Bab 18 - TAMAT
Dipandang dari jauh, Cu Ngo Thay-ya kelihatan angker dan berwibawa mirip patung yang dipuja dalam kelenteng, apalagi teraling kerai mutiara sehingga dari jauh tidak kelihatan nyata keadaan sebenarnya.
Kini putra tunggalnya berlutut dan menyembah di depannya, menangis sedih penuh penyesalan.
Pok Can masih berdiri di tempat semula, menyaksikan dari kejauhan, lambat laun mulai tampak perubahan air muka dan sorot matanya, air mata juga seperti berkaca-kaca di pelupuk matanya, kalau tidak ditahan tentu sudah bercucuran dengan deras.
Siau Ma bertanya sambil mengawasi orang tua ini, "Kau adalah kawan seperjuangan Cu Ngo Thay-ya sejak puluhan tahun yang lalu bukan?"
"Ya, sejak banyak tahun lalu. Waktu kami masih sama- sama muda," sahut Pok Can.
"Tapi kau tidak kenal bahwa Cu Hun ini adalah putra tunggalnya?" tanya Siau Ma.
"Sejak berumur tiga belas Cu Hun sudah meninggalkan Long-san, selama sepuluh tahun belakangan ini, dia tidak pernah pulang, tiada kabar beritanya."
Sepuluh tahun bukan waktu yang singkat, bagi umat manusia, jangka sepuluh tahun merupakan masa yang panjang, cukup lama untuk membawa perubahan pada diri seseorang.
"Kenapa dia pergi? Kenapa tidak mau pulang?"
"Bocah ini anak jenius, sejak dilahirkan seperti dibekali bakat luar biasa untuk meyakinkan ilmu silat. Waktu berusia tiga belas, ia tahu kungfu yang dia yakinkan tarafnya sudah tidak di bawah sang ayah, maka timbul keinginan hatinya untuk berkelana mencari pengalaman, menyesuaikan cara hidupnya dengan gayanya sendiri di kolong langit ini."
"Tetapi sang ayah tidak sependapat dan sepandangan, beliau melarang dia meninggalkan keluarga."
"Seorang laki-laki dalam usia lanjut baru dikarunia seorang putra, adalah logis kalau dia merasa berat ditinggal pergi putranya, tidak tega membiarkan anaknya menderita di rantau."
"Maka Cu Hun minggat dari rumah?"
"Meski usianya masih muda, anak ini punya pambek, mengemban cita-cita tinggi, wataknya juga kukuh seperti sang bapak, kalau sudah timbul niatnya untuk melakukan sesuatu, siapa pun takkan bisa merubah niatnya, termasuk sang ayah sendiri," setelah menghela napas Pok Can melanjutkan, "sepuluh tahun sejak ia meninggalkan rumah, tiada orang tahu dimana dia pergi dan dimana dirinya berada. Namun aku dan ayahnya juga maklum, dengan wataknya yang kukuh, mengembara di Kangouw, tentu tidak sedikit penderitaan yang dialaminya."
Siau Ma membalik tubuh ke arah Lan Lan, "Selama sepuluh tahun apa saja yang telah dia lakukan? Kukira hanya kau saja yang dapat menjelaskan."
"Memang dia banyak menderita, namun dari penderitaan itu, tidak sedikit kungfu yang berhasil diserapnya. Untuk mempelajari kungfu dan berhasil, perbuatan apapun pernah ia lakukan."
Seorang pesilat yang berhasil gemilang dengan nama besar yang menonjol memang bukan diperoleh secara kebetulan. Bahwa seseorang memiliki kungfu setinggi itu, sudah pasti harus melalui gemblengan yang cukup panjang, latihan yang cukup keras dan menyiksa.
Lan Lan bercerita lebih jauh, "Sebagai manusia biasa, akhirnya ia merasa bosan, tiba-tiba ia sadar, umpama seseorang memiliki kungfu yang tiada taranya, tiada lawan yang mampu menandingi dirinya, akan datang suatu saat ia akan meresapi kegetiran hidup, kesepian dan kehampaan dalam hidupnya," sikap Lan Lan juga kelihatan rawan, suaranya makin pelan dan tertekan, "Masih muda hidup di rantau, jauh dari keluarga, kehilangan kasih sayang ayah bunda, karena terlalu asyik meyakinkan kungfu, tidak pernah punya teman lagi, meski makin tinggi kungfu yang berhasil dia yakinkan, namun jiwanya justru makin tertekan."
