Bag 05 : Arak darah
Bunga mawar yang tumbuh di atas dinding pagar bergoyang lembut terhembus angin, jalan kecil beralas batu tampak berliku¬-liku menghubungkan kebun bunga dan bangunan kecil di belakangnya.
Jendela itu berada dalam keadaan terbuka, tirai bambu setengah tergulung, lamat-lamat masih dapat terlihat beberapa pot bunga di atas beranda.
Toan Giok masih teringat dengan jelas, memang tempat inilah yang ia datangi semalam bersama Hoa Ya-lay.
Tapi ia tak tahu kemana Hoa Ya-lay telah pergi, terlebih tak tahu darimana munculnya pendeta berjubah hitam itu. Semua orang yang ditemui hari ini, tak seorang pun yang pernah dijurnpai semalam.
Tentu saja gadis berbaju putih itu bukan melemparkan senyuman untuknya, karena yang dia kenal adalah Lu Kiu.
Ini berarti Lu Kiu pun pernah berkunjung ke tempat ini. Lalu tempat apakah sebenarnya bangunan kecil ini?
Sebuah persoalan yang seharusnya amat sederhana, kini sudah berubah makin bertambah kacau dan rumit.
Dalam pada itu pendeta berjubah hitam tadi telah menuang secawan arak untuk Lu Kiu, tanyanya, 'Bagaimana rasa arak ini?"
Lu Kiu mencicipinya seteguk, kemudian memuji, "Arak bagus, arak bagus!"
Arak dari daratan Tionggoan kebanyakm dibuat tepung beras, sementara arak ini dibuat dari anggur, bisa disimpan amat lama, manis dan lembut. Dibandingkan arak Li ji yang wanya setingkat lebih unggul.
"Betul," sahut Lu Kiu setelah mcncicipi seteguk lagi, ''Bila diteguk, memberikan semacam rasa yang luar biasa.'
"Arak semacam ini gampang diteguk, tapi tendangannya datang belakangan, bahkan sangat bagus untuk menyembuhkan hawa mumi. Bukankah belakangan kondisi badanmu kurang sehat? Minumlah barang dua cawan siapa tahu akan lebih bermanfaat untukmu."
Temyata dia malah mengajak Lu Kiu membicarakan soal kualitas arak, bahkan cara bicaranya seakan dia memang seorang ahli.
Hingga kini dia masih tetap tak pandang sebelah mata tcrhadap Toan Giok sekalian, sedang Lu Kiu sendiri pun seolah telah mclupakan juga rekan-rekannya. Tak tahan Ku-tojin menghela napas panjang, gumamnya, "Padahal Pinto pun seorang setan arak, heran kenapa tuan rumah yang punya arak wangi justru tidak menawarkan barang secawan untuk kucicipi?"
Saat inilah pendeta berjubah hitam itu baru berpaling sambil melotot, tegurnya dengan wajah masam, "Siapa kau?'
"Pinto Ku Tiang-cing!" jawab Ku-tojin.
"Apakah kau adalah Ku-tojin yang disebut orang gila judi bagaikan orang kalap, gila arak bagaikan orang kehausan?"
"Betul sekali."
Mendadak pendeta berbaju hitam itu mendongakkan kepala dan tertawa terbahak-bahak. "Hahaha, bagus, bagus sekali!Kalau memang kau adalah Ku-tojin, sudah seharusnya kuberi
secawan untukmu."
Dia segera mengulap tangan, gadis herbaju putih itu segera mengangsurkan sebuah cawan. Dengan tangan tunggalnya Ku-tojin terima cawan itu dan sekaligus menghabiskan isinya. "Oh, benar-benar arak bagus!" teriaknya.
Pendeta berjubah hitam itu menarik wajah. Dengan dingin ia mendengus, "Hm, walaupun arak bagus, sayang kau hanya pantas untuk mInum secawan."
Ku tojin sama sekali tidak marah, sahutnya sambil tersenyum, "Secawan pun sudah lebih dari cukup, terima kasih."
