Jilid 09
Tiba-tiba terdengar Si Leng-jin berseru, “Kalau toh kau mempunyai obat mujarab ini kenapa tidak kau makan sejak dulu dulu?” Hoa In-liong menghela napas panjang.
“Aaaai….. kau tidak tahu, obat ini sebenarnya hendak kugunakan untuk menolong kawanan jago yang terkena racun ular putih dari Mokau, bila kugunakan sekarang, hal ini sesungguhnya karena keadaan yang terlalu terpaksa”
“Sekalipun demikian, semestinya kau terangkan dulu kepadaku!” Si Leng-jin kembali menegur. Hoa In-liong tertawa.
“Seandainya kuterangkan kepadamu, maka kau pasti akan memaksaku untuk minum pil itu, padahal aku lebih suka mengobati luka itu dengan caraku sendiri dari pada membuang obat mustika itu secara percuma”
Kejut dan girang Si Leng-jin setelah mengetahui bahwa pemuda itu bakal tertolong jiwanya, dia hanya menggerutu karena pemuda itu tak mau bicara sejak semula, dikerlingnya sekejap dengan cemas.
Kembali Hoa In-liong tersenyum katanya, “Dalam obat ini terkandung juga jin som berusia seribu tahun, Hu-leng dan bahan obat lain…..
“Aku tahu obat ini adalah obat mustika yang dibuat Bu seng pada tiga ratus tahun berselang” tukas Si Leng-jin cepat, “dengan obat mustika semacam ini, lukamu seratus persen pasti akan sembuh”
Tiba-tiba suatu perasaan masgul muncul dalam hatinya, untuk sesaat ia merasa hubungannya dengan Hoa In-liong menjadi terpaut jauh sekali. Sebagaimana diketahui Si Leng-jin adalah seorang gadis yang tinggi hati dan angkuh, pemandang remeh soal hubungan cinta antara muda mudi, tapi perempuan semacam ini bila sekali jatuh cinta maka ukurannya adalah mati dan hidup.
Sudah beberapa kali ia berjumpa dengan Hoa In-liong, berjumpa yang berulang membuatnya jatuh hati oleh kegagahan serta kejantanan-nya itu, dengan lagi terlukanya Hoa In-liong kali ini adalah gara-gara ulahnya, diam-diam ia telah bersumpah kehendak hatinya, maka ia melupakan ketinggian hatinya dan tanpa ragu-ragu merawat si anak muda itu dengan penuh kesabaran, dalam pembicaraan pun penuh perasaan cinta dalam pemikirannya asal Hoa In-liong sudah meninggal maka diapun akan bunuh diri untuk menyusulnya.
Tapi dikala Hoa In-liong secara tiba- tiba bisa tak usah mati, meskipun ia merasa gembira tapi sedikit banyak timbul juga perasaan bahwa pada akhirnya mereka bakal berpisah.
Sesungguhnya perasaan itu kan ia sendiri hampir saja tidak merasakannya.
Mendadak Si Leng-jin tersentak bangun dari lamunannya, dengan suara rendah ia berkata, “Biar kuambilkan air untukmu, harap kongcu segera menelan obat itu sehingga kesehatanmu cepat pulih kembali seperti sedia kala”
Selesai berkata, ia lantas bangkit dan menuju ke dapur. ketika secara tiba-tiba mendengar gadis itu merubah
panggilannya menjadi “Kongcu”, Hoa In-liong agak tertegun, lalu pikirnya, “Kenapa secara tiba-tiba ia malah bersikap asing padaku? Entah apa sebabnya?” Sementara ia masin berpikir, Si Leng-jin sambil membawa air teh dan sebuah botol masuk ke dalam ruangan, air teh ia letakkan di meja dan penutup botolpun dibuka, bau harum semerbak segera tersiar ke seluruh ruangan membuat orang jadi segar rasanya.
Hoa In-liong segera menunjuk ke tepi pembaringan sambil berkata dengan serius, “Cepat atau lambat menelan pil ini kasiatnya toh sama saja, lebih baik kau duduk dulu, aku ingin bercakap-cakap denganmu”
Mendengar ucapan tersebut dengan kaku Si Leng-jin duduk kembali ketepi pembaringan dan menutup botol itu. Lama sekali suasana dalam keheningan, akhirnya Hoa In-liong bertanya dengan suara lirih, “Apakah aku telah membuat kesalahan kepadamu?”
Si Leng-jin gelengkan kepalanya dan tidak berbicara. “Kalau begitu kau merasa tidak puas kepadaku?” kata si
anak muda itu lebih lanjut.
Si Leng-jin berdiam diri beberapa saat lamanya, kemudian menjawab dengan hambar, “Bagiku kau adalah segala budi kebaikan, jika aku tidak puas lagi kepadamu, maka aku jauh lebih rendah dari binatang”
“Kalau begitu aku menjadi tidak habis mengerti…..”seru Hoa In-liong dengan kening berkerut.
“Kau tidak perlu mengerti, tukas si nona.
Tiba-tiba ia letak-kan botol obat itu dimeja, keluar dari ruangan itu. Ia merasa hatinya amat gundah dan masgul, kalau bisa ia ingin menangis sepuasnya.
Setelah keluar dari ruangan, gadis itu kabur ke hutan bambu, ketika tiba ditanah lapang, ia menjatuhkan diri, menangislah gadis itu sejadinya.
Entah berapa lama sudah lewat, akhirnya ia berhenti menangis, dadanya terasa lebih nyaman dan lega.
Pada saat itulah terdengar Si Nio memanggil dengan lirih, “Nona!”
Ketika Si Leng-jin berpaling maka terlihatlah sendiri entah dari kapan Si Nio telah berdiri dibelakangnya, buru-buru ia menyeka air mata dan bangkit berdiri.
Si Nio menghela napas panjang katanya, “Kalau memang jiwanya sudah tidak terancam lagi mari kita tinggalkan tempat ini”
“Tidak!” Si Leng-jin gelengkan kepalanya berulang kali “sekalipun hendak pergi, kita harus menunggu sampai lukanya betul betul sembuh kembali!”
Si Nio menggerakkan bibirnya seperti hendak menggucapkan sesuatu, tapi belum sempat berbicara Si Leng- jin telah berkata lagi.
“Dahulu sifat terlalu mementingkan diri sendiri ku terlalu berat kini aku sudah mulai sadar kembali. Asal masih bisa berjuang dengan kekuatan sendiri, aku orang she Si tidak akan memohon kepada orang!”
Saking emosinya mungkin, perkataan itu diucapkan sampai beberapa kali banyaknya. Menyaksikan sikap nonanya, terpaksa Si Nio berkata, “Baiklah segala sesuatunya terserah kepada nona
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan, “Aku lihat orang she Hoa itu lumayan juga, baik kecerdasan maupun ilmu silatnya tak ada yang cacad, walaupun waktunya terlalu binal itupun bukan suatu cacad benar…..”
“Bahkan akupun sudah menjadi paham, kenapa kau malah tak habis mengerti?” tukas Si Leng-jin.
Setelah tertawa getir ia melanjutkannya.
“Benar, aku mencintainya tapi bagaimana sikapnya kepadaku aku tak dapat dan tak ingin mengetahuinya sekarang…..lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi, mari kita pergi?”
“Sekarang, bagaimana pula dengan nona?” tanya Si Nio kebingungan.
Si Leng-jin tertawa katanya, “Biarpun sikapku terlalu tak sopan, sekarang aku hendak minta maaf kepadanya”
Melihat diantara senyumannya terselip kegetiran, Si Nio tertegun, ketika dilihatnya gadis itu sudah maju ke depan, buru-buru ia mengikuti dibelakangnya.
Tiba tiba Si Leng-jin menghela napas panjang, lalu berkata, “Si Nio, demi keluargaku kau telah mengorbankan segala- galanya, sebaliknya keluarga kami sama sekali tidak pernah membalas budi kebaikanmu itu….. “Nona, mengapa kau mengucapkan kata-kata semacam itu?” seru Si Nio dengan cemas, “sekali pun aku harus mati seratus kali demi majikan tua itu pun sudah sepantasnya”
Si Leng-jin sedih, ia melanjutkan langkahnya masuk ke dalam ruangan gubuk itu.
Si Nio sambil mengikuti dibelakangnya, diam-diam berpikir, “Watak nona selalu keras kepala, kesulitan apapun selalu hanya disimpan dihati, kalau dilihat dari mimik wajahnya itu rupanya ia telah mengambil suatu keputusan, semoga saja jangan sampai terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, kalau tidak dimana aku musti taruh wa jahku bila bertemu dengan arwah majikan di alam baka nanti?”