Siau Ma adalah identik manusia gelandangan, ia dapat meresapi kegetiran hidup seorang yang jauh dari kasih sayang keluarga, tidak pernah ada orang memperhatikan kehidupannya, entah dia gagal atau sukses dalam mengejar karir, yang pasti kesuksesan itu akhirnya berubah menjadi tidak berarti sama sekali.
Dengan lekat Siau Ma menatap Lan Lan, "Kau tidak memperhatikannya?"
"Aku ingin memperhatikan dia, memberikan kasih sayang kepadanya, tapi dalam keadaan seperti itu, aku juga sadar, seorang diri aku takkan bisa memenuhi harapannya, bukan aku saja yang bisa memberi perhatian dan hiburan kepadanya."
"Maksudmu hanya ayah bundanya?"
Lan Lan memanggut, "Ya, hanya ayah bundanya saja orang yang dia hormati, ayahnya adalah tulang punggung kehidupannya, namun wataknya memang kukuh dan terlalu keras kepala, meski sadar, namun sampai mati ia takkan mau mengaku salah, padahal ia sadar bahwa dirinya berdosa terhadap sang ayah, setelah minggat mana ada muka dia pulang ke rumah."
Mendadak Pok Can menimbrung, "Kita pernah turun gunung mencarinya, tapi tidak berhasil menemukannya."
"Dalam tahun permulaan sejak ia meninggalkan rumah, dia belum meresapi betapa agung dan luhurnya hubungan kekeluargaan, maka ia menyingkir dan selalu menghindar meski tahu ayahnya menyuruh orang mencarinya. Beberapa tahun kemudian, setelah ia merasa rindu, kangen kepada orang tua, kalian sudah tidak pernah mencarinya lagi, dia pun malu untuk pulang."
Bukankah banyak peristiwa seperti itu dalam kehidupan manusia banyak? Kalau tidak, mana mungkin sering terjadi tragedi kehidupan dalam dunia ini hanya lantaran sedikit salah paham dan kontrakdiksi.
Salah paham dan kontrakdiksi sering kali jadi pangkal pertikaian keluarga, penyebab utama tragedi kehidupan yang menyedihkan. Sayang sekali, sedikit kesalahan itu justru tak mungkin ditebus dengan apapun selama hayat masih di kandung badan.
"Suatu ketika dia menolong keluargaku, setelah aku tahu dan menyadari keadaannya, untuk membalas budi kebaikan dan pertolongannya, aku tidak boleh berpeluk tangan, aku pun tidak tega menyaksikan penderitaan batinnya, secara diam- diam aku menulis sepucuk surat untuk orang tuanya, dengan akal dan cara yang ruwet aku menitipkan atau kusuruh orang mengirimnya ke Long-san, dengan harapan setelah menerima suratku, Cu Ngo Thay-ya sudi mengirim seorang untuk menjemput putranya pulang."
"Lho, kenapa kita tidak tahu adanya kejadian ini?" demikian tanya Pok Can melenggong.
"Mungkin orang yang kusuruh mengirim surat itu bukan orang baik, atau mungkin terjadi sesuatu di tengah jalan, mungkin juga surat itu terjatuh di tangan seorang jahat," Lan Lan berhenti sejenak lalu meneruskan, "namun waktu itu kami tidak memikirkan hal ini, tidak lama setelah surat kukirim, seseorang datang dari Long-san membawa surat balasan dari Cu Ngo Thay-ya."
"Apa bunyi balasan itu?" tanya Pok Can.
"Utusan itu bernama Song Sam, kelihatannya orang jujur dan setia, dia mengaku sebagai orang kepercayaan Cu Ngo Thay-ya," demikian Lan Lan menjelaskan.
"Belum pernah kudengar nama orang ini," kata Pok Can dengan menggeleng.
"Sudah tentu kalian tidak mengenalnya karena nama itu palsu, sayang sekali kami tidak sempat bertanya lebih banyak dan dia pun tak dapat memberi keterangan apa-apa."
"Lho, kenapa?" tanya Po Can melenggong. "Mungkin sekarang jenazahnya sudah membusuk,"
demikian Lan Lan menjelaskan lebih jauh. "Surat rahasia yang dia bawa disimpan dalam butiran malam putih, jadi mirip sebutir pulung obat. Song Sam bilang, menurut pesan ayahnya supaya Cu Hun sendiri yang menerima dan membaca surat ayahnya, orang ketiga dilarang ikut membacanya." Antara ayah dan anak adalah pantas kalau menyimpan rahasia, untuk hal yang lumrah ini, siapa pun takkan merasa curiga.