Sementara itu paras muka Ong Hui telah berubah hebat, teriaknya lantang, "Kau anggap aku tak pantas minum arakmu?”
“Siapa kau?"
“Pik-lik-hwe Ong Hui dari Kanglam." “Apakah kau tahu siapakah aku?' Ong Hui tertawa dingin.
“Paling juga si Raja pendeta Thiat Sui,” sahutnya. "Hm! Biar kau akan membunuhku pun, aku tetap akan minum arakmu.”
“Hahaha, bagus, bagus sekali," pendeta berbaju hitam itu tertawa nyaring, "Memandang ucapanmu itu, kau pun pantas dijamu secawan arak."
Ternyata dia adalah si Raja pendeta Thiat Sui. Kecuali Thiat Sui mana mungkin di dunia ini masih terdapat seorang Hwesio macam dia?
Gadis berbaju putih itu segera menyodorkan kembali secawan arak.
Sekali tenggak, Ong Hui menghabiskan isi cawan itu, jengeknya sambil tertawa dingin, "Ternyata arak ini bukan arak yang luar biasa, aku lihat rasanya seperti air gula biasa, minum secawan pun sudah lebih dari cukup."
“Bagus, bagus sekali," kembali Thiat Sui mendongakkan mendongakkan kepala sambil tertawa tergelak. "Alas dasar ucapanmu itu, kau harus minum secawan Iagi."
Mula-mula Ong Hui tertegun, kemudian dia pun ikut tertawa tergelak.
“Hahaha, kalau memang begitu, biar rasanya seperti air gula pun aku tetap akan menghabiskannya."
Ku-tojin menghela napas panjang, gumamnya, "Ai, tidak kusangka takaran minummu jauh lebih hebat daripada diriku.”
"Kalau memang begitu, Kongcu ini pantas minum secawan arak," tiba-tiba Lu Kiu menyela. "Atas dasar apa dia pantas minum?" tanya Thiat Sui.
"Tahukah kau siapakah Kongcu ini?" "Memangnya siapa dia?"
"Dia adalah Toakongcu dam Tionggoan Tayhiap Toan Hui-him, she Toan bemama Giok." "Hm, belum pantas untuk minum arak ini”
"Kenapa tak pantas? Dialah yang kemarin menghajar keempat orang muridmu di atas perahu pesiar hingga tercebur ke dalam air!"
Berubah paras muka Thiat Sui, kontan tegurnya, "Kenapa kau mengajaknya datang kemari?" "Bukan aku yang mengajaknya kemari, dialah yang membawa aku datang kemari."
"Dia yang membawamu datang kemari?" Thiat Sui berkerut kening. "Dia mengajakku kemari untuk mencari Hoa Ya-lay."
"Mana mungkin bandit wanita itu bisa berada di sini?" teriak Thiat Sui gusar. "Jadi dia tidak berada di sini?"
"Tentu saja tidak."
"Berarti semalam pun dia tak berada di sini?"
"Selama ada aku di tempat ini, mana mungkin ia berani datang kemari!"
Lu Kiu mulai menghela napas. Dengan sapu-tangannya ia menutupi mulut, lalu mulai terbatuk- batuk, sembari berpaling ke arah Toan Giok, ujamya, "Sudah kau dengar?"
"Ya, sudah kudengar," jawab Toan Giok sambil tertawa getir.
"Ai, kalau begitu kau pergilah!" ujar Lu Kiu lagi sambil menghela napas.
Belum sempat Toan Giok buka suara, Thiat Sui telah melompat bangun. Bentaknya sambil melotot ke arah anak muda itu, “Setelah tiba di sini, memangnya kau masih ingin pergi dari tempat ini?”
“Dia tak ingin pergi, akulah yang menyuruh dia pergi," sela Lu Kiu cepat. “Kenapa kau menyuruhnya pergi?"
“Karena dia adalah sahabatku."
“Dia telah membohongimu, kau masih menganggapnya sebagai teman?”
“Mungkin bukan dia yang sedang membohongiku, tapi orang lain yang telah menipu dia." “Dan kau percaya?"
