Jilid 11
SEPANJANG pembicaraan itu berlangsung, Hoa In-liong dengan pandangan matanya yang tak berkedip selalu mengawasi setiap gerakan dan tingkah laku Kiu-im-kaucu, mendengarkan pula setiap perkataan yang diucapkan olehnya.
Dari hasil pengamatannya itu, kesan pertama yang melintas dalam benaknya adalah Kiu-im-kaucu seorang perempuan itu berotak brilian dan betul-betul seorang musuh yang sukar ditandingi.
Sekalipun Kiu-im-kaucu memuja ayahnya setinggi langit dan menunjukkan sikap hormatnya, akan tetapi Hoa In-liong juga bukan seorang pemuda yang bodoh, makin melangit pujian perempuan itu makin tinggi kewaspadaannya terhadap orang tersebut.
“Apa yang sebenarnya telah terjadi?” demikian ia terpikir dalam hatinya, “Jelek-jelek Huan-tong adalah seorang tongcu perkumpulan Kim-im-kau. Lagipula diapun kedudukannya sebagai seorang tamu kehormatan, tidak sepantasnya kalau Kiu-im-kaucu mengucapkan kata-kata “Masih banyak mengandalkan dirimu dalam persoalan” dan sebangsanya dihadapan orang lain. Sebenarnya apa yang dia butuhkan?”
Sementara pikiran masih melayang kesana kemari memikirkan psrsoalan itu, dengan suara lantang Kiu-im-kaucu telah berseru kembali, “Hoa siau hiap, harap engkau datanglah sebentar kemari!”
Pada saat kebengisan dan keseraman yang menghiasi wajah Kiu-im-kaucu sudah lenyap tak membekas, sebagai gantinya senyum manis penuh menghiasi ujung bibirnya, caranya berbicarapun halas dan penuh keramah-tamahan. Agak tertegun Hoa In-liong menghadapi keadaan seperti itu, bibirnya bergerak separti hendak mengucapkan sesuatu, namun maksud tersebut akhirnya diurungkan, sesaat lamanya dia bingung dan marasa kehilangan pegangan.
“Kami tak mau kesitu!” tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi menyahut dengan suara nyaring.
“Tapi aku kan tidak suruh engkau yang datang kemari?” kata Kiu-im-kaucu sambil tertawa.
Untuk sesaat Coa Cong-gi tertegun, kemudian sahutnya, “Tapi….. tapi….itu toh sama saja, kenapa kami harus menuruti perkataanmu?”
“Aaaah! Kamu ini benar-benar seorang manusia yang tak tahu aturan” damprat Kiu-im-kaucu sambil tertawa “Jelek-jelek aku kan seorang nenek tua, sekalipun ada persoalan yang hendak dibicarakan, masa orang tua yang musti menghampiri yang muda? Itu kan namanya tak tahu sopan santun?”
Betul juga perkataan itu! Yang lebih muda sepantasnya menghormati orang yang lebih tua dan sewajarnya pula kalau yang lebih muda yang menghampiri orang yang lebih tua, bukan orang yang tua menghampiri orang muda, karena memang begitulah menurut tata kesopanan dan adat seorang manusia yang benar.
Coa Cong-gi jadi terbelalak dan gelagapan setengah mati, dia tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
“Masuk diakal juga perkataannya itu” akhirnya Hoa In-liong berbisik dengan lirih “Mari kita ke-situ!”
Selangkah demi selangkah dia maju kemuka dengan langkah lebar. Dalam keadaan begini. Coa Cong-gi sudah kehilangan pegangan. Dengan perasaan apa boleh buat terpaksa dia mengikuti juga di belakang rekannya dan menghampiri nenek itu.
“Hoa-Kongcu, kau harus berhati-hati!” mendadak si nona berbaju hitam itu berteriak dengan gugup, “Perempuan itu berhati palsu dan menyembunyikan goloknya dibalik senyuman, sudah pasti dia menaruh maksud-maksud jahat terhadap dirimu”.
Mendengar seruan tadi, Kiu-im-kaucu sontak tertawa terbahak-bahak. “Haa….. haa….. haa………Nona cilik, agaknya kau sangat memperhatikan keadaan Hoa Siau-hiap yaa?
Jangan-jangan ada main…..” godanya.
Merah padam selembar wajah nona baju hitam itu karena jengah. “Aku………aku…..”gumamnya tergagap.
“Jangan memperdulikan obrolan perempuan itu!” tukas Si Nio perempuan jelek itu dengan ketus. Kita tidak akan menguatirkan keadaan siapapun juga”
Kiu im kaucu tertawa terbahak-bahak. Dia seperti akan mengucapkan sesuatu lagi, tapi sebelum sepatah dua patah kata sampat diucapkan, Hoa In-liong telah tiba dihadapan mukanya.
“Hoa In-liong menjumpai kaucu!” demikian ia berseru sambil memberi hormat, “Bila kaucu hendak menyampaikan sesuatu silahkan saja diutarakan secara blak-blakan.
Ketahuilah kedua orang perempuan itu adalah orang yang berada diluar garis batas-batas persoalan ini. Jadi sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan persoalan ini. Bila kaucu masih juga bersilat lidah terus dengannya, maka hal ini mungkin akan merusak martabat serta nama baik kaucu!”
Setelah mendengar kata-kata yang tegas itu, Kiu im kaucu baru menarik kembali gelak tertawanya. Dengan wajah serius dia amati wajah si anak muda itu, kemudian sambil tertawa pujinya, “Ehmmm….! Kau memang gagah bocah muda, tampaknya kegagahan dan keberanian ayahmu telah diwariskan semua kepadamu!”
“Aku tahu bahwa usiaku masih muda” kata Hoa In-liong dengan muka bersungguh-sungguh, “Sekalipun demikian, aku tidak berani berbuat semena-mena dengan gegabah!”
“Ehmmm, kau memang seorang bocah yang bersemangat!” puji Kiu-im-kaucu lagi sambil mengangguk, “Apakah engkau adalah loji dari keluarga Hoa? Putra Hoa Thian-hong yang dilahirkan Pek Kun-gi?”
Mendengar nama ibunya langsung disinggung, Hoa In-liong segera menunjukkan wajah tak senang hati, sepasang alis matanya berkenyit. “Aku tahu kaucu datang kemari karena ada maksud dan tujuan tertentu” katanya, “Aku sendiri rasanya juga tak ada kepentingan untuk mengelabui dirimu.
Tapi aku harap dihadapan putra seseorang, lebih baik janganlah kau sebut nama ayah ibuku secara langsung, karena tindakan semacam itu hanya akan merosotkan kedudukan dan gengsi kaucu didepan mataku!”
Kiu-im-kaucu tergelak gelak karena kegelian. “Haaa….. haaa….. haaa….. Anak muda, kau ini memang lucu amat” katanya, “Kalau kutinjau dari usiamu, sudah jelas engkau adalah seorang pemuda. Sebagai seorang pemuda sudah sewajarnya kalau bersikap supel, terbuka dan riang gembira. Kalau caramu bersikap dengan orang selalu sok-sokan macam begitu, tanggung orang akan merasa jemu menyaksikan tingkah lakumu itu”
“Aku sama sekali tidak bermaksud untuk membaiki atau mencari muka terhadap kaucu” tukas anak muda itu ketus.
“Oooh….. tentu saja! Tentu saja! Aku juga tahu bahwa hal ini tak mungkin akan terjadi pada dirimu, sebab pada hakekatnya aku adalah musuh bebuyutan dari keluarga Hoa kalian!”
Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba ujarnya lagi, “Walaupun demikian, ada satu hal yang ingin juga kuberitahukan kepadamu. Tahukah engkau bahwa aku sangat senang dan cocok sekali dengan watak ibumu? Tempo dulu aku ada hasrat untuk menerimanya sebagai muridku dan mewarisi semua ilmu silatku. Sayang oleh karena ibumu begitu tergila-gila kepada…..”
Kata selanjutnya tentulah, “kepada ayahmu” dan sebagainya dan sebagainya….. tapi lantaran ucapan “tergila- gila” itu sudah cukup menyakitkan hati Hoa In-liong, maka dengan tak sabaran lagi dia lantas menukas ditengah jalan, “Sudah, kau tak usah banyak bicara lagi. Urusan yang sudah lewat biarkan saja lewat, kenapa musti kau ungkap-ungkap lagi dalam keadaan semacam ini? Kalau ada urusan penting, lebih baik bicarakan saja urusan pentingmu!”
Kiu im kau tersenyum. “Baiklah” katanya kemudian, “Baik- baikkah nenekmu selama ini? Apa kabar dengannya?”
“Terima kasih atas perhatianmu, beliau dalam keadaan sehat wal’afiat,” jawab Hoa In-liong ketus dan singkat”.
Tampaknya dia mulai muak terhadap musuhnya itu. “Bagaimana pula dengan ayah ibunya?” kembali Kiu-im- kaucu bertanya.
“Sehat semua!”
Tiba-tiba pemuda itu merasakan gelagat kurang betul.
Semestinya Kiu-im-kaucu akan membicarakan soal-soal yang penting, tapi mengapa dia hanya menanyakan tentang kesehatan anggota keluarga Hoa? Bukankah hal ini terasa janggal sekali?
Karena curiga, tanpa terasa kewaspadaannya timbul kembali, sikapnya jadi lebih berhati-hati. Sementara sepasang matanya mengamati raut wajah Kiu-im-kaucu tanpa berkedip.