Pikir punya pikir akhirnya semua kesalahan ia limpahkan keatas pundak Hoa In-liong, diam-diam sumpahnya.
“Sialan betul bajingan muda itu, kalau nona sampai terjadi sesuatu yang tidak diinginkan, aku pasti akan beradu jiwa denganmu!”
Selang sesaat kemudian mereka sudah tiba kembali didepan rumah gubuk itu.
Si Leng-jin segera menerobos masuk kedalam ruangan, ia jumpai Hoa In-liong masih berbaring dipembaringan, obat itu belum di makan dan botolnya masih berada ditempat semula.”
Ketika menjumpai gadis itu berjalan masuk ke dalam ruangan, sambil tertawa ia lantas berkata, “Aku mengira kau tidak akan kembali lagi”
Si Leng-jin tertegun, bibirnya bergetar seperti ingin mengucapkan suatu tapi tenggorokannya serasa tersumbat dan tak mampu mengucapkan sepatah katapun, tiba-tiba ia menubruk ke dalam rangkulan Hoa In-liong dan memeluknya erat-erat.
“Belum pernah ada orang yang begitu memperhatikan diriku…..” bisiknya sambil menangis, Dengan penuh kasih sayang, Hoa In-liong membelai rambutnya, lalu berbisik lembut, “Aku tahu kau sangat menderita, banyak persoalan yang telah menyiksa dirimu selama ini”
Sambil menangis tersedu-sedu Si Leng-jin berkata, “Ketika aku berusia lima tahun, ibu telah tiada, ayah mempunyai ambisi yang sangat besar untuk membangun suatu kekuasaan besar didunia, ia tak punya cukup waktu untuk berkumpul denganku…….”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Sejak kecil ia sudah kehilangan kasih sayang, ayahnya jauh pula darinya, seorang anak yang tanpa kasih sayang dari orang tuanya memang merupakan suatu kejadian yang tragis”
Terdengar Si Leng-jin berkata lagi sambil menangis terisak, “Ketika aku berusia sepuluh tahun, tiba-tiba muncul Hian- beng-kaucu Ki ci Sinkun, dalam suatu pembicaraan yang kemudian terjadi merekapun bersahabat dan saling berjanji akan bersama-sama menguasai dunia”
Ketika berbicara sampai disini, mendadak ia mendongakkan kepalanya sambil menambahkan, “Kau tahu ayahku……”
“Han Seng tek!” tukas Hoa In-liong sambil tertawa, “bukankah dia adalah keturunan dari Tin wan ho yang ada hubungan famili dengan Bu seng pada tiga ratus tahun berselang?”
“Jadi kau sudah tahu?” tanya Si Leng-jin tercengang. Hoa In-liong kembali tersenyum.
“Gwakong yang memberitahukan kepadaku, dia orang tua adalah bekas ketua Sin-ki-pang dimasa lalu, katanya juga bahwa ayahmu sudah kena ditangkap orang……”
Setelah berhenti sebentar, kembali ujarnya, “Menurut pembicaraan tadi, ayahmu dan Kok See-piau yang mengaku bernama Sinkun itu mempunyai hubungan yang intim, sesungguhnya apa yang telah terjadi?”
“Aaaai…….hubungan apa? Apalagi kalau bukan mengundang setan masuk rumah”
“Bersediakah kau memberi penjelasan lebih mendalam lagi?”
Si Leng-jin manggut-manggut.
“Peristiwa itu terjadi pada dua tahun berselang, entah dengan cara apa ternyata Kok See-piau berhasil menyuap seorang pelayanku yang bernama Si Thong pada waktu itu, diam-diam bangsat tersebut telah mencampuri makanan dan minuman ayahku dengan racun pembuyar tenaga yang bekerja lambat, menanti ayahku menyadari akan hal ini keadaan sudah terlambat, maka setelah membunuh penghianat tersebut, beliau menitahkan kepada Si Nio untuk mengajakku melarikan diri”
Sambil menggigit bibir tambahnya kemudian dengan nada penuh kebencian”
“Wajah Si Nio, telah hancur ditangan bajingan anjing she Kok tersebut!” “Sungguh kejam hati Kok See-piau, sungguh busuk perbuatannya” kata Hoa In-liong kemudian sambil mengerutkan dahi, “hmmm…, hmmm……aku ingin melihat perbuatan terkutuknya itu dapat bertahan sampai berapa lama?”
“Yaa, dendam berdarah ini bagaimanapun juga harus dituntut balas!” katanya.
Hoa In-liong termenung sebentar, lalu katanya kemudian, Lantas dengan cara apakah kalian melewati penghidupan selama dua tahun belakangan ini?”
Mula-mula kami kabur kebarat lalu ketimur untuk mencari keselamatan, untungnya Kok See-piau tidak terlampau memandang serius atas diriku dan Si Nio, selain daripada itu sebagian anak buah Hian-beng-kau sekarang adalah anak buah ayahku, sejak ayahku tertangkap, mereka dipaksa untuk menggabungkan diri, sekalipun ada juga di antaranya yang rela berpihak kepada musuh tapi sebagian besar masih setia kepada kami, mereka terpaksa harus menjalankan perintah musuh lantaran ayahku masih berada ditangan mereka, sebab itulah merekapun tak berani memberontak, tapi kemudian……,
Ketika berbicara sampai disitu, mendadak ia tutup mulut. “Bagaimaaa selanjutnya?” tanya Hoa In-liong.
Agak merah wajah Si Leng-jin karena jengah, katanya.
“Kok See-piau mengutus orang untuk menyampaikan pesan kepada kami yang katanya bila kami dapat membunuh salah seorang anak dari Thian-cu-kiam, maka dia akan segera membebaskan ayahku!”
0000O0000 48
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera berpikir, “Oooh……… rupanya beginilah duduknya persoalan, tak heran kalau niat mereka untuk membunuh adalah begitu besar dan berkobar-kobar, terutama dalam perjumpaan yang pertama kalinya dulu… ”
Berpikir demikian, diapun tertawa tergelak, lalu katanya, “Kematianku sih urusan kecil cuma benarkah Kok See piu mau menepati janjinya?”
“Hei, orang kan sedang menyesal setengah mati, kenapa kau bicarakan kembali persoalan itu?” bisik Si Leng-jin.
Setelah berhenti sejenak, ia berkata lagi, “Cuma, aku rasa ia pasti akan menepati janjinya untuk melepaskan diri ayahku”
“Oya? Darimana kau bisa berkata demikian….?” tanya Hoa In-liong sambil tertawa”
“Kepandaian silat yang dimiliki ayahku telah punah sama sekali, hakekatnya beliau tak lebih hanya seorang cacad, jelas bukan merupakan suatu ancaman serius baginya, ditambah pula jika kami berhasil memenuhi syaratnya, itu berarti kami dengan keluarga Hoa telah saling berhadapan sebagai musuh bebuyutan, tentu saja dia tak usah kuatir kalau kami kabur ke pihakmu dengan membocorkan rahasianya, selain dari pada itu, ia berambisi menguasahi dunia persilatan, itu betarti ia harus memupuk kewibawaan baginya sendiri, jika tidak pegang janji, siapa pula yang akan bersedia menjual nyawa baginya?” “Sungguh cermat sekali jalan pikirnya” pikir Hoa In-liong, “agaknya ia tak akan melakukan segala tindakan secara gegabah”
Maka sambil tersenyum ujarnya, “Tenaga dalam ayahmu telah buyar, seandainya kau berhasil menyelamatkan dirinya, apa pula yang hendak kau lakukan?” Sahut Si Leng-jin dengan sedih, “Seandainya Thian mengabulkan permintaanku dan membiarkan kami ayah dan anak bisa berkumpul kembali, Aku Si Leng-jin pasti akan mengajak ayahku untuk hidup mengasingkan diri, apa lagi yang bisa kuinginkan? Sekalipun ilmu silat ayahku telah punah, toh jiwanya masih dilindungi Thian, hal ini sudah merupakan suatu keberuntungan ditengah kemalangan.
Diam-diam Hoa In-liong merasa kagum sekali atas kebaktian gadis itu terhadap ayahnya, mendadak ia seperti teringat akan suatu persoalan, segera tanyanya, “Sebenarnya, siapakah pembunuh sebenarnya dari kasus pembunuhan atas keluarga Sumi? Apa bukan Yu si dan Cia Hoa yang turun tangan? Kok See-piau dan Kiu-im-kaucu mendalangi dari belakang??
Hoa In-liong termenung sejenak kemudian katanya, “Kok See-piau dan Kiu-im-kaucu memang tak dapat terlepas dari persoalan ini, cuma kemungkinan besar masih ada latar belakang lainnya”
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih lanjut dengan suara nyaring, “Leng-jin, tentang persoalanmu sesungguhnya akan menjadi beres asal perkumpulan Hian-beng-kau berhasil dimusnahkan, cuma hal itu merupakan suatu pekerjaan yang sulit, maka lebih baik janganlah berbuat secara sembrono lebih dulu. Nah, sekarang aku hendak makan obat dulu untuk menyembuhkan lukaku” Untuk pertama kalinya ini ia memanggil nama Si Leng-jin secara langsung, gadis itu segera merasakan hatinya menjadi hangat dan manggut berulang kali, iapun mencabut penutup botol itu dan mengeluarkan dua butir pil sebesar kelengkeng yang menyiarkan bau harum semerbak, sambil diangsurkan ke hadapan Hoa In-liong katanya, “Pil mustika semacam ini kebanyakan akan hancur begitu kena air liur, percuma mengambil air sebagai pendorong, hayo telanlah obat ini dengan cepat”
Melihat tangan si nona yang halus dan lembut dan hampir sebanding dengan pil Yau ti wan tersebut, Hoa In-liong begera berseru memuji, Walaupun pil mustika itu mujarab tapi jauh lebih menyenangkan tangan yang halus itu, mari biar kurabahnya dulu.
Merah padam wajah Si Leng-jin karena jengah, serunya cepat, “Kalau kau ngaco belo lagi, aku segera akan pergi dari sini dan perduli dengan mati hidupmu”
“Obat itu cukup sebutir saja, tolong kembalikan yang lain kedalam botol!”
“Lukamu begini parah, dua butir pil pun belum tentu sembuh, perduli amat dengan kawanan jago yang sedang keracunan itu? Apa lagi untuk membebaskan pengaruh racun jahat, toh belum tentu musti mempergunakan obat mustika ini” kata si nona manja.
Dengan wajah serius Hoa In-liong berseru, “Leng-jin, menjadi orang kita tak boleh terlalu mementingkan diri sendiri, kita jangan melupakan kepentingan umum, nah simpanlah baik-baik obat tersebut” Melihat keseriusan orang, Si Leng-jin tak berani bergurau lagi, dia simpan baik-baik sebutir obat mustika itu dan memberikan yang lain kepada pemuda itu.
Setelah menelan pil Yau ti wan, Hoa In-liong pejamkan mata dan mulai duduk bersila sambil mengatur pernafasan.
Si Leng-jin duduk menanti di sampingnya, dengan wajah yang terang dan sinar mata yang tajam, ia awasi wajah Hoa In-liong lekat-lekat, rasa girang membuat wajahnya berseri, kesedihan dan kemurungan yang dulu menghiasi wajahnya kini tersapu lenyap tak berbekas.
0000O0000
Kota Wi Leng sian terletak dipantai selatan Hway-ho, tempat itu merupakan persimpangan lalu lintas penting yang menghubungkan kota Hway-im dengan Si ciu.
Suatu hari, dari selatan pintu kota Wi-leng sian telah muncul seorang kakek dan dua orang gadis muda.
Yang tua bertubuh kurus kering tinggal kulit pembungkus tulang, mukanya penuh keriput, jenggot sepanjang dada, membawa tasbeh, memakai jubah abu-abu khas kependetaan dan bersepatu rumput, tampaknva dia adalah seorang pendeta tua yang hidup dengan berkeliling.
Sedangkan yang muda adalah dua orang gadis cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, mereka mengiringi ke kiri kanan pendeta tua tersebut………
Gadis disebelah kiri memakai baju ungu dengan sanggul yang tinggi, gaun panjang dan berwajah lembut. Sebaliknya gadis yang ada disebelah kanan mempunyai wajah yang luar biasa cantiknya, ia bermata jeli, berhidung mancung, berbibir kecil dan bertubuh ramping, suatu tipe gadis ideal yang sukar dicarikan keduanya didunia ini.
Ternyata ketiga orang itu tak lain adalah Goan cing taysu keturunan dari Malaikat silat beserta buyut perempuannya Coa Wi-wi dan murid Pui Che-giok, itu kaucu dari Cian li kau yang bernama Cia In.
Seorang pendeta tua melakukan perjalanan bersama-sama dua orang gadis muda hal ini sudah merupakan suatu pemandangan yang amat mencolok, ditambah lagi kecantikan Coa Wi-wi dan Cia In menawan hati orang, kehadiran mereka semakin banyak menarik perhatian orang yang bersama-sama mengalihkan pandangannya ke arah rombongan mereka.
Melihat itu, Coa Wi-wi mengerutkan dahinya sambil menyumpah.
“Huuuh, sialan!” Kepada Cia In tambahnya, “Betul bukan enci In?”
Cia In hanya tersenyum dan tidak memberi tanggapan.
Melibat rekannya cuma diam saja, Coa Wi-wi segera berseru lagi dengan manja, “Hmm, Makin lama enci In semakin membisu macam patung, seakan akan berubah menjadi orang lain saja, tidak bisa tidak, kau harus menjawab pertanyaanku dengan segera”
Lantaran didesak terus, terpaksa Cia In menyahut setelah tertawa-tawa. “Kecantikan adik Wi bak bidadari dari kahyangan, tentu saja sepanjang kehadiranmu memancing perhatian mata para lelaki”
“Beeh… tampaknya enci In lagi menyindir diriku?
Kenapa tidak kau katakan kalau lantaran kau?” Cia In tersenyum.
“Aku jelek dan berwajah tak sedap dilihat, mana berani dibandingkan dengan adik Wi?” katanya.
Coa Wi-wi hendak mendebat lagi tapi Goan cing Taysu segera menukas, “Anak Wi, jangan kau ganggu terus enci In mu itu!”
“Huuuh, semuanya ini adalah hasil pelajaran dari kongkong” seru Coa Wi-wi sambil mencibirkan bibirnya yang kecil, “Kalau tidak, mana mungkin enci In dapat berubah menjadi begini rupa? Kalau lain waktu enci In masih saja disuruh membaca kitab Kim cong ceng atau sebangsa kitab sembayangan lainnya, akan kubakar buku-buku itu sampai habis……!”
“Ngaco belo!” bentak Goan cing taysu sambil menggelengkan kepalanya berulang kali, “kau tahu perbuatan itu dosa?”
“Aku tak ambil perduli dosa atau tidak, pokoknya aku tak mau kalau sepanjang hari enci In cuma membungkam melulu macam sebuah patung arca saja”
“Andaikata kongkong menerangkan terus isi pelajaran Buddha kepadaku mau apa kau? kata Cia In kemudian. Coa Wi-wi kontan saja melotot, serunya cepat “Aku akan memukul tambur disampingnya dengan keras akan kulihat dengan cara apa dia akan memberi pelajaran kepadamu”
Mendengar perkataan itu, baik Goan cing taysu maupun Cia ln segera tersenyum.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki berdandan pelayan menghadang jalan pergi mereka, sambil memberi hormat katanya.
“Rumah makan kami mempunyai hidangan yang lezat, silahkan taysu mampir?”
Goan cing taysu diam diam berpikir, “Ooh…..rupanya ada warung makan yang menarik pendeta untuk mengunjunginya?”
Pada dasarnya ia memang seorang pendeta yang tidak terikat ketat oleh peraturan, diapun tidak kuatir orang-orang itu main gila kepadanya, ia segera mengangguk.
“Harap tunjukan jalan kepada kami!” Pelayan itu kembali memberi hormat.
“Harap taysu dan nona berdua mengikuti hamba.
Cia In adalah seorang pendekar perempuan yang telah berkecipung dalam dunia persilatan semenjak kecil, sekilas pandang saja setelah mengetahui bahwa urusan agak kurang beres tapi ia tidak berbicara apa-apa.
Sebaliknya Coa Wi-wi pada dasarnya memang tak berminat untuk mengurusi hal-hal tersebut maka tanpa mengucapkan sepatah katapun ia berjalan mengikuti dibelakang kongkongnya. Tak lama kemudian sampailah mereka didepan sebuah rumah makan yang mentereng sekali, kehadiran mereka diantar langsung oleh ciangkwe keatas loteng.