“Dia seorang pemuda jujur. Tak mungkin anak muda semacam ini berbohong.”
Dengan mata mendelik Thiat Sui memperhatikan Toan Giok dari atas hingga ke bawah, kembali ia tertawa tergelak.
“Hahaha, bagus! Hei, anak muda, kemarilah untuk minum arak” “Aku pantas untuk minum arak itu?" tanya Toan Giok.
“Terlepas orang macam apa dirimu, tidak gampang membuat Lu Kiu menaruh rasa percaya padamu.”
“Betul, dan dia pantas meneguk arak cawan ketiga," sambung Lu Kiu sambil tersenyum.
Gadis muda itu kembali membuka sebotol arak lalu menuang ke dalam cawan. Dengan sepasang tangan yang putih halus dan wajah dihiasi senyuman manis, perlahan-lahan ia mendekat ke hadapan Toan Giok.
Cahaya musim semi tampak terang menawan, angin berhembus sepoi-sepoi. Aneka bunga yang memenuhi kebun itu sedang mekar dan tampak cantik.
Biar pun Thiat Sui jumawa dan angkuh, biarpun dia suka minum dan suka main wanita, tapi kelihatannya tak malu disebut seorang Hohan.
Sejak zaman dulu, ada berapa banyak Enghiong Hohan yang bisa lolos dari godaan minum dan main perempuan?
Walaupun Toan Giok belum menangsal perut dengan makanan, namun dalam keadaan dan situasi ini tak tahan dia pun ingin turut meneguk dua cawan arak.
Arak dalam cawan emas tampak merah segar.
Sambil tersenyum Than Giok menerima cawan berisi arak itu.
Tiba-tiba senyumannya membeku, tiba-tiba sepasang tangannya gemetar, lalu membeku kaku. Ternyata isi cawan itu bukan arak, melainkan darah! Darah yang tampak masih segar!
"Tring!", cawan emas itu terjatuk ke tanah.
Darah segar pun berhamburan rnembasahi lantai. Mendadak Thiat Sui membentak penuh amarah, "Arak kehormatan tidak kau minum, memangnya kau sedang menanti arak hukuman?"
Toan Giok tak menjawab, hanya tertunduk, mengawasi darah berwama cerah yang perlahan- lahan mengalir membamhi rerumputan nan hijau.
"Itu bukan arak, tapi darah!" seru Lu Kiu pula dengan wajah berubah.
Paras muka Thiat Sui ikut berubah, tiba-tiba ia berpaling, mengawasi gadis muda itu dengan penuh amarah.
Paras muka nona itu pun pucat pias bagai mayat, cepat dia membuka botol arak lain, tapi lagi- lagi dia menjerit kaget, baki arak terjatuh dari pegangannya.
Ternyata cairan yang meleleh keluar dan baki itu pun cairan darah.
Semua darah itu masih tampak segar, sama sekali belum menggumpal.
Dengan suara lengking gadis itu menjent, "Tadi isi botol itu jelas masih berupa arak, kenapa secara tiba-tiba bisa berubah jadi darah?'
"Arak berubah jadi darah, pertanda buruk," bisik Ku-tojin dengan wajah berubah. “Pertanda buruk?" tanya Ong Hui "Memangnya akan terjadi suatu peristiwa di tempat ini?” “Betul,” ucap Thiat Sui sepatah demi sepatah, wajahnya telah berubah hijau membesi,
"Mungkin ada seseorang harus mati di tempat ini" “Siapa?" tanya Ong Hui.
Thiat Sui tak menjawab, perlahan-lahan dia mendongak, sinar matanya yang tajam perlahan menyapu wajah setiap orang yang hadir.
Sorot mata itu bagaikan sebilah golok, golok yang digunakan untuk membunuh manusia! Golok pembunuh!
Telapak tangan setiap orang mulai terasa basah, basah oleh peluh dingin.
Pada saat itulah tiba-tiba terdengar seseorang muncul dari balik kebun bunga dan berjalan mendekat dengan langkah lebar.
