Jilid 02
Tiba-tiba Hoa In-liong tertawa lantang, lalu selanya, “Nona Kok, silahkan duduk! Urusan sekecil ini buat apa musti diributkan terus?”
Mendengar ucapan tersebut Kok Gi-pek tertawa dingin, tapi ia menurut, tidak banyak bicara lagi.
Ambil contoh Kok Gi pek ini, sesungguhnya bersama Tang Bong-liang mereka adalah sesama anggota Hian-beng-kau, bahkan Hoa In-liong merupakan musuh besar perkumpulan mereka, tapi kenyataannya dia ribut dan bahkan hampir bergebrak dengan rekannya sendiri, sebaliknya dengan Hoa In-liong bukan saja bersikap bersahabat, bahkan kelihatan begitu tunduk dan penurut.
Tang Bong liang yang menyaksikan kejadian ini segera berpikir, “Sudah jamak kalau hati perempuan condong keluar, semenjak dulu sudah kuanjurkan kepada Sinkun agar jangan menerima murid perempuan, buktinya sekarang……”
Berpikir sampai disitu, sambil tertawa dia lantas berkata, “Hoa kongcu, kau betul-betul seorang pendekar muda yang berjiwa besar dan bijaksana.”
Hoa In-liong tertawa hambar. “Tahukah kau kalau kaucumu telah mengirim surat undangan kepadaku?” katanya.
Tang Bong liang manggut-manggut. “Mana mungkin aku tidak tahu…….”
Sebetulnya Hoa In-liong ingin menyindir musuhnya dengan beberapa patah kata pedas tapi setelah berpikir sebentar ia membatalkan niatnya itu, katanya kemudian, “Kalau memang begitu, akan kumohon petunjukmu setelah sampai pada waktunya nanti.”
Sesudah menjura dan memberi hormat, kembali katanya kepada Kok Gi pek, “Aku ingin mohon diri lebih dahulu.”
“Tapi….tapi……secawan arak pun belum aku minum masa kau….. kau akan pergi dengan begitu saja….,” kata Kok Gi pek dengan perasaan gelisah.
“Maksud baik nona biar kuterima di hati saja,” tukas Hoa In-liong sambil tertawa lebar.
Betapa gelisahnya Kok Gi pek menghadapi kejadian tersebut apa mau dikata ia teringat kembali kedudukan mereka yang saling bermusuhan, sudah barang tentu tak mungkin baginya untuk meraba pemuda itu secara lembut. Dalam keadaan begini ia cuma bisa melotot ke arah Tang Bong liang serta Siau Kui dengan sinar mata penuh kebencian.
Buat Tong Bong liang yang berkedudukan tinggi delikan mata itu masih tidak mendatangkan perasaan apa-apa, berbeda dengan Siau Kui yang kedudukannya memang rendah bergidik sekujur tubuhnya karena ngeri, cepat cepat ia tundukkan kepalanya rendah-rendah.
Bagaimanapun juga soal cinta memang nomor satu di dunia, hal itu paling aneh, paling sensitip dan sukar diduga, kadangkala dari musuh mereka bisa berteman, kadangkala pula dari teman bisa menjadi musuh bahkan orang hidup-pun bisa menjadi orang mati.
Perjumpaan Kok Gi-pek dengan Hoa In-liong secara diam- diam tentu saja bukan cuma satu kali, tapi pertemuannya secara resmi termasuk baru ini boleh dibilang baru kedua kalinya, jadi kalau dibilang ia sudah jatuh cinta, ditinjau dari wataknya yang tinggi hati serta cara berpandangannya yang sempit, hal ini tak mungkin terjadi.
Tapi justru karena kebiasaan memandang rendah orang lain dan kecuali suhunya, ia selalu menganggap orang lain di dunia ini sebagai sampah yang tak berguna maka sejak kekalahan demi kekalahan yang dideritanya di tangan Hoa In- liong, hal ini membuat watak tinggi hatinya terpukul keras.
Mula-mula kejadian itu sangat menjengkelkan hatinya malah mendendam lagi, sepulangnya ke rumah ia berlatih lebih tekun dan berencana pada suatu ketika ilmu silatnya harus melampaui kemampuan Hoa In-liong. Tapi beberapa hari kemudian, rasa bencinya makin menawar, meskipun hati kecilnya masih kangen pada Hoa In-liong, namun jauh berbeda seperti beberapa hari berselang yang kalau bisa ingin sekali ia mencincang tubuh si anak muda itu. Apa yang terbayang dalam benaknya ketika itu adalah ketampanan serta kegagahan anak muda itu, terutama dibalik kekocakannya terselip kegagahan yang tak terbantahkan.
Gadis itu sadar bahwa perintah gurunya tak mungkin bisa dilanggar, tak mungkin ia bisa bersahabat dengan pemuda itu, tapi entah mengapa secara diam-diam ternyata ia telah mengundang kehadiran pemuda itu.
Sesudah bertemu tadi, ia tak tahu bagaimana harus membuka pembicaraan tersebut, kemudian dikacau pula oleh Tang Bong liang serta Siau Kui yang menyebabkan pemuda itu segera mohon diri, kejengkelan demi kejengkelan yang diterimanya ini akhirnya menimbulkan kemarahan yang meluap, hanya saja ia tak tahu bagaimana cara pelampiasannya
Tiba-tiba air mata mengembang dalam kelopak matanya, dengan jengkel ia berseru, “Pergilah, pergilah, aku tak akan menahan mu!”
Sambil menjejakkan sepasang kakinya ke tanah, ia menerobos keluar lewat jendela, lalu tanpa memperdulikan kecengangan orang di sekitar jalan raya, ia kabur, secepat- cepatnya meninggalkan tempat itu.
Hoa In-liong sendiri meskipun tahu bahwa urusan itu tak ada sangkut paut dengannya, tapi sebagai seorang pemuda romantis, ia paling pantang kalau melihat ada perempuan menangis.
Baginya tangisan seorang gadis akan membuat perasaannya tidak tenteram, maka ketika dilihatnya Kok Gi pek kabur sambil menangis, tiba-tiba ia ikut mengejarnya sambil berteriak! “Nona Kok… !”
Tanpa memperdulikan pandangan kaget dari para pedagang dan rakyat yang berada di sekitar jalan raya, dua orang itu berlarian sambil mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya, untung kejadian tersebut tidak menimbulkan kepanikan sebab belakangan ini kota Si ciu memang sudah mulai terbiasa dengan adegan-adegan semacam itu.
Sebagaimana diketahui, ilmu silat yang dimiliki Hoa In-liong jelas lebih tangguh daripada kepandaian Kok Gi Pek, dalam dua tiga kali lompatan saja ia berhasil menyusul gadis itu.
Tiba-tiba Kok Gi pek berpaling sambil mendengus, “Mau apa kau susul diriku?” Sekalipun nada suaranya masih uring- uringan dan tak senang hati, toh langkah kakinya mulai mengendor.
“Ehmm…hawa amarahmu itu datang tanpa alasan,” batin Hoa In-liong dalam hati. Ia lantas berkata dengan lembut, “Nona, aku bermaksud untuk mengundang nona pindah ke rumah makan yang lain saja!”
Kok Gi pek segera berhenti, tegurnya dengan ketus, “Bukankah kau bermaksud untuk mohon diri?
Hoa In-liong ikut menghentikan tubuhnya ia menjawab sambil tertawa, “Aku kuatir nona tak mau memberi muka kepadaku, maka terpaksa kugunakan siasat ini agar berhasil.”
Dalam pada itu, Hoa In-liong berdua sedang berdiri di atas atap sebuah rumah, meskipun tempat itu letaknya jauh sekali dari jalan raya barat yang teramai, toh banyak juga manusia yang berlalu lalang disitu, tentu saja dengan pandangan tercengang mereka perhatikan sepasang muda-mudi yang berada di atas atap rumah itu.
Setelah rasa sedih dan kesalnya berkurang, Kok Gi pek baru merasakan bahwa tindakannya ini kurang baik, cepat ia melayang turun ke dalam kolong yang sepi diikuti Hoa In-liong dari belakang.
“Aku ingin mencari suatu tempat yang sepi dan terpencil” kata Kok Gi pek kemudian.
“Baik!” Hoa In-liong menyetujuinya sambil mengangguk, mau tempat yang terpencil tidak sulit, yang susah justru tempat yang sepi dan terlepas dari gangguan sebab biasanya makin terpencil tempat itu kemungkinan semakin gaduh suasananya…!”
“Tidak menjadi soal, bagiku asal jauh dari gangguan manusia-manusia yang menjemukan itu.”
Yang dimaksudkan sang gadis sebagai “manusia manusia yang menjemukan” itu jelas tak lain adalah para jago dari perkumpulan Hian-beng-kau.
Hoa In-liong segera tersenyum,
“Kalau begitu mari kita berjalan menelusuri jalan ini!” ajaknya.
