Jilid 08
“Seng Tocu! Kau tidak membawa serta orangnya? Tanpa berpaling Seng Tocu menjawab, “Aku hendak menitahkan segenap anggota Mokau agar kembali ke markas, masalah tentang Thian Ik-cu juga tak perlu kau risaukan”
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong berpikir didalam hati, “Gembong iblis ini tak sudi mengandalkan jumlah banyak untuk meraih kemenang an, diapun enggan menunggangi kesempatan dikala orang lagi kesulitan, jiwa gagah semacam ini sungguh amat sulit dijumpai dalam kalangan kaum sesat macam dia.”
Gerakan tubuh Seng Tocu benar benar amat cepat seperti terbang, sekalipun Hoa In-liong telah mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya, itupun hanya bisa mengi kuti secara paksa.
Dengan dasar ilmu meringankan tubuh yang dimiliki kedua orang itu, tak selang beberapa saat kemudian mereka telah melewati tebing itu dan tiba di sebuah hutan bambu, setelah menerobosi hutan bambu sam pailah mereka disebuah tanah kosong, diatas tanah kosong berdiri sebuah rumah gubuk.
Tiba tiba Seng Tocu menghentikan langkahnya, sambil berpaling ia berkata, “Jalan darah mereka dalam keadaan terto tok dan berada dalam rumah itu, lohu akan menanti kedatangan dipuncak bukit sana!”
Selesai berkata, tanpa mengucapkan sepatah kata lagi ia lantas berlalu dari situ. Hoa In-liong termenung sejenak, akhirnya ia mendekati rumah gubuk itu, mendorong pintunya dan…….
“Krek!” pintu rumah terbentang lebar.
Suasana dalam ruangan itu gelap gulita, tapi dengan ketajaman mata, Hoa In-liong masih dapat melihatnya dengan jelas.
Rumah itu terdiri dari sebuah ruangan tengah, diruangan itu hanya terdapat sebuah meja dengan dua buah kursi, d sudut dinding terletak sebuah pembaringan kayu, diatas pembaringan berbaring dua sosok tubuh manusia…….
Orang yang berbaring di sebelah luar adalah Si Leng-jin, bibirnya yang mungil, hidungnya yang man cung menambah kecantikan raut wajahnya.
Meskipun ia dalam keadaan berbaring, sepasang biji matanya yang bening dan jeli sedang meman dang kearah luar dengan termangu-mangu, tampak nya dia pun sudah mendengar suara napas manusia, biji matanya tampak berputar putar.
Orang yang berbaring menghadap ke dalam adalah Si Nio yang mukanya penuh dengan luka, ia berada dalam keadaan pulas.
Tanpa mengucapkan sepatah katapun, Hoa In-liong berjalan mendekatinya, lalu tangannya ditepuk diatas jalan darah Thian leng hiat ditubuh Si Leng-jin untuk membebaskan jalan darahnya yang ter-totok.
Si Leng-jin segera merasakan segulung hawa panas mengalir turun lewat jalan darah Pek-hwe hiat, dimanca aliran hawa panas itu mengalir lewat, seluruh tubuhnya menjadi segar dan semua jalan da rah yang tertotok secara otomatis bebas dengan sendirinya.
Gadis itu segera melejit bangun dan duduk ditepi pembaringan
Dengan terbiasanya berada diruang gelap, lamat-lamat gadis itu dapat pula menyaksikan bentuk tubuh Hoa In-liong, seketika itu juga perasaannya terasa tersumbat, seakan akan ada beribu kata terkandung dalam hatinya namun tak sepatah katapun sanggup diutarakan keluar, mukanya termangu- mangu persis seperti seseorang yang baru sadar dari impian.
Menyaksikan keadaan dara itu Hoa In-liong segera menghela napas panjang, katanya, “Nona apa yang kau rasakan sekarang?”
Mendengar pertanyaan itu tiba-tiba butiran air mata jatuh berlinang dari mata Si Leng-jin.
Hoa In Hong segera berpikir, “Sudah pasti kedua orang ini mempunyai penga laman hidup yang amat getir, apalagi setelah bertemu dengan gembong iblis macam Seng Tocu, tentunya banyak sudah pengalaman seram yang di rasakan… ”
Berpikir sampai disana, timbul perasaan iba dan kasihannya dengan lembut ia berkata, “Pertolonganku datang agak lambat tentunya nona sudah banyak mengalami kejadian yang mengejutkan hati”
“Hoa kongcu……” bisiknya.
Untuk sesaat dia tak tahu apa yang musti diucapkan, air mata bercucuran amat deras, kalau bisa ia ingin menangis sepuasnya Tapi dia adalah seorang gadis yang berhati sekeras baja, air matanya segera dibesut dan ia berusaha keras untuk menahan rasa pedih didalam hatinya.
Mendadak Hoa In-liong teringat kembali akan janjinya dengan Seng Tocu, hatinya merasa amat terkejut, ia merasa sudah membuang waktu terlalu lama, pikirnya, “Dalam pertarunganku melawan Seng Tocu sembilan puluh persen jiwaku tiada harapan bisa selamat, padahal obat Yau-ti-wan ini menyangkut jiwa dari beribu-ribu orang jago du nia persilatan, aku harus mengatur segala sesuatunya secara tepat.”
Berpikir sampai disitu, dengan wajah serius ia lantas berkata, “Nona Si, aku ada satu persoalan ingin minta tolong kepadamu, apakah kau bersedia membantu?”
“Kongcu ada pesan apa?” tanya Si Leng-jin dengan air mata bercucuran.
“Sesungguhnya persoalan ini menyangkut mati hidupnya seluruh dunia persilatan……”
Mendadak ia berhenti ditengah jalan, pikirnya kembali, “Ilmu silat yang dimiliki Si Leng-jin tidak terlalu tinggi, kalau suruh dia yang membawa pusaka ini rasanya terlampau berbahaya……”
Rupanya Si Leng-jin dapat menduga jalan pemikiran pemuda itu, segera ujarnya, “Kalau Kongcu dapat mempercayai diriku apa yang kau pesankan pasti akan kulakukan dengan sebaik-baiknya”
Setelah berhenti sejenak ia menyambung, “Cuma ilmu silatku amat cetek, aku kuatir tak dapat melaksanakan tugas itu dengan sebaik-baiknya” Hoa In-liong segera tersenyum, ia telah mengambil keputusan didalam hati, sambil mengeluarkan botol porselen yang berisi pil Yan ti-wan itu dan menyerahkan kepada Si Leng-jin, ia berpesan, “Isi botol porselen ini adalah obat mustinya, dari sini harap nona menuju ke barat dan melewati dua buah bukit, diujung sebuah lembah terdapat sebuah gua yang tertutup oleh tumbuhan rotan, temuilah Thian Ik- cu………”
“Thian Ik-cu?” seru Si Leng-jin dengan wajah terkejut. “Harap nona jangan kaget, kini Thian Ik-cu sudah bertobat
dan kembali ke jalan yang benar!”
Mendengar jawaban tersebut, Si Leng-jin tertegun sejenak, kemudian katanya pula, “Kalau toh cuma sedekat ini, kenapa Hoa kongcu tidak menyerahkan sendiri kepada Thian Ik-cu?”
Hoa In-liong tertawa-tawa.
“Saat ini pihak Seng-sut-pay sedang melakukan penggeledahan bukit secara besar-besaran, nona musti bertindak hati-hati, andaikata Thian Ik-cu tidak berhasil ditemukan, mintalah tolong kepada temanku untuk mencarinya sampai ketemu!”
Selesai berkata dia letakan botol porselen itu ke tanah, lalu pedang pendek Si Leng-jin ikut pula diletakkan disana, sehabis menotok bebas jalan darah Si Nio, ia melompat keluar dari rumah, menerobosi hutan bambu dan berangkat ke puncak bukit.
Kendatipun tingkah laku pemuda itu tetap tenang dan wajar, toh Si Leng-jin merasakan juga sesuatu yang tak beres, dia segera memburu keluar rumah, kemudian teriaknya keras- keras, “Hoa kongcu!”
“Harap nona baik-baik menjaga diri!” seru Hoa In-liong kedengaran dari kejauhan.
Si Leng-jin merasa tertegun, dengan cepat ia memburu ke dalam rumah, menyambar botol porselen itu dan masukkan ke sakunya, lalu menyelipkan pedangnya ke pinggang dan siap keluar lagi dari rumah itu.