“Perahu pesiar milik Hoa Ya-lay telah ditemukan" teriaknya keras.
Orang itu berkepala gundul, bermata besar dan beralis tebal. Dia tak lain adalah salah seorang Hwesio yang dihajar Toan Giok hingga tercebur ke dalam telaga.
“Ada dimana perahu pesiar itu?” Thiat Sui bertanya. “Di sana, di samping tanggul Tiang-ti."
Selesai berkata, Hwesio itu mending ke arah belakang, lima jari tangannya terlihat gemetar tiada hentinya.
***
Di tepi tanggul Tiang-ti.
Sebuah perahu pesiar tanpa penghuni terapung di atas permukaan air berwarna hijau.
Atap perahu berwarna hijau pupus dengan tiang penyangga berwama merah darah. Dari balik jendela terlihat tirai bambu tergulung setengah.
Kemana perginya orang di depan jendela?
Di tengah alam yang begitu indah, terlihat banyak perahu pesiar berlalu lalang di tengah telaga.
Namun tak satu pun di antara perahu-perahu itu yang berani mendekati perahu pesiar yang satu ini.
Semua perahu membuang sauh jauh di tengah telaga, sementara para penghuninya dengan mata melotot sedang mengawasi perahu pesiar itu. Sinar mata mereka tampak gugup, panik, ngeri dan seram, seakan-akan mereka menganggap perahu itu sebagai perahu setan, perahu yang penuh bermuatan bencana dan musibah yang menakutkan. Tibadiba tampak sebuah sampan kecil menerjang ombak bergerak cepat mendekati perahu pesiar itu.
Thiat Sui sambil bercekak pinggang berdiri bergermng di ujung sampan, jubah pendetanya yang berwama hitam tampak berkibar kencang terhembus angin.
Ketika tiba lebih-kurang empat tombak dari perahu pesiar itu mendadak ia melompat ke atas dan melambung ke udara.
Terlihat bagaikan segumpal awan hitam yang tiba-tiba terbang di atas ombak berwama hijau. Dengan sekali lompatan, empat tombak telah terlampaui, dengan indahnya ia melayang turun di atas perahu pesiar itu.
Tempik sorak pun bergema gegap-gempita, tak tahan semua orang yang berada di seputar telaga memberi pujian alas kehebatannya.
Di tengah sorak-sorai yang nyaring, Toan Giok ikut meluncur pula ke tengah udara.
Dia bukannya ingin ikut pamer kepandaian, tapi hatinya benar-benar gelisah bercampur camas, dia ingin secepatnya mengetahui kejadian menyeramkan apa yang telah berlangsung di atas perahu itu.
Dan sekarang dia telah melihatnya.
Begitu melompat naik ke atas perahu pesiar, ia segera dapat melihat semuanya.
Ruang perahu itu tertata rapi dan indah, keempat dindingnya dilapisi kertas berwarna putih salju, membuat seluruh ruang perahu tampak begaikan sebuah gua salju.
Di antara kertas dinding yang putih bagai salju itu, kini sudah dihiasi dengan berkuntum- kuntum bunga Bwe.
Bunga Bwe yang dilukis dengan darah segar.
Seseorang berdiri di bawah rangkaian bunga Bwe, kepalanya tertunduk rendah, mukanya lusuh, layu dan pucat, darah yang meleleh dari tujuh lubang indranya kini telah mengeras, sebilah golok terhujam di dadanya, ternyata tubuh orang itu sudah terpantek di atas dinding perahu.
Pita merah terlilit pada gagang golok, angin berhembus masuk melalui jendela, tampak cahaya golok yang berwarna merah darah itu berkibar mengikuti hembusan angin.
Dengan gerakan cepat Thiat Sui mencabut golok itu.
Golok itu segera dicengkeram olehnya. Pendeta itu harus menggunakan seluruh tenaganya sebelum berhasil mencabut golok itu.
Darah yang menodai tubuh golok telah mengering.
Ternyata belum seluruhnya mengering, paling tidak masih ada setetes yang masih basah.
