Jilid 08
TABIB tua itu berpaling ke arah putranya, kemudian ujarnya lebih lanjut dengan wajah serius, “Anak Lam selama ini aku tak pernah memaksa kau berlatih silat, tak pernah paksa kau belajar ilmu pertabiban. Sebaliknya membiarkan engkau mencari teman, bahkan mabok-mabokan dan bermain pelacur dirumah bordil, tahukah engkau aku tidak menghalangi semua perbuatan itu?”
Merah padam selembar wajah Yu Siau-lam karena, jengah. “Sebodoh-bodohnya ananda rasanya ananda masih dapat meraba maksud ayah yang sebenarnya,” dia menjawab, “Mungkin hal ini dikarenakan kita keluarga Yu adalah keluarga persilatan, maka kita tak boleh lupa pada asalnya. Mencari beberapa orang sahabat, membantu orang menyelesaikan kesulitan, aku rasa perbuatan-perbuatan semacam ini hanya ada manfaatnya dan tak akan mendatangkan kerugian, bukan begitu ayah?”
Kanglam Ji-gi mengangguk. “Walaupun tidak terhitung mendatangkan manfaat, juga tak sampai mendatangkan kerugian. Justru “tidak melupakan asal” itulah yang paling tepat, hanya keteranganmu saja yang kurang cocok.
Ketahuilah, dunia persilatan pada hakekatnya adalah sumber dari segala bencana. Tempat semacam itu tidak pantas untuk di kenang, sedangkan mengenai menolong kaum lemah merupakan kewajiban dari setiap manusia di dunia ini.
Sekalipun kita tidak melakukannya, orang lain tentu akan melaksanakannya. Jadi perbuatan semacam itu hakekatnya tidak cocok dengan maksudku yang sebenarnya.” “Oooh…. Ananda sekarang mengerti, seperti telah memahami sesuatu, Yu-Siau-lam berseru. “Ayah sengaja memberi kebebasan kepada ananda, tak lain tak bukan adalah berharap agar kita jangan melupakan budi kebaikan dari Hoa tayhiap, betulkan?”
Kata-katanya itu sebetulnya sangat tak masuk diakal, bahkan boleh dibilang bertolak belakang. Bayangkan saja memberi kebebasan kepada putranya dengan tujuan agar jangan melupakan budi kebaikan dari seseorang, bukankah itu merupakan sesuatu lelucon yang menggelikan?
Tapi apa yang terjadi? Ternyata dugaan Yu Siau-lam itu tepat sekali…..
“Anak Lam, kau memang cerdik, memang itulah jalan pikiran ayahmu!” puji Kanglam Ji-gi sambil manggut-manggut, mukanya jelas bercermin rasa kagumnya.
Semua orang mengerutkan dahinya setelah mendengar perkataan itu. Memang keterangan tersebut cukup membuat orang jadi bingung dan tak habis mengerti.
“Loya-cu!” Yu Lo-hujin segera menyela, “Perkataanmu barusan sungguh membuat aku si nenek tua jadi bingung dan tak habis mengerti. Budi kebaikan yang pernah diberikan Hoa tayhiap kepada kita tentu saja tak boleh kita lupakan. Cuma sayang selama ini belum ada kesempatan untuk membalasnya, maka terpaksa aku si nenek tua memelihara lukisan dari Hoa tayhiap dan ibunya. Dan tiap pagi dan malam berdoa bagi keselamatan serta kesejahteraan hidupnya. Dan kenyataannya, kau memanjakan anak Lam, memberi kebebasan kepada anak Lam, tak pernah menggembleng anak Lam, mencapai kemajuan. Perbuatanmu itu sudah merupakan kesalahan besar. Sekarang kau melimpahkan pula semua kesalahan itu keatas badan Hoa tayhiap, apakah….. apakah itu bukan namanya dosa besar… pikirlah!”
Terbahak-bahak Kinglam Ji-gi mendengar ucapan istrinya. “Hujin…. Oooh….. Hujin….. Haaaaa…… haaaaa……. haaa…… kau anggap anak Lam adalah seorang bocah yang tak ingin mendapat kemajuan bagi kemampuannya?” ia bertanya.
Yu Lo-hujin tertegun, ia memandang sekejap ke arah putranya lalu berkata lagi, “Eeeh…. Sebenarnya apa yang hendak kau katakan? Kenapa tidak kau katakan saja terus terang? Kalau begini caramu berbicara dan berbelok-belok dulu kesana kemari, aku bisa kebingungan akhirnya kau buat!”
“Baik! Baik! Aku akan berbicara secara blak-blakan…..” kata tabib tua itu sambil mengangguk.
Dia melirik sekejap ke arah Hoa In-liong, setelah itu membuka telapak tangannya dan menimang-nimang jarum perak lembut yang berhasil dihisap keluar tadi, katanya lebih lanjut, “Silihkan hujin periksa, jarum perak ini berhasil kuhisap keluar dari dalam jalan darah ‘hiok-tin-hiat’ dibelakang batok kepala Hoa kongcu, coba lihatlah dengan seksama!”
Yu Lo-hujin menerima jarum itu kemudian diperiksanya sejenak, setelah itu baru ujarnya, “Aku lihat diujung jarum perak ini masih tersisa sedikit bubuk obat pemabok, kenapa? Apakah duduknya persoalan serius sekali?”
“Aaai…..? Tampaknya persoalan yang selama ini selalu kukuatirkan, kini agaknya sudah hampir meletuk!”
“Apa?” teriak Yu Lo-hujin sangat terkejut, “Maksudmu dunia persilatan bakal menjadi kekacauan?”
Dengan sedih Kanglam Ji-gi mengangguk. “Kalau sudah lama kacau dunia akan menjadi tenang, kalau sudah lama dunia tenang maka itu berarti akan terjadi kekacauan. Sejak Hoa tayhiap berhasil lenyapkan hawa siluman dari muka bumi, sejak terbasmi dan tersingkir dari dunia kangouw, apakah kau kira siluman-siluman yang lolos dari jaring tempo hari dan pentolan-pentolan liok-lim yang sukar ditundukkan dulu bersedia takluk sepanjang masa?
Aaaai…..! Dunia akan selalu berputar, sejarah selalu akan berubah. Hanya tak kusangka kalau bencana kali ini bakal datang dengan begitu cepatnya.”
Yu Lo-hujin tertegun, lama sekali dia membungkam, tapi akhirnya dia coba menghibur diri sendiri, “Oooh….. loya-cu mungkin engkau merasa risau yang berlebih-lebihan!”
“Selama hidup aku selalu gembira dari pasrah tak pernah kualami kerisauan yang berlebih-lebihan” kata Kanglam Gi-ji. “Sejak diadakannya penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san, berkat di kebaikan dari Hoa tayhiap, perguruan yang sudah lenyap dan berhubung aku gemar ilmu pertabiban dan obat- obatan, secara khusus Hoa tayhiap menghadiahkan pula sejilid kitab Hoa-tuo Cin-keng kepadaku. Kesemuanya itulah membuat aku berhasil mendapat sedikit kemajuan seperti yang kumiliki sekarang. Aaaai….. Justru karena aku terlalu gembira dan pasrah, akupun sangat menaruh perhatian atas tindak tanduk Hoa tayhiap. Maka dalam pengamatanku waktu itu selalu kurasakan bahwa watak Hoa tayhiap terlalu jujur, baik dan berbudi luhur, bencana yang tak dibasmi sampai ke akar-akarnya, bila angin musim semi berhembus lewat, tentu akan tumbuh kembali bibit baru. Karena peristiwa inilah beberapa tahun belakangan ini tiap saat selalu kukuatirkan keselamatan jiwanya.”
Rupanya Kanglam Ji-gi dahulunya adalah seorang tianglo dalam perguruan Thian-tay-pay. Sejak penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-sau dan berhasil mendapat kembali kitab pusaka perguruannya, diserahkan kembali kitab itu kepada ketuanya. Lalu karena wataknya suka hidup sepi menyendiri, ia berpamit dengan ciangbunjinnya dan menetap dikota kim-leng dengan hidup sebagai seorang tabib. Akhirnya menjadi seorang tabib kenamaan. Setiap penduduk kota Kim-leng rata-rata mengetahui bahwa dia adalah seorang yang sangat baik.
Sungguh tak disangka sama sekali karena rasa berterima kasihnya atas budi kebaikan yang pernah dilakukan Hoa Thian-hong kepadanya, diam-diam diapun memperhatikan setiap gerak-gerik dalam dunia persilatan, boleh dibilang perbuatannya ini mengandung maksud yang amat mendalam. Maka dari situ, setelah si Tabib Sosial dari Kanglam menerangkan sampai disitu, hampir semua orang mengetahui garis besar duduknya persoalan.
Coa Cong-gi memang orangnya kasar dan tak mau pakai otaknya untuk berpikir, namun itu bukan berarti dia bodoh, ketika Kanglam Ji-gi menyelesaikan kata-katanya, dia lantas berseru tertahan. “Oooh……. aku mengerti sudah sekarang” Serunya. “Jadi empek memberi kebebasan kepada kita untuk makan minum dan berpesiar tanpa dikekang, tujuannya tak lain adalah suruh kami memperhatikan gerak-gerik serta situasi dalam dunia persilatan?”