Kiu-im-kaucu tertawa hambar. “Sejak keluarga Hoa kalian hidup mengasingkan diri di perkampungan Liok-soat-san-ceng, tampak-tampaknya semua anggota keluarga jarang sekali melakukan perjalanan lagi dalam dunia persilatan. Sebenarnya sudah beberapa kali aku berhasrat untuk berkunjung ke perkampungan kalian sekalian menengok ibumu. Tapi setiap kali rencanaku itu selalu kubatalkan karena aku tak berani bertindak secara gegabah, aaaai…….! Tampaknya kami memang tak berjodoh, terpaksa niatku tersebut harus dipadamkan sampai disini saja”
Hoa In-liong berkerut kening, pikirnya dalam hati, “Kaucu ini sejak awal sampai akhir selalu berkeluh kesah, berbicara bolak-balik yang dipersoalkan juga masalah-masalah yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan masalah pokok. Apa gerangan yang sebenarnya ia rencanakan? Atau mungkin ia memang mempunyai rencana atau siasat-siasat tertentu?. Hmmm! Kau ada kesabaran untuk itu, sayang kesabaranku dalam soal tersebut terbatas sekali, tak sudi aku bersilat lidah terus menerus dengan kau” Karena berpikir demikian, maka dia lantas menengadah lalu tegurnya, “Kaucu, tolong tanya apakah engkau kenal dengan seorang jago persilatan yang bernama Kiu-mia kiam kek (jago pedang bernyawa rangkap sembilan)?”
“Tentu saja kenal! Eeeh…. bukankah orang itu telah meninggal dunia……?” perempuan itu balik bertanya.
Diam-diam Hoa In-liong menggigit bibir menahan rasa gemas dan mendongkolnya, dia mengangguk. “Yaa benar, dia orang tua memang sudah meninggalkan dunia. Siok-cou-bo ku juga ikut menghembuskan napas penghabisan. Konon Siok- cou bo ku itu adalah Yu beng tiancu (tiaocu istana neraka) dari perkumpulan kaucu dimasa lalu, apakah berita itu juga benar?”
“Betul!” Kiu-im-kaucu mengakui secara berterus terang, “Karena dia cinta kepada Suma Tiang-cing maka perempuan itu sudah berkhianat kepada perkumpulannya dan kabur dengan Suma-siok-ya mu itu. Mereka menetap di kota Lok- yang setelah kawin. Yaaa……… Selama duapuluh tahun terakhir, peristiwa itu merupakan dua peristiwa yang paling menyakitkan hatiku. Engkau ingin tahu peristiwa lain yang selalu membuat aku jadi dendam? Itulah peristiwa kaburnya Giok Teng hujin Ku Ing-ing lantaran dia juga jatuh cinta kepada ayahmu!”
Sebenarnya Hoa In-liong ingin sekali mengetahui persoalan yang menyangkut diri Giok Teng hujin, akan tetapi kondisinya saat ini tidak memungkinkan dirinya untuk berbuat demikian. Karena untuk membawa pembicaraan ke pokok pembicaraan yang sebenarnya dia sudah harus bersusah payah lebih dahulu, tentu saja setelah persoalan kembali ke poros yang dikehendakinya, ia tak ingin bahan pembicaraan tadi nyeleweng lagi ke masalah lain. Karena itu setelah berhenti sebentar, dengan dingin ujarnya lagi, “Menurut kabar berita yang tersiar dalam dunia persilatan, semua orang menanggap bahwa Suma siok-ya ku suami istri mati terbunuh atas perintah dari kaucu, bagaimanakah penjelasan kaucu tentang kabar berita itu?”
“Ooooh… ….Jadi orang persilatan menyiarkan begitu?” kata Kiu-im-kaucu tetap tenang “Sebenar-nya kabar itu memang tak ada salahnya! Sebab bagaimanapun juga Kwa Gi-hun (maksudnya Yu-beng tiancu atau istri dari Suma Tiang-cing) adalah pengkhianat dari perkumpulan kami. Bila kuu-tus orang untuk membereskan jiwanya, itu juga pantas. Toh bagaimanapun juga aku cuma menin-dak anak buahku sendiri menurut peraturan perkumpulanku, apa salahnya dengan peristiwa itu?”
Mula-mula Hoa In-liong agak tertegun, menyusul kemudian dengan suara nyaring bentaknya, “Hmmm! Itukah alasanmu dalam melakukan pembunuhan keji tersebut? Aku ingin bertanya kepadamu, apakah Kiu-mia-kiam-kek juga merupakan anak buah perkumpulanmu?”
Kiu-im-kaucu tetap tenang dia tersenyum malah, “Kiu-mia- kiam-kek berani membawa lari anak gadis orang sehingga mengakibatkan perkumpulan kami kehilangan seorang tiancu yang mengakibatkan kekuatan perkumpulan kami merosot sekali. Maka jika kucari biang keladinya. Dalam kegagalanku, orang itulah biang keladinya. Andaikata di dunia ini tiada Kiu- ma-kiam-kek, tentu saja Kwa Gi-taun tak akan berhianat dan kawin lari dengannya. Andaikata dia tidak kawin lari maka kekuatan dari perkumpulan kami pun tak akan mengalami kemerosotan hebat. Coba bayangkan sendiri tidak pantaskah kulenyapkan biang keladi dari peristiwa itu?”
Hoa In-liong benar-benar amat gusar, hawa amarah yang berkecamuk dalam tubuhnya serasa menyesakkan napas, dia menghembuskan napas panjang-panjang, maksudnya untuk sedikit mengurangi tekanan dalam dadanya, setelah itu dengan suara nyaring kembali bentaknya, “Membuat-buat alasan untuk menjatuhi hukuman kepada orang yang tak bersalah, itulah yang bisa dilakukan manusia-manusia macam kau, Hm! Nyonya Yu itukah pembunuhnya?”
“Yang diartikan pembunuh tak lebih hanya pesuruh dalam melaksanakan perintah, buat apa kau tanyakan tentang dia?” tiba-tiba gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan itu menyela sambil mendengus dingin. Dengusan itu benar-benar dingin, sedingin salju dari kutub utara.
Gadis itu cantiknya memang cantik, tapi dinginnya cukup membuat badan orang jadi menggigil. Sejak tiba disana dia cuma berdiri kaku tanpa mengucapkan sepatah katapun.
Bukan saja tidak berbicara, senyumpun tak pernah. Tapi setelah tiba-tiba saja berbicara, suasana lebih dingin dari salju di kutub. Kendatipun nadanya merdu seperti keliningan, akan tetapi kedengaran dalam telinga orang seperti desingan angin dingin yang merasuk sampai ke dalam tulang.
Kejut dan heran Hoa In-liong menghadapi manusia sedingin itu. Cepat sinar matanya dialihkan keatas wajah nona tadi.
Bagaimanapun juga ia tak percaya kalau kata-kata yang sangat dingin tadi diucapkan oleh nona secantik bidadari itu.
Setelah termenung beberapa saat, tiba-tiba ia bertanya, “Tolong tanya, siapakah nona?”
“Tiancu istana neraka Bwee Su-yok!” Jawab gadis cantik itu dengan nada tetap dingin.
Mendengar nama itu, Hoa In-liong makin terkejut. “Ooooh…… Jadi perempuan ini adalah Tiancu istana neraka dari perkumpuan Kiu-im-kau?” pikirnya. Perlu diketahui, susunan organisasi dalam perkumpulan Kiu-im-kau dimasa lalu terdiri dari sang kaucu sebagai pucuk pimpinan dengan dua istana dan tiga ruangan besar sebagai pembantu- pembantunya.
Kedua istana yang dimaksudkan adalah istana neraka dan istana penyiksaan. Sedangkan tiga ruangan terdiri dari ruang propaganda, ruang penerimaan anggota serta ruang kesejahteraan anggota.
Para tiancu dan tongcu yang mengepalai kedua istana dan ketiga ruangan besar itu merupakan panglima-panglima tertinggi dalam perkumpulan Kiu-im-kau dengan kedudukan langsung dibawah Kekuasaan kaucu. Tapi kalau dibicarakan dari tingginya kedudukan serta lihaynya ilmu silat, maka tak bisa diragukan lagi Tiancu istana nerakalah yang terhitung manusia nomor satu dibawah kedudukan kaucu.
Hoa In-liong adalah loji dari keluarga Hoa di perkampungan Liok-soat-san-ceng dalam bilangan bukit In-tiong-san, tentu saja sedikit banyak dia mengetahui juga tentang persoalan- persoalan itu. Padahal nona yang berada dihadapannya sekarang baru berusia enam-tujuh belasan, tapi mengakunya sebagai Tian-cu istana neraka dari Kiu-im-kau tak heran kalau anak muda itu merasa amat terperanjat.
Kejut dan heran jadi satu kejadian, watak romantisnya juga merupakan kejadian yang lain. Hakekatnya kecantikan wajah Tiancu istana neraka Bwee Su-yok memang tak terkirakan.
Tak heran kalau Hoa In-liong jadi termangu-mangu dibuatnya. Untuk sesaat dia jadi melamun, benaknya terasa kosong dan penuh diisi oleh lamunan yang beraneka macam. Timbul pikiran dalam benaknya untuk memeluk pinggangnya yang ramping itu dan mencium bibirnya yang mungil. Tiba-tiba terdengar Kiu-im-kaucu tertawa. “Hoa siau-hiap!” dia menegur “Coba pandanglah tiancu istana nerakaku ini, cantikkah dia?”
