Jilid 21
CWAN WI bukan seorang manusia yang berhati sekeras baja. Ketika mendengar keterangan itu, paras mukanya ikut berubah hebat. “Lantas bagaimana keadaannya? Apakah dia masih hidup?” tanyanya dengan cemas. “Aku kuatir…. aku kuatir kalau jiwanya tidak ketolongan lagi!” sahut Leng-ji terbata-bata.
Cwan Wi terkesiap. “Cepat bawa dia kemari! Cepat….!”
Baru saja ia berseru sampai disitu, tiba-tiba ia merasa berat badan yang menindih diatas kakinya terasa sangat berat sekali.
Ketika diperiksa lagi, ternyata Hoa In-liong berbaring diatas pahanya dengan mata terpejam rapat. Rupanya anak muda itu kembali jatuh tak sadarkan diri.
Kejadian seperti inilah yang paling dikuatirkan dan ditakuti Cwan Wi. Mula-mula dia tertegun, menyusul kemudian sambil mendekati tubuh In-liong teriaknya dengan suara gemetar. “Jiko….!”
Menyusul suara teriakan itu, air matanya tidak terbendung lagi. Akhirnya Cwan Wi menangis tersedu-sedu….
Masih mendingan kalau tidak menangis, begitu tangisannya meledak maka segala rahasianya pun ikut terbongkar.
Ternyata ia bukan bernama Cwan Wi, nama yang sebenarnya adalah Coa Wi-wi.
Dia adalah seorang gadis remaja, Coa Wi-wi! Adik kandung dari Coa Cong-gi.
Sebagai perempuan, sifat gampang menangis memang merupakan sifat yang lumrah. Ia menangis karena yang dikasihi tak mau mendengarkan nasehatnya, tak mau menjaga kesehatan sendiri sehingga akibat jatuh tak sadarkan diri. Untuk sesaat rasa sedih, kesal dan murung yang berkecamuk dalam benaknya sepuluh kali lihat lebih dahsyat dari keadaan dihari-hari biasa. Rasa sedih yang tak terbendung itu akhirnya meledak sebagai suatu isak tangis yang memilukan hati.
Leng-ji cepat-cepat memburu datang sambil membopong tubuh Wan Hong-giok. “Siocia….! Nona…. bagaimana keadaan Ji ko….?”
oooOOOooo
LENG-JI aslinya bukan bernama Leng-ji, tapi bernama Ki-ji.
Dia adalah dayang kepercayaan dari Wi-wi.
Ketika tiba didepan majikannya dan menyaksikan keadaan anak muda itu, dengan perasaan terkejut cepat ia baringkan Wan Hong-giok keatas tanah, kemudian teriaknya, “Aduuh mak….tidak benar keadaannya…. keadaan ini tidak benar….”
Sambil berlutut dia menggoncang-goncangkan bahu Coa Wi-wi sambil serunya kembali, “Nona, keadaan macam begini tak boleh berlarut-larut. Kau jangan urusi tangisanmu belaka. Coba periksalah dulu keadaan Jikongcu kemudian baru dirundingkan kembali. Memangnya setelah kau peluk tubuhnya sambil menangis, maka penyakitnya bakal sembuh dengan sendirinya? Jangan menangis terus!”
Coa Wi-wi tidak sampai keblinger, meskipun ia sedang menangis dengan sedihnya, kesadaran otaknya masih utuh. Maka setelah mendengar perkataan itu, diapun menengadah. Pada saat itulah terdengar desingan angin tajam berkumandang dari arah belakang, menyusul kemudian sesosok bayangan manusia melayang turun dibelakang punggungnya. Coa Wi-wi kaget, cepat ia menyambar tubuh Hoa In-liong dan meloncat maju kedepan untuk menghindari segala kemungkinan yang tidak diinginkan….
“Adik Wi, tak usak kaget! Aku yang datang” kata orang itu cemas, “Bagaimana keadaan Jite?”
Begitu mendengar suara panggilan tersebut, Coa Wi-wi segera mengetahui siapakah yang datang, cepat dia menjejak permukaan tanah dan menyusul kembali ketempat semula, sahutnya, “Toako! Jiko….”
Tiba-tiba ia merasa amat bersedih hati sehingga dadanya terasa jadi sesak, isak tangisnya semakin menjadi.
Orang yang baru muncul mengenakan jubah biru dengan sebuah pedang tergantung dipinggangnya. Dia bukan lain adalah Toako dari Hoa In-liong, Hoa Si adanya.
Hoa Si adalah seorang pemuda berwajah gagah dan bersikap serius. Ketika itu dia berdiri dihadapan Coa Wi-wi sambil mengawasi keadaan adiknya.
Ketika menyaksikan keadaan adiknya yang tidak sadarkan diri, hatinya betul-betul merasa amat terperanjat. Meski demikian sikapnya sama sekali tidak nampak gugup atau gelisah, lagaknya tetap tenang dan gagah perkasa. Keadaan semacam ini persis seperti kegagahan Hoa Thian-hong dimasa lalu.
Dengan sorot mata yang tajam dia mengawasi wajah Hoa In-liong dengan seksama, kemudian baru menengadah mengawasi Coa Wi-wi yang masih menangis tersedu.
“Adik Wi, janganlah menangis!” katanya kemudian dengan lembut. “Sekalipun Jite kena dipecundangi orang, tapi menurut pengamatanku, keadaan tersebut tak mungkin akan memburuk dalam waktu singkat. Mari serahkan dia kepadaku, kita cari dulu suatu tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, kemudian baru dirundingkan lebih jauh”
Sembari berkata, sepasang tangannya bergerak cepat untuk membopong adiknya.
Sebelum Coa Wi-wi sempat mengucapkan sesuatu, Hoa In- liong telah dibopongnya dan bergerak menuruni bukit tersebut.
Mula-mula Coa Wi-wi agak tertegun oleh kejadian tersebut.
Tapi sejenak kemudian, sambil menahan isak tangisnya dan membesut air mata yang membasahi pipinya dia mengikuti dibelakang pemuda itu tanpa berbicara.
Ki-ji yang menjumpai hal itu, cepat-cepat membopong Wan Hong-giok dan menyusul pula di paling belakang.
Setelah berjalan beberapa saat, akhirnya sampailah mereka di bekas markas Tong Thian-kau di punggung bukit. Hoa Si memeriksa sebentar keadaan bangunan itu, kemudian menghampiri sudut ruangan bekas ruang tengah dan duduk bersila disitu.
Gerak gerik Hoa Si selalu serius, mantap dan gagah. Raut wajahnya juga serius dan keren. Ini membuat orang lain jadi keder dan tak berani membangkang setiap perkataannya.
Karena kewibawaan yang terpancar keluar dari sikap anak muda itu mengederkan hati siapapun jua.
Sebenarnya Coa Wi-wi mempunyai banyak keluhan serta kesedihan yang hendak disampaikan kepada pemuda itu. Akan tetapi lantaran Hoa Si hanya membungkam terus, terpaksa diapun harus mengendalikan perasaannya dan ikut duduk membungkam disitu.
Pada ujung ruangan tersebut penuh berserakan bekas atap dan batu bata yang kotor dan tak sedap dilihat. Hoa Si segera mengebaskan tangannya untuk menyapu sebagian puing- puing itu hingga tersingkir kesamping. Setelah itu dia menggape ke arah Ki-ji sambil perintahnya kembali, “Ki-ji, kemarilah! Tolong baringkan nona Wan di atas lantai….!”
Setelah itu, dia baru barpaling kearah Coa Wi-wi sambil berkata kembali, “Adik Wi, tolonglah tengok sejenak keadaan nona Wan, apakah dia masih tertolong atau tidak?”
Mendengar perkataan itu, cepat cepat Ki-ji membaringkan tubuh Wan Hong-giok ke lantai, kemudian mengundurkan diri ke samping.
Melihat Coa Wi-wi tidak segera beranjak, dengan alis berkerut ia berkata penuh rasa kuatir, “Bagaimana keadaan Jite sedikit rada kacau. Sekarang aku sedang melakukan pemeriksaan untuk mengetahui bagaimana keadaan yang sebenarnya. Nona Wan adalah seorang gadis, aku merasa kurang leluasa untuk memeriksa sendiri keadaannya maka aku minta tolong kepada adik Wi untuk mewakili diriku!”
Setelah Hoa-Si berkata demikian, tentu saja Coa Wi-wi tak dapat membantah lagi. Dengan perasaan apa boleh buat dia mengangguk, kemudian bangkit dan menghampiri Wan Hong- giok untuk memeriksa keadaan luka dibadannya.
