Jilid 17
MENYAKSIKAN kemusnahan yang melanda kuil Cing-siu- koan, Bu-jian totiang sebagai koancu dari kuil tersebut merasa kehilangan ketenangannya sebagai seorang yang beribadah. Tingkah polahnya saat itu lebih mirip perbuatan dari orang gila.
Sambil menggertak gigi menahan geramnya, Hoa In-liong berdiri tertegun beberapa saat lamanya disana. Tiba-tiba ia ulapkan tangannya seraya berseru, “Ayoh jalan! Kita suruh Bu- jian totiang tenang lebih dulu sebelum berunding lebih jauh”
Mereka berdua berjalan diantara atap dan bata yang hangus, melewati tiang-tiang kayu yang masih membara dilantai. Disana sini terlihatlah mayat-mayat yang telah hangus menjadi arang.
Ada diantara mayat itu yang berada dalam posisi memeluk tiang, melompat jendela, ada yang terkapar ditanah, ada yang bergaya ingin kabur, ada pula yang tertindih dibawah reruntuhan hingga cuma kelihatan kepalanya atau sepasang kakinya belaka.
Tak dapat disangsikan lagi bahwa seluruh penghuni kuil Cing-siu-koan telah dibantai secara keji. Pemandangan semacam ini bukan saja menggetarkan perasaan, bahkan membuat orang merasa tak tega.
Mendekati ruangan tengah, Hoa In-liong segera berteriak keras-keras, “Tootiang….! Tootiang….! Kau jangan lari kesana kemari seperti orang hilang ingatan. Yang penting adalah tenangkan hatimu untuk menghadapi masalah yang jauh lebih penting….” Ketika mendengar seruannya itu, bukannya berhenti, Bu- jian tootiang justru menerkam datang seperti harimau kelaparan. “Bajingan keparat!” teriaknya setengah menjerit, “Apa kesalahan toyamu sehingga kau bertindak begitu kejam?”
Telapak tangannya segera dilontarkan ke muka segulung angin pukulan hawa panas yang amat dahsyat segera menyergap datang.
Hoa In-liong miringkan badannya kesamping. Begitu angin serangan berhasil dihindari, lengan kanannya segera bergerak maju ke depan, kali ini ia mengancam pergelangan tangan imam tersebut.
“Tenangkan hatimu!” sekali lagi dia membentak, “Kesedihan yang kelewat batas tak mungkin bisa mengatasi persoalan….”
Siapa tahu, sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, terasalah Bu-jian tootiang menggetarkan lengannya keras- keras sehingga tergetar lepas dari cengkeramannya, menyusul kemudian telapak tangan kanannya melancarkan bacokan kembali ke depan membabat bahunya.
“Kembalikan nyawa muridku!” Jeritnya lengking.
Dahsyat sekali angin serangan yang ia lancarkan ini bahkan kecepatannya bagaikan sambaran kilat.
Menghadapi ancaman seperti ini Hoa In-liong jadi kaget. Cepat ia menutul permukaan tanah dan mengigos delapan depa kesamping. Kebetulan Yu Siau-lam yang berada dibelakang menyusul kedepan. Begitu serangan dari Bu-jian tootiang mengena disasaran yang kosong, tiba-tiba ia alihkan terkamannya kearah pemuda itu, bahkan melepaskan sebuah bacokan dengan penuh tenaga.
“Bajingan, mau kabur kemana kau?” bentaknya, ”Rasakan dulu sebuah pukulan dari toyamu!”
Pukulan demi pukulan dilancarkan secara berantai. Dari caranya melancarkan serangan dapat diketahui bahwa ia sudah nekad dan ingin beradu jiwa. Dari sini dapat dibuktikan pula bahwa kesadaran otaknya sudah mulai luntur, ia tak dapat membedakan lagi mana kawan dan mana lawan.
Sementara itu Hoa In-liong berdiri tegap delapan depa diluar gelanggang pertarungan. Ia awasi jalannya pertarungan dengan seksama.
Tampaklah seluruh rambut dan janggut Bu-jian tootiang berdiri kaku seperti landak. Matanya melotot besar dan berwarna merah membara. Waktu itu tosu tersebut sedang mengawasi gerakan tubuh Yu Siau-lan lekat-lekat. Jeritan demi jeritan berkumandang tiada hentinya sementara telapak tangannya diobat-abitkan kesana kemari.
Anehnya, semua serangan yang ia lancarkan beraturan sekali dan menurut aturan yang ada. Sedikitpun tidak mirip orang yang kehilangan kesadaran.
Mula-mula ia merasa agak curiga, tapi setelah diperhatikan lebih jauh, akhirnya ia berhasil temukan keadaan yang sebenarnya.
Ternyata Bu-jian tootiang juga merupakan seorang jago yang berilmu tinggi, bahkan kungfunya terhitung luar biasa. Bila ditinjau sepintas lalu maka dapat diketahui bahwa tenaga dalamnya diatas kemampuan Yu Siau-lam, kemampuannya sudah terhitung kelas satu.
Mengapa selama ini Bu-jian tootiang menyimpan ilmu silatnya rapat- rapat? Hoa In-liong tidak punya waktu untuk berpikir lebih jauh. Apa yang dipikirkannya sekarang adalah bagaimana caranya untuk mengenangkan pikiran si koancu yang makin sinting ini.
Karenanya sesudah termenung sejenak, iapun berseru dengan lantang, “Perhatikan baik-baik saudara Siau-lam, tenaga dalam yang dimiliki Bu-jian tootiang sangat tinggi. Tapi ia sudah dibuat sinting karena kobaran hawa amarahnya mencapai otak. Nah, sekarang harap tenangkan pikiranmu, siau-te akan menyergap dari belakang, mari kita bekuk dulu tootiang ini sebelum berbicara lebih jauh”
Sebenarnya dengan tenaga gabungan Yu Siau-lam dan Hoa In-liong, bukan suatu perbuatan yang sulit bagi mereka untuk menaklukkan Bu-jian tootiang. Sulitnya justru mereka harus menyerang tanpa melukai korbannya apalagi Bu-jian tootiang sudah mendekati sinting. Ia hanya tahu beradu jiwa dan tak mengenal berkelit. Bila salah turun tangan hingga mengakibatkan hal-hal yang tak diinginkan, bukankah hal ini akan merupakan suatu penyesalan sepanjang jaman?
Waktu itu, Yu Siau-lam sedang berada dalam kurungan angin serangan yang menggulung-gulung bagaikan amukan hujan badai. Sementara ia makin keteter dan merasakan betapa beratnya daya tekanan yang dilancarkan Bu-jian tootiang, maka begitu mendengar seruan dari Hoa In-liong, anak muda itupun lantas sadar akan apa yang telah terjadi. Dengan cepat taktik pertarungannya dirubah. Sekarang ia mulai bertempur dengan sikap yang berhati-hati. Setiap menghadapi serangan dipatahkan dengan serangan.
Menghadapi sergapan dibalas dengan sergapan. Seluruh perhatiannya dipusatkan pada gerakan ilmu silat dari Bu-jian tootiang sedapat mungkin ia hindari pertarungan keras lawan keras dan sistim yang dianut adalah pertarungan ala gerilya.
Betul juga keadaan Bu-jian tootiang ibaratnya orang gila. Sekalipun Hoa In-liong berbicara keras namun ia sama sekali tidak mendengarnya. Imam tersebut masih juga menyerang Yu Siau-lam dengan garangnya diiringi teriakan-teriakan kalap.
Setajam sembilu sorot mata Hoa In-liong, diam-diam ia menyusup kebelakang imam itu. Kemudian begitu kesempatan baik telah tiba, jari tangannya lantas disentil kemuka.
Seketika itu juga tiga buah jalan darah penting dibelakang punggung Bu-jian tootiang kena di totok, tanpa mengeluh toosu itu terkapar ditanah dan tak mampu berkutik lagi.
Yu Siau-lam yang ada dihadapannya segara maju menyambut badannya, kemudian sambil menghembuskan nafas panjang keluhnya, “Aaai…. Sungguh tak kusangka kalau totiang ini juga seorang jago lihay dari dunia persilatan. Seandainya ia tidak sinting dan kesadarannya tersumbat, jelas siaute bukan tandingannya”
“Bukan waktunya bagi kita untuk membicarakan masalah tersebut pada saat ini. Ayoh kita geledah sekitar reruntuhan kuil ini. Coba lihat apakah masih ada yang hidup diantara para korban yang tergeletak disini….!”