Baru saja pemuda itu akan beranjak, tiba-tiba Kok Gi pek menarik ujung bajunya sambil berbisik.
“Eeeh…..jangan menuju ke arah sana!”
“Kenapa?” tanya Hoa In-liong sambil berpaling setelah tertegun sesaat lamanya. “Seingatku baru saja kita datang dari arah selatan, kalau sekarang kita menuju ke sana lagi bukankah sama artinya dengan berjalan balik ke tempat semula? Seharusnya kita menuju kemari.”
“Huuu… urusan sepele pun dibicarakan terus tidak ada hentinya,” pikir pemuda itu dalam hati. Maka sambil tersenyum katanya, “Baiklah, akan kuturuti kemauanmu…..”
Ia lantas putar badan dan menuju ke arah yang ditunjuk.
Sekulum senyuman secerah bunga yang baru mekar menghiasi wajah Kok Gi-pek, dengan wajah berseri-seri karena gembira gadis itu mengikuti dari sampingnya.
Lorong itu walaupun sempit tapi panjang dan lurus, kurang lebih setengah li sudah dilewati namun ujung jalan belum juga kelihatan.
Ko Gi pek mulai celingukan kesana kemari, akhirnya ia temukan sebuah warung mie ditepi jalan, segera ditariknya ujung baju Hoa In-liong sambil berbisik, “Bagaimana kalau di tempat ini saja?”
Hoa In-liong berpaling ke arah yang ditunjuk, ia saksikan warung mie itu gelap kotor dan sempit dengan alis berkernyit katanya.
“Buat aku sih tak menjadi soal…..”
“Kalau begitu kita bersantap disini saja!” tukas Kok Gi pek dengan cepat. Selincah burung walet yang terbang di angkasa, gadis itu melompat masuk ke dalam warung dan mencari tempat duduk.
Sudah barang tentu dalam keadaan begini tak ada pilihan bagi Hoa In-liong daripada mengikuti kehendak si nona dan masuk dalam warung.
Pemilik warung mie itu adalah seorang kakek yang wajahnya penuh keriput, ketika secara tiba-tiba ia saksikan dalam warungnya kehadiran sepasang muda-mudi yang cakep masuk, sesaat kemudian tertegun dan mengucak-ucek matanya berulang kali.
Semenjak kecil sampai tua belum pernah ia jumpai pemuda yang tampan dan gagah seperti ini belum juga menjumpai gadis yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan, tak heran kalau kakek itu melongo dan tak tahu apa yang meski dilakukan.
Setelah berada di dalam warung, Hoa In-liong jumpai warung tersebut gelap kotor, kecuali tiga buah meja kasar, hanya terdapat delapan buah bangku bambu, waktu itu tak seorang manusia pun bersantap disana.
Tapi Kok Gi pek tidak ambil perduli terhadap keadaan tersebut, ia mengambil dua buah bangku dan lantas duduk.
“Hayo duduklah!” ia berkata manja.
Hoa In-liong ikut duduk, kemudian katanya sambil tertawa, “Agaknya kau sudah jemu bersantap di rumah makan terkenal? Sehingga warung mie macam beginipun kau datangi.”
Kok Gi-pek tertawa. “Kau sendiri juga bukan untuk pertama kali bersantap di tempat semacam ini bukan?” katanya.
Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tidak. Sewaktu masih kecil dulu aku sering turun gunung, warung-warung kecil semacam ini banyak tersebar di sekitar bukit Im-tiong-san, bukan cuma satu kali saja aku bersantap di warung kecil semacam ini.”
“Tapi aku dengar perkampungan Liok-soat sanceng kalian kaya raya dan hartanya menandingi sebuah negeri, masa dirumah tak ada makanan sampai kau musti jajan di warung kecil?” kata Kok Gi pek sambil membelalakkan sepasang matanya.
Mendengar perkataan itu, Hoa In-liong segera tertawa terbahak-bahak.
“Haaaah….. haaah… haaah…… bandit-bandit kecil, gelandangan-gelandangan kecil yang hidup di sekitar bukit Im tiong san merupakan anak buahku semua, setiap hari kami selalu berkumpul dan main bersama, tentu saja komplotan manusia semacam kami tak pantas untuk jajan di sebuah rumah makan besar yang mentereng.”
Ketika mendengar cerita tersebut Kok Gi-pek seolah-olah membayangkan pula kebinalannya dikala masih kecil dulu, sekulum senyuman segera tersungging di ujung bibirnya.
Tiba-tiba ia merasa kakek pemilik warung itu sama sekali tidak menyapa mereka, sambil berpaling segera bentaknya!
“Hei, tauke! Ada tamu yang datang bersantap kenapa tidak kau perdulikan sama sekali.” Mungkin lantaran baru pertama kali ini warungnya dikunjungi sepasang muda-mudi secakep itu, si kakek pemilik warung menjadi takut untuk menyapa, apalagi maju mendekatinya.
Setelah ditegur oleh si nona yang cantik jelita bak bidadari dari kahyangan itu, dengan gelagapan baru katanya, “Siau loji… ”
“Soal yang lain tak usah dibicarakan lagi,” tukas Kok Gi pek sambil ulapkan tangannya, “disini ada makanan apa yang dijual?”
“Nona suka makan apa?” kakek itu balik bertanya setelah tertegun beberapa saat lamanya. Kok Gi pek kembali tertawa merdu.
“Makanan yang kusukai tak mungkin ada disini!” katanya. “Coba nona sebutkan, mungkin aku si tua bisa
mengusahakannya… ”
Kok Gi pek segera memutar biji matanya yang jeli, lalu jawabnya satu persatu, “Aku gemar makan Telapak tangan beruang, tonjolan daging punggung unta, bibir gorilla, ikan mujair bersirip empat dan masih beraneka macam masakan lainnya, apakah disini tersedia hidangan semacam itu?”
Diam-diam geli juga Hoa In Hong mendengar perkataan itu pikirnya, “Kalau dalam perjumpaan yang lalu ia tampak seperti searang gadis yang matang dengan segala tipu daya yang sempurna, maka sikapnya sekarang tak lebih dari seorang gadis remaja yang masih polos lucu dan binal lagi….” Tentu saja kakek itu terbelalak lebar matanya setelah mendengar nama nama hidangan yang termasuk mewah itu ia menjadi gelagapan sendiri, “Kalau ini…. kalau ini…”
“Makanya tak usah membicarakan yang muluk muluk” tukas Kok Gi pek sambil tertawa, “sebutkan saja nama-nama bakmi yang kau jual disini!”
Seperti baru saja mendapat pengumuman dari hukuman mati, buru-buru kakek itu menyebutkan semua nama bakmi yang dijual dalam warung itu.
Kok Gi pek termenung dan berpikir sebentar, kemudian sambil berpaling ke arah Hoa In-liong katanya, “Nama dari masakan bakmi lainnya tidak kupahami, cuma nama Yang cun mie saja…”
Tersenyum juga Hoa In-liong menyaksikan tingkah laku gadis itu, pikirnya.
Beginilah kalau di hari-hari biasa sebagai murid dari Hian- beng kaucu harus makan aneka macam hidangan yang lezat dan mewah, sehingga terhadap makanan yang sederhana dan umum tidak dipahami.” Maka katanya kemudian sambil tersenyum.
“Kalau Yang cun-pek-soat tentunya kau tahu bukan?” Kok Gi-pek tertawa geli.
“Oooh… jadi yang dimaksudkan Yangcun-mie adalah
bakmi putih? Baiklah, mari kita cicipi mie putih!” katanya.
Kemudian sambil menatap wajah Hoa In-liong dengan biji matanya yang jeli, gadis itu bertanya lagi lembut, “Kau sendiri suka makan apa?” Hoa In-liong tertawa. “Apa yang kau sukai akupun suka, mari kita bersama-sama mencicipi Yang cun-mie!”
Kok Gi-pek tertawa manis, ia lantas memberi tanda kepada kakek itu untuk membuatkan pesanannya.
Waktu itu tengah hari sudah menjelang tiba, tapi belum ada tamu yang bersantap disana, Hoa In-liong mencoba untuk menengok ke depan, ia temui belasan orang yang berada diluar warung sedang menengok ke-arah mereka berdua.
Perlu diterangkan disini, tungku tempat masak dari warung mie ini letaknya ada di dekat pintu masuk, waktu itu si kakek sambil menyiapkan mie sering kali harus menyapa pula rekan- rekannya.
Tiba-tiba muncul seorang laki-laki kekar yang menghampiri kakek itu, lalu membisik kan sesuatu disisi telinga.
Sebagai seorang jagoan yang berilmu tinggi, Hoa In-liong sempat mendengar orang itu sedang menyebutkan nama sendiri.
Benar juga, dengan terperanjat kakek itu menengok kembali ke arah tamunya, tanpa ia sadari perasaan kagum dan hormat segera muncul menghiasi wajahnya, sedang laki- laki tadi setelah membisikkan sesuatu segera mengundurkan diri kembali dari warung itu.