Selang sesaat kemudian, dengan wajah sedih dia menengadah, katanya dengan lirih, “Toako, sekujur badan Nona Wan sudah berubah jadi merah gosong. Jalan darah Tiong-kek-hiatnya terluka oleh totokan jari yang menggunakan tenaga dingin, sedang jalan darah Ki-ciat-hiatnya tertusuk sebatang jarum beracun. Aku lihat harapannya untuk hidup tipis sekali, mungkin jiwanya sudah tidak tertolong lagi”
Hoa Si mengerdipkan matanya beberapa kali lalu merenung. “Aku lihat nona Wan tak sampai menemui ajalnya, dia pasti bisa disembuhkan kembali…. Cuma adik Wi! Apakah engkau bersedia untuk mengorbankan sedikit tenaga dalammu untuk mengobati luka dalam yang dideritanya itu?”
“Tapi….denyutan nadinya sudah amat lirih, detak jantungpun sudah sering kali berhenti. Lagipula sekujur badannya sudah merah membengkak, jelas darahnya sudah ternoda racun jahat yang menyusup keseluruh nadi pentingnya. Berada dalam seperti ini, apa gunanya kita obati luka dalamnya dengan tenaga dalam?”
Dari nada perkataan tersebut dan dari sikap Coa Wi-wi sewaktu mengucapkan kata-katanya, dapat diketahui bahwa ia sedikit merasa keberatan untuk melaksanakan tugas tersebut.
“Soal keracunan bukanlah merupakan soal yang serius”, ujar Hoa Si dengan gelisah, “Dalam sakuku tersedia obat- obatan mustika untuk memunah kau pengaruh racun itu. Justru yang kukuatirkan adalah jalan daerah Tiong kek-hiatnya yang terluka parah itu. Sekalipun selembar jiwanya dapat diselamatkan, tapi serangkaian ilmu silat yang dimilikinya mungkin akan musnah dengan begitu saja”
Coa Wi-wi merenung sejenak, lalu katanya, “Tapi yang paling penting jiwanya tertolong lebih dulu. Sekalipun ilmu silatnya harus punah juga tak menjadi soal, lain kali kan masih ada kesempatan untuk mempelajarinya kembali”
Dengan cepat Hoa Si menggeleng. “Jika jalan darah Tiong- kek-hiatnya sudah terluka, itu berarti urat-urat sam-im-meh nya sudah kehilangan daya kemampuan untuk menggunakan tenaga lagi. Hawa murni yang terhimpun dalam Tam-thian tak mampu bergerak ke bawah lagi. Sekalipun mengulang kembali pelajaran silatnya juga percuma”
Tiba-tiba ia menghela napas panjang, tambahnya, “Keadaan yang kita hadapi sekarang tidak memberi kesempatan kepada kita untuk berpikir lebih jauh. Yang penting kini adalah menyelamatkan jiwa manusia. Adik Wi! Cepatlah bertindak!”
Tangan kanannya segera diayun ke depan, sebutir obat pun meluncur ke arahnya.
Dengan cekatan Coa Wi-wi menyambut obat itu serunya dengan gelisah, “Tidak bisa begitu saja! Toako. Jika kau suruh aku memunahkan racun yang mengeram ditubuhnya, kau harus memberitahukan juga bagaimana caranya. Aku sama sekali tidak paham bagaimana caranya memunahkan racun”
Hoa-Si mengangguk dan bibirnya pun mulai berkemak- kemik menurunkan pelajaran Khi-bun-im-yang (memisahkan hawa panas dan dingin) tersebut kepada Coa Wi-wi dengan ilmu menyampaikan suara.
Coa Wi-wi tidak berani berayal lagi cepat dia jejalkan pil tersebut ke dalam mulut Wan Hong-giok, kemudian duduk bersila disampingnya. Sepasang tangan direntangkan, tangan kanan menempel jalan darah Tiong-kek-hiat, tangan kiri menempel diatas dada. Dengan tekunnya dia salurkan hawa murni untuk mengobati luka dalam tubuh Wan Hong-giok.
Bila diikuti satu demi satu maka semua kejadian itu serasa sudah berlangsung sangat lama, padahal dalam kenyataannya waktu baru berlalu beberapa menit. Sampai waktu itulah Hoa Si baru mendapat kesempatan untuk menundukkan kepalanya mengawasi wajah adiknya serta memeriksa keadaan luka yang diderita.
Dari semua sikap maupun gerak-gerik yang dilakukan Hoa Si selama ini, dapat kita rasakan betapa agungnya sistim pertolongan mereka yang mengutamakan orang lain lebih dulu sebelum menolong diri sendiri. Dan semangat semacan ini merupakan didikan langsung dari Bun Tay-kun serta Hoa Thian-hong suami istri kepada putra putrinya.
Dalam pandangan keluarga Hoa, mungkin tindakan mereka ini merupakan suatu kejadian yang wajar. Tapi bagi pandangan orang lain justru mendatangkan perasaan lain.
Sikap semacam itu justru mendatangkan perasaan terharu dan kagum.
Pada waktu itu diluar puing-puing gedung yang berserakan, kebetulan ada sesosok bayangan manusia sedang mengintip gerak-gerik dari beberapa orang anak muda itu.
Tapi oleh karena mereka bersembunyi dengan sangat parahnya, dan lagi seluruh perhatian Hoa Si maupun Coa Wi- wi hanya tercurahkan untuk mengobati luka orang, mereka tidak menyadari sampai kesitu.
Mereka yang mengintip gerak-gerik berapa orang muda mudi itu adalah seorang gadis muda yang membawa tongkat baja serta seorang laki-laki bermata tajam yang mengenakan kain kerudung hitam diatas wajahnya.
Laki-laki itu mempunyai perawakan badan yang tinggi besar dan tegap. Tapi karena wajahnya tertutup oleh kain kerudung hitam, maka tidak diketahui berapa besar usia yang sebenarnya. Tapi sang gadis mengenakan baju berwarna putih, mukanya dingin dan hambar. Diujung toya besi yang dipegangnya terukir sembilan buah kepala setan perempuan. Itulah lambang dari Kiu-im kau dan gadis itu tak lain adalah Bwee Su-yok, kaucu baru dari perkumpulan Kiu-im kau.
Bwee Su-yok bersembunyi dibalik puing-puing gedung yang berserakan. Itu berarti kedatangannya adalah menguntit dibelakang Hoa Si secara diam-diam.
Tapi yang aneh, sinar matanya ketika itu kelihatan agak ragu-ragu, seakan-akan ada sesuatu masalah yang besar dan berat belum dapat diputuskan olehnya.
Pada hakekatnya yang diartikan sebagai masalah besar pada saat itu, adalah rasa haru dan kagumnya terhadap sikap Hoa Si yang lebih mengutamakan keselamatan orang lain daripada keselamatan sendiri. Hati kecilnya betul-betul tersentuh oleh kejadian itu, maka untuk sesaat ia kehilangan pegangan.
Haruslah diketahui, kebaikan dan kejahatan merupakan watak alam yang dimiliki setiap manusia.
Meskipun semenjak kecil Bwee Su-yok dibesarkan dalam lingkungan pendidikan yang angkuh, dingin dan tidak berperasaan. Meskipun ia mempunyai watak yang aneh, dingin dan kaku, namun sifat alamnya sebagai manusia bukan berarti sama sekali lenyap tak berbekas atau dengan perkataan lain sifat baiknya tetap bertahan pula dalam hatinya disamping sifat jahat dan buruknya.
Dalam suasana seperti itulah, tiba-tiba ia dengar laki-laki berkerudung yang berada dibelakangnya sedang berbisik, “Lapor kaucu, waktunya telah tiba!” Bwee Su-yok tidak menjawab juga tidak bereaksi, seakan- akan ia tidak mendengar perkataan itu. Sinar matanya kosong…. Hampa…. seolah-olah sedang melacaki sesuatu yang tiada….
Melihat kaucunya tidak menunjukkan reaksi apa-apa, laki- laki berkerubung itu mengulangi kembali kata-katanya. Tapi bagaimana sikap Bwee Su-yok? Ia tampak seperti tak sabaran, dengan pandangan yang menggidikkan hati di tatapnya laki- laki itu dengan sinar mata dingin, kemudian ia bangkit dan tinggalkan tempat tersebut.
Tindakan tersebut sama sekali diluar dugaan laki-laki berkerudung itu, cepat ia menyusul dibelakangnya sambil berbisik kembali, “Kesempatan baik segera akan berlalu. Harap kaucu berpikir tiga kali sebelum bertindak!”
Bwee Su-yok menghentikan langkahnya, ia berpaling dan menghardik ketus, “Cerewet! Kau suruh kaucu-mu memikirkan soal apa sampai tiga kali? Hmmm…. Kedudukanmu hanya sebagai tamu pembantu, berani betul kau ucapkan kata kata yang membatasi kebebasan gerakan kaucu….?”
Mula-mula laki-laki berkerudung itu agak tertegun, kemudian cepat cepat ia memberi hormat dan tidak berani banyak bicara lagi.