Terkesima Hoa In-lioag memandang kecantikan nona itu, ia buat setengah sadar setengah tidak oleh keadaan tadi, maka ketika mendengar pertanyaan itu, dengan cepat pemuda itu mengangguk. “Cantik…..! Cantik….! Cantik….!” Pujinya berulang kali dengan nyaring.
“Cantik kentutnya!” teriak Coa Cong-gi pula dari samping “Huuuh, tampang semacam monyet juga dikatakan cantik, bah! Jadi pelayan yang tukang bersih tong berisi kotoran manusiapun, belum tentu adikku mau menerimanya”
“Itu yang dinamakan cantiknya cantik bau busuk!” Nona baju hitam yang berada di kejauhan segera menimpali, “Hmm….. Sudah tahu kalau ilmu silatnya tak dapat menandingi keluarga Hoa, maka diaturnya siasat Bi jin-ki (siasat wanita cantik) untuk menjebak anak orang Huuh…! Manusia menyebalkan namanya!”
Baru saja perkataan itu selesai diucapkan, Kiu-im-kaucu sudah tertawa terbahak bahak. “Haa….. haa….. haa……… Nona cilik, besar amat rasa cemburu?” godanya.
“Cemburu kentut busuk makmu!” damprat Si Nio dengan marah, “Kami selalu berusaha untuk membereskan nyawa si bocah keparat dari keluarga Hoa itu, kenapa musti cemburu cemburu macam kunyuk?”
Selama beberapa orang itu saling cekcok dan bersilat lidah sehingga suasana jadi amat gaduh, Yu beng-tiancu Bwee Su- yok tetap berdiri kaku bagaikan sebuah patung arca. Bukan saja ia tak menggubris, bahkan sikapnya acuh tak acuh, seakan-akan ia tidak mendengar segala sesuatupun dari sekitar tempat itu. Tindak tanduknya yang kaku dan dingin tidak menunjukkan perobahan emosi itu membuat orang beranggapan bahwa gadis itu memang dilahirkan tanpa membawa perasaan.
Hoa In-liong tersentak kaget dari lamunannya oleh bentakan Coa Cong-gi yang amat keras itu. Setelah termenung sebentar, dia tersenyum kembali. Dihampirinya Tiancu istana neraka Bwee Su-yok dengan langkah tegap, kemudian sambil memberi hormat dia berkata, “Oooooh…..! Rupanya engkau adalah Bwee tiancu, terimalah salam dan hormatku ini”
“Hmmm! Tak usah banyak lagak” tukas Bwee Su-yok, tiancu istana neraka itu ketus “Kalau ada persoalan, lebih baik utarakan saja secara blak-blakan!”
Hoa In-liong sama sekali tidak tersinggung oleh sikap nona itu, kembali ia tertawa lebar. “Dalam dunia persilatan sering tersiar kata yang menyebut: Hutang darah harus dibayar dengan darah. Apakah nona Bwee pernah mendengar tentang kata-kata semacam itu?”
“Oooh….. Jadi engkau menghendaki nyawa dari sipembunuh keluarga Suma….?” bukan menjawab Bwee Su- yok malahan balik bertanya.
“Menghendaki nyawa sipembunuh itu sama artinya melakukan pembalasan dendam. Haaa….. haaa…… haaa…… Soal itu sih tak perlu kupusingkan. Aku Cuma mendapat perintah dari ayahku untuk menyelidiki duduknya perkara atas peristiwa berdarah itu. Aku ingin tahu siapakah otak atau dalang dari pembunuhan ini? Siapa pembunuh sesungguhnya? Siapa yang membantu perbuatan keji itu? Siapa saja yang ikut dalam rombongan pembunuh itu? Bagaimanakah akibat dari kejadian itu? Dan apa tujuan dari pembunuhan berdarah itu? Bila nona bersedia memberi keterangan kepadaku, tentu saja aku akan merasa berterima kasih sekali atas bantuanmu itu!”
“Hmmm! Banyak juga persoalan yang ingin kau ketahui!” ejek Bwee Suyok sinis.
Hoa In-liong tersenyum. “Tak boleh takabur, tak boleh bicara sembarangan adalah syarat paling penting yang harus dipegang teguh oleh orang-orang keluarga Hoa kami dalam menyelesaikan segala macam persoalan. Sedikit saja persoalan sepele yang kelewatan kemungkinan besar akan mengakibatkan kesalahan yang fatal, oleh karena itu…….”
Belum habis dia berbicara kembali Bwee Su-yok telah mendengus dingin, katanya dengan sinis, “Hmmm…..! Kalau berbicara saja lagaknya sok bijaksana dan setia kawan, tapi perbuatannya….. Huuuh, menyebalkan! Sayang ayahmu sudah mengirim seorang utusan yang salah!”
Hoaln-liong sama sekali tidak tersinggung atau marah oleh ejekan nona itu, dia malah balik bertanya, “Kalau begitu, menurut pengamatan nona Bwee siapakah yang sepantasnya diutus oleh ayahku?”
“Semestinya dia harus muncul sendiri untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa terse-but!”
Mendengar jawaban itu, Hoa In-liong segera merasa hatinya bergerak, dengan cepat dia berpikir, “Aaah……! Benarlah sudah, orang ini sengaja berbicara pulang pergi putar kesana putar kemari, rupanya sedang menyelidiki gerak- gerik da ri ayahku. Haaa……. Haaa…… haaa…… kenapa tidak kutipu saja perempuan ini biar runyam?” Sebagaimana diketahui, Hoa In-liong adalah pemuda yang binal dan paling suka berbohong. Apa yang dipikir dalam benaknya selalu dilaksanakan pula dengan cepat, maka setelah mendapat ide tersebut dia pun tersenyum. “Nona Bwee, kelirulah jalan pikiranmu itu! Ketahuilah, Suma siok-ya ku itu adalah satu-satunya adik angkat dari mendiang kakekku maka ketika secara tiba-tiba dia orang terbunuh ditangan orang, dalam gusarnya nenekku telah mengutus semua anggota keluarga Hoa untuk melakukan penyelidikan terhadap peristiwa ini. Kalau semua orang sudah diutus keluar, memangnya ayahku dapat dikecualikan? Haa…… haa…… haa Siapa tahu kalau pada saat ini dia orang tua telah
tiba juga di kota Kim-leng?”
Pada hakekatnya perkataan itu diutarakan olehnya secara ngawur dan bohong semua. Bila orang mau meneliti kata- katanya itu, tidaklah sukar untuk menemukan titik-titik kelemahannya. Apa mau dikata ucapan itu diutarakan olehnya dengan lancar, kemudian sebagai penutup kata pemuda itu pun tertawa tergelak. Ini semua membuat orang-orang yang hadir disekitar arena itu jadi percaya. Untuk sesaat semua orang tertegun dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Ditengah keheningan yang mencekam seluruh arena, tiba- tiba terdengar Ciu Hoa berbaju perlente itu berbisik, “Lo-sam, ayoh kita pergi dari sini!”
Tanpa menunggu jawaban dari Ciu Hoa bermuka kuda lagi, dia ulapkan tangannya ke arah kawan laki-laki berbaju ungu itu dan berlalu lebih dulu menuruni bukit Ciong-san.
Pada saat yang bersamaan, Si Nio menarik pula ujung baju si nona berbaju hitam sambil berbisik, “Nona tempat ini sudah tak berguna lagi bagi kita, ayoh kitapun pergi dari sini!” “Tidak!” jawab nona baju hitam itu berkeras kepala, “Kita harus tunggu sebentar lagi disini!”
Sementara itu Coa Cong-gi sudah tertawa terbahak bahak setelah menyaksikan kejadian itu ejeknya, “haaa…. Haa…… haa….. Bagus! Bagus! Begitu mendengar Hoa pek-hu akan datang, semua badut dan kunyuk sialan pada lari pontang panting. Itu baru namanya pengecut sejati. Haa….. haa….. haa Puas, sungguh memuaskan”
Paras muka Kiu-im-kaucu pun agak berubah ketika mendengar berita itu. Tapi bagaimanapun juga dia adalah seorang ketua dari suatu perkumpulan besar, baik dalam soal pengalaman maupun dalam hal ketenangan perempuan tua itu mempunyai kelebihan dari pada orang lain. Hanya sebentar dia kaget, menyusul kemudian paras mukanya telah pulih kembali seperti sedia kala.
“Hoa siauhiap!” ucapnya kemudian sambil tersenyum, “Engkau pandai amat membohongi orang!”
“Ada apa?” sengaja Hoa In-liong mengerdipkan matanya, “Toh percaya atau tidak terserah pada keputusan kaucu sendiri. Aku kan sama sekali tidak bermaksud menggertak dirimu?”
Bwee Su-yok segera mendengus dingin. “Hmm ! Hoa
Thian hong juga sama-sama manusia, dia tak akan mampu menggertak atau menakut-nakuti siapapun!”
“Betul! betul sekali perkataan itu!” sambung Hoa In-liong cepat dengan suara nyaring, “Ayahku bukan malaikat. Dia sudah datang kesini atau belum sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan tugas yang dibebankan diatas pundakku.
Nona, kecantikanmu bagaikan bidadari hatimu ramah dan berbudi luhur. Dapatkah engkau memberitahukan kepadaku, apakah pembunuhnya adalah nyonya Yu? Dengan begitu, bila aku sampai bertemu kembali dengan ayahku, dapat kuberikan pertanggungan jawab sebagaimana mestinya”
Beberapa patah kata ini bukan saja sama sekali tidak merosotkan kedudukan serta nama baik ayahnya, bahkan diapun memperingatkan Bwee Su-yok bahwa gadis itupun seorang manusia pu-la.