Hoa In-liong mengerti bahwa laki-laki yang berkerumun di muka warung mungkin adalah sekawanan rakyat kecil yang hidup melarat. Lantaran mereka menjumpai Hoa Ji kongcu berada disana, maka tak seorangpun yang berani masuk ke warung untuk makan bersama.
Sesungguhnya pemuda itu bermaksud untuk memanggil mereka masuk dan dan makan bersama, sehingga dagangan warung mie ini tidak terganggu tapi menyaksikan kegembiraan Kok Gi pek waktu itu ia menjadi tak tega. Pikirnya, “Persahabatan diantara kami mungkin hanya berlangsung kali ini saja…..”
Ai, kalau toh ia mengharapkan suasana yang tenang, lebih baik kubiarkan dia makan dengan tenang dan tenteram, asal kubayar lebih banyak untuk kakek ini urusan toh akan beres dengan sendirinya.”
Tak lama kemudian kakek itu sudah datang menghidangkan dua mangkuk mie sambil berdiri disamping, katanya agak tergagap, “Hoa ya, bakmi ini….bakmi ini…..”
“Soal ini tak usah kau urusi pergilah mengundurkan diri!” kata Hoa In-liong sambil ulapkan tangannya.
Kakek itu mengira sedang muda-mudi itu adalah sepasang kekasih yang sedang bercinta-cintaan dan tak ingin diganggu orang, cepat-cepat mengundurkan diri dari sana.
Kok Gi pek bersantap dengan nikmatnya, sedang Hoa In- liong ikut menyupit bakmi itu dan melalapnya beberapa kali, pikirnya kemudian, “Heran apa enaknya dengan bakmi ini…..”
Hubungan antara pria dan wanita memang sangat aneh dan ajaib, dikala tiada kecocokan meski hidangan lezat yang mahal harganya sukar rasanya ditelan, sebaliknya bila muncul bibit cinta, maka sekalipun makanan yang paling tak enakpun, kalau dimakan rasanya juga nikmat. Terdengar Kok Gi pek berkata dengan lembut, “Bagaimana rasanya?” “Ehm,…. lumayan juga!” jawab Hoa In-liong sambil tertawa.
Kok Gi pek seperti ingin mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan. Selang beberapa saat kemudian baru katanya lagi, “Apakah malam nanti kau bertekad untuk menghadirinya?”
Hoa In-liong tahu, yang dia maksudkan adalah undangan dari Kok See pian, katanya sambil tertawa, “Apa lagi yang musti kukatakan?”
“Aaaai….tahukah kau bahwa beberapa orang suteku, Beng Wi-cian serta Toan-bok See-liang mereka semua mendesak terus kepada guruku guna melenyapkan kau dalam perjamuan tersebut?” kata Kok Gi pek sambil tertawa.
“Lantas bagaimana pendapat gurumu?” tanyanya.
Guruku cuma tertawa tanpa menjawab, aku rasa keadaannya sangat gawat dan sangat membahayakan jiwamu, lebih baik kau jangan pergi kesana.
Hoa In-liong termenung sejenak, lalu katanya, Walaupun aku belum pernah bersua dengan gurumu, tapi dapat kuduga dalam perjamuan tersebut gurumu pasti akan menyambut ke datanganku dengan hormat dan sungkan.
Kok Gi pek menghela nafas panjang setelah mendengar perkataan itu, ujarnya kemudian.
“Kalau memang begitu kau harus berhati-hati!” Setelah berpikir sebentar, tiba-tiba katanya lagi, “Guruku berhasil meyakinkan sejenis tenaga pukulan yang mampu menyalurkan hawa beracun ke dalam isi perut lawan tanpa disadari oleh sang korban sendiri, daya kerja racun itu keras dan kuat. Dewasa ini belum ada tandingannya di dalam dunia…..”
“Aku tidak mempan terhadap segala jenis racun, jadi tak usah kuatir….” tukas Hoa In-liong sambil tertawa.
“Terhadap racun kau boleh tidak takut, tapi tenaga pukulan itu bisa menembusi lapisan pelindung badan yang bagaimana kuatnya, orang akan terluka isi perutnya tanpa ia sendiri menyadarinya.”
Setelah berhenti sejenak ia menambahkan sambil tertawa sedih, “Aaaai… padahal sesungguhnya tak boleh kuberitahukan segala sesuatunya kepadamu.”
“Nona tak usah kuatir, tidak akan memanfaatkan pemberitahuan nona itu bagi kepentingan ku!”
“Kau…!” seru Kok Gi-pek dengan kesal. Kepalanya segera ditundukan rendah-rendah dan mulutnya membungkam dalam seribu bahasa.
“Bagaimana kalau kita pergi?” kata Hoa In-liong kemudian sambil bangkit berdiri. Tanpa, mengucapkan sesuatu apapun Kok Gi-pek bangkit berdiri dan mengikuti pemuda itu keluar dari warung.
Sebelum pergi, Hoa In-liong meninggalkan sekeping uang perak ke atas meja sambil katanya, “Sobat-sobat diluar, kujamu kalian semua.” Hoa-ya, uangmu kebanyakan paling-paling cuma
beberapa rence yang tembaga ” seru kakek itu gugup.
Tapi sebelum ia menyelesaikan kata-katanya, Hoa In-liong sudah bertegur sapa dengan sekalian orang diluar warung, kemudian bersama Kok Gi-pek pergi meninggalkan tempat itu, sekejap kemudian bayangan tubuh mereka sudah lenyap di ujung lorong.
Beberapa saat kemudian, mereka berdua sudah keluar dari pintu kota selatan. Hoa In-liong segera berhenti sambil katanya.
“Selamat jalan nona, aku tidak menghantar lebih jauh!” Kok Gi-pek menghela napas panjang.
Aaaai… apakah kita masih boleh berkawan?” tanyanya.
“Sekarang bukankah kita sedang bersahabat?”
“Tapi bagaimana selanjutnya?” tanya Kok Gi pek sambil mendongakkan kepalanya.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir dalam hati, “Kalau gurumu bersikeras ingin membalaskan dendam bagi kematian gurunya, sudah barang tentu keluarga kami tidak akan membiarkan kau bertingkah sekehendak hatinya dimuka umum, dalam keadaan begini hubungan kita ibaratnya api dan air mana mungkin persahabatan ini bisa terjalin lebih jauh… ?”
Ketika berpikir sampai disini, ia sudah akan membuka suara untuk memberi jawaban akan tetapi ketika dilihatnya Kok Gi pek dengan sepasang biji matanya yang bening dan jeli sedang menatapnya tajam-tajam bahkan tubuhnya yang ramping kelihatan agak gemetar, pemuda itu menjadi ragu untuk melanjutkan kata-katanya.
Karena itu setelah termenung dan berpikir sejenak, sahutnya sambil tertawa, “Asal kau tak ingin membunuhku, tentu saja kita boleh bersahabat terus untuk selama-lamanya.”
Sungguh lega perasaan Kok Gi pek ia tertawa manis.
Jago-jago lihay dari perkumpulan kami sebagian besar berkumpul dalam sebuah gedung besar lebih kurang belasan li di kota bagian selatan,” bisiknya lirih, “sedangkan jago yang berada dalam tingkatan kedua berkumpul dalam sebuah gedung dekat kota, jika dalam surat undangan tidak dicantumkan alamatnya itu berarti perjamuan akan diselenggarakan dalam gedung yang agak jauh letaknya dari kota, cuma…..yaa dalam perjamuan itu mungkin aku tidak ikut munculkan diri.”
Hoa In-liong tersenyum.
“Aku sendiripun tak ingin berjumpa dengan kau dalam suasana dan keadaan seperti itu,” katanya pula.
Sambil putar badan ia maju beberapa langkah, tapi ia berpaling kembali, dan dilihatnya Kok Gi pek masih berdiri di tempat semula sambil memandang bayangan punggungnya dengan termangu-mangu.
Hoa In-liong ulapkan tangannya bermaksud agar nona itu cepat pergi, siapa tahu bagaikan burung walet yang kembali ke sarangnya, Kok Gi-pek malahan menerjang kehadapannya sambil memanggil. “In-liong…”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Bolehkah aku memanggil namamu dengan sebutan tersebut?” Hoa liong manggut-manggut. “Ada apa?” ia bertanya.
Kok Gi-pek tertawa jengah, agak tergagap ia menjawab, “Oooh…tidak apa-apa…”
Hoa In-liong tertawa lebar, dan segera putar badan meninggalkan tempat itu, pikirnya Kalau begini terus-terusan pasti tiada akhirnya.