Bwee Su-yok semakin tidak sabar lagi, ia menekan toya bajanya ketanah dan segera melayang pergi dari situ.
Terlihatlah ujung bajunya yang berwarna putih berkibar terhembus angin, dengan gerakan cepat ia bergerak menuruni bukit itu.
Tindakan dari Kiu-im kaucu ini semakin membuat laki-laki berkerudung itu heran bercampur termangu. Sepasang matanya jelas memancarkan rasa kaget dan tercengangnya, tapi diapun tak berani mengucapkan sepatah katapun.
Pada saat itulah terdengar ujung baju tersampok angin menyambar datang, Hoa Si dengan suara yang nyaring menegur, “Nona, harap tunggu sebentar!”
Ternyata karena terdorong oleh emosi, Bwee Su-yok telah membentak terlalu keras sehingga suaranya yang berisik itu menyadarkan Hoa Si bahwasanya disitu hadir orang lain.
Bwee Su-yok berhenti, lalu putar badan dengan angkuhnya. “Ada urusan apa engkau memanggil aku?” tegurnya pula.
Ketika menyusul ke arah mana berasalnya suara tadi, Hoa Si hanya sempat menyaksikan berkelebatnva sesosok bayangan putih dibawah sorotan sinar rembulan. Ia tidak melihat kehadiran laki-laki berkerudung itu. Maka setelah yakin kalau lawannya seorang nona, diapun menegur.
Siapa tahu sikap Bwee Su-yok amat sombong dan tinggi hati. Keangkuhan semacam itu seketika juga membuat dia jadi tertegun dan tak mampu berkata-kata.
Meskipun tercengang, tapi sebagai seorang laki laki yang gagah, ia tidak masukkan persoalan itu dihati. Maka setibanya diatas permukaan tanah dia lantas menjura dan memberi hormat kepada Bwee Su-yok. “Nona, boleh aku tahu siapa namamu?” sapanya. “Tengah malam buta begini, angin bukit sangat dingin, bolehkah aku tahu karena urusan apa kau berkunjung kemari?”
Bwee Su-yok mendengus dingin. “Hmmm….! Lebih baik urusi saja Jite mu! Sedang soal-soal yang lain lebih baik dikesampingkan dulu untuk sementara waktu” Jawaban tersebut tidak menunjukkan apakah dia bersikap sahabat atau musuh dengannya, ini membuat Hoa Si semakin tertegun. “Keadaan adikku tidak terlampau serius. Justru kedatangan nona ditengah malam buta begini sangat mencurigakan hatiku….”
Tapi sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya, kembali Bwee Su-yok telah menukas secara tiba tiba, “Kalau begitu bagus sekali. Tengah hari besok engkau boleh mengajak adikmu untuk datang ke kota Ci-tin dan berjumpa dengan aku disitu….!”
Habis berkata dia lantas putar badan dan siap melanjutkan perjalanannya menuruni bukit.
Hoa Si semakin curiga, diam diam pikirnya dalam hati. “Kemungkinan perempuan ini mempunyai ikatan dendam dengan adik Jite, aku harus selidiki sampai jelas!”
Berpikir demikian, diapun melambung ke udara dan menghadang jalan perginya. “Tunggu sebentar nona!” serunya sambil menjura. “Tengah hari besok, adikku belum tentu dapat datang memenuhi janji. Karena itu harap nona bersedia meninggalkan nama, sehingga apabila ia tak dapat memenuhi janji, akupun dapat menyampaikan hal ini kepadanya”
Sikap Hoa Si yang intelek gagah dan ucapannya yang bernada memohon membuat Bwee Su-yok merasa rikuh untuk berlalu dengan begitu saja sebelum menjawab. Ia merasa pertanyaan lawannya bagaimanapun juga harus diberi jawaban yang memuaskan hati.
Tapi sebelum ia menjawab pertanyaan itu, laki-laki berkerudung hitam yang selama ini berada disamping telah menyelinap keluar, jengeknya sambil tertawa seram, “Hee…. hee…. hee…. Betul-betul mengecewakan sekali kau sebagai putra sulung dari keluarga Hoa. Ternyata pengetahuanmu begitu picik dan terbatas. Memangnya belum pernah kau saksikan tongkat kekuasaan dari Kiu-Im kau yang mempunyai ciri khusus itu?”
Sikap Bwee Su-yok semakin dingin dan kaku bahkan kali ini dengan tatapan matanya yang dingin menyeramkan dia melotot sekejap kearah laki-laki berkerudung itu.
Namun laki-laki berkerudung itu berlagak bodoh, ia berlagak seakan akan tidak melihat tatapan mata orang, bahkan berpaling ke sampingpun tidak.
Hoa Si baru terperanjat setelah mendengar perkataan itu.
Tanpa sadar ia berpaling dan mengamati tongkat baja ditangan Bwee Su-yok tersebut.
Tongkat itu adalah sebuah tongkat baja yang ber warna hitam gelap. Pada ujung senjata terukir sembilan buah batok kepala setan perempuan yang menunjukkan gigi taringnya dengan rambut awut-awutan. Ukiran itu hidup dan mendatangkan perasaan ngeri bagi siapapun yang melihat.
Meskipun Hoa Si belum pernah menyaksikan tongkat baja tersebut, tapi dari angkatan yang lebih tua, seringkali ia mendengar kisah cerita tentang tongkat itu.
Maka begitu menjumpai bentuk toya yang di maksudkan, ia jadi setengah percaya setengah tidak. Sinar matapun kembali dialihkan ke wajah Bwee Su-yok.
Saat ini Bwee Su-yok telah menjadi seorang kaucu dari suatu perkumpulan besar, tentu saja ia tak dapat membungkam diri terus menerus. Gadis itu mengangguk tanda membenarkan, ujarnya dengan suara yang dingin, “Yaa benar, aku adalah Kiu-im kaucu!”
Mendengar pengakuan tersebut, kembali Hoa Si berpikir dalam hati kecilnya, “Kalau toh dia adalah Kiu-im kaucu, setelah datang kemari kenapa harus berlalu lagi sambil menetapkan saat pertemuan besok siang? Hal ini rasanya jauh berbeda dengan tindakan-tindakan yang diambil Kiu-im kaucu seperti apa yang sering kudengar!”
Berpikir demikian, sekali lagi dia memberi hormat, ujarnya dengan suara nyaring, “Oooh…. kiranya kaucu telah berkunjung kemari. Pengetahuanku memang terlalu picik, harap engkau jangan terlalu mentertawakan kepicikanku ini”
Hoa Si memang jauh berbeda bila dibandingkan dengan adiknya. Sekalipun ada bagian-bagian persoalan yang belum dipahami olehnya, namun ia tak sudi menghilangkan tata kesopanan.
Dengan ketus Bwee Su-yok ulapkan tangannya. “Engkau tak usah menunjukkan sikap tengik yang menjemukan. Jawab saja pertanyaanku, besok siang kalian bakal datang memenuhi janji atau tidak?”
Hoa Si tersenyum. “Aku Hoa Si tak berani membuat janji kosong. Apa yang sudah kusanggupi pasti akan kutepati.
Besok siang apabila adikku tak dapat menghadiri pertemuan itu, aku pasti akan tiba tepat pada saatnya, harap kaucu berlega hati”
“Bagus sekali, kalau begitu aku akan menantikan kehadiranmu besok tengah hari di tenggara kota Ci-tin” Selesai berkata, dia lantas mengebaskan ujung bajunya dan melayang turun dari bukit itu.
Dengan cepat manusia berkerudung itu menyusul di belakangnya, tapi beberapa langkah kemudian tiba-tiba ia berpaling sambil bertanya, “Hoa lotoa, apakah engkau tidak menanyakan pula siapa namaku serta dari mana asal usulku?”
“Berbicara dari tindak tanduk saudara, sudah pasti engkau bukan anak buah dari perkumpulan Kiu-im kau. Memang aku menaruh curiga pada asal-usulmu. Tapi lantaran engkau menutupi wajahmu dengan kain kerudung hitam, jelas tindakan semacam ini menunjukkan betapa tidak terbukanya hatimu. Akupun jadi segan untuk banyak bertanya”
Mendengar jawaban itu, darah yang mengalir dalam tubuh laki-laki berkerudung itu serasa mendidih. Ia ada maksud untuk turun tangan melancarkan serangan, tapi entah apa sebabnya, kemarahan yang telah memuncak itu dikendalikan kembali sebisanya.
Setelah mendengus khekhi, ia melotot sekejap ke arah Hoa Si dan menjejakkan kakinya ke tanah untuk menyusul Bwee Su-yok yang sementara itu sudah lenyap dari pandangan mata.
Hoa Si memang seorang lelaki jantan yang berjiwa terbuka dan gagah perkasa. Meskipun tindak-tanduk Bwee Su-yok jauh berbeda dengan apa yang didengar ditempat luaran. Meski ia tahu manusia berkerudung itu adalah seorang manusia yang licik dan busuk hatinya, asal usulnya sangat mencurigakan.