"Tak pernah terpikir oleh kami, bahwa butiran malam sebesar buah kelengkeng itu, berisi segumpal asap dan tiga batang jarum lembut."
"Wah," kata Siau Ma gugup. "Cu Hun terbokong karenanya?" Lan Lan tertawa getir, "Siapa pun takkan menyangka bahwa seorang ayah membokong dan berniat membunuh putranya dengan cara selicik dan sejahat itu. Syukur Cu Hun adalah tunas muda luar biasa, seorang jenius dalam ilmu silat, dengan Lwekang latihannya ia berhasil mendesak keluar separoh lebih racun dalam tubuhnya."
"Lalu bagaimana dengan Song Sam?" tanya Pok Can. "Waktu Song Sam tiba di rumahku, keadaannya juga
sudah payah, terkena racun yang jahat, tidak banyak keterangan yang bisa dia jelaskan, jiwanya sudah melayang lebih dulu. Tragisnya mayatnya hancur luluh dalam sekejap mata, tulang belulangnya pun membusuk habis menjadi cairan."
Siau Ma menggeram gusar sambil mengepal tinjunya, "Manusia kejam, perbuatan culas."
"Betapapun liar dan buas seekor harimau tak pernah makan anaknya sendiri. Menghadapi peristiwa yang tidak terduga ini, kita lantas berpikir, orang yang menyuruh Song Sam mengirim surat pasti orang lain, bukan ayah kandungnya yaitu Cu Ngo Thay-ya, orang ketiga ini punya niat jahat dan tidak ingin mempertemukan ayah dan anak, apalagi dia juga sadar, kalau Cu Hun pulang, kelak pasti mewarisi kedudukan dan kekuasaan ayahnya," sampai di sini Lan Lan menelan liur seperti menahan gejolak perasaan hatinya, lalu sambungnya, "Di samping itu, kita juga memikirkan persoalan lain yang lebih menakutkan."
"Persoalan apa?" tanya Siau Ma.
"Kalau orang ketiga ini berani bertindak sejahat dan sejauh ini, tentu dia sudah punya posisi yang lebih baik, dan keadaan Cu Ngo Thay-ya mungkin dalam bahaya, umpama belum mati, keadaannya tentu sedang kritis."
Pok Can memanggutkan kepala tanda sependapat, desisnya penuh kebencian, "Sejak masih muda Cu Ngo Thay- ya adalah jenius ilmu silat yang hebat dan digdaya, dalam keadaan sehat dan aman, umpama orang itu punya kemampuan dan keberanian besar juga takkan berani bertindak demikian."
"Ayah memperhatikan anak dan anak berbakti terhadap orang tua adalah hubungan lahir batin manusia. Setelah urusan berkembang sejauh ini, maka Cu Hun tidak boleh bersikap kukuh, dia harus segera merubah sikap dan segera pulang melihat keadaan ayahnya," dengan gegetun Lan Lan melanjutkan, "tapi kita juga tahu, kalau orang ini berani membokong dan berusaha membunuh putra tunggal Cu Ngo Thay-ya, tentu orang ini bukan tokoh sembarangan, bukan mustahil di Long-San dia punya kedudukan dan posisi yang kuat serta mampu mengerahkan sekelompok orang yang menjadi kaki tangannya. Kalau kita langsung meluruk ke atas gunung, bukan saja tidak dapat bertemu dengan Cu Ngo Thay-ya, mungkin sekali malah mempercepat kematiannya."
Tiba-tiba Pok Can menimbrung, "Waktu itu kalian belum tahu mati hidup Cu ngo-Thay-ya, meski Cu Hun membekal kungfu setinggi langit, namun racun di tubuhnya belum berhasil dibersihkan secara tuntas, berarti kepandaiannya masih terbatas dan tak mungkin bertindak secara maksimal, kalau harus menghadapi lawan tangguh, kemampuannya tentu amat terbatas."
"Namun waktu sudah sangat mendesak, demi keselamatan Cu Ngo Thay-ya, kita tidak boleh mengulur waktu, maka dalam waktu singkat kita harus berusaha dengan akal yang sempurna."