Setetes darah perlahan-lahan menetes jatuh dari ujung golok, mata golok itu terang dan bening, sebening air telaga.
Betul-betul sebilah golok yang indah dan menawan.
Dengan sorot mata tajam Thiat Sui mengawasi mata golok. Lama kemudian tiba-tiba ia memuji, “Golok hebat!”
Ong Hui yang memburu mendekat ikut memuji, “Benar-benar sebuah golok yang bagus!” “Kau mengenal golok ini?” kembali Thiat Sul bertanya.
Ong Hui menggeleng.
Thiat Sui segera membalik tubuh, sambil melotot ke arah Toan Giok, sepatah demi sepatah tanyanya, "Bagaimana dengan kau? Apakah kenal golok ini?"
Sementara itu paras muka Toan Giok telah berubah, berubah sangat hebat. Sejak awal tadi dia sudah mengenali golok itu.
"Kau tentunya mengenalinya, bukan?" jengek Thiat Sui lagi dengan suara dingin. "Bila aku tak salah lihat, seharusnya golok ini adalah Bi-giok-jit-seng-to (Golok tujuh bintang kumala hijau) keluarga Toan, bukan?" Tak salah, golok itu memang Bi-giok-jit-seng-to keluarga Toan: Yakni golok milik Toan Giok yang hilang sewaktu berada dalam kamar tidur Hoa Ya-lay.
Di ujung mata golok bahkan tertera pertanda khusus dari keluarga Toan.
Sorot mata Thiat Sui jauh lebih tajam daripada mata golok, dia mendelik, lagi-lagi tegurnya, "Kau kenal orang ini?"
Toan Giok menggeleng.
Sejujurnya, dia memang tidak mengenali orang ini.
Walaupun raut wajah orang ini sudah berkerut dan layu, namun masih tampak jelas bahwa semasa hidupnya dulu pastilah seorang pemuda tampan, pakaian yang dikenakan pun terlihat indah dan mahal harganya.
Ketika golok itu tercabut, tubuh orang itu pun perlahan-lahan terperosok jatuh ke bawah, kepalanya seakan ikut mendongak, memandang ke arah Toan Giok, biji matanya yang melotot dipenuhi perasaan sedih, marah dan penasaran yang sulit dilukiskan dengan perkataan.
Kematiannya memang kelewat mengenaskan, bankan sampai mati pun tetap tak memejamkan mata.
Tiba-tiba saja Toan Giok dapat menebak siapa gerangan orang ini.
Dia bukan mengenali orang ini dari bentuk wajah mayat itu, melainkan dari perubahan mimik muka Lu Kiu.
Dalam waktu yang teramat singkat ini usia Lu Kiu seakan bertambah tua sepuluh tahun, seluruh tubuhnya terlihat lemas dan kehilangan tenaga.
Ia bersandar di atas dinding, seakan-akan setiap saat bakal roboh terjungkal ke lantai.
Mungkinkah pemuda yang tewas secara mengenaskan di ujung golok itu adalah putra kesayangannya, Lu Siau-hun?
Tiba-tiba hati Toan Giok bergidik, perasaannya seolah tenggelam ke dasar lautan yang paling dalam.
“Kedatanganmu ke wilayah Kanglam tentunya karena ingin turut mencari jodoh di Po-cu-san- seng, bukan?" sambil melotot Thiat Sui menenegur.
Toan Giok tak dapat menghindar, terpaksa mengakui.
“Oleh karena itu kau anggap, asal dapat menyingkirkan dia, maka tak ada orang lain yang akan menjadi sainganmu lagi, bukan?” lanjut Thiat Sui.
“Aku…aku…jangan lagi membunuh, bertemu muka pun belum pernah" Toan Giok mencoba membela diri.
“Hm, membunuh orang memakai golok, bukan memakai yang lain”
Pendeta itu mengacungkan golok dalam genggamannya, kemudian bentaknya lebih jauh, "Apakah golok ini milikmu?"