Namun ia tak sudi membuang banyak pikiran dan tenaga untuk merenungi persoalan tersebut.
Setelah bayangan tubuh kedua orang itu lenyap dari pandangan, diapun segera putar badan dan berjalan kembali kedalam ruangan gedung diantara puing-puing yang berserakan.
Waktu itu fajar baru saja menyingsing, sang surya mulai menampakkan cahayanya diufuk sebelah timur. Sebaliknya rembulan yang tenggelam disebelah barat sudah makin pudar cahayanya, ikut lenyap pula kecemerlangannya dikala hari masih gelap.
Hoa Si yang berada dalam perjalanan kembali mempunyai perasaan yang kusut seperti cahaya rembulan itu, makin lama semakin kalut, makin lama semakin kusut….
Hal ini bisa dimaklumi, bagaimana pun juga Hoa In-liong adalah saudara kandungnya.
Setelah terganggu oleh peristiwa barusan, ia benar-benar tak tahu bagaimanakah keadaan lukanya ketika itu. Diapun tak tahu apakah kejadian ini bakal mempengaruhi keselamatan jiwanya serta mengakibatkan terjadinya peristiwa diluar dugaan….
Dengan pelbagai pikiran yang menekan perasaannya, pemuda itu mempercepat langkahnya menuju ke ruang gedung dan akhirnya sampai juga dia ditempat tujuan.
Diluar dugaan kenyataan yang berlangsung di depan matanya saat itu ternyata jauh diluar perhitungan rasa tegangnya selama inipun sebetulnya tak berguna.
Sebab bukan saja Hoa In-liong telah menyadarkan diri, bahkan Wan Hong-giok yang sudah tipis harapannya untuk hidup pun sekarang sudah jauh lebih baik keadaannya.
Segagahnya Hoa Si, dia baru menginjak dewasa belum lama. Kegembiraan yang datangnya dari luar dugaan itu seketika melenyapkan ketenangan dan kekalemannya dihari- hari biasa.
Dengan suatu lompatan lebar dia menerjang maju kedepan, lalu teriaknya dengan wajah berseri, “Jite, apakah engkau telah sembuh?”
Tiba-tiba ia saksikan Hoa In-liong masih tetap berbaring, sedangkan Coa Wi-wi berlutut disampingnya. Ini membuat dia jadi tertegun, cepat tubuhnya berhenti melompat dan untuk sesaat berdiri termangu-mangu….
Kiranya Hoa In-liong sadar belum lama, hawa murninya juga belum seberapa putih seperti biasa. Walaupun begitu, ketika mendengar suara dari Hoa Si, dia lantas meronta bangun, serunya pula dengan nada gembira, “Toako, kau….kau…. juga telah datang?”
Coa Wi-wi sangat menguatirkan keadaannya. Dia segera membimbing bangun anak muda itu sambil menyela, “Toako sudah datang semenjak tadi. Lebih baik engkau berbaring saja. Racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhmu belum punah sama sekali….”
“Aaaah…. tidak apa-apa”. Hoa In-liong tetap ngotot, “Aku ingin bercakap-cakap dengan Toako”
Sementara itu Hoa Si juga melihat betapa pucatnya raut wajah adiknya ini, dia ikut berjongkok disampingnya sambal menghibur, “Jite, kau jangan terlalu keras kepala. Racun ular sakti bukan sembarangan racun biasa. Konon ibupun tidak mempunyai keyakinan untuk memunahkannya. Sekarang beristirahatlah dulu, beritahu kepadaku, bagaimana rasanya sewaktu racun itu kambuh?” Hoa In-liong tidak berani membantah perintah Toakonya, terpaksa dibawah bimbingan Coa Wi-wi dia berbaring kembali ketanah.
Setelah mengatur nafas sebentar, pemuda itu baru berkata, “Berita yang tersiar diluaran tak boleh kita percayai dengan begitu saja, Toako….”
Tiba-tiba Hoa-Si bangkit berdiri. Mukanya berubah menjadi keren, tukasnya dengan nada bersungguh-sungguh, “Ngaco belo!. Ayah sendiri yang memberitahukan hal ini kepadaku, memangnya aku harus tidak mempercayainya?”
Hoa In-liong ikut terperanjat, tapi dengan cepat ia tenangkan hatinya sambil menyahut, “Jika ayah yang mengatakan hal itu, tentu saja kita harus mempercayainya. Toako, sebenarnya peristiwa besar apakah yang telah terjadi sehingga ayah pun ikut terbawa sampai ke selatan? Apakah kau mengetahui tentang rahasia ini?”
Ketika dilihatnya pemuda itu jadi sangat penurut. Hoa-Si merasa sedikit tidak tega maka sahutnya, “Yaaa, hal ini disebabkan….”
Mendadak satu ingatan melintasi dalam benaknya, ia teringat bahwa Hoa In-liong adalah seorang bocah yang ingin menang, seringkali bersikap pura-pura untuk membohongi orang. Rasa waspadanya segera timbul dan ucapan yang baru dimulaipun segera ditelan kembali, dia awasi wajah pemuda itu tajam-tajam.
Hoa In-liong sangat ingin mengetahui sebab musabab kehadiran ayahnya di wilayah Kang-lam, melihat kakaknya berhenti berbicara, dia jadi sangat gelisah, tanpa sadar serunya, “Toako, mengapa tidak kau lanjutkan kembali kata- katamu?” Ditatapnya wajah In-liong dengan tajam, kemudian setelah menghela napas panjang Hoa Si baru menjawab, “Engkau selalu gemar menempuh jalan bahaya untuk mencari keuntungan. Sampai sekarang watak semacam itu belum juga berubah. Aku…. Aku…. yang menjadi Toako mu merasa kewalahan untuk memusuhi engkau. Daripada tertipu mentah- mentah, lebih baik kuputuskan untuk membungkam dalam seribu basa saja”
Menyaksikan siasat liciknya ketahuan kakaknya, Hoa In- liong jadi tersipu-sipu. “Toa…. Toako” katanya malu. “Aku betul-betul amat cemas, katakanlah kepadaku….”
“Kau merengek seribu kali juga percuma” tukas Hoa Si tegas, “Ketahuilah setelah engkau menjadi begini rupa, aku yang menjadi Toako-mu juga ikut susah. Bila engkau tak mau menuruti perkataanku lagi, bagaimanakah pertanggungan jawabku terhadap ayah dan ibu nanti? Satu-satunya persoalan yang paling penting saat ini adalah menyehatkan dulu badanmu, soal lain untuk sementara waktu kita kesampingkan lebih dulu”
Dia adalah seorang pamuda yang tegas, setelah mengatakan satu selamanya tak pernah berubah jadi dua. Tentu saja Hoa In-liong mengetahui jelas akan wataknya ini.
Maka setelah siasatnya menghasilkan senjata makan tuan, dan diapun menyadari bahwa memohon secara halus tak akan mendatangkan hasil apa-apa. Sambil bernapas menekan perasannya anak muda itu berkata lagi, “Yaaa…. Padahal tiada sesuatu yang terlalu luar biasa. Ketika racun ular sakti itu mulai kambuh aku merasa dalam isi perutku seakan-akan terdapat semut yang sedang berjalan kesana kemari. Rasanya kaku dan gatal sekali hingga sukar ditahan, tapi sekarang aku sudah dapat mengendalikan siksaan itu” Coa Wi-wi segera menyambung dengan cemas, “Tidak, tidak mungkin begitu, ketika racun yang mengeram dalam tubuhmu kambuh, engkau segera jatuh tak sadarkan diri. Darimana engkau bisa merasa kalau rasanya gatal sekali? Engkau terlalu sekali, memangnya dianggap kami semua adalah orang goblok yang dapat ditipu mentah-mentah….?”
Menyaksikan kegelisaan orang, kembali Hoa In-liong berkata, “Yaaa, apa yang diucapkan adik Wi memang benar. Rasa gatal dan kaku memang apa yang kurasakan sekarang. Pada mulanya ketika racun itu mulai kambuh, isi perutku terasa sakitnya bukan kepalang. Seakan-akan ada ular yang banyak sekali jumlahnya menggigiti seluruh isi perutku dan gigitan itu sepertinya tak dilepaskan terus. Cuma aku tidak membohongi dirimu, rasa gatal dan kaku itu sampai sekarang masih terasa. Coba lihatlah, bukankah aku masih dapat merasakannya dengan hati yang tenang?”
Setelah mendengar penjelasan itu, Hoa Si dengan perasaan yang tercekat segera bergumam, “Gejala yang kau ucapkan persis seperti apa yang diterangkan ayah kepadaku. Aaai….
Akulah yang salah. Coba kalau aku tidak datang terlambat, mungkin….mungkin….”