Rasa cintanya terhadap Kok Gi-pek boleh dibilang tersendat-sendat dan tidak berani berlangsung secara bebas, bukan saja ia teringat kembali akan diri Coa Wi-wi, pemuda itupun menyadari bahwa permusuhan antara keluarga Kok dan keluarga Hoa cepat atau lambat pasti akan berakhir, sekalipun menu-rut anggapannya cinta adalah cinta, dendam adalah dendam dan satu sama lainnya tak bisa dipersatukan, namun dia cukup mengerti pandangannya belum tentu bisa sama dengan pandangan orang.
Baginya untuk melukai hati seorang gadis secantik itu bukan menjadi wataknya, maka sebelum segalanya terlanjur dia harus bertindak lebih berhati hati lagi.
Sementara masih berpikir, tahu-tahu ia sudah tiba dimuka rumah penginapan, waktu itu Coa Cong-gi dan Yu Siau-Lam sekalian telah keluar rumah, sedangkan Ho Keh-sian, Kok Hiong-seng dan beberapa orang kakek tetap tinggal disana.
Dengan suara lantang Hoa In-liong segera berteriak, “Empek Ho, saudara Siau-lam sekalian telah pergi kemana?” Dengan kening berkerut, kata Ho Keh-sian, “Karena sampai tengah hari kau belum pulang juga, mereka merasa tak tenang dan segera keluar rumah untuk mencarimu.”
Hoa In-liong tertawa.
Kesetiaan kawan mereka sangat terpuji, cuma mereka lupa, bahwasanya aku bukan seorang manusia yang gampang dipecundangi orang.
Setelah berhenti sejenak, kembali tanyanya, “Apakah orangnya Cia Yu-cong sudah datang?”
Ho Keh-sian manggut-manggut.
“Menurut orang itu, setelah dua orang anggota Hian-beng- kau diikuti secara diam-diam, dapat diketahui bahwa mereka masuk ke dalam sebuah gedung kurang lebih beberapa li diluar kota sebelah timur”
Sambil tertawa Hoa In-liong gelengkan kepalanya berulang kali.
“Tempat itu bukan gedung yang dihuni Kok See-piau, sebab mereka berada sepuluh li di selatan kota.”
“Hei, mengapa kau singgung pula soal Kok See-piau si bajingan tengik itu?” tegur Ho Keh-sian keheranan.
“Kini Kok See-piau telah menjadi seorang gembong iblis yang mengerikan, ia menyebut dirinya sebagai Kiu ci Sinkun, setelah mendirikan Perkumpulan Hian-beng-kau, ia dipanggil orang sebagai kaucu!” “Aaaah… mana si bajingan tengik itu sudah berhasil mencapai kelihaian yang sedemikian hebatnya?” seru Ho Keh- sian dengan perasaan amat terkejut.
Sebagaimana diketahui, sewaktu jaman jaya-jayanya perkumpulan Sin ki-pang, pek Siau thian mempunyai hubungan persahabatan yang akrab sekali dengan Bu-liang sinku.
Dalam masa-masa tersebut Kok See-piau sering kali berkunjung ke bukit Tay-pa-san sebagai tamu agung, tidak heran kalau semua anggota Sin-ki Pang kesal dengannya.
Diantara sekian banyak orang, cuma Kok Liong seng seorang yang tidak menunjukkan reaksi apa apa, karena dia yang jarang terjun dalam dunia persilatan tidak mengenali siapakah Kok See-piau itu.
Kedengaran Si Jin-kiu berkata dengan dingin, “Semua saudara-saudara kami telah dikumpulkan untuk berjaga diluar perkampungan, bila gelagat tidak menguntungkan nanti, kami siap untuk menyerbu ke dalam guna memberi bantuan.”
“Perkataan dari Si lote betul juga…..”
Ho Keh-sian manggut-manggut. “Dendam kesumat Kok See-piau terhadap keluarga Ji kongya memang menumpuk bagaikan sebuah bukit, dari pada Liong sauya pergi seorang diri, memang ada baiknya kalau mempersiapkan bala bantuan diluar gedung, siapa tahu kalau waktu itu tenaga kami sangat dibutuhkan?”
Hoa In-liong tertawa.
“Empek sekalian jangan terlalu pandang rendah dirinya. Kok See-piau yang sekarang berbeda de-ngan Kok See-piau dulu, cukup dilihat dari ambisinya yang setinggi langit dapat diketahui bahwa manusia ini tak bisa diangap enteng.”
Kok Hong seng tertawa terbahak-bahak, dia ikut menimbrung, “Haaah…..haaah…..haaahh…… sungguh tak kusangka Han beng kaucu berasal satu marga denganku. Wah…. kalau begitu aku musti berkenalan lebih akrab lagi dengannya.”
Tentu saja yang dimaksudkan sebagai “perkenalan yang lebih akrab” adalah suatu tantangan untuk berduel dengan Kok See-piau.
Sementara semua orang masih berseloroh tiba-tiba terdengar suara langkah manusia berkumandang dari luar ruangan, manusianya belum muncul suara dari Coa Cong gi sudah berkumandang dengan lantang.
“Hai permainan setan apa yang sesunggunya sedang kau lakukan? Bukankah sudah dibilang hanya pergi ke rumah makan sebentar? Kemana lagi kau pergi?”
Dengan langkah lebar ia masuk dulu ke dalam ruangan dikuti Yu Siau Lim, Li Poh seng dan Kok Siong-peng.
“Dalam kepergianku kali ini berhasil kuketahui asal usul dari Hian-beng kaucu, dan kalian?” kata Hoa In-liong.
Coa Cong-gi tertegun mendengar perkataan itu, segera serunya, “Siapakah bajingan keparat itu? Cepat beritahukan kepada kami!”
Dengan ogah-ogahan Hoa In-liong menggeliat, lalu katanya, “Lebih baik tanyakan sendiri kepada congkoanmu, karena dia adalah sanak keluarganya Kok congkoan!” Dengan mata melotot besar Coa Cong-gi segera berpaling, kepada Kok Hong-seng segera teriaknya, “Bagus sekali! Hei Kok congkoan! Tak ku sangka kalau kau adalah anak keluarganya gembong iblis itu.”
Tentu saja keadaan ini menggelisahkan Kok Hiong-seng, ia benar-benar di bikin runyam mau tertawa tak bisa mau menangis pun sungkan.
“Eeeh………eeeh….nanti dulu, nanti dulu, walaupun gembong iblis itu berasal dari marga Kok tapi bukan sanak keluargaku. Ji-kong cu cuma bergurau saja.”
Hoa In-liong tetap tenang-tenang saja walaupun melihat kepanikan orang, seakan akan tak pernah terjadi sesuatu ia lantas memberi hormat sambil berkata, “Untuk menghadapi pertemuan magrib nanti, aku membutuhkan tenaga dan kondisi badan yang baik, maaf kalau aku muski pergi beristirahat lebih dulu…….”
Selesai berkata dia lantas meninggalkan ruangan itu kembali ke kamarnya sendiri, dimana ia duduk bersemedi sambil mengatur pernapasan, ia cukup tahu betapa seriusnya pertemuan magrib nanti, maka persiapan yang dilaksanakan tak berani dilakukan secara gegabah.
Rekan-rekan lainnya tak ada yang berani mengganggu ketenangan pemuda itu, mereka semua berkumpul di ruang depan untuk merundingkan cara yang terbaik dalam melindungi keselamatan pemuda tersebut.
Ketika Hoa In-liong membuka matanya kembali, sore telah menjelang tiba, ia mendengar suara dari Beng Wi thancu dari ruang Thian ki di dalam perkumpulan Hian-beng-kau sedang berkumandang diluar, maka bergegas ia keluar dari kamarnya. Ketika Beng Wi-thancu menjumpai kemunculan anak muda itu, ia segera memberi hormat sambil berkata, Waktu sudah tidak pagi lagi, bagaimana kalau sekarang juga kita melakukan perjalanan?”
“seharusnya memang demikian!” jawab anak muda itu.
Dengan sorot matanya yang tajam Beng Wi-cian menyapu sekejap kawanan jago yang berada di sekeliling tempat itu, lalu kembali berkata, “Begini banyak sahabat Hoa kongcu yang berkumpul disini, mau berangkat bersama ataukah kau hendak penuhi undangan tersebut seorang diri?” Coa Cong gi segera membuka mulutnya seperti hendak mengucapkan sesuatu, tapi niat itu kemudian dibatalkan.
Hoa In-liong lantas menduga bahwa mereka sudah mempunyai rencana tertentu, sebab kalau tidak demikian, dengan waktu Coa Cong gi yang berangasan mana mungkin ia bisa menahan diri?
“Tentu saja aku berangkat seorang diri!” katanya kemudian.
“Kalau begitu, silahkan!” kata Beng Wi cian sambil mengelus jenggotnya dan tertawa, ia melangkah lebih duluan meninggalkan ruang tersebut.
sebelum berangkat tiba-tiba Hoa In-liong berpaling dan katanya dengan wajah bersungguh sungguh, “Empek Ho, aku harap kalian jangan berjaga jaga diluar gedung, sebab kalau sampai ketahuan mereka, tentu mereka akan mentertawakan orang-orang keluarga Hoa kami yang dinilainya sebagai penakut semua.” Ho Kek sian yang mendengar perkataan itu menjadi tertegun, baru saja ia hendak mengucapkan sesuatu, Hoa In- liong sudah pergi jauh.