Yu Siau-lam menengadah dan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sahutnya, “Aku rasa tak usah diperiksa lagi. Percuma, sekalipun diperiksa juga tak ada gunanya. Buat apa kita buang tenaga dengan percuma? Coba lihatlah reruntuhan disini, paling sedikit api sudah berkobar selama satu jam lebih. Bila ada yang belum mampus, seharusnya suara rintihan mereka sudah kedengaran semenjak tadi”
Hoa In-liong berpikir sejenak, ia merasa perkataan itu ada benarnya juga. Tapi ketika sinar matanya memandang mayat- mayat yang tergeletak bagaikan arang dan mencium bau sangit yang menusuk penciuman, dendam juga perasaannya, dengan gemas ia berseru, “Orang yang melepaskan api untuk membakar kuil ini betul-betul jahat dan buas!. Jika sampai kutemukan lagi dikemudian hari, Hoa loji pasti akan menjatuhkan hukuman yang paling keji kepadanya”
“Lebih baik dilalap juga dengan api, biar dia rasakan bagaimana rasanya kalau badan terbakar oleh api. Tapi siapakah yang melepaskan api dan membakar kuil ini?” tanya Yu Siau-lam ragu-ragu.
“Huuuh…. Siapa lagi? Tentu saja perbuatan dari Hong Seng” Teriak Hoa In-liong dengan gemas, “Karena gagal menyusul diriku, dia jadi kalap dan dalam kalapnya timbullah niat jahatnya untuk membantai seluruh anggota imam yang tinggal dikuil Cing-siu-koan ini, kemudian melepaskan api membakar kuil ini untuk melampiaskan rasa gemasnya.
Hmm…. Manusia berhati serigala macam begini betul-betul manusia yang tak berperi kemanusiaan buat apa manusia macam begitu dibiarkan hidup didunia?”
Yu Siaulam manggut-manggut berulang kali “Yaa, masih mendingan kalau mereka adalah suku asing! Yang paling menggemaskan justru Siau Khi-gi yang membuat kaum penjahat asing melakukan kekejaman serta kejahatan.
Manusia macam begini bukan saja telah melupakan nenek moyang sendiri, bahkan dia telah bertekuk lutut kepada suku asing. Dalam benaknya penah berisi akal-akal jahat untuk mencelakai bangsanya sendiri. Bila dugaanku tak keliru, pasti dialah yang mengeluarkan ide tentang pembakaran terhadap kuil ini”
“Yaa, kemungkinan besar ucapanmu benar” Hoa In-liong mengangguk, “Karena itu lain waktu kita musti lakukan penyelidikan yang seksama, jika terbukti memang dia yang ajukan usul tersebut, bangsat itu harus kita tangkap lalu kita cincang dengan keji”
“Yaa, manusia macam begitu memang pantas dicincang jadi berkeping-keping” Yu Siau-lam membenarkan.
Ia memandang sekejap keadaan Bu-jian tootiang, kemudian sambil menengadah ujarnya lagi, “Bagaimana dengan koancu ini? Bagaimana kalau kita bebaskan dulu jalan darahnya?”.
Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, lalu berkata pula, “Tempat ini letaknya sangat dekat dengan kota. Aku rasa kebakaran yang barusan terjadi tentu sudah diketahui pula oleh penguasa setempat. Daripada mencari kesulitan yang tak berguna, lebih baik kita tinggalkan dulu tempat ini”
“Benar!” Yu Siau-lam mengangguk, “Kita memang harus pergi dulu dari sini!”
Setelah mengambil keputusan, ia lantas membopong Bu- jian koancu dan berjalan lebih dulu menuju ke tenggara.
Setelah berjalan beberapa saat lamanya, Hoa In-liong berkata lagi, “Jalanan ini adalah jalan yang siau-te tempuh sewaktu datang kemari. Apakah kita akan kembal ke kota Kim- leng?” “Yaa, kita sedang bergerak menuju ke kota Kim-leng, bagaimana pendapat saudara In-liong?”
“Saudara Siau-lam apa tahu dimana letaknya bukit Yan- san?”
“Bukit Yan-san terletak disebelah barat kota Kim-leng, sebelah selatan kota Cian-siok. Dari kota Cian-siok paling banter juga cuma seratus li lebih sedikit. Arah yang kita ambil sekarang justru sejalan dengan tujuan kita. Kenapa? Apakah saudara In-liong hendak langsung menuju bukit Yan-san untuk memenuhi janji pertemuanmu dengan nona Wan?”
“Aaah…. mengadakan pertemuan sih, masih pagi. Yang siau-te pikirkan adalah soal janji nona Wan dengan kita untuk bertemu tiga hari kemudian di bukit Yan-san. Kalau toh ia bisa berkata begini berarti dia sudah tahu kalau Hong Seng sekalian hendak menuju sekitar bukit Yan-san. Apa salahnya kalau kita langsung menuju bukit Yan-san, sekalian menyelidiki gerak-geriknya?”
Sehabis mendengar perkataan itu, Yu Siau-lam segera memahami akan kebsnaran ucapan tadi, kontan pujinya, “Waaah…. kecerdasanmu memang satu tingkat lebih hebat dari pada orang lain. Didepan sana ada persimpangan jalan. Ayoh kita segera menuju ke bukit Yan-san”
Begitulah, meskipun pembicaraan dilangsungkan terus namun langkah kaki mereka tak pernah berhenti. Setelah berlarian satu jam lebih, sampailah mereka didepan sebuah hutan yang lebat.
Hoa In-liong memandang sekejap Yu Siau-lam yang berada disampingnya. Melihat peluh sudah membasahi sekujur badannya, dia pun berkata, “Saudara Siau-lam, mari kita beristirahat sebentar dihutan sebelah depan sana, sekalian kita tanyai keadaan Bu-jian tootiang”
“Begitupun boleh juga” Yu Siau-lam menjawab sambil tertawa, “Badan Bu-jian tootiang besar dan berat, aku memang sedikit merasa lelah!”
Maka kedua orang itupun saling berpandangan sambil terbahak-bahak, perjalanan dilakukan lebih cepat lagi menuju kearah hutan lebat didepan sana.
Hutan itu letaknya disuatu tikungan jalan raya, ketika mereka berdua berhasil mencapai tepi hutían tersebut tiba- tiba dari depan sana muncul segerombol manusia.
Lantaran kedua belah pihak sama-sama sedang melakukan perjalanan cepat, maka ketika berjumpa muka secara mendadak, kedua belah pihak sama-sama kaget dan tertegun.
Setelah rombongan semakin dekat, barulah terlihat bahwa rombongan yang datang dari sebelah depan sana berjumlah belasan orang lebih. Diantara mereka tampak pula Coa Cong- gi serta Li-Poh-seng. Selain itu ada pula Liat Ceng-poh dan Be Si-kiat diiringi delapan sembilan orang laki-laki berpakaian ketat. Mereka semua bersenjata lengkap. Jelas datang untuk memberi bantuan. Tapi karena perjalanan terlalu lambat maka sampai waktu itu baru tiba ditempat tujuan.
Setelah masing-masing pihak mengetahui siapakah lawannya, meledaklah teriakan-teriakan gembira yang gegap gempita.
Coa Cong-gi pertama-tama yang lari ke depan lebih dulu.
Sambil mencekal tangan Hoa In-liong erat-erat serunya kegirangan, “Saudara Hoa, sungguh amat payah kucari diri….” Tiba-tiba ia berpaling ke arah Yu Siau-lam dan melanjutkan, “Sudah kuduga, asal saudara Hoa tiba tepat pada waktunya, saudara Siau-lam pasti akan selamat tanpa kekurangan sesuatu apapun. Haa…. haa…. haa…. Ternyata tebakanku memang tidak keliru. Aku lihat paras muka Siau- lam heng merah bercahaya, tentu banyak bukan keuntungan yang berhasil kau dapatkan?”
Matanya celingukan kesana kemari, sikapnya hangat sekali.
Kalau bisa ia mempunyai dua lembar mulut sehingga semua perasaan gembiranya dapat di utarakan keluar sekaligus.
Yu Siau-lam dan Hoa In-liong sendiripun merasa amat gembira sekali, sebelum pemuda she-Hoa itu sempat buka suara, sambil tertawa nyengir Yu Siau-lam telah berkata lebih duluan, “Tahukah engkau, hasil apakah yang berhasil kudapatkan?”
Coa Cong-gi mengernyitkan alis matanya yang tebal, kemudian sambil menuding kearah Bu-jian tootiang sahutnya, “Bukankah dia adalah hasil yang diperoleh? Waaah….
Emangnya kau anggap aku ini bodoh dan ceroboh, sehingga seorang toosu segede itupun tidak kelihatan?”
Ternyata dia menganggap Bu-jian tootiang sebagai tawanan yang berhasil ditangkap dalam pertarungan yang barusan berlangsung.
Sebetulnya Yu Siau-lam hanya bermaksud iseng saja dan sengaja menggoda dirinya, tapi setelah menyaksikan keseriusan orang, selain merasa tak tega, diapun merasa geli sekali sehiagga tak kuasa lagi dia tertawa terbahak-bakak. “haa…. haa…. haa…. Betul…. Betul, Mari kita bercakap-cakap disana saja” Dicengkeramnya lengan pemuda itu, lalu diajak menuju kedalam hutan lebat situ.
Hoa In-liong sendiri sambit memegang perut sendiri menahan geli, diapun manggut-manggut ke arah Liat Ceng- poh dan Be Si-kiat untuk mengucapkan terima kasih.