Bergumam sampai disitu, saking gelisahnya dia berjalan mondar mandir kesana-kemari, ia kelihatan resah sekali.
Tiba-tiba terdengar Coa Wi-wi menangis tersedu-sedu. “Huuh…. huu…. Akulah yang salah” keluhnya, “Akulah yang salah. Coba aku tidak mendengarkan kata-kata Ki-ji dan menghalangi Jiko pergi memenuhi undangan, tentu tak akan terjadi peristiwa ini”
Hoa In-liong belum tahu kalau Coa Wi-wi sebetulnya bukan seorang “cowok” melainkan adalah seorang “cewek. Maka ketika mendengar dia menangis, pemuda itupun berkerut kening. “Aduuh….! Adik Wi, kenapa kau menangis lagi?” keluhnya sambil menghela nafas, “Kau tidak salah, sebab kau telah berusaha dengan segala ke raampuan untuk menghalangi niatku. Akulah yang keliru karena aku tak mau menuruti peringatanmu. Karena aku yang ngotot datang kesitu untuk memenuhi janji, maka jika mau mencari siapa kambing hitamnya, maka akulah yang salah. Aku yang keliru. Siapa suruh aku terlalu gagah dan tolol. Siapa suruh aku bodoh sampai terjebak ke dalam perangkat mereka….
Sudahlah adik Wi, ayoh jangan menangis lagi”
Begitulah, selama ribut-ribut dan perselisian itu berlangsung dengan serunya, Wan Hong-giok yang bersandar disudut tembok hanya mengikutinya dengan membungkam.
Sekalipun demikian, diapun tahu bahwa Hoa In-liong bisa terkena racun Sin-hui-si-sim (ular sakti menggigit hati) adalah lantaran disergap secara cilik oleh orang orang Mo-kauw, atau dengan perkataan lain lantaran gara-gara janjinya itulah mengakibatkan si anak muda itu terluka parah.
Makin dikenang ia semakin sedih, sehingga akhirnya air matapun tak terbendung, sambil menangis terisak keluhnya, “Akulah…. Akulah yang menjadi gara-gara…. akulah yang menjadi gara-gara. Tidak seharusnya kuajak Hoa kongcu untuk berjumpa dibukit Yan-san…. Sekarang…. oooh, ia terluka karena aku…. huu….huu….”
Ketika Hoa In-liong mendengar bahwa Wan Hong-giok bisa berbicara lagi, legalah hatinya. “Nona Wan kah itu?” serunya cepat, “Bagaimana dengan lukamu? Tidak apa-apa toh?”
Sebelum roboh tadi, pemuda itu sempat, menyaksikan bagaimana mengenaskannya keadaan Wan Hong-giok, terutama binatang- binatang beracun yang begitu banyaknya bermangkal disekujur tubuh si gadis yang telanjang.
Dan sekarang, dia harus berbaring. Ia tak dapat menyaksikan keadaan nona tersebut. Yang bisa didengar hanya suaranya yang tersendat-sendat dengan nada yang lirih dan lemah. Sebagai orang persilatan ia tahu gejala semacam itu menunjukkan bahwa hawa murninya sudah mengalami kerusakan hebat atau dengan perkataan lain, luka dalam yang dideritanya cukup parah.
Betapa sedihnya Wan-Hong-giok mendengar pertanyaan Hoa In-liong yang begitu hangat dan sangat memperhatikan keadaannya itu. Apalagi bila teringat akan musibah yang telah menimpa dirinya, bagaikan disayat-sayat hatinya.
Makin dipikir ia merasa makin sedih, makin menangis suara tangisnya makin keras, akhirnya sambil memukul-mukul dada sendiri keluhnya dengan suara yang mengibakan hati, “Aku…. Aku…. hanya seorang cacad. Akulah yang mencelakai dirimu. Oooh…. baik-baiklah kau jaga diri”
Tiba-tiba dengan menghimpun sisa kekuatan yang dimilikinya ia menumbukkan kepalanya di atas dinding tembok disisinya.
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tatkala mendengar keluhan sang dara yang terakhir tadi, ia segera tahu bahwa Wan Hong-giok mempunyai maksud untuk bunuh diri.
Sementara hatinya amat terperanjat, Ki-ji yang berada disampingnya sudah menjerit kaget, “Jangan nekad!”
Menyusul kemudian Hoa Si mendepak-depakkan kakinya ditanah seraya menghela nafas panjang berulang kali. “Aaai….! Tolol!. Semuanya tolol! Semut saja ingin hidup seribu tahun. Apalagi kamu semua ada manusia memangnya kalian anggap nyawa manusia itu boleh dianggap mainan?
Aaai…. Cuma urusan sepele saja sudah berani bermain diujung tanduk. Goblok! Semuanya goblok! Ki-ji….cepat bangunkan nona Wan”
Yaa, pada hakekatnya peristiwa itu sama sekali diluar dugaan, bukan saja mengejutkan semua orang, sampai- sampai pemuda yang jarang bicara dan selalu serius inipun ikut-ikutan memaki.
Baru pertama kali ini Hoa In-liong merasakan ketegangan yang luar biasa. Ia baru bisa menghembuskan nafas lega setelah Toakonya menegur serta memerintahkan Ki-ji untuk membangunkan Wan Hong-giok. Sebab dari perkataan itu dia yakin bahwa si nona selamat dari cengkeraman elmaut.
Diapun berusaha meronta bangun dan duduk.
Sekarang perhatian semua orang ditujukan kesatu arah yang sama. Tampaklah Wan Hong-giok sedang berjalan mendekati mereka dibawah bimbingan Ki-ji. Mukanya tampak layu, rambutnya terurai awut awutan. Sepasang bahunya bergoncang keras menahan isak tangis. Bagaikan air bah, air matanya meleleh keluar membasahi semua wajahnya.
Setibanya dibadapan semua orang, kontan Coa Wi-wi mengomel dengan kening berkerut, “Enci Wan, bagaimana sih kamu ini? Kenapa
tidak kau buka jalan pikiranmu? Kenapa kau nekad untuk melakukan perbuatan tolol seperti itu? Jika kau pandang begitu rendah soal kehidupanmu, bukankah berarti sudah kau sia-siakan bantuan tenagaku selama ini bagimu? Apalagi Toako sudah….” Tentu saja bila ucapan itu dilanjutkan, maka akan terdengarlah kata-kata sebangsa “sia-sialah pemberian obat penawar racun dan obat mustika untukmu” dan sebagainya…. dan sebagainya….
Untunglah Hoa Si bertindak cekatan, sebelum kata-kata semacam itu sempat memberondong keluar ibaratnya tembakan senjata otomatis, si anak muda itu sudah ulapkan tangannya sambil menukas, “Jangan terlalu menyalahkan dia. Maklumlah, kadang kala pikiran orang memang bisa menjadi cupat lalu mata gelap. Untung Ki-ji cukup cekatan sehingga tak sampai terjadi tragedi yang tidak diharapkan. Tapi aku percaya kejadian semacan ini tak akan terulang untuk kedua kalinya”
Diapun berpaling kearah Wan Hong-giok dan menambahkan, “Duduk dan istirahatlah dulu nona Wan. Sebentar aku hendak bercakap-cakap denganmu”
Air mata jatuh berlinang dengan derasnya membasahi wajah Wan Hong giok. Dengan masih membungkam dia manggut-manggut lalu duduk kembali ke lantai.
Sementara itu Hoa In-liong menatap diri Wan Hong-giok dengan sepasang mata yang terbelalak lebar. Mukanya kaget, tercengang dan sangsi seakan-akan Wan Hong-giok sudah berubah jadi orang lain yang tidak dikenalinya lagi.
Yaa, pada hakekatnya Wan Hong-giok memang telah berubah. Ia telah berubah menjadi manusia lain yang belum dijumpai sebelumnya.
Kalau dulu Wan Hong giok memiliki badan yang montok, padat berisi dengin muka yang cantik bak bidadari. Dengan gerak-gerik yang lincah, hangat seperti api, yang mana seakan-akan siapapun yang mendekatinya akan menjadi leleh karena kepanasan, maka keadaannya sekarang justru merupakan kebalikan dari kesemuanya itu.
Kobaran api kehangatannya yang menyala sekarang telah padam, tubuhnya yang montok, padat berisi kini tinggal kulit pembungkus tulang. Ibaratnya sekuntum bunga mawar yang baru mekar, tiba-tiba terendam didalam gudang salju, seketika itu juga jadi layu dan kaku.
Padahal, sebagaimana kita ketahui Hoa In-liong adalah seorang pemuda yang romantis dan gampang terpikat oleh kecantikan perempuan. Tentu saja ia menjadi beriba hati, menjadi kasihan setelah menyaksikan keadaan Hong-giok sekarang ini. Sekalipun rasa kasihan itu bukan lantaran kecewa tapi betul-betul timbul dari hati kecilnya.