Mendadak ia batalkan niatnya itu, sambil berpaling diawasinya Si Nio sekejap, ketika dilihatnya perempuan itu masih tertidur pulas, butiran air mata jatuh berlinang membasahi pipi Si Leng-jin, gumamnya dengan suara lirih, “Selama banyak waktu ini, aku betul-betul telah menyiksa dirimu……”
Akhirnya sambil menggertak gigi, ia melompat keluar dari rumah gubuk itu dan berangkat kearah dimana Hoa In-liong berlalu.
Sementara itu Hoa In-liong telah berlarian menuju kepuncak bukit dengan mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya yang sempurna, tak selang seperminuman teh kemudian ia sudah tiba ditempat tujuan.
Dengan sikap yang mengerikan seperti sesosok sukma gentayangan, Seng Tocu berdiri diatas puncak, sekalipun disekelilingnya sangat indah, tapi dengan kehadirannya disana membuat suasana puncak tersebut seakan-akan diliputi selapis hawa setan, membuat siapapun merasa bergidik.
“Maaf kalau kau harus menunggu agak lama!” katanya. Seng Tocu memicingkan matanya. “Lohu sedang heran kenapa begitu cepat kau sudah datang kemari. Sudah kau atur baik-baik kekasihmu itu?” katanya.
Hoa In-liong menjadi meringis ketika melihat orang itu salah mengira Si Leng-jin sebagai kekasihnya, namun diapun enggan memberi penjelasan, maka sambil ulapkan tangannya, ia berkata, Lebih baik tak usah membicarakan hal yang bukan- bukan, bila kau ingin mencoba kelihaiyan dari ilmu silat Liok- soat-san-ceng kami, sekarang sudah boleh dimulai.
Pedangnya lantas dicabut keluar dan dilintangkan didepan dada, sekokoh batu karang ia berdiri disana, dalam waktu singkat semua masalah tentang rejeki atau bencana, mati atau hidup tersapu lenyap dari benaknya, apa yang dipikirkan sekarang adalah bagaimana caranya mempertahankan diri serta bagaimana caranya merobohkan musuh.
Seng Tocu tak berani memandang enteng musuhnya, sepasang mata yang biasanya dipejamkan rapat-rapat kini mencorong sinar yang tajam sekali.
Seketika itu juga kabut pertarungan menyelimuti seluruh puncak bukit tersebut.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, pedangnya digetarkan dan hawa pedang memancar melancarkan serangannya yang pertama.
Serangan ini cukup dahsyat dan mematikan, andaikata orang tak berilmu tinggi niscaya akan terluka diujung senjatanya.
Bocah muda, belum terhitung hebat ilmu pedangmu itu!” Sambil maju kemuka dia melepaskan sebuah serangan hebat, seakan-akan ia sama sekali tak terpengaruh oleh kehebatan ilmu pedang lawan.
Siapa tahu, ketika pedang itu sampai, ditengah jalan mendadak hawa pedangnya sirap, kemudian tanpa menimbulkan sedikit suara pun mengancam pinggang orang itu.
Seng Tocu amat terkejut, buru-buru ia tarik nafas panjang tanpa berkutik lain sambil bergeser tiga depa kesamping, pujinya, “Bocah muda! Kau memang pantas melangsungkan pertarungan melawan diriku”
“Kau terlampau menilai tinggi dirimu sendiri!” dengus Hoa In-liong.
Sementara dihati kecilnya ia berpikir, “Tenaga dalam yang dimiliki gembong iblis Ini memang betul-betul hebat sekali hanya mengandalkan tarikan nafas saja tubuhnya dapat bergeser tempat, bahkan sempat berbicara juga, aku tak boleh menilai terlalu rendah musuhku yang ini.”
Setelah berlangsungnya pertarungan pertama, kedua belah pihak sama-sama telah mengetahui kehebatan dari ilmu silat masing-masing, hal ini menambah semangat bagi kedua belah pihak untuk melangsungkan pertarungan lebih jauh.
Setelah dipaksa berada diposisi bawah angin, Seng Tocu merasa penasaran sekali, timbul rasa ingin menang dihatinya, sambil mendengus ia menerjang kemuka sambil melepaskan pukulan.
Dalam sekejap mata, suatu pertarungan sengit yang jarang terjadi dalam dunia persilatan pun berlangsung dengan serunya. Setelah sepuluh jurus lewat, Hoa In-liong, mulai terdesak dibawah angin, melihat posisinya ini, pemuda itu segera mengambil pedang, dimainkan sedemikian rupa sehingga menciptakan selapis dinding baja yang airpun tak tembus, sementara tiap kali ada kesempatan ia melancarkan serangan balasan.
Tujuh delapan puluh jurus serangan telah dilancarkan Seng Tocu. akan tetapi dia belum berhasil juga mengalahkan Hoa In-liong, hal ini menimbulkan perasaan malu dalam hatinya.
Ia merasa dengan usianya sekarang, andai kata dalam seratus gebrakan tidak berhasil mengalahkan anaknya Hoa Thian-hong, maka peristiwa ini akan sangat mempengaruhi nama baiknya,
Berpikir demikian, tiba-tiba serunya, “Hoa Yang, dalam sepuluh jurus lohu akan mengalahkan dirimu!”
Ditengah pembicaraan tiba-tiba serangan nya berubah, ia bergerak mengitari disekeliling badan Hoa In-liong, sepasang telapak ta ngannya diayunkan berulang kali menghantam tempat-tempat kosong disekeliling tubuh si anak muda itu.
Hoa In-liong tidak habis mengerti dengan tindakan-nya itu, namun ia tak berani bertindak gegabah, sebaliknya pertahanan disekitar tubuhnya malahan diperketat.
Sungguh hebat tenaga dalam yang dimiliki Seng Tocu, dalam waktu singkat ia sudah mengitari anak muda itu sebanyak dua tiga puluh kali lingkaran, kemudian tubuhnya menerobos keposisi tiong-kiong dan sebuah pukulan segera dilontarkan ke depan.
Hoi In liong memutar pedang antiknya membacok kebawah, tapi dengan cepat ia merasakan sekeliling tubuhnya seakan-akan telah membeku, bacokan pedangnya yang mengarah tubuh lawan pun segera meleset kesamping.
Pertarungan antara jago lihay mana boleh meleset seincipun? Terdengar Seng Tocu tertawa terkekeh-kekeh, sebuah pukulan dahsyat segera di lontarkan ke dada lawan.
Sesungguhnya serangan ini sulit sekali untuk di hindari, untungnya Hoa In-liong cerdas dan ilmu silatnya sudah mencapai kesempurnaan, apalagi pengalamannya yang cukup selama berkelana dalam dunia persilatan, membuat ia tidak panik dalam menghadapi bahaya maut.
Dalam keadaan kritis, telapak tangan kirinya diayun ke depan menyongsong datangnya ancaman tersebut.
“Plaak…..!” sepasang telapak tanpanrya segera menempel antara yang satu dengan lainnya.
Tujuan Seng Tocu yang sebenarnya memang demikian, maka serentak hawa murninya disalurkan keluar dengan dahsyatnya untuk menerjang tubuh Hoa In-liong.
Buru-buru si anak muda itu mengerahkan tenaga dalamnya untuk melakukan perlawanan sementara pedang ditangan kanannya langsung membacok ke bawah.
Seng Tocu bergerak cepat, tangan kirinya segera diayun ke depan untuk mencengkeram urat nadi pada pergelangan tangan Hoa In-liong.
Telapak tangan kiri Hoa In-liong yang digunakan untuk melawan tekanan hawa murni dari Seng Tocu hampir telah mempergunakan segenap kekuatannya, karena keadaan terdesak terpaksa ia membuang pedangnya dan berganti menotok jalan darah tay-ciu-hiat pada belakang telapak tangan Seng Tocu.
Sebelum pedang yang terjatuh mencapai tanah, kedua orang itu sudah melangsungkan pertarungan sebanyak empat lima jurus dengan menggunakan segenap kekuatan yang dimilikinya.
Harus diketahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki Seng Tocu jauh lebih hebat dibandingkan Hoa In-liong, hal ini sudah merupakan kenyataan yang terbukti, sudah barang tentu Hoa In-liong yang mengetahui kelemahannya berusaha keras untuk menghindari suatu pertarungan beradu kekuatan, sayang posisi Seng Tocu berada diatas angin, sehingga mau tak mau mereka harus menempelkan kembali sepasang telapak tangannya untuk beradu tenaga.
Betapa girangnya Seng Tocu karena niatnya tercapai, segenap kekuatan tubuhnya segera dikerahkan keluar dengan maksud untuk membinasakan anak muda itu dalam sekali pukulan, siapa tahu tiba-ti ba ia merasakan hawa murninya tergelincir kearah samping lain hilang lenyap tak berbekas.
Kejadian ini sangat mengejutkan hatinya, ia lantas berpikir, “Tenaga dalam apaan ini?”
