. Sebab itulah keputusan tersebut dibikin pada saat yang terakhir dan kini perkataan yang sudah disiapkan ibaratnya anak panah diatas busur, mau tak mau harus dilepaskan juga.
Maka dengan wajah berubah serius dan pura-pura marah dia berkata lebih jauh, “Betul-betul mengherankan, kau lagi ngambek yaa? Terus terang kukatakan kepadamu, bagaimanapun jua kau harus menghantar nona Wan sampai di perbatasan, sepanjang jalan kau harus layani nona Wan secara baik-baik tak boleh berayal. Meski dia tak mau dihantar, kau juga mesti mengintilnya secara diam-diam hantar sampai di tempat tujuan, mengerti?”
“Mengerti!” Ki-ji mencibirkan bibirnya makin tinggi.
Meskipun mulutnya menjawab, badan masin belum juga berajak dari tempat semula.
Tidak tega rasanya Coa Wi-wi mengurusi dayangnya itu, namun dalam keadaan apa boleh buat tertaksa dia harus pura-pura melotot marah. “Kalau sudah mengerti keadaan tidak cepat lari? Memangnya ingin digebuk….?” bentaknya sambil berkata dia ayun tangannya pura-pura hendak menghantam dayang tersebut.
Mula-mula Ki-ji agar tertegun, kemudian serunya “Yaaa…. aku pergi! Aku pergi!”
Dengan gemas dia mendepak-depakkan kakinya kebawah, lalu putar badan dan tinggalkan tempat itu. Sekejap kemudian tubuhnya sudah lenyap di bawah bukit sana.
Memandang bayangan punggungnya yang lenyap dari pandangan, Coa Wi-wi menghela napas berulang kali, gumamnya, “Semoga Ki-ji menuruti perkataan. Semoga enci Wan tidak mengalammi kejadian apapun jua”
Sambil bergumam pelan-pelan ia putar badannya, lalu dengan penuh rasa kuatir menghampiri diri Hoa In-liong.
Sementara itu keadaan dari Hoa In-liong sudah jauh membaik. Kulit badannya ketika itu sudah bertambah bersih, napasnya mulai panjang-panjang. Tampangnya yang keren, serius menunjukkan bahwa ia sudah berada dalam keadaan lupa akan segala-galanya dalam semedinya itu, atau dengan perkataan lain, kendatipun racun ular sakti yang diidapnya belum punah sama sekali, namun sim-hoat tenaga dalam yang dikatakan “istimewa” itu telah memberikan kemanjuran yang mengagumkan.
Pada dasarnya Coa Wi-wi memang seorang dara yang lincah dan periang. Dia adalah seorang nona yang tak pernah merasa risau. Tentu saja perasaannya jadi lega dan nyaman setelah menyaksikan keadaan Hoa In-liong ketika itu. Sekulum senyuman segera tersungging diujung bibirnya. Diamatinya air muka Hoa In-liong beberapa kejap, kemudian bibirnya bergetar entah apa yang dibisikkan. Setelah itu sambil tersenyum ia berjongkok dan duduk dihadapan Hoa In-liong.
Matahari telah tenggelam dilangit barat, akhirnya Hoa In- liong mendusin dari semedinya, pelan-pelan ia menghembuskan napas panjang, lalu membuka matanya dan bangkit berdiri.
Melihat itu. buru-buru Coa Wi-wi ikut bangkit berdiri, teriaknya dengan penuh kegirangan, “Sudah sembuhkah engkau Jiko? Sungguh tak kusangka kalau engkau telah bertemu dengan kongkong”
Ternyata ilmu semedi yang dilukiskan sebagai “istimewa” itu bukan lain adalah ilmu Bu-kek-teng-heng-sim-hoat ajaran Goan-cing taysu.
Sim-hoat tenaga dalam ini merupakan salah satu dari ilmu silat keluarga Coa Wi-wi. Sebagai orang yang berbakat lagipula pernah mendengarnya, hanya sekali pandangan saja ia sudah memahaminya.
Tampaklah Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sahutnya, “Racun ular sakti itu terlampau ganas. Meski sudah kucoba untuk mendesaknya keluar, toh hanya bisa mendesak racun itu untuk mengumpul di satu sudut belaka”
“Kau desak racun itu dimana? Tidak apa-apa bukan?” seru Coa Wi-wi dengan hati bergetar keras.