Setelah ambil tempat duduk, ciangkwe itu lantas bertanya kepada Cia wi wi dan Cia In, “Tolong tanya apakah nona berdua…..”
“Akupun berpantang makan barang berjiwa” tukas Cia In cepat.
Dengan suara rendah Coa Wi-wi segera berbisik, “Hei, sepanjang jalan begini terus makan yang kau pesan padahal usiamu toh masih muda, kenapa musti begitu?”
Cia In pura-pura tidak mendengar, hal mana membuat Coa Wi-wi segera mencibirkan bibirnya yang kecil karena mendongkol.
Sementara itu sang ciangkwe telah berpaling kearah Coa Wi-wi sambil bertanya, “Dan nona pesan apa…….”
“Sama seperti pesanan mereka!” seru Coa Wi-wi sambil ulapkan Tangannya dengan mendongkol, Ciangkwe pun mengiakan berulang kali dan mundur dari situ.
Tak lama kemudian hidangan telah siap dan mengalir datang dengan cepatnya, semua hidangan itu berbau harum dan tampaknya lezat, tempat sayurpun terbuat dari tembikar dan sendoknya terbuat dari perak.
Menyaksikan kesemuanya itu, dengan dahi berkerut Coa Wi-wi segera berseru, “Buat apa sebanyak ini? Kami toh cuma bertiga saja” Untuk menghormati keturunan dari Bu Seng, mana boleh hanya menghidangkan beberapa macam sayur saja” sambung Cia In sambil tertawa.
Kemudian sambil menuding sendok-sendok itu terusnya, “Coba lihatlah, untuk menghilangkan kecurigaan kami, sengaja mereka memakai sendok yang terbuat dari perak untuk kita”
Coa Wi-wi memang seorang gadis yang cerdik, begitu diingatkan diapun menjadi paham kembali dengan duduknya persoalan, dia lantas berbisik dengan lirih, “Dari pihak Hian- beng-kau? Ataukah Kiu-im-kau?”
“Tempat ini dekat dengan Lu Lam, aku rasa lebih besar kemungkinannya dari pihak Hian-beng-kau” sahut Cia In sambil tersenyum.
“Nah, mereka sudah datang” tiba-tiba Goao cing taysu berkata.
Coa Wi-wi pusatkan perhatiannya untuk memeriksa sekeliling tempat itu, kemudian katanya, “Aaah benar, ada orang sedang bertanya kepada ciangkwe, kita ada dimana, Ciangkwe menjawab kita ada diruang nomor empat, ehm! Dia sudah naik keatas”
Buru-buru Cia In mengerahkan tenaga dalamnya ke telinga untuk ikut mendengarkan pembicaraan tersebut tapi tiada suara apapun yang terdengar, sambil tertawa ia lantas berseru, “Waah, tampaknya tenaga dalam yang dimiliki orang itu jauh lebih tinggi daripada aku”
“Siapa suruh waktumu kau habiskan diatas kitab sembayangan daripada kemajuan yang kau capai….” Tiba-tiba tirai disingkap orang dan masuklah seorang kakek berkulit merah dan bertubuh tinggi besar, Coa Wi-wi segera menutup mulutnya rapat-rapat.
Kakek bermuka merah itu memandang sekejap ketiga orang itu, kemudian memperhatikan pula wajah Coa Wi-wi sekejap, akhirnya sambil menjura kepada Goan cing taysu katanya, “Hanya hidangan yang tak seberapa untuk menyambut kedatangan taysu, bila ada kesalahan mohon maaf”
Goan cing taysu segera membalas hormat sambil menyahut, “Terima kasih atas sambutan dari sicu, maaf jika mata lolap………”
Sambil tertawa seram kakek bermuka merah itu menukas, “Lohu adalah Tang Bong liang, atas kebaikan sinku kini menjawab di bagian bidang administrasi”
“Ooooh rupanya adalah Tong thamcu, maaf kalau lolap kurang hormat”
Setelah berhenti sejenak, ia bertanya lagi, “Dengan maksud apa Tong thiamcu datang kemari?”
“Lohu sedang menjalankan tugas dari sinku untuk menyampaikan surat undangan.
Dari sakunya ia mengeluarkan sepucuk surat undangan merah dan diangsurkan ke depan, katanya lagi, “Sebenarnya sudah lama surat undangan ini di bagi, tapi berhubung kedudukan taysu berbeda maka sinkun khusus mengutus lohu untuk menyampaikan sendiri, sebab itulah tertunda sampai sekarang” Melihat pihak lawan datang dengan sikap hormat, Gon cing taysu tak berani berayal, setelah menyambut uudangan tersebut sahutnya sambil tersenyum, “Aaah, lolap tak lebih hanya manusia dari gunung, sikap atasanmu yang begitu memandang tinggi diriku sungguh membuat lolap merasa malu sendiri”
Undangan itupun dibuka dan terbaca tiga baris kata, “Ditujukan untuk yang terhormat Gon cing taysu.
Pada hari Toan yang nanti, kami hendak menyelenggarakan upacara peresmian perkumpulan kami di Ou gou penag dalam wilayah Ci mong mengharapkan kedatangan saudara”
Dibawahnya tertulis tanda tangan pengundang nya. “Murid angkatan kedua dari Bu liang-san, ketua
perkumpulan Hian-beng-kau, Kok See-piau”
Diam-diam Goan cing taysu berpikir, “Sepanjang jalan sudah kudengar kalau Hian-beng-kaucu adalah Kok See-piau bekas murid Bu liang sin kun, padahal Li Bu-liang tewas ditangan Bun Tay kun, dengan dicantumkannya tulisan Bu liang san, jelas Kok See-piau bertekad hendak membalaskan dendam bagi kematian gurunya”
sementara ia masih termenung, Tang Bong liang telah berkata lebih lanjut, “Undangan nona Coa disertakan pada orang tuanya, sedang nona Cia turut dalam perkumpulan Cian li kau, oleh sebab itu undangan nona berdua tidak dihantar secara khusus”
Coa Wi-wi menyambut undangan dari tangan Goan cing taysu dan dilihatnya sekejap, kemudian sambil mendongakkan kepalanya ia berkata, “Oooh, kalau itu sih urusan kecil, cuma ada beberapa persoalan yang membuatku tidak habis mengerti, apakah Tong thamcu bersedia memberi petunjuk?”
Tang Bong-liang segera tertawa terbahak-bahak. “Haahh……….haaahhh……..haaahhh………harap nona katakan! “
“Konon perkumpulan anda akan diresmikan pada bulan empat tanggal enam, kenapa sekarang dirubah menjadi pada hari Peh-cun?”
“Yaa, karena persiapan yang terlambat terpaksa harus diundur sejauh itu” sahut Tong Bong liang sambil tertawa kering. Coa Wi-wi tertawa dingin, kembali katanya, “Disini dicantumkan Bu liang san dan Kiu ci san, jelas nama-nama itu menunjukkan dua tempat yang berbeda, kenapa bisa kau kaitkan menjadi satu hal ini sungguh membuat orang tak habis mengerti”
Paras muka Tang Bong liang agak berubah setelah mendengar perkataan itu, tapi sebentar kemudian telah pulih kembali menjadi sedia kala, sahutnya, “Sinkun mula-mula mendapat pelajaran dari Linkong Bu liang sinkun yang berdiam di Bu liang san, selanjutnya memperoleh warisan kitab silat dari Sinkun generasi berselang, karena tak ingin melupakan asal mulanya maka kedua nama itu dicantumkan menjadi satu”
“Pandai juga orang ini berbicara pikir Coa Wi-wi, “dengan ucapannya tersebut seolah olah Hian-beng-kaucu benar-benar adalah seorang manusia berbudi yang tidak lupa dengan asalnya”
Bibirnya lantas bergetar hendak mengucapkan sesuatu lagi tapi Goan cing taysu tak ingin perdebatan itu berlangsung terus, sambil tersenyum katanya kemudian, “Undangan untuk Hoa tayhiap apakah telah di sampaikan?”
“Perkampungan Liok soat san ceng adalah pusat kekuatan dunia persilatan, tentu saja perkumpulan kami tak akan lupa untuk mengundangnya”
Goan cing taysu kembali berpikir setelah mendengar perkataan itu, “Kalau Hian-beng-kaucu tidak yakin dengan ilmu silatnya yang lihay sehingga berani mengundang kehadiran Hoa Thian-hong, sudah tentu ia mempunyai rencana busuk lainnya……”
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa-tawa katanya kemudian, “Lolap adalah manusia berwatak orang gunung, tulang belulangku sudah kaku dan enggan untuk kuatirnya aku hanya akan menyia-nyiakan harapan atasan kalian saja”
Ucapan itu jauh diluar dugaan Tang Bong liang, untuk sesaat ia menjadi tertegun.
“Taysu, bila kau tidak pergi sehingga dari pihak Malaikat Silat tak ada wakilnya, hal mana tentu akan mengurangi kesemarakannya upacara peresmian itu” Goan cing taysu tertawa-tawa.
“Selama hidup lolap tak pernah melakukan perjalanan dalam dunia persilatan, aku pun tidak mempunyai nama besar, hadir atau tidak sebetulnya tak usah dipersoalkan secara serius”
Diam-diam Tang Bong liang gelisah sekali, biji matanya segera berputar, lalu sambil sengaja tertawa angkuh ujarnya, Sinkun ada maksud untuk membuka suatu pertemuan ilmu silat dalam upacara peresmian itu, mengingat banyaknya manusia yang mencari nama dalam dunia persilatan, sudah barang tentu mereka yang mencabut nama besar belaka tak akan berani hadir pada waktunya……..
Coa Wi-wi mendengus dingin, tiba-tiba selanya, “Jadi kau ingin menyaksikan kehebatan dari Bu seng? Itu sih gampang, nah sambutlah sebuah pukulan ini.”
Telapak tangannya sudah diangkat keatas siap untuk melepaskan sebuah pukulan.
Tang Bong liang merasa terkesiap, segera pikirnya, “Ditinjau dari beberapa kali pengalaman pertarungan yang berlangsung, agaknya ilmu yang dimiliki dayang ini jauh diatasku, apa lagi dengan demikian akan mengakibatkan terjadinya bentrokan langsung dengan keluarga Coa, aku harus menahan diri…,… ”
Berpikir demikian ia tidak menyambut ataupun menghindar, sebaliknya malah mendongakkan kepalanya dan tertawa terbahak-bahak.
Sudah barang tentu Coa Wi-wi tak dapat turun tangan terhadap orang yang tidak membalas, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia menarik kembali telapak tangan-nya sambil berkata, “Kalau toh kau berani pandang remeh ilmu silat Bu seng, mengapa tak berari menyambut seranganku ini?”
“Aaah… siapa bilang kalau lohu pandang remeh?” kata
Tang Bong liang sambil berhenti tertawa.
“Sudah jelas kau bilang… ” teriak Coa Wi-wi dengan
gusar.
Mendadak is sadar bahwa dalam perkataan Tang Bong liang tadi meski ada nada memandang remeh, sesungguhnya yang dimaksud adalah mereka-mereka yang tidak menghadiri pertemuan yang akan dise-lenggara kan Hian-beng-kau, maka iapun berkata kembali, “Apanya yang luar biasa dengan upacara peresmian perkumpulan Hian-beng-kau? Berani betul mengundang para enghiong dari seluruh kolong langit……?”
Tang Bong liang hanya tertawa-tawa belaka, sinar matanya segera dialihkan ke wajah Goan cing taysun.
Sementara itu Goan cing taysu termenung sebentar, tiba- tiba sepasang matanya dipentangkan dan memancarkan sinar yang amat tajam.
Ketika sinar mata Tang Bong liang saling membentur dengan sepasang mata Goan cing taysu, ia merasakan bahwa ketajaman mata pendeta itu ibaratnya dua bilah pisau yang tajam sekali menusuk ke ulu hatinya, ia merasa amat terkesiap.
“Tajam amat penglihatan hwesio ini” sempurna betul tenaga dalamnya…” demikian ia berpikir.
“Omitohud?” Goan cing berseru memuji keagungan Buddha. “lolap merasa tak berilmu dan tak berani menghadiri pertemuan semacam itu…..
“Jadi taysu bersedia untuk menghadirinya sekarang?” sela Tang Bong liang cepat.
“Tak usah kuatir Tong tham cu, sampai waktunya lolap pasti akan sampai…..”
Diam-diam Tang Bong liang merasa girang, katanya kemudian, “Kalau memang taysu bersedia datang, upacara peresmian perkumpulan kami nanti tentu akan berttambah semarak, para jago yang hadir dalam pertemuan ini pun dapat menyaksikan, kelihayan dari jurus silat malaikat silat…..hal ini akan merupakan suatu atraksi yang menarik”
Sinar matanya dialihkan kembali ke wajah Coa Wi-wi, kemudian ujarnya sambil tertawa.
“Nona Coa sekalian menempuh perjalanan melewati tempat ini apakah kalian hendak ke kota Si ciu?”
“Buat apa tanya-tanya?” kata Coa Wi-wi ketus. Tang Bong liang tertawa tergelak.
“Haah…..haaa….aaah….bi1a kalian bukan pergi mencari Hoa ji-kongcu, tentu saja lohu tak usah banyak bicara tapi kalau memang benar……
Coa Wi-wi dapat menangkap bahwa dibalik ucapannya masih ada perkataan lain, dengan perasaan tercekat dia lantas berseru, “Kenapa dia?”
Paras muka Cia In pun berubah hebat, dengan sinar matanya yang jeli ia berpaling pula ke arah orang she Tang itu.
Tang Bong liang kembali tertawa terbahak-bahak “Haaah… hahh…..haaah..
kurang lebih setengah bulan berselang, Tong thian kaucu Thian Ik-cu salah seorang pentolan dari tiga maha besar dunia persilatan muncul secara mendadak dikota Si ciu dan mencari Hoa kongcu, pertarungan seru yang berlangsung mendadak terhenti dan merekapun masuk ke dalam gedung sambil bergandeng tangan” Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “kemudian apakah Hoa kongcu dan Thian Ik-cu menjadi bersahabat atau bermusuhan terus lo hu kurang lebih tahu”
Meskipun Coi wi wi tidak begitu Jelas dengan manusia yang bernama Tiga pembawa bencana itu, tapi dari namanya bisa diketahui bahwa orang itu adalah seorang manusia jahat yang berhati busuk.
Berbeda dengan Cia In, gurunya Pui Che-giok dahulunya adalah dayang Giok teng hujin dan ikut menyusup dalam tubuh Tong thian kau, dia tahu bagaimanakah kebiasaan dari orang-orang perkumpulan tersebut, hatinya kontan bergetar keras sehingga tanpa sadar serunya?”
Tang Bong liang melirik sekejap kearahnya, lalu menyabut, “Konon Hoa kongcu dan Thian Ik-cu telah berangkat secara rahasia pada malam harinya, kemana mereka pergi hingga kini belum ada kabarnya, itupun berbasil lohu ketahui sewaktu sedang membagi undangan”
Cia In dan Coa Wi-wi saling berpandangan sekejap, lalu sama sama memperlihatkan wajah yang murung.
Terdengar Tang Bong liang berkata lebih berlanjut, “Dari sini menuju ke utara, dalam setiap kota besar tentu ada rumah makan yang khusus disediakan perkumpulan kami untuk menerima tamu agung, saudara sekalian boleh makan minum dan menginap secara gratis”
Sampai disitu diapun menjura sambil menambah, “Kini tugas lohu telah selesai, aku ingin mohon diri terlebih dahulu….”
“lolap tak akan mengantar lebih jauh lagi!” Goan cing taysu merangkap tangganya balas memberi hormat. Tanpa berbicara lagi, Tang Bong liang segera putar badan dan mengundurkan diri dari situ.
Sepeninggal jago dari Hian-beng-kau itu, Coa Wi-wi lantas bertanya, “Kongkong, menurut pendapatmu mungkinkah jiko telah ketimpa musibah…..?”
Walapun dihati kecilnya merasa murung dan kuatir, senyuman masih tetap mengahiasi ujung bibir Goan cing taysu, sahutnya, “Jangan lagi kepandaian dan keberesan Liong ji luar biasa, berbicara diri raut wajahnya dapat diketahui bahwa ia bukan manusia yang berumur pendek, harap kau tak usah kuatit”
Mendadak Cia In bangkit sambil berkata, Aku akan mencoba untuk mencari berita dari kantor cabang perkumpulan kami yang ada dikota ini.
“Ehm, cepatlah pergi dan cepat kembali” katanya.
Buru-buru Cia In beranjak dan meninggalkan rumah makan itu, tak lama kemudian ia muncul kembali dengan wajah masih murung
“Enci In, kabar apa yang kau peroleh?” Coa Wi-wi segera berseru.