Haruslah diketahui bahwa pertarungan adu tenaga dalam merupakan suatu pertarungan yang paling jujur, orang tak mungkin bisa menggunakan akal muslihat untuk peroleh kemenangan.
Tapi kenyataanya Hoa In-liong sanggup mengalihkan kekuatan musuhnya kearah lain, kejadian aneh semacam ini hakekatnya belum pernah terjadi dalam dunia persilatan, tak heran kalau Seng Tocu dibikin terperanjat oleh kejadian itu. Akan tetapi dia bukan manusia sembarangan, begitu hawa murninya dihimpun, kembali Hoa In li ong segera merasakan sepasang telapak tangannya seperti menahan bukit Tay san, sukar baginya untuk melenyapkan Kembali daya kekuatan tersebut
Kendatipun begitu, Seng Tocu sendiripun tidak berhasil merobohkan Hoa In-liong, ia merasakan betapa anehnya tenaga dalam yang dimiliki si anak muda itu, setiap kali kalah sebagaian maka kekuatannya akan bertambah besar sebagaian, makin sulit pula baginya untuk mendesak anak muda tersebut.
Akan tetapi tenaga dalam memang merupakan urusan terpenting dalam pertarungan ini, tak sampai seperminum teh kemudian, peluh telah membasahi seluruh badan Hoa In-liong, pakaian yang di kenakan telah basah kuyup dibuatnya.
Selama pertarungan berlangsung, secara diam-diam Seng Tocu memperhatinkan terus paras muka Hoa In-liong, ia saksikan sinar matanya memancarkan cahaya berkilat, tampaknya makin bertarung semakin kuat, hal ini segera mengingatkannya akan suatu peristiwa, tiba-tiba timbul perasaan menyesal dalam hatinya.
“Rupanya si hwesia tua itu kehilangan hawa murninya sewaktu ada di Yu hoa-tay karena mewariskan kekuatannya kepada bocah ini, kalau pertarungan adu tenaga ini dilanjutkan niscaya aku akan kehilangan banyak tenaga, dan tindakanku ini sama artinya seperti membantu bocah ini mencapai kesuksesan…..”
Keadaan sekarang ibarat menunggang dipunggung harimau, mau berhenti ditengah jalanpun tak mungkin bisa, maka kuputuskan mumpung Hoa In-liong belum berhasil meresapi inti kekuatan yang diwariskan Goan-cing taysu kepadanya, ia akan membunuhnya lebih dulu, sebab kalau menunggu sampai inti kekuatannya telah menggabung dengan kekuatannya, menang kalah akan semakin sulit untuk ditentukan.
Karena berpikir demikian, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang dimilikinya ia segera menyerang dengan hebatnya.
Hoa In-liong yang didesak terus menerus betul-betul keteter hebat, akan tetapi ia tetap melawannya dengan gigih, sedikitpun tiada tanda-tanda hendak menyerah kalah.
Dalam waktu singkat dua jam sudah lewat, kedua orang itu masih juga saling menempel antara yang satu dengan lainnya, air muka Hoa In-liong ketika itu sudah berubah menjadi merah padam, peluh sebesar kacang membasahi sekujur tubuhnya sedangkan Seng Tocu telah menarik pula wajahnya yang kaku dan tanpa emosi itu.
Pada saat itulah dari bawah tebing sebelah barat merangkak naik seorang gadis berbaju hitam, tubuhnya ramping dan wajahnya cantik, sebilah pedang pendek tergantung di pinggangnya, dia tak lain adalah Si Leng-jin……
Ternyata ia menyusul Hoa In-liong kesana, tapi berhubung ilmu silatnya selisih jauh bila dibandingkan pemuda itu, maka sampai sekarang ia baru sampai disana.
Dengan sepasang matanya yang jeli dia perhatikan keadaan disekeliling tempat itu, akhirnya dibawah cahaya bintang ia saksikan ada dua orang berdiri saling berhadapan dengan sepasang telapak tangan saling menempel antara satu dengan lainnya, kejadian itu membuatnya tertegun. Apalagi setelah mengetahui Hoa In-liong berada di posisi bawah angin, dalam kagetnya tanpa berpikir panjang ia cabut keluar pedangnya dan menubruk ke depan, pedangnya langsung ditusukkan ke punggung Seng Tocu.
Mendadak Hoa In-liong membentak keras, Seng Tocu mendengus pula dengan dingin, bukan saja pedangnya itu tak berhasil menusuk punggung Seng Tocu, bahkan muncul segulung tenaga dahsyat yang menyusup lewat pedangnya menghantam gadis itu.
Si Leng-jin menjerit tertahan, kulit tangannya pecah, dan pedang pendeknya mencelat dari pegangan, kemudian dengan sempoyongan badannya mundur sejauh lima enam langkah, lengannya linu dan kaku, hampir saja tak sanggup digerakkan lagi, ditambah telinganya mendengung keras dan rasanya sakit sekali.
Belum habis rasa kaget dan takutnya, telapak tangan kedua orang yang saling menempel itu sudah berpisah dan masing- masing mundur dua langkah.
Seng Tocu hanya tergetar sedikit tubuhnya lalu berdiri tegak kembali.
Sebaliknya Hoa In-liong dengan wajah pucat pias seperti mayat melirik gadis itu sekejap, tiba-tiba ia muntah darah segar, lalu roboh terjengkang ke atas tanah.
Si Leng-jin agak tertegun sejenak, kemudian sambil menangis tersedu-sedu teriaknya, “Ooh, Hoa kongcu!”
Seperti dua buah sungai, air matanya bercucuran dengan derasnya, ia maju menghampirinya lalu berlutut disisi Hoa In- liong dan bermaksud membopong tubuhnya. Waktu itu sebenarnya Seng Tocu sedang memejamkan matanya sambil mengatur pernapasan, tiba-tiba ia membuka matanya sambil membentak, “Jangan dibopong!”
Si Leng-jin agak tertegun, lalu sambil berpaling teriaknya, “Menyingkir kau dari situ!”
Agaknya dia tak tahu kalau Seng Tocu adalah seorang gembong iblis yang berilmu tinggi, setelah membentak kembali, ia berpaling dan siap membopong anak muda itu lagi.
Kemarahan Seng Tocu langsung berkobar, lengan kanannya segera diangkat siap dihantamkan keatas batok kepala Si Leng-jin akan tetapi ketika dilihatnya wajah sinona begitu mengenaskan ia menjadi tak tega.
Serangan bacokan dirubah menjadi tenaga lembut yang membawa tubuh Si Leng-jin mencelat ke samping.
“Kau tahu isi perutnya sekarang telah bergeser dari tempat kedudukannya semula?” demikian ia menegur ketus, “kini hanya tinggal segulung hawa murni yang melindungi jantungnya, bila kau gerak-kan tubuhnya maka ia akan tewas seketika itu juga”
Si Leng-jin menjadi tertegun, tiba-tiba ia mendekam ditanah sambil menangis tersedu-sedu.
“Budak ingusan, apa yang kau tangisi?” kata Seng Tocu dengan hambar, “berbicara sesungguh nya bocah muda she Hoa itu bisa menjadi begitu adalah gara-gara perbuatanmu”
Mendengar perkataan itu, Si Leng-jin segera menghentikan tangisannya dan menengadah memandang ke arah Seng Tocu, wajahnya menampilkan rasa kaget dan tidak habis mengerti. Melihat gadis itu sudah mengalihkan perhatian kepadanya, Seng Tocu berkata kembali, “Perhatikan baik-baik, selama hidup lohu paling tak ambil perduli terhadap segala kebaikan, kejahatan ataupun segala kedengkian tapi terhadap segala persoalan selamanya aku tak pernah merahasiakan keadaan yang sebenarnya”
Ia memandang sekejap Hoa In-liong yang pucat pias dalam keadaan sekarat itu, kemudian melanjutkan.
“Demikian terhadap keadaan sesungguhnya dari pertarungan malam ini, akupun tak ingin merahasiakannya kepada orang lain”
Si Leng-jin membelalakkan sepasang matanya sambil berpikir, “Menang kalah dari pertarungan ini sudah jelas tertera, kenyataan apa lagi yang hendak dia bicarakan?”
Tiba-tiba teringat kembali dengan perkataan dari Seng Tocu yang mengatakan bahwa dialah yang telah mencelakai Hoa In-liong, segera hatinya bergetar keras.
Terdengar Seng Tocu berkata kembali, “Mula-mula lohu merasa yakin kalau tenaga dalamku amat sempurna dan jauh diatas kekuatan bocah dari keluarga Hoa itu, mala sengaja kupaksa dirinya untuk melangsungkan ada kekuatan tenaga dalam, siapa tahu kenyataannya….