“Betul. Tapi bukan aku yang menggunakan golok itu untuk membunuh orang.” Kontan saja Thiat Sui tertawa dingin.
“Bi-giok-jit-seng-to adalah golok mestika warisan keluarga Toan, bagaimana mungkin bisa terjatuh ke tangan orang lain?"
“Ini disebabkan…”
“Dengan kekuatanmu seorang, tentu saja tak gampang menghabisi dirinya, Hoa Ya-lay pasti merupakan pembantu setiamu,” tukas Thiat Sui.
“Tapi kemarin malam…”
“Bukankah kemarin malam kau tidur bersama Hoa Ya-lay?” ejek pendeta itu. Toan Giok terbungkam, dia hanya bisa tertunduk lemas. Tiba-tiba ia sadar bahwa dirinya telah terjebak dalam sebuah lingkaran perangkap yang amat keji dan busuk. Fitnah yang ditimpakan kepadanya tak nanti bisa tercuci bersih walaupun ia berusaha menghapusnya dengan berendam dalam telaga Se-ouw.
Sementara itu sinar mata Thiat Sui telah dialihkan ke wajah Ku-tojin, ujarnya dengan suara dalam, "Arak berubah jadi darah, memang pertanda buruk."
"Benar, memang begitu," Ku-tojin menghela napas panjang. "Apakah sekarang di sini ada sescorang yang harus mati?' "Benar."
Tiba-tiba Thiat Sui juga menghela napas panjang, katanya, "Dalam tiga bulan terakhir, orang persilatan hampir semuanya mengatakan Thiat Sui membunuh orang bagai mencabut rumput, tapi apakah mereka tahu bahwa mereka yang mati di ujung golokku, tak seorang pun yang bukan merupakan orang bersalah?"
Dia mengawasi sekejap golok dalam genggamannya, kemudian perlahan-lahan melanjutkan, "Golok ini memang sebilah golok bagus, menggunakan golok semacam ini untuk membunuh orang berhati keji sungguh memuaskan. Tampaknya hari ini aku lagi-lagi akan melanggar pantangan membunuh!"
Ternyata Toan Giok seolah belum tahu siapa yang hendak dibunuh, dia ikut menghela napas dan berkata, "Menggunakan golok mestika untuk membunuh manusia laknat memang jelas merupakan sesuatu yang memuaskan, tapi sayang hingga sekarang kita masih belum tahu siapa pembunuhnya?"
"Masa kau tidak tahu?" tanya Thiat Sui seakan tertegun. Toan Giok menggeleng.
"Walaupun saat ini belum tahu, namun jaring langit maha luas, tak mungkin orang yang telah melakukan kejahatan akan lolos dari hukuman, aku yakin suatu hari pasti akan ditemukan siapa pembunuhnya."
Thiat Sui menatap pemuda itu dengan melongo. Sinar matanya seolah sedang menatap seorang idiot.
“Lebih baik Cianpwe kembalikan dulu golok itu padaku,” kata Toan Giok, “Bila kita berhasil menemukan pembunuhnya, boanpwe pasti akan menyerahkan kembali golok ini agar Cianpwe bisa menggunakan golok itu untuk memenggal batok kepalanya untuk membalas dendam atas kematian Lu-kongcu."
“Kau minta aku mengembalikan golok ini kepadamu?” tanya Thiat Sui. Toan Giok m anggut-manggut.
“Sesuai dengan apa yang Cianpwe katakan, golok ini merupakan benda mestika keluarga Boanpwe, sudah seharusnya golok itu berada bersamaku,” katanya.
Tiba-tiba Thiat Sui tertawa tergelak.
“Hahaha, bagus sekali, kalau memang kau minta, nih, ambillah!” serunya.
Cahaya golok tampak berkelebat. Secepat sambaran petir ia bacok bahu anak muda itu.
Golok itu memang sebilah golok yang bagus, ditambah lagi orang yang menggunakan golok itu merupakan jagoan silat berilmu tinggi. Begitu bacokan dilontarkan, tampak cahaya golok menyilaukan membelah angkssa, angin tajam menyambar, membuat Ku-tojin pun tak tahan ikut bergidik, ia merasakan selapis hawa pembunuhan yang mengerikan serasa menghimpit dirinya.