Ditatapnya gadis itu dengan wajah termangu, tiba-tiba hatinya jadi kecut. Pemuda ini betul-betul tak dapat mengendalikan emosinya lagi. “Nona Wan, bagaimanakah perasaanmu sekarang?” tanyanya dengan penuh perhatian, “Apakah lukamu telah sembuh kembali?”
Kalau “Hong keng” dianggap sebagai “Be Liang” maka begitulah keadaannya. Semakin kuatir dan penuh perhatian nada pertanyaan si anak muda itu, semakin pedih perasaan Wan Hong-giok dibuatnya, Dia mengira rasa cinta Hoa In-liong terhadapnya sudah amat mendalam sekali, hingga peristiwa tersebut membuat gadis ini bertambah kecewa, bertaubat, menyesal dan tentu saja kesedihan yang tak terkendalikah.
Terhadap perhatian orang, sering kali perhatian yang bersifat persahabatan disalah taksirkan sebagai perhatian yang bersifat cinta. Ini terbukti dari kejadian yang dialami Wan Hong-giok dengan Hoa In-liong. Perlu diterangkan disini, meski kurang baik nama Wan Hong-giok dalam dunia persilatan, tapi sewaktu dia bertemu dengan Hoa In-liong di kota Lok-yang tempo hari, gadis itu masih berstatus sebagai gadis perawan.
Sejak berpisah di Lok-yang, Wan Hong-giok selalu terkenang akan pemuda itu atau dengan perkataan lain ia telah jatuh cinta. Sayang nasibnya kurang mujur, selaput daranya harus direnggut di tangan iblis dari Mo-kauw yang mengakibatkan kesuciannya ternoda.
Setelah terjadi peristiwa tersebut, beberapa kali ia sudah berniat untuk menghabisi nyawa sendiri. Tapi ketika ia tahu bahwa orang-orang Mo-kauw mempunyai rencana busuk yang mempengaruhi keselamatan umat persilatan pada umumnya dan keselamatan keluarga Hoa In-liong pada khususnya, gadis ini pun jadi nekad. Ia berusaha tetap mempertahankan hidupnya untuk menolong sang kekasih dari ancaman maut, maka dibuatnya perjanjian dibukit Yan-san.
Yaaa, demikianlah kalau orang salah tafsir. Siapa tahu Hoa In-liong yang sudah dihalangi niatnya oleh banyak orang, akhirnya terkena juga perangkap orang-orang Mo-kauw yang mengakibatkan ia keracunan Sin-hui atau racun ular sakti.
Kesemuanya itu sudah membuat hatinya cukup kecewa, apalagi mendapat perhatian lagi dari Hoa In-liong. Akibatnya perasaan “simpatik” disalah tafsirkan sebagai perasaan “cinta”
Sebetulnya dua persoalan tersebut merupakan persoalan yang berbeda. Tapi kalau kita suruh Wan Hong-giok yang sudah terlanjur jatuh cinta menyadari akan perbedaan itu, boleh dibilang ibaratnya orang ingin terbang ke langit, bukan sukar saja malah sama sekali tak mungkin. Kalau tidak sulit, tak nanti gadis itu sampai mengeluh akan dirinya yang cacad dan bermaksud menghabisi nyawa sendiri.
Waktu itu ia duduk dengan badan gemetar, air matanya seperti hujan gerimis, mengucur keluar tiada habisnya. Bibir gemetar seperti mau bicara, tapi sepotong kata pun tak mampu diutarakan.
Akhirnya setelah menghela napas sedih, ia menutupi wajah sendiri dengan kedua belah tangan, kemudian menangis tersedu-sedu.
Hoa In-liong yang romantis memang suka main perempuan, sayang ia tak tahu bagaimanakah perasaan Wan Hong-giok saat ini. Ketika dilihatnya gadis itu menangis, pemuda kita lantas mengira kalau si nona jadi sedih lantaran lukanya yang parah atau mungkin terkenang kembali akan musibah yang menimpa dirinya. Timbullah keinginan hatinya untuk menghibur si rona itu dengan beberapa patah kata.
“Jite, jangan kau ganggu diri nona Wan lagi” tiba tiba Hoa Si menegur dengan kurang sabaran “Kau sendiri juga perlu istirahat, ayoh baik-baik atur pernapasanmu, jangan sampai racun ular itu kambuh semakin parah!”
“Jangan kuatir Toako, aku masih tahu diri” sahut Hoa In- liong sambil manggut-manggut.
“Tahu diri apa!” gerutu Coa Wi-wi, “Kemarin alasannya tidak tenang, sekarang toh enci Wan sudah tidak apa-apa, kenapa tidak kau gunakan kesempatan ini untuk menjajal sim- hoat istimewamu untuk mengusir racun jahat dari tubuhmu?
Mumpung Toako berada disini, ayoh cepat dicoba!”
Wan Hong-giok yang membungkam tiba-tiba ikut mendongak, dengan wajah yang basah oleh air mata katanya pula, “Hoa kongcu, aku yang rendah tak berani merisaukan hatimu dan tak pantas membuat hatimu risau. Bila kongcu tidak tenang hatinya lantaran aku atau kongcu menunda waktu sedemikian untuk mengusir sisa racun lantaran aku, aku yang rendah betul-betul merasa tak terkirakan besarnya dosaku”
“Tidak…. tidak…. kau jangan berkata begitu” cepat Hoa In- liong gelengkan kepalanya berulang kali, “Demi keselamatan dunia persilatan, demi kepentingan keluarga Hoa kami, kau telah menjadi korban ditangan musuh. Jangan toh baru menunda waktu sedemikian, sekalipun Hoa In-liong harus mengorbankan jiwa demi dirimupun aku juga rela!”
“Betul!” sambung Coa Wi-wi, “Apakah kau masih dapat mempertahankan diri. Enci Wan? Kalau tidak ada halangan apa-apa, harap terangkanlah rencana busuk apakah yang telah dipersiapkan orang-orang Mo-kauw dari Seng sut pay itu. Sebelum kau terangkan kesemuanya itu, mungkin Jiko tak dapat menenangkan hatinya”
Pada hakekatnya, dengan ucapan tersebut gadis itu sudah memberi penjelasan yang cukup alasan “simpatik” Hoa In- liong. Yaa sayang Wan Hong-giok sudah terlalu terpengaruh oleh kobaran cintanya, bukan saja tidak menjadi sadar, ia malah terperosok lebih dalam.
“Hoa kongcu” katanya kemudian sesudah merenung sebentar, “Yang penting racun dalam tubuhmu harus disingkirkan dulu, tapi kalau kau ingin cepat tahu, yaa, baiklah aku katakan secara ringkasnya saja”
Setelah berhenti sebentar, dia berpaling kearah Hoa Si dan bertanya kembali, “Toa kongcu dalamkah ikatan dendam ayahmu dengan kaucu dari Mo-kauw?” Hoa Si mengangguk, “Yaa, aku rasa begitu, sebab sewaktu mencari harta karun dibukit kiu-ci-san, Mo-kauw kaucu memang dibikin keok oleh ayahku”
Pelan-pelan Wan Hong-giok alihkan pandangan matanya ke wajah Hoa In-liong. “Bila ditinjau dari pembicaraan mereka, tampaknya mereka juga punya dendam dengan ibumu?”
“Aku kurang begitu tahu” Hoa In-liong gelengkan kepalanya, “Cuma gwakong (engkong luar) ku adalah ketua Sin Ki-pang dimasa itu. Beliau ikut pula dalam peristiwa penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san. Jadi bila dikatakan ada dendam, maka besar kemungkinan kalau dendam itu dibuat pada masa tersebut”
“Aaaai…. Berbicara soal rencana busuk mereka, pada hakekatnya semua siasat mereka tertuju untuk memusuhi ayah ibumu. Rupanya rasa benci Mo-kauw kaucu terhadap ayah ibumu sudah merasuk sampai ketulang sumsum. Tapi lantaran mereka sadar bahwa kepandaian yang mereka miliki masih bukan tandingan kedua orang tuamu, maka diambilnya keputusan untuk melaksanakan operasi pembalasan dendamnya secara diam-diam. Selain menghimpun kekuatan dan melatih anak buahnya untuk lebih tekun berlatih ilmu, mereka juga memelihara pelbagai jenis binatang beracun untuk mempersenjatai diri. Selain itu merekapun berusaha menangkapi sandera-sandera yang akan mereka bunuh sebanyak-banyaknya. Aku rasa kekuatan seperti ini cukup mengerikan hati”
“Enci Wan, soal semacam itu tak perlu dibicarakan, tolong bicara saja tentang rencana busuk mereka!”