“Tujuan kaum siluman, iblis dan pentolan bajingan adalah membuat kekacauan. Kalau hanya memperhatikan saja sama sekali tak ada gunanya,” kata Kanglam Ji-gi. “Untuk itu kalian harus belajar sedikit-sedikit hingga akhirnya merupakan kebiasaan dan tidak meninggalkan jejak. Dengan begitu baru ada hasil yang kita peroleh. Misalnya saja dengan peristiwa perempuan yang bernama Cia In itu, jikalau di hari-hari biasa kalian tidak melakukan pergaulan hingga terbiasa, mungkinkah kamu semua berhasil menolong Hoa kong-cu?” Setelah berhenti sebentar, tiba-tiba sambungnya lebih jauh, “Tapi aku percaya, kalian semua adalah anak baik-baik, sekalipun tak pernah terkekang di hari-hari biasa, kalian cukup mengetahui diri. Karenanya akupun dengan hati lega membiarkan kalian pergi dengan bebas!”
Merah padam wajah keempat orang kongcu lainnya karena jengah.
Wan Ek-hong cepat menyela, “Jika dugaan keponakan tak meleset, rupanya empek masih mempunyai pesan lain bukan?”
Kanglam Ji-gi manggut-manggut sambil tersenyum. “Ek- hong, kau memang sangat cerdik. Benar aku memang mempunyai dua maksud dengan perbuatan demikian. Pertama agar kalian banyak melakukan pergaulan sehingga cakup memahami perubahan yang terjadi dalam dunia persilatan.
Kedua agar kalian banyak mempunyai teman, sehingga bila terjadi suatu peristiwa, kamu semua dapat membantu Hoa tayhiap melakukan suatu usaha besar. Tentu saja semua perbuatanku ini tak lain adalah membalas budi kebaikan Hoa tayhiap pada khususnya. Selain itu akupun menguatirkan kepentingan umat persilatan pada umumnya. Tentunya kalian tidak menyalahkan diriku bukan?”
“Haaaa…..! Inilah tugas baik yang diberikan pek-hu kepada kita semua, siapa yang berani menyalahkan? Hmn….. Siapa berani menyalahkan, akulah yang pertama-tama akan putuskan semua hubungan dengannya!” teriak Coa Cong-gi dengan suara lantang.
Wan Ek-hong, Li Po-seng dan Ko Sieng-peng juga ikut berseru hampir berbareng, “Perkataan adik Cong-gi memang benar. Inilah tugas baik yang pek-hu berikan kepada kami. Tujuan pek-hu ibaratnya sang surya diangkasa. Tentu saja tak ada yang menyalahkan, apalagi dapat membantu Hoa tayhiap membasmi kaum iblis dan hawa sesat serta melakukan usaha besar adalah cita-cita kami semua. Dengan berbuat demikian kami tak akan sampai menyia-nyiakan kasih sayang pek-hu selama ini kepada kami…..”
Belum habis ucapan tersebut, Kanglam Ji-gi sudah tertawa terbahak-bahak dengan nyaringnya. “Haaaa….. haaaa……. haaaa…… Bagus, bagus sekali! Kalau keponakan semua dapat membedakan mana yang salah mana yang benar, hatiku pun akan jadi tenteram rasanya.”
Yu Lo-hujin yang selama ini membungkam, tiba-tiba mengayunkan jarum perak ditangannya itu dengan kening berkerut. “Loya-cu!” tukasnya, “Apakah kemurunganmu itu bersumber dari jarum perak ini?”
Kanglam Ji-gi berpaling dan mengangguk. “Benar, jarum perak itulah penyebab kemurunganku selama ini. Bayangkan saja hujin, perempuan she Cia itu pandai sekali menyembunyikan jejaknya. Bukan saja dia rela menjadi pelacur bahkan memiliki pula ilmu silat yang tinggi. Ditinjau pula obat pemabok yang dipoleskan di ujung jarum perak ini, serta caranya menusuk jalan darah, lalu meninjau pula sasarannya adalah keturunan dari Hoa tayhiap, jika kita gabungkan semua masalah itu menjadi satu, bukankah itu memberi isyarat kepada kita bahwa dunia persilatan telah menjadi perubahan besar?”
Yu Lo-hujin berpikir sebentar, sementara dia akan mengucapkan sesuatu, tiba-tiba Hoa In-liong yang ada diatas pembaringan telah rnenggerakan tubuhnya.
Cepat-cepat Kanglam Ji-gi berseru, “Hujin, tunggulah sebentar, lebih baik kita tanyakan duduk persoalan yang sebenarnya kepada Hoa-kongcu.” Dia bangkit lalu menghampiri sianak muda itu. Hoa In-liong sudah duduk diatas pembaringan. Terdengar ia mengeluh, “Aduuh….. Sesak amat napasku……!”
Kanglam Ji-gi lantas menggulur tangan kirinya dan membimbing pemuda itu. “Hoa kongcu, berbiringlah sejenak lagi ” bisiknya.
Tiba-tiba Hoa In-liong membuka matanya lebar-lebar, dengan nada tercengang ia berseru, “Aku aku barada
dimana?”
“Kongcu berada di pasanggrahan tabib di kota Kim-leng, tempat tinggal aku si orang tua.”
Hoa In-liong memandang sekejap sekeliling tempat itu, akhirnya sorot matanya itu terhenti diwajah Kanglam Ji-gi. “Lotiang, siapa kau? Siapa namamu? Boleh aku tahu?” sapanya.
“Aku bernama Yu Siang-tek, orang-orang menyebut diriku sebagai Kanglam Ji-gi, Tabib Sosial dari Kanglam!”
“Parahkah luka yang kuderita kali ini?” Hoa In-liong bertanya lagi dengan wajah bingung.
“Tidak! Kong-cu hanya terkena suatu sistem pengendalian yang lihay, terkena jarum perak yang dibubuhi obat pemabok.”
“Jarum perak yang dibubuhi obat pemabok?” Hoa In-liong mengerutkan dahinya rapat-rapat, “Lotiang, katakanlah yang jelas, betulkah tempat ini adalah kota Kim-leng?”
“Benar!” Kanglam Ji-gi mengangguk tenang. Seperti teringat akan sesuatu, tiba-tiba Hoa In-liong berseru tertahan, rupanya suatu hal telah dipahaminya. “Aaah, sekarang aku teringat sudah kejadiannya… eeeh, dimanakah perempuan yang bernama Cia In itu?”
“Cia In adalah pelacur dari rumah pelacuran Gi-sim-wan” hela Yu Siau-lam dari samping “tentu saja pada saat ini……”
Belum habis ucapan itu ketika tiba-tiba Hoa In-liong meronta bangun dan meloncat turun dari pembaringannya, “Perempuan itu bukan perempuan sembarangan serunya dengan gelisah, Rumah pelacuran Gi-sim-wan terletak dimana? Aku harus pergi mencarinya.”
“Hoa kongcu, harap tenang dulu hatimu!” cegah Kanglam Ji-gi. “Aku tahu latar belakang dari peristiwa ini bukanlah kejadian sederhana. Aku kuatir kalau pada saat ini perempuan tersebut sudah tidak berada dirumah bordil Gi-sim-wan lagi.”
Hoa In-liong tertegun, sekali lagi dia menyapu sekejap semua orang yang hadir dalam ruangan itu dan akhirnya sinar matanya itu berhenti diatas wajah Kanglam Ji-gi. “Lotiang, kau kenal aku?” Bisiknya hampir tak percaya, “Apakah lotiang yang menolong aku sewaktu aku terkena jarum perak yang berobat pemabuk itu?”
Kanglam Ji-gi tersenyum dan mengangguk, “Ketika diadakannya operasi penggalian harta karun dibukit Kiu-ci-san dua puluh tahun berselang, aku pernah bertemu dengan ayah ibumu. Tentang urusan yang amat kecil ini tak perlu kongcu pikirkan selalu, apa toh artinya bantuan sekecil itu? Oya, bagaimana keadaan Hoa kongcu sekarang? Apakah badanmu masih terasa kurang enak?” Menyinggung sekali soal penggalian harta di bukit Kiu-ci- san, Hoa In-liong segera mengetahui bahwa Kanglam Ji-gi adalah sahabat lama ayah ibunya. Cepat ia menjinjing bajunya dan memberi hormat dengan penuh kesopanan. “Boanpwe Hoa In-liong, menghunjuk hormat buat Yu locianpwe” katanya.
“Tak berani, tak berani……” Cepat-cepat Kanglam Ji-gi membalas hormat itu, “Bila Hoa kongcu merasa ada sesuatu bagian badan yang kurang enak katakan saja terus terang! Tapi kalau memang tak ada, aku ada beberapa persoalan yang hendak ditanyakan kepadamu.”
“Aneh benar Yu locianpwe ini,” pikir Hoa In-liong diam- diam, “kenapa sikap maupun cara ber-bicaranya begitu merendahkan diri?”
Dalam hati berpikir demikian, diluaran dia menyahut, “Obat pemabok atau sebangsanya sama sekali tidak mempan terhadap diri boanpwe, sampai sekarang boanpwe merasa tubuhku tetap sehat dan segar seperti biasa. Bila locianpwe ingin menanyakan sesuatu, silahkan diutarakan keluar, boanpwe pasti akan mendengarkan dengan seksama.”
“Kalau begitu bagus sekali, silahkan duduk dulu Hoa- kongcu!” kata tabib tua itu sambil tertawa.
Menyusul kejadian, diapun memperkenalkan semua orang yang hadir disana kepada Hoa In-liong, sedang anak muda itu segera memberi hormat kepada Yu Lo-hujin dan menyapa Kim-leng Nyo-kongcu sebelum akhirnya duduk kembali ke tempat semula.