Cia In tertawa paksa, sahutnya, Orang-orang yang berada disini mempunyai jabatan yang terlampau rendah, mereka tidak begitu jelas, rasanya jika ingin tahu keadaan yang sebenarnya kita harus kekota Si ciu.
Goan cing taysu mengangguk. “Yaa, dari sini sampai Si ciu hanya terpaut dua ratus li, asal berangkat sekarang sore nanti pasti telah sampai!”
Berbicara sampai disitu, mereka bertiga pun tidak banyak bicara lagi, tanpa bersantap mereka turun untuk membayar rekening, tapi ciangkwe tak mau menerima bayaran, karena enggan banyak ribut, Coa Wi-wi melemparkan sekeping uang kemeja lalu berlalu dari situ.
Setelah keluar dari pintu kota, mereka tidak ambil perduli lagi apakah jalanan ramai atau tidak, tanpa sangsi lagi mereka bertiga mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya untuk melakukan perjalanan.
Goan cing taysu kuatir tenaga dalam Cia In masih ketinggalan jauh, maka ia tarik tangan kanannya dan menyeret gadis itu untuk melakukan perjalanan dengan cepat.
Kepandaian silat yang dimiliki Coa Wi-wi memang betul- betul amat sempurna, apalagi kepandaian yang dimiliki Goan cing taysu, sore itu mereka telah sampai dikota Si Ciu.
Baru masuk kekota, mereka telah bertemu dengan Cia Sau yan, kontan saja Cia In bertanya, “Hoa kongcu berada di mana?”
Cia Sau-yan tidak menjawab secara langsung, ia memberi hormat lebih dulu kepada Goan cing taysu, kemudian baru menyapa Coa Wi-wi.
“Tak usah banyak adat” katanya.
“Enci Yan, sebenarnya jiko berada di kota Si ciu atau tidak?” dengan tak sabar Coa Wi-wi bertanya. Cia Sau yan memandang sekejap sekeliling tempat itu, kemudian sambil tertawa paksa katanya, “Bila ada persoalan lebih baik kita bicara saja dalam rumah!”
Ia memutar badannya dan berjalan lebih dulu meninggalkan tempat itu.
Tak lama kemudian mereka berempat tiba digedung tersebut dan langsung masuk ke ruang dalam.
Waktu itu dua bersaudara Kiong sedang duduk dalam ruang tengah, ketika mendengar suara langkah manusia ia maju menyongsong ke depan pintu, tapi begitu menjumpai Coa Wi-wi mereka agak tertegun.
Secara ringkas Cia Siau yan memperkenalkan mereka semua, lalu tak sempat duduk lagi dia berkata, “Setengah bulan berselang, Hoa In-liong dan Thian Ik-cu telah berangkat ke bukit Ho san di wan see”
“Mau apa dia kesana?” tanya Coa Wi-wi.
“Menurut perkataan Thian Ik-cu, katanya ada sekelompok jago dari daratan Tionggoan yang terkena racun jahat ular emas dan tersekap di bukit Ho San, mendengar berita itu Hoa kongcu segera berangkat untuk memberi pertolongan!”
“Apakah waktu itu Somoay juga hadir disana?” tiba-tiba Cia In bertanya.
“Yaa, aku hadir!”
Dengan dahi berkerut dan suara menegur, Cia in segera berseru, “Sumoay, bukankah dihari-hari biasa suhu selalu memperingatkan kita bahwa Tong thian kau adalah sekawanan manusia licik yang banyak tipu muslihatnya, mengapa kau tidak mencoba untuk menghalanginya? Semuanya ini, kaulah yang salah”
Dengan wajah malu Cia Sau yan menundukkan wajahnya rendah-rendah.
Pergaulan selama beberapa hari ini diantara dua bersaudara Kiong dengan Cia sau yan membuat hubungan mereka bertambah intim, melihat keadaan itu, Kiong Gwat hui segera menyela, Dalam masalah ini enci Yan tak bisa disalahkan, waktu itu kami dua bersaudara, Siang huan toh mi (sepasang gelang pencabut nyawa) Ting Ji-san dan Ho Kee- sian dari Sin-ki-pang hadir pula ditempat tersebut, tapi ling dan Ho dua orang cianpwe sama sekali tidak bermaksud untuk menghalangi kepentingan”
“Ooooh….. begitu!” dengan nada minta maaf, coa In berkata kemudian, “kalau begitu akulah yang telah salah menegur, harap sumoay sudi memberi maaf”
Cia Sau yan menghela napas panjang, katanya, “Siau moay memang bersalah. Cuma siapakah yang bisa mengurusi persoalannya Hoa kongcu? Apalagi menurut pengamatan Siau moay atas tingkah laku Thian Ik-cu, kami benar-benar tidak menemukan sesuatu gejala yang mencurigakan”
“Tapi betapa jahatnya Thian Ik-cu itu?” seru Coa Wi-wi dengan cemas, “bagaimanakah tingkah lakunya ketika itu?”
“Urusan yang lewat lebih baik tak usah dibicarakan lagi” Kata Cia Sau yan kemudian setelah berpikir sebentar, “biarlah kuceritakan kembali keadaan waktu itu”
Setelah berhenti sebentar, diapun mulai menceritakan bagian ketika Thian Ik-cu mendatangi kota Si ciu, menjajal kepandaian Hoa In-liong, lalu bagaimana masuk kerumah untuk berunding dan bagaimana berusaha untuk menolong orang…….
Ketika selesai bercerita, dengan sinar mata berkilat ia berkata kembali, “Kakek nona Coa, Ting Ji-san dan Ho Kee- sian sekalian telah berangkat untuk memberi pertolongan, tapi sampai sekarang mereka masih belum juga kembali”
“Tentu saja” seru Coa Wi-wi, “kalau engkohku sudah mengetahui akan urusan ini, sudah pasti dia tak akan berdiam diri saja”
Cia Sau yan berkata kembali, “Murid Thian Ik-cu dengan suka rela bersedia disekap beberapa lama sampai ada kabar berita tentang gurunya dan Hoa kongcu”
“itu semua cuma urusan kecil” tukas Coa In, “masih ada yang lain?”
Cia Sau yan ragu ragu sejenak, kemudian katanya, “Menurut laporan Ho Kee-sian, Ting Ji-san locianpwe dan Coa kongcu telah berjumpa dengan Sing Tocu, suheng dari Tang Kwik-siu ditengah jalan, nyaris jiwa mereka melayang dengannya, terpaksa buru-buru mereka menarik diri”
Mendengar itu, Coa Wi-wi lantas berpaling ke arah Goan cing taysu dan berkata dengan cemas, “Kongkong, apakah Jiko sanggup untuk menandingi Sing Tocu?”
Selama ini Goan cing taysu hanya duduk membungkam sambil mendengarkan pembicaraan mereka, ketika mendengar perkataan itu dengan ham bar sahutnya, Meskipun tak sanggup menandinginya, bukan suatu urusan yang susah baginya jika ingin kabur!” “Kalau ia tak sudi kabur?” sambung Coa Wi-wi dengan perasaan cemas bercampur gelisah. Goan cing taysu segera tertawa. “Liong ji adalah seorang manusia yang tahu diri, tak mungkin ia berani mengajak musuhnya beradu jiwa bila tiada manfaat apapun.
Coa Wi-wi merasa sangat tak lega, serunya tiba-tiba, “Kalau begitu biar ku berangkan kebukit Ho san”
Cia In berpaling sekejap memandang ke arah Goan cing taysu, meskipun tidak mengucapkan apa-apa tapi jelas kalau gadis inipun ingin menyusul ke sana.
Goan cing taysu lantas berkata, “Dari sini menuju ke bukit Ho-san ada seribu empat lima ratus li, sampai di wilayah Gi mong pun ada seribu li pula, padahal saat peresmian perkumpulan Hian-beng-kau telah tinggal belasan hari saja, tak sempat lagi…….”
Coa Wi-wi segera mengerutkan dahinya.
“Wi ji ogah menghadiri peresmian itu, apa sih yang hebat untuk dilihat……?” serunya.
Goan cing taysu gelengkan kepalanya berulang kali sambil berpaling katanya, “Nona Yan, berapa orang yang mendapat undangan dari pihak Hian-beng-kau…..?”