“Cianpwe, kenapa kau akan rnembunuhku," Toan Giok segera menjerit, “Kau jangan salah orang!”
Golok itu datang dengan cepat, namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi. Baru mengucapkan dua patah kata, ia sudah menghindari semua serangan itu. Seluruh ruangan perahu itu tidak terlampau luas, tempat yang bisa digunakan untuk berkelit pun tidak banyak. Andai kata Lu Kiu ikut melancarkan serangan, niscaya Toan Giok akan tewas di ujung goloknya.
Siapa sangka Lu Kiu sama sekali tidak turun tangan.
Dia masih berdiri sambil bersandar di dinding, berdiri tertegun, seluruh tubuhnya seolah telah kaku dan mati rasa.
Serangan golok yang dilancarkan Thiat Sui makin lama semakin cepat, ternyata tokoh silat yang baru muncul tapi telah menggetarkan sungai telaga ini benar-benar memiliki ilmu silat yang luar biasa hebatnya.
Biarpun ilmu silat aliran Siau-lim bukan mengandalkan golok, namun permainan golok yang dia lakukan saat ini begitu hebat dan dahsyat, sama sekali tidak kalah dengan kehebatan jago golok mana pun di koiong langit.
Kini permainan goloknya telah berubah, yang digunaka adalah ilmu Luan po-hong (Angin topan) yang merupakan ilmu golok paling ganas dan paling dahsyat.
Dalam waktu singkat, cahaya golok telah menyelimuti seluruh ruangan perahu, Toan Giok nyaris sudah tak ada tempat untuk mundur lagi.
Bahkan Ku-tojin serta Ong Hui pun sudah terdesak hingga terpaksa harus keluar dari ruang perahu.
Toan Giok sendiri bukannya tak ingin mundur dari situ, apa daya, kemana pun ia berusaha mundur, cahaya golok selalu menyumbat mati jalan perginya.
Betul ilmu meringankan tubuh yang dimilikinya sangat hebat, tapi berada dalam tempat seperti ini, bagaimana mungkin ia dapat menggunakannya?
Ong Hui yang menonton dari luar ruang perahu tak tahan untuk menghela napas, katanya, "Aku masih tak percaya kalau seorang pemuda yang begitu jujur ternyata merupakan seorang pernbunuh keji."
"Mungkin saja selama ini dia berlagak bodoh," kata Ku tojin setelah berpikir sejenak "Apakah kau tak dapat melihat kalau dia pandai sekali berlagak bodoh?"
"Aku hanya dapat melihat kalau Thiat Sui adalah seorang manusia buas yang suka membunuh," kata Ong Hui dingin.
“Oh, ya?”
“Bila ingin membunuh Toan Glok tampaknya bukan karena dia ingin membalaskan dendam bagi Lu Kiu melainkan karena dia sendiri memang gemar membunuh."
Ku-tojin menghela napas panjang, katanya, "Asal orang yang dia bunuh adalah orang bersalah
...."
“Bagaimana kau tahu kalau orang yang akan dibunuhnya adalah orang bersalah,” tukas Ong Hui cepat.
“Bukankah kenyataan sudah terpampang di depan mata?" “Kenyataan apa? Golok itu?"
“Hm”
“Setelah membunuh seseorang, rnungkinkah kau sengaja meninggalkan golok milik sendiri?"
Ku-tojin kembali berpikir sejenak, kemudian katanya, Kenyataannya golok itu sudah terjepit di tubuh korban, mungkin juga dia pergi tergesa-gesa hingga tak sempat mencabut kembali senjatanya”
“Jadi kau anggap dia pantas dibunuh?" tanya Ong Hui lagi setelah termenung sejenak. “Apakah kau anggap dia tidak pastas?"