"Untuk melaksanakan rencana itu, maka kalian mencari diriku?" tanya Siau Ma.
Lan Lan manggut, "Bukan maksudku hendak menipu engkau, soalnya peristiwa ini amat besar artinya bagi masa depan Cu Hun dan nasib seluruh warga di Long-san, maka rencana harus dirahasiakan, tidak boleh bocor."
Siau Ma menghela napas, "Aku tidak menyalahkan engkau, bukankah aku menunaikan tugas secara suka rela?"
Mendadak Siang Bu-gi menimbrung pula dengan suara dingin, "Aku ingin tahu satu hal."
"Soal apa yang ingin kau ketahui?" tanya Siau Ma. "Siapa biang keladi kasus ini?"
Siau Ma tidak menjawab, demikian pula Pok Can dan Lan Lan juga tidak memberi tanggapan, tapi dalam hati mereka sudah terbayang wajah seseorang, yaitu Long-kun-cu Un Liang-giok.
Long-kun-cu Un Liang-giok adalah salah seorang kepercayaan Cu Ngo Thay-ya, di saat sang junjungan menghadapi saat genting dan tegang seperti tadi, ternyata batang hidungnya tidak pernah kelihatan. Di belakang singgasana Cu Ngo Thay-ya ternyata ada sebuah lubang rahasia, orang yang memalsukan suara Cu Ngo Thay-ya dan memberi perintah tadi tentu berasal dari sini dan melarikan diri lewat lorong bawah tanah.
Apakah betul orang itu Un Liang-giok? Kemana ia melarikan diri?
"Biar dia sudah lari, aku yakin tidak akan lolos dari tanganku," demikian desis Siau Ma geram.
"Kita harus mengejarnya, namun tidak lewat lorong ini." "Kenapa?"
"Orang itu kejam dan telengas, bukan mustahil dalam lorong ia memasang jebakan, kalau tidak waspada kita yang celaka malah," demikian ucap Pok Can yang berpengalaman menenteramkan suasana yang panas. "Untuk selanjutnya marilah kita bekerja dengan kepala dingin, jangan diburu emosi hingga melakukan kesalahan, akibatnya tentu amat fatal."
Namun Siau Ma tak sabar menunggu, dalam kedudukan Siau Ma sekarang, ia tidak mau dan tidak boleh menunggu, waktu amat berharga bagi dirinya, terlambat berarti maut bagi dirinya, maka ia mendahului menerjang keluar.
Lan Lan memburu sambil bertanya, "He, kemana kau? Apa yang akan kau lakukan?"
"Mencari seorang." "Seorang siapa?" "Orang itu selalu menyembunyikan mukanya di belakang topeng."
Bercahaya mata Lan Lan, "Maksudmu orang bertopeng itu adalah Un Liang-giok?"
"Aku yakin dugaanku tidak meleset."
Di luar cahaya mentari terang benderang. Sinar surya sedang menyinari permukaan danau.
* * * * * Tanggal 14 bulan 9, hampir petang.
Sang surya sudah terbenam di ufuk barat, pancaran cahayanya yang kemuning menyinari permukaan danau yang tenang bening bagai kaca, cahaya menyinari topeng kuning emas berbentuk seram seperti setan dedemit.
"Apakah dia?" tanya Lan Lan.
"Betul," desis Siau Ma penuh keyakinan, "kecuali Un Liang- giok susah aku menduga orang lain."
Cu Hun diam saja, tidak menampakkan reaksi.
Kejadian yang menggembirakan sering kali mengundang rasa lelah, berbeda dengan orang yang sedang bersedih hati. Rasa duka nestapa justru lebih sering membuat perasaan orang menjadi beku, hilang kesadarannya dan meluluhkan ketahanan fisiknya.
Amarah justru dapat mengobarkan semangat, membakar emosi. Siau Ma menerjang dengan mata melotot ke arah duta malaikat surya, bentaknya dengan murka, "He, kau tidak minggat, masih ada di sini?"
"Kenapa aku harus lari?" duta malaikat balas bertanya. "Memangnya kau masih ingin melakukan kejahatan di
sini?" damprat Siau Ma. "Berkedok di belakang jenazah Cu
Ngo Thay-ya, kau menguasai dan memerintah kawanan serigala di gunung ini melakukan segala keinginanmu. Kau berusaha membunuh Cu Hun dan menjebaknya supaya mereka ayah dan anak tak bisa bertemu. Untuk menghancurkan generasi muda di gunung ini, kau pura-pura menjadi duta malaikat surya, memperalat watak anak muda yang suka berontak untuk merubah zaman, kau bius mereka dengan daun ganja supaya mereka tenggelam dalam kehidupan khayal. "
Itulah tuduhan Siau Ma, namun tidak ia paparkan secara gamblang, karena ia tahu umpama menuduhnya secara terbuka, duta malaikat surya pasti tidak akan menyangkal tuduhannya.