Tiba tiba wajahnya memancarkan sinar keraguan, tanyanya kemudian, “Hei budak cilik, tahukah kau tenaga dalam yang dipelajarinya itu berasal dari perguruan mana?”
“Tentu saja pelajaran dari keluarganya!” jawab Si Leng-jin. Seng Tocu segera gelengkan kepalanya berulang kali. Meskipun lohu tidak begitu memahami Gin hoat tenaga dalam dari keluarga Hoa, tapi aku yakin tenaga dalam yang dipelajarinya bukan berasal dari aliran keluarga Hoa, sebab tenaga dalamnya sangat kuat bagaikan gelombang yang berlapis-lapis, gelombang yang satu jauh lebih hebat dari gelombang berikutnya, lagipula aliran hawa murninya itu sebentar mengalir secara lurus sebentar mengalir kembali secara terbalik, tenaga dalam aliran keluarga Hoa tidak mempunyai gejala semacam ini.
“Soal ini boleh tak usah kita bicarakan, dengan mengandalkan tenaga dalam yang sangat aneh ini Hoa In- liong ternyata sanggup mempertahankan diri dari seranganku, bahkan semakin lama pertarungan berlangsung ternyata tenaga dalam yang dimilikinya semakin dahsyat dan kuat… ”
“Aneh sekali!” seru Si Leng-jin tanpa terasa.
“Saat itulah lohu baru sadar bahwa ia telah mencapat bimbingan dari seorang jago lihay” kata Seng Tocu lebih jauh, “bila ditinjau dari keadaan itu, kemungkinan besar ilmu yang sedang dipelajarinya adalah ilmu sebangsa Tin goan ing tok (bimbingan tenaga dalam untuk menyeberang) yang justru kesempatan semacam itu merupakan kesempatan yang terbaik baginya untuk membaurkan tenaga murni yang didapat dengan tenaga murni yang telah dimiliki dalam tubuhnya… ”
“Apakah yang disebut Tin goan ing tok tersebut?” tanya Si Leng-jin tiba-tiba.
Seng Tocu memandang sekejap kearahnya kemudian menjawab, “Sebenarnya dalam soal ilmu tenaga dalam, kemajuan hanya bisa dicapai bila seseorang tekun melatihnya, tapi lain ceritanya jika dia mempunyai sebangsa obat yang dapat mengganti tulang merubah otot, selain daripada itu jika ada seorang tokoh sakti yang rela menghadiahkan tenaga dalam hasil latihannya kepada orang lain tentu saja hal inipun bisa terjadi, dan cara yang terakhir inilah yang dinamakan sebagai Tin-goan-ing-tok tersebut.
“Apa susahnya ini?” pikirnya.
Tampaknya Seng Tocu dapat menebak suara hatinya, dengan dingin ia berkata, Cara semacam ini tampaknya saja gampang padahal jauh lebih sulit prosesnya daripada mempergunakan obat mustika, sebab pertama sedikit kesalahan saja akan berakibat fatal, kedua, tokoh sakti semacam ini sukar ditemukan didunia ini, yang lebih penting lagi orang-orang itu biasanya enggan memberikan hasil yang luar biasa kepada muridnya tanpa si murid harus bersusah payah.
Tampaknya Seng Tocu merasa bahwa pembicaraannya sudah terlanjur terlampau jauh cepat-cepat katanya kembali, Berbicara kembali kesoal kami tadi, waktu itu lohu merasa menyesal sekali, aku tahu jika keadaan ini dibiarkan berlangsung terus maka pada akhirnya bocah dari keluarga Hoa itulah yang bakal peroleh kemenangan mutlak.
“Lantas dia…….kenapa dia….?”
Seng Tocu segera ulapkan tangannya, bukan menjawab dia malah balik bertanya, “Kaukah yang menyergap diriku?”
Waktu itu Si Leng-jin sudah tidak terlampau merisaukan kesel-amatan diri, mendengar pertanyaan itu dia lantas mendengus dingin.
“Hmm! Sudah tahu pura-pura bertanya lagi!” Bukannya menjadi gusar, Seng Tocu malahan tertawa terbahak-bahak,
“Haaahh……haaahh…….haaahh………hei budak, tahukah kau ketika lohu dan bocah muda she Hoa itu sedang melangsungkan pertaru ngan adu tenaga, sekeliling tubuh kami telah dilapisi hawa murni pelindung badan? Apabila dari luar ada serangan yang datang maka akan memancarlah tenaga gabungan dari kami berdua, siapakah didunia ini yang sanggup menerima tenaga gabungan dari kami berdua ini?
Bukankah kau mencari jalan kematian buat diri sendiri?” “Tapi aku toh masih hidup segar bugar?”
Seng Tocu segera mendengus dingin.
“Kau masih hidup segar bugar?” katanya. “Kau tahu? Kenapa sampai sekarang kau masih tetap segar bugar?”
Tidak menanti jawaban dari Si Leng-jin, dengan marah ia berkata lebih lanjut, “Kau tahu? Seseorang yang hampir saja tiada tandingannya dikolong langit, telah hancur lebur dan lenyap tak berbekas, gara-gara perbuatanmu itu?”
Suaranya keras dan tegas, sama sekali berubah dari sikap semulanya yang hambar dan berbau hawa setan itu.
Si Leng-jin termenung sebentar, mendadak dengan wajah berubah hebat serunya, “Jangan, jangan……”
“Betul!” tukas Seng Tocu, “gara gara ingin menyelamatkan jiwamu dan lagi diapun tak ingin menangkan aku dengan cara tak adil, akhirnya ia malah berubah menjadi begini rupa” Dibalik ucapannya itu lamat-lamat kedengaran pula nadanya yang bersedih hati.
Haruslah diketahui, barang siapa telah menjadi seorang ahli dalam suatu kepandaian, tentu akan timbul suatu perasaan sayangnya terhadap genera si penerus yang memiliki bakat bagus.
Selama hidupnya boleh dibilang Seng Tocu ha nya terjun dalam bidang ilmu silat, sudah barang tentu dia menaruh rasa sayang terhadap setiap o-rang yang berbakat bagus dan berilmu tinggi.
Sayangnya Hoa In-liong bukan berasal dari Seng-sut-pay, malahan merupakan musuh tangguh partainya, rasa dengki telah menindas rasa sayangnya. Akan tetapi disaat keadaan Hoa In-liong terancam bahaya, rasa dendamnya seketika lenyap tak berbekas, sebagai gantinya timbul rasa sayang dan kasihannya.
OOOOOOOOOOOOOO 47
Dengan tatapan sinar kosong Si Leng-jin memandang awan di angkasa, lama sekali ia berdiri termanggu, lalu dengan wajah yang sedih, guman-nya lirih, “Aku… akulah yang
telah mencelakainya…………….tak kusangka… tak
kusangka… !”
Tiba-tiba sinar matanya membentur dengan pedang antik yang tergeletak ditanah, tanpa berpikir panjang lagi ia menyambar senjata itu dan menggorok keleher sendiri. Kelihatannya pedang itu segera akan melukai tenggorokan si nona dan gadis yang cantik jelita segera akan berpulang ke alam baka….
Mendadak Seng Tocu merampas pedang itu sambil ujarnya dengan suara yang dingin, “Sampai kini orang she Hoa itu belum mati, buat apa kau buru-buru hendak mampus” Si Leng-jin tertegun, mendadak ia menengadahkan kepalanya sambil berkata, “Apakah kau dapat menyelamatkan jiwanya?”
“Seng Tocu hanya dapat menyelamatkan jiwanya selama sepuluh hari, bila ingin menolong jiwanya kecuali kau bisa mendapat jin som berusia seribu tahun atau bahan obat mujarab lain seperti Leng ci dan lain sebagainya…..”
“Ke mana aku harus mencari Jin som berusia seriba tahun dan Lengci itu?” tanya Si Leng-jin lagi dengan wajah penuh pengharapan.
Seng Tocu mengerutkan dahinya, lalu menjawab, “Benda- benda yang langka didunia ini hanya bisa ditemukan dan tak mungkin diharapkan tapi bagaimana caranya untuk menemukan benda-benda mustika itu?”
Tiba tiba satu ingatan melintas dalam benaknya, katanya kemudian, “Keluarga Hoa tersohor didunia persilatan sebagai tempat yang dimiliki pelbagai mustika, siapa tahu dirumahnya tersedia bahan obat-obatan seperti itu? Cuma saja sekalipun ada, jaraknya dari sini menuju ke bukit Im tiong san ada tiga empat ribu li, dalam sepuluh hari tak mungkin bisa tiba ditempat tujuan kecuali terbang, apa lagi dirumahnya toh belum tentu ada benda tersebut………?”