Setelah membungkukkan badan memberi hormat sahut Cia Sau yan, “Kau orang tua terlalu sungkan, boanpwe mana berani menerimanya”
Setelah berhenti sejenak, katanya lebih jauh, “Boanpwe rasa setiap orang yang punya nama, baik ia masih berkelana atau telah mengasingkan diri, pihak Hian-beng-kau pasti telah menyampaikan undangan kepada mereka, yang tidak mendapat bagian undangan tapi i-ngin melihat keramaianpun sebagian besar sudah berangkat, dewasa ini tak sedikit jumlahnya manusia yang telah meninggalkan kota Si ciu.
“Apakah dari pihak keluarga Hoa telah melakukan suatu tindakan?”
“Bun tay kun belum melakukan tindakan apa-apa, Hoa tayhiap juga belum turun gunung, ketika urusan yang mengirim undangan tersebut tiba ditengah bukit ia telah dihadang oleh kuasanya, jadi belum sampai bertemu langsung dengan Hoa tayhiap.
Setelah menghela napas, lanjutnya.
“Keluarga Hoa selalu dianggap sebagai keluarga pesilatan nomer satu didalam dunia persilatan tapi sikapnya yang sukar diraba ini benar-benar membuat umat persilatan didunia ini menjadi bingung dan tidak habis mengerti”
Kiong Gwat hui yang berada disampingnya tiba-tiba menyela.
“Sewaktu turun gunung, kali ini kami berdua sempat pula mengunjungi perkampungan Liok soat san ceng dan menyambangi Bun Tay kun, Hoa tayhiap dan dua orang Hoa hujin”
“Kalian telah bertemu?” tanya Goan cing taysu sambil tersenyum.
“Ketemu sih sudah ketemu, cuma saja Bun Tay kun sedang memusatkan semua perhatiannya untuk mendidik Suma Jin, putri pendiam Suma tayhiap, mengenai yang lain penghidupan berjalan biasa, hanya Koa toako Koa samet dan dua orang sumoay yang secara diam-diam membicarakan segala sepak terjang dan Hoa jiko, selain itu masih ada pula seorang Coa hujin…..
“Dia adalah ibuku!” kata Coa Wi-wi dengan mata mendelik, “bagaimana dengan dia orang tua?
“Ibumu dan kedua orang hujin bergaul dengan riang gembira, dan berpesan kepadaku bila datang ke timur maka kami diminta mampir di Kota Kiam leng dan mengajak kau bermain”
“Kenapa cici berdua tidak membicarakannya sejak tadi?” seru Coa Wi-wi sambil bertepuk tangan kegirangan.
Kiong Gwat hui tertawa, sahutnya.
“Tadi kau buru-buru ingin mengetahui nasib Hoa jiko, kami mana berani untuk mengganggunya
Sementara itu Goan cing taysu sedang berpikir, Wiji hanya menguatirkan keselamalan jiko nya, ilmu silat In-ji amat cetek, beberapa orang gadis inipun tak bisa menghadapi masalah besar ini dengan sempurna…….”
Setelah berpikir sebentar, serunya kemudian, “Anak Wi!” Menyaksikan paras muka Goan-cing taysu amat serius,
buru-buru Coa Wi-wi meluruskan tangannya ke bawah sambil bertanya, “Kongkong ada pesan apa?”
“Upacara pembukaan perkumpulan Hian-beng-kau mempunyai arti penting bagi keselamatan umat persilatan didunia, karenanya aku harus berangkat untuk melakukan penyelidikan lebih dulu, kau boleh menyusul kemudian. Setelah berhenti sebentar, kembali ia berkata, “Sedangkan urusan Liong ji, lebih baik kita pikirkan selesai upacara peresmian itu, mau kebukit Ho san juga tak bisa sekarang, aku harap kau dapat mengingat selalu pesan leluhur kita yang lebih mengutamakan kepentingan umum dari pada kepentingan pribadi. Begitu juga dengan anak ini!”
Selesai berkata, ujung bajunya segera dikebaskan dan tahu-tahu bayangan tubuhnya sudah lenyap tak berbekas.
Bagi Goan cing taysu yang sepanjang hidupnya berkelana diluar, kepergiannya tidak meninggalkan kesan apa-apa tapi berbeda dengan Coa Wi-wi dan Cia In. mereka merasa seperti kehilangan sesuatu, sambil memburu ke tepi jendela, titik air mata jatuh berlinang membasahi pipinya.
Tiba-tiba Kiong Gwat hui berkata, “Ilmu silat yang kami berdua memiliki amat cetek, jarak dari sini sampai bukit Gi sanpun tidak dekat, bila ingin menghadiri pertemuan tersebut, kita harus melakukan perjalanan mulai sekarang”
Diam diam Co wi wi berpikir, “Terpaksa persoalan tentang jiko harus ditunda untuk sementara waktu.
Padahal bicara dari kepandaian yang di milikinya, tak mungkin sampai terjadi peristiwa, mungkin juga kita akan berjumpa dalam pertemuan nanti….”
Berpikir demikian ia lantas berkata, “Enci Kiong, bagaimana kalau melakukan perjalanan bersama sama……?”
Kiong Gwat hui memegang tangan Coa Wi-wi dan tertawa merdu, serunya, “Kau benar benar cantik jelita seperti bidadari yang turun dari kahyangan, kami berdua sungguh merasa tak sanggup untuk melakukan perjalanan bersamamu” “Kau iri hati?” goda Kiong Gwat lan sam bil tertawa.
Kiong Gwat hui ikut tertawa. “Yaa, tentu saja iri sekali!” “Kenapa?” tanya Coa Wi-wi sambil tertawa, sekalipun sedang menguatirkan keselamatan Hoa In-liong, sempat pula dia untuk bergurau.
Kiong Gwat hui dapat merasakan bahwa dibalik kecantikan gadis itu terkandung juga kepolosan dan kelembutan, sama sekali tidak menaruh rasa iri atau dengki, hal mana membuatnya menghela napas panjang.
Sambil menarik tangan Coa Wi-wi, katanya kemudian, “Terus terang saja aku mengaku, bahwa aku merasa iri sekali ketika untuk pertama kalinya mengetahui akan dirimu, tapi sekarang semua kedengkian itu sudah lenyap tak berbekas”
Mendengar perkataan itu, Coa Wi-wi menjadi tertegun, ia tak habis mengerti kenapa gadis itu bisa menaruh perasaan dengki ketika berjumpa untuk pertama kalinya tadi.
“Malam ini kita beristirahat dulu, besok pagi baru melanjutkan kembali perjalanan kita” tiba-tiba Cia In berkata.
0000O0000
Jalan raya yang menuju ke Lu lam selama beberapa hari ini mendadak menjadi ramai, sebagian besar orang yang menempuh perjalanan disana adalah kawanan jago persilatan.
Pengaruh Hian-beng-kau memang benar-benar besar dan luas, dengan bukit Gi san sebagai pusat seribu li disekitar tempat itu telah tersebar tempat-tempat penyambutan, terutama sekali dikota-kota besar, baik rumah penginapan tersedia, makanan terjamin, yang melayani merekapun rata- rata gadis cantik jelita yang bertubuh indah.
Alunan musik yang indah, tempat yang nyaman, hidangan yang lezat dan pelayan yang memuaskan, sungguh membuat siapapun menjadi kerasan.
Sudah terlalu lama dunia persilatan berada dalam keadaan tenang, banyak yang sudah lama tenangpun berbondong- bondong memunculkan diri, sebagian besar adalah bermaksud untuk melihat keramaian, hanya sebagian kecil saja yang benar-benar menguatirkan ambisi orang yang bermaksud menguasai jagat.
Waktu itu, Coa Wi-wi, Cia In dan dua bersaudara Kiongpun sedang melakukun perjalanan ke utara, untuk menghindari tempat-tempat penyambutan yang disediakan pihak Hian- beng-kau, mereka khusus memilih jalanan yang kecil dan terpencil.
Empat orang gadis itu berencana akan tiba ditempat peresmian itu sehari sebelumnya, maka sepanjang jalan mereka banyak berpesiar dan bersantai-santai.
Senja itu mereka telah tiba diluar kota Gi sun shia, oleh karena empat orang gadis itu tak tahu dimanakah letaknya Ou gou peng, setelah berunding sejenak akhirnya diputuskan kalau malam itu akan mendatangi gedung penerima tamu guna melakukan penyelidikan.
Malam itu keempat gadis itu masuk ke dalam kota dan langsung menuju ke gedung penerima tamu dari Hian-beng- kau. Ditengah jalan, mendadak Coa Wi-wi berhenti dan berpaling ke arah sebelah kiri.
Melihat gadis itu berhenti, tiga orang lainnya pun ikut berhenti dengan wajah tertegun.
“Apa yangg terjadi?” Kiong Gwat lan segera berbisik lirih. “Bwe Su-yok telah datang!” sahut Coa Wi-wi sambil
menatap terus ke depan”
Cia In dan dua bersaudara Kiong segera berpaling pula ke arah mana yang ditujukan.
Tapi Coa Wi-wi gelengkan kepalanya sambil berkata, “Ia sudah keluar dari kota, tidak terlihat lagi”
Cia In termenung sebentar kemudian ujarnya.
“Dibalik ucapan peresmian perkumpulan Hian-beng-kau kali ini sesungguhnya mereka bermaksud untuk menantang para jago dari kalangan lurus sebagai seorang ketua dari Kiu-im- kau, sudah barang tentu Bwe Su-yok harusnya berada dimarkas Hian-beng-kau, daripada berkeliaran ditempat luaran”
“Jadi maksudmu, Bwe Su-yok sedang melakukan suatu pekerjaan?” tanya Kiong Gwat hui.
Cia In mengangguk.
“Semestinya memang begitu!” sahutnya,
“Enci In, bagaimana kalau kita ikuti dirinya?” bisik Coa Wi- wi mendadak dengan suara lirih, diantara keempat orang itu usia Cia In paling tua dan pengalamannya paling luas oleh sebab itu dalam menghadapi pelbagai persoalan, dia juga yang mengambil keputusan.
Padahal Cia In sudah jemu dengan persoalan tentang dunia persilatan, tapi dalam keadaan demikian mau tak mau dia harus juga membangkitkan semangat untuk menghadapinya.
Diam-diam Cia In berpikir, “Kedatangan Bwe Su-yok ke tempat ini pasti karena urusan penting, seandainya ia memang bermaksud tidak menguntungkan untuk golongan kami, memang ada baiknya jika mencari kesempatan untuk mengacaunya”
Berpikir sampai disitu, diapun lantas mengangguk, sahutnya, “Bagaimanapun juga kita memang tidak repot, tak ada salahnya untuk melihat-lihat.
Mendengar ucapan tersebut, Coa Wi-wi segera berangkat lebih dulu untuk membawa jalan dan menuju kearah mana Bwe Su-yok melenyapkan diri.
Sesaat kemudian sampailah keempat orang itu ditengah sebuah hutan yang lebat.
Mendadak Coa Wi-wi berhenti sambil berbisik, “Sudah sampai!”
“Dimana?” tanya Kiong Gwat hui karena tidak menyaksikan sesosok bayangan manusia pun.
Baru saja akan menjawab, air muka Coa Wi-wi mendadak berubah, serunya kemudian dengan cemas, “Cepat menyembunyikan diri!” Meskipun agak keheranan, tiga orang itu tahu bahwa ucapan tersebut pasti ada alasan tertentu, maka masing-masing mencari sebatang pohon dan menyembunyikan diri. Baru saja selesai bersembunyi, bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu ditempat mereka berada tadi telah muncul dua orang laki-laki bertubuh kekar.
Agak merah wajah Kiong Gwat-hui karena jengah, pikirnya kemudian, Yaa, pasti ucapanku terlalu keras tadi sehingga mengagetkan penjaga di sana…….”
Dengan sepasang mata yang tajam, dua orang laki-laki kekar itu memeriksa sekejap sekeliling tempat itu, kemudian salah seorang diantaranya berkata, “Lo tan, kentut busukpun tak ada, mungkin kau salah mendengar?”
“Tidak mungkin” jawab laki laki kekar yang bernama lo tan itu dengan suara berat, “dengan jelas kudengar ada suara perempuan yang berkumandang dari sini……”
Setelah berhenti sebentar, ia melanjutkan, “Sudah pasti orangnya bersembunyi, lo Thio, mari kita geledah sekeliling tempat ini!”
Ia mencabut keluar sebatang tombak pendek dan siap melakukan penggeledahan.
“Tunggu sebentar!” seru lo thio tiba-tiba sambil menarik lengan rekannya itu.
“Eeh… kenapa kau musti mengulur waktu terus? dengan gusar lo tan berteriak, “coba kalau sampai urusan menjadi berantakan akan kulihat beberapa butir batok kepala yang kau miliki?”
Lo Thio mendengus dingin. “Kalau begini cara penggeledahan yang kita lakukan, jika sampai terkena sergapan, siapa yang bakal rugi? Lebih baik kita melepaskan tanda bahaya saja untuk mengundang bala bantuan
“Bajingan cilik!” diam-diam Kiong Gwat hui menyumpah.
Sambil menggigit bibir, ia tetap bersiap sedia untuk menyerempet bahaya dengan menaklukan ke dua orang itu.
Baru saja ingatan tersebut melintas dalam benaknya, tiba- tiba bayangan manusia berkelebat lewat, diam-diam Coa Wi- wi menerjang turun ke bawah….
Ilmu silat yang dimiliki kedua orang laki-laki kekar itu memang bukan kepandaian sembarangan apalagi berada dalam keadaan siap siaga namun di bawah sergapan dari Coa Wi-wi ternyata tak sanggup untuk meloloskan diri.
Terdengar Lo Thio mendengus tertahan dan roboh ke tanah, sedangkan lo Tan menggerakkan tombaknya siap berteriak tapi sebelum sempat melanjutkan gerakannya, ia sudah ditotok jalan darah pingsannya oleh Coa Wi-wi dan roboh dan tak berkutik diatas tanah.
Setelah dua orang manusia ditaklukan, Kiong Gwat hui baru melompat keluar sambil memuji, “Siapapun diantara kedua orang ini memiliki ilmu silat jauh diatas kepandaianku, tapi tanpa mengeluarkan sedikit tenagapun kau berhasil menaklukan mereka, bahkan menjeritpun tak sempat, ini membuktikan bahwa kau memang betul betul hebat”
Cia In tertawa ringan, katanya, “Dua orang itu masih belum terhitung seberapa, ilmu silat sesungguhnya dari adik Wi belum pernah kau lihat, coba kalau sudah tahu…..tanggung kau akan kagum” Kiong Gwat hui mengerdipkan sepasang matanya, kemudian berkata, “Semoga saja pada malam ini bakal ada suatu pertarungan yang seru, sehingga menambah pengalaman”
Setelah menyembunyikan dua orang tawanan-nya, beberapa orang itu melanjutkan kembali perjalanannya untuk menyusup ke depan, tak sampai sepuluh kaki kemudian dengan dahi berkerut dan mengerahkan ilmu menyampaikan suaranya, Coa Wi-wi berbisik kepada ketiga orang itu, “Semakin masuk kedalam, para penjaganya memiliki ilmu silat yang semakin tinggi, bila kita memaksa untuk maju lebih ke depan, niscaya jejak kita bakal ketahuan”
Baik Cia In maupun dua bersaudara Kiong sama-sama tak dapat berbicara dengan menyampaikan suara, merekapun tahu kalau gadis itu menguatirkan keselamatan mereka bertiga.
Maka setelah termenung sebentar, Cia In lantas berbisik ditepi telinganya, “Bagaimana kalau kau masuk saja seorang diri?”
Coa Wi-wi mengangguk tapi menggeleng pula, bisiknya dengan ilmu menyampaikan suara “disinipun boleh juga, Aku duga Kiu-im-kau sedang memasang jebakan disini untuk meringkus seseorang, sebentar aku akan tahu siapakah sasarannya itu”
Cian In tahu kalau Coa Wi-wi kuatir bila ia dan dua bersaudara Kiong tak sanggup menandingi jago-jago dari Kiu- im-kau, maka ia sengaja tetap tinggal disini. Pikirnya kemudian, “Bila tujuan Kiu-im-kau memang sedang mencegat seseorang, berada disini pun sama saja dapat menyelidiki jejak mereka, baiklah ditunggu sebentar lagi,……”
Berpikir demikian, diapun mengangguk.
Ke empat orang itupun segera berhenti di sana sambil memasang telinga baik-baik untuk memperhatikan keadaan di sekitar sana.
Kurang lebih setengah jam kemudian, tiba-tiba Coa Wi-wi mendengar ada suara ujung baju yang tersampok angin berkumandang datang dari kejauhan dan makin lama makin mendekati tempat itu.
Ilmu meringankan tubuh yang dimiliki orang itu tinggi sekali, dalam waktu singkat jaraknya tinggal sepuluh kaki saja.
Pada saat itulah tiba tiba terdengar seorang membentak keras,