“Bagaimana pun juga harus kita tanya dulu sebelum membunuhnya,” tukas Ong Hui. “Berarti kau ingin menolongnya?” Ong Hui bungkam, tapi tangan sebelah telah merogoh ke dalam kantong kulit yang tergembol di pinggangnya. Dalam kantong kulit itu berisi senjata api yang nama Pi-lik-hwe di wilayah Kanglam tersohor di seantero jagat.
Tangan Ku-tojin menarik tangannya dan berkata dengan suara dalam, “Masalah ini mempunyai dampak yang sangat besar. Kita berdua adalah orang di luar garis. Lebih baik jangan bergerak secara sembarangan.”
Belum sempat Ong Hui buka suara, tiba-tiba "Blam!,” terdengar suara ledakan keras yang menggetarkan seluruh ruangan. Begitu kerasnya guncangan itu membuat seluruh perahu seolah hendak terbalik
Dengan sendirinya para jago yang berada dalam perahu pun ikut tergetar hingga berjatuhan.
Begitu muncul kilatan cahaya golok, perahu-perahu yang sebelumnya mengerubungi untuk menonton keramaian pun makin lama semakin banyak.
Mendadak terlihat sebuah perahu besar menerjang tiba dengan kecepatan tinggi. Di ujung geladak terlihat seorang pemuda berbaju ungu berdiri sambil memegang galah panjang untuk mendayung.
Walaupun sepintas ia nampak sangat lemah, ternyata kekuatan kedua lengannya sangat besar dan hebat. Ketika galah bambunya ditutulkan beberapa kali, perahu besar itu segera menerjang ke muka bagaikan panah yang terlepas dari busur dan menumbuk lambung kiri perahu pesiar itu.
Saat itu ruang lingkaran yang digunakan Toon Giok untuk menghindar makin lama semakin bertambah sempit. Baru saja dia menyambar sebuah bangku untuk menangkis, mendadak terlihat cahaya golok berkelebat, tahu-tahu bangku itu sudah terpapas hingga tinggal sebelah kaki.
Menyusul Thiat Sui melancarkan kembali tiga bacokan kilat. Siapa tahu lambung perahu bergetar keras, kuda-kudanya langsung goyah, otomatis mata golok yang sedang membacok pun meleset dari sasaran.
Tubuh Toan Giok bergetar keras hingga terpelanting keluar. Di saat cahaya golok kembali menyambar, tubuhnya sudah mencelat keluar dari jendela dan "Plung!", langsung tercebur ke dalam telaga.
Tampak gelembung udara muncul di permukaan telaga, dengan cepat tubuh pemuda itu tenggelam ke dalam air.
Tubuh perahu masih bergoncang keras, diiringi bentakan gusar, Thiat Sui melompat keluar lewat daun jendela.
Tiba-tiba pemuda berbaju ungu yang berada di ujung geladak perahu yang menumbuk perahu pesiar itu tertawa lebar, tangannya segera diayun, selapis cahaya tajam berhamburan menyelimuti seluruh angkasa.
Menghadapi datangnya ancaman, Thiat Sui mengayunkan goloknya berulang kali, cahaya golok bagai lapisan dinding tebal langsung membuyarkan cahaya tajam yang sedang menyambar tiba.
Tapi pada aat itulah pemuda berbaju ungu itu sudah lompat ke udara, lalu dengan gerakan Hi- eng-ji-sui (Ikan pari masuk ke air) dia ceburkan diri pula ke dalam telaga.
Belum hilang riak di atas permukaan air, tubuhnya turut tenggelam ke dasar telaga dan lenyap.
Thiat Sui segera mcnyerbu maju. Sekali cengkeram, dia cekal ujung baju Ku-tojin, lalu bentaknya penuh amarah, “Darimana datangnya bocah keparat itu?"
“Mungkin saja datang menguntit di belakang Toan Giok," jawab Ku-tojin. “Apakah kau tahu siapa dia?"
“Cepat atau lambat, akhirnya pasti akan ketahuan juga." Thiat Sui menghentakkan kaki berulang kali, serunya dengan jengkel,"Menunggu kita tahu dengan jelas, Toan Giok sendiri sudah kabