Jilid 01
Di perkampungan Liok-soat san ceng yang letaknya dibukit In-tiong-san dalam bilangan propinsi San-se, hiduplah seorang pendekar besar yang namanya tersohor dimana-mana.
Pendekar besar itu she Hoa bernama Thian-hong, ilmu silatnya tinggi dan tiada tandingannya di kolong langit, orang persilatan menyebutnya dengan julukan Thian-cu-kiam, pedang raja langit.
Dua puluh tahun berselang, kaum iblis dan manusia jahat menguasai dunia persilatan waktu itu suasana dalam sungai telaga tak aman, kejahatan merajalela, banyak pertikaian dan perselisihan terjadi dimana-mana.
Seorang diri dengan kekuatan yang dimilikinya Hoa Thian- hong telah tampilkan diri untuk menegakkan keadilan serta kebenaran.
Setelah berulangkali mengalami kejadian-kejadian besar yang mempertaruhkan jiwanya, hawa sesat dan hawa iblis dapat dilenyapkan dari muka bumi, dunia persilatan telah memasuki babak kehidupan baru.
Selama dua puluh tahun terakhir, dunia persilatan aman tenteram tak pernah terjadi peristiwa apapun, keamanan dan kedamaian tersebut boleh dibilang berkat kebijaksanaan serta kebesaran jiwa Hoa Thian hong.
Tahun ini Hoa Thian hong telah memasuki usia setengah baya, ilmu silatnya mencapai tingkatan yang lebih tinggi dan nama besarnya ibarat matahari ditengah awan, setiap umat persilatan memandangnya sebagai tulang punggung sungai telaga, malahan para pekerja dan rakyat kecilpun mengenal siapakah Hoa Thian hong itu.
Tengah hari baru lewat, sebuah kereta kuda tiba-tiba muncul dari balik pepohonan dan dilarikan secepat cepatnya menuju tanah perbukitan In tiong san....
Di bawah terik sang surya yang menyengat badan, kusir itu sudah bermandi keringat, tapi tak mengenal lelah, cambuknya diayun berulang kali mengiringi hardikan-hardikan pendek, kudanya dilarikan amat kencang.
Selang sesaat, kereta itu sudah menembusi sebuah lembah yang dalam, dan perkampungan Liok-soat san ceng pun muncul di depan mata.
Kusir itu tidak mengurangi kecepatan lari keretanya, malahan ia mengayun cambuknya semakin gencar.
Derap kaki kuda, gelindingan roda kereta yang ramai memekikkan telinga, sehingga mengejutkan penghuni perkampungan itu, Tiong Liau pelayan tua perkampungan itu cepat memburu keluar dari halaman. Ketika melihat sebuah kereta kuda menerjang masuk ke dalam perkampungan dengan kecepatan tinggi, cepat menjura sambil menyapa:
"Tahan! Tolong tanya tamu dari mana yang telah berkunjung.."
"Nona Suma dari kota Lam-yang!" sahut laki-laki kusir kereta itu dengan lantang.
Tiong Liau, pelayan tua itu tampak tertegun, sementara ia belum mengucapkan sesuatu, kereta kuda itu sudah menerjang tiba dengan cepatnya, terpaksa dia menyingkir ke samping.
Dengan disertai suara derap kuda dan gelindingan roda yang ramai, kereta itu lewat di sisinya dan menerjang masuk ke dalam perkampungan.
Sementara itu beberapa orang telah muncul di depan pintu gerbang dipaling depan adalah seorang laki-laki berperawakan tinggi tegap dengan memakai jubah berwarna hijau, dialah tuan rumah perkampungan ini atau lebih dikenal sebagai pedang raja langit Hoa Thian-hong.
Di samping laki-laki itu menyusul putra sulungnya yang bernama Hoa Si, kemudian dipaling belakang adalah beberapa orang pelayan.
Sekejap mata kemudian kereta itu sudah tiba di depan pintu gerbang, ketika dilihatnya kusir kereta itu tak mampu mengendalikan lari kudanya, seorang pelayan segera melompat ke depan, sepasang telapak tangannya segera direntangkan dan serentak kedua ekor kuda itu mengangkat sepasang kaki depannya ke atas, Liong Liau si pelayan tua yang telah memburu datang, segera menarik tali les kuda itu dan keretapun tertahan secara paksa.
Setelah kereta berhenti, hordenpun tersingkap menyusul dua orang gadis berpakaian kabung meloncat turun sambil memayang seorang gadis berbaju putih blaco dengan sepasang mata yang merah membengkak kebanyakan menangis.
Mengetahui siapa yang datang, Hoa Thian-hong amat terperanjat, cepat ia maju menyongsong sambil menegur:
"Si-moay, apa yang telah terjadi ?"
Gadis berbaju putih blaco itu bernama Suma-Jin, dia adalah putri tunggal dari Suma Tiang-cing, seorang pendekar persilatan yang amat tersohor namanya dalam sungai telaga.
Suma Tiang-cing adalah saudara angkat ayah Hoa Thian- hong, oleh sebab itu walaupun usia Suma Jin masih muda, ia berada satu tingkatan dengan Hoa Thian-hong, dan merekapun saling menyebut saudara dalam tingkat kedudukan yang seimbang.
Bertemu dengan Hoa Thian-hong, gadis Suma Jin tak dapat mengendalikan rasa sedihnya lagi, ia menangis tersedu-sedu, sambil memberi hormat serunya dengan nada pilu:
"0oh....toako "
Tiba-tiba gadis itu mundur dengan sempoyongan, kemudian roboh tak sadarkan diri di atas tanah.
Dua orang gadis berkerudung yang ada di sisinya cepat memburu maju dan memayang Suma Jin yang pingsan. "lkuti aku" kata Hoa Thian-hong kemudian sambil ulapkan tangannya dan melangkah masuk ke dalam ruangan.
Sewaktu berjalan melewati sebuah serambi, seorang dayang cantik baju hijau muncul dan memberi hormat, kemudian berkata:
"Lapor toaya, Lo Taykun ada perintah untuk mengundang nona Suma masuk ke ruang dalam untuk minum teh!"
Dalam pada itu Suma Jin telah sadar kembali dari pingsannya, Hoa Thian-hong lantas membawa mereka mengitari sebuah serambi samping, menembusi sebuah jalan setapak yang dikelilingi semak dan pepohonan siong yang rindang, akhirnya masuk ke dalam sebuah bangunan megah.
Didalam bangunan megah inilah Bun Taykun ibu Hoa
Thian-hong berdiam, waktu itu kedua orang istrinya yakni Chin si atau nama aslinya Chin Wan hong dan Pek-si atau nama aslinya Pek-Kun-gi menyambut didepan pintu.
Berjumpa dengan kedua ensonya, kembali Suma Jin merasakan suatu pukulan batin yang keras, ia menjerit:
"Oooh, enso " untuk kesekian kalinya dara itu menangis
tersedu-sedu dengan sedihnya.
Dua orang nyonya itu jadi terperanjat, cepat mereka membimbing Suma Jin masuk kedalam ruangan.
Bun Taykun yang sudah beruban rambutnya duduk bersila di atas sebuah kursi terbuat dari kayu cendana, sebelum nyonya tua itu buka suara Suma Jin telah menjatuhkan diri berlutut seraya menangis tersedu-sedu, bagaikan bendungan yang jebol air matarya jatuh bercucuran membasahi pipi dan bajunya. "Anak Jin, jangan menangis dulu !" ujar Bun Taykun dengan wajah setenang-tenangnya "Coba terangkan, mengapa kau datang kemari dengan mengenakan pakaian berkabung? Jangan-jangan.."
"Oooh, bibi !" jerit Suma Jin sambil menangis sedih,
"Ayah dan ibu.. mereka "
Tiba-tiba gadis itu jatuh semaput lagi.
Toa-hujin (nyonya pertama) Chin Wan-hong segera maju memayang bangun Suma Jin dan mendudukkan di kursi, secepat kilat ia menotok tiga buah jalan darah penting didepan dada gadis itu.
Selang sesaat kemudian, Suma Jin tarik napas panjang dan sadar kembali dari pingsannya, seorang dayang cantik lari ke kamar belakang dan mengambil sebutir obat penenang, Chin- si lantas melolohkan obat tersebut ke mulut dara itu.
Dari sikap serta tindak tanduk yang ditunjukkan Suma Jin secara lapat-lapat semua orang sudah mendapat firasat jelek, mereka menduga bahwa keluarga Suma sudah tertimpa tragedi yang memilukan hati, perasaan hati mereka mulai tak tenang.
Setelah Suma Jin dapat sadar kembali, Bun taykun nyonya tua itu barulah bertanya:
"Anak Jin, apa yang telah terjadi? Siapa yang tertimpa kemalangan? Engkau harus berbicara dengan hati tenang, hilangkan dulu rasa sedihmu, dan kisahkan apa yang telah terjadi?"
Suma Jin masih terisak katanya tersendat-sendat: "Ayah dan ibu... mee... mereka berdua...te... telah mati dibunuh orang. !"
"Apa?!" seru Bun Taykun dengan terperanjat.
Suma Jin menggetarkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, tapi hanya isak tangis yang kedengaran, sambil meninju dada sendiri kembali dara itu menangis menggerung-gerung.
Kendatipun semua orang sudah mendapat firasat bahwa keluarga Suma telah tertimpa bencana namun setelah berita itu muncul sendiri dari mulut Suma Jin, tak urung semua orang terkesiap juga dibuatnya, sekejap mata semua orang berdiri dengan kepala tertunduk, ditengah keagungan yang mencekam ruangan itu hanya isak tangis yang kedengaran.
Tiba-tiba Suma Jin meronta bangun, sambil jatuhkan diri berlutut di hadapan Bun Taykun, keluhnya sambil menangis:
"Ayah dan ibu Jin-ji telah mati dibunuh orang, Jin-ji mohon sudilah kiranya bibi mengingat hubungan keluarga kami, agar mengambilkan keputusan bagi keponakan perempuanmu ini!"
Titik air mata jatuh berlinang diatas pipi Bun Taykun yang keriput, ia menghela napas panjang dan sahutnya:
"Bagaimanapun juga, sakit hati harus dituntut balas, aku akan mengaturkan tindak pembalasan ini bagimu, cuma...
engkau tak boleh terlalu bersedih hati, karena kepedihan dapat merusak kesehatan tubuhmu!"
Suma Jin masih tetap menangis, katanya: "Keponakan tak dapat menahan rasa pedih yang serasa menyayat-nyayat hatiku..."
Air mata mulai mengembang dikelopak mata Hoa Thian hong, ujarnya pula:
"Adikku, janganlah terlalu bersedih hati, kisahkan dulu apa yang telah terjadi, setelah kami tahu duduknya persoalan, akan kami susunkan rencana besar untuk melakukan pembalasan dendam"
Terkenang kembali kematian yang mengenaskan dari ayah dan ibunya, Suma Jin merasa hatinya sakit seperti ditusuk pisau, sambil menahan isak tangisnya ia menyahut:
"lbu tidur dalam kamar belakang sedang ayah tidur di kamar luar, kedua orang itu dibunuh orang secara bersamaan dalam semalaman!"
Bun Taykun tidak langsung menanggapi, ia berpikir dalam hati:
"Kasihan bocah ini, saking sedihnya karena ketimpa bencana, sampai bicarapun tak karuan..."
Ia menghela nafas panjang, lalu bertanya: "Kapan terjadinya peristiwa ini??"
"Empat hari berselang!" sahut Suma Jin sambil menyeka air matanya yang meleleh keluar.
"Apakah di atas layon paman dan bibi terdapat bekas-bekas luka yang kentara?" tanya Hoa Thian hong,
Sambil menggigit bibir menahan emosi sahut Suma Jin: "Luka-luka itu semuanya berada di atas tenggorokan... luka... luka itu bekas gigitan yang rata, seakan-akan seperti digigit oleh sejenis makhluk yang buas"
Bun Taykun berkerut kening, lama sekali dia termenung lalu baru berkata lagi:
"Kiu-mia-kiam-kek (jago pedang bernyawa sembilan) merupakan seorang jago lihay yang berilmu tinggi, tak nanti jenis makhluk buas macam apapun sanggup melukai tenggorokannya, apalagi sampai merenggut selembar jiwanya!"
Suma Jin dapat menangkap bahwa dibalik ucapan Bun Taykun terdapat banyak hal yang patut dicurigai, ia menangis semakin menjadi.
"Lelayon ayah dan ibu hingga kini belum dikubur..." rintihnya.
Mendadak seperti teringat akan sesuatu, ia menengadah dan melanjutkan lagi kata-katanya:
"Oooh iya...pembunuh keji itu meninggalkan sebuah tanda lambang"
"Apakah tandanya itu?" Bua Taykun cepat bertanya. Dengan air mata masih bercucuran Suma Jin menjawab: "Sebuah hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau!"
Dia lantas merogoh ke dalam sakunya dan mengambil keluar sebuah hiolo kecil kumala hijau yang tinggihya dua inci dan lebarnya beberapa inci, indah dan menarik sekali bentuk serta ukiran benda itu.
Paras muka Bun Taykun, Hoa Thian-hong beserta kedua orang nyonya yakni Pek-si dan Chin-si segera menunjukkan perubahan hebat, wajah maupun sikap mereka penuh diliputi emosi.
Suasana dalam ruangan itu jadi sunyi tak kedengaran sedikit suarapun, jarum yang jatuhpun mungkin kedengaran amat jelas!
Bun Taykun berempat hanya bisa saling berpandangan, delapan buah sorot mata sama-sama tertuju pada hiolo kumala yang berada ditangan Suma Jin, rasa murung, heran, bingung, gelisah dan tercengang bercampur aduk dalam perasaan hati mereka, dapat melihat betapa kalut dan kacaunya pikiran keempat orang itu.
Suasana serba misterius dan aneh dengan cepat menyelimuti seluruh ruangan yang sepi itu, mereka yang merasa tingkat kedudukannya rendah tak berani buka suara ataupun mengajukan pertanyaan, ini menyebabkan setiap orang merasa tak tenang, setiap orang merasa tegang dan memandang serius masalah yang sedang dihadapinya.
Tiba-tiba Suma Jin menangis menjadi semakin menjadi, katanya sambil menahan isak tangis:
"Apa sebabnya kalian membungkam? Apakah dalam dunia persilatan dewasa ini, masih ada orang yang ditakuti dan disegani oleh keluarga Hoa.?"
Makin dipikir gadis itu merasa makin sedih, isak tangis yang memecahkan kesunyianpun kedengaran makin mengenaskan hati. Dengan lembut Bun Taykun berkata:
"Nak, engkau tak usah banyak memikirkan soal yang bukan-bukan, ketahuilah bahwa apa yang telah kujanjikan selamanya tak akan kuingkari kembali, tadi aku kan sudah berjanji akan balaskan dendam sakit hati atas kematian ayah ibumu..."
"0ooh.,.. bibi, beritahu kepadaku, siapakah pembunuh yang telah membinasakan ayah ibu Jin-ji? Lambang siapakah hiolo kumala kecil ini ? Bibi jawablah pertanyaanku ini!"
"Suatu tanda yang begini kecil belumlah cukup untuk membuktikan bahwa pemilik benda inilah pembunuh orang tuamu, kau harus tahu bahwa manusia dalam dunia persilatan kebanyakan licik dan banyak tipu muslihatnya, mereka gemar memutar balikkan duduknya persoalan, maka sebelum urusan ini dibuktikan sampai jelas, lebih baik tak usah bersikeras untuk menjatuhkan tuduhan atas diri seseorang!"
"Benar, engkau tak usah terlalu kuatir" Chin Wan-hong, nyonya pertama menanggapi pula dengan wajah serius, "setelah dia orang tua berjanji, maka walaupun harus menghadapi kesulitan macam apapun, dendam sakit hati dari paman Suma pasti akan dituntut balas!"
Pek Kun-gi, nyonya kedua tiba-tiba berpaling ke arah suaminya, kemudian bertanya:
"Apakah engkau dapat membuktikan bahwa hiolo kumala ini adalah barang asli?"
Hoa Thian-hong agak tertegun sesudah mendengar pertanyaan itu kemudian katanya: "Si-moay, bolehkah kau pinjamkan hiolo kumala itu padaku?"
Buru-buru sama Jin serahkan hiolo kumala itu kepada saudaranya, setelah menerima benda itu Hoa Thian-hong menelitinya dengan seksama, kemudian meletakkan benda itu di atas sebuah meja kecil.
Mendadak ia gigit jari tengah sendiri sampai robek, darah segar yang meleleh keluar segera di tampung ke dalam hiolo kumala tersebut.
Tinggi hiolo kumala itu tak lebih cuma beberapa inci, dengan sendirinya takaranpun kecil sekali sebentar kemudian darah segar telah memenuhi isi hiolo tersebut.
Dengan sorot mata setajam sembilu, Hoa Thian-hong mengawasi hiolo kumala itu tanpa berkedip, rupanya ia sedang memperhatikan sesuatu yang sangat menarik.
Diantara sekian banyak orang yang hadir dalam ruangan itu, hanya Hoa Thian-hong seorang yang mengenal sifat dan keistimewaan hiolo kumala itu, Bun taykun sendiripun tak tahu maka ketika melihat ia penuhi hiolo tersebut dengan darah, semua orang lantas menunjukkan wajah tercengang dengan tatapan mata tak berkedip mereka awasi terus hiolo kumala kecil itu.
Lama... lama sekali... hiolo kumala itu masih tetap berwarna hijau tua, sama sekali tidak menunjukkan perubahan apapun, namun paras muka Hoa Thian hong makin lama semakin memucat akhirnya sekujur badannya ikut gemetar keras.
Kiranya pada permukaan bagian luar dari hiolo kumala itu munculah beberapa baris titik merah yang makin lama semakin nyata, oleh karena Hoa Thian hong menghadapkan bagian yang bertitik merah itu ke hadapannya sendiri, tentu saja kecuali dia seorang, orang lain tidak berhasil menemukan sesuatu apapun.
Setelah sekian lama dibiarkan, garis-garis merah yang timbul diluar permukaan hiolo tersebut makin kelihatan jelas, dan akhirnya terbawalah empat baris syair dengan masing- masing baris terdiri dari lima buah huruf.
Tentu saja huruf-huruf merah itu kecil sekali, sebab hiolonya sendiri cuma beberapa inci, dengan sendirinya tulisan pada permukaannyapun jauh lebih lembut.
Kendatipun begitu, huruf-huruf yang kecil itu bukan suatu hitungan bagi Hoa Thiia-hong untuk membacanya, dengan tenaga dalam yang sempurna dia memiliki pula ketajaman mata yang melebihi orang lain, mata terbacalah tulisan tersebut berbunyi demikian:
"Bibit cinta adalah kebencian, pedang mustika menghibur hati yang duka, setitik air mata kepedihan, kutitipkan pada orang yang tak setia pada cinta."
Membaca isi bait syair tersebut, Hoa Thian hong tak dapat mengedalikan kepedihan hatinya lagi, dua titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya, ia bergumam:
"Setitik air mata kepedihan, kutitipkan pada orang yang tak setia pada cinta..."
"Blaaanng!" mendadak ia menghantam meja kecil itu keras- keras sehingga hiolo kumala itu mencelat ke udara, darah segar yang berada dalam hiolo itupun berhamburan ke empat penjuru dan menodai sekujur badan Hoa Thian-hong. Semua orang terperanjat sementara Chin-Wan hong dan Pek Kun-gi segera menghampiri suaminya dan menghibur dengan kata-kata yang lirih.
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya mencegah ke dua orang istrinya buka suara, dia alihkan sorot matanya ke wajah ibunya, sementara rasa gugup bercampur menyesal menghiasi raut wajahnya.
Dengan sorot mata dalam Bu Taykun menatap wajah putranya, kemudian seraya menggelengkan kepala ia berkata:
"Engkau tak usah gelisah ataupun terbawa oleh emosi, akan kuatur sendiri semua persoalan ini hingga beres!"
Dengan sedih Hoa Thian-hong tundukkan kepala, lalu menghela napas panjang.
Seorang dayang cantik baju hijau muncul dari ruang dalam dengan membawa satu stel baju baru, kemudian melayani majikannya untuk menggantikan baju yang ternoda oleh darah itu dengan pakaian yang baru.
Sementara itu, suasana dalam ruangan tercekam kembali dalam kesunyian, tak kedengaran sedikit suarapun disana, Bun Taykun duduk sambil memejamkan mata, ditengah keheningan semua orang-orang terbuai oleh jalan pemikirannya masing-masing, siapapun tak berani buka suara untuk mengacaukan suasana disaat itu.
Tiba-tiba Suma Jin meraba hatinya dingin separuh, suatu perasaan hampa dan kecewa yang aneh dari dasar lubuk hatinya dan menyelimuti seluruh perasaan hati dara itu.
Dahulu ia menganggap Hoa Thian-hong dan ibunya lebih agung dan lebih hebat dari malaikat dalam anggapannya kelihayan Hoa Thian-hong dan ibunya sudah mencapai puncak yang tak terhingga sehingga siapapun tak akan berani mengusik mereka.
Maka tatkala ayah dan ibunya dibunuh orang, tidak menunggu sampai layon mereka dikebumikan, gadis itu segera berangkat ke perkampungan Liok-soat san-ceng.
Dalam pikirannya, asal ia dapat berjumpa dengan Hoa Thian-hong berdua niscaya sakit hati kematian orang tuanya bakal terbalas.
Tapi sekarang ia mulai sangsi, ia mulai merasa bahwa duduknya persoalan tidak segampang apa yang diduga semula meskipun untuk sesaat ia belum dapat menebak sebab musababnya tapi secara lapat-lapat dara itu sudah mempunyai suatu perasaan, suatu firasat bahwa soal pembalasan dendam akan mengalami banyak kesulitan, tidak semudah dan selancar apa yang diduganya semula.
Tiba-tiba Bun Taykun membuka matanya kembali, setajam sembilu sinar mata nyonya tua itu, ujarnya dengan lambat:
"Aaak Jin, tahukah engkau sampai dimana akrabnya hubungan kekeluargaan antara keluarga Hoa kami dengan keluarga Suma kalian??"
Suma Jin agak tertegun, lalu sahutnya agak gelagapan: "Keponakan hanya tahu bahwa ayah dan empek Hoa
adalah saudara sehidup semati!"
"ltu berarti hubungan mereka sudah melampaui hubungan antara sesama saudara kandung bukan?" sambung Bun Taykun dengan suara dalam, sesudah berhenti sebentar, ujarnya pula: "Tiga puluh tahun berselang, golongan lurus dan golongan sesat telah mengadakan suatu pertemuan besar di Pak-beng- hwe, dalam pertarungan yang kemudian terjadi banyak jago silat dan kaum pendekar dari golongan lurus yang menemui ajalnya, termasuk pula empek Hoa mu, dia tewas dalam pertempuran yang amat seru itu!"
Menyinggung kembali peristiwa lama, semua anggota keluarga Hoi jadi bersedih hati, air mata jatuh bercucuran, kaum wanitanya malahan menahan isak tangis.
Terdengar Bun Taykun berkata lebih jauh:
"Pada waktu itu, aku dengan menahan rasa sedih dan benci menerjang keluar dari kurungan musuh, dan selanjutnya selama sepuluh tahun belakangan bersama Hoa toakomu berdiam dibukit Hu ou san, di sana kami hidup mengasingkan diri, setiap hari kerjanya hanya melatih dari dengan tekun dan rajin. Belasan tahun kemudian kami baru muncul kembali di dunia persilatan, sekali lagi kami bertarung melawan golongan sesat dan golongan hitam, Akhirnya setelah melampaui pertarungan di lembah Cu bu kok, kaum lurus dan golongan pendekar dapat menongol kembali dalam dunia persilatan "
(Untuk mengetahui cerita tersebut, silahkan membaca cerita silat yang berjudul: Bara Maharani, disadur oleh penyadur yang sama).
"Keponakan sudah seringkali mendengar ayah menceritakan tentang kegagahan dan kehebatan bibi serta Hoa toako, sewaktu ayah masih hidup, beliau paling mengagumi kalian berdua" ujar Suma Jin dengan pedih.
Bun Taykun tertawa ewa: "Kata kagum lebih baik tak usah kau singgung lagi. Aku bercerita demikian adalah berharap agar engkau mengerti bahwa keluarga Hoa bukanlah keluarga yang melupakan mana budi mana dendam, dimana kebenaran itu harus ditegakkan kami berani pertaruhkan jiwa dan raga kami untuk membangunnya kembali, ketahuilah aku dan Hoa toakomu bukan manusia-manusia sebangsa kurcaci yang takut menghadapi kematian"
"Tentang soal ini, keponakan telah mengetahuinya" kembali Suma Jin mengangguk.
"Kalau engkau sudah tahu itu lebih bagus lagi" ujar Bun Taykun dengan serius "Sekarang aku ingin bertanya padamu, engkau berharap kami yang balaskan dendam bagimu, ataukah kau sendiri yang akan membalaskan dendam bagi kematian orang tuamu? ambillah keputusan yang tegas!"
"Keponakan..." Gadis she Suma ini tak sanggup melanjutnya lagi, air matanya bercucuran dengan derasnya.
Bun Taykun melanjutkan ucapannya: "Dengarkan dulu ucapanku hingga selesai, Bila kau berharap agar kamilah yang membalaskan dendam bagimu, maka dalam satu tahun mendatangi aku akan bertanggung jawab untuk serahkan batok kepala pembunuh itu kepadamu, sebaliknya bila kau ingin membalas sendiri dendam sakit hati orang tuamu itu, maka engkau harus mengikuti aku selama tiga tahun. Dalam dua tahun yang pertama, akan kuwariskan semua silatku, kemudian pada setahun yang terakhir engkau belajar pedang dari Hoa toakomu, setelah tiga tahun melatih diri, aku tanggung ilmu silat yang kau miliki pasti jauh di atas kepandaian pembunuh itu, dan soal membalas dendam hanyalah suatu, pekerjaan yang sangat mudah!"..
Mendengar ucapan tersebut, tanpa berpikir panjang lagi Suma Jin menyahut: "Dendam sakit hati orang tua lebih dalam samudra, hidup sebagai putri manusia, siapa yang tak ingin membalas sendiri sakit hati orang tua..? Keponakan rela mengikuti bibi selama tiga tahun, keponakan ingin manfaatkan waktu yang ada untuk memperdalam ilmu silat kemudian akan kubunuh musuh besarku dengan tanganku sendiri"
"Bagus! bagus ! Anak baik, kau punya semangat" puji Bun Taykun dengan senyum dikulum "mulai sekarang engkau harus dapat mengendalikan emosi, simpanlah rasa sedihmu itu dalam-dalam pusatkan semua perhatian dan pikiran untuk berlatih ilmu, akulah yang akan mengatur segala sesuatunya bagimu"
Suma Jin mengiakan berulang kali, dia lantas jatuhkan diri berlutut dan mengucapkan rasa terima kasihnya karena akan diberi didikan ilmu silat.
Terdengar Bun Taykun berkata lagi:
"Selama beberapa hari ini kau selalu dicekam oleh kesedihan, apalagi harus menempuh pula perjalanan jauh untuk datang kemari, sekarang pergilah untuk beristirahat, jangan biarkan badanmu diserang oleh penyakit yang akan melemahkan diri sendiri"
Lalu sambil berpaling pada cucu laki dan cucu perempuannya, ia menambahkan:
"Kalian semua boleh segera mengundurkan diri, temani bibi Jin untuk pergi beristirahat"
Mendengar perkataan itu, terpaksa Suma Jin harus mohon diri untuk berlalu dari sana, sementara Hoa Thian hong dengan memimpin adik-adiknya mengundurkan diri pula untuk menemani Jin kokohnya. Sepeninggalnya beberapa orang itu, dalam ruangan tinggal Bun Taykun, Hoa-Thian-hong, kedua orang hujinnya serta dayang cantik baju hijau itu.
Tampak Bun Taykun termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia menghela napas panjang dan bergumam:
"Agaknya beban yang amat berat ini terpaksa harus dilimpahkan di atas bahu loji!"
"Ibu " Chin Wan hong berseru tertahan, tampaknya ia
terkejut oleh keputusan ibu mertuanya.
Bun Taykun menatap sekejap pada menantunya lalu berkata lagi:
"Kecuali berbuat demikian, rasanya tiada jalan lain yang lebih baik, yaa apa boleh buat ?"
Paras muka Chin Wan hong diliputi kemurungan, ia melirik sekejap ke arah suaminya, waktu itu Hoa Thian hong sendiripun tampak sangat murung, maka sorot matanya dialihkan kembali ke arah ji hujin Pek Kun gi.
Waktu itu Pek Kun-gi sedang duduk menjublak di atas kursinya, seperti disambar guntur disiang hari bolong, nyonya cantik itu duduk termangu air matanya seperti layang-layang putus benang meleleh membasahi pipinya yang halus.
"Panggil ji-kongcu untuk menghadapi" kembali Bun Taykun berseru dengan suara dalam.
Dayang cantik baju hijau itu mengiakan. ia lantas mengundurkan diri dari ruangan tersebut "lbu!" kata Pek Kun-gi kemudian sambil menahan isak tangisnya, "Anak Liong nakal dan tak bisa bekerja, kalau biarkan dia berkelana seorang diri dalam dunia persilatan, apa...apakah tidak terlalu berbahaya?"
Bun Taykun menghela napas panjang:
"Aaai...! Ketika Thian-hong mulai berkelana dalam dunia persilatan tempo hari, ia baru berusia enam-tujuh belas tahunan, sedang Liong-ji kendatipun nakal dan tak tahu aturan, tapi dengan usianya sekarang sudah sepantasnya untuk berkelana dalam dunia persilatan serta melakukan beberapa buah perbuatan mulia untuk kepentingan umat manusia"
"Apakah dalam persoalan ini tak dapat diwakilkan kepada menantu saja untuk diselesaikan?" pinta Pek Kun gi.
"Aaai ! Bila engkau dapat menyelesaikan persoalan ini,
berarti aku pun bisa menyelesaikan pula masalah ini bukan begitu?"
Air mata bercucuran makin deras dipipi Pek Kun gi, ia berpaling ke arah suaminya dan menatapnya dengan penuh permohonan.
Hoa Thian hong menggerakkan bibir ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat tersebut akhirnya dibatalkan dan kepalanya tertunduk rendah-rendah, meskipun ia merasa berat hati untuk melepaskan putranya pergi, tapi apa boleh buat?
Tiba-tiba dayang cantik baju hijau itu masuk kembali ke dalam ruangan dengan langkah tergesa-gesa, katanya: "Lapor Lo Taykun, ji kongcu tidak berada dalam perkampungan budak telah mengutus orang untuk keluar kampung mencari jejaknya"
"Apa nona-nona sekalian ada didalam perkampungan?" tanya Bun Taykun setelah berpikir sebentar dengan dahi berkerut:
"Semua nona berada dirumah!"
Bun Taykun kembali terpikir lalu katanya lagi: "Di lembah bukit sebelah selatan tinggal sekeluarga pemburu mereka mempunyai seorang anak perempuan yang bernama "
"Ji- kongcu sudah tidak bermain lagi dengan nona itu" cepat dayang cantik baju hijau itu menukas "Walau begitu budak telah mengutus orang untuk mencarinya kesitu!"
"Apakah dia punya kenalan nona-nona cantik diluar bukit?" tanya Wan-hong mendadak.
"Ada memang ada, cuma Ji- kongcu jarang pergi mencari mereka, adalah nona nona itu yang sering datang mengganggu Ji-kongcu!"
"Blaanng.,.!" tiba-tiba terdengar suara meja di pukul keras- keras, menyusul Hoa Thian-hong berseru gemas:
"Binatan cilik, benar-benar bikin hatiku jadi keki!" Semua orang dibikin terperanjat oleh tindakan tersebut,
Bun Taykun menatap putranya sekejap dengan pandangan dingin, dibalik sinar matanya itu penuh mengandung nada menegur: Hoa Thian-hong merasa sangat tak enak hati, dengan tundukkan kepalanya ia memohon maaf:
"Ananda telah hilaf, harap ibu jangan marah!"
Bun Taykun mendengus dingin, sorot matanya beralih kembali ke wajah Chin Wan-hong, katanya kemudian:
"Aku punya rencana untuk mengutus Liong-ji segera berangkat, ambillah kaus kutang pelindung badan itu."
Chin Wan-hong tampak tertegun, tapi ia segera beranjak seraya menyahut:
"Menantu terima perintah!"
Diapun mengundurkan diri dari ruangan itu, sepeninggal Chin-si, Pek Kun-gi juga berkata:
"Ibu, menantu ingin membenahkah sedikit bekal untuk anak Liong, sebentar aku kembali lagi kesini"
"Cepatlah pergi dan cepat kembali kesini" sahut Bun Taykun sambil ulapkan tangannya, "berkelana dalam dunia persilatan berbeda dengan melakukan perjalanan untuk melancong, sebilah pedang yang tajam sudah lebih dari cukup!"
Pek Kun-gi mengiakan berulang kali, diapun berlalu dari ruangan tersebut.
Sementara itu Hoa Thian-hong sudah termenung beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia berkata kepada ibunya:
"lbu, Liong-ji terlalu romantis dan suka pelesiran, ia nakal dan lagi susah dididik. " Mendadak ia temui paras muka ibunya agak tidak beres, maka kata selanjutnya lantas ditelan kembali
Dengan dingin Bun Taykun berkata:
"Kejadian yang ada didunia ini ibaratnya orang yang bermain catur, seringkali tanpa diminta seseorang akan mengalami kejadian yang sama sekali diluar dugaan.
Bayangkan sendiri dengan tabiatmu yang polos dan sederhana, toh setiap kali menghadapi kejadian yang hebat maka urusan dapat kau selesaikan dengan sendirinya? itulah sebabnya aku berani mengutus Liong-ji untuk menyelesaikan persoalan ini, karena sampai dimanakah kemampuan Liong-ji, kita kan tak dapat menerka sebelumnya??"
Hoa Thian-hoag menghela nafas panjang.
"Aaaaii ! Bagaimanapun juga, ananda selalu merasa
bahwa kecerdikan binatang itu ada batasnya, ketebalan imannya masih kurang teguh dan dia bukan seorang yang berbakat untuk diserahi tugas berat, aku kuatir kalau dia tak akan mampu untuk memikul beban seberat ini"
"Aaaai! sekalipun tak mampu untuk memikulnya, dia harus memikulnya juga!" sahut Bun Tay kun dengan suara dalam, keresahan terlintas di atas wajahnya.
Hoa Thian hong tertegun, katanya lagi dengan tergagap: "Ananda tetap merasa, lebih baik ananda sendiri yang
menyelesaikan persoalan ini "
Sebelum ia sempat menyelesaikan kata-katanya dengan wajah sedingin salju Bun Taykun, telah mendengus dingin, dengan ketakutan buru-buru Hoa Thiau-hong membungkam dan tundukkan kepalanya.
Melihat keadaaan puteranya, Bun Taykun kembali menghela nafas panjang, kepada dayang cantik berbaju hijau itu katanya :
"Ambilkan kotak kayu cendana itu!!" "Baik..." jawab sang dayang dengan cepat.
ia lari masuk ke dalam ruangan, selang sesaat kemudian muncul kembali dengan membawa sebuah kotak kayu cendana warna merah dan diletakkan dihadapan Bun Taykun.
Menyusul kemudian toa-hujin Chin Wan-hong masuk ke dalam ruangan dengan membawa kaos kutang pelindung pedang, dan akhirnya Pek hujin masuk dengan membawa sebilah pedang antik yang panjangnya empat depa.
Bun Taykun lantas berkata lagi kepada dayang baju hijau itu:
"Perbanyak orang-orang yang melakukan pencarian, sebelum matahari tenggelam di langit barat, Ji kongcu sudah harus ditemukan!"
Dayang baju hijau itu mengiakan, buru-buru ia berjalan keluar dari ruangan tersebut.
Keheningan kembali mencekam seluruh ruangan itu, empat orang duduk membungkam di sana sambil menunggu Ji- kongcu Hoa yang kembali. Suasana dalam ruanganmu ibaratnya gendewa yang sudah ditarik hingga menegang, begitu sesaknya hingga sukar digunakan untuk bernapas.
Mendadak Hoa Thian-hong buka suara keras sekali nadanya:
"Bagaimanapun juga, aku tetap beranggapan bahwa binatang cilik itu kurang cerdik, susah untuk diserahi tugas seberat ini"
Chin Wan hong berpaling dan memandang mertuanya, lalu berkata dengan suara lirih:
"Apa salahnya kalau kita utus anak Si saja ? Ibu, Si ji adalah putra sulung kita, usianya jauh lebih tua, sepantasnya kalau dia kita kirim untuk mencari pengalaman.
"Kalian hanya tahu satu tak tahu dua, latar belakang yang menyelimuti masalah ini sebetulnya sangat ruwet dan sukar diraba dengan kata-kata, meskipun Si-ji lebih tua dan lebih matang, tapi kurang cekatan menghadapi setiap perubahan, jika kita suruh dia yang memikul tugas ini, maka keadaannya akan jauh lebih berbahaya lagi"
Suara langkah manusia berkumandang dari luar kamar, menyusul seseorang berseru dengan nyaring:
"Nek! Nek. ! Engkau yang mencari aku? Liong-ji sudah
pulang. "
Seorang pemuda tampan dengan jubah warna hijau dan menggoyangkan sebuah kipas muncul dalam ruangan itu, senyum manis tersungging di ujung bibirnya. Pemuda tampan ini tak lain adalah putra kedua dari Hoa Thian hong yang bernama Hoa Yang dengan nama kecil In- liong, seharian dipanggil Liong-ji atau anak Liong, tahun ini berusia delapan sembilan belas tahunan, dibandingkan toakonya Hoa Si, lebih mudah dua tahun.
Semuanya Hoa thian hong mempunyai tiga orang putra dan dua orang putri, Putra sulung, putra bungsu dan dua orang putrinya dilahirkan oleh Chin Wan-hong istri pertamanya, sedangkan putranya kedua In-Liong dilahirkan oleh Pek kun gi istrinya yang kedua.
Semasa masih muda, Pek Kun-gi adalah seorang dara yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, bahkan terkenal sebagai Bu-lim-tit-it-bi-jin atau, perempuan yang tercantik di dunia persilatan.
Hoa-In-liong dilahirkan oleh ibunya yang cantik, tak heran kalau wajahnya tampan dan memiliki daya pesona yang gampang membuat orang jatuh hati kepadanya.
Bun Taykun tersohor karena memiliki peraturan rumah tangga serta sistim pendidikan yang ketat dan keras sedang Hoa Thian hong adalah lelaki yang jujur, bijaksana dan sangat berbakti pada orang tuanya.
Putranya yang sulung Hoa Si merupakan seorang pemuda pendiam yang lebih mirip dengan watak ayahnya, putranya yang bungsu Hoa Wi baru berusia empat belas tahun, meskipun merupakan kesayangan semua orang, namun tiap gerak geriknya harus pula menurut aturan.
Sedangkan mengenai nona-nona lainnya, oleh karena merupakan kaum hawa, maka dapat dibayangkan betapa ketatnya mereka harus mengikuti peraturan dan pendidikan kampung.
Hanya Hoa In liong seorang yang tak pernah dikekang, semenjak kecil ia sudah suka pelesir dan bermain sebebas- bebasnya, ia tak mengenal apa artinya peraturan serta larangan, setelah menginjak dewasa, sifatnya jadi amat romantis, seringkali ia terbitkan keonaran di sana sini, main perempuan ganti pacar sudah merupakan acara tetapnya setiap hari.
Tentu saja wataknya ini sangat tidak serasi dengan cara berpandangan serta sistim pendidikan yang diterapkan nenek serta orang tuanya, baik Bun Taykun sendiri maupun Hoa Thian-hong suami istri telah berusaha dengan segala daya upaya untuk merubah sifat romantisnya ini namun usaha tersebut selalu sia-sia belaka.
Hanya untungnya walaupun ia romantis dan suka berganti pacar, pada hakekatnya tidak cabul dan melanggar tata kesopanan, maka meskipun wataknya tak disukai orang tuanya, dari pihak orang tuapun tak bisa berkutik terhadap putranya ini.
Dengan begitu, lama kelamaan wataknya ini jadi suatu kebiasaan, suatu kebiasaan yang merupakan "Trade mark" dari Hoa In-liong.
Sementara itu dengan wajah berseri-seri Hoa In- liong berjalan masuk ke dalam ruangan, tapi tiba-tiba ia merasa gelagat tidak beres, ditemuinya bekas air mata masih menodai wajah ibunya diam-diam ia terkejut.
Sambil jatuhkan diri berlutut, serunya kemudian: "Liong-ji menghujuk hormat untuk nenek!" "Bangun!" kata Bun Taykun hambar.
Hoa In-liong makin gugup, ia putar badan dan memberi hormat kepada Hoa Thian-hong:
"Liong-ji memberi hormat untuk ayah!"
Hoa Thian-hong ulapkan tangannya tanpa menjawab.
Maka Hoa In-liong pun berpaling ke arah Chin si hujin sembari memanggil:
"lbu !"
Air mata masih mengembang dalam kelopak mata Chin-si hujin, ujarnya dengan lembut:
"Anak Liong, kau tentu lelah bukan ? Duduk dan beristirahatlah sebentar.,."
Hoa In-liong mengiakan, dia melangkah maju dan berdiri disamping ibunya, sementara sinar mata yang tajam menyapu sekejap kaus kutang mustika, pedang mustika beserta hiolo kumala yang masih berisi darah segar di atas meja kecil.
Selang sesaat kemudian, ia baru bertanya dengan lirih: "Ibu, persoalan apakah yang telah membuat hatimu jadi
sedih, apakah ananda telah melakukan keonaran lagi??" Ji-hujin Pek Kun-gi menggeleng, ucapnya tersendat:
"Kau jangan ribut dulu, nenek ada perkataan hendak disampaikan kepadamu !" Berbicara sampai di situ, tak
kuasa lagi dua titik air mata jatuh berlinang membasahi wajah nya. Terdengar Bun Taykun berkata dengan serius:
"Liong-ji, tahukah kau bahwa keluarga Suma siok-ya mu dikota Lam-yang-hu telah tertimpa bencana besar??"
Hoa In-liong terkejut, capat ia menggeleng.
"Liong-ji tak tahu, waktu itu ananda sedang bersama-sama seorang teman di puncak bukit sebelah belakang, ananda dengar Tiong Liau..."
"Panggil Lo-koan-keh!" bentak Hoa Thian-hoig penuh kegusaran.
"Baik!" capat Hoa In-1iong menyahut dengan lirih, "ananda dengar lo-koan-keh memanggil ananda untuk pulang, maka Liong-ji pun lantas pulang ke rumah, sepanjang perjalanan tidak kutemui siapapun, karenanya tidak tahu pula apa yang sebetulnya telah terjadi"
Berbicara sampai disitu, kebetulan dayang cantik baju hijau itu sedang masuk ke ruangan, cepat Hoa In-liong alihkan sorot matanya ke arah dayang itu dengan tatapan ingin tahu apa gerangan yang terjadi ditempat tersebut.
Tentu saja dayang baju hijau itu tak berani menanggapi pertanyaannya, cepat kepalanya ditundukkan.
"Kau berlutut lebih dulu!" tiba-tiba Hoa Thian hong membentak dengan suara berat, "nenek hendak memberikan sesuatu padamu!"
Paras muka Hoa In-liong berubah hebat, dengan agak takut ia maju ke muka lantas jatuhkan diri berlutut di atas tanah. Agaknya Bun Taykun sedang merasakan suatu kepedihan yang tak terkatakan, lama sekali ia murung sebelum akhirnya menghela napas dan berkata:
"Liong-ji, ingatlah baik-baik! Suma siok-ya serta siok-cu-bo mu itu telah dibunuh orang dikala sedang tertidur nyenyak, mulut lukanya berada di tenggorokan dengan bekas gigitan yang nyata, agaknya mereka mati digigit oleh sejenis makhluk binatang"
"Aaah.,. jadi ada peristiwa seperti ini?" seru Hoa In-liong sambil berkerut kening, "bukankah Suma siok-ya adalah seorang tokoh persilatan yang punya nama besar selama puluhan tahun, dengan ilmu silat yang dimilikinya jarang sekali ada orang yang bisa menandingi kehebatannya lagi"
Tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya Bun Taykun segera menukas dengan dingin:
"Ketahuiah di atas langit masih ada langit, di atas manusia yang pintar masih ada manusia yang lebih pintar, kata-kata tanpa tandingan merupakan suatu perkataan yang terlalu berlebihan!"
Ji-hujin Pek Kun-gi cepat menambahkan:
"Liong-ji, didalam dunia yang amat lebar ini, manusia pintar tokoh lihay banyaknya sukar dihitung dengan jari tangan, apa yang kau lihat dalam dunia persilatan tak lebih hanya merupakan sebagian kecil saja, dan sebagian kecil yang kau lihat belumlah mencakup keseluruhannya, bila di kemudian hari berkelana dalam dunia persilatan, kata-kata tersebut haruslah kau ingat selalu di dalam hati!"
"Lioag-ji akan mengingatnya selalu!" sahut Hoa In-Uong seraya mengangguk. Setelah berhenti sebentar, dengan kening berkerut ujarnya lagi:
"Menurut apa yang Liong-ji ketahui Suma siok ya bukanlah seorang manusia sembarangan, paling sedikit ia memiliki ilmu silat yang bisa digunakan untuk membela diri, makhluk binatang apakah yang dapat mencelakai jiwanya? Benar-benar satu kejadian yang aneh!"
"Yaa api mau dikata bila kenyataan mengatakan
demikian ? sekalipun tidak percaya, terpaksa kita harus mempercayainya juga, apalagi apa yang kita ketahui justru diceritakan sendiri oleh Jin kokoh mu!"
"Sekarang Jin kokoh berada dimana?" tanya si anak muda itu kemudian dengan muka tercengang.
"Sekarang dia berada dalam kampung kita, oleh sebab kesedihan yang mencekam hatinya sudah terlampau mendalam, kuperintahkan dirinya untuk pergi beristirahat"
Hoa In-liong mengerutkan dahinya, dengan pandangan yang tajam ia melirik sekejap ke arah Hiolo kumala hijau di atas meja.
Sebelum pemuda itu buka suara, Bun Taykun telah berkata lebih dahulu:
"Hiolo kumala itu adalah tanda yang ditinggalkan pembunuh Suma-siok-yamu, bila ingin menyelidiki jejak dari pembunuh tersebut maka benda itulah merupakan satu- satunya pertanda yang bisa kau selidiki".
Hoa Thian hong mengambil hiolo kumala itu dan diletakkan di atas tangannya, kemudian berkata pula: "Benda ini adalah sebuah hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau, ingat saja bentuknya didalam hati, tak usah kau bawa serta benda tersebut."
Mendengar perkataan itu kembali Hoa In-liong mengerutkan dahinya, diam-diam berpikir dihati:
"Kalau toh aku Hoa Yang yang bakal diutus untuk melakukan penyelidikan atas terjadinya peristiwa pembunuhan ini, sepantasnya kalau hiolo kumala hijau itu diserahkan kepadaku, atau paling sedikit aku diberi kesempatan untuk memeriksanya dengan seksama "
Sebagaimana telah kita ketahui, diatas permukaan hiolo kumala hijau itu terukir empat bait syair Hoa Thian-hong tak ingin putranya mengetahui isi syair tersebut, maka selesai berbicara dia lantas ambil keluar secarik sapu tangan dan membungkus hiolo kecil itu dengan hati-hati.
Hoa In-liong bukan seorang manusia bodoh, tentu saja ia dapat menebak bahwa dibalik kejadian itu tentulah ada hal-hal yang tidak beres, namun ia tidak memaksa lebih jauh, kemala neneknya ia berkata:
"Nek ada urusan apakah nenek mengundang kedatangan Liong-ji kemari? Apakah nenek suka menerangkan?"
Bun-Taykun menghela napas panjang, sahutnya: "Keluarga Suma telah tertimpa bencana besar, menurut
pandanganmu, apa yang harus dilakukan oleh orang-orang keluarga Hoa kita untuk mengatasi masalah ini?"
Tanpa berpikir panjang Hoa In-liong menjawab: "Dendam terbunuhnya orang tua lebih dalam dari samudra, apa bila Jin kokoh punya semangat, dia pasti berharap akan membunuh pembunuh tersebut dengan tangannya sendiri sehingga sakit hati ini bisa terlampiaskan...!"
"Jin kokoh-mu memang bermaksud begitu"
"Kalau toh memang begitu, sudah sepantasnya kalau nenek menahannya untuk berdiam di sini serta mewariskan beberapa macam ilmu silat kepadanya, agar ia mempunyai kekuatan untuk membalas dendam dan membinasakan pembunuh besarnya itu, hanya saja..."
Tiba-tiba pemuda itu membungkam.
"Hanya saja kenapa?" tanya Bun Taykun dengan nada ewa.
Hoa In-liong termenung dan berpikir sejenak lalu menjawab:
"Sekalipun membinasakan pembunuh keji itu adalah tugas dan kewajiban dari Jin kokoh, bagaimanapun juga sudah sepantasnya kalau kita orang-orang keluarga Hoa menyumbangkan pula segenap tenaga dan pikiran untuk membantu bibi untuk melaksanakan pembalasan dendam ini, dengan begitu kitapun tidak sampai menyia-nyiakan hubungan antar kekeluargaan yang telah dipupuk selama ini"
Perlahan-lahan Bun Taykun mengangguk:
"Aku sendiripun mempunyai pendapat demikian" katanya, "atau paling sedikit kita harus melakukan penyelidikan lebih dulu siapakah pembunuh keji tersebut, dengan begitu bila Jin kokoh-mu akan melakukan pembalasan dendam di kemudian hari, diapun tak usah kelabakan untuk mencari tahu siapa gerangan musuh besarnya" Tiba-tiba Hoa Thian-hong menyela dengan ketus.
"Nenekmu dan aku telah mengambil keputusan engkaulah yang akan kami utus untuk memikul tugas berat ini, kaulah yang harus melakukan penyelidikan siapakah pembunuh yang telah melakukan pembunuhan secara demikian kejinya ini"
Hoa In-liong mengerutkan kening, dalam hati ia berpikir: "Peristiwa ini sungguh aneh dan mencengangkan hati aku
tak tahu duduknya perkara, darimana bisa melakukan penyelidikan "
Rupanya Pek-si hujin atau Pek Kun-gi mengetahui kesulitan putranya, cepat ia menimbung:
"Liong-ji, bila engkau menjumpai hal-hal yang menyulitkan, katakan saja kepada nenek, siapa tahu kalau nenek akan merombak kembali semua rencana besarnya"
Bisa dimaklumi betapa erat dan akrabnya hubungan antara anak dan ibu, apalagi anak kandung yang keluar dari rahim sendiri, tidak heran kalau Pek Kun-gi amat menyayangi putra tunggalnya ini.
Hoa In-liong tidak langsung menjawab, dalam hati ia berpikir:
"Berbicara menurut aturan, semestinya neneklah yang harus turun tangan sendiri untuk melakukan penyelidikan, apalagi dalam adanya nenek dan ayah, aku Hoa Yang masih jauh ketinggalan dengan kehebatan toako, tapi Apa
sebabnya bukan yang diutus untuk melakukan tugas ini, melainkan pilihan terjatuh pada aku Hoa Yang? Sudah pasti dibalik kesemuanya ini ada hal-hal yang lebih mendalam artinya" terpikir sampai disitu, mendadak dia berkata dengan lantang:
"lbu, tahun ini Liong-ji sudah meningkat dewasa, sudah sepantasnya kalau Liong-ji mendapat tugas untuk melaksanakan pekerjaan yang sungguh-sungguh karena dengan begitu maka pengalaman dan pengetahuan Liong-ji pasti akan peroleh banyak kemajuan".
Ji-hujin Pet-Kun-gi menggerakkan bibirnya seperti hendak mengatakan sesuatu, namun niat itu akhirnya dibatalkan perempuan tersebut tak dapat menahan rasa sedihnya lagi, air mata tampak mengambang dalam kelopak matanya dan perlahan-lahan meleleh ke bawah.
Bun Taykun mendehem ringan, mendadak serunya dengan suara lantang:
"Liong-ji, dengarkan baik-baik perkataanku" "Katakanlah nenek, cucunda akan mendengarkannya
dengan seksama!"
Dengan wajah serius, Bun Taykun berkata:
"Dua puluh tahun berselang! dalam dunia persilatan terdapat seorang pendekar wanita yang gagah perkasa dia she Ku bernama Ing-Ing, orang persilatan menyebutnya sebagai Giok-teng hujin (nyonya hiolo kumala), benda hiolo kecil yang terbuat dari batu kumala hijau itu tak lain adalah tanda pengenal miliknya.
"Asal nama dan she-nya sudah diketahui, persoalan ini tentunya lebih gampang untuk diselesaikan" seru Hoa In-liong tanpa terasa dengan semangat berkobar. "Hmmm! Kalau persoalannya semudah ini, tak nanti kami utus dirimu untuk melakukan penyelidikan" kata Bun Taykun dengan ketus, "justru menurut apa yang berhasil kami ketahui, sudah lama Giok-teng hujin meninggalkan dunia yang fana ini"
"Aaaa,.,.! Jadi ia sudah mati?" kata Hoa In liong tercengang, "berita itu hanya berdasarkan cerita yang beredar dalam dunia persilatan, ataukah ada orang yang menyaksikan dengan mata kepala sendiri??"
"Ehmm...tak nyana kau cukup teliti dan seksama dalam mengupas setiap persoalan yang sedang dihadapi, dengan begitu kamipun dapat merasa berlega hati"
Tiba-tiba dia menepuk kotak kayu cendana yang berada di atas meja kecil, kemudian lanjutnya terlebih jauh:
Giok-teng hujin pernah mengirim sepucuk surat kepada kami dan sekarang surat tersebut masih tersimpan disini, menurut isi surat tersebut, tentu saja kami menganggap bahwa ia telah meninggalkan dunia yang fana ini dan telah berpulang ke alam baka"
Hoa In-liong termenung dan berpikir beberapa saat lamanya, kemudian menjawab:
"Jadi kalau begitu, pembunuh dari Suma siok-ya kalau bukan ahli waris dari Giok-teng hujin, tentu ada orang telah menggunakan tanda pengenalnya itu untuk mengelabuhi serta membohongi mata dan pendengaran umat manusia di dunia ini"
"Aaaai...! Tentang soal ini, sulit sekali untuk dikatakan" ucap Bun Taykun sambil menghela napas. Hoa Thian-hong yang berada disisinya, cepat menyambung:
"Untuk membahas dan memecahkan setiap persoalan yang berhubungan dengan dunia persilatan, janganlah kau mengupasnya menurut keadaan pada umumnya, sebab seringkali kenyataannya berbeda jauh dengan kejadian yang kita anggap umum. Demikian pula dengan masalah Giok teng hujin, kemungkinan juga bahwa sampai sekarang dia masih hidup di dunia ini"
"Kenapa dengan Giok-teng hujin?" pikir Hoa In-liong dihati, "sekalipun dia masih hidup di dunia ini, toh tak akan membuat jeri kita anggota keluarga dari perkampungan Liok-soat-san- ceng!"
Tampaknya Bun Taykun dapat menebak apa yang sedang dipikirkan si anak muda itu cepat katanya dengan dingin:
"Ketahuilah, hubungan budi dan dendam antara Giok-teng hujin dengan keluarga Hoa kita sukar untuk diketahui siapa benar siapa tidak, dan keputusan yang tegas tak mungkin bisa dijatuhkan Sebab alasan dari persoalan ini tak mungkin bisa diterangkan dengan sepatah-dua-patah kata saja atau tegasnya andaikata Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini, maka kendatipun kita memiliki ilmu silat yang maha tinggi, juga tak mungkin untuk melangsungkan pertarungan dengan dirinya"
Chin-si-hujin atau Wan-hong yang selama ini membungkam terus, tiba-tiba menambahkan dengan air mata bercucuran:
"Dalam suatu masalah kita telah berbuat salah padanya, kami merasa tak pernah punya muka untuk berjumpa muka dengan dirinya!" Ucapan ini sangat menggetarkan hati Hoa In-liong, serunya agak terbata-bata: "Laan... lantas bagaimana baiknya?"
Dengan tegas Bun Taykun menjawab:
"Bagi kita orang-orang keluarga Hoa, lebih baik kepala dipenggal darah berceceran daripada melakukan perbuatan yang merugikan orang lain, aai cuma, kadangkala takdir
memang mempermainkan orang, ada kalanya sekalipun hati ada keinginan namun tenaga tidak mengijinkan, dalam keadaan begitu yaa apa boleh buat lagi"
Sementara perasaan Hoa-In-liong jauh lebih ringan daripada semula, perlahan-lahan berkata:
"Kalau toh kita tak pernah melakukan perbuatan yang merugikan siapapun, persoalan ini lebih gampang untuk diselesaikan"
Bun Taykun tertawa getir, perlahan-lahan dia membuka kotak kayu cendana itu dan mengambil keluar sepucuk surat lama yang ditaksir sudah berusia dua puluh tahun, sebab kertas surat itu sudah berubah warnanya menjadi kuning.
Seterang sang surya sorot mata Hoa In liong, cepat serunya dengan nada lantang:
"Inikah surat yang ditulis sendiri oleh nyonya yang bernama Giok-teng hujin itu?"
"Benar!" sahut Bun Taykun dengan serius "tapi engkau tak boleh mencuri lihat isi surat ini, bila berani melanggar pantangan tersebut, maka selamanya engkau bukanlah anak cucu dari keluarga Hoa kami!" Hebat sekali perubahan wajah Hoa In-liong buru-buru dia menyahut pula dengan serius:
"Sepanjang masa cucunda tak berani melupakan peringatan dari nenek ini "
Bun Taykun mengangguk, dia serahkan surat tersebut kepada dayang baju hijau yang ada disisinya lalu memerintahkan:
"Bungkuslah sampul surat ini dengan selapis kain berminyak kemudian jahit dibalik kaus kutang pelindung badan itu!"
"Biar aku saja yang menjahitnya!" seru Pek-si hujin segera.
Buru-buru dayang baju, hijau itu serahkan surat tersebut kepada nyonya majikannya setelah menyiapkan kain minyak, jarum dan benang maka Pek Kun-gi turun tangan sendiri untuk menjahit bungkusan berisi surat itu dilapisan paling bawah dari kaus kutang pelindung badan itu.
Sejak awal sampai sekarang Hoa In-liong berlutut terus dihadapan Bun Taykun, oleh karena neneknya tidak menitahkan kepadanya untuk bangkit, maka pemuda itu terpaksa harus berlutut terus tanpa bergerak.
Ji-hujin amat sedih melihat keadaan putranya, cepat dia menjahit surat itu di lapisan bawah kaus kutang pelindung badan, kemudian katanya:
"Surat itu penting sekali artinya, sekarang juga kenakanlah kaus kutang pelindung badan ini!" Hoa In-liong mengiakan dan bangkit berdiri, setelah melepaskan baju bagian atasnya, ia kenakan kaus kutang pelindung badan tersebut di tubuhnya.
"Hayo berlutut lagi" tiba-tiba Hoa Thian hong membentak. "Ya ayah!" sahut Hoa In-liong dengan kepala tertunduk
sekali lagi ia berlutut di hadapan neneknya.
Dengan lembut Bun taykun berkata:
"Mengertikah kau apa yang diharapkan ayahmu dari sikapnya ini? Kau harus mengerti bahwa kejadian yang telah menimpa kita pada hari ini menyangkut soal kejayaan serta kehancuran bagi keluarga Hoa kita, disamping itu mempengaruhi juga soal mati hidup kita semua, dan tanggung jawab yang amat berat ini telah kami bebankan di atas pundakmu, jika engkau mengerjakan tugas ini semaunya sendiri, maka hancurlah nama baik keluarga Hoa kita di tanganmu!"
Tercekat perasaan Hoa-In-liong setelah mendengar perkataan ini, jantungnya berdebar keras.
"Liong-ji tak berani bertindak secara gegabah!" segera sahutnya dengan serius.
Bun Taykun menghela napas panjang.
"Aaai ! Kaus kutang pelindung badan ini adalah hadiah
dari kawan-kawan persilatan wilayah Kanglam ketika toakomu genap berusia satu tahun, besar sekali manfaatnya bagimu. pertama bisa dipakai untuk melindungi badan, dan kedua dikala musim dingin kau tak akan kedinginan, di musim panas kau tak akan kepanasan, janganlah kau anggap remeh kehebatan mustika tersebut " "Liong-ji mengerti, Bagaimana dengan suratnya?" kata pemuda itu dengan kepala tertunduk.
Suara Bun Taykun makin nyaring, paras mukanya makin serius, sahutnya:
"Tujuanmu mengarungi dunia persilatan kali ini adalah mencari tahu siapakah pembunuh sebenarnya yang telah mengakibatkan kematian Suma Siok-yamu berdua, Andaikata pembunuhnya hanya ahli waris dari Giok-teng hujin atau ada orang yang mencatut nama baiknya, maka persoalan ini pun menjadi sederhana sekali"
"Seandainya Giok-teng hujin masih hidup di dunia ini dan dialah yang merupakan otak dari pembunuhan ini, apa yang harus Liong-ji lakukan??" tanya sang pemuda.
"Andaikata begitu kejadiannya maka dihadapan mukanya kau serahkan kembali surat tersebut kepadanya."
"Kemudian...?"
Paras muka Bun Taykun jadi murung, setelah menghela nafas panjang sambungnya:
"Kejadian selanjutnya sukar untuk diduga, terpaksa kita harus nantikan saja, perubahan yang bakal terjadinya"
Dengan wajah murung Pek-si hujin berkata pula: "Dalam dunia persilatan pasti akan terjadi peristiwa yang
jauh lebih besar dan hebat, engkau harus bertindak dengan hati-hati dan setiap masalah dihadapi dengan serius, pusatkan saja semua perhatianmu untuk menyelidiki persoalan ini, tak usah mencampuri urusan orang yang sama sekali tak ada sangkut pautnya dengan dirimu"
"Dan masih ada satu lagi yakni kebiasaanmu yang jelek itu" sambung Hoa Thian-hong dengan dingin, "lebih baik rubahlah kebiasaan tersebut sehingga tidak mendatangkan kesulitan bagimu!"
"Ananda akan mengingatnya selalu!" jawab Hoa In-liong dengan penuh rasa hormat.
Bun Taykun menghela napas panjang, ia mengerling sekejap ke arah Pek Kun gi, lalu angkat tangan kirinya dan memberi tanda.
Mendadak air mata bercucuran membasahi pipi Pek-si hujin yang cantik, dengan tangan gemetar ia cabut keluar pedangnya, kemudian berseru sambil menahan isak tangisnya:
"Liong-Ji... kee.. kemarilah "
Hoa In-liong bangkit berdiri dan menghampiri ibunya, ia bertanda dengan wajah keheranan:
"lbu, mengapa kau kuatir ? Liong-ji pasti akan menghadapi setiap persoalan dengan otak dingin tak usahlah kau bersedih hati!"
"Aaaai ! Kun-gi, serahkan saja pedang mustika itu
kepadaku!" tiba tiba Bun Taykun berkata sambil menghela nafas.
Pek-si hujin tampak agak tertegun, kemudian sambil menyeka air mata menyahut:
"Biar menantu lakukan sendiri!" Semua tindak tanduk dan perkataan yang aneh ini mencengangkan hati Hoa In-liong, dalam hati ia lantas berpikir:
"Sungguh aneh kejadian ini, selama hidup aku tahu bahwa ibu adalah seorang perempuan yang keras hati, sekalipun dikala sedih dia mengucurkan pula air matanya, "tapi kesedihannya pada hari ini luar biasa sekali, mungkinkah dia sedih lantaran aku akan meninggalkan dirinya pergi jauh ?
Atau kah mungkin disebabkan oleh alasan lain??".
Sementara Hoa In-liong masih termenung, Pek si hujin dengan pedang terhunus telah menghampirinya, kemudian berkati sambil menahan sesenggukan:
"Anakku, rentangkan telapak tangan kirimu kemudian angkatlah ke depan dada, apa yang hendak kau lakukan?" meskipun keheranan bercampur curiga pemuda itu merentangkan juga telapak tangan kirinya.
oooooOooooo
BAGIAN 2
"LIONG-JI, ibu hanya ingin mengukir sebuah huruf di atas telapak tanganmu itu" sahut Pek-si hujin dengan pedih.
"Engkau masih ingat dengan gaya tulisannya?" terdengar Bun Taykun bertanya.
"Menantu masih ingat!" Pek-si hujin mengangguk.
Hoa In-liong pun berkata dengan lembut: "lbu, ukirlah tulisan tersebut ditanganku, hanya siksaan sekecil itu tak nanti Liong-ji pikirkan dihati" Dengan air mata meleleh dipipinya, Pek-si hujin angkat pedangnya ke depan, ujung senjata itu tertuju pada telapak tangan putranya, setelah menenangkan hatinya, tiba-tiba ia menggigit bibir, pergelangan tangannya tergetar keras dan cahaya kilatpun menyambar lewat.
Menyusul kemudian Ji-hujin membuang pedang itu ke tanah, dan sambil mendekap muka sendiri ia menangis tersedu-sedu.
Hoa In liong sendiri hanya merasakan telapak tangannya jadi dingin, tatkala ia membentangkan kembali telapak tangannya itu, maka terbacalah sebuah huruf "BENCI" yang masih berdarah.
Dalam pada itu Toa hujin Chin Wan hong serta dayang baju hijau itu sudah maju menghampirinya, luka yang menggores di telapak tangan itu diberi selapis salep, kemudian di bungkus dengan kain putih.
Tiba-tiba wajah Hoa In-liong berubah jadi pucat pasi, bisiknya dengan hati tercekat:
"lbu, kau membenci Liong-ji?"
"Tidak..." jawab Pek Kun-gi sambil menggeleng.
Bun Taykun yang ada disisinya segera menukas pula dari samping:
"Tak ada seorang ibu yang membenci putra kandungnya sendiri, Liong-ji! jangan berpikir yang bukan-bukan"
Sementara itu Pek Kun-gi telah berkata lagi dengan air mata bercucuran membasahi wajahnya: "Makna yang sebenarnya dari tulisan itu akan kau pahami dengan sendirinya, sekarang tak usahlah banyak bertanya!"
Hoa In-liong mengangguk.
"Asal ibu tidak membenci pada Liong-ji, tentu saja ukiran huruf itu tak akan menjadi soal bagi ku!"
Tiba-tiba Bun Taykun menengadah, lalu menegur: "Apakah Siau-wan-ji di situ?"
Selembar wajah kecil mungil yang cantik muncul dari luar pintu. menyusul bocah itu menyahut dengan suara manja:
"Nenek, aku ingin masuk!"
Nona kecil itu adalah putri bungsu dari Hoa Thian hong, dihari-hari biasa sangat disayang, oleh karena banyak persoalan mengusik pikiran nenek tua ini, tentu saja diapun tidak berhasrat untuk bermain dengan cucu perempuannya.
Sambil berkerut kening, ia lantai ulapkan tangannya sambil menghardik:
"Nenek sedang ada urusan, bermain ke depan sana!"
Siau-wan-ji tampak agak tertegun menyaksikan paras neneknya yang keren, setelah menyapu sekejap sekeliling ruangan itu, pergilah nona cilik itu dari sana.
Tiba-tiba Bun Taykun membentak lagi: "Liong-ji, dengarkan baik-baik!" "Silahkan nenek memberi perintah!" sahut Hoa In-liong sambil tundukkan kepala.
"Ada beberapa persoalan harus kau ingat dengan sebaik- baiknya. Pertama, kecuali dikembalikan langsung kepada Giok- teng hujin, siapapun tak boleh melihat atau membaca isi surat yang kuberikan kepadamu itu, bilamana keadaan terpaksa, hancurkan dan musnahkan saja surat itu!"
"Cucunda tak akan melupakan pesan ini!"
"Kedua, siapapun yang bertanya kepadamu tentang ukiran tulisan yang berada di telapak tangan kirimu itu, maka kau harus menjawab bahwa tulisan tersebut sudah ada semenjak dari kecil!" Sekali lagi Hoa In-liong mengangguk "Akan cucunda ingat pula nasehat ini!"
Setelah berhenti sebentar, Bun Taykun berkata lagi: "Jikalau ada orang menanyakan berapa usiamu, maka
engkau harus memberitahukan satu tahun lebih tua, katakan
bahwa engkau dilahirkan pada tahun Jin-seng bulan cia-gwee tanggal sembilan belas, jadi tahun ini berusia delapan belas tahun lebih, ingat!"
"Yaa ingat!" sahut Hoa In-liong dengan dahi berkerut, "Liong-ji sudah mengingatnya baik-baik aku dilahirkan tahun Jin-seng bulan cia-gwe tanggal sembilan belas dan berusia delapan balas tahun lebih!"
Tiba-tiba Bun Taykun menghela nafas panjang. ""Aai.., Di antara anak cucu keluarga Hoa hanya engkaulah gemar berbohong dan engkau pula yang suka bicara tak jujur, maka sekarang kami akan mengandalkan kemampuan berbohongmu itu untuk bekerja!" Merah padam wajah Hoa In-liong setelah mendengar sindiran tersebut, dengan gelagapan sahutnya:
"Bila tugas ini telah Liong-ji selesaikan, maka selamanya Liong-ji tak akan berbohong lagi!"
Bun Taykun mengangguk.