Setelah keluar dari rumah penginapan, ia jumpai ada beberapa orang anggota Hian-beng-kau sedang menuntun kuda, salah seekor diantaranya berbulu hitam pekat dan sama sekali tak ada campuran warna lain, dari kepala sampai keekor panjangnya satu koma dua tombak, tinggi besar dan kekar sekali, jelas seekor kuda jempolan.
“Kuda bagus!” puji Hoa In-liong tanpa sadar.
Wu-im-kay soat (awan hitam menyelimuti salju) ini adalah kuda mustika kesayangan kaucu kami,” demikian Beng Wi cian menerangkan, “oleh karena Hoa kongcu adalah seorang yang terhormat, sengaja kami jemput kedatangan kongcu dengan kuda ini. Dari sini bisa diketahui bahwa kaucu kami sangat menaruh perhatian terhadap diri Hoa kongcu.”
Hoa In-liong coba memperhatikan kuda itu dengan seksama, betul juga keempat buah kakinya putih mulus bagaikan salju, maka ia cuma tersenyum belaka tanpa mengambil komentar, dengan enteng tubuhnya melompat ke atas punggung kuda itu.
Pada umumnya kuda mustika semacam ini hanya kenal dengan majikannya, barang siapa berani mendekatinya dia selalu berontak dan berusaha melemparkan orang asing itu dari punggungnya.
Begitu juga halnya dengan kuda ini, baru saja Hoa In-liong melompat ke atas punggungnya, kuda itu segera meringkik panjang, sepasang kaki depannya diangkat ke atas, punggungnya disentakkan ke belakang dan berusaha melemparkan tubuh Hoa In-liong ke udara. Ringkikan panjang itu cukup nyaring dan menggetarkan selaput telinga, kontan saja para penjalan kaki yang berada di sekitar tempat itu mengundurkan diri ke belakang, rupanya mereka kuatir jika kuda tersebut mengumbar sifat liarnya.
Wu-im-kay-soat atau awan hitam menutupi salju adalah sejenis kuda jempolan yang langka di dunia ini, biasanya jika ia sedang marah maka kuda kuda lainnya akan menjadi ketakutan dan pada kabur dengan badan bergemetaran.
Diam-diam Beng Wi cian tertawa sinis, pikirnya, “Akan kulihat dengan cara apa kau hendak menaklukan kuda ini…..”
Haruslah diketahui, bagi orang-orang yang berilmu silat tinggi bukan menjadi masalah Untuk menundukkan kuda macam “Wu im kay soat” ini kendatipun kuda itu lebih hebat beberapa kali lipat, cuma untuk menaklukan secara manis bukanlah suatu perbuatan yang gampang, apalagi di tengah kota yang ramai, apalagi kuda itu sampai melukai orang sudah pasti Hoa In-liong akan merasa kehilangan muka.
Siapa tahu Hoa In-liong memang sudah menduga maksud busuk orang-orang itu, menaklukan kuda bukan sesuatu yang aneh bagi pemuda ini, apalagi dirumahnya terdapat pula “Liong ji” sejenis kuda berkeringat darah yang lebih susah ditaklukkan maka menaklukkan kuda liar bagi Hoa In-liong adalah suatu pekerjaan yang bisa dengan pengalaman yang matang.
Maka begitu badannya melayang turun di atas pelana, sepasang kakinya segera menjepit perut kuda itu keras-keras, hawa murnipun disalurkan untuk memberatkan bobot tubuhnya. Dengan berbuat demikian, maka kuda “Wu im-kay soat” tersebut segera merasakan punggungnya seperti ditindih dengan bukit karang yang berat sekali, sekalipun ia sudah berusaha untuk meronta kesana kemari dan mencoba untuk melemparkan penumpangnya ke udara, usahanya itu selalu gagal total.
Lama kelamaan rupanya kuda itu mulai sadar bahwa orang yang dihadapinya cukup tangguh, sambil meringkik panjang ia lantas berusaha menerjang maju ke depan.
Apabila kuda “Wu im kay soat” tersebut sempat menerjang ke muka secara kalap, tak bisa dihindari lagi tentu banyak orang yang akan terluka terlanggar kakinya, suasana seketika menjadi gempar dan semua orang melarikan diri tercerai berai.
Disaat saat yang paling kritis itulah, Hoa In-liong melompat turun ke atas tanah, dengan sepasang tangan-nya yang kuat ia memeluk tengkuk kuda itu lalu ditekannya ke bawah.
Dengan marah kuda Wu im kay soat memberontak, kakinya dijejakkan kesana kemari sambil meronta dengan sepenuh tenaga, pasir dan debu sampai beterbangan memenuhi angkasa tapi tubuhnya tak bisa berkutik.
Selang beberapa saat kemudian suara ringkikan kuda “Wu im kay soat” makin melemah, Hoa In-liong segera membentak keras, “Binatang! Kau belum juga mau takluk?”
Diam-diam hawa murninya diperbesar dua bagian kuda Wu im kay soat itu meringkik panjang lalu tak berkutik lagi dengan kepala yang digoyang goyangkan dan ekor yang dikebaskan kesana kemari binatang itu menunjukkan sikap mohon belas kasihan. Setelah berada dalam keadaan begini tempik sorak mulai menggelegar dari empat penjuru semua orang pada bertepuk tangan sambil memuji tiada hentinya.
Diam-diam Beng Wi cian pun merasa sangat kagum, sambil mengelus jenggotnya dan tertawa ia berkata, “Tenaga dalam yang dimiliki Hoa kongcu benar-benar mengagumkan, kecuali kaucu kami belum pernah ada orang kedua yang sanggup menaklukkan kuda jempolan ini semudah sekarang ini.”
Dengan muka yang tidak merah, nafas tidak tersengkal kata Hoa In-liong dengan hambar, “Kepandaian macam begitu bukan terhitung kepandaian jempolan, harap jangan kau tertawakan.”
Beng Wi cian tidak banyak berbicara lagi ia lantas naik ke atas kudanya diikuti beberapa orang anggota Hian-beng-kau yang lain kemudian mereka bersama-sama berangkat ke luar dari kota selatan.
Hoa In-liong jalan bersanding dengan Beng Wi cian, sesaat kemudian sampailah mereka di depan sebuah gedung.
Gedung itu besar sekali dan berdiri di tengah hutan yang lebat, meskipun luas bangunannya tidak mentereng, jauh berbeda dengan gedung-gedung yang biasa dihuni oleh kaum hartawan.
Waktu itu pintu gerbang terbuka lebar, sepanjang jalan dari pintu gerbang sampai di luar ruang tengah, kedua sisi jalannya penuh berdiri dengan laki-laki berbaju ungu yang menyandang golok, jumlah mereka mencapai tiga puluh orang lebih.
Kawanan jago itu berbaris sangat rapi, masing-masing membawa sebuah obor yang diangkat tinggi tinggi sehingga suasana dalam gedung terang benderang bagaikan di tengah hari.
Sekalipun demikian, suasana tetap tenang dan tak kedengaran sedikit suarapun, dibalik kehening-an lamat-lamat terselip pula hawa pembunuhan yang mengerikan.
Ketika Hoa In-liong melompat turun dan kudanya, seorang anggota Hian-beng-kau segera maju menyambut tali les kudanya.
00000O00000
Bab 41
Silahkan masuk Hoa kongcu kata Beng Wi-cian kemudian sambil memberi hormat, “kaucu Kami sudah menunggu semenjak tadi.”
Sambil tersenyum Hoa In-liong melangkah masuk ke dalam ruangan.
Laki-laki kekar yang berdiri dikedua belah sisi jalan itu segera teriak bersama, “Hoa kongcu tiba……”
Tenaga dalam yang dimiliki lima enam puluh orang ini rata- rata cukup sempurna, apalagi berteriak secara serempak, hebatnya melebihi guntur yang membelah bumi di siang hari bolong sungguh memekikkan telinga.
Tapi Hoa In-liong tetap tenang, terpengaruh barang sedikitpun tidak dia malah bersikap seakan-akan tak pernah menyaksikan sesuatu apapun, sementara dalam hati kecilnya ia berpikir, “Hian-beng-kau merupakan suatu organisasi yang lain dari pada yang lain dengan perkumpulan lainnya dalam dunia persilatan, tak mungkin rasanya mereka akan mencoba musuhnya dengan menggunakan barisan golok atau sebangsanya….”
Sementara masih melamun, ia sudah tiba di depan ruangan besar, tampaklah seorang laki-laki berjubah panjang warna merah memelihara jenggot bercabang tiga, bermuka putih tapi keren berdiri dibarisan terdepan.
Meskipun ia cuma berdiri biasa, namun sorot matanya yang melebihi ketajaman burung elang itu cukup membuat orang melihatnya menjadi ngeri dan bergidik.
Hoa In-liong segera mengerti, kecuali Kok See-piau sedang mengamati wajah Hoa In-liong dari ujung rambut sampai ujung kakinya, sinar mata itu buas dan mengandung nada kebencian, sampai Hoa In Hong yang tersohor karena keberaniannya ikut bergidik juga jadinya.
“Sungguh tak kusangka rasa bencinya terhadap keluargaku sudah mencapai tingkatan sedemikian hebatnya…..” demikian ia berpikir.
Cepat cepat ia pusatkan kembali seluruh perhatiannya, lalu setelah memberi hormat katanya, “Aku yang muda Hoa In- liong khusus datang untuk menyambangi siokun.”
Ia menyebutkan dengan kata “siukun” bukan kaucu, hal ini dikarenakan dibalik ucapan itu masih terkandung maksud lain yakni ia sudah mengetahui asal usul dari Kok See-piau.
Tiba-tiba Kok See-piau tertawa terbahak-bahak lalu katanya,
“Haaah…haaahh,…haaahh…,betul juga, kalau ayahnya harimau anaknya tentu ikut harimau, sungguh gembira aku orang she Kok menyaksikan sobat lamaku bisa mempunyai keturunan sehebat ini
Dengan hormat ia mempersilahkan masuk.
Dengan tenang Hoa In-liong mengikuti dibelakangnya masuk ke dalam ruangan, sementara dihati kecilnya merasa terkejut sekali atas ketenangan serta kelicinan Kok See-piau.
Kalau suasana diluar ruangan tadi jelek, tua dan tak sedap dilihat maka suasana dalam ruangan itu berputar 180 derajat, bukan saja tiang-tiangnya terdiri dari tiang besar dengan ukiran yang indah, lampu keraton merah darah yang halus melapisi permukaan lantai, bukan begitu saja, alat-alat makan dan minum yang tersedia di meja perjamuan rata-rata indah dan mahal harganya, mungkin suasana itu lebih mewah dari keraton kaisar.
Setelah Hoa In-liong dan Kok See-piau masing-masing mengambil tempat duduk, kawanan jago lainpun ikut menempati kursinya masing-masing, diantara sekian banyak orang hanya delapan orang pemuda yang berdiri dibelakang Kok See-piau, empat diantaranya adalah para Ciu Hoa yang pernah dijumpai Hoa In-liong, jadi jelas mereka semua adalah murid-muridnya Kok See-piau.
Seperti apa yang pernah dikatakan Kok Gi pek, ternyata dalam perjamuan ini dia benar-benar tidak menampakkan diri tapi Toan-bok See-liang, Beng Wi-cian serta Tang Bong-liang ikut hadir dalam ruangan.
Terdengar Kok See-piau berkata, “Hoa kongcu, kau cerdas hebat dan luar biasa, sekalipun aku orang she Kok berusaha untuk merahasiakan jejaknya, rupanya hal ini tak mungkin bisa mengelabui dirimu……” Ketika berbicara sampai disitu, ucapannya terhenti sejenak dan ditatapnya wajah anak itu tajam-tajam.
“Hebat benar orang ini pikir Hoa In-liong dihati kecilnya.
Sambil tertawa dia lantas berkata, “Jejak Sinkun amat rahasia dan susah dicari, akupun musti melacaki sedikit demi sedikit, setelah melakukan penyelidikan sekian lama cuma garis besarnya saja yang bisa ku ketahui.”
“Kalau begitu, permusuhan antara aku Orang she Kok dengan pihak ayahmu pasti sudah Hoa kongcu ketahui dengan jelas bukan?” kata Kok See-piau lagi pelan-pelan.
Hoa In-liong segera mengerutkan dahinya, “Apakah Sinkun hendak menggunakan kesempatan ini untuk melakukan penyelesaian atas hutang-hutang lama kita?”
“Hmm…….jangan kau pandang begini rendah karakter aku orang she Kok………”
Hoa In-liong tidak berbicara lagi, sinar matanya segera dialihkan mengamati sekejap orang-orang yang berada di sekelilingnya.
Ia menyaksikan orang pertama yang duduk di sebelah kiri Kok See-piau adalah seorang kakek tinggi besar berjubah panjang, disampingnya adalah kakek berambut keperak- perakan dan berwajah merah seperti bayi, sebaliknya Toan bok See liang sebagai Cong thamcu dan Beng Wi cian dari Thian ki thamcu rupanya bukan termasuk manusia manusia penting, ini terbukti dari tingkat kedudukan mereka yang rendah.
Diam-diam terkejut juga anak muda itu, segera pikirnya, “Kalau dilihat dari pancaran sinar mata mereka, jelas orang- orang itu adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, padahal yang datang sekarang cuma segelintir manusia belaka..,…”
Berpikir sampai disitu, sambil tersenyum ia lantas berkata, “Aku yakin semua orang yang hadir di tempat ini sekarang adalah kawanan jago yang berilmu tinggi, sayang yang bodoh dan tidak mengenali mereka satu persatu, dapatkah Sinkun memperkenalkan mereka kepada ku…….?”
“Seharusnya memang demikian!” sahut Kok See-piau sambil mengangguk berulang kali.
Tiba-tiba kakek nomor satu di sebelah Kok See-piau itu menyela dari samping, “Sinkun, maafkanlah daku, harap nama hamba jangan disebutkan dihadapan orang lain.”
Kok See-piau segera mengangguk.
“Pun Sinkun dapat memahami maksud hati dari Hu-kaucu!”
Ia lantas berpaling sambil berkata lebih lanjut, “Setelah Hu kaucu kami memberi pertanyaan yang keberatan jika namanya disebutkan, Pun Sinkun tak bisa memaksa lebih jauh, harap Hoa kongcu bisa memakluminya.”
Tiba-tiba Hoa In-liong bangkit berdiri dan menjura kepada kakek itu, katanya, “Ga bu kaucu, masa cuma nama pun mesti di rahasiakan? Apakah aku Hoa Yang memang belum pantas untuk mendengar nama mu?”
Setelah mengucapkan kata-kata tadi, si kakek yang dipanggil sebagai “Wakil ketua” tadi pejamkan kembali matanya dan duduk tak berkutik.
Tapi sekarang tiba-tiba saja matanya melotot besar dan memancarkan sinar mata setajam sembilu, ditatapnya Hoa In- liong sekejap, kemudian katanya, “Nama besar Hoa kongcu memang bukan cuma kosong belaka, untuk mengetahui nama margaku saja tidak banyak anggota perkumpulanku yang mengetahuinya……”
Setelah berhenti sejenak, ia menambahkan, “Aku bernama Go Tang-cwan!”
Selesai berkata kelopak matanya terpejam, kembali dan sinar tajampun seketika lenyap tak berbekas.
Hoa In-liong segera berpikir, “Manusia yang bernama Go Tang-cwan ini pastilah suaminya Thia Siok-bi kemungkinan besar lantaran ia menggabungkan diri dengan perkumpulan Hian-beng-kau, dalam jengkelnya I hia losianpwe lantas mengasingkan diri menjadi pendeta.”
Dalam pada itu Kok See-piau telah menuding kakek bermuka merah seperti bayi itu sambil memperkenalkan, “Dia adalah Lau-san-in-siu (pertapa sakti dari bukit Lau-san)!”
Mendengar nama itu, Hoa In-liong seperti merasakan hatinya bergetar keras dengan cepat ia memberi hormat seraya berseru, “Ooooh… rupanya Ui Shia-ling Locianpwe,
sudah lama kudengar akan nama besarmu.”
Lau san in sia Ui Sin Ling sambil tersenyum segera balas memberi hormat..
“Hoa kongcu masih muda belia tapi sangat lihay dan tersohor sampai dimana mana, sudah lama aku pun mengagumi nama besarmu!”
Hoa In-liong tersenyum. “Aku lihat rupanya ketenangan Ui locianpwe dalam pertapaan sudah mulai terganggu?” sindirnya.
Pertapa sakti dari bukit Lau san Ui Shia ling cuma tertawa tawa dan tidak memberi komentar apa-apa.
Ketika Hoa In-liong menyaksikan sindirannya tidak mendapatkan reaksi apa apa, segera sadarlah anak muda itu bahwa Lau san in sia Ui Shia ling adalah seorang manusia yang sukar dihadapi.
Menyusul kemudian secara beruntun Kok See piku memperkenalkan pula tiga orang jagoan tangguhnya, yakni seorang iman tua berjilbab kuning yang bernama “Ci Siau cu”, dan dua orang iman tua berjubah hitam yang tampaknya seperti bersaudara sebagai Im san siang koay (sepasang manusia aneh dari bukit Im san), jelas mereka adalah o-rang orang yang berasal dari luar perbatasan.