Pemuda itu memang cerdik dan pandai berbicara, dalam kata-kata yang serba gagah dan terbuka ini, selain disampaikan perasaan ingin membaiki nona itu dan bermaksud mendekatinya tanpa harus berterus terang kepada Bwe Su-yok, lagipula diapun seolah-olah sedang berkata demikian, “Engkau juga seorang manusia! Kenapa sikapmu musti dingin dan kaku berlagak ssperti sebuah bukit salju?”
Andaikata Bwee Su-yok dapat memahami arti dari perkataannya itu, niscaya dia akan dibikin tersipu-sipu.
Sepasang sinar mata Bwee Su-yok segera memancarkan sinar tajam yang menggidikkan hati. Rupanya dia agak gusar dibuatnya. Setelah termenung sejenak, tiba-tiba ujarnya lagi dengan dingin, “Hanya mencari tahu siapa pembunuhnya tanpa menyelidiki siapa biang keladinya, darimana kau bisa memberi pertanggungan jawab? Bagaimana mungkin kau bisa memberi laporan? Hmm! mencari muka menjilat pantat, sungguh suatu sikap yang memuakkan. Bila engkau masih juga tak tahu diri. Heee….. heee…. hee…. Jangan salahkan kalau nonamu akan menjatuhi hukuman yang sangat berat kepadamu”
“Mencari muka menjilat pantat, sungguh Suatu sikap yang memuakkan” Beberapa patah kata itu benar-benar suatu makian yang tidak sungkan sungkan. Bukan saja nona itu membongkar maksud Hoa In-liong yang sesungguhnya, bahkan diapun telah menyatakan pula sikap sendiri.
Mendengar kata-kata itu, kontan saja Kiu-im-kaucu tertawa terbahak-bahak. “Haa…… haaa….. haa…… Bagus! Bagus-sekali anak Yok, sekarang gurumu bisa merasa bangga sekali!”
“Yok-ji tak berani melupakan pengharapan dari engkau orang tual” jawab Bwee Su-yok tetap dingin.
Bwee Su-yok tak lain adalah anak murid dari Kiu-im-kaucu dan sikapnya yang dingin dan kaku itu sebenarnya bukan watak alamiah, dahulu-dia tidak bersikap sedingin itu.
Hoa In-Hong membungkam dalam seribu bahasa dalam namun diam-diam ia berpikir lagi, “Yang dimaksudkan “pengharapan” yang dimaksudkan “kebanggaan” tentulah persoalan yang
menyangkut tentang penghianatan siok coubo dan Giok Teng hujin. Haa….. haa….. haa… Benarkah engkau bakal merasa bangga? Aku Hoa loji pasti akan mencoreng moreng mukamu dan membuat engkau benar-benar merasa amat kecewa”
Pemuda ini bukan saja binal, diapun sangat romantis. Pada mulanya dia hanya merasa wajah Bwee Su-yok amat cantik menawan hati. Dia hanya bermaksud untuk mendekatinya atau tegasnya pemuda itu sama sekali tak berniat untuk melangkah lebih kedepan.
Akan tetapi sekarang, setelah timbul keinginannya untuk bikin susah Kiu-im-kaucu. Tentu saja rencananya semula dirubah sama sekali. Kini ia tak akan lepas tangan sebelum gadis itu benar-benar jatuh ke tangannya. Demikianlah, setelah ia mempunyai rencana dalam hatinya, anak muda itu tertawa tergelak. “Nona Bwee, perkataanmu itu terlalu berlebihan!” Ia berkata, “Sekalipun aku berbicara blak- blakan, itu bukan berarti aku adalah seorang pemuda yang memuakkan. Berbicara terus terang saja, sekalipun kecantikan nona luar biasa sekali, namun kecantikanmu itu masih belum cukup untuk menggerakkan hatiku, apalagi dalam pandanganku saat ini sudah…..”
Belum habis ucapan tersebut diutarakan, Bwee Su yok telah membentak nyaring, “Tutup mulutmu! Jangan membuat perbandingan dengan nonamu sebagai Sasaran pembicaraan”
“Eeeeh….. Lucu amat nona ini!” Hoa In-liong pura pura tercengang dibuatnya, “Aku membanding-bandingkan siapa? Aku toh sedang membicarakan tentang….. Oooya, baiklah, persoalan itu lebih baik tak usah dibicarakan lagi! Mari kita kembali ke pokok pembicaraan yang sebenarnya”
Setelah berhenti sebentar, dengan muka berpura pura bersungguh-sungguh ia berkata lebih jauh, “Tadi nona menegur, aku kenapa tidak mencari tahu siapa biang keladinya? Dan kalau biang keladinya belum diketahui dari mana aku bisa memberikan pertanggungan jawabnya?
Tentang persoalan ini, kembali nona keliru besar!”
Terlampau cepat pemuda ini mengalihkan pokok pembicaraannya. Untuk sesaat Bwee Su-yok tak dapat memberikan tanggapannya, ia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dilakukan.
Hoa In-liong tersenyum, ujarnya lebih jauh, “Biang keladinya ada dua orang. Yang satu adalah gurumu sedang yang lain adalah ketua dari perkumpulan Hian-beng-kau.
Adapun alasannya adalah mereka iri dan cemburu oleh kesuksesan serta kejayaan yang berhasil dicapai keluarga Hoa kami, maka digunakannya peraturan perguruan dan menghukum penghianat sebagai alasan untuk menciptakan pelbagai pembunuhan berdarah. Maksudnya asal terjadi peristiwa berdarah lagi dalam dunia persilatan, maka ayahku pasti dapat dipaksa pula untuk munculkan diri kembali.
Bukankah begitu nona Bwee?”
Selesai berkata sepasang alis matanya lantas mengenyit, sepasang matanya melotot besar dan menantikan jawaban dari Bwee Su-yok.
Sementara itu Bwee Su-yok telah pulih kembali dalam sikapnya yang semula, dingin, ketus dan hambar. Ia mendengus dingin, jengeknya dengan sinis, “Hmmm….. Bergaya seorang pintar, memangnya kau anggap jalan pikiranmu itu benar?”
“Benar atau tidak adalah urusan pribadiku sendiri” Hoa In- liong tersenyum manis, “Tolong nona terangkan saja, siapakah pembunuh yang sebenarnya dari pembunuhan berdarah itu?”
“Menurut anggapanmu pembunuhnya adalah Yu In?” Bwee Su-yok balik bertanya.
“Memangnya bukan dia?” Hoa In-liong pura-pura berlagak seperti orang tercengang.
“Hmmm!….! Terus terang kukatakan kepadamu pembunuhnya adalah orang lain, sedang otak pembunuhan tersebut adalah Ku Ing-ing!”
Kontan saja Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa….. haa…… haa….. Nona tak usah menyelimurkan persoalan. Giok Teng hujin kan sudah lama meninggal dunia? Mana mungkin menjadi dalang dari pembunuhan berdarah itu?” “Hee….. hee….. heee…… Mau percaya atau tidak terserah padamu sendiri, nona kan tidak memaksa engkau untuk mempercayai perkataanku?”
Hoa In-liong terbungkam sesaat. “Baiklah” akhirnya ia berkata “Untuk sementara waktu biarlah kuanggap perkataan nona memang benar. Kalau memang begitu, tolong tanya siapakah pembunuh yang sebenarnya itu?”
“Aku lihat engkau kan memiliki keyakinan besar atas kemampuanmu? Kenapa tidak melakukan sendiri atas persoalan itu? Kenapa aku musti memberitahu kepadamu?”
“Baik! Baik! Aku akan pergi menyelidikinya sendiri, aku akan pergi menyelidikinya sendiri!”
Dia lantas putar badan dan ulapkan tangannya ke arah nona baju hitam itu, serunya lantang, “Nona, mari kita pergi dari sini!”
Baru selesai dia berseru, Bwee Su-yok telah menggerakkan badannya menghadang jalan pergi mereka. “Berhenti.!” bentaknya.
Perlu diterangkan disini, ilmu meringankan tubuh serta ilmu langkah Loan-ngo-heng-mi-sian-tun-hoat (dewa pemabuk lima unsur yang kacau) yang dimiliki anggota perkumpulan Kiu-im- kau boleh dibilang sebagian besar dilatih oleh Ke thian-tok, tongcu dari ruang kesejahteraan. Sebaliknya ilmu meringankan tubuh yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini adalah didikkan langsung dari Kiu-im-kaucu. Ilmu kepandaian tersebut amat sakti dan jauh lebih hebat daripada ilmu langkah Loan ngo heng mi sian tun hoat tersebut. Tak sempat dilihat gerakan apa yang dia lakukan, tahu-tahu gadis itu sudah berada didepan mata Hoa In-liong. Diam-diam Hoa In-liong merasa terperanjat sekalipun diluaran senyum manis masih menghiasi ujung bibirnya. “Eeeh…. Ada apa ini?” pura-pura teriaknya “Apakah nona Bwee masih ada petunjuk bagiku?”
Sekilas pandangan saja ia dapat menangkap membaranya kobaran api amarah dibalik sinar mata Bwee Su-yok.
Tampaknya kemarahan nona itu sudah mencapai puncak kehebatannya yang tak terkendalikan lagi. Sekalipun dia cerdik, namun apa yang terpapar dihadapan matanya tetap merupakan suatu teka-teki. Dia tak tahu apa sebabnya secara tiba-tiba nona itu jadi sangat marah.