Hoa In-liong alihkan sorot matanya dan mengawasi wajahnya beberapa kejap, tiba-tiba ia tertawa. “Rupanya adalah Wi…. Oh, seharusnya kupanggil dirimu dengan sebutan apa? Adik Wi?”
“Aaah…. kamu ini jadi orang tidak serius” Coa Wi-wi mengomel dengan dahi berkerut, “aku kan lagi bertanya, racun ular itu kau kumpulkan dimana? berbahaya tidak? Bukannya menjawab, malah melantur kemana-mana….”
Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak, dicekalnya tangan gadis itu kemudian ditariknya mendekat. “Racunnya sudah kukumpulkan dijalan darah Gi-li dan Gi-bi-hiat, tidak berbahaya lagi. Hayo beri tahu kepadaku sekarang, aku harus memanggil apa kepadamu?”
Coa Wi-wi berusaha meronta, tapi tak berhasil melepaskan diri dari cekalan pemuda itu, maka dengan muka semu merah karena malu omelnya, “Cepat lepas tangan, kau mau menganiaya aku lagi?”
Mendengar tuduhan tersebut. Hoa In-liong terkesiap, cepat-cepat ia mengendorkan cekatannya. “Aku memang keterlaluan, aku memang keterlaluan, kembali aku lupa diri…. “
Rada lega juga Coa Wi-wi melihat kepanikan orang. “Aku bernama Wi-wi” katanya kemudian, “Toako menyebutnya sebagai adik Wi….”
“Kalau begitu, akupun akan meninggikan kedudukanku sendiri dengan menyebut dirimu sebagai adik Wi” kata Hoa In- liong cepat, lega juga hatinya ketika didapatkan gadis itu tidak marah.
Selesai berbicara, sekali lagi dia celingukan kesana-kemari, seakan akan urusan yang sudah lewat, asal sudah menyesalpun urusan jadi bsres. Ketika gadis itu menyaksikan si anak muda tersebut celingukan, ia lantas bertanya, “Engkau sedang mencari enci Wan?”
“Yaa!” Hoa In-liong mengangguk, “Kenapa nona Wan tidak kelihatan?. Oya, dimana Toako? Apa Toako belum kembali?”
“Enci Wan katanya hendak mencari gurunya, sedang Toako juga sehat dan tenang, aku pikir tak mungkin bakal terjadi hal- hal yang diluar dugaan”
Meskipun dimulut ia berkata demikian, namui hatinya mulai kalut dan gugup juga setelah Hoa Si yang ditunggunya selama ini belum kembali juga.
“Nona Wan sudah pergi!” Hoa In-liong berseru dengan nada terkejut, “Kemana dia akan mencari gurunya? Dia….”
Dari nada ucapannya maupun sikapnya yang begitu gelisah, dapat diketahui bahwa pemuda itu sangat mencemaskan keselamatan gadis tersebut.
Untunglah Coa Wi-wi sudah menduga sampai kesitu, maka dengan kalem dan sedikitpun tidak gugup ia menyahut, “Katanya dia hendak pergi ke perbatasan untuk mencari gurunya. Siapa nama gurunya ia tak mau menerangkan. Cuma aku telah mengutus Ki-ji untuk menghantarnya sampai ke tempat tujuan. Jangan dilihat Ki-ji masih kecil tapi otaknya cukup cerdas. Aku rasa tak mungkin meraka sampai menemui musibah”
Hoa In-liong agak tertegun sehabis mendengar perkataan itu. Dengan tatapan mata yang tajam diawasinya wajah Coa Wi-wi beberapa kejap, kemudian diapun tersenyum. “Kukira kenapa Ki-ji kok hilang, tak tahunya dia lagi menghantar nona Wan. Haa…. haa…. haa….Adik Wi pandai sekali mengatasi pelbagai persoalan, akupun jadi lega rasanya”
Diam-diam Coa Wi-wi mengerutkan dahinya dan berpikir dihati, “Tampaknya perkataan enci Wan ada benarnya juga, ia tidak terlalu menaruh perhatian terhadap kepergian enci Wan….”
Sementara dia masih melamun, Hoa In-liong telah maju kedepan dan menggandeng lengan kanannya sambil berkata, “Adik Wi, bagaimana kalau kita pun turun gunung?”