Empat orang sisanya adalah Cong thamcu dari Hian-beng- kau, Thamcu dari Ruang langit serta bumi, lalu Toan bok See liang dan akhirnya adalah Beng Wi ciau.
Hoa In-liong sudah mengetahui bahwa Tang Bong liang adalah Thumcu dari ruang Jin tham, sedang yang seorang lagi seorang kakek kurus kering adalah Thamcu dari ruang Tee tham yang bernama Cui Heng.
Diam-diam Hoa In-liong berpikir, “Kalau ditinjau dari segala sesuatu yang tertera di depan mata sekarang, tampaknya kekuatan yang dimiliki Hian-beng-kau jauh di atas kekuatan dari Kia im kau maupun Mo kau, aku tak boleh gegabah dan musti bertindak sangat hati hati… ”
Setelah ucapan perkenalan selesai, dengan lantang Hoa In- liong berkata, “Malam ini, aku Hoa Yang bisa berkenalan dengan sekian banyak jago tangguh dari perkumpulan saudara, hal ini sungguh merupakan suatu kebanggaan bagi diriku, cuma kalau boleh aku ingin tahu ada maksud apa Sinkun mengundang kehadiranku ini?”
“Sesungguhnya tak ada urusan lain, cuma kalau toh Hoa kongcu telah berkata demikian, Pun Sinkun ingin mengungkapkan tentang suatu persoalan kecil.”
“Harap Sinkun terangkan!” Kok See-piau tertawa berat.
“Tahukah Hoa kongcu, julukan Sinkun yang kugunakan sekarang ini berasal dari siapa?”
Hoa In-liong segera tertawa ringan.
“Sejak dulu sampai sekarang hanya ada Kiu-ci Sinkun seorang dalam dunia persilatan. Tentu saja aku tahu,” jawabnya.
Kembali Kok See-piau tertawa dingin.
Heeehh……heeehh…..heeehh………kalau aku orang she-Kok bisa mewarisi ilmu silat mendiang guruku, apakah hasil karya dari mendiang guruku boleh juga Pun Sinkun teruskan?
Sebagai muridnya, tentu saja hasil karya dari mendiang gurunya boleh dipergunakan.
Diluar ia berkata demikian, sementara dalam hati kecilnya diam-diam tertawa dingin.
Heeeh…heeehh….heeeh ….padahal semua orang tahu, obat mustika maupun kitab pusaka yang dimiliki Kiu ci Sinkun didapatkan dari hasil merampok sungguh tak kusangka kau Kok See-piau begitu tebal muka dan mengaku barang barang itu sebagai hasil karya gurunya…..Huuh, sungguh tak tahu malu.
Sementara ia masih termenung, Kok See-piau telah berkata lagi, “Kalau memang kau telah berkata demikian, maka aku ingin bertanya kepadamu, konon sebuah tempat alas duduk guruku yang terbuat dari kemala kini berada di rumahmu, dapatkah Sinkun men dapatkannya kembali,
Hoa In-liong bukan orang bodoh, tentu saja ia dapat menangkap nada sindiran yang terkandung di balik perkataan itu, dimana seolah olah Kok See-piau mencemooh keluarga Hoa yang dikatakan telah mencuri barang milik orang,
“Haaah…,haaahh…..haaahh„..Tentu saja setiap waktu Sinkun dapat memperolehnya kembali, cuma aku kuatir kalau terlampau berat!”
Ciu Hoi lotoa yang berdiri dibelakang Kok See-piau tiba-tiba menyela dengan ketus”
“Hmmm… sebuah alas duduk kemala sekecil itu masih lebih berat dari sebuah bukit Thay san? Hakekatnya kau sedang mengaco belo tak karuan…
Hoa In-liong tidak menjawab, dia hanya memandang ke arah Kok See-piau sambil tersenyum.
Dengan suara yang menggeledek Kok See-piau Segera membentak, “Disini tak ada kesempatan bagimu untuk ikut menimbrung tahu? Tutup bacotmu!” Ketika menyaksikan gurunya naik darah, Ciau Hoa lotoa segera menutup mulutnya dan tak berani berbicara lagi, dia hanya melotot ke arah Hoa In-liong dengan gemasnya.
Paras muka Kok See-piau kembali berubah menjadi tenang kembali, ia tertawa tawa.
“Aku tahu, jago tangguh yang berkumpul dalam gedung rumahmu sangat banyak tak terhitung jumlahnya, apalagi ilmu silat ayah mu memang tidak tandingannya dikolong langit, tentu saja alas duduk kursi itu tak mungkin bisa diangkut oleh siapapun juga.”
Dengan pengakuannya yang berterus terang bahwasanya ia tak mampu mengangkut alas duduk kumala sebagai “Yang dipertuan dalam dunia persilatan” itu, sama pula artinya bahwa di dunia persilatan dewasa ini tak ada yang mampu menandingi kelihayan keluarga Hoa, kontan saja ke delapan orang menunjukan rasa tidak puas, cuma mereka tak berani ikut ambil bicara
Hoa In-liong mulai menyadari bahwa bekas murid Bu Liang siokun dan Kini menjadi Kui ci sin-kuo ini hakekatnya memang seorang pemimpin yang hebat dalam dunia persilatan, jauh berbeda dengan bayangannya semula sebagai seorang siaujin yang sok bergaya dan sombongnya luar biasa.
Kewaspadaan semakin dipertingkatkan dalam benaknya sambil tertawa ia lantas berkata,
“Yang Kumaksudkan bukanlah demikian!”
“Oooh…..Lantas bagaimanakah yang kau maksudkan? Pun Sinkun merasa tidak habis mengerti,” kata Kok See-piau sambil tertawa. Hoa In-liong mengerutkan dahinya, lalu setelah termenung sebentar katanya dengan lantang, “Tahukah Sinkun bahwa hati manusia di dunia ini lebih berat dari jagad….?”
Paras muka Kok See-piau agak membesi sesudah mendengar perkataan itu, lama sekali ia cuma membungkam diri tanpa mengucapkan sepatah katapun…..
Tiba-tiba Ciu Hoa kedelapan yang berada dibelakang Kok See-piau tertawa katanya, “Heehh……. heeeh……..
heeeh… kalian orang-orang dari keluarga Hoa tidak lebih
cuma segerombolan manusia munafik yang pura-pura berhati mulia, dengan kebijaksanaan dan kegagahan yang palsu kalian membohongi rekan persilatan dalam dunia agar memihak kalian, apanya yang patut dibangga-kan dengan perbuatan semacam itu?”
Hoa In-liong berpaling, ia lihat Ciu Hoa yang berbicara itu agaknya adalah Ciu Hoa lo pat, tampangnya ganteng dan perawakan tubuhnya gagah, bahkan sorot matanya memancarkan sinar berkilat, dalam sekilas pandangan saja ia sudah mengetahui bahwa tenaga dalam yang dimiliki orang ini jauh lebih sempurna dari pada rekan-rekan lainnya. Dengan suara lantang Kok See-piau segera menegur, “Hei, Lo pat!
Sampai dimana sih kepandaian silat yang kau miliki? Berani betul memberi pandangan dan kesimpulan yang menuruti suara hatimu sendiri? Hayo cepat minta maaf kepada Hoa kongcu!”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi, “Kalau didengar dari nada pembicaraan Kok See-piau, rupanya ia menaruh rasa sayang dan manja kepada muridnya yang paling kecil ini, jangan-jangan dia memang me nirukan sejarah lama yang menimpa diri Kiu ci Sinkun?” Sambil menahan rasa mendongkol dan marahnya yang meluap-luap, Ciu Hoa lo-pat menjura sambil berkata, “Aku masih muda dan tak punya pengalaman, harap Hoa kongcu sudi memaafkan kesalahanku tadi.”
Sambil tertawa Hoa In-liong balas memberi hormat. “Orang yang kelewat banyak memang susah dikontrol,
ucapan dari Pat kongcu pasti akan kami perhatikan sebaik- baiknya dan keluarga Hoa kami pasti akan semakin ketat mengontrol diri, terima kasih banyak atas perhatianmu.”
Betapa gemas dan jengkelnya Ciu Hoa lo-pat, sinar mata kebencian yang disertai hawa nafsu membunuh memancar keluar dari balik matanya, sambil menggertak gigi ia tertawa dingin tiada hentinya.
Sikap permusuhan yang luar biasa ini segera mencengangkan Hoa In-liong, dia lantas, berpikir, “Tampaknya ia sangat benci kepadaku, kalau dibilang lantaran sakit hati perguruan, rasanya tidak mirip………”
Pikir punya pikir tiba-tiba bayangan tubuh dari Kok Gi-pek melintas dalam benaknya,ia lantas menyadari akan sesuatu, kembali pikirnya, “Kalau dilihat dari potongan mukanya serta kepandaian silatnya, jelas ia paling punya harapan untuk mempersunting sumoaynya, yaa dia pasti sudah mengetahui tentang sikap Kok Gi-pek kepadaku, maka timbul rasa dendam dalam hatinya… kalau begitu orang yang meracuni arakku
tentu dia pula biang keladinya, yaa sekarang aku baru tahu, rencana untuk mengundangku ke sinipun pasti muncul dari idenya.”