Siau Ma memang tidak suka bertele-tele, tidak mau banyak omong, urusan hanya diselesaikan dengan sepasang tinjunya, menang adalah benar.
"Rencanamu memang sukses untuk sekelompok lingkungan anak-anak muda saja. Sayang Cu Hun tidak berhasil kau bunuh, aku pun tidak mampus seperti yang kau harapkan."
"Cu Hun tidak mati karena nasibnya mujur. Sebaliknya kau tidak mampus, akulah yang bernasib mujur," demikian jengek si duta malaikat surya. "Lho, kau yang mujur malah?" tanya Siau Ma pura-pura melenggong.
"Cu Hun baru kau kenal, hanya seorang teman baru. Tapi Siau Lin adalah milikmu, Lo-bi adalah kawan karibmu, benar tidak?"
Sian Lin berdiri di belakang duta malaikat surya, demikian juga Lo-bi ada di sana.
Duta malaikat surya berkata lagi, "Kau masih memiliki sepasang tinju, punya teman yang pandai menggunakan pedang, sebaliknya Cu Hun kini tinggal setengah hidup belaka."
"Maksudmu aku harus membunuh Cu Hun untuk menebus jiwa Siau Lin?" bentak Siau Ma.
"Di dunia ini tidak jarang terjadi adanya seseorang yang membuang yang lama mencari yang baru, aku yakin kau rela mengorbankan Siau Lin setelah memperoleh Lan Lan, tapi aku juga percaya si Kuda Binal bukan laki-laki berjiwa pengecut."
Agaknya duta malaikat pandai menyelami jiwa manusia, ia maklum bahwa Siau Ma tidak mungkin mengorbankan Siau Lin, tapi dia lebih senang mengorbankan dirinya sendiri daripada pujaan hatinya, demi Siau Lin si Kuda Binal berani berbuat apa saja.
"Aku yakin dengan sepasang tinjumu dan pedang Siang Bu-gi, kalian dapat mengalahkan dan membunuh Cu Hun."
Tidak seperti biasanya, kalau sedang marah Siau Ma mengepal tinju, mungkin saking marah dan khawatir, jari-jari Siau Ma tampak gemetar malah, gejolak hatinya membuat pemuda ini kehilangan kontrol, tapi dia masih dapat memikirkan perkembangan yang bakal terjadi.
Batin Siau Ma amat terpukul di kala matanya menangkap aksi temannya Lo-bi yang merangkak ke depan kaki si duta malaikat surya serta mencium kakinya. Tapi kejadian selanjutnya justru tidak pernah ia duga sebelumnya. Mungkin kejadian ini pun tak pernah di duga oleh duta malaikat surya sendiri. Mendadak Lo-bi memeluk kencang kedua kakinya serta mendorongnya jatuh, lalu keduanya terguling-guling ke bawah batu karang dan terjebur ke dalam danau.
Sebelum kecemplung ke dalam air, Lo-bi yang bergumul dengan lawannya sempat melontarkan perasaan hatinya, "Kau menganggapku kawan, aku tidak akan membuatmu malu."
Kawan!
Sebuah kata yang sering diucapkan orang, sering dilontarkan dari mulut ke mulut, namun pada suatu saat 'kawan' itu sendiri mengandung makna yang luhur, arti yang mendalam.
Setelah kejadian berselang beberapa kejap, Cu Hun yang menyaksikan akhir tragedi ini baru meresapi makna sejati 'kawan' itu, maka ia pun menarik kesimpulan terhadap kata 'kawan' itu, "Sekarang baru aku tahu, baru aku sadar, betapapun tinggi kungfu seseorang, nilainya tidak setinggi persahabatan sejati."
Dalam kehidupan manusia bermasyarakat di dunia ini, kalau satu sama lain tanpa diresapi perasaan, entah apa yang akan terjadi? Apakah manusia masih bisa dianggap manusia?