Mendengar ucapan itu tiba-tiba Si Leng-jin seperti teringat akan sesuatu, ia teringat dengan botol porselen yang baru saja diserahkan Hoa In-liong kepadanya itu, siapa tahu kalau isi botol porselen itu adalah obat mujarab?
Dengan cepat botol itu diambil keluar, tapi baru saja hendak membuka penutupnya, sebagai seorang gadis yang cukup berpengalaman dan mengetahui bahayanya orang persilatan, dengan cepat ia teringat kalau disana masih ada Seng Tocu, andaikata isinya betul-betul adalah obat mustika, lalu Seng Tocu hendak merampasnya, apa yang bisa dia lakukan?
Seng Tocu bukan manusia kemarin sore, dari sikap si nona yang mengeluarkan sebuah botol berbentuk aneh tapi segera membatalkan niatnya untuk membuka penutup botol itu, dengan cepat ia dapat menebak suara hatinya.
Sambil mendengus dingin katanya kemudian, “Kau anggap Lohu ini manusia macam apa? Tak akan kurampas benda milikmu, baiklah! Memandang Hoa yang sebagai seorang lelaki ksatria, lohu akan memperpanjang umurnya selama sepuluh hari”
Begitu selesai berkata, tanpa menantikan jawaban dari Si Leng-jin lagi ia lantas maju ke depan dan secara beruntun melepaskan tujuh belas buah pukulan keatas dada Hoa In- liong.
Si Leng-jin dapat menyaksikan bahwa dalam setiap pukulannya itu selalu disertakan tenaga yang cukup kuat, tempat yang di incarpun merupakan jalan darah penting, berdebar juga jantungnya menyaksikan kejadian itu, untuk sesaat ia hanya bisa memperhatikannya tanpa berkedip.
Dengan sebuah kebutan ujung bajunya, Seng Tocu membalikan tubuh Hoa In-liong, kemudian menotok pula beberapa buah jalan darah penting di punggungnya itu, secara beruntun ia lepaskan lima belas buah pukulan, hanya kali ini gerakannya dilakukan lambat sekali.
Pukulannya yang terakhir itu ditujukan pada jalan darah Thian-teng hiat ditubuh Hoa In-liong, setelah itu ia baru menghembuskan napas panjang dan membesut keringat yang telah membasahi jidatnya.
Sekarang Si Leng-jin baru tahu bahwa Seng Tocu telah mengor-bankan banyak sekali tenaga dalamnya untuk memperpanjang usia Hoa In-liong selama sepuluh hari, bagaimanapun juga gadis itu tercengang juga oleh tindak tanduk gembong iblis tersebut yang ternyata bersedia berkorban demi musuhnya……..
Sementara itu Seng Tocu telah memutar balik tubuh Hoa In-liong, dari sakunya ia mengeluarkan sebuah botol porselen berwarna hijau dan mengeluarkan sebutir pil warna hitam yang besarnya seperti gundu.
“Eeh, obat itu terbuat dari bahan apa saja? Kenapa jelek amat warnanya… ?” tiba-tiba Si Leng-jin menegur.
Suara itu amat lirih, seakan akan sedang bergumam seorang diri.
Seng Tocu segera mendengus dingin, sahutnya, “Jika lohu berniat untuk mencelakainya buat apa musti melakukan banyak perbuatan yang tak ada gunanya?
Ia membungkuk dan membuka mulut Hoa In-liong lalu masukkan pil berwarna hitam itu ke mulutnya, kemudian sambil membopong tubuh si anak muda itu ia siap berlalu dari sana. Si Leng in menjerit kaget, sambil melompat bangun teriaknya, “Hei, mau apa kau?”
Seng Tocu menghentikan langkah kakinya seraya berpaling, lalu dengan nada tak sabar katanya, “Hmm……! Dengan mengandalkan sedikit kepandaian yang kau miliki itu dianggapnya bisa membawa turun seorang yang terluka parah dengan selamat? Lohu akan menghantarkannya ke rumah gubuk itu, urusan selanjutnya terserah padamu.”
Setelah berhenti sebentar ia menambahkan.
“Dasar pikiran perempuan memang selalu picik tubuhnya cuma curiga melulu………….
Hmm! Brengsek!”
Merah padam selembar wajah Si Leng-jin karena jengah, ia segera maju dua langkah seraya berkata, “Kalau begitu harap locianpwe sudi membawa serta diriku!”
Tanpa mengucapkan sepatah katapun Seng Tocu menyambar tubuh Hoa In-liong dengan tangan kanan dan menggenggam lengan Si Leng-jin dengan tangan kirinya.
Tiba-tiba gadis itu berseru lagi. “Eeeh….tunggu sebentar!”
Seng Tocu mengernyitkan alis matanya seperti tidak sabar, tapi ia toh melepaskan juga genggamannya.
Si Leng-jin segera menghampiri pedang milik Hoa In-liong dan mengambilnya, lalu mencari pula pedang pendek miliknya sendiri, tapi pedang itu lenyap tak berbekas, tahukah nona itu ada kemungkinan pedangnya sudah terjatuh ke bawah jurang. Sebagaimana diketahui, pedang pendek itu tajamnya luar biasa, selama ini ia selalu menyayanginya, kini setelah terbukti hilang sedikit banyak nona itu merasa sayang juga, tapi karena lebih menguatirkan keselamatan Hoa In-liong, maka buru-buru ia kembali ke tempat semula.
Seng Tocu sudah tak sabaran lagi, lengan kanannya segera disambar dan dibawanya turun ke bawah tebing.
Separjang jalan Si Leng-jin hanya merasa desingan angin kencang menyambar lewat dari sisi telinganya, pemandangan alam di sekitarnya sukar di perhatikan dan kakinya seakan akan tidak menempel tanah, diam-diam terkejut juga si nona itu oleh kebebatan ilmu silat yang dimiliki Seng Tocu
“Bila dilihat dari kepandaian silat yang dimiliki iblis ini tak mungkin kemenangan bisa kuraih bila terjadi pertarungan yang saling berhadapan muka, mumpung sekarang ada kesempatan lebih baik kutusuk punggungnya secara diam- diam dengan begitu dendam sakit hati Hoa kongcu pun bisa terbalas, toh bagaimanapun juga yang bakal celaka juga aku seorang, kenapa tidak beradu jiwa dengannya?”
Berpikir sampai disini dengan hati-hati sekali dia mengangkat pedangnya, karena sudah punya rencana, maka pedang itu tidak dikembalikan kepada Hoa In-liong, sebaiknya digenggang ditangan kirinya, Tiba-tiba ia teringat pula bahwa tindakannya ini pasti akan berakibat tewasnya Hoa In-liong pula, sekalipun kini nyawa anak muda tinggal sepuluh hari Saja tapi baginya sepuluh hari itu adalah wak tu-waktu yang berharga sekali, ini semua menyebabkan ragu-ragu untuk melanjutkan rencananya itu.
Belum lagi keputusannya diambil, tiba-tiba mereka sudah berhenti dan Seng Tocu telah melepaskan tangannya, ternyata mereka telah tiba di depan rumah gubuk itu. Diam-diam ia menyesal karena telah menyia-nyiakan suatu kesempatan baik.
Tiba tiba terdengar Seng Tocu berkata, “Hei budak cilik tadi kenapa kau tidak jadi menusuk punggungku?”
“Oh rupanya dia sudah tahu!” pikir Si Leng-jin.
Ia menjadi sangat mendongkol, dengan gusar serunya, “Aku hanya merasa bahwa selembar jiwamu itu sekalipun hidup seratus tahun lagi juga tidak menangkan kehidupan Hoa kongcu sendiri, bukan berarti aku jeri kepada ilmu silatmu”
Seng Tocu tidak gusar sebaliknya malah tertawa, katanya, “Budak cilik ternyata kau memang betul-betul sedang mabuk cinta, cuma lohu tidak mengerti, kenapa kau masih memanggil bocah muda itu sebagai Hoa kongcu?”
Walau pun Si Leng-jin merasa girang dihati, merah padam juga selembar wajahnya karena jengah, buru-buru ia berseru.
“Kau tak usah ngaco belo tak karuan, aku dengan Hoa kongcu sama sekali tak punya hubungan apa-apa”
“Hmm! Lain dimulut lain dihati” dengus Seng Tocu.
Si Leng-jin menjadi marah katanya, “Hmmm, Dia adalah putra Thian cu kiam, asal usulnya tersohor dan punya kedudukan terhormat, sebaliknya aku tak lebih cuma seorang gadis yang tak dikenal…..”