“Kau hendak menyusul Toako?” seru Coa Wi-wi dengan wajah tercengang dan mata yang dikerdipkanr berulang kali.,
Hoa -In-liong mengangguk. “Yaa, Toako sudah pergi lama sekali, namun sampai sekarang belum kembali juga. Kita harus pergi menengoknya”
Maka ditariknya tangan Coa Wi-wi yang lembut dan diajaknya berlalu dari ruang kuil bobrok tersebut.
Jalan tersanding disisinya, tiba-tiba Coa Wi-Wi berpaling dan ujarnya dengan lembut, “Sebelumnya kau musti berjanji dulu. Andaikata Toako menjumpai halangan apa-apa, maka selama racun ular masih bersarang dalam tubuhmu, kau tak boleh bertindak menuruti hawa napsu. Segala sesuatunya kau musti diam, berjanji?”
“Aaah….selama kau ada disisiku, apalagi yang musti kukuatirkan? “seru Hoa In-liong tersenyum.
Tiba-tiba Coa Wi-wi menghentikan langkah kakinya lalu menarik pula lengan Hoa In-liong hingga berhenti, katanya dengan serius, “Kau musti berjanji dulu, sampai waktunya kau tak boleh sembarangan turun tangan. Segala sesu-atunya serahkan saja padaku. Janji?”
Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian ia tertawa terbahak-bahak. “Haa…. haa…. haa…. baik, terserah padamu, terserah padamu…. Kiu-im Kaucu orangnya sombong, dingin dan kejam, jika kita tak segera berangkat dan seandainnya Toako benar-benar menghadapi musibah.
Bila Kiu-im Kaucu juga angkat langkah seribu, akan kulihat kau bisa berbuat apa lagi?”
Terperanjat Coa Wi-wi mendengar ucapan tersebut, segera teriaknya dengan gelisah, “Kalau begitu….ayoh kita segera berangkat!”
Di tangkapnya lengan Hoa In-liong, kemudian mereka berdua segera melompat kedepan dan melayang turun dari bukit tersebut.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Coa Wi wi betul-betul sudah mencapai pada puncak kesempurnaan. Sepanjang perjalanan ia bergerak secepat sambaran petir. Sekali loncat tiga lima kaki sudah dilampaui, seakan-akan semua gerakan tersebut dilakukan tanpa membuang tenaga barang sedikitpun juga.
Hoa In-liong yang berjalan mengiringi di sisinya hanya merasakan desingan angin tajam menderu-deru disisi telinganya. Pemandangan disekitar tempat itu hampir boleh dibilang tak sempat dilihat jelas. Akhirnya dia menarik kembali segenap hawa murninya dan membiarkan tubuhnya bergerak karena diseret gadis itu.
Nyatanya Coa Wi-wi tidak merasa kepayahan karena musti menarik sebuah beban berat. Kecepatan geraknya bukan saja tidak bertambah lambat, sebaliknya justru malah bertambah cepat.
Tak ada pemuda yang tidak ingin tahu. Hoa In-liong pernah menyaksikan kelincahan Coa Wi-Wi ketika berada di bukit Ciong-san. Waktu itu nona tersebut melayang turun dari langit bagaikan bidadari turun dari kahyangan, rasa herannya ketika itu sudah amat besar.
Maka setelah menyaksikan kejadian tersebut, rasa ingin tahunya makin lama makin bertambah besar.
oooOOOOooo
AKHIRNYA si anak muda itu tak dapat mengendalikan rasa ingin tahunya itu, maka dia pun bertanya, “Eeeeh….adik Wi, siapakah yang mengajarkan ilmu meringankan tubuhmu?
Apakah ibumu?”
“Ehmmmm….!” jawab Coa Wi-wi tak acuh.
Selang sesaat kemudian tiba-tiba ia berbaling sambil bertanya pula, “Oya….dimanakah kau telah berjumpa dengan kongkongku?”
“Kongkong mu?” Hoa In-liong tertegun dan bertanya dengan wajah tercengang.
“Iya…. Ilmu Bu-kek-teng-heng-sim-hoat tersebut bukankah ajaran dari kongkong ku?”