“Kau harus mampus!” bentak Bwee Su-yok dengan wajah dingin dan suara menyeramkan.
Hoa In-liong sangat terkejut, cepat pikirnya, “Kenapa musti begitu? Toh aku tiada ikatan dendam atau sakit hati dengan perempuan ini, kenapa ia begitu membenci diriku? Sekalipun Kiu-im-kaucu pernah menelan pahit getir ditangan orang- orang keluarga Hoa kami, tidak sepantasnya kebencian itu tersalur ketubuh muridnya…. dan sikapnya yang dingin dan mengerikan itu tidak semestinya berubah-ubah dengan begitu cepatnya!”
Sementara dia masih termenung, Bwee Su-yok telah mendengus lagi. “Hmmm! Orang-orang keluarga Hoa pandai menggaet hati perempuan dengan mengandalkan ketampanan wajahnya. Untuk melenyapkan perbuatan busuk kalian itu, sedikit banyak nona harus merusak tampang wajahmu itu.
Ayoh cepat turun tangan, kenapa masih juga termangu- mangu seperti orang bodoh?”
Setelah mendengar penjelasai itu, Hoa In-liong baru memahami duduknya persoalan. “Oooh…..! Jadi kalau begitu nona merasa penasaran dan tak terima bagi para cianpwe perkumpulanmu?” katanya, “Kalau memang begitu, maka perbuatan nona keliru benar! Pujangga besar jaman kuno pernah berkata demikian dalam bukunya: Nona-nona yang cantik adalah pasangan yang ideal bagi laki laki sejati. Orang kuno berkata pula: Lelaki yang normal adalah lelaki yang tertarik pada kaum wanita. Soal cinta antara laki laki dan perempuan adalah suatu kejadian yang almiah dan normal. Suatu cinta kasih baru bisa terjalin bila antara kedua jenis manusia itu mempunyai perasaan saling tertarik dan perasaan saling jatuh cinta. Sedang kecantikan dan ketampanan hanya pelengkap saja dari suatu hubungan cinta kasih”
Makin berbicara pemuda itu makin lancar akhirnya terlontarlah kuliah soal “cinta” yang panjang lebar dan bertele- tele.
Tampaknya Bwee Su-yok tidak sabar mendengarkan kuliah soal cinta itu, tiba-tiba bentaknya, “Kapan selesainya kuliahmu yang memuakkan itu?”
Hoa In-liong tersenyum, “Nona merasa tidak terima bagi para cianpwe mu, sedang jalan pikiranmu terlampau picik, apa lagi masalah itu menyangkut ayahku, mendingan kalau aku tidak tahu. Setelah mengetahui kejadian ini maka bagaimanapun juga harus kuberi keterangan yang sejelas- jelasnya kepada nona, agar engkau tidak berpandangan picik lagi”
“Hmmm! Siapa yang sudi mendengarkan keteranganmu?” bentak Bwee Su-yok semakin marah “Cabut pedangmu dan siap bertempur!”
Sambil membentak dia maju selangkah lagi ke depan.
Hoa In-liong segera mundur selangkah kebelakang, ujarnya lagi, “Eeeh…. Nona manis, kenapa musti tergesa-gesa? Sekalipun Kiu-im-kau tidak mendesak terus menerus, cepat atau lambat akhirnya toh akupun akan mencabut pedang pula untuk bertempur. Tapi sekarang aku merasa tenggorokanku tersumbat, rasanya kurang lega hatiku bila kata-kata tersebut tidak diucapkan keluar. Kalau toh engkau bertempur, lebih baik tunggu saja sampai ucapanku selesai diutarakan keluar!”
Tidak menunggu pertanyaan dari Bwee Su-yok lagi, dia melanjutkan kembali kata-katanya, “Menurut apa yang kuketahui, Giok Teng hujin dari perkumpulan kalian adalah seorang pengagum watak ayahku. Mereka berdua bergaul dalam batas sebagai kakak dan adik, belum pernah hubungan tersebut ditingkatkan menjadi sitatu hubungan yang kelewat batas. Kemudian suhumu kemaruk harta dan ingin merampas kitab kiam-keng dari tangan ayahku. Dia menyiksa Giok Teng hujin dengan siksaan Im-hwe-lian-hun (api dingin melelehkan sukma) yang amat keji itu dengan tujuan memaksa ayahku menyerah dan serahkan kitab pusakanya kepada gurumu.
Mendengar kabar itu ayahku dan Cui-in taysu segera berangkat ke kota Cho-ciu untuk memberi pertolongan. Siapa tahu ketika Giok Teng hujin menjumpai ayahku, ia berkata bahwa lebih rela mati disiksa daripada melihat ayahku terdesak dan harus menyerahkan kitab pusaka kiam-keng nya untuk ditukar dengan jiwanya. Melihat kekejian alat siksa itu, ayahku jadi sedih bercampur marah. Hampir saja dia akan membantai semua anggota perkumpulan Kiu-im-kau untuk melampiaskan rasa dendamnya itu”
(Untuk mengetahui jalannya peristiwa itu, silahkan membaca Bara Maharani oleh penyadur yang sama).
Setelah berhenti sejenak, ia melanjutkan kembali kata- katanya, “Nona, mungkin engkau tak tahu, ayahku adalah seorang manusia yang berjiwa besar dan ramah, belum pernah dia orang tua marah-marah tanpa sebab. Belum pernah dia melukai orang tanpa alasan. Bayangkan sendiri nona, ayahku menjadi teramat gusar karena menyaksikan kerelaan Giok Teng hujin menerima siksaan yang keji daripada menyaksikan dia didesak orang, apakah engkau tak dapat menghargai kebesaran cintanya? Rela berkorban demi kepentingan orang lain adalah suatu perbuatan yang mulia.
Apakah nona tetap berpandangan jelek dan mencemooh Giok Teng hujin setelah mengetahui duduk persoalan yang sebenarnya?”
Bwee Su-yok menjengek sinis, seakan akan sama sekali tidak mendengar akan perkataan itu, ujarnya dengan sinis, “Sudah selesaikah perkataanmu itu? Kalau sudah selesai, sekarang kau boleh cabut keluar pedangmu!”
Hoain-lioag terkesiap, dengan wajah termangu pikirnya, “Bagaimana sih perempuan ini? Masa sepatah katapun tidak ia dengarkan perkataanku ini? Manusia macam apakah sebenarnya orang itu? Ataukah mungkin darahnya memang dingin?”
Tiba-tiba si nona baju hitam yang selama ini membungkam ikut berteriak keras, “Cabut pedang yaa cabut pedang, apa yang luar biasa pada dirimu itu?. Hmm….. Hoa kongcu, ayoh cabut keluar pedangmu!”
Bwee-Su-yok segera berpaling, sinar matanya yang setajam sembilu menatap wajah si nona baju hitam itu tajam-tajam, kemudian bentaknya dengan ketus, “Engkau juga harus mampus, lebih baik kalian berdua maju bersama-sama!”
Si nona baju hitam itu mendengus dingin dia sudah siap untuk melompat maju kedepan, tapi be-lum selangkah nona itu maju Si Nio telah menarik tangannya. “Nona!” seru perempuan jelek itu dengan cemas, “Masih ingatkah kau, apa tujuan kita datang kesini? Lebih baik urusan orang lain jangan kita campuri!” Coa Cong-gi yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba saja tergelak. “Haa….. haa….. haaa…. Sekarang aku sudah mengerti…… Sekarang aku sudah mengerti….!. Oooh… jadi rupanya dia sedang merasa cemburu!’”
“Siapa yang sedang cemburu?” tanya Hoa In-liong dengan wajah keheranan.
Coa Cong-gi langsung menuding ke arah tiancu istana neraka Bwee Su-yok, katanya lagi sambil terbahak bahak, “Haaa.. ha….. haa…. Siapa lagi? Tentu saja dia! Nona Bwee si tiancu istana neraka itu!”
Belum habis dia berkata, dengan garang Bwee Su-yok sudah menerkam kedepan. “Kurang ajar, rupanya kau ingin mampus!” bentaknya dengan suara menyeramkan.
Telapak tangannya dengan disertai tenaga pukulan yang maha dahsyat langsung disodok ke-punggung Coa Cong-gi.
Gerakan tubuh Bwee Su-yok benar-benar sangat cepat bagaikan sambaran geledek. Jarak sejauh beberapa kaki itu hanya ditempuh dalam sekejap mata tahu-tahu telapak tangannya yang putih halus tapi penuh berisikan tenaga dalam itu sudah muncul didepan mata.
Andaikata pukulan tersebut benar-benar bersarang diatas sasarannya, sekalipun tidak sampai mati, paling sedikit Coa Cong-gi akan menderita luka dalam yang parah.
Coa Cong-gi sendiripun merasa amat terkejut ketika ucapannya sampai ditengah jalan, tahu-tahu terdengar suara bentakan nyaring serta munculnya desingan angin pukulan yang menyergap punggungnya. Dalam keadaan gugup dan tak mungkin untuk menghindarkan diri lagi, serta merta anak muda itu jatuhkan diri berguling keatas tanah, kemu dian menyingkir sejauh satu kaki lebih.
Gagal dengan serangannya yang pertama, Bwee Su-yok melompat lagi kedepan dan mengejar musuhnya, sekali lagi telapak tangannya disapu ke depan menghantam tubuh lawannya.
Hoa In-liong sangat terperanjat menyaksikan serangan itu, dia segera berteriak keras, “Nona Bwee, ampuni selembar jiwanya!”