Teringat dengan asal-usulnya sendiri, rasa sedih segera menyelimuti perasaannya, apalagi teringat keadaan Hoa In- liong yang terluka parah, seketika itu juga ia menangis terisak. “Aku enggan mengetahui apa hubunganmu dengan bocah muda dari keluarga Hoa ini” Seng Tocu berkata, “baik-baiklah biarkan dia hidup selama beberapa hari, bila ada pesan-pesan lebih baik dikatakan pula sejak sekarang”
Lalu setelah melirik sekejap wajah Hoa In-liong, ia menambahkan, “Sekarang isi perutnya sudah bergeser, untuk mengharapkan penyembuhan hanya ibarat orang bermimpi. Daripada dikirim balik ke perkampungan Liok-soat-san ceng lebih baik temanilah dia hidup selama beberapa hari disini, lohu akan pergi menghalangi orang-orang yang mungkin akan datang mengacau”
Selesai berkata, ia letakkan tubuh Hoa In-liong keatas tanah dan sekali berkelebat tubuhnya telah lenyap dari pandangan mata.
Buru-buru Si Leng-jin membopong tubuh Hoa In-liong sambil menyumpah, “Seng Tocu setan tua, kau betul-betul menggemaskan! Kau toh mengerti kalau Hoa In-liong lagi terluka parah, masa ditengah malam buta yang berkabut tebal kau geletakkan tubuh ke tanah dengan begitu saja?”
Baru habis ia berkata, pandangan matanya menjadi kabur dan tiba-tiba Seng Tocu teah muncul kembali dihadapan-nya.
Sesudah memandang sekejap wajah si nona, pelan-pelan katanya.
“Bila dia telah sadar nanti, katakanlah bahwa lohu sangat berharap agar lukanya cepat sembuh, sebab lohu ingin sekali dapat bertarung sekali lagi dengannya”
“Aku pasti akan menyampaikan kepadanya, sekarang kau boleh pergi dari sini!” Terhadap sikap kasar dari Si Leng-jin ini, ternyata Seng Tocu tidak merasakan reaksi apa-apa, dia hanya mendengus dingin lalu berkelebat pergi dari situ, sekejap mata kemudian bayangan tubuhnya sudah lenyap dari pandangan mata.
Tiba-tiba terdengar suara dari Si Nio berkumandang dari samping, “Nona, bagaimana dengan Hoa kogcu?”
Sambil menahan rasa sedih dalam hatinya, Si Leng-jin berpaling lalu sahutaya, “Seandainya ia tewas, maka ia tewas lantaran aku… ”
Air matanya kembali bercucuran membasahi pipinya, ia menjadi sesunggukan dan sambil membopong tubuh Hoa In- liong masuk ke dalam ruangan.
Diatas wajah Si Nio yang penuh kerutan tampak agak gemetar keras, dia ikut melangkah masuk ke dalam ruangan.
Dengan sangat hati-hati, Si Leng-jin membaringkan tubuh Hoa In-liong diatas pembaringan, lalu melepaskan sarung pedangnya, menya rungkan pedang dan menggantungkan diatas dinding.
Setelah itu ia melepaskan sepatu dan kaus kaki dari Hoa In- liong, dan menutupi badannya dengan selimut.
Si Nio mengira ia sudah selesai bekerja, baru saja akan bersuara mendadak dilihatnya gadis itu berdiri termenung sejenak lalu membetulkan kembali letak bantal, ternyata gerak geriknya amat le mah lembut dan penuh perhatian.
Ketika semuanya telah selesai dan dilihatnya Hoa In-liong tidak berbaring dalam keadaan tak enak, ia baru duduk ditepi pembaringan dan memandang wajahnya dengan termangu, lama sekali ia tetap membungkam dalam seribu bahasa. Si Nio yang menanti disampingnya, lama kelamaan menjadi tak sabar, ia lantas menegur, “Nona!”
lima depa disisi Si Leng-jin, semestinya siapapun akan mendengar panggilan tersebut, akan tetapi gadis itu tetap tak berkutik, ia sama sekali tak mendengar panggilan dari pelayan setianya ini.
Terpaksa Si Nio harus mempertinggi suara panggilannya, “Nona…”
Tanpa berpaling Si Leng-jin ulapkan tangannya “Sst….jangan berisik!”
Si Nio betul betul dibikin tertegun, agaknya kecuali Hoa In- liong ketika itu ia sudah melupakan segala persoalan yang ada didunia ini.
Satu ingatan segera melintas dalam benak pelayan tua itu, tiba-tiba ujarnya!, “Setelah sadar nanti apa yang dibutuhkan Hoa kongcu? Apakah nona perlu mempersiapkannya?”
Ternyata ucapan itu manjur juga, Si Leng-jin segera menjawab, “Ehhmm….coba periksalah apakah didapur masih ada makanan, kalau ada bawa saja kemari!”
Sekalipun mulutnya menjawab, sepasang matanya yang jeli itu masih mengawasi wajahnya Hoa In-liong tanpa berkedip.
Diam-diam Si Nio berpikir, “Ai…orang she Hoa ini betul- betul penyakit, kalau nona begini terus keadaannya bagaimana jadinya nanti?”
Setelah berpikir sebentar, terpaksa ia menuju kedapur. Tak lama kemudian ia telah muncul kembali sambil membawa sebuah baki yang berisi dua mangkuk bubur panas serta tiga macam sayur.
Setibanya dibelakang Si Leng-jin, perempuan itu berseru, “Nona, hidangan telah tiba!”
“Nanti saja,” jawab si nona, “ia toh masih belum sadar!” Sekali lagi raut wajah Si Nio yang jelek bergetar keras,
katanya setelah merenung sejenak, “Nona, lebih baik kau makan lebih dulu!”
“Tidak usah!”
Kembali Si Nio menjadi tertegun, akhirnya dia menghela napas panjang, dengan perasaan apa boleh buat terpaksa ia menarik meja itu ke sisi pembaringan lalu setelah meletakkan baki ke atas meja ia duduk dibangku dan memperhatikan gerak gerik majikannya.
Dalam kebeningan malam yang mencekam diantara tiga orang yang ada dalam ruangan, dua duduk berjaga satu tidur dengan pulasnya, tanpa terasa fajar mulai menyingsing.
Tiba-tiba Hoa In-liong menghembuskan napas panjang dan pelan-pelan membuka mulutnya.
Leng-jin girang, Si Leng-jin menyaksikan kejadian itu, segera serunya, “Kau telah sadar?”
Diam-diam Hoa In-liong mencoba untuk mengatur hawa murni yang dimilikinya sudah tak ada, iapun menemukan isi perutnya sudah tergeser dan jiwanya terancam bahaya maut, diam-diam ia merasa terkejut sekali. Kendatipun demikian, sambil tertawa hambar ia toh berkata juga, “Kemana perginya Seng Tocu?”
Dengan sikutnya menyangga badan, ia mencoba untuk bangkit dan duduk.
Buru-buru Si Leng-jin menahannya sambil berkata, “Lukamu sekarang parah sekali lebih baik jangan sembarangan bergerek dan terbaring saja”
Ketika Hoa In-liong mencoba menggadakan tenaga, ia segera merasakan kepalanya pusing dan dadanya sesak, ia sadar tak boleh banyak berkutik lagi, maka sambil berpaling kembali katanya seraya tertawa, “Waahh….. baru pertama kali ini kurasakan keadaan seperti ini, hitung-hitung aku punya jodoh juga dengan keadaan seperti ini”
Si Leng-jin yang menjumpai anak muda itu sama sekali tidak memperhatikan mati hidup sendiri, apalagi teringat dengan ucapan Seng Tocu yang mengatakan bahwa nyawa Hoa In-liong tinggal sepuluh hari lagi, hatinya menjadi sedih sekali bagaikan disayat-sayat dengan pisau, air matanya segera bercucuran membasahi pipinya.
Hoa In-liong tersenyum,kembali ujarnya, “Aku tahu waalaupun keras hati dan gagah, di hari-hari biasa jarang sekali melelehkan air mata, persoalan apakah yang membuat kau bersedih hati……?”
Sekalipun dalam keadaan terluka, ternyata ucapan-nya masih lemah lembut, Si Leng-jin benar-benar tak kuat mengendalikan emosinya lagi, tiba-tiba ia menjatuhkan diri berlutut dan membenamkan kepalanya ke pembaringan sambil menangis tersedu-sedu. Si Nio bangkit berdiri sambil membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi ia segera membatalkan niatnya, setelah menghela napas sedih, dengan air mata membasahi pipinya diam-diam ia mengundurkan diri dari situ.