Kejadian begitu cepat, hanya berlangsung dalam sekejap, sang surya masih memancarkan cahayanya yang terakhir. Siau Ma duduk berhadapan dengan Cu Hun, mereka saling pandang tanpa membuka suara.
Entah berapa lama kemudian Cu Hun bersuara lebih dulu, "Sekarang aku sadar, hanya laki-laki seperti dirimulah yang patut dipuji sebagai orang luar biasa, kau tidak pernah meninggalkan kawan, percaya kepada kawan yang juga percaya kepadamu. Kau rela berkorban demi kawan, kawanmu juga rela berkorban demi dirimu."
Siau Ma bungkam, lidahnya kelu.
"Aku rasa tiada orang menduga bahwa Lo-bi rela berkorban untuk dirimu, rela gugur bersama musuh demi kebahagiaanmu, demi masa depanmu," setelah menghela napas, Cu Hun menyambung dengan suara datar, "Aku sadar, selama ini aku berbuat salah terhadapmu, tapi aku yakin dapat melakukan beberapa hal untuk menebus kesalahanku itu, demi dirimu."
Siau Ma melenggong, tidak mengerti kesalahan apa yang dimaksud, dengan cara apa orang akan menebus kesalahannya, namun mulutnya tetap bungkam.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Lan Lan.
Cu Hun menjelaskan, "Aku berjanji, selanjutnya takkan ada serigala liar, yang buas maupun yang jahat di Long-san.
Takkan ada anak muda yang makan daun lagi."
Siau Ma berdiri. "Terima kasih," katanya haru sambil menggenggam tangan Cu Hun, lalu mereka berpelukan dengan tawa riang. Siau Lin sudah sadar, sudah segar bugar. Sinar surya masih sempat menyinari wajahnya yang pucat.
Sebagai orang yang sudah ternoda, ia sadar dirinya tidak setimpal lagi bagi Siau Ma, maka ia tidak berani berhadapan dengan Siau Ma, katanya perlahan sambil melengos, "Aku tahu selama ini kau mencariku, aku juga tahu apa saja telah kau lakukan untuk menemukan diriku."
"Kenapa kau "
"Aku berdosa terhadapmu."
"Jangan kau berkata begitu terhadapku."
"Tidak! Aku harus bicara, sudah tidak ada alasan untuk aku hidup berdampingan dengan engkau, keretakan sudah nyata dalam hubungan kita, keretakan yang tidak mungkin dipulihkan seperti sedia kala, keretakan yang mendalam dan terukir dalam sanubari, kalau kau memaksa aku berkumpul dengan kau, itu berarti kau hanya akan mengundang derita batinku saja," air mata bercucuran di pipinya. "Oleh karena itu, kalau kau masih mencintaiku, kau harus merelakan aku pergi."
Siau Ma mematung, mendelong mengawasi Siau Lin beranjak pergi, mengawasi bayangan ramping itu makin jauh dan lenyap di bawah pancaran sinar surya yang sudah buram. Siau Ma terus bungkam, berdiri mematung dengan perasaan hampa.
Lan Lan menyaksikan dari kejauhan, kini ia mendekati lalu bertanya dengan suara tegas, "Apa betul ada keretakan yang tidak bisa dipulihkan di dunia ini?" "Tidak ada," Siang Bu-gi menjawab dari samping. "Dosa bisa ditebus, kesalahan bisa diperbaiki, betapapun besar kau melakukan kesalahan, betapapun lebar keretakan terjadi, namun cinta murni, cinta sejati dapat menghapusnya sama sekali."
Lan Lan berkata, "Pada siapa kau tujukan komentarmu itu?"
Siang Bu-gi berkata, "Kepada Kuda Binal yang goblok, segoblok babi yang tidak punya perasaan."
"Siau Lin " mendadak Siau Ma memekik panjang, bagai
kuda pingitan yang lepas, sekencang angin ia berlari ke arah barat, menyongsong sinar surya yang makin terbenam, berlari mengejar Siau Lin yang tidak kelihatan lagi bayangannya.
Siau Ma harus mengejarnya, Siau Lin harus menjadi miliknya.
Pemandangan alam indah permai, menjelang maghrib, sebelum sang surya menyembunyikan diri ke peraduannya, panorama nan molek ini memang tidak boleh disia-siakan, harus dinikmati, harus diresapi pula.
Kalau seorang masih punya kesempatan, janganlah kesempatan diabaikan, kesempatan jangan dibuang percuma.
T A M A T