Berbareng dengan bentakan itu, tubuhnya melambung ke udara dan langsung menghadang didepan perempuan itu, lengan kirinya diayun kedepan dengan jurus Kun-siuci tau (perlawanan terakhir dari binatang binatang yang terjebak), kemudian buru-buru disambutnya angin serangan Bwee Su- yok yang maha dahsyat tadi.
Ketika angin pukulan saling bertemu, terjadilah suatu ledakan keras yang memekikkan telinga bayangan manusia saling berpisah dan masing masing melayang turun keatas tanah.
Menggunakan kesempatan tersebut, Coa Cong-gi segera menekan permukaan tanah dan melejit ke angkasa, dari situ dia mundur sejauh tiga langkah lebih.
Paras muka Bwee Su-yok sedingin salju, diantara biji matanya jeli terpancar hawa nafsu mem-bunuh yang tebal. Dengan ketus bentaknya kembali, “Kenapa harus mengampuni jiwanya? Kalian semua harus mampus ditanganku” Ditengah bentakannya yang amat nyaring, telapak tangan kanannya bergerak cepat.
“Criiing….!”
Tahu tahu ditangannya itu telah bertambah dengan sebilah pedang lemas yang tipis bagaikan kertas, tapi memancarkan sinar keperak-perakan yang menyilaukan mata.
Pedang semacam ini disebut juga Kiam wan (pil pedang). Lebarnya hanya beberapa inci dengan panjang empat depa. Kedua belah sisinya tajam dan pedang itu terbuat dari baja asli yang berkwalitet tinggi. Karena sifatnya lemas maka bila pedang itu tidak dipakai dapat digulung seperti bola. Bila disimpan didalam sebuah kulit yang bulat maka besarnya hanya seperti kepalan tangan. Bila akan dipakai maka asal tombol rahasianya di tekan, secara otomatis pedang lemas yang amat tajam itu akan membantul keluar. Jadi bila pedang itu disimpan dalam kulit baja, maka senjata tersebut seolah- olah tertelan didalam gagang pedang, bukan saja praktis, enteng juga mudah dibawa-bawa.
Pedang lemas semacam ini jarang sekali dijumpai dalam dunia persilatan, pertama karena senjata itu tidak mudah untuk membuatnya. Kedua, pedang lemas semacam ini penggunaannya jauh lebih sukar daripada penggunaan pedang tipis. Bila tenaga dalam yang dimiliki orang itu kurang sempurna atau jurus serangannya kurang hafal atau mungkin juga tenaga dalam yang dimiliki musuhnya jauh lebih tangguh daripada dirinya, maka ja ngan dibilang melukai musuhnya, bisa jadi diri sendirilah yang akan termakan oleh senjata itu.
Sementara itu, Bwee Su-yok telah meloloskan pedang lemasnya, entah dengan cara apa dia me-nyentak senjata tersebut, tahu tahu pedarg lemas yang tipisnya seperti kertas itu sudah menegang keras bagaikan sebatang toya baja. Dari sini terbuktilah sudah bahwa tenaga dalam yang dimiliki nona itu betul betul sudah mencapai puncak kesempurnaan.
Terperanjat juga Hoa In-liong menyaksikan kejadian itu. Coa Cong-gi yang sudah bangkit berdiri dan semula masih dibakar oieh api kegusaran, setelah menyaksikan kelihayan musuhnya mengkeret juga dibuatnya, dia tak berani turun tangan lagi secara gegabah.
Kembali Bwee Su yok menggetarkan pergelangan tangannya, ujung pedang itu ditudingkan ke muka, lalu dengan wajah menyeringai hardiknya keras keras, “Eeehh… engkau sebetulnya mau cabut keluar pedangmu atau tidak? Ketahuilah, mau cabut pedangmu atau tidak, nona sama saja akan membunuh kau. Sampai waktunya jangan salahkan kalau nona bertindak kejam kepadamu!”
Dalam pada itu, secara lapat-lapat Hoa In-liong telah merasa bahwa gadis cantik berwajah dingin kaku yang berada dihadapannya ini pada hakekatnya masih mempunyai perasaan yang sensitif se-perti kebanyakan orang lain. ini terbukti dari kemarahannya yang begitu memuncak setelah mendengar ocehan Coa Cong-gi yang menuduh dia sedang cemburu. Sebab hanya manusia berperasaan sensitiflah yang gampang tersinggung oleh cemoohan atau ejekan orang lain.
Pemuda ini wataknya terbuka dan tak senang menyelidiki orang sampai seteliti-telitinya, apalagi setelah dipaksa terus menerus oleh Bwee Su-yok dengan caranya yang sinis itu, sontak gengsinya sebagai seorang laki-laki tersinggung.
Pedang pendeknya digetarkan keras-keras sampai memperdengarkan suara dengungan yang memekakkan telinga, kemudian dengan lantang dia berkata, “Nona Bwee, eagkau terlalu sombong dan takabur, sekalipun tidak sampai kucabut nyawamu, tapi pantatmu akan kuhajar sebagai peringatan atas keangkuhanmu itu. Nah, bersiap-siaplah! Sebentar aku akan tangkap badanmu dan gebuk pantatmu itu….”
Bwee Su-yok semakin gusar, saking marahnya pucat pias wajahnya yang cantik itu, badannya ikut menggigil, sambil menggigit bibir ia mendengus lalu menerjang kemuka sambil melepaskan sebuah tusukan kilat.
Hoa In-liong tentu saja tak sudi unjukkan kelemahannya didepan orang. Baru saja dia akan menggerakkan pedangnya untuk menangkis, tiba-tiba tampak sesosok bayangan hitam berkelebat lewat, menyusul kemudian orang itu membentak nyaring, “Tunggu sebentar!”
Bayangan hitam yang menghalangi terjadinya pertempuran itu bukan lain adalah Kiu im-kaucu.
Pada waktu itu air muka Kiu im kaucu kelihatan sangat mengerikan. Sepasang matanya merah penuh nafsu membunuh, rambutnya yang telah beruban bergoyang-goyang kencang walaupun tiada angin yang berhembus lewat, rupanya ia se dang merasa gusar sekali.
Mendengar bentakan itu, Hoa In-liong segera membatalkan maksudnya untuk menangkis dan mundur selangkah kebelakang. Sedangkan Bwee Su yok menarik kembali pedang lemasnya dan menyingkir kesamping.
Dengan tatapan mata yang tajam, Kiu-im-kaucu memandang sekejap dua orang muda mudi itu tiba-tiba ujarnya dengan suara dingin, “Yok-ji, tampankah Hoa siauhiap ini?”
OOOOoooOOOO “ADA APA?” seru Bwee Su-yok seperti orang tercengang. “Apakah Yok-ji telah melakukan perbuatan salah?”
Sinar mata yang memancar dari mata Kiu-im-kaucu berkilat tajam, bukan menjawab kembali dia membentak, “Jawab pertanyaanku, cepat! Dia terhitung tampan atau tidak?”
Bwee-Su-yok menoleh dan memandang sekejap wajah Hoa In-liong dengan ragu-ragu, lalu sahutnya, “Tidak….tampan”
“Jangan banyak berpikir!” kembali Kiu-im-kaucu membentak nyaring, “Jawabannya tak boleh dua, ayoh cepat, beri jawaban yang tegas!”
“Dia bermuka tampan atau tidak, apa sangkut pautnya dengan Yok-ji?” bantah Bwee Su-yok. “Kenapa kau orang tua ”
“Jangan banyak bertanya, ayoh segera jawab!” tukas Kiu- im-kaucu lagi sambil mengetukkan toya baja kepala setannya ke atas tanah.
Mula-mula Bwee Su-yok agak tertegun, menyusul kemudian sahutnya setengah menjerit, “Tampan! Tampan! Tampan!”
Agaknya Kiu-im-kaucu merasa sangat puas dengan jawaban tersebut, dia menarik napas panjang sekulum senyuman menghiasi bibirnya, lalu mengangguk dengan lirih. “Hmmm! Ternyata tidak membohongi aku……! Ternyata tidak membohongi aku Kalau begitu aku memang sedang
menguatirkan soal yang sama sekali tak perlu!”
Menyaksikan sikap musuhnya yang sebentar marah sebentar girang, lalu memaksa muridnya menjawab pertanyaan yang sama sekali tak ada gunanya itu, Hoa In- liong menjadi keheranan dan berdiri tertegun. Ia tidak habis mengerti mengapa musuhnya harus berbuat begini?
Tampaknya Bwee Su-yok juga tidak dapat memahami maksud tujuan gurunya, dengan alis berkenyit katanya sambil cemberut, “Kenapa Yok-ji mesti membohongi engkau orang tua? Soal apa yang kau orang tua musti kuatirkan tentang diri Yok-ji?”
Kiu-im-kaucu menengadah dan tertawa. “Kejadian yang sudah lewat biarkanlah lewat kau tak usah banyak bertanya lagi! Pokoknya yang penting, engkau harus selalu teringat akan nasehat dari gurumu”
Bwee Su-yok mengangguk, sahutnya dengan sikap yang sangat hormat, “Yaa! Yok-ji akan mengingatkan selalu, dikolong langit tak ada seorang laki-lakipun yang merupakan orang baik, semakin tampan orang itu semakin busuk hatinya”
Wajah maupun sikapnya yang dingin, kaku dan hambar itu pulih kembali seperti sedia kala. Nada pembicaraanpun kembali jadi dingin seperti salju sedikitpun tidak membawa emosi.
Melihat dan mendengar keketusan muridnya itu Kiu-im- kaucu tampak merasa puas sekali, tak kuasa lagi ia tertawa terbahak-bahak.
Sampai disini, Hoa In-liong pun dibuat mengerti juga dengan keadaan yang selang dihadapinya. Rupanya keketusan dan sikap dingin yang dimiliki Bwee Su-yok saat ini bukanlah watak yang alamiah, melainkan watak dari hasil didikan orang lain yang dilakukan sejak dari gadis itu masih kecil.
Karena itu juga, diapun berpikir didalam hati, “Aaaah….suatu sistim pendidikan yang sungguh sungguh mengerikan! Padahal usia gadis itu masih sangat muda, wajahnya juga cantik, sepantasnya kalau dia hidup dalam kebebasan dan kegembiraan. Yaa….nona yang begitu polos dan sederhana telah dididik Kiu im kaucu menjadi Giok Kwan- im yang tak bersukma. Tak heran kalau jalan pikirannya begitu picik, tak heran kalau dia bersikeras hendak membunuh aku!”
Siapa tahu jalan pemikiran si anak muda inipun keliru besar, sekalipun tingkah laku dan pembicaraan seorang manusia erat sekali hubungannya dengan pendidikan yang diterimanya, namun pendidikan itu sendiri tak dapat melenyapkan watak almiah dari manusia.
Bwee Su-yok bisa naik pitam dan tiba-tiba saja berkobar nafsu membunuhnya boleh dibilang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan sikap dingin, kaku dan ketus yang ditunjukkan dara itu. Tidak sepantasnya pemuda itu menyinggung gengsi dan harga diri Bwee Su-yok. Tidak seharusnya pemuda itu berkata, “Walaupun nona cantiknya memang cantik, namun kecantikan itu belum cukup untuk menggerakkan hatiku” serta kemudian sikap dan tindak tanduknya yang mencemooh.
Selain daripada itu, sepantasnya kalau pemuda itu tidak menunjukkan pula sikap mesrahnya dengan nona berbaju hitam itu. Bwee Su-yok bukan gadis buta yang tak dapat melihat, sudah tentu dia tahu bahwa dia lebih cantik bila dibandingkan dengan nona baju hitam itu, tapi kenyataannya pemuda itu lebih tertarik pada gadis yang tidak lebih cantik daripadanya dibandingkan menaruh perhatian kepadanya, tentu saja sebagai seorang gadis remaja Bwee Su-yok jadi tak tahan.
Manusia yang normal adalah manusia yang mengenal arti cinta, laik-laki atau perempuan semuanya mempunyai perasaan semacam itu, sebab gaya tarik memang selalu terdapat dalan tubuh laki-laki maupun perempuan.
Selain daripada itu, delapan sampai sembilan puluh persen wanita cantik didunia ini adalah egois (lebih mementingkan diri sendiri). Hoa In-liong tampan lagi gagah, bukan saja lihay ilmu silatnya baik pula budinya sekalipun Bwee Su-yok dibesarkan dalam pendidikan yang keliru dan berpandangan picik, sekalipun sikapnya dingin kaku dan tidak beremosi, tapi dalam hati kecilnya dia masih mempunyai daya tarik terhadap lawan jenisnya.
Sejak pandangan yang pertama, kegagahan dan ketampanan pemuda itu telah meninggalkan kesan yang cukup mendalam. Sayang pemuda itu telah mengucapkan kata-kata yang menyinggung perasaan dan gengsi gadis itu. Apalagi sedari kecil ia sudah mendapat pendidikan yang keliru, dalam keadaan demikian semakin yakinlah dia bahwa apa yang diucapkan gurunya…. makin tampan seorang lelaki makin busuk hatinya adalah benar. Serta merta hawa nafsu membunuh daiam hati gadis itu pun berkobar.
Tentang soal ini, mungkin Hoa In-liong tidak menyangkanya sama sekali, tapi Kiu-im-kaucu dapat merasakan hal tersebut. Sebab itulah dengan suara yang lantang dan nyaring ia bertanya kepada Bwee Su-yok dengan pertanyaannya yang serba aneh, menanti Bwee Su-yok memberi jawabannya yang jujur disertai teriakan nyaring dan sikapnya pulih kembali dalam keketusan dan dingin, ia baru merasa puas dan berlega hati.
Suasana dalam arena kembali pulih dalam kesunyian, yang terdengar hanya gelak tertawa Kiu-im-kaucu yang bangga dan nyaring. Ditengah gelak tertawa yang memekikkan telinga itu, pelan-pelan Kiu-im-kaucu maju kedepan, dibelainya bahu gadis she Bwee itu, kemudian tanyanya dengan lembut, “Yok- ji bencikah engkau kepadanya?”
“Aku tidak tahu” sahut Bwee Su-yok dingin, “Tapi aku muak sekali melihat tampangnya!”
Kiu-im-kaucu mengangguk beberapa kali. “Ehmmm! Yok-ji, kau memang anakku sayang sebenarnya boleh saja kau bunuh orang itu, tapi aku masih membutuhkan dirinya, maka pergi dan tawanlah orang itu hidup-hidup!”
“Baik!” sahut Bwee Su-yok. “Sreeet!”
Dia menyimpan kembali pedang lemasnya, kemudian dengan wajah dingin dan langkah yang tegap selangkah demi selangkah dihatn pirinya pemuda Hoa In-liong.
Kiu-im-kaucu putar badannya, memandang bayangan punggung muridnya itu dia tertawa bangga sambungnya lebih jauh, “Hati-hati! Ilmu silat keluarga Hoa bukan kepandaian yang bisa dianggap remeh, jangan sampai kau hancurkan merek gurumu!”
Tiba-tiba Coa Cong-gi menerkam ke muka, teriaknya setengah menjerit, “Bagus sekali! Akan kuremukkan papan merekmu itu. akan kulihat kau siluman tua bisa berbuat apalagi!”
Sebuah pukulan dahsyat segera dilontarkan ke depan menghantam dada Bwee-Su-yok.
Serangan yang dilancarkan ini bukan saja disertai tenaga dalam yang maha dahsyat, kecepatannya pun bagaikan sambaran kilat, belum habis ucapannya diutarakan, serangan yang keras dan kuat bagaikan gulungan ombak ditengah samudera itu sudah menerjang ke arah dada gadis itu.
Bwee-Su yok memang sungguh-sungguh amat lihay. Sedikit saja badannya miring ke samping, tahu-tahu serangan yang maha dahsyat itu sudah di hindarinya. Ditengah dengusan dingin tangan tangan kanannya mencengkeram kemuka mengancam urat nadi diatas pergelangan tangan Coa Cong-gi.
Sementara tangan kirinya yang tajam bagaikan pisau membacok tekukan sikutnya, bukan begitu saja malahan kaki kanannya ikut melayang kedepan menendang jalan darah Tan-tian dipusar.
Satu jurus dengan tiga gerakan, bukan saja enteng dan gesit, bahkan tajam dahsyat dan luar biasa lihaynya.
Hoa In-liong terhitung seorang pemuda yang dapat menguasai perasaan sendiri, akan tetapi setelah menyaksikan jalannya pertarungan itu, bergidik juga hatinya.
Tampaknya aliran ilmu silat yang dianut Coa Cong-gi sejalan dengan tabiatnya, keras berangas dan dan mengandalkan tenaga besar. Masih mendingan kalau ia tidak bertarung, sekali turun tangan maka tubuhnya menerjang terus kedepan, sedikit pun tidak merasa gentar atau takut.
Tampak telapak tangannya ditekan ke arah bawah, tubuhnya mendadak berputar keras, sikutnya langsung disodok ke belakang menumbuk jalan darah Mia-bun-hiat. Sementara tangan kirinya disapu ke samping mencengkeram jalan darah cian-keng-hiat di bahu, baik berganti jurus maupun menukar gerakan, semuanya dilakukan de ngan ganas, sama sekali tidak memperdulikan ke selamatan jiwa sendiri. “Woouw, suatu gerakan serangan yang ganas dan tekebur!” teriak Kiu-im-kaucu lantang, “Eeh.. anak muda, engkau adalah anak murid siapa….?”
“Anak murid diri sendiri!” sahut Coa Cong-gi ketus. Seraya berkata, tubuhnya secepat kilat berputar kencang. Kepalan dan telapak tangannya dipergunakan berbareng. Dalam waktu singkat dia telah melancarkan tiga buah jotosan dan tujuh buah pukulan telapak tangan yang tajam.
Sebetulnya anak muda itu maksudnya hendak berkata bahwa ilmu silatnya adaran ajaran keluarga, tapi oleh karena wataknya terlalu berangasan lagi pula sedang melancarkan serangan berantai, jawaban yang kemudian diucapkan malahan menjadi suatu jawaban seperti orang segan menyahut.
Kiu-im-kaucu mendengus dingin, tiba-tiba dia berseru, “Seng tongcu, kau maju dan layanilah engkoh cilik ini bermain-main beberapa jurus!”
Seorang kakek pendek, kecil yang memelihara jenggot kambing dijanggutnya disudut arena sana segera mengiakan dan masuk kedalam gelanggang bentaknya dengan suara lantang, “Lohu bernama Seng Sin-sam, akan melayani beberapa jurus serangan darimu!”
Dengan suatu loncatan kilat ia menerjang masuk ke arena, telapak tangannya secepat kilat dibabat kebawah membacok dada kiri Coa Cong-gi.