Kanglam Ji-gi alihkan sinar matanya memandang putranya sekejap, kemudian katanya. “Anak Lam. Coba kau ceritakan dulu kisah perjumpaanmu dengan Hoa kongcu, agar Hoa- kongcu tidak terlampau curiga lagi.”
Waktu itu Hoa In-liong merasa amat curiga dengan keadaan sekelilingnya, ketika rahasia hatinya itu dipecahkan orang, dia agak kikuk jadinya. “Aaiia…. agak menyesal rahasia hatiku ketahuan juga,” batinnya didalam hati.
Yu Siau-lam sama sekali tidak memperhatikan perubahan wajah tamunya, ketika mendengar perintah dari ayahnya, diapun menuturkan kembali kisah perjumpaannya dengan Cia In sampai berhasil menyelamatkan anak muda itu dari tangan perempuan tersebut.
Menanti ia menutur sampai pertolongan yang diberikan di pesanggrahan tabib ini, Yu lo-hujin segera mengacungkan jarum perak yang berada ditangannya itu sambil menambahkan, “Tahukah Hoa kongcu kenapa selama ini jatuh tak sadarkan diri terus menerus? Itulah disebabkan karena jarum perak yang mengandung obat pemabuk ini menancap di jalan darah giok-tin-hiat dari Hoa kongcu.”
“Jalan darah giok-tin-hiat?” ulang Hoa In-liong sambil menjerit kaget, matanya sampai melotor besar.
“Semua kejadian yang sudah lewat biarkan lewat” cepat Kanglam Ji gi menukas, “Tenangkan hatimu Hoa kongcu, coba periksalah dulu apakah ada benda penting yang hilang?”
Mendengar ucapan itu Hoa In-liong merasa sangat terperanjat. Kalau barang lain yang hilang, masih mendingan. Andaikata surat pribadi dari Giok teng hujin yang dijahit dalam kutang pelindung badannya yang lenyap, entah apa jadinya? Padahal surat itu sudah di wanti-wanti agar jangan hilang. Dengan jantung berdebar keras cepat ia meraba sakunya dan kaos kutang pelindung badan itu.
Untunglah kaos kutang pelindung badannya masih utuh. Tiga botol obat yang diberikan ibunya Chin toa-hujin juga masih ada. Yang hilang cuma pedang mustika, baju yang menjadi bekalnya serta kuda jempolan itu. Tapi benda-benda itu tak terlampau penting baginya.
Maka ketika ditemuinya surat wasiat itu masih ada dan kaos kutang pelindung badannya tak diusik, diam-diam ia menghembuskan napas lega, “Tampaknya Cia In sama sekali tidak menggeledah isi sakuku tentang pedang dan pakaian sih hilang biarlah hilang, soalnya barang-barang itu tidak penting” katanya kemudian.
“Waaah, kalau begitu urusan ini jadi rada-rada aneh” seru Kanglam Ji-gi keheranan. “Semestinya perempuan she-Cia itu tentu akan menggeledah isi sakumu. Hoa kongcu, masih ingatkah bagaimana kejadiannya sewaktu itu kau tertangkap tempo hari?”
Air muka Hoa In-liong agak semu merah. “’Aaaai…. bila diceritakan kembali, sebetulnya kejadian itu adalah salah boanpwee sendiri. Tidak seharusnya kalau aku bertindak terlampau gegabah.”
Pemuda itupun menceritakan bagaimana kisah perkenalannya dengan Cia In sampai bagaimana kemudian jalan darahnya tertotok. Sebagai akhir kata ia menambahkan, “Boanpwee terlalu percaya pada kondisi badanku sendiri.
Karena aku yakin obat pemabok tak akan berpengaruh apa- apa bagiku, apalagi cuma bubuk pembingung sukma yang bikin orang mabok selama tujuh hari, maka aku pura-pura mabok. Sungguh tak kusangka kalau diam-diam jalan darahku juga ikut tertotok. Menanti aku sadar akan gelagat yang tidak menguntungkan, kesadaranku berangsur telah hilang. Karena itu boanpwee sama sekali tidak tahu kalau setelah aku pingsan, dia menusuk pula jalan darah giok-tin-hiat ku dengan jarum yang dibubuhi obat pemabok.”
Ketika Kim-leng ngo-kongcu mendengar bahwa Hoa In- liong tidak mempan diracuni, mereka merasa sangsi dan setengah percaya setengah tidak. Sebaliknya Kanglam Ji-gi mendengar semua kisah cerita itu dengan tenang sambil putar otaknya berpikir, menanti pemuda itu selesai bercerita, dia masih juga dibikin tak habis mengerti kenapa Cia In tidak menggeledah saku anak muda itu.
Untuk sesaat suasana dalam ruangan baca itu jadi hening. Suasanapun ikut berubah jadi agak tegang dan serius, seakan- akan disekitarnya terdapat sebuah jepitan besi yang mencengkeram perasaan masing-masing. Setiap orang merasakan dadanya jadi sesak.
Akhirnya Coa Cong-gi yang tidak tahan, ketika ditunggunya belum ada juga yang berbicara tiba-tiba ia berteriak lantang, “Eeeh….. sudah, sudahlah, kalian tak usah berpikir lagi! Pek- hu bagaimana kalau kami pergi mengunjungi rumah pelacuran Gi-sim-wan sekarang juga?”
“Benar!” Ko Siong-peng menanggapi dengan cepat “Perduli Cia In telah kembali ke rumah pelacuran Gi-sim-wan atau tidak, mengunjungi rumah bordil itu memang tak ada salahnya. Yu pek-hu! Keponakan akan menyaru sebagai laki- laki hidung belang malam nanti dan mengunjungi rumah bordil itu untuk mencari keterangan”
‘Hmmmm…. apa yang dikatakan Siong-peng memang masuk diakal” Yu Lo-hujin mendukung usul itu sambil mengangguk “Cia In selama ini hidup dirumah pelacuran Gi- sim-wan, kemungkinan besar Gi-sim-wan itulah merupakan sarang yang sebenarnya dari komplotan mereka. Aku akan pergi kesana mencari keterangan bukanlah suatu cara yang melanggar tata kesopanan!”
“Jangan…. Jangan….. kalian tak boleh kesana!” tukas Kanglam Ji-gi sambil goyangkan kepalanya berulang kali “Kalau kalian kesitu, berarti tindakan ini merupakan memukul rumput mengejutkan ular. Semua usulmu dimasa lampau segera akan sia-sa belaka.”
“Aaaai…. Loya-cu, watakmu dari dulu sampai sekarang belum juga berubah?” omel Yu Lo-hujin, “kalau sikapmu selalu ragu-ragu untuk mengambil keputusan, bagaimana mungkin bisa melakukan, tugasmu dengan sebaik baiknya? Biarlah mereka pergi, aku si nenek tua akan menjadi tulang punggung mereka.”
Tertawa gelak tabib sosial itu mendengar ucapan isterinya. ”Haaaa… Haaaah…. Haaaahhhh…. hujin kau sudah tua, kalau ingin menjual nyawa, lebih baik jual nyawamu dikemudian hari saja. Sebab kemungkinan besar jiwamu lebih bermanfaat untuk dikorbankan dilain waktu. Sedang dalam persoalan hari ini, yang akan dituju adalah rumah pelacuran Gi-sim-wan, bukannya mencegah anak-anak pergi ke tempat itu, kenapa hujin malah mau menjadi tulang punggung mereka? Kan lucu jadinya.”
Mula-mula Yu Lo-hujin agak tertegun, menyusul kemudian paras mukanya berubah hebat, tampaknya dia akan ribut- ribut.
Hoa In-liong yang merasa gelagat kurang enak cepat bangkit berdiri, katanya, “Hujin harap jangan marah, bagaimana kalau dengarkan dulu sepatah dua patah kata boanpwe?. Semula, maksud boanpwe membiarkan diriku dibekuk adalah ingin menggunakan kesempatan itu untuk menyelidiki asal usul Cia In yang sebenarnya dan sekarang kalau toh sudah diketahui bahwa Cia In menang tinggal di rumah pelacuran Gi sim-wan, boanpwe dapat menyelesaikan sendiri persoalan itu sebaik-baiknya. Untuk budi kebaikan dan budi pertolongan yang telah Yu-tooianpwe serta saudara- saudara sekalian berikan kepadaku, biarlan boanpwe ucapkan banyak-banyak terima kasih, soal pemberian bantuan, boanpwe terima saja didalam hati.”
Selesai berkata dia lantas merangkap tangannya dan menjura kepada semua orang yang hadir dalam ruangan.
Coa Cong-gi tak suka menerima penghormatan semacam ini, cepat-cepat ia berteriak keras, “Hei….. Kau ini, kenapa jadi orang begitu seenaknya dan tak tahu diri……”
Wan Ek-hong kuatir saudaranya ini melakukan kesalahan dalam berbicara cepat-cepat dia menukas, “Hoa kongcu, penolakanmu itu ini artinya memandang asing diri kami semua. Kami tahu bahwa persoalan yang dihadapi ayahmu aneka ragam banyaknya dan diliputi pelbagai macam persoalan. Sedang kami beberapa orang tak hanya ingin bekerja membonceng keberhasilan orang. Masing-masing bekerja demi kepentingan pribadi. Jika kau berbuat demikian, bukankah sama artinya bahwa semua persoalan hanya akan kau kangkangi sendiri demi keuntungan pribadi?”
Ucapan itu tajamnya melebihi sebilah golok. Hoa In-liong merasa hatinya terperanjat dan berdiri terbelalak. Untuk sesaat lamanya dia tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Wan Ek-hong segera merangkap tangannya memberi hormat. Setelah tertawa terbahak-bahak katanya lagi, “Haaaa…… Haaaa….. haaa……. Hoa kongcu, anggap saja kata- kataku ini hanya kata-kata mainan belaka, jangan kau anggap sebagai sungguhan. Maksud siau-te, setiap perbuatan yang dilakukan pihak Liok-soat-sang-ceng adalah demi kebaikan orang banyak. Sudah banyak manfaat yang diterima orang persilatan dari perbuatan kalian. Sedang maksud kami mengikuti jejakmu, pertama adalah ingin belajar cara kerja ayahmu. Kedua ingin menggunakan segenap ke-mampuan yang kami miliki untuk melakukan suatu pekerjaan yang bermanfaat bagi kepentingan umum. Jikalau Hoa kongcu tidak membiarkan kami ikut serta didalam persoalan ini terus terang kami semua merasa tidak puas.”
Kali ini perkataannya jauh lebih lunak dan halus, tapi nadanya masih tajam setajam sembilu, membuat orang yang mendengar tak dapat menampik dengan begitu saja.
Untuk sesaat lamanya Hoa In-liong berdiri termangu- mangu. Akhirnya dia merangkap tangannya memberi hormat. “Kalau toh saudara Wan telah berkata demikian, siau-te tak bisa bicara apa-apa lagi,” katanya. “Cuma bila saudara sekalian memang benar-benar tak pandang asing pada diriku, harap sebutan ‘Hoa kongcu’ jangan dipakai lagi. Siau-te menduduki urutan nomor dua dalam keluarga, bernama Hoa Yang alias Hoa In-liong. Harap dikemudian hari kalian panggil saja aku Hoa Yang atau Hoa In-liong atau Hoa loji, terserah pada kalian akan panggil apa saja. Bila ada diantara kalian ada yang memanggil aku dengan sebutan kongcu lagi, jangan salahkan jika siau-te akan segera angkat kaki tanpa pamit!”
Coa Cong-gi paling berangasan diantara saudaranya segera dia bersorak kegirangan sambil bertepuk tangan.
“Haaaaa… puas..… puas.…. aku betul-betul puas! Hoa loji, kita tetapkan begini saja, pokoknya siapa memanggil kongcu lagi kepadamu, dia itu manusia macam begini…..” Sambil berkata dia lantas tunjukkan gerakan tangan cucu kura-kura, seketika itu juga semua orang tertawa terbahak- bahak.
Ditengah gelak tertawa yang sangat ramai, Yu Lo-hujin mengetokkan tongkatnya berulang kali keatas tanah, disertai suara serak teriaknya keras-keras, “Sudah……. sudah…… jangan tertawa… Jangan tertawa lagi! Lebih baik kita bicarakan persoalan yang sebenarnya”
Dimulut nyonya tua itu mengatakan ‘Jangan tertawa lagi’, hakekatnya dialah yang tertawa paling keras diantara orang- orang lain. Yu Siau-lam kuatir nafas ibunya jadi sesak, sambil berusaha me-nahan gelak tertawanya dia uruti panggung ibunya berulang kali.
Saat itulah seorang pelayan datang melapor , “Lapor Lotay- ya, arak dan sayur telah siap, tolong tanya perjamuan akan diadakan dimana?”
“Ruang tamu sebelah dalam!” jawab si Tabib Sosial dari Kanglam sambil menahan rasa gelinya.
Kembali ia bangkit berdiri, dengan sikap hormat lanjutnya, “Engkoh cilik Ling, aku akan menurut kehendak hatimu dengan menyebut kau sebagai engkoh cilik. Mari, silakkan!
Mari kita sambil bersantap sambit bercakap-cakap, baik atau buruk kita harus merundingkan suatu cara yang paling baik untuk mengatasi persoalan ini.”
“Memang seharusnya begitu….” ucap Hoa In-liong. “Aaaai….. Aku lihat engkau baru benar-benar sudah pikun”
terdengar Yu Lo-hujin sedang omeli suaminya, “Sudah beberapa hari Hoa lo-ji tak sadarkan diri, badannya tentu penuh debu dan kotor. Sebelum dipersilahkan membersihkan badan dan menyisir rambut, masa disuruh bersantap?”
Gelak tertawa kembali berkumandang memenuhi seluruh ruangan. “Aaaah, iya, aku memang betul-betul sudah pikun” gumam si Tabib Sosial itu, “Anak Lam, ajak Hoa…. Ajak engkoh cilik Liong untuk membersihkan badan, sedang hiantit sekalian silahkan menunggu sebentar. Hujin! Mari kita menunggu di ruang tamu.”
Dengan begitu, suasanapun jauh lebih santai dan ringan, suami istri yang sudah tua itu berlalu lebih dulu menyusul kemudian masing-masing yang lainpun pergi membersihkan badan.
Perawakan tubuh Yu Siau-lam kebetulan seimbang dengan Hoa In-liong. Dari dalam kamarnya dia siapkan satu stel baju baru dan diserahkan kepada anak muda itu untuk menukar bajunya yang sudah kotor.
Hoa In-liong memang seorang yang supel dan gemar berkawan, bahkan ia merasa cocok sekali dengan rekan-rekan barunya. Selesai membersihkan badan dan berganti pakaian, ia rampak lebih segar dan tampan.
Secara beruntun pemuda-pemuda itu muncul kembali di ruang tamu sebelah dalam, masing-masing bergaul dengan santai tanpa adanya pembatasan-pembatasan yang membuat suasana jadi kaku. Dengan demikian suasanapun jauh lebih akrab dan penuh rasa persaudaraan.
Rupanya si Tabib Sosial dari Kanglam dan istrinya memang pandai bergaul dengan kaum muda. Pesta perjamuan itu berlangsung sampai kentongan pertama sebelum akhirnya bubar dengan masing-masing merasa sangat puas. Dalam perjamuan itu, Kanglam Ji-gi sempat pula bertanya kepada Hoa In-liong mengapa ia jauh meninggalkan rumah?
Tanpa merahasiakan segala sesuatunya, Hoa In-liong membeberkan semua tugasnya untuk menyelidiki pembunuh Suma siok-ya serta semua pengalaman yang dijumpainya sepanjang jalan.
Mendengar penuturan tersebut, selain merasa sedih dan murung atas kematian Kiu-mia kiam-kek suami istri, semua orangpun merasa amat gusar dan benci atas kekejaman serta kemisteriusan si pembunuh keji itu. Tapi didalam pembicaraan yang kemudian diadakan, semua orang akhirnya berkesimpulan bahwa ‘bencana besar sudah menjelang tiba’. Sejak itu dunia persilatan yang sudah aman selama dua puluh tahun kembali akan dikacaukan oleh pelbagai peristiwa besar.
Berbicara soal bencana besar yang menjelang tiba, Kanglam Ji-gi selalu menyinggung secara garis besarnya saja tanpa memberikan keterangan yang lebih terperinci.
Setiap kali membicarakan persoalan yang dibahas, atau manusia-manusia lihay yang disinggung, ia selalu mengawali pembicaraan itu dengan perkataan ‘mungkin persoalan ini ada sangkut pautnya’ atau ‘mungkin orang ini ada sangkut pautnya’. Pokoknya semua keterangannya tidak membahas sampai terperinci. Tiap kali Hoa In-liong mendesak lebih jauh, tiba-tiba saja tabib itu mengalihkan pembicaraannya ke soal lain.
Kendatipun demikian, tabib tua ini sangat setuju kalau Hoa In-liong melakukan perjalanannya menuju wilayah Lam- huang, sekalipun tanpa disertai alasan apapun.
Hoa In-liong sendiri, oleh karena merasa bahwa masalah Cia In adalah masalah paling serius yang dihadapinya sekarang, maka tentang persoalan lainpun ia tidak banyak bertanya lagi.
Mengapa Cia In yang berilmu tinggi bersembunyi dalam sarang pelacuran?. Semua orang merasa hal ini merupakan suatu teka teki besar.
Lalu apa tujuan perempuan itu menculik Hoa In-liong?
Kembali suatu teka teki yang tak terjawab.
Mengapa pula ia tidak menggeledah saku Hoa In-liong ketika pemuda itu berhasil diringkus? Kembali suatu teka teki.
Diberondong oleh serentetan teka teki yang membingungkan hati, pemuda Hoa In-liong merasa pusing tujuh keliling, tentu saja ia segan membahas masalah lain sebelum pertanyaan-pertanyaan yang dianggap sangat penting itu belum memperoleh jawaban yang memuaskan hati.
Oleh karena itulah, setelah dilakukan pembicaraan yang lebih mendalam, akhirnya si Tabib Sosial dari Kanglam setuju dengan pendapat Kim-leng ngo-kongcu yakni menyaru sebagai laki-laki hidung bangor dan mencari berita ke rumah pelacuran Gi-sim-wan.
Sekalipun setuju mereka meninjau rumah pelacuran itu, tabib tua tadi hanya setuju kalau Hoa In-liong cuma ditemani oleh Yu Siau-lam seorang sedangkan yang lain dilarang ikut serta.
Tabib tua itu beranggapan bahwa Cia In telah kabur bersama begundal-begundalnya, jadi meninjau rumah pelacuran secara berombongan hanya merupakan tindakan yang berlebihan. Sedang mengenai apa sebabnya dia hanya setuju kalau Hoa In-liong ditemani oleh Yu Siau-lam seorang? Menurut kakek itu, karena persoalan ini mengangkut kepentingan mereka berdua.
Memang kalau dipikir, alasan itu cukup berbobot.
Katanya, “Andaikata rumah pelacuran Git-sim-wan adalah sarang bajingan, maka orang-orang di rumah bordil itu pasti tahu tentang perbuatan Cia In menculik orang dan dapat diduga perempuan yang bernama Cia In itu tentunya sudah menyembunyikan diri, maka untuk melakukan penyelidikan harus dipilih orang-orang yang tepat.
Setelah Hoa In-liong tertolong, sewajarnya kalau Yu Siau- lam sebagai orang kota Kim-leng yang mengenal jalan dan seluk beluk rumah pelacuran menghantar pemuda itu untuk mencari tahu jajak Cia In, sekalipun mungkin penyelidikan mereka tidak mendatangkan hasil apa-apa, toh tak akan sampai perbuatan itu diketahui pihak Gi-sim-wan sehingga meningkatkan kewaspadaan mereka.
Perhitungan dari Tabib sosial ini memang cukup cermat disertai persiapan langkah-langkah berikutnya. dia tak ingin kalau sampai jejak yang Cuma ada satu-satunya itu putus di tengah.
Tentu rekan-rekan dari Kim-leng ngo-kongcu yang lain tak ada yang mengajukan keberatan, kecuali satu orang yakni Coa Cong-gi yang berangasan itu.
Agaknya Coa Cong-gi merasa amat cocok sekali dengan watak Hoa In-liong, ia tak mau berpisah dengan pemuda itu malahan bersikeras membantu mengatakan bahwa diapun berkepentingan dengan persoalan itu, sebab sewaktu menolong Hoa In-liong diapun ada disana. Sampai perjamuan bubar, dia masih ribut terus tiada hentinya. Lama kelamaan Tabib Sosial dari Kanglam dibikin kewalahan juga oleh tingkah polah anak muda itu. Terpaksa dengan perasaan apa boleh buat ia menyetujui juga kehendak pemuda itu untuk ikut.
Mendengar persetujuan itu, tak terkirakan rasa girang Coa Cong-gi, sontak ia meloncat bangun sambil berteriak, “Siapkan, kuda! Siapkan kuda!”
Melihat itu, Kanglam Ji-gi cuma bisa gelengkan kepalanya sambil mengurut dada.
“Cong-gi….. Cong-gi.….” katanya, “Kau musti ingat jika kepergian kalian saat ini bukan berpesiar, tapi untuk mencari berita. Bila kau tak dapat menahan diri dan berkaok-kaok seperti saat ini, bisa jadi urusan engkoh In-liong akan terbengkalai di tanganmu!”
“Keponakan mengerti, keponakan sudah mengerti jelas,” sahut Coa Cong-gi sambil mangut-mangut, “Pokoknya setelah tiba di rumah pelacuran Gi-sim-wan aku pasti akan menutup mulutku rapat-rapat!”
Semua orangpun pelan-pelan tinggalkan ruang tamu menuju ke halaman depan. Disana pelayan telah siapkan tiga ekor kuda.
“Nah….. Naiklah keatas kuda!” ajak Kanglam Ji-gi kemudian sambil ulapkan tangannya, “Cepatlah pergi dan cepatlah kembali. Bila berhasil mendapatkan sesuatu keterangan, lebih baik malam ini jangan sampai turun tangan lebih dahulu.” Beberapa patah kata terakhir itu mungkin saja tak dipahami orang lain, tapi Hoi Liong yang cerdik segera dapat memahami arti dari perkataan itu.
Ia tersenyum, sahutnya sambil menjura, “Boanpwe tentu akan baik-baik menjaga diri. Malam sudah makin kelam, udara amat dinguin, silahkan locianpwe masuk ke dalam ruangan!”
Setelah menerima tali les kuda dan meloncat naik keatas punggung kudanya, ia berseru pula ke pada rekan-rekan lainnya, “Sampai jumpa lagi saudara-saudaraku!”
la lantas membedal kudanya menyusul Yu Siau-lam berdua.
Malam itu udara bersih, rembulan dan bintang memancarkan sinarnya dengan redup, dengan ke-tajaman mata dari tiga orang itu mereka membedal kudanya cepat- cepat, dalam suasana yang sepi dan lenggang mereka tidak kuatir terjadinya sesuatu diluar dugaan.
Akan tetapi setelah melewati loteng tambur dan masuk jalan besar See-ong-hu, mereka terpaksa harus menjalankan kudanya pelan-pelan, sebab manusia yang berlalu lalang disitu terjejal-jejal.
Tiga orang itu semuanya berdandan sebagai putra hartawan, bukan saja wajahnya tampan, kuda merekapun kuda jempolan. Sepanjang jalan mereka banyak menarik perhatian serta pandangan kagum khalayak ramai.
Yu Siau-lam mempunyai julukan sebagai Say-beng-siang (Beng Siang Sakti). Bagi orang yang kenal Kim-leng ngo- kongcu tentu kenal pula pemimpinnya. Sepanjang jalan banyak pula orang-orang yang seagaja maju menyapa, hal ini menyebabkan perjalanan mereka semakin lambat. Coa Cong-gi adalah seorang pemuda yang tak dapat menyembunyikan perasaan sendiri. Sewaktu dalam hatinya ada urusan maka ia lantas tunjukkan sikap kurang sabar terhadap mereka yang sengaja menyapa. Dengan sikap acuh tak acuh sepasang alis matanya yang tebal berkenyit kencang.
Hoa In-liong sendiri juga tak sabar lagi, tapi oleh karena baru pertama kali ini ia berkunjung ke kota Kim-leng, apa yang terlihat di sekelilingnya terasa masih segar, maka untuk membuang kekesalan hatinya sebentar-sebentar dia celingukan ke sana ke mari.
Selang sesaat kemudian, tiba-tiba Hoa In-liong menyaksikan Coa Cong-gi duduk di kudanya dengan alis mata berkenyit. Tanpa terasa diperhatikannya pemuda itu dengan seksama, kemudian pikir, “Saudara Coa paling blak-blakan dan suka bicara tanpa tedeng aling-aling. Manusia beginilah terhitung manusia paling jujur dan tak kenal arti tipu muslihat. Jangan dilihat alisnya tebal dan matanya besar, berbicara soal ketampanan, belum tentu dia kalah dengan yang lain-lain, malahan bisa jadi dialah paling tampan diantara Kim-leng ngo- kongcu. Cuma ketampanannya selalu tertutup oleh kerutan alisnya yang tebal itu. Aku tak boleh menyia-nyiakan kesempatan yang sangat baik ini untuk berkenalan dirinya, sebab pemuda ini sangat jujur dan merupakan sahabat yang paling dapat dipercaya!”
Berpikir sampai disitu, tiba-tiba saja kegembiraan hatinya berkobar kembali, dia lantas menjalankan kudanya kes amping begitu, lalu tegurnya, “Saudara Cong-gi apakah keluargamu juga menetap di kota Kim-leng ini?”
Waktu itu Cong-gi sedang merasa kesal sekali, ketika mendengar pertanyaan itu, alisnya yang berkerut segera mengendor kembali, dan mukanyapun kembali berseri, “Haaa…… Haaa…… Haaa…… Benar, aku berasal dari kota Kim- leng. Bagaimana dengan kau?”
Tiba-tiba ia merasa bahwa pertanyaan macam itu sebenarnya tidak perlu ditanyakan cepat lanjutnya kembali, “Eee…… kita harus sebutkan tanggal lahir masing- masing, coba lihat siapa yang lebih tua diantara kita! Dengan begitu untuk menyebut “kakak atau adik” pun tak usah ngawur seenaknya bukan begitu saudara Hoa In-liong?”
Hoa In-liong tersenyum den mengangguk. “Siau-te dilahirkan pada tahun Jin-seng, bulan Cin-gwe tanggal sembilan besar, tahun ini berusia delapan belas tahun, bagaimana dengan saudara Cong-gi?”
Pemuda ini masih teringat terus akan pesan neneknya maka dia selalu menghapalkan tanggal dan tahun kelahirannya setahun lebih tua. Otomatis dalam setiap pembicaraanpun tanpa terasa dia selalu menyebut tanggal kelahirannya secara komplit.
Cong-gi yang tak pernah mau berpikir dengan otaknya sudah tentu tak akan mengira kalau tahun kelahiran pemuda itu sebetulnya palsu, ia lantas tertawa terbahak-bahak. “Haaaa….. haaaa….. Haa..… Kalau begitu akulah yang menang. Aku dilahirkan tahun Sim-wi, jadi persis lebih tua satu tahun daripada kau……!” katanya
Hoa In-liong ikut tersenyum.
“Siau-te tidak merasa dirugikan dengan kemenangan Cong- gi heng, sebab itu di kemudian hari aku akan diperhatikan baik-baik olehmu…..”
“Haaa….. haaaa….. haaa….. sudah sepantasnya kita saling memperhatikan! Sepantasnya kita saling memperhatikan!” gelak tertawa Coa Cong-gi amat nyaring. Ini menunjukkan kalau pikiran maupun perasaannya telah lapang kembali.
Melihat sikap saudaranya itu, tiba-tiba Hoa In-Liong berpikir dalam hati, “Orang ini mengetahui cara sopan santun dan merendahkan diri, ini berarti bahwa dia sebenarnya tidak bodoh!”
Selang sesaat kemudian ia bertanya lagi, “Cong-gi heng, siapakah gurumu?”
“Oooh….. ilmu silatku adalah warisan keluarga, jadi aku bisa bebas bergerak tanpa musti dikekang oleh peraturan perguruan”
Diam-diam Hoa In-liong tertawa geli, katanya pula, “Apakah Pek-hu Pek-bo berada dalam keadaan sehat walafiat? Berapa orang saudaramu?”
“Ayahku sudah meninggal banyak tahun. Di rumah aku cuma mempunyai seorang adik perempuan”
Tiba-tiba sepasang matanya dibelalakkan lebar-lebar, dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya lebih jauh, “Eeh….. aku hendak memberitahukan satu hal kepadamu, tahukah engkau bahwa adik perempuanku adalah harimau betina yang galaknya bukan kepalang? Kalau kau bertemu dikemudian hari, mustilah sedikit berhati-hati.”
Sebelum Hoa In-liong memberikan tanggapannya, tiba-tiba terdengar Yu Siau-lam telah berseru, “Hati-hati sedikit! Kita sudah sampai di tempat tujuan.”
Ternyata dalam bercakap-cakap tadi, tanpa terasa mereka sudah tiba di pintu gerbang rumah pelacuran Gi-sim-wan.
Ramai sekali suasana di sekitar tempat itu. Sementara Hoa In-liong dan Coa Cong-gi masih tertegun keheranan, tiba-tiba seorang pegawai rumah pelacuran itu maju menyongsong kedatangan mereka. Sambil membungkukkan badannya memberi hormat kepada Yu Siau- lam katanya sambil tertawa tengik, “Yu-ya baru sekarang kau datang? In cici telah siapkan meja perjamuan dan kini sedang menunggu di dalam kamar”
Kejadian ini benar-benar diluar dugaan. Ketika mendengar perkataan itu, untuk sesaat mereka bertiga jadi tertegun dan lupa melompat turun dari kudanya.
Ketika Yu Siau-lam menghadang jalan pergi Cia In diluar pintu Gui-tee-bun kemudian merampas tawanannya, perempuan itu pernah mencabut pisau belatinya untuk melakukan perlawanan. Semenjak itu kedua belah pihak telah saling berhadapan sebagai musuh.
Kini, tawanannya telah ditolong orang, ternyata bukannya kabur jauh-jauh dari situ Cia In malah tetap berdiam disana, bahkan telah siapkan meja perjamuan untuk menantikan kedatangan mereka. Meski hal itu memang merupakan janji dari Cia In waktu masih berada diluar kota, tapi yang mengherankan, apakah dia takut Hoa In-liong meluruk kesitu dan membongkar rahasianya?
Waktu itu kaum pelancong yang berpesiar di sekitar kuil Hui-cu-bio luar biasa banyaknya, terutama tamu-tamu yang berkunjung ke rumah bordil Gi-sim-wan, boleh dibilang bagaikan aliran air sungai yang mengalir silih berganti.
Yu Siau-lam tertegun sejenak, kemudian sempat berpikir panjang lagi dia melompat turun dari kudanya seraya ulapkan tangan. “Bawa jalan buat kami!” perintahnya.
“Baik tuan!” Pelayan itu bungkukkan badan sambil mengiakan, dia putar badan lalu berteriak ke arah halaman rumah pelacuran itu, “Yu kongcu telah tiba!”
Dengan langkah yang sengaja dibuat tegap, ia membawa tamu-tamunya masuk ke dalam.
Dalam waktu singkat seruan ‘Yu kongcu telah tiba’ tadi sudah disampaikan secara berantai ke ruang paling dalam. Suara yang keras bagaikan gembrengan itu membuat orang merasa semangatnya berkobar kembali.
Yu Siau-lam tersenyum, dia berpaling dan memandang sekejap ke arah Hoa In-liong serta Coa Cong-gi, lalu katanya, “Nona Cia betul-betul seorang yang dapat dipercaya. Silahkan saudara sekalian!”
Tali les kuda mereka telah diterima oleh seorang pelayan dan dibawa masuk ke kandang. Hoa In-liong tidak banyak bicara lagi, dia manggut-manggut sambil menirukan lagak rekannya. “Ehmmm….. memang dapat dipercaya! Dapat dipercaya! Silahkan saudara Siau-lam”
Mereka bertiga masuk bersama dengan langkah lebar. Ditengah jalan, Yu Siau lam diam-diam berbisik dengan menggunakan ilmu menyampaikan suara.
“Sungguh diluar dugaan Cia In tidak berusaha menghindarkan diri, Hoa-heng! Bagaimana rencanamu berikutnya?”
“Lebih baik kita bertindak menurut keadaan, coba lihat dulu bagaimanakah tanggapan serta tanggung jawabnya terhadap peristiwa itu!” sahut Hoa In-liong dengan ilmu menyampaikan suara pula.
“Jika dia bersikeras mungkir atau memberikan yang alasan berbelit-belit bagaimana sikapnya pada kita? Atau bila perlu kita gunakan saja kekerasan untuk memaksa perempuan itu mengaku? Kadang kala memang ada orang yang baru mau mengaku jika dipakai kekerasan!”
“Aku pikir tak usah gunakan kekerasan!” ooooooOoooooo
“CONG-GI adalah seorang pemuda yang ringan mulut dan seringkali gampang menyemburkan kata-kata yang kasar tanpa tedeng aling-aling, aku kuatir kalau sampai waktunya dia banyak mu-lut” kata Yu Siau-lam mengutarakan kekuatirannya.
“Aku pikir pendapat ayahmu sangat tepat. Bila jejak ini kita bikin putus dengan kekerasan, tentu tiada hasil yang bisa kita capai. Alangkah baiknya kalau dalam segala tindak tanduk nanti, nantikan dulu maksud hatiku,” pesan Hoa In-liong.
“Baiklah!” sahut Yu Siau-lam sejenak kemudian, “Aku akan bertindak mengikuti kerlingan mata Hoa-heng”
Menyusul kemudian dengan ilmu menyampaikan suara diapun berpesan beberapa patah kata kepada Coa Cong-gi.
Semenjak permulaan tadi, Coa Cong-gi sudah menganggap Hoa In-liong sebagai pemimpinnya, tentu saja ia tidak mengemukakan pendapat apa-apa. Pemuda itu hanya mangut sebagai tanda bahwa semua pesan itu telah diingatnya semua. Cahaya lampu menerangi seluruh ruangan Gi-sim-wan, suasana disitu ramai dan gaduh. Suara tertawa, suara pembicaraan dan suara orang bergurau serasa memekakkan telinga.
Sementara mereka bertiga berjalan masak ke dalam, seringkali muncul perempuan-perempuan cantik dengan aneka macam potongan badan serta kegenitan berjalan mondar- mandir disana sambil tiap kali mengerling genit ke arah mereka.
Perlu diketahui, baik Yu Siau-lam maupun Coa Cong-gi kedua-duanya adalah langganan tetap rumah pelacuran Gi- sim-wan. Hampir tiap hari mereka bermain disitu lagipula jadi orang royal tak heran kalau sebagian besar pelacur-pelacur disana kenal dengan tampang ‘cukong cukong muda’ mereka ini.
Berbeda sekali dengan kedatangan mereka kali ini. Dengan membeban tugas penting, sejak masuk ke rumah pelacuran itu mereka telah pasang mata baik-baik memperhatikan keadaan disekeliling tempat itu. Bukan saja mereka tidak merasakan pengaruh apa-apa oleh kerlingan maut pelacur- pelacur tersebut, malahan memandang tubuh mereka yang berliuk-liuk padat, tiba-tiba saja timbul rasa jijiknya yang tebal. Mereka segera merasa bahwa itulah profil dari seorang pelacur.
Cia In berdiam di sebuah gedung berloteng yang mungil dan indah. Loteng itu berpagar bambu dengan tirai tipis yang berwarna merah muda. Di sekeliling gedung penuh pohon bambu yang rindang. Jauh di ujung sana terdapat sebuah kolam dengan air yang jernih. Bebungaan yang beraneka macam menyiarkan bau harum semerbak, ditambah pula suara keliningan yang dipasang diatas wuwungan rumah, suara ‘ting-tang ting-tang’ yang merdu membuat semaraknya suasana disana.
Seorang pelacur ternyata mempunyai tempat tinggal yang begitu tenang, nyaman dan indah, dari sini dapat diketahui bahwa kedudukan Cia In di tempat itu boleh dibilang cukup tinggi.
Setelah tiba di tempat itu, pelayan rumah pelacuran yang membawa jalan tadi segera berhenti. Sambil menuding ke dalam katanya, “Yu kongcu, silahkan melihat sendiri, In Ci-ji sudah menanti ditepi pagar, silahkan masuk! Silahkan masuk! Tan-ji mohon diri lebih dahulu.”
Meskipun diluaran dia bilang mau mengundurkan diri, tapi badannya cuma membungkuk belaka sama sekali tak ada tanda-tanda akan mengundurkan diri dari situ.
Melihat sikap pelayan itu, sebagai langganan lama tentu saja Yu Siau-lam cukup mengetahui akan maksudnya, dia tersenyum, “Terima kasih banyak, terima kasih banyak atas bantuanmu. Nah! ini persen untukmu, harap saja tidak terlampau kurang bagimu…..!” Seraya berkata dia mengambil satu tahil perak dan dilemparkan ke arah pelayan tadi.
“Tan-ji mengucapkan banyak terima kasih.”
Cepat-cepat pelayan itu berseru dengan wajah berseri.
Ketika berbicara sampai disitu, uang perak itu sudah tiba di depan matanya, cepat dia bangkit, berdiri dan menerimanya.
Yu Siau-lam gemas oleh tingkah laku pelayan itu. Selain itu diapun ingin menjajal apakah pelayan itu berilmu atau tidak? Maka ketika uang perak itu disentil ke depan, sengaja dia menyertakan pula tenaga dalamnya yang lihay. Maka bisa dibayangkan apa akibatnya ketika uang perak itu disambut oleh pelayan tadi, bukan saja uang itu tak sempat ditangkap, malahan tonjolan yang menongol keluar pada uang perak itu sempat menggesek telapak tangannya.
Pelayan itu menjerit kesakitan, sambil menggertakkan gigi dia mengaduh tiada hentinya.
Telapak tangan lecet dan berdarah, sekalipun sakitnya bukan kepalang rupanya pelayan itu lebih mementingkan uangnya daripada badan sendiri. Tak sempat memeriksa luka lecet itu lagi, cepat-cepat dipungutnya uang perak itu kemudian sambil memegangi telapak tangannya yang terluka ngeloyor pergi dari situ.
Melihat setelah pelayan itu berlalu, Hoa In-liong bertiga saling berpandangan sambil tertawa mereka lantas menyeberangi kebun kecil itu dan naik ke atas loteng.
Cia In yang cantik jelita dengan dandanan yang indah telah menanti kedatangan mereka di mulut anak tangga.
Ketika tamunya muncul, dia lantas memberi hormat sambil berkata,
“Rembulan terasa redup, bintang amat jarang, embun malam terasa dingin…..
Rumah nyanyian, gedung pelacuran, sudah berapa rumah kau kunjungi…..?
Yu-ya, apakah kau sudah tidak kenal jalanan lagi?” Mendengar bait syair tersebut, Yu Siau-lam segera tertawa tergelak.
“Kekasihku Lau dari Thian-tay terpikat oleh gua kuno…..
Sekalipun harus mabok, mati pun terima….. Setelah mengetahui nona Cia menyiapkan perjamuan untuk kami, sekalipun aku sudah tak kenal jalan lagi, akan kupinjam burung bangau sakti untuk menghantar aku kemari, haaaaa….. haaaaa…. haaaaaa…..”
Cia In mengerling genit, bibirnya mencibir lalu serunya, “Eeeh….. kau pingin mampus rupanya! Masa di hadapan sahabat baruku, begitu bertemu kau lantas hendak cari untung? Sayang gua kuno sudah tertutup, mau terpikat, pergilah terpikat sendiri!”
Dia membalikkan tubuhnya, lalu dengan langkah yang lemah gemulai berjalan masuk ke dalam ruangan.
Untuk kesekian kalinya Hoa In-liong bertiga saling berpandangan sambil tertawa. Tanpa berbicara lagi mereka ikut masuk ke dalam ruangan itu dibelakang Cia In.
Setelah berbelok ke arah timur, ditengah-tengah gedung itu merupakan sebuah ruang tamu yang besar. Lampu lentera tergantung disana sini. Meja benar-benar telah tersedia disana.
Siau-in-ji segera maju menyongsong kedatangan tamu- tamunya, sambil memberi hormat katanya, “Yaya bertiga, jika kalian tidak datang sesaat lagi, tentu arak dan sayur telah menjadi dingin semua!”
Ketika berjumpa dengan Siau-in-ji, tiba-tiba Coa Cong-gi merasakan hatinya agak bergerak, dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengambil sekeping uang perak, katanya kemudian, “Selama kami minum arak, tolong layanilah kami baik-baik. Nah! Uang perak ini persen bagimu untuk membeli pupur.”
Jari tangannya lantas disentil ke depan. Uang perak itu dengan kecepatan bagaikan kilat meluncur ke depan.
Tiba-tiba Cia in maju ke depan, ujung bajunya segera dikebut kedepan, tiba-tiba uang perak itu sudah tergulung masuk ke dalam ujung bajunya. “Coa-ya, kau benar-benar berjiwa sempit” katanya sambil tertawa genit. “Toh rahasiaku sudah ketahuan, buat apa Coa-ya menjajal kami lagi?”
Berbicara sampai disitu, dia lantas berpaling ke arah Siau-in ji dan menambahkan, “Pergilah kedalam dan ambil keluar pedang mustika serta buntalan milik Hoa kongcu, agar dengan begitu orang yaya ini jadi berlega hati kalau kami memang tidak bermaksud jahat.’“
Perkataan itu diucapkan dengan blak-blakan namun dia sendiri sama sekali tidak menunjukkan sikap marah. Hal ini membuat Coa Cong-gi merasa pipinya jadi merah karena jengah. Untuk sesaat dia jadi gelagapan dan tak tahu apa yang musti dikatakan.
Hoa In-liong maupun Yu Siau-lam sendiri pun tertegun, mereka benar-benar merasa tak habis mengerti, dengan maksud apakah Cia In menyiapkan meja perjamuan untuk menjamu mereka?
Selang sesaat kemudian, Siau-in-ji telah muncul kembali sambil membawa pedang mustika dan buntalan milik Hoa In- liong, segera ujarnya sambil tertawa, “Hoa-ya, apakah engkau akan periksa dulu barang-barang milikmu ini…….?” Hoa In-liong tertawa terbahak-bahak. “Haaa..… haaa….. haaa….. aku tidak kuatir kehilangan barang milikku, yang aku kuatirkan justru kalau sampai jalan darah giok-tin-hiat ku ditusuk lagi dengan jarum!”
Cia In ikut tertawa cekikikan sehabis mendengar sindiran tersebut.
“’Hiii….. hiii….. hiii….. Mungkin sepanjang hidupku sudah tak akan mempunyai kesempatan lagi untuk membekuk engkau. Jika kau tidak takut bila arak dan sayur ini sudah kucampuri racun, silahkan mengambil tempat duduk.”
Hoa In-liong tertawa, dia tidak banyak berbicara lagi, segera pemuda itu beranjak dan menuju ke meja perjamuan.
Setelah masing-masing orang mengambil tempat duduk, In-ji maju memenuhi cawan tamu-tamunya dengan arak.
Tiba-tiba Hoa In-liong ulapkan tangannya mencegah dayang cilik itu bekerja lebih jauh serunya, “Eeeh….. tunggu sebentar, akan kuperiksa dulu dengan seksama, apakah teko arak ini adalah teko yen-yang-hu atau bukan?”
Senyuman lirik tersungging di ujung bibirnya, tentu saja pemuda itu tidak berniat sungguh-sungguh untuk memeriksanya.
Menggunakan kesempatan itu Cia In menjual lagaknya, dengan sikap manja direbutnya teko arak itu dari tangan In-ji, kemudian serunya dengan muka cemberut, “Tidak boleh dilihat!. Terus terang kuberitahu kepadamu, teko ini bukan teko yen-yang-hu, tapi araknya adalah arak Yen-yang-ciu, lebih baik Hoaya jangan minum!” Yu Siau-lam segera membungkukkan badan dan merebut kembali teko arak itu dari tangan Cia In, kemudian sambil memenuhi cawan araknya perlahan-lahan dia bersenandung,
“Dewi cantik bidadari ayo berkumpul dalam khayangan….. Suasana semarak menghilangkan derita…..
Mengagumi burung yan-yang, jangan mencemooh bidadari…..”
Cia In mengerdipkan matanya dan ditujukan sikap yang aleman, serunya kemudian dengan manja, “Siapa toh yang kau maksudkan burung yan-yang dan siapa pula bidadarinya?. Iiiiih…. Yu-ya benar-benar tak tahu!”
Ia memutar biji matanya, lalu sambil berpaling kepada In-ji katanya lagi, “Oooh….. In-ji yang nakal! Uang persenan ‘kan sudah kita terima, masakah kau benar-benar akan suruh ya ya sekalian menuang arak sendiri?”
Setelah ada perintah dari majikannya, In-ji baru menerima teko arak itu dan menuangkan arak bagi cawan-cawan tamunya.
Setelah semua isi cawan dipenuhi, Cia In mengangkat cawan araknya kehadapan Hoa In-liong kemudian katanya, “Pertama-tama akan kuhormati dulu Hoa-ya dengan secawan arak. Semoga dengan secawan arak ini Hoa-ya dapat memberi maaf kepadaku karena sepanjang jalan telah menyiksa diri Hoa-ya.”
Sekali teguk dia menghabiskan isi cawannya. Hoa In-liong tertawa tergelak. “Haa.…. Haa….. haa….. kebetulan aku memang sedang berpesiar ke tempat-tempat indah. Sudah lama aku punya rencana untuk berkunjung ke wilayah Kanglam. Haaaaa… ha….. haaa….. Sekalipun sepanjang perjalanan tak sempat kunikmati keindahan alam, paling sedikit ‘kan aku sudah mengirit beberapa tahil perak ongkos jalan. Siapa bilang aku menderita? Malahan aku bersedia merasakan keadaan semacam itu sekali lagi.”
Dia ikut meneguk habis isi cawan sendiri.
Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam melirik sekejap ke arah Hoa In-liong. Ketika dilihatnya pemuda itu picingkan mata kanannya dan janggutnya ditarik sedikit sebagai tanda anggukan, tahulah dia bahwa arak itu memang tak beracun.
Dengan hati lega pemuda she Yu ini mengangkat cawan araknya sendiri dan berkata sambil tertawa, “Ditemani perempuan cantik dalam sekereta sekalipun tak dapat menikmati keindahan alam, hal itu juga bukan kejadian yang patut disesali. Nona Cia aku pesan tempat dulu ya?, kalau lain waktu ada kesempatan semacam itu, tolong nona Cia beri kabar padaku. Hanya suasana romantis macam begitu baiknya jangan dirusak karena jalan darahku kau totok…”
Tiba-tiba Cia In picingkan sebelah matanya sambil menyela, “Aduuh….. Aduuuh…… katanya saja seorang taki-laki sejati yang gagah perkasa, kenapa pandangan serta jiwamu begitu picik?. Aku ‘kan sudah mengaku salah? Masa itu tidak cukup? kenapa musti pakai main sindir terus menerus?”
Cia Cong-gi yang tadi ikut-ikutan berbicara mengikuti jejak rekannya, siapa tahu ketanggor batunya, sampai sekarang hatinya masih merasa tak enak. Sebagai seorang pemuda yang berjiwa terus terang, ia selalu teringat akan tujuan kedatangan mereka. Maka ketika dilihat datangnya kesempatan yang baik, dia lantas tertawa kering dan menyela, “Si penjagal mau bunuh babi, tapi sudah salah bunuh manusia. Apakah kau anggap hanya mengaku salah saja itu sudah cukup? Paling sedikit musti kau terangkan dulu apa sebabnya kau culik saudara kita dari keluarga Hoa……?”
Mendengar ucapan tersebut, Yu Siau-lam merasa sangat gelisah. Dia menganggap waktu itu belum tiba saatnya untuk mengutarakan maksud tujuan kedatangan mereka. Ia kuatir jika suasana dibuat beku lebih dulu maka sampai saatnya nanti main kekerasan tak bisa, tentu keadaan mereka malah akan jadi sulit sendiri.
Untunglah Cia In tidak memikirkan hal itu di dalam hati, dia tertawa cekikikan.
“Hiiii….. hiii…… hiii…. Coa-ya memang lucu benar orangnya, masa kau bandingkan aku sebagai si penjagal dan membandingkan Hoa Kongcu sebagai babi. Hiiii….. hiiii….. perkataan Coa-ya kurang tepat, kau musti di hukum dengan secawan arak”
Untuk mencari perumpamaan tersebut, dengan susah payah Coa Cong-gi harus memutar otak, maksudnya dia akan membawa pembicaraan tersebut kepokok pembicaraan yang sebenarnya. Siapa tahu perumpamaan itu telah digunakan lawannya untuk memukul diri sendiri. Untuk sesaat dia jadi menjublak dan tak mampu berkata-kata lagi.
Yu Siau-lam sendiripun merasa agak lega setelah dilihat suasana tidak dibikin rusak oleh persoalan itu. Cepat dia mengangkat cawan sendiri dan berkata sambil tertawa, “Nona Cia, coba lihatlah benda apakah yang berada ditanganku ini?”
“Itukan secawan arak!” sahut Cia In rada tertegun. “Benar, benda ini adalah secawan arak!” Yu Siau-lam membenarkan seraya mengangguk “Aku lihat nona pun tidak berjiwa besar!”
“Eeeeh….. Apa sangkut pautnya antara cawan arak ini dengan kebesaran jiwaku?” kembali Cia Jin disaat tertegun oleh perkataan dari si anak muda ini.
Yu Siau-lam tersenyum, ”Semula kuangkat cawan dengan maksud mengucapkan beberapa kata yang enteng lalu baru menghormati nona dengan secawan arak. Siapa tahu nona tak pandai mengambil kesempatan itu untuk bergurau, malah menegur aku berpandangan dan berjiwa sempit. Adik Cong-gi segera menyambung pula dengan beberapa banyolan ternyata kau menyindir pula. Coba lihatlah, bukankah yang pantas dihukum adalah nona sendiri? Hayo, sekarang kau musti dihukum dengan secawan arak!”
“Aaaah….. kalian jahat, kalian jahat semua!” seru Cia In manja, “Aku tak mau kalau begitu, masa tiga orang laki-laki gede bekerja sama untuk menganiaya seorang perempuan macam aku….. kalian curang!”
“Haaa….. haaaa….. haa….. perkataan nona terlampau serius!”
Yu Siau-lam tertawa terbahak-bahak, “Baiklah, kalau begitu mulai sekarang kita kemukakan larangan, barang siapa mulai dulu dengan kata-kata yang tak senonoh, maka dia harus didenda tiga guci arak!”
“Aduuuh…. mak, aku tidak mau ikut!” Cia In menjerit keras, “Aku sudah terbiasa hidup menjual tertawa menjual banyolan. Menyambut orang she-Thio menghantar tuan she-Li sudah menjadi kebiasaanku sehari-hari. Dan lagi kedatangan yaya sekalian ke Gi-sim-wan toh untuk mencari hiburan dan kesenangan. Sekalipun malam ini harus kulayani kalian sampai mabok, mencari kegembiraan adalah soal paling penting. Jika Yu-ya betul-betul perlakukan larangan itu, akulah yang akhirnya bakal kesal. Tidak….. tidak mau….. Aku tidak mau ikut”
“Sudah….. Sudahlah! Gurauan kita stop sampai disini saja,” sela Hoa In-liong sambil tertawa, “Minum arak barulah urusan kita yang paling penting.”
Menggunakan kesempatan itu Yu Siau-lam ikut memutar haluan mengikuti hembusan angin. Cepat-cepat sambungnya, “Betul! Betul! minum arak barulah urusan kita yang paling penting! In ji ayoh penuhi cawan arak. Aku akan menghormati nona kalian dengan secawan arak.”
Hakekatnya In-ji masih kecil. Ketika mendengar beberapa orang ini cekcok dan bersilat lidah, dia hanya bisa mendengarkan dengan muka tertegun, tentu saja diapun lupa untuk menuang arak.
Sekarang setelah ditegur oleh Yu Siau-lam, dengan wajah merah jengah ia baru sadar kembali dari lamunannya. Cepat- cepat dia mengangkat teko arak itu dan memenuhi cawan kosong dari Cia In serta Hoa In-liong dengan wajah tersipu- sipu.
Maka barulah adegan lain yang tak kalah serunya, mereka sambil membujuk sambil saling melotot, cawan tak pernah lepas tangan, ternyata beberapa orang itu mulai minum arak dengan bersungguh-sungguh.
Keempat orang itu sama-sama mempunyai takaran minum arak yang besar sekali, setiap cawan yang disodorkan kehadapannya segera diteguk hingga habis. Cia In seperti akan mengucapkan sesuatu, tapi akhirnya maksud itu dibatalkan, dia tahu kedatangan Hoa In-liong sekalian mempunyai maksud-maksud tertentu. Tapi tindak tanduk mereka yang minum arak terus macam orang yang betul-betul datang untuk iseng, sangat mencengangkan hatinya.
Entah beberapa puluh cawan sadah mereka minum, paras muka Cia In telah berubah jadi merah seperti bunga tho.
Makin merah makin merangsang tampaknya, bikin hati orang seperti dikilik-kilik.
Hanya Coa Cong-gi seorang yang selalu memikirkan tujuan kedatangan mereka disana. Bebe-rapa kali dia ingin buka suara, tapi selalu kuatir kalau perkataannya kurang cocok sehingga dicemooh orang, saking gelisahnya dia sampai garuk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
Beberapa kali dia mengerling ke arah Hoa In-liong dan Yu Siau-lam memberi tanda namun baik Hoa In-liong maupun Yu Siau-lam seakan-akan sama sekali tidak melihat kerlingan itu, jangan toh menanggapi, menggubrispun tidak.
Keadaan tersebut ternyata tak lepas dari pengamatan Cia In yang tajam. Sepasang alis matanya segera berkenyit, tapi hanya sebentar saja dia sudah tersenyum kembali.
“Yu-ya sudah lama kita tak berjumpa!” katanya dengan manja.
“Yaa…! Kalau dihitung hitung dengan jari, sudah hampir tiga puluh hari lebih”
Cia In tersenyum manis. “Sepanjang perjalanan, ku selalu merasa kesepian dan tiada berkawan, tahukah kau bahwa aku selalu memikirkan engkau?” Yu Siau-lam mengerutkan dahinya, sesaat kemudian dia menjawab agak takabur, “Bila hati sudah bertemu dengan hati, memang sepantasnya kalau nona Cia selalu teringat akan diriku.”
“Kalau memang begitu….. kau….. kau..… Bagaimana kalau kau tinggal disini saja!” bisik perempuan itu.
Selesai berkata kepalanya ditundukkan rendah-rendah, sikapnya tersipu-sipu dan mukanya merah padam seperti kepiting rebus.
Mendengar tawaran itu, Yu Siau-lam merasa amat terperanjat. Ia jadi terbelalak dan gelagapan dibuatnya. “Soal ini….. Aku rasa soal ini……”
Yu Siau-lam memang seorang yang suka bermain cinta, apalagi kedatangannya kesitu adalah menyaru sebagai laki-laki iseng yang mencari kesenangan akan tetapi ketika secara tiba- tiba ia mendengar permintaan perempuan itu agar dia tinggal disana, sedikit banyak kejadian itu diluar dugaannya. Ini membuat jago muda kita jadi gelagapan setengah mati.
Masih mendingan kalau ia datang tanpa tujuan. Kini maksud kedatangannya adalah untuk menyelidiki asal-usul perempuan itu. Tidaklah heran kalau tawaran itu malahan bikin jantungnya berdebar keras dan gelagapan dengan sendirinya.
Tiba-tiba terdengar Coa Cong-gi memukul meja keras sambil tertawa tergelak.
“Haaa….. haaa…… haaa….. Ada nona cantik yang bersedia menemani tidur. Oooh.…. Saudara Siau-lam, aku lihat rejekimu betul-betul amat besar. Aku rasa itulah yang dinamakan orang kalau lagi Hok-kie…”