“Bu-kek-teng-heng-sim-hoat….?” Hoa In-liong makin tercengang, “Oh…. maksud adik Wi, ilmu sim-hoat tenaga dalam yang kugunakan untuk mendesak keluar racun dari tubuhku tadi bernama Bu-kek-teng-heng-sim-hoat?” “Aneh betul!” Coa Wi-wi merasa keheranan juga, “Sim-hoat tunggal dari keluarga kami itu tak pernah diwariskan kepada orang lain, juga tak pernah diwariskan kepada seseorang secara rahasia. Kalau didengar dari ucapannya tadi tampaknya kau belum pernah berjumpa dengan kongkong. Apa yang sebenarnya telah terjadi? Masa didunia ini masih terdapat ilmu sim-hoat lain yang serupa dengan kepandaian tersebut?”
“Aku tidak tahu, ilmu itu diwariskan seorang tokoh sakti kepadaku, waktu itu….”
Coa Wi-wi ingin buru-buru membuka tabir rahasia tersebut, ia tak sabar untuk mendengarkan obrolan orang, segera tukasnya, “Coba kau baca isi pelajaran sim-hoat itu kepadaku!”
Hoa In-liong merasa bahwa cara itu ada benarnya juga. maka diapun lantas menghapalkan isi pelajaran tersebut diluar kepala, “Badan ini bukan utuh, hati ini bukan utuh. Dunia jagad sejak dulu, berbaur dan mengumpul
tiada hentinya….”
Pelajaran sim-hoat itu bukan lain adalah ajaran dari Goan- cing Taysu. Coa Wi-wi tentu saja hapal sekali, maka hanya mendengar beberapa patah kata saja ia sudah tersenyum senyum seraya menukas, “Bergerak dan tengan mengikuti tay- kek, aliran terbalik mendatangkan tenaga…. cukup…. cukup!
Itulah pelajaran sim-hoat tenaga dalam dari keluarga kami. Berarti kongkong lah yang mengajakan pelajaran itu kepadamu, tak usah kau baca lagi”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong juga merana sangat gembira, ia jadi tertarik sekali, maka serunya kemudian, “Bagus! Mari kita membicarakan soal ilmu silat dari aliran keluargamu….” “Jangan membicarakan soal semacam itu disaat seperti ini” tukas Coa Wi-wi serius, “Kita harus cepat pergi, soal lain kita bicarakan setelah bertemu dengan Toako nanti”
Ia benar-benar menambah tenaga dalamnya beberapa bagian, sekejap mata kemudian ia sudah berada puluhan kali jauhnya dari tempat semula….
Sebenarrya Hoa In-liong masih mempunyai banyak persoalan yang ingin ditanyakan kepada gadis itu, seperti misalnya siapa nama Goan-cing Taysu. Asal-usul ilmu silat dari keluarga Coa, juga tentang ilmu silat Coa Cong-gi yang cetek padahal Coa Wi- wi berilmu sangat tinggi. Apa yang sebenarnya terjadi di balik kesemuanya itu?
Tapi oleh Coa Wi-wi berbicara serius, lagi pula yang dikuatirkan adalah Toakonya juga, maka ia harus bersabar untuk menyimpan kembali semua pertanyaan itu didalam hati.
Dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuh keluarganya, dia pun bergerak menuruni bukit dengan mengintil disisi Coa Wi-wi.
Setelah kedua orang itu sama-sama mengerahkan tenaga dalam, kecepatan gerak merekapun berlipat ganda. Dalam sekejap mata mereka sudah tiba di kaki bukit.
Selang sesaat kemudian mereka sudah berada dekat dengan kota Ci-tin, tiba-tiba Hoa In-liong memperlambat langkahnya lalu berkata, “Adik Wi lepaskan jubah panjangmu itu!”
“Kenapa?” tanya Coa Wi-wi dengan wajah tertegun, cepat ia menghentikan langkah kakinya. Hoa In-liong juga ikut berhenti. “Kita tidak tahu Toako mengadakan janji dimana. Itu perlu kita tanyakan setibanya dikota nanti. Tapi kalau jubah itu tidak kau copot, pada hal ikat kepalamu sudah tertinggal dipuncak bukit, modalmu yang laki tidak laki perempuan tidak perempuan itu tentu akan ditertawakan orang”
Kiranya sejak ikat kepala yaug dikenakan Coa Wi-wi terlepas, menyusul kemudian terjadinya keributan, Hoa In- liong mengerahkan tenaganya untuk mengusir racun, Wan Hong-giok ribut mau pergi dan Hoa In-liong akhirnya selesai dengan semedinya, Coa Wi-wi telah melupakan sama sekali akan kejadian tersebut.