Hoa In-liong palingkan wajahnya kearah si nona, lalu dengan lembut katanya, “Persoalan apa yang telah menyedihkan hatimu? Coba ceritakanlah kepadaku”
“Aku benci!” seru Si Leng-jin sambil menangis tersedu- sedu.
“Membenci siapa” tanya Hoa In-liong sambil menggerutkan dahinya.
“Aku membenci Seng Tocu” Hoa In-liong segera tertawa, katanya, “Ia pernah menganiaya diriku, melukai aku pula, kau memang pantas membencinya”
Dengan suara tersendat-sendat Si Leng-jin melanjutkan kembali kata-katanya, “Aku lebih membenci pada diri sendiri!”
“Waah……… ini tidak boleh terjadi, mana ada orang yang membenci diri sendiri? kata pemuda itu sambil tersenyum.
“Akupun membenci dirimu!” sambung gadis itu gemetar.
Hoa In-liong mengernyitkan alis matanya, tapi setelah membenarkan letak tubuhnya ia mengangguk.
“Yaa, pastilah aku telah membuat kesalahan kepadamu”
Si Leng-jin menengadahkan kepalanya, dengan air mata bercucuran ia berkata, “Aku membenci dirimu, membenci kepada mu kenapa terlalu memikirkan keselamatan jiwaku? seharusnya kau gunakan kesempatan itu untuk membunuh Seng Tocu si iblis tua itu, aku mati juga tidak mengapa, daripada hidup sengsara didunia ini”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Pepatah kuno mengatakan: Daripada mati secara baik-baik lebih baik hidup agak sengsara, meskipun didunia ini penuh dengan orang jahat, namun tidak mengurangi kecantikannya, meski aku harus mati secara mengenaskan, itupun kulakukan dengan hati yang berat, sebaliknya kau masih muda, mana cantik lagi, kenapa musti mengucapkan kata-kata yang begitu tak sedap didengar?”
Si Leng-jin menundukkan kepalanya sambil menangis tersedu-sedu ia tidak berbicara pun tidak berhenti menangis.
Melihat gadis itu tak bisa dihibur diam-diam Hoa In-liong berkerut kening, tapi setelah berpikir sebentar ia lantas berkata, “Coba dongakkan kepalamu!”
Dengan lemah lembut Si Leng-jin mendongakkan kepalanya, meski ia tidak habis mengerti dengan maksud tujuan pemuda itu.
Dengan sinar mata yang cerah Hoa In-liong mengamati sekejap wajahnya yang basah oleh air mata itu, kemudian dengan wajah bersungguh-sungguh ujarnya, Sewaktu kau lagi menangis ternyata jauh lebih menarik daripada sewaktu kau lagi tertawa, dulu aku tak punya kesempatan untuk memperhatikannya, sekarang bisa mendapat rejeki besar seperti ini, rasanya lukaku ini pun ada harganya”
Si Leng-jin tidak mengira kalau dalam keadaan seperti ini pemuda itu masih punya kegembiraan untuk menggodanya, ia menjadi tersipu-sipu dibuatnya. Ketika itulah Si Nio muncul sambil membawa sebuah baki penuh dengan bubur yang masih mengepul panas, bubur yang telah dingin tadi diambilnya kembali.
Setelah digoda oleh Hoa In-liong barusan, rasa sedih di hati Si Leng-jin menjadi jauh berkurang, ketika mencium bau harumnya bubur ia terasa lapar sekali, segera pikirnya, “Dia pasti merasa lapar sekali!”
Berpikir demikian, iapun membimbing bangun anak muda itu, letak bantalnya dibelikan sehingga pemuda itu dapat setengah berbaring, lalu diambilnya bubur dan secara telaten menyuapi anak muda itu.
Diam-diam Hoa In-liong lantas berpikir, “Padahal ia sendiri sedang lapar, tapi aku yang diurusi lebih dulu”
Maka sambil gelengkan kepalanya dia berkata, “Lebih baik kau makan duluan, aku belum lapar!”
Si Leng-jin mengerutkan dahinya, dengan wajah cemberut ia berseru, “Kalau kau tidak makan duluan, mana aku tega untuk makan?”
“Sebaliknya kalau kau tidak makan, aku pun merasa tak enak untuk makan lebih dulu” sambung Hoa In-liong sambil tertawa.
Tiba-tiba Si Leng-jin mengucurkan air mata kembali, katanya dengan sedih, “Kau bisa menjadi begini, semuanya adalah gara-gara aku… ”
“Baik, baiklah aku makan duluan!” buru-buru Hoa In-liong menukas sambil tertawa. Ia mencoba untuk mengambil mangkuk sendiri, ternyata lengannya terasa lemas sekali, sewaktu di angkat ternyata lengan itu gemetaran keras.
Si Leng-jin teramat sedih melihat kejadian itu, hatinya serasa disayat-sayat dengan pisau, nyaris ia melelehkan air matanya.
Ia tak mengira seorang jago silat yang tak terkalahkan dalam dunia dewasa ini, kini berubah jadi begitu lemah sehingga untuk menggerakkan lengan sendiripun susah sekali.
Akan tetapi lantaran ia kuatir Hoa In-liong tak senang hati maka buru-buru ia berpaling ke arah lain sambil diam-diam menyeka air matanya, kemudian sambil tertawa paksa katanya, “Lebih baik kau jangan mempersoalkan segala tata cara yang tetek bengek, biar kusuapin untukmu!”
Hoa In-liong tertawa getir, terpaksa ia biarkan Si Leng-jin menyuapi untuknya.
Sambil menyuapi bubur untuk pemuda itu, secara ringkas Si Leng-jin menceritakan apa yang telah terjadi setelah pemuda itu tak sadarkan diri, hanya soal usia yang tinggal sepuluh hari ia rubah menjadi harus beristirahat sehingga dapat sembuh seluruhnya.
Tentu saja hal tersebut tak dapat mengelabuhi diri Hoa In- liong, cuma ia pun tidak membongkar rahasia itu.
Ketika dua mangkuk bubur sudah habis, ceritapun telah berakhir, sambil menghela napas Hoa In-liong lantas berkata, “Ternyata Seng Tocu bersedia mempergunakan ilmu Thian mo hu ti sinkang untuk menyembuhkan lukaku, hal ini betul-betul merupakan suatu kejadian yang sangat aneh” “Thian mo hu ti?” kata Si Leng-jin dengan dahi berkerut, kok kedengarannya berbau hawa setan? Jangan-jangan secara diam-diam ia telah melukai dirimu?”
Hoa In-liong segera tertawa.
“Walaupun kedengarannya tak sedap, sesungguhnya ilmu itu adalah cara pengobatan yang paling hebat dari pihak Mokau, tidak mungkin Seng Tocu akan bertindak pengecut seperti itu”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan. “Dikemudian hari, akupun harus menolong jiwanya satu
kali!”
Mendengar itu Si Leng-jin lantas berpikir”.
Nyawamu saja tinggal beberapa hari lagi mana mungkin bisa menolong orang lain??
Dengan perasaan yang amat pedih seperti diiris-iris dengan pisau, ia mencoba tertawa paksa, kemudian katanya, “Sekalipun mampus, iblis tua itu juga rada keenakan, buat apa kau musti menolongnya?”
“Yaa, barang siapa telah berhutang budi, apakah tidak pantas untuk membalas budi itu?” katanya.
Tapi kalau dibiarkan hidup terus, entah berapa banyak orang yang bakal dicelakai oleh iblis tua itu??
“Tidak mungkin, aku tahu bahwa dia adalah seorang yang tinggi hati, tak mungkin ia akan mau turun tangan terhadap orang biasa, asal orang itu bisa ditaklukan, dia pasti akan mengasingkan diri, tak nanti akan mencelakai dunia” Ketika Si Leng-jin menyaksikan pemuda itu sudah menunjukkan tanda-tanda lelah setelah berbicara sekian lama, buru-buru katanya sambil tertawa, “Bagaimana kalau kau berbaring dulu, aku hendak bersantap”
Dalam keadaan terluka parah, keadaan Hoa In-liong memang lemah sekali, ia merasa agak lelah setelah bercakap- cakap sekian lamanya, maka diapun mengangguk.
Si Leng-jin buru-buru memayangnya untuk berbaring kembali.
Tak lama kemudian Hoa In-liong sudah pulas dengan nyenyaknya.
Dengan termangu-mangu Si Leng-jin mengawasi terus wajah pemuda itu, ia tidak bersantap dan entah apa saja yang dipikirkan, sebentar senyuman dikulum sebentar lagi parasnya berubah dan air mata bercucuran, tapi karena kuatir menyadarkan Hoa In-liong dari tidurnya ia tak berani menangis hingga bersuara.