Wan Hong-giok mengangguk lirih. “Secara garis besarnya, rencana busuk mereka dapat dibagi menjadi rencana secara terang-terangan dan rencana secara tersembunyi. Selain itu dapat dibagi pula menjadi setengah terang dan setengah sembunyi. Yang termasuk rencana secara tersembunyi, boleh dibilang sudah dilaksanakan semenjak sepuluh tahun berselang”
“Sepuluh tahun berselang….?” Hoa In-liong terkesiap, “Lalu bagaimana dengan rencana mereka yang terang terangan?”
“Rencana mereka yang termasuk terang-terangan berpengaruh besar atas keselamatan seluruh dunia persilatan di daratan Tionggoan. Rencana tersebut baru dilaksanakan setelah soal “pembalasan dendam” terlaksana. Mereka hendak menguasai seluruh daratan Tionggoan dan melakukan pembantaian serta pengejaran secara besar-besaran terhadap musuh mereka”
“Hmmm….! Besar amat ambis mereka!” jengek Coa Wi-wi sambil mendengus dingin, “Sayang mereka terlampau tak tahu kekuatan sendiri!”
“Aaaai…. Tak bisa dikatakan begitu” Wan Hong-giok menghela nafas sedih, “Konon mereka berhasil mengendalikan sekelompok Bu-lim cianpwe yang berilmu tinggi untuk dijadikan penyerang-penyerang depan mereka. Jika benar- benar akan terjadi hari demikian. Payah…. payah…. hancurlah seluruh dunia persilatan kita”
“Waaah…. Masa sampai terjadi begitu?” Hoa In-liong rada berubah wajahnya, “Tahukah nona Wan, manusia-manusia macam apa saja yang berhasil mereka kuasai?”
Wan-Hong-giok menggeleng. “Soal ini bersifat sangat rahasia, jangan toh aku, Hong mereka sendiripun kurang jelas” “Aaah…. Omongan kosong! Gurauan mungkin….!” gumam Coa Wi-wi sambil gelengkan kepalanya berulang kali, rupanya ia tidak percaya.
Wan Hong-giok berpaling ke arah Coa Wi-wi. Bibirnya bergetar seperti hendak menerangkan sesuatu, tapi niat tersebut kemudian dibatalkan dengan begitu saja.
“Nona Wan, tolong terangkan lebih lanjut, apa yang dimaksudkan dengan rencana setengah terang setengah gelap mereka? “sela Hoa Si dengan perasaan ingin tahu.
Wan Hong-giok berpaling. “Rencana yang sedang mereka laksanakan saat ini adalah rencana setengah terang setengah sembunyi. Diantaranya yang termasuk setengah terang adalah manusia-manusia macam Hong Seng sekalian yang membentuk grup-grup secara terpisah dengan kelompok yang terdiri dari tiga sampai lima orang anggota Mo-kauw didampingi seorang sampah masyarakat dari bangsa Han.
Mereka semua menyusup kedaratan Tionggoan dengan maksud pertama, menyelidiki sampai dimanakah kekuatan yang sesungguhnya dari umat persilatan di daratan Tionggoan ini. Kedua. Merekapun berusaha mencari kesempatan untuk menawan kalian bersaudara, agar dikemudian hari mereka dapat menggunakan kalian sebagai sandera, apabila terbukti bahwa kepandaian mereka masih tak mampu menandingi orang tua kalian. Aku dengan grup-grup semacam itu mencapai jumlah sebaryak tiga sampai empat puluh grup”
Hoa Si cuma mangut-manggut saja ketika mendengar keterangan tersebut, dia membungkam dan tidak memberi komentar.
Tiba-tiba Wan Hong-giok menghela napas setelah berbicara sampai disitu. Sesudah berhenti sebentar, ia baru berkata lebih jauh, “Kalau dibicarakan sesungguhnya, maka yang paling menakutkan justru adalah rencana setengah gelap mereka. Secara diam-diam mereka telah berhasil menangkapi banyak jago persilatan yang tak mau tunduk kepada mereka. Dengan jiwa mereka memaksa anak murid atau putra putri tawanan mereka untuk melakukan pembalasan dendam terhadap anggota keluarga Hoa kalian. Dan ketahui dengan pasti ada sebagian kekuatan yang berhasil mereka himpun dengan cara seperti ini, sekarang kelompok kekuatan tersebut sudah mulai melaksanakan operasinya. Aaai…. Coba bayangkan sendiri, keadaan kita berada di tempat terang sedang musuh ada di tempat gelap, apakah teror semacam ini tidak kita kuatirkan?”
“Oooh….jadi Si-Nio dan majikanmu juga kena dipaksa oleh pihak Mo-kauw untuk membalas dendam kepadaku” pikir Hoa In-liong dengan cepat, “Jadi kalau begitu, keputusanku untuk membantu mereka berdua merupakan suatu tindakan yang bersifat demi kepentingan umum maupun demi keuntungan pribadi,”
Dihati ia berpikir demikian, diluaran segera jawabnya, “Ehmmm…. ditinjau dari rencana Mo-kauw kaucu yang begitu sempurna dan tersusun rapi, dapat kita ketahui betapa licik, buas dan busuknya manusia tersebut. Aku Hoa Yang pasti akan mencari kesempatan untuk berkelahi dengannya. Nona Wan apalagi yang sempat kau dengar?”
Betapa cemas dan gelisahnya Wan Hong-giok ketika dilihatnya pemuda itu sama tak acuh terhadap ancaman yang datang. Meski begitu si nona juga rikuh untuk memperlihatkan kegelisahannya, maka sesudah merenung sebentar sahutnya dengan sedih. “Kentongan pertama kemarin dulu malam seorang laki-laki berkerudung datang menjumpai Hong Seng. Orang itu mengakui dirinya sebagai anak buah Hian-beng kau. Setelah ia pergi, Hong Seng lantas menurunkan perintah untuk membekuk diriku dan menyiksanya dengan penyiksaan paling keji. Bila kubayangkan kembali semua kejadian tersebut, pastilah sudah bahwa antara dua perkumpulan itu tentu sudah bersekongkol”
“Macam apakah laki-laki itu?” tanya Hoa In-liong sambil megerdipkan matanya, “Dan siapa pula namanya? Apakah nona pernah menyaksikan pula orang-orang Kiu-Im kau berhubungan dengan mereka?”
“Orang itu berperawakan sedang, langkah tubuhnya tegap dan gagap, tampaknya ia belum terlampau tua. Aku tak tahu siapa namanya. Mengenai orang-orang Kiu-im kau, sampai detik terakhir aku tak pernah menjumpainya….”
Tiba-tiba Hoa Si menjura dan memberi hormat. “Terima kasih banyak nona atas keteranganmu” serunya kemudian, “Aku harus buru-buru turun gunung hingga tak bisa menemani engkau lebih lama lagi. Jika kau membutuhkan bantuan kami, silahkan dirundingkan dengan adikku, aku pasti akan berusaha dengan sepenuh tenaga”
Lalu ia berpaling kepada Hoa In-liong dan berpesan lebih jauh, “Jite, temanilah rona Wan bercakap-cakap. Cuma ilmu silat yang dimiliki nona Wan sudah punah, badannya jadi sangat lemah dan tak kuat berbicara terlalu lama. Kau sendiri juga tak boleh terlalu keras kepala, bila betul-betul kau miliki simhoat tenaga dalam yang istimewa, cepatlah coba di praktekkan”
Sejak dipengaruhi racun ular sakti, ketajaman mata Hoa In- liong sangat berkurang. Dia tak tahu kalau ilmu silat yang dimiliki Wan Hong-giok telah punah. Maka ketika mendengar hahwa ilmu silat yang dimiliki Wan Hong-giok sudah musnah, ia jadi kaget dan setengah percaya setengah tidak. Cepat ia berpaling dan diamatinya wajah si nona dengan seksama. Lantaran begitu, ia jadi tidak mendengar apa yang selanjutnya diucapkan Hoa Si.
Coa Wi-wi yang secara tiba-tiba melihat Hoa Si berlalu dengan terburu-buru justru dia yang jadi curiga, maka sebelum pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, dengan gelisah ia lantas berseru, “Toako, ada urusan apa yang membuat kau terburu-buru?. Kenapa kau tergesa- gesa turun gunung?”
Hoa Si memeriksa dulu keadaan cuaca, kemudian sambil alihkan pandangan matanya ia menjawab, “Gi-heng sudah mengadakan janji dengan Kiu-im kaucu di kota Ci-tin. Padahal sekarang sudah mendekati tengah hari. Bila tidak segera berangkat, aku kuatir kalau sampai mengingkari janji. Adik Wi, setelah aku pergi nanti, tolong aturlah perlindungan atas Jite dan nona Wan”
Begitu mendengar disinggungnya soal “Kiu-im Kaucu” Hoa In-liong merasakan sekujur tubuhnya bergetar keras ia berpaling dengan wajah tercengang. “Apa?” demikian teriaknya dengan gelisah, “Toako ada janji dengan Kiu-im kaucu? Ia menunggu dikota Ci-tin?”
“Yaa benar” Hoa Si mengangguk tanda membenarkan, “Sebelum fajar tadi, Kiu-im kaucu dan seorang manusia berkerudung telah munculkan diri disini, Ia berpesan agar aku ajak kau bertemu muka di kota Ci-tin”
“Ka…. kalau begitu, aku harus ikut” seru Hoa In-liong sambil meronta dan berusaha bangun.
“Tidak, kau tak boleh pergi “cepat Coa Wi-wi membimbingnya sambil berseru dengan cemas, “Sebelum racun ular yang bersarang ditubuhmu berhasil dipunahkan, apa gunanya engkau pergi?” “Kau tak tahu, perempuan itu terlalu sombong, dingin dan kukoay” teriak Hoa In-liong cemas, “Padahal Toako terlalu jujur dan polos….”
“Jite, aku toh baru saja menyuruh engkau jangan terlalu mencari menangnya sendiri, apa kau sudah lupa? “tukas Hoa Si dengan wajah yang amat serius.
“Tentang soal ini…. “ Hoa In-liong tergagap dan berusaha memberi penjelasan.
Tapi sebelum kata-kata tersebut berkelanjutan, Hoa Si telah menukasnya kembali seraya berkata, “Tak perlu kau katakan lagi, sekalipun Kiu-im kaucu itu dingin, sombong dan kukoay, aku yakin masih sanggup untuk menghadapinya. Bila kau masih belum melupakan nasehat keluarga, lebih baik beristirahatlah disini dergan hati yang tenang, tunggu sampai aku kembali”
“Nasehat keluarga “dua patah kata itu sangat berbobot. Seketika itu juga Hoa In-liong berdiri terbelalak dan untuk sesaat lamanya tak mampu berkata-kata lagi.
Dalam pada itu, selesai mengucapkan kata-katanya, Hoa Si pun berseru kepada Wan Hong-giok, “Baik-baiklah jaga dirimu nona!”
Lalu kepada Coa Wi-wi dia berkata pula, “Merepotkan nona untuk melindungi mereka!”
Kemudian dengan langkah lebar dia tinggalkan kuil bobrok tersebut dan turun gunung dengan cepatnya.
Sepeninggal Hoa Si, Hoa In-liong masih tetap duduk tak berkutik bagaikan sebuah patung arca. Untuk memecahkan kesunyian yang mencekam, Coa Wi-wi segera memerintahkan Ki-ji untuk mengambil rangsum kering dan dibagikan kepada beberapa orang itu.
Selesai bersantap, untuk mencari bahan pembicaraan, maka berkatalah Coa Wi-wi, “Enci Wan, kesemuanya ini adalah gara-gara ketidak becusan siau-moay sehingga mengakibatkan kau kehilangan ilmu silatmu, tentunya kau tak menyalahkan aku bukan?”
Hoa In-liong yang mendengar ucapan tersebut jadi tertegun, dia lantas berpaling dan memandang kearahnya dengan termangu.
Tapi dara itu pura-pura tidak tahu, dengan matanya yang jeli dia menatap wajah Wan Hong-giok menyahut, “Bila hian- moay berkata demikian, itu sama artinya dengan sengaja menyindir aku. Berkat bantuan kalian majikan pembantu dua oranglah nyawaku berhasil diselamatkan. Untuk itupun aku belum mengucapkan terima kasihku. Budi kebaikan tersebut sudah terukir dalam-dalam dilubuk hatiku dan sepanjang masa tak akan lupakan kembali. Bila diam-diam aku menyalahkan diri hian-moay lantaran ilmu silat musnah, bukankah aku ini lebih rendah dari seekor binatang!”
Maksud Coa Wi-wi bukan begitu, tapi ia pura-pura berseri, katanya lagi sambil tertawa, “Kalau memang begitu, siau- moay pun berlega
hati. Enci Wan, badanmu sangat lemah….”
Tapi sebelum ia sempat melanjutkan kata-katanya, mendadak Hoa In-liong menuding kearahnya sambil berseru, “Aaah…. Sekarang aku sudah ingat, bukankah kau adalah….” Suara “Aaah!” itu diucapkan sangat keras, baik Coa Wi-wi maupun Wan Hong-giok sampai tertegun dibuatnya.
Coa Wi-wi angkat kepalanya, tapi ketika dilihatnya Hoa In- liong sedang menuding kearahnya, ia lantas berseru dengan suara dalam, “Kau…. Kau apa? Aku mengira selamanya kau tak dapat buka suara lagi!”
Hoa In-liong sama sekali tidak menggubris atas sikap marah-marah dari gadis itu, serunya lebih jauh, “Rupanya kau adalah adik perempuan dari saudara Cong-gi. Haa…. haa…. haa…. Mirip betul penyamaranmu!”
Sambil berkata ia lantas menyambar ikat kepala yang dikenakan oleh Coa Wi-wi.
Begitu ikat kepalanya terlepas, rambut yang hitam dan panjangpun terurai kebawah.
Mula-mula Coa Wi-wi rada tertegun, tapi kemudian mukanya berubah jadi merah padam. Ia jadi malu bercampur gelisah, tangannya mencakar sana sini, sedang badannya segera dijatuhkan kedalam pelukan Hoa In-liong. “Kau….
Kau….”serunya manja.
Hoa In-liong terbahak-bahak, sepasang tangannya segera direntangkan untuk menangkap sepasang lengannya.
Pemuda ini adalah seorang yang berpikiran moderen dan tidak terlampau terikat olah peraturan. Penemuan tersebut sangat menggirangkan hatinya. Seluruh awan mendung yang menyelimuti benaknya juga tersapu tanpa bekas. Ia sudah bersiap-siap untuk menggoda Coa Wi-wi habis-habisan agar suasana jadi riang. Siapa tahu selama racun ular sakti masih mengeram dalam tubuhnya, tenaga yang ia miliki jauh dibawah garis normal.
Ketika Coa Wi-wi menubruk ke dalam tubuhnya, ia tak kuat menahan berat badan gadis itu, diiringi teriakan kesakitan robohnya pemuda itu ke atas tanah.
Teriakan tersebut sangat mengejutkan Coa Wi-wi. Cepat ia meronta dan bangkit berdiri.
Dalam gugupnya ia tak mengira kalau sewaktu jatuh badannya dalam posisi miring. Maka begitu dia meronta dan berusaha bangun, bukan saja gadis itu gagal untuk bangkit berdiri, malahan tubuh Hoa In-liong tertindih dibawah tubuhnya.
“Adik Wi!” Wan Hong giok segera berseru dengan cemas, “Racun ular sakti yang mengeram di tubuh Hoa kongcu belum punah. Kau tak boleh sembarangan bergerak, hati-hati kalau sampai melukai dirinya”
Masih mendingan kalau ia tidak berteriak. Mendengar teriakan tersebut, Coa Wi-wi semakin malu dibuatnya. Kalau bisa sekali depak dia ingin mendepak perempuan itu hingga terlempar dari hadapannya.
Ki-ji cepat bertindak dengan membangunkan Hoa In-liong dari atas tanah, sementara Coa Wi-wi sendiripun cepat-cepat menekan permukaan tanah dengan tangannya dan melompat bangun.
“Kau…. kau…. kau telah menganiaya diriku” serunya sambil membenahi rambutnya yang kusut.
Tiba tiba ia putar badan, lalu menutup mukanya dengan kedua belah tangan dan menangis tersedu. “Aku…. aku…. masa…. masa…. aku….” Hoa In-liong gelagapan setengah mati.
“Apa lagi yang hendak kau katakan? Kalau bukan kau aniaya diriku, lalu apa namanya?” dengan gemas Coa Wi-wi mendepak-depakkan kakinya keatas tanah.
“Aku…. aku…. betul-betul tidak kuat menahan badanmu…. hian….hian…. moay”
Tiba-tiba Coa Wi-wi berhenti menangis dan putar badannya menghadap kearah pemuda itu. “Baik! Sekarang katakanlah, kau harus memberi suatu keadilan….”
Belum habis perkataan itu diucapkan, tiba-tiba matanya terbelalak lebar, mulutnya yang melongo tak sanggup mengucapkan sepatah katapun.
Rupanya setelah mengalami perontaan tadi, Hoa In-liong kehabisan tenaga. Waktu itu ia berada dalam keadaan yang mengenaskan.
Sepasang alis matanya bekernyit, bibirnya gemetar, otot- otot hijau pada jidatnya pada menongol keluar, kulit wajahnya mengejang. Jelas racun ular sakti yang mengeram dalam tubuhnya telah kambuh dan sekarang ia sedang merasakan suatu siksaan yang luar biasa.
Wan Hong-giok mesti tak dapat menyaksikan perubahan wajahnya, tapi menyaksikan sikap Coa Wi-wi yang tertegun lantaran kaget, hatinya kontan saja jadi kecut.