Kemudian sambil berjalan bersanding dengan Li Poh-seng katanya, “Demi siau-te, saudara Poh-seng harus melakukan perjalanan jauh. Atas kesediaan saudara bersusah payah, tak lupa siau-te ucapkan banyak banyak terima kasih”
Li Poh-seng tertawa rawan. “Aaaah…. Terhadap sesama saudara, apa gunanya berbicara sungkan-sungkan? Keadaan ini tak ada bedanya dengan tindakanmu sewaktu semalam suntuk berangkat ke Hong-yang”
“Tidak bisa dikatakan sama jelas berbeda jauh” Tukas Hoa In-liong sambil gelengkan kepalanya, “Saudara Siau-lam mendapat kesusahan lantaran persoalan siau-te. Maka sudah menjadi kewajiban siau-te untuk memberi bantuan secepatnya”
Mendengar perkataan itu, Li Poh-seng tertawa terbahak- bahak. “Haa…. haa…. ha…. Apa bedanya antara kewajibanmu memberi bantuan dengan kerelaan kami membantu dirimu?
Bagaimanapun juga toh kita sama sama bermaksud membantu yang sedang susah dan menolong yang sedang terluka? Jika diantara sahabatpun tak boleh melakukan sedikit jasa seperti ini, lantas apa gunanya kita mengikat diri menjadi sahabat?”
Hoa In-liong tak ingin mendebat lebih lanjut, diipun segera mengangguk berulang kali, katanya sambil tertawa, “Apa yang saudara Poh-seng katakan memang cengli, siaute mengakui tak mampu mengalahkan muridmu” Sementara pembicaraan masih berlangsung, rombongan mereka sudah tiba dalam hutan lebat itu.
Seorang laki-laki setengah baya yang berwajah bersih maju kedepan dan memberi hormat kepada Yu Siau-lam, katanya, “Tentu kongcu Sudah mendapat banyak penderitaan yang mengejutkan hati bukan? Siau-te tak punya kepandaian hebat, ilmu silat juga biasa-biasa saja. Sungguh menyesal hatiku karena tak mampu menjalankan tugas untuk melindungi keselamatan kongcu dengan sebaik-baiknya”
Cepat Yu Siau-lam goyangkan tangannya berulang kail seraya menukas dengan lantang, “Harap saudara Lo jangan berkata demikian. Meskipun aku sendiri terkejut oleh kejadian itu, pada hakekatnya jiwaku tidak terancam bahaya maut.
Justru aku merasa berterima kasih sekali karena saudara sekalian begitu baik hati melakukan perjalanan jauh untuk mencari bala bantuan. Perbuatan kalian sudah cukup menunjukkan kesetia-kawanan kamu semua kepadaku. Jika saudara Lo berkata lebih jauh, bagaimana mungkin aku bisa mengatasi semua hal ini? Mari…. mari…. Kuperkenalkan kalian semua dengan saudaraku ini”
Setelah membaringkan tubuh Bu-jian tootiang ditanah, dia lantas perkenalkan mereka semua ke pada dia Hoa In-liong.
Ternyata laki-laki berpakaian ringkas yang membawa senjata lengkap itu adalah orang-orang yang pernah mendapat bantuan dari Yu Siau-lam dimasa lalunya.
Ada yang pernah mendapat bantuan berupa uang karena soal ekonomi yang macet, ada yang mendapat pengobatan sewaktu menderita luka. Ada pula yang pernah tinggal dirumahnya selama banyak waktu tanpa bekerja apa-apa. Laki-laki setengah baya yang berwajah bersih itu bukan lain adalah saudara tertua dari Liat Ceng poh dan Be Si-kiat. Dia she-Lo bernama Pek-sian. Dia juga yang menjadi komandan dalam operasi pertolongan terhadap diri Yu Siau-lam di kota Hong-yang.
Hoa In-liong menjura berulang kali sebagai balasan rasa hormatnya, kemudian sambil berpaling kearah Coa Cong-gi katanya, “Saudara Cong-gi, aku dengar engkau bertugas menjaga di kota Kim-leng. Tapi sewaktu aku lepas dari bahaya dan mencari dirimu kemana-mana, ternyata jejakmu tidak berhasil kutemukan, sebetulnya kau telah pergi kemana?”
oooOOOOooo
“WAAAH…. Waaah…. Apa lagi yang musti kukatakan? sahut Coa Cong-gi dengan cepat. “Kalau kau mencari aku, memangnya aku tidak sedang mencari dirimu? Setelah berlatih kungfu selama tiga hari, aku lantas berada disana lagi”
“Lho….! Bagaimana sih? Jadi kau tahu dimana aku telah disekap musuh?” tanya Hoa In-liong tercengang.
Dari nada ucapannya itu, dapat ditarik kesimpulan bahwa ia sedikit kurang percaya terhadap pengakuan rekannya. Sebab ia tahu Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang berangasan. Lagi pula ia saogat menitik beratkan dalam soal kesetiaan kawan tanpa mengindahkan resiko terhadap diri sendiri.
Berdasarkan wataknya itu, maka seandainya ia sudah tahu dimana ia disekap musuh, maka seharusnya kalau pemuda itu langsung turun tangan memberi pertolongan. Ternyata keadaan berbicara lain, ia bersikap lebih cerdas dan berotak dingin. Setelah menyadari bahwa kekuatannya seorang diri terlalu minim dan tak mungkin bisa menolong rekannya, ternyata ia malah berlalu untuk melatih diri selama tiga hari.
Baik Yu Siau-lam maupun Li Poh-seng juga tak berani mempercayai pengakuannya itu. Sinar mata mereka berdua sama-sama ditujukan ke atas wajahnya dengan pandangan tercengang.
Coa Cong-gi masih belum menyadari akan sikap aneh rekan-rekannya, ia masih juga berkata lebih jauh, “Tentu saja!
Kalau kalau tidak begitu, darimana aku bisa segera kirim kabar untuk mencari kembali saudara Poh-seng sekalian untuk berkumpul kembali?”
“Oooh…. Jadi kalau begitu, sewaktu kau utus orang untuk mengirim kabar, waktu itu kau sendiripun belum tahu jiwa Hoa-heng sudah terlepas dari mara bahaya?” kata Li Poh-seng seperti baru menyadari.
“Andaikata aku tidak berjumpa dengan saudara Ceng-poh dan Si-kiat, siapa tahu kalau dia sudah terlepas dari mara bahaya?”
Hoa In-liong yang berada disampingnya segera menyambung. “Itulah kalau takdir berbicara lain. Apa gunanya kita bicarakan lebih jauh? Yang paling penting adalah dimanakah saudara Ek-hong dan Siong-peng pada saat ini?”
“Kalau toh saudara Cong-gi sudah utus orang untuk mengirim kabar, aku pikir mungkin mereka sudah kembali semua di kota Kim-leng” Jawab Li Poh-seng. Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Mari kita duduk sambil berbicara. Kita bicarakan saja kisah tentang keadaan saudara Siau-lam sejak lolos dari bahaya!”
“Betul!” sambung Coa Cong-gi pula, “Apa yang sebenarnya terjadi dengan toocu itu? Kalian harus berbicara sejelas- jelasnya”
Maka mereka semuapun duduk bergerombol di atas tanah sambil mendengarkan kisah cerita.
Tentang pengalaman Hoa In-liong sewaktu meloloskan diri dari bahaya, boleh dibilang kejadiannya sederhana tanpa sesuatu yang aneh. Setelah disinggungpun berlalu dengan begitu saja.
Lain halnya dengan kisah lolosnya Yu Siau-lam dari ancaman bahaya. Oleh karena peristiwa itu menyangkut tentang diperkosanya Wan Hong-giok oleh Siau Khi-gi, disiksanya Yu Siau-lam secara keji, dibakar dan dibantainya anggota kuil Cing-siu-koan serta bangkitnya kembali perguruan Seng-sut-pay dari puing-puing kehancurannya. Maka bukan saja kisah ini sangat menarik hati, bahkan membangkitkan bawa amarah dalam benak masing-masing orang.
Diantara sekian banyak orang yang hadir disana, Coa Cong- gi paling tak tahan mendengar kisah kekejamaan dan kebuasan orang yang tak kenal peri kemanusiaan. Apalagi setelah mengetahui bahwa sintingnya Bu-jian tootiang adalah lantaran dibantainya semua anggota kuil Cing-siu-koan oleh gembong-gembong iblis, kemarahan yang berkobar dalam benaknya tak terbendung lagi.
Tiba-tiba ia memukul tanah keras-keras, kemudian berteriak dengan penuh kegusaran, “Gembong iblis sialan! Aku Coa Cong-gi bersumpah tak akan hidup sebagai manusia bila tak mampu mencingcang tubuh kalian hingga hancur berkeping-keping!”
Karena teriaknya yang menggeledek ini, penuturan kisah cinta itupun terputus untuk sementara waktu. Li Poh-seng yang duduk disampingnya segera berkata dengan serius, “Kau jangan marah-marah dulu. Bila kita tinjau dari situasi yang terbentang didepan mata sekarang, jelas hawa iblis sudah menyelimuti seluruh jagad. Kita tak mungkin bisa menganggur terus. Asal dilain hari kita jagal beberapa orang diantara mereka, bukankah sakit hati itu bisa segera dilampiaskan?”
Sewaktu mengucapkan kata-kata itu, suaranya tenang dan datar, sama sekali tidak dipengaruhi emosi. Dari sini dapat diketahui bahwa pemuda itu berpandngan jauh dan lebih pandai menguasai diri daripada rekan-rekannya.
Mula pertama Coa Cong-gi sudah busungkan dada sambil mengucapkan kata-kata yang bernada panas, tapi setelah mendengar perkataan itu, biji matanya lantas berputar lalu manggut-manggut. “Ehmm…. Betul juga perkataanmu, hawa iblis memang sudah menyelimuti seluruh jagat, kemarin malam, aku telah menyaksikan sendiri orang-
orang dari Hian-beng-kau berkasak-kusuk dengan Kiu-im kaucu”
Menyinggung soal Kiu-im kaucu, tanpa sadar Hoa In-liong merasa semangatnya berkobar kembali, cepat selanya, “Dimanakah kau berhasil mendengarkan kasak-kusuk mereka….? Cepat beritahu kepadaku!”
Dengan wajah berseri-seri karena bangga Coa Cong-gi tertawa ringan, lalu sahutnya, “Tempatnya? Tak lain dalam ruang sebelah depan dimana kau disekap tempo hari, waaah….! Banyak sekali yang berhasil kujumpai malam itu….
.!”
“Eeeh…. Sebenarnya apa saja yang berhasil kau jumpai?” tanya Hoa In-liong dengan dahi berkerut, “Mengapa tidak kau terangkan sejelas-jelasnya?”
“Tentu saja akan kuterangkan. Coba jawablah dulu sebuah pertanyaanku, apakah kenal dengan seorang cianpwe yang bernama Ko Thay?”
“Apalah kau maksudkan seorang laki-laki berperawakan tinggi kekar, berwajah tampan dam berwibawa sekali?”
“Benar! Benar!” Coa Cong-gi mengangguk berulang kali. “Memang dialah yang kumaksudkan. Usianya antara tiga puluh lima enam tahunan….”
“Tentu saja aku kenal. Dia adalah ahli waris dari Ciu-it- bong, Ciu-locianpwe. ilmu silatnya berasal dari bimbingan nenekku dan ayahku, aku sebut dia sebagai paman. Kenapa? Apa kau, telah berjumpa muka dengan dirinya?”
Paras muka Coa Cong-gi makin berseri setelah mendengar pertanyaan itu, jawabnya, “Bukan saja telah berjumpa, bahkan kusaksikan dengan mata kepala sendiri bagaimana dia lancarkan sebuah pukulan yang enteng untuk mengirim Kiu-im kaucu kabur pulang kesarangnya. Ha….ha….ha….
Kegagahannya waktu itu sungguh mengagumkan”
Hoa In-liong berdiri tertegun dengan mata terbelalak lebar, diam-diam pikirnya, “Sebenarnya apa yang telah terjadi? Kiu- im kaucu sudah mampus? Sejak kapan tenaga dalam yang dimiliki Paman Ko mengalami kemajuan yang demikian pesatnya?” Karena curiga dan tidak habis mengerti, ia lantas berseru, “Eeeh…. Kalau bicara sedikitlah lebih jelas. Lebih baik kau terangkan dari awal sampai akhir. Daripada aku dibikin kebingungan oleh ceritamu itu!”
“Apanya yang membuat kau kebingungan? Yaa begitu saja, sekali jotos dia lantas pulang ke rumah neneknya!”
Seraya berkata Coa Cong-gi lantas mengayunkan telapak tangan kirinya membuat gerakan seperti mau melancarkan satu jotosan. Li Poh-seng yang ada dihadapannya nyaris termakan bogem mentahnya itu.
Cepat-cepat Li Poh-seng mundur dan mengigos dari ancaman tersebut, kemudian sambil mencengkeram pergelangan tangan kirinya dia berkata lebih dulu, “Eeeh…. Kalau sedang bicara jangan main tangan, hati-hati kalau sampai kena orang! Ayoh terangkan dulu, apakah Kiu-im kaucu sudah mampus?”
Dengan tersipu-sipu Coa Cong-gi menarik kembali serangannya. “Dia belum mampus, cuma pulang kerumahnya dengan terbirit-birit” Jawabnya.
“Ooooo…. Tahu aku sekarang!” sambung Yu Siau jam yang berada disampingnya sambil tertawa, “Pukulan yang dilancarkan Ko tayhiap tentunya sudah membuat Kiu-im kaucu terluka berat bukan, sehingga ia terpaksa harus pulang kesarangnya untuk merawat luka dalamnya yang teramat parah itu?”
“Tebakanmu cuma betul separuh” Cepat Coa Cong-gi memberi penjelasan dengan wajah serius, “Kabur pulang kesarangnya memang betul cuma ia sama sekali tidak terluka” Semakin diterangkan semakin membikin orang jadi bingung dan tidak habis mengerti. Untuk sesaat semua orang jadi tertegun dan tidak habis mengerti.
Kalau toh Kiu-im kaucu tidak terluka, sebagai seorang tokoh persilatan yang berambisi besar mengapa ia rela meninggalkan musuhnya untuk ke bur kembali kesarangnya?
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya. “Aaaah….
Ceritamu itu cuma bikin orang makin mendengarkan semakin tak habis mengerti.
Lebih baik kau ceritakan sejak awal saja! Misalnya saja apa yang dibicarakan Kiu-im-kaucu dengan orang-orang dari Hian- beng kau? Secara bagaimana paman Ko-ku itu dapat berjumpa muka dengan Kiu-im-kaucu? Apa sebabnya Kiu-im kaucu kabur pulang ke sarangnya setelah terpukul oleh paman Ko ku itu? Dan waktu itu engkau
berada disana sehingga menyaksikan kesemuanya itu?
Kalau mau bicara harus terangkan satu persatu sehingga yang mendengarkan tak sampai bingung dibuatnya”
Mula-mula Coa-cong-gi tertegun, tapi lantaran sorot mata setiap orang sama-sama tertuju kearahnya dengan mata melotot. Lagipula sorot mata mereka semua terselip perasaan bingung dan tak habis mengerti maka dengan perasaan apa boleh buat dia manggut-manggut. “Baiklah!” katanya kemudian, “Akan kuterangkan sejak awal sampai akhir dengan sejelas-jelasnya!”
Matanya segera dipejamkan untuk mengumpulkan kembali semua kenangan dan pikirannya, lalu berkata, “Kemarin dulu malam, ketika aku baru pulang dari puncak bukit Ciong-san selesai berlatih silat, waktu itu sudah menjelang tengah malam. Karena sudah tiga hari tidak kujumpai dirimu, maka aku ingin menengok bagaimanakah keadaan waktu itu. Maka akupun tidak masuk kota tapi menelusuri kaki bukit kearah barat dan menuju ke tempat dimana kau disekap”
Berbicara sampai disini, sinar matanya lantas dialihkan kewajah Hoa In-liong, kemudian lanjutnya, “Tahukah kau, tiga hari berselang aku telah berkunjung pula kedalam gedung itu. Waktu itu kau sedang digantung orang diatas dahan pohon dengan kepala dibawah”
Tentu saja Hoa In-liong tidak akan tahu kalau rekannya pernah berkunjung kesitu, tapi diapun tidak membantah atau membenarkan, sambil tersenyum ujarnya, “Lanjutkan ceritamu lebih jauh! Hal yang bertele-tele tak perlu disinggung!”
Coa Cong-gi mengangguk, setelah tarik nafas panjang sambungnya lebih jauh, “Aku lari menuju ke halaman yang berada di paling belakang, namun di atas pohon tidak kujumpai dirimu lagi. Dalam gedung juga tak nampak sinar lampu. Waktu itu kukira kau sudah mendapat musibah diluar dugaan. Dalam cemasnya ingin kutangkap seseorang untuk mendapat tahu keadaanmu yang sebenarnya. Tapi oleh karena aku pernah merasakan betapa lihaynya ilmu silat yang mereka miliki, maka akupun tahu bahwa ilmu silat yang mereka miliki rata-rata luar biasa sekali. Untuk menghindari segala kemungkinan yang tak diinginkan, gerak-gerikku sengaja bertindak sangat hati-hati dan tidak gegabah.
Selangkah demi selangkah aku menyusup ke arah halaman depan….”
Mendengar sampai disini, diam-diam Yu Siau-lam berpikir dalam hati, “Heran, jadi kaupun tahu bagaimana harus berhati-hati dan tidak gegabah? Tumben amat nih!” Meskipun geli dalam hati, diluaran ia berkata pula, “Ayoh cepatan sedikit kalau bicara, yang tidak penting lebih baik jangan disinggung-singgung”
Coa Cong-gi melotot sekejap kearahnya, kemudian baru menyambung kembali kata-katanya, “Ruangan didepan sana terang benderang bermandikan cahaya. Ketika kuintip dari balik jendela, terlihatlah bayangan manusia berkumpul dalam ruangan itu, jumlahnya mencapai dua puluh orang lebih.
Waktu itu akupun berpikir: Mungkinkah
mereka sedang mengadili adik In-liong? Begitu ingatan tersebut melintas dalam benakku, mendidihlah darah yang mengalir didalam badan. Aku lupa akan pantangan dan segera menjejakkan kaki
siap menyerbu ke dalam ruang tengah”
“Aduuh mak….! Bukankah jejakmu akan segera ketahuan mereka….?” teriak Be Si-kiat sambil berseru tertahan.
“Huuh…. Aku saja tidak gelisah waktu itu. Kenapa kau malahan yang gelisah? Jika jejakku ketahuan, dari mana kejadian selanjutnya dapat kuketahui?”
Setelah berhenti sebentar, diapun menyambung lebih jauh, “Ada kalanya watakku memang berangasan, tapi untunglah ketika itu pikiranku masih dingin. Tiba-tiba saja satu ingatan melintas dalam bsaakku kembali aku berpikir: Aaah, tidak benar! Andaikata mereka betul-betul sedang mengadili adik In-liong, bila kuserbu dengan begitu saja, mana mungkin adik In-liong bisa kuselamatkan? Oleh karena itu dengan bersusah payah kutekan pergolakan perasaan dalam hatiku. Diam-diam aku menyelinap kesana dan memanjat sebatang pohon besar dari situ aku dapat mengintai keadaan dalam ruangan dengan amat jelas sekali”. Li Poh-seng segera menganggukkan kepalanya berulang kali, katanya sambil tertawa, “Benar juga kata pepatah kuno: Sekalipun kasar pasti ada kelembutan. Bila setiap saat kau bisa cekatan dan bertindak waspada, kami semua pun dapat berlega hati”
Mendengar ucapan itu contoh Coa Cong-gi mendelik besar. “Sialan, kenapa kau menukas terus pembicaraanku?” Teriaknya, “Kamu tahu, ceritaku sudah mencapai pada bagian- bagian yang terpenting?”
Li Poh-seng mengernyitkan alis matanya, dia lantas membungkam dan tidak berbicara lagi.
Setelah suasana hening untuk beberapa saat lamanya, Coa Cong-gi melanjutkan kembali kisahnya, “Ternyata dalam ruangan itu tersedia dua buah meja perjamuan. Diantara tamu yang hadir aku lihat ada seorang kakek bermuka merah berambut putih duduk dikursi utama pada meja tamu, sedangkan Kiu-im-kaucu mengeringinya dimeja lain. Sedang sisanya dipenuhi oleh para jago dari Kiu-im kau dan Hian-beng kau. Dari sikap serta hubungan mereka kelihatan sekali kalau hubungan kedua belah pihak sangat akrab. Hanya yang aneh tidak kujumpai bayangan tubuh dari adik In-liong”
“Oooh…. Kalau begitu, kakek bermuka merah berambut putih itu adalah kaucu dari Hian-beng kau?” tanya Hoa-In- liong.
“Bukan, dia cuma Thamcu dari markas besar perkumpulan Hian-beng-kau. Aku hanya tahu dia she-Toan bok, sedang namanya kurang jelas”
“Lantas yang kau maksudkan kasak-kusuk adalah kejadian setelah perjamuan itu berakhir?” “Tidak, kasak-kusuk berlangsung dalam perjamuan itu juga” Hoa In-liong tertawa geli.
“Kalau pembicaraan berlangsung dalam perjamuan itu juga, maka bukan kasak-kusuk lagi namanya!”
“Aaaai…. Istilah kasak-kusuk adalah aku sendiri yang memberinya. Waktu itu bersembunyi di atas sebuah pohon besar kurang lebih dua kaki dari ruangan karena terhalang oleh sebuah jendela,
lagipula pembicaraan mereka berlangsung keras dan lirih tak menentu. Maka aku jadi kurang begitu jelas menangkap isi pembicaraan mereka. Jadi dalam pandanganku, pembicaraan mereka bukankah berubah fungsinya menjadi pembicaraan kasak-kusuk?”
Begitu ucapan itu selesai di utarakan ke luar, kontan semua orang terbahak-bahak dengan kerasnya karena geli.
Coa Cong-gi mengerutkan dahinya melihat ia ditertawakan orang, segera bentaknya dengan suara dalam, “Eeeeh…. Apa yang kalian tertawakan? Apa yang salah dengan pembicaraanku barusan? Memangnya pembicaraan mereka untuk merundingkan bagaimana caranya mencuri ayam menggaet kantong dan melakukan pembunuhan serta kejahatan tidak pantas dikatakan sebagai kasak-kusuk yang berniat jahat?”
Sebenarnya semua orang ingin tertawa semakin keras, tapi lantaran mendengar kata-kata soal pembantaian dan kejahatan, sadarlah semua orang bahwa urusan yang mereka hadapi adalah serius. Mungkin juga pemuda itu memang berbasil menemukan suatu rahasia yang maha besar, maka sekalipun merasa geli tak seorangpun berani tertawa lebih jauh.
Ketika Hoa In-liong merelakan dirinya dibelenggu dan digantung secara terbalik oleh Bwee Su-yok, tujuannya yang terutama adalah ingin menyelidiki latar belakang persekongkolan antara perkumpulan Kiu-im kau dengan perkumpulan Hian-beng kau. Selain itu diapun ingin mencari tabu bagaimana cara mereka hendak menghadapi keluarga Hoa beserta latar belakang pembunuhan terhadap Suma Tiang-cing suami isteri.
Sekarang, pembunuhan berdarah atas keluarga Suma sudah jelas dan tak perlu diselidiki lagi, tapi latar belakang persekongkolan antara dua perkumpulan sesat ini masih belum diketahuinya hingga kini.
Maka begitu mendengar pembicaraan dari Coa Cong-gi tersebut, hatinya jadi terkesiap, buru-buru serunya, “Sudah…. Sudahlah…. Tak usah mencari kebenarran diatas huruf tulisan. Lanjutkan ceritamu apa saja yang berhasil kau dengar?”
“Benar-benar sialan” gerutu Coa-cong-gi sambil mengerutkan dahinya, “Ketika pembicaraan berlangsung hingga mencapai pada bagian yang terpenting, tiba-tiba mereka merendahkan nada suaranya, sehingga aku tak dapat mendengarkan dengan jelas”
“Kalau begitu, terangkan saja apa yang sempat kau dengar!”
“Jika digabungkan menjadi satu, maka persoalan tersebut mencakup dalam lima hal. Pertama mereka sedang berdaya upaya untuk menghadapi ayahmu. Kedua mereka menyinggung pula soal Giok teng hujin. Ketiga….” “Apa yang hendak mereka lakukan terhadap diri Giok-teng hujin?” tukas Hoa In-liong lagi dengan hati tercekat.
“Toan-bok thamcu yang mengusulkan persoalan ini. Dia berharap agar Kiu-im kaucu bisa berusaha sedapat mungkin untuk menemukan Giok-teng Hujin. Mengenai tujuannya…. Sayang aku tak sempat mendengarnya dengan jelas”
Diam diam Hoa In-liong menghela napas panjang. “Aaaai…. Kalau begitu, baiklah! Harap lanjutkan ceritamu lebih jauh….” katanya kemudian.
“Ketika perkumpulan Hian-beng kau akan di buka secara resmi pada bulan enam tanggal enam mereka bilang mengharapkan bantuan serta dukungan dari Kiu-im kau”
“Benar-benar sangut aneh” seru Hoa In-liong dengan dahi berkerut “Kalau toh kedua perkumpulan itu telah bersekongkol satu sama lainnya, didirikannya perkumpulan Hian-beng kau secara resmi, pasti sudah disetujui pula oleh pihak Kiu-im kau. Apalagi yang perlu dirundingkan secara khusus? Aku rasa dibalik kesemuanya itu pasti terselip rencana busuk lainnya!”
“Benar ada rencana busuk atau tidak, aku sendiri juga tak tahu, apa yang kudengar hanya itu-itu saja”
Hoa In-liong termenung, dia berpikir sejenak, lalu bertanya lagi, “Tahukah kau dimana letaknya markas besar dari perkumpulan Hian-beng kau?”
Coa Cong-gi berpikir sebentar sebelum menjawab, “Aku rasa agaknya dibukit See-mong-san-shia!”
“Bukit See-mong-san-shia? Kok rasanya belum pernah kudengar nama perbukitan itu?” Li Poh-seng yang berada disampingnya lantas menyela, “Kalau bukit See-mong-san-shia tidak ada, mungkin yang dimaksudkan adalah tanah perbukitan Gi-mong-san-ci”
Coa Cong-gi mengerdipkan matanya, tiba-tiba ia berteriak, “Yaa…. Yaa…. Betul! Tanah perbukitan Gi-mong, tempatnya dataran Ui-gou-peng ditanah perbukitan Gi-mong”
Kembali Li Poh-seng tersenyum. “Aku rasa saudara Cong-gi kembali salah dengar. Aku pernah berkunjung ke Thay-an, Lay-wa,
Sim-thay, Mong-in dan sekitarnya. Kemudian dari Thay-an berbelok ke tenggara melalui bukit Lay-san sampai perbukitan Mong-san. Disekitar
kota Sin-thay memang terdapat sebuah dataran yang bernama Hong-goa-peng”
“Kau pernah berkunjung ke bukit Gi-san?”
“Belum pernah!” Li Poh-seng gelengkan kepalanya berulang kali.
“Nah, itulah dia. Kalau kau sendiripun belum pernah berkurjung ke situ, dari mana kau bisa tahu kalau sama yang kusebutkan keliru? Kalau toh di bukit Gi Mong-san ada dataran Hong Gou-peng, kenapa tak mungkin kalau dibukit Gi-san ada pula dataran Ui Gou-peng?”
Yu Siau-lam segera tertawa tergelak-gelak. “Ha…. haa…. haa…. Sudah! Sudahlah! Jangan ribut lagi. Baik daratan Hong Gou-peng maupun daratan Ui Gou-peng, yang berbeda cuma satu huruf. Asal kita sudah tiba di tanah perbukitan Gi Mong- an, rasanya tak sulit untuk menemukan letak tempat itu. Adik Cong-gi, sekarang boleh kau sebutkan soal keempat” Coa Cong-gi rada termangu-mangu lalu menjawab, “Aku bakal mati menggantikan siapa?”
Yu Siau lam kontan tertawa tergelak. “Haa…. haa…. haa…. Kembali keliru besar. Coba katakan dalam soal keempat, siapa yang bakal mati menggantikan dirimu?”
Merah padam selembar wajah Coa Coag-gi, dengan wajah tersipu-sipu katanya, “Waah! Rupanya aku memang kembali salah dengar!”
Hoa In-liong tanpa terasa tersenyum sendiri sambil ulapkan tangannya memberi tanda ia berkata, “Tidak menjadi soal, harap kau lanjutkan penuturan itu, mungkin dari kisah selanjutnya kita dapat menarik suatu kesimpulan!”
“Berbicara yang sesungguhnya, maka dalam masalah yang keempat ini, sasaran yang mereda tuju sebetulnya adalah kau. Maka gerak gerikmu dikemudian hari harus lebih waspada dan berhati-hati. Jangan sampai kena ditunggangi musuh!”
“Apa maksudmu?” seru Hoa In-liong dengan perasaan terperanjat.
“Ketika membicarakan tentang dirimu, mereka berbicara paling banyak dan paling lama. Pokoknya mereka berusaha sekuat tenaga untuk menangkap dirimu hidup-hidup!”
“Apakah Bwee Su-yok yang mengusulkan ide tersebut?” tanya Hoa In-liong tanpa sadar.
“Bukan! Malam itu sikap gadis she Bwee itu sangat hambar dan dingin. Sepanjang perundingan berlangsung, ia cuma membungkan terus dalam seribu bahasa” “Lalu ide siapakah itu? Masa pendapat dari Kiu-im kaucu pribadi….” Seru Hoa In-liong tercengang.
Coa Cong-gi menggelengkan kepalanya lagi. “Menurut pengakuan Toan-bok thamcu, katanya ide ini adalah ide dari kaucunya dan ia minta Kiu-im kaucu bersedia menyumbangkan tenaganya dalam kerja sama itu”
Hoa In-liong semakin tercengang setelah mendengar kata- kata itu, serunya, “Apa alasan mereka untuk berbuat demikian aku kan seorang diri Bu beng siau cut (prajurit tak bernama). Mengapa Hian beng kaucu begitu memandang tinggi akan diriku?”
“Yaa, dewasa ini kau memang masih merupakan seorang Bu beng-siau-cut yang tak bernama. Tapi akhirnya kita toh harus mengerjakan suatu perjuangan untuk menghasilkan suatu karya yang gemilang. Sekalipun Kiu-im kaucu dan Hian- beng kaucu akan terbitkan keonaran dan kekacauan dalam dunia persilatan, namun kita semuapun sudah bersiap sedia menerima pimpinanmu untuk memberi pelajaran yang setimpal kepada mereka. Waktu itu tentunya kau bukan seorang Bu-beng-siau-cut yang tidak terkenal lagi”
“Benar!” Sambung Yu Siau-lam pula, “Generasi kita ini harus mempunyai juga seorang pemimpin yang pantas dan kaulah orang yang paling pantas untuk jabatan ini”
Li Poh-seng ikut berkata juga, “Jika markas besar dari perkumpulan Hian-beng kau betul-betul berada diperbukitan Gi-mong-san, maka keadaan dari generasi kita sekarang tak akan berbeda jauh dengan keadaan generasi yang lampau. Pada generasi yang lalu, Tong-thian-kau, Sin ki-pang dan Hong-im-hwe merupakan tiga kekuatan yang menguasahi jagad. Sementara pihak kaum pendekar dipimpin oleh ayahmu. Sekarang setelah tiba pada generasi kita, maka musuh yang kita hadapi adalah kaum Mo-kauw dari Seng-sut- pay di barat, Kiu-im-kau diselatan dan Hian-beng-kau ditanah perbukitan Gi-mong-san. Itu berarti ada tiga kekuatan juga yang menguasahi jagad. Maka aku rasa dari generasi muda sekarang, engkaulah yang paling cocok untuk mengisi jabatan pemimpin itu”
Ucapan yang saling susul menyusul dari ketiga orang itu sungguh membuat terharu hati Hoa In-liong. Tapi diapun bukan seorang manusia yang takabur dan tinggi hati. Apa yang dia pikirkan sekarang boleh dibilang jauh dari angan- angan untuk menjadi seorang pemimpin, maka dengan tersipu-sipu ia berkata, “Aaah, saudara bertiga terlampau menyanjung diriku. Aku merasa bahwa diriku hanya seorang manusia tak berguna. Tugas seberat ini tak berani kupikul dengan begitu saja. Apalagi perloalan ini bukanlah persoalan yang kupikirkan. Kalau toh Hian-beng kaucu begitu memandang tinggi diriku, tentu saja hal ini sama sekali tak ada hubungannya dengan kepandaian silatku, kemampuanku serta kecerdasanku. Alasan dibalik kesemuanya ini masih merupakan suatu tanda tanya besar bagiku. Lebih baik saudara bertiga jangan membicarakan tentang yang lain lebih dahulu, tapi bantulah diriku untuk memikirkan persoalan ini”
“Sudahlah, tak usah kau pikirkan lagi” kata Coa Cong-gi, “Pokoknya persoalan ini ada sangkut pautnya dengan ayah ibumu”
“Darimana kau bisa tahu?”
“Ayahmu adalah lambang kebenaran dari umat persilatan dari golongan lurus! Sedang ibumu adalah nyonya dari Thian- cu-kiam! Padahal tujuan mereka merajai dunia persilatan adalah untuk membuat buat keonaran dan kejahatan.
Gembirakah dan legakah perasaan mereka selama ayah ibumu mengganggu usaha mereka itu?” “Betul juga perkataan ini” diam-diam Hoa In-Liong berpikir, “Tampaknya tujuan mereka menangkap diriku adalah hendak dijadikan sandera untuk menggertak ayah ibuku”
Karena berpendapat demikian, maka diapun tidak mendebat lebih jauh, kembali katanya, “Memangnya mereka anggap ayah ibuku gampang digertak orang sehingga mandah menyerah begitu saja? Jika mereka berpendapat demikian, maka sia-sialah jalan pikiran tersebut. Yaa…. Sudahlah.
Urusan ini tak usah dibicarakan lagi, cepat katakan soal yang kelima”
Sembari putar otaknya untuk berpikir, Coa Cong-gi bergumam seorang diri, “Kelima…. Kelima….”
Tiba-tiba ia menengadah seraya berseru. “Sudah tidak ada lagi”
Jawaban ini membuat Hoa In-liong tertegun. Untuk sesaat dia tak mampn mengucapkan sesuatu.
L i Poh-seng yang berada disampingnya segera menyela, “Bukankah kau katakan bahwa kalau digabungkan semua maka jumlahnya meliputi dalam lima hal?”
“Yaa, tapi yang lain cuma tetek bengek yang tak ada artinya, tentu saja tak bisa hitung an”
“Apa yang kau artikan tetek bengek?” sela Yu Siau-lam pula, “Kenapa tidak kau katakan juga agar bisa kita bahas dan analisa bersama-sama….?”
“Aku rasa tiada berharga bagi kita untuk membahas dan menganalisanya kembali” Tukas Cong-gi cepat. Hoa In-liong tersenyum. “Bukankah kau katakan bahwa mereka merundingkan persoalan yang menyangkut tentang keamanan dunia persilatan serta rencana melakukan pembunuhan? Aneh, mengapa sampai sekarang belum kudengar sesuatu hal yang menyangkut tentang kenyataan tersebut? Apa sebabnya bisa demikian?”
Coa Cong gi mengerutkan dahinya. “Tapi memang begitu kenyataannya! Apa yang berhasil kudengar telah kuucapkan semua, yang belum kusinggung juga melulu nama dari beberapa orang, tak ada alasan lain yang dapat kukatakan lagi….”
“Nama-nama siapa yang mereka singgung?”
“Waaah banyak sekali ! Siapa itu Sim Cia? Siapa itu Jin Hian! Cu-im tauto! Thiaa-ek lo-to! Ciu Thian-hau dari Hong- san! Pokoknya banyak sekali nama-nama orang yang mereka sebutkan. Lagipula sewaktu menyebutnya tidak bersamaan tapi berputus-putus. Untuk sesaat aku rada susah untuk mengingatnya semua secara bersama. Sekalipun masih ingat, namun tak berani kupastikan apakah namanya itu benar atau tidak. Coba bayangkan sendiri, mana mungkin hal ini bisa kugabungkan menjadi satu soal serta menerangkannya secara jelas?”
Dalam anggapannya hal ini sama sekali tak berguna, ia anggap persoalan itu hanya urusan tetek bengek yang sama sekali tak ada artinya. Siapa tahu justru nama-nama yang disebutnya itu bagi pendengaran Hoa In-liong merupakan geledek yang menyambar ditengah siang hari bolong, seketika itu juga hatinya jadi tercekat.
“Waah…. Waah…. Itu namanya suatu komplotan yang berencana, nama-nama yang mereka singgung itu sudah pasti bukan bertujuan untuk dihubungi untuk diajak berkomplot tapi menyusun rencana untuk membinasakannya. Seperti juga ketika mereka mencelakai jiwa Suma siok-ya dan isterinya. Kalau tidak ada gunanya mereka singgung-singgung kembali para tokoh persilatan yang sudah banyak yang mengasingkan diri dan tak ketahuan jejaknya lagi itu?”
Namun mesti ia berpikir demikian dalam hatinya, perasaan kaget dan terkejutnya sama sekali tidak diperlihatkan diatas wajah. Ia merasa lebih baik tak usah menyinggung lagi persoalan itu karena tiada bukti nyata yang didapatkan, dikuatirkan pengungkapan persoalan itu justru malah mengacaukan pikiran orang banyak.
Maka sambil tersenyum lirih Hoa In-liong berkata, “Jadi kalau begitu, hanya sedemikian banyak saja persoalan kasak kusuk yang kau maksudkan itu?”
“Akukan menyinggungnya secara garis besar. Padahal dalam kenyataannya mereka sambil makan sambil berbicara, perjamuan itu berakhir setelah lewat tengah malam”
“Bagaimana kemudian setelah perjamuan selesai?’” “Yaa bubaran tentunya!” jawab Coa Cong-gi polos.
Hoa In-liong tersenyum. “Aku tahu, mereka pasti bubaran, maksudku apakah setelah bubaran orang-orang dari Hian- beng kau juga pada angkat kaki?”
“Lho…. Aneh benar! Dari mana kau bisa tahu….?” seru Coa Cong-gi tertegun.
Kembali Hoa In-liong tertawa, “Apanya yang susah untuk menduga sampai disitu? Mungkin tak lama setelah kejadian itu paman Ko-ku itupun muncul disana. Seandainya orang-orang dari Hian-beng kau masih hadir disana, suatu pertarungan yang amat serupun akan segera berlangsung dan berada dalam keadaan seperti ini tak mungkin Kiu-im kaucu sampai angkat kaki kabur pulang kesarangnya….”
Coa Cong-gi bertepuk tangan sambil bersorak memuji. “Betul…. Betul…. memang begitulah keadaannya. Nah, dengarkan kisahku selanjutnya “
Timbul kembali kegembiraannya untuk berbicara. Sebelum Hoa In-liong buka suara, ia telah berkata lebih dulu, “Selesai perjamuan, orang-orang dari Hian-beng kau pada pamit dan berlalu dari sana. Kiu-im kaucu sendiri rupanya sedang dirunding banyak persoalan yang memusingkan kepalanya.
Setelah membuyarkan anak buahnya, seorang diri ia berjalan mondar-mandir dalam halaman itu sambil bergendong tangan. Menggunakan kesempatan yang sangat baik itulah aku berputar satu lingkaran disekitar gedung untuk mencari jejakmu. Menanti aku balik lagi ke halaman depan, ternyata dihadapan Kiu-im kaucu telah tertambah dengan seseorang dan orang itu tak lain adalah paman Ko mu itu. Cctt…. ctttt…. Paman Ko mu itu memang luar biasa, badannya tinggi tegap, wajahnya keren, berwibawa dan berilmu tinggi juga. Waah! hebat sekali!”
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, pikirnya, “Begitu saja sudah kagum, apalagi kalau sampai berjumpa dengan ayahku….”
“Apa sebabnya paman Ko ku itu ditengah malam buta pergi mencari Kiu-im kaucu?”
“Dia mencari kau1″ Sahut Coa Cong-gi dengan dahi berkerut.
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Kewibawaan Kiu-im kaucu memang luar biasa sekali. Ketika aku tiba kembali ditempat semula, kusaksikan raut wajahnya dingin kaku seperti es dan sedang membentak dengan suara ketus, “Siapa kau? Tengah malam buta begini kenapa datang berkunjung ke rumah orang?” ternyata paman Ko mu itu juga amat gagah, dia lantas menjawab dengan lantang:” Aku Ko Thay, khusus datang kemari untuk minta keringanan tanganmu. Haa…. haa…. haa…. Jawaban ini memang tepat sekali. Mungkin sepanjang hidup aku Coa Cong-gi tak dapat menirukannya dengan persis”
Hoa In-liong kuatir kalau ia membawa pokok pembicaraan itu kesoal lain, maka cepat-cepat, timbrungnya, “Bagaimana selanjutnya? Bagaimana jawaban dari Kiu-im kaucu….?”
“Mula-mula Kiu-im kaucu tampak agak tertegun. Menyusul kemudian setelah mendengus dingin ia menjawab, “Hmm, manusia yang tak punya namapun berani mintakan ampun bagi orang lain! Betul-betul tak tahu diri!”. Paman Ko itu pun tidak tersinggung. Dia langsung menjawab lagi, “Aku memang seorang manusia yang tak punya nama. Tapi nama besar dari Hoa Thian-hong tentu tak asing bukan bagi pendengaran Kaucu? Nah, aku datang kemari untuk meminta kembali kongcunya”. Setelah perkataannya itu diutarakan keluar, bukan saja Kiu-im kaucu dibuat tertegun seketika itu juga, sekalipun aku juga ikut tertegun”
“Tak aneh kalau dia tertegun” kata Hoa In-liong kemudian, “Waktu itu aku sudah pergi. Tentu ia tak tahu bagaimana musti menghadapi
persoalan ini. Tapi entah bagaimana jawabannya kemudian?”
“Ia tertegun untuk sesaat lamanya, kemudian katanya, “Suruh Hoa Thian-hong datang sendiri!” Tapi tindakan paman Ko lebih cerdik, dia tidak menanggapi ucapan tersebut. Sebaliknya mengangkat lengan kirinya dan langsung menyodok kemuka. Ketika itu aku dibuat terheran heran oleh tindakan itu. Sedangkan Kiu-im-kaucu tiba-tiba berteriak dengan rasa terperanjat, “Kun-siu-ci-tau! Apa hubunganmu dengan Hoa Thian-hong?”. Jawab paman Ko mu itu:” Yaa benar, tempo dulu pukulan ini memang bernama Kun-siu-ci- tau, tapi sekarang bernama Hu-im-sin-ciang. Entah pukulan tersebut apakah pantas mewakili Hoa Thian-hong?” Baru saja perkataannya selesai diutarakan tiba-tiba terdengar suara gemuruh yang amat nyaring berkumandang memecahkan kesunyian. Ternyata sebatang pohon besar yang tingginya lima kaki disebelah kiri telah terhajar patah jadi dua bagian, dengan menimbulkan suara keras pohon itu tumbang ketengah halaman”
Ia berhenti sebentar untuk tukar napas, kemudian lanjutrya lebih jauh, “Ternyata sikap Kiu-im-kaucu cukup gagah, segera ujarnya dengan suara dingin, “Perduli ilmu pukulan itu ilmu pukulan sakti apa. Yang pasti ilmu silatmu berasal dari Hoa Thian-hong. Itu berarti kau memang berkewajiban untuk datang minta kembali putranya. Tapi akupun ada sepatah dua patah kata hendak dikatakan kepadamu. Cuma takutnya kau tidak mau percaya.” Paman Ko-pun menyahut, “Kau adalah ketua dari suatu perkumpulan besar, tentu saja apa yang kau katakan akan kupercayai sepenuhnya. “Kiu-im-kaucu kembali berkata, “Senja berselang, Hoa In-liong telah pergi tanpa pamit, percayakah kau?” Bila di katakan pergi tanpa pamit, siapa yang mau percaya? Waktu itu aku langsung mengumpat didalam hati, “Sialan, ngomong juga seenaknya sendiri!” Siapa tahu setelah tertegun sejenak, paman Ko segera memberi hormat seraya berseru, “Maaf, mengganggu!” diapun putar badan dan berlalu dari sana”
Yu Siau-lam lantas menyela dari samping. “Apakah lantaran Ko tayhiap berhasil mematahkan sebatang pohon dengan pukulannya, maka Kiu im kaucu kabur pulang kesarangnya?” “Tentu saja tidak sesederhana itu” jawab Coa Cong-gi, “Aku sangat kagum menyaksikan kegagahan serta kewibawaan Ko tayhiap. Tampaknya Kiu-im kaucu dibuat jengkel oleh polah musuhnya. Ketika Ko tayhiap hendak berlalu dari sana, ia lantas mendengus dingin sambil menegur, “Hmm, mau datang lantas datang, mau pergi lantas pergi. Sikapmu itu betul-betul tak pandang sebelah matapun terhadap diriku”. Mendengar teguran tadi, Ko tayhiap menghentikan langkahnya seraya
menjawab, “Apakah kaucu tidak senang hati dan ingin memberi beberapa jurus petunjuk ilmu silat kepadaku?”. Kiu- im kaucu berkata kasar, “Yaa benar, sebelum pergi dari sini, sambutlah sebuah
pukulanku lebih dahulu”. Ko tayhiap dengan gagah menerima tantangan itu, “Aku sudah siap menunggu pelajaran!”. Maka kedua orang itu saling bertarung”
“Bagaimana akhirnya?” sela Yu Siau-lam dengan gelisah. “Aku sih tak tahu bagaimana hasilnya. Hanya kulihat angin
pukulan kedua orang itu saling beradu keras, menyusul kemudian Ko tayhiap mundur setengah langkah, sebaliknya Kiu-im kaucu sempoyongan setengah harian sebelum ia berdiri tegak. Menanti kuda-kudanya dapat dikokohkan kembali Ko tayhiap sudah berlalu dari sana sambil berkata. “Selamat tinggal!”
“Jadi kalau begitu, Kiu-im kaucu belum menderita kalah?” tanya Yu Siau-lam kemudian.
“Aku sendiripun tidak tahu, tapi sepeninggalnya Ko tayhiap, tiba-tiba Kiu-im-kaucu bergumam seorang diri:” Aaaai….
Sudah tua! Sudah tua! Aku memang sudah terlalu tua!” Kemudian ia berjalan mondar mandir lagi dalam gedung sambil bergendongan tangan”
“Kalau cuma begitu saja, toh beilum pasti kalau Kiu-im kaucu telah pulang kesarangnya?” desak Yu Siau-lam.
“Ucapan memang betul, tapi kisahnya masih ada.
Dengarkan dulu penuturanku selanjutnya.”
Setelah berhenti sebentar, ia baru melanjutkan kisah ceritanya, “Demikianlah, sambil berjalan maju mundur Kiu-im kaucu putar otaknya memikirkan masalah yang ia hadapi.
Selang sesaat kemudian tiba-tiba ia masuk keruang tengah dan mengumpulkan segenap tongcu dan anak buahnya.
Dihadapan anak buahnya itulah dia umumkan pengunduran dirinya dan menyerahkan kedudukan kaucu itu kepada Yu beng tiamcu Bwee Su-yok dan hari itu juga ia bertolak menuju keselatan. Mengenai kejadian yang lebih terperinci, akun rasa tak perlu diterangkan lagi”
Ketika Yu Siau-lam mendengar bahwa ia telah mengakhiri kisah cerita itu, segera ujarnya lagi, “Woow…. Kalau cuma begitu saja, tak dapat dikatakan kalau dengan sebuah pukulan berhasil mengusirnya pulang kekandang, Cuma….”
“Cuma kenapa lagi?” seru Coa Cong-gi sambil mengernyitkan alis matanya yang tebal.
Yu Siau-lam menengadah dan menjawab, “Aku rasa kejadian semacam ini belum pantas untuk dikatakan sebagai bangkitnya hawa iblis yang menyelimuti jagad. Pada umumnya tenaga dalam yang dimiliki si iblis tua lebih sempurna dan hatinya lebih buas dan keji. Jika si iblis kecil yang melanjutkan kedudukannya, maka baik dalam hal tenaga dalan maupun dalam hal kekejaman, dia tentu kalah satu tingkat jika dibandingkan dengan siiblis tua. Maka menurut pendapatku, keadaan semacam ini mestinya merupakan suatu warta gembira bagi kita semua”
“Warta gembira?” Coa Cong-gi melotot besar. “Memangnya kau anggap Bwee Su-yok adalah seorang gadis perawan yang lemah lembut dan berhati penuh welas kasih? Tanyakan sendiri kepada saudara Hoa, betapa dingin dan kakunya perempuan itu? Betapa buas dan kejamnya dia? Berbicara soal ilmu silat, mungkin Hoa lote sendiripun belum tentu merupakan tandingannya!”
Sekarang Yu Siau-lam baru terperanjat. Tanpa sadar matanya terbelalak lebar dengan mulut melongo. Untuk sesaat ia tak mampu nengucapkan sepatah katapun.
Hoa In-liong pribadi, ketika didengarnya bahwa Bwee Su- yok telah menerima jabatan kaucu dari Kiu-im-kau, pelbagai perasaan bercampur aduk dalam hatinya. Perasaan itu yaa getir, yaa manis yaa kecut, yaa pedas. Pokoknya begitu bercampur aduknya perasaan hatinya, sampai-sampai dia sendiripun tak dapat membedakan perasaan tersebut.
Saking kesalnya, ia ambil keputusan untuk tidak memikirkannya lebih jauh. Maka dicarinya alasan untuk mengalihkan pokok pembicaraan ke soal lain. “Saudara Cong- gi!” katanya kemudian, “Urusan ini tak usah kita bicarakan lagi, apakah kau masih punya rangsum kering dan air?”
Coa Cong-gi merupakan seorang laki-laki yang polos dan jujur. Setiap kali ia merasa ada perkataan yang tak betul, pemuda itu siap untuk mendebatnya. Meski demikian, wataknya cukup baik. Dia memang cepat naik darah, tapi cepat pula marahnya jadi buyar, apalagi ditimbrung urusan lain, maka persoalan yang pertamapun akan terlupakan sama sekali dengan cepatnya. Terutama sekali terhadap Hoa In-liong, boleh dibilang perhatiannya sungguh sungguh. Begitu mendengar kalau pemuda itu membutuhkan rangsum kering dan air, diapun lantas berteriak, “Heei…. Siapa yang mempunyai air dan rangsum kering? Ayoh bagi dua bagian kemari!”
Be Si-kiat yang mendengar seruan tersebut, segera menghantar dua bagian air dan rangsum ke depan.
Setelah menerima air dan rangsum kering, Hoa In-liong membagi satu bagian untuk Yu Siau-lam dan mereka berduapun bersantap dengan mulut membungkam, sebab kedua belah pihak sama-sama mempunyai perasaan yang amat berat.
Untuk sesaat suasana jadi hening dan amat sepi. Angin yang berhembus lewat menggoyangkan daun pohon hingga menerbitkan bunyi gemerisik yang nyaring. Suara tersebut seakan-akan bunyi anak panah yang menembusi awan. Begitu tajam dan keras membuat hati orang berdebar dan merasa duduk tak tenang.
Beberapa saat sudah lewat, akhirnya Coa-Cong gi yang pertama tama tak tahan oleh keheningan di tempat itu. Ia lantas bangkit berdiri dan berjalan mondar-mandir kesana- kemari.
Selang sejenak kemudian, tiba-tiba matanya tertumbuk dengan tubuh Bujian tootiang yang tergeletak ditanah, ia segera berhenti ambil teriaknya, “Eeeh…. Jalan darah dari tootiang ini apakah boleh dibekaskan sekarang?”
Selama ini, perhatian semua orang tertuju untuk mendengarkan cerita dari Coa Cong-gi tentang persoalan Kiu- im kau. Sementara Bu-jian tootiang yang tergeletak di tanah, terlupakan untuk sementara waktu. Maka begitu Coa Cong-gi berteriak, Hoa In-liong lah yang pertama-tama menjadi sadar. “Oh-iya…. Biar aku yang membebaskan sendiri. Biar aku saja yang mengerjakan sendiri!” serunya cepat.
Rangsum dan airnya dibuang ke tanah, kemudian bangkit dan menghampirinya.
Yu-Siau-lam pun menjadi teringat kembali akan imam itu, sambil menengadah tegurnya, “Apakah perlu Siau-te bantu?”
“Harap kau bersiap siaga saja dengan waspada jika kesadaran otaknya belum pulih kembali seperti sedia kala, tolong totoklah jalan darah tidur Hek tian hiatnya!”
Yu Siau lam mengangguk, maka Hoa In-liong pun menyalurkan tenaga dalamnya ke jari tangan. Kemudian dalam sekali sentilan jari saja ia telah berhasil membebaskan jalan darahnya yang tertotok.