Selama ini Si Nio hanya mengawasi terus dari luar pintu, menyaksikan keadaan tersebut dia segera lari masuk sambil serunya, “Nona, kalau begini terus keadaanmu, bagaimana jadinya nanti?”
Si Leng-jin menghela napas sedih, sahutnya dengan lirih, “Si Nio, jika ia mati akupun mati!”
Dua patah kata “mati” itu ibaratnya martil berat yang mengetuk hati Si Nio, kontan saja ia menjerit sekeras- kerasnya, “Mati? Nona, kau sudah gila?” Si Leng-jin berpaling, wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya yang telah bulat.
“Tidak, aku tidak gila! Aku waras dan segar bugar”
“Nona tak ada harganya kau berbuat demikian” kembali Si Nio berseru dengan perasaan gelisah.
“Kenapa tak ada harganya?”
“Sebab bocah muda dari keluarga Hoa ini pada hakekatnya adalah seorang kongcu romantis yang suka bermain perempuan…”
“Jangan kau hina dirinya dengan kata-kata yang tak senonoh!” hardik Si Leng-jin marah.
Si Nio agak tertegun, lalu serunya lagi, “Tapi ia memang menebarkan bibit cintanya kepada siapapun, belum tentu dalam hatinya terdapat bayangan nona!”
Perkataan itu diucapkan dengan suara keras dan nyaring. Si Leng-jin segera kuatir kalau ucapan itu menyadarkan Hoa In- liong dari tidurnya, ia berpaling sekejap kearahnya, ketika dilihatnya Hoa In-liong masih tertidur pulas, hatinya baru merasa lega.
katanya kemudian, “Pergilah beristirahat, lebih baik persoalan ini tak usah dibicarakan lagi”
Si Nio tertegun dan berdiri melongo, tapi bagaimanapun juga dia adalah pelayan dari keluarga Si, dengan mata kepala sendiri dia saksikan Si Leng-jin tumbuh jadi dewasa, karena itu diapun tahu bahwa keputusan yang telah diambil selamanya tak dapat dirubah kembali. “Semua ini timbul gara-gara karena lelaki hidung bangor itu, lebih baik kubunuh saja Hoa In-liong”
Berpikir sampai disitu, hawa nafsu membunuh segera memancar keluar dari sorot matanya, tanpa sadar diapun berpaling dan melotot sekejap kearah sianak muda itu.
Si Leng-jin yang menyaksikan keadaan tersebut menjadi gelisah sekali, tiba-tiba dia berkata, “Bila kau berani berbuat sesuatu yang tidak menguntungkan bagi Hoa kongcu, seketika itu juga aku akan mati. Seluruh kulit wajah Si Nio yang menyeramkan itu mengejang keras, ia menggertak gigi dan tidak menjawab.
Si Leng-jin segera berkata.
“Kau anggap aku cuma bermain-main saja?”
“Nona, apakah kau lupa dengan Joya-cu?” tiba tiba Nio menjerit keras.
Mendengar jeritan itu, Si Leng-jin merintih pelan, sepasang tangannya menekan dadanya keras-keras seperti menahan rasa sakit yang luar biasa, kemudian hembuskan nafas panjang katanya dengan sedih, “Kau boleh keluar lebih dulu, aku…..akan…..kupikirkan kembali….akan kupikirkan lagi”
Si Nio amat sedih sekali hingga air matanya bercucuran, tapi ia pun tidak berbicara lagi dan segera keluar dari ruangan itu.
Selama lima hari berikutnya Si Leng-jin tak pernah bergeser dari tempatnya semula, ia selalu menjaga ditepi pembaringan, kalau lelah iapun tidur di bawah kaki Hoa In-liong, sekalipun anak muda itu berulang kali mencegahnya tapi percuma saja, maka akhirnya diapun tidak banyak bicara lagi. Selama ini semua kebutuhan makanan dan minuman diurusi oleh Si Nio, untungnya Seng Tocu telah menyiapkan bahan makanan yang cukup disitu, sehingga mereka tidak takut kekurangan.
Sepanjang hari Hoa In-liong selalu duduk bersila sambil mengatur pernapasan dengan harapan bisa menyembuhkan luka yang dideritanya, sayang tiada perkembangan apapun, hanya secara dipaksakan dapat mencegah keadaannya berubah menjadi makin buruk.
Hari itu ia merasa hawa murninya sudah betul-betul tak terhimpun lagi, bahkan urat-urat pentingnya mulai tersumbat dan ia merasa amat mederita, dalam keadaan demikian pemuda itupun berpikir, “Tampaknya keadaan lukaku tak bisa disembuhkan lagi dengan mengandalkan kekuatan sendiri, yaa apa boleh buat, terpaksa aku harus mempergunakan obat Yau ti wan tersebut untuk menolong diri”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berpaling hendak minta botol berisi Yau ti wan itu dari Si Leng-jin akan tetapi ketika dilihatnya gadis itu sedang tidur dengan nyenyaknya, ia menjadi tak tega untuk membangunkannya kembali.
Karena iseng, diam-diam ia amati wajah gadis itu dengan seksama ketika dilihatnya gadis itu jauh lebih kurus dengan mata yang membengkak setelah kelelahan selama beberapa hari ini, dengan perasaan terharu pikirnya, “Aaai……. selama beberapa hari ini ia terlalu payah dan menderita……. kasihan betul…..”
Sementara ia masih melamun, tiba-tiba dilihatnya Si Leng- jin mengernyitkan alis matanya lalu mengigau, “Ayah, cepat kemari…….. In liong, Jangan pergi……. tolonglah aku…..” Hoa In-liong menjadi tertegun, pikirnya, “Ia mempunyai asal-usul yang amat mengenaskan, saat ini penghidupannya amat sengsara dan penuh penderitaan… kalau dilihat dari
igauannya yang memanggil namaku, terbukti bahwa ia sangat mempercayaiku, bagaimana pun juga aku harus membantu tenaga untuk melepaskan nya dari lautan kesengsaraan… ”
Dengan perasaan sayang diapun berbisik lembut, “Jangan kuatir aku tak akan pergi!”
Tiba tiba Si Leng-jin tersentak bangun dari tidurnya dan terduduk dengan termangu, kemudian setelah berhasil menenangkan hatinya, ia baru bertanya dengan suara lirih, “Barusan apa yang kau katakan?”
“Tempo hari karena ada persoalan pembicaraan kita terhenti ditengah jalan lalu selama beberapa hari ini karena perhatianku tertuju untuk meyembuhkan luka, aku selalu tak sempat menanyakan asal usulmu, mumpung sekarang ada waktu bersediakah kau memberitahukan soal ini kepadaku?”
Si Leng-jin menghela napas panjang.
“Aaii… soal ini lebih baik kita bicarakan lagi sesudah
lukamu sembuh nanti”
Hoa In-liong manggut-manggut.
“Baiklah, apakah botol porselen yang kutitipkan kepadamu itu masih ada….?”
“Masih” sabut Si Leng-jin setelah tertegun sejenak, “mau apa kau?”
Dari sakunya ia mengeluarkan botol itu dan di serahkan kepada Hoa In-liong, kemudian katanya lagi, “Sebenarnya sejak semula obat ini hendak kuberikan kepadamu, tapi berhubung Seng Tocu ada disamping dan kaupun tak mampu berkutik maka niatku ini kemudian kubalalkan”
Hoa In-liong tertawa hambar, “Kini apakah lukaku bisa disembuhkan atau tidak, terpaksa kita harus menggantungkan pada kemujaraban obat ini”
“Obat mustika apakah itu? Bagaimana kemanjurannya?” tanya Si Leng-jin tercengang.
“Pil ini bernama Yau ti, dibuat oleh Bu seng (malaikat ilmu silat) pada tiga ratus tahun berselang”
“Malaikat ilmu silat?” tanya Si Leng-jin sambil membelalakan sepasang matanya lebar-lebar.
“Yaa, malaikat ilmu silat Im locianpwe yang namanya pernah tersohor dalam dunia persilatan pada tiga ratus tahun berselang…..
…” sahut Hoa In-liong sambil tertawa.
“Kenapa aku tidak mengetahui tentang lo-cianpwe ini” tukas Si Leng-jin tiba-tiba,” padahal persoalan sekitar keturunan malaikat ilmu silat tak ada yang lebih jelas dari pada keluargaku”
Mendengar ucapan tersebut, hati Hoa In-liong segera tergetak, pikirnya kemudian, “Aaaa, kalau begitu dia pastilah keturunan dari Tin Hoo yang ada diluar perbatasan, kalau tidak kenapa ia mengucapkan kata-kata ini?”