Ternyata apa yang diduga Hoa In-liong sembilan puluh persen memang benar, dalam anggapan Ciu Hoa lo pat, dengan tampangnya yang ganteng dan ilmu silat yang paling menonjol diantara sesama saudara seperguruan, ia mengira dialah yang pasti akan menarik perhatian sumoaynya Kok Gi pek, malah dia menganggap untuk mempersunting sumoaynya, hal ini lebih gampang dari membalikkan telapak sendiri.
Siapa tahu kebiasaan bergurau dan bercanda yang setiap hari mereka lakukan tiba-tiba berubah sama sekali sekembalinya dari bepergian beberapa hari terselang.
Bahkan sepulangnya dari bepergian ia mohon kepada gurunya agar mewariskan ilmu silat yang le-bih hebat kepadanya, kemudian mengasingkan diri dan tak mau berjumpa dengan siapapun.
Mula-mula ia menaruh curiga, tapi setelah mengetahui bahwa somoaynya amat membenci kepada Hoa In-liong dan bermaksud untuk membalas dendam, kewaspadaan dan kecurigaannya jauh berkurang.
Siapa tahu belum sampai beberapa hari menutup diri, tiba- tiba Kok Gi Pek pergi lagi tanpa pamit, hasil penyelidikannya kemudian menunjukkan bahwa adik seperguruannya sedang mengadakan janji dengan Hoa In-liong seorang musuh besar perguruan mereka, betapa cemburu dan marahnya pemuda itu.
Ia lantas menitahkan kepada Tang Bong liang untuk mencelakai Hoa In-liong dengan mencampurkan racun Hwe cian tin dan Im leng dalam minumannya, sekalipun sebelum kejadian itu ia su-dah mendengar bahwa Hoa In-liong kebal terhadap segala macam racun, tapi ia tidak terlampau percaya.
Malam ini setelah ia berjumpa sendiri dengan Hoa In-liong, biasanya kalau ia menganggap dirinya sebagai seorang laki- laki tampan maka setelah menyaksikan kegantengan Hoa In- liong yang ber lipat lipat kali melebihi ketampanannya, timbul rasa rendah diri di hati kecilnya, secara otomatis rasa dengkinya pun semakin menebal.
Dengan sorot mata yang dingin Kok See-piau memandang sekejap wajah Hoa In-liong dan muridnya, diam-diam ia mengeluh sebab bila dibandingkan ji kongcu dari keluarga Hoa ini, maka muridnya ketinggalan jauh sekali……
Sementara ia masih termenung, Hoa In-liong telah menjura sambil berkata, “Ada suatu hal ingin kutanyakan kepada Sinkun, aku harap kau bersedia untuk menerangkan.”
“Katakan puo Sinkun siap mendengarkan pertanyaanmu!” “Aku ingin tahu tentang peristiwa sekitar pembunuhan
berdarah atas keluarga Suma siek ya ku.” Kok See-piau segera tertawa hambar.
“Istri Suma siok ya mu yang bernama Kwa Gi hun adalah bekas anggota Kiu im kau, tahukah Hoa kongcu tentang hal ini?” katanya.
Hoa In-liong mengangguk.
Yaa, aku pernah mendengar tentang hal ini.
“Kalau memang begitu, kenapa tidak Hoa kongcu tanyakan langsung kepada Kiu-im kau Ci? Tindakanmu menuntut kepada pun-sikun bukan suatu tindakan yang tepat!”
Hoa In-liong segera berpikir, “Kalau ditinjau dari caranya berbicara, persoalan ini tampaknya terdapat banyak hal yang mencurigakan.” Berpikir sampai disitu, ia lantas berkata, “Sudah kutanyakan persoalan ini kepada Kiu im kaucu….”
“Kalau memang begitu, semua duduk persoalan kan sudah menjadi jelas, kenapa engkau musti menuntut lagi kepadaku?” tukasnya.
“Ia bilang perkumpulan Hian-beng-kau terlibat juga dalam peristiwa pembunuhan ini, lagipula apa yang diterangkan kurang jelas, maka terpaksa aku musti bertanya pula kepada Sinkun.”
“Ia benar-benar berkata demikian?” seru Kok See-piau dengan wajah agak gusar.
“Kalau Sinkun tidak percaya, kenapa tidak mengutus orang untuk menyelidikinya?”
Hawa amarah masih menghiasi di atas wajah Kok See-piau, ia termenung sejenak lalu katanya kemudian.
“Kalau begitu jika Hoa kongcu hendak menuntut balas atas peristiwa tersebut, tak ada salahnya.
Diam-diam Hoa In-liong menaruh curiga katanya lagi, “Sinkun aku dengar dibalik perkataanmu masih terkandung maksud lain, dapatkah kau terangkan.”
“Dibicarakan memang bukan menjadi persoalan, tapi belum tentu Hoa kongcu mau mempercayainya, maka apa pula gunanya untuk banyak bicara yang tak berguna?”
“Mungkinkah dibalik peristiwa ini terdapat latar belakang la innya?” pikir Hoa In-liong kemudian. Ia lantas berkata, “Dengan kedudukan Sinkun yang terhormat masa kau akan membohongi diriku? Tentu saja aku percaya.”
Kok See-piau segera tertawa.
“Ucapan Hoa kongcu terlalu berlebihan, sudah menjadi rahasia umum kalau seseorang menggunakan kata-kata bohong untuk menutupi perbuatannya, bukan cuma aku, siapapun juga bisa melakukan hal ini.”
Setelah berhenti sejenak, dengan wajah serius, dia lantas berkata lebih jauh, “Percayalah Hoa koasen bila Pun Sinkun katakan bahwa dalam peristiwa kematian Suma Tiang-sing, pihak perkumpulan kami sama sekali tidak terlibat? Sekalipun muridku pernah menyebarkan bubuk racun di dalam peti mati, hal itu kami lakukan sesudah peristiwa pembunuhan itu berlangsung?”
Diam-diam Hoa In-liong berpikir lagi setelah mendengar jawaban tersebut, “Ahh…. kalau kata-kata macam begitu sih tak bisa dipercayai, jelas ia sudah disisipkan pengakuan bohong dalam kata-katanya itu. sebab menurut data yang berhasil dikumpulkan, justru pihak Hian-beng-kau yang paling mencurigakan dalam peristiwa ini.”
Berpikir sampai disitu, dia lantas berkata, “Masa aku tak percaya dengan ucapan dari seorang ketua perkumpulan yang terhormat? Cuma kalau berbicara dan ucapan Sinkun barusan, jadi dalam peristiwa itu hanya orang-orang dari Kiu-im kau yang terlibat….?”
Kembali Kok See-piau tertawa.
“Menurut pendapatku, peristiwa berdarah itu bukan hasil pekerjaan dari Kiu-im kau, juga bukan perbuatan dari Mo-kau” Hoa In-lioag menjadi tertegun, serunya tercengang, “Masakah kecuali Hian-beng-kau, Kiu im kau dan Mo-kau masih ada perkumpulan keempat? Aku rasa Sinkun pasti mempunyai data tentang peristiwa tersebut, dapatkah Sinkun memberi sedikit petunjuk kepadaku agar apa yang membingungkan diriku selama ini bisa terbuka?”
Kok See-piau mengangkat cawan araknya, lalu tersenyum. “Dendam sakit hati antara keluarga Hoa dengan diriku telah
diketahui setiap orang dalam dunia persilatan, cepat atau lambat pertarungan tak bisa dihindari lagi, maka akupun rasanya tak usah berbicara bohong. Meskipun sudah lama kupersiapkan segala sesuatunya untuk bertarung dengan keluarga Hoa, tapi sebelum aku yakin bisa memenangkan pertarungan itu, hubungan tak ingin ku bikin retak sendiri mungkin, karena itu antara perkumpulan kami dengan pihak Kiu-im-kau dan Mo-kau sudah terjalin kesepakatan untuk tidak bertindak secara gegabah. Sebab itu tak mungkin kubunuh Suma Siok ya mu sehingga rencanaku terbengkalai? Nah, kalau dugaanku tidak salah, pasti ada orang yang sengaja hendak mengadu domba kita, agar ia bisa menjadi nelayan yang beruntung dan tinggal memetik hasilnya.”
Perkataan dari Kok See-piau ini diucapkan cukup gamblang sekalipun Hoa In-liong tidak mempercayainya seratus persen, toh timbul juga kecurigaan dalam hatinya.
Ia tak menyangka kalau sebelum duduknya persoalan menjadi jelas, pembunuhnya belum berhasil dilacaki, kini, timbul kembali perubahan yang sama sekali tak terduga.