Sementara itu Bwee Su-yok telah melayang mundur ke belakang, dengan suara berat katanya , “Tangkap dia, aku minta dalam keadaan hidup!” Kemudian sambil putar badan, dia menuding ke arah Hoa In-liong sambil ujarnya lagi dengan di-ngin, “Orang she-Hoa, kaucu ada perintah yang melarang nonamu membunuh kau, sekarang kau boleh menyerang dengan legakan hatimu!”
“Ooooo….. Tadi kan sudah kukatakan, aku hendak menabok pantatmu karena kau nakal….”
Belum habis ucapan itu, si nona baju hitam telah menerjang kedepan sambil berseru, “Hoa kongcu. silahkan pergi dari sini! Mereka andalkan jumlah banyak, tidak menguntungkan bagi kita untuk melayani kurcaci-kurcaci tersebut!”
Bwee-su-yok semakin naik pitam, kembali ia membentak keras, “Kek Tongcu, tangkap perempuan itu!”
Ditengah bentakan nyaring, segesit dia mengigos kesamping menghindarkan diri dari sergapan nona baju hitam, kemudian ia berbalik menerjang ke arah Hoa In-liong lagi.
Pada saat yang bersamaan, seorang kakek tinggi besar yang berkepala botak melayang masuk ke dalam arena, ia langsung menghadang jalan pergi si nona baju hitam.
Si Nio yang melihat majikannya terhadang, serta merta menerjang pula kedepan, dia kuatir majikannya menemui celaka. “Telur busuk!” makinya, “Kami tak ada sangkut pautnya dengan orang she Hoa itu. ayoh cepat menyingkir, kami akan berlalu dari sini!”
Si Nio benar-benar amat setia terhadap majikannya, dia tak ingin menyaksikan majikannya berhubungan dengan Hoa In- liong, lebih-lebih tak ingin membiarkan dia bertempur dengan orang-orang Kiu-im-kau, tapi lantaran wataknya yang berangasan. Begitu selesai berbicara, telapak tangan kanannya langsung diayun kemuka menghantam dada Kek Tongcu itu.
Orang she Kek ini bernama Kek Thian tok, dia adalah seorang anggota lama dari Kiu-im-kau, malahan terhitung bawahan yang paling kuno sebab pengabdiannya semenjak kaucu angkatan yang lalu, sekarang dia menjabat sebagai ketua ruangan kesejahteraan anggota, bukan saja kedudukannya terhormat, ilmu silat yang dimiliki juga bebat sekali.
Dengan suatu langkah yang aneh tiba-tiba ia memutar badannya, entah dengan gerakan apa, tahu-tahu tubuhnya yang tinggi besar itu sudah berada dibelakang punggung Si Nio telapak tangannya segera dihantam keatas jalan darah Leng-tay-hiat ditubuh perempuan itu.
“Hmm! Rupanya engkau memang sudah bosan hidup……” bentaknya.
Si nona baju hitam merasa amat terkejut, serta merta ia menerjang ke muka sambil berteriak, “Si Nio, hati-hati”.
Telapak tangannya diayun, langsung menyongsong datangnya ancaman dari Kek Thian-tok.
“Blaaaang….,..!” ketika dua pasang telapak tangan saling beradu, terjadilah suatu ledakan keras yang memekikkan telinga.
Sekujur badan sinona baju hitam itu terpukul miring kesamping dan secara beruntun mundur delapan langkah dari tempat semula sebelum akhirnya berhasil untuk berdiri tegak kembali. Keadaan Kek Thian-tok sendiripun tidak begitu menyenangkan, badannya terseret miring kesamping oleh angin pukulan itu. Rupanya Si Nio merasakan gelagat yang kurang menguntungkan, serta merta ia melesat beberapa kaki kedepan dengan badan hampir menempel diatas permukaan tanah, dengan suatu gerakan yang mendebarkan hati loloslah sinenek jelek itu dari ancaman maut.
Semua kejadian ini berlangsung hampir bersamaan waktunya, sementara Hoa In-liong masih bertarung sengit melawan Bwee Su-yok. Keadaan sinona baju hitam itu sudah keteter hebat, tampaknya ia tak sanggup untuk melakukan perlawanan lebih jauh.
Melihat keadaan tersebut, Hoa In-liong jadi terkejut sekali, dia mengepos tenaga dalamnya dan memaksa mundur Bwee Su-yok, lalu pedang pendeknya dilontarkan ke muka sambil teriaknya dengan penuh kecemasan dan kekuatiran, “Nona, sambutlah pedang ini!”
“Criiiit….!”
Diiringi suara desingan tajam yang memekikkan telinga, pedang pendek itu dergan memancarkan sinar berwarna keperak-perakan meluncur ke muka.
Kebetulan sekali Kek Thian-tok sedang bergerak maju dan melancarkan terjangan untuk kedua kalinya ke arah nona baju hitam saat itu, dengan melesatnya sang pedang pendek itu, otomatis ujung pedang itu mengancam keatas punggung Kek Thian-tok.
Untunglah Toagcu dari ruang Kesejahteraan perkumpulan Kiu-im-kau ini terhitung seorang jago kawakan, baik ketajaman dalam penglihatan maupun ketajaman dalam pendengaran boleh dibi lang cukup tangguh, tatkala merasakan tibanya de singan angin tajam, dengan ketakutan buru-buru badannya bertiarap keatas tanah. “Sreeet!”
Dengan membawa desingan angin tajam, pedang pendek itu meluncur tepat diatas batok kepalanya dan melayang ke arah dada si nona baju hitam.
Dari kejauhan si nona baju hitam itu dapat merasakan pula desingan angin tajam yang dibawa pedang pendek itu sangat memekikkan telinga, dan lagi tenaga luncurnya belum lemah, dia tak berani menyambut dengan begitu saja, terpaksa kakinya bergeser selangkah ke samping, terhindar dari sambaran senjata itu, pedang pendek tadipun rontok ke tanah.
Si-Nio menyambar pedang pendek itu dengan kecepatan luar biasa, lalu menerjang kedepan, ben-taknya keras-keras, “Nona. cepat lari! biar setan tua ini aku yang hadang……”
Pedangnya menggeletar nyaring, dengan membawa desingan yang menggidikkan hati dia tusuk dada Kek Thian tok.
Bwee-Su-yok semakin kalap menyaksikan kejadian itu, teriaknya setengah menjerit, “Bunuh dia! Bunuh perempuan itu sampai mampus!”
Agaknya kemarahan yang berkobar dalam dada perempuan itu sudah mencapai pada puncaknya. Sinar mata yang memancar keluar mengerikan sekali, telapak tangannya berputar kesana kemari, desingan angin jari mendesis kesekeliling gelanggang. Semua jalan darah penting ditubuh Hoa In-liong terancam dibawah serangannya, ini membuat si anak muda itu mau tak mau harus mengerahkan pelbagai macam ilmu tangguhnya untuk mempertahankan diri. Walaupun demikian, pemuda itu masih juga keteter hebat dan tak mampu mempertahankan diri, dia terdesak berada dibawah angin.
Syarat terpenting yang harus diperhatikan oleh jago-jago lihay yang sedang bertempur adalah ke-tenangan serta pemusatan pikiran dan perhatian ke satu titik.
Ketika Hoa In-liong masih bisa bertempur dengan memusatkan pikiran tadi, kedudukannya masih lumayan. Tapi setelah dilihatnya si nona baju hitam itu terancam bahaya dan bukan tandingan Kek Thian-tok, karenanya pedang pendek yang dipakainya itu disambit kembali kepada nona itu agar nona tadi bisa melawan dengan ketajaman senjatanya, justru karena perhatiannya bercabang, ia jadi kehilangan posisi yang menguntungkan, dan untuk sesaat tak mampu mengembalikan lagi posisinya yang tidak menguntungkan itu.
Bwee Su-yok memang masih muda, usianya baru belasan tapi kepandaian silat yang dimilikinya luar biasa sekali. Apa lagi mukanya sekarang diliputi keketusan dan keseraman yang mencekam hati, seakan-akan gadis itu sudah lupa kalau Kiu- im-kaucu telah berpesan untuk menangkap mu-suhnya dalam keadaan hidup.
Baju putihnya sebentar bergerak kekiri sebentar lagi bergerak kekanan, semua serangan yang digunakan seolah- olah merupakan jurus mematikan yang mengerikan hati, ini membuat lawan-nya jadi semakin keteter bebat.
Hoa In-liong sendiri, sekalipun posisinya sangat tidak menguntungkan. Namun kejadian itu tidak membuat hatinya jadi gugup. Memang keteguhan hati dan ketenangan adalah pokok utama yang diandalkan ayahnya untuk melepaskan diri dari kesulitan. Dihari-hari biasa diapun selalu mendidik anak- anaknya untuk mengutamakan keteguhan hati. Oleh sebab itulah meskipun Hoa In-liong berada dalam posisi yang menyulitkan, namun sikapnya tetap tenang dan keteguhan hati betul-betul tercermin dari setiap gerak- geriknya. Sekarang ia tidak mengharapkan keuntungan tapi lebih mengutamakan keselamatan. Karena itu bila Bwee Su- yok ingin melukai pemuda itu dalam beberapa gebrakan saja jelas hal ini tak mungkin terjadi.
Begitulah, kedua orang itu saling menyerang dengan gencarnya, dalam waktu singkat dua puluh gebrakan sudah lewat. Sekalipun terjadi perbedaan antara yang terdesak dan pihak yang menyerang namun untuk menentukan siapa menang siapa kalah masih merupakan suatu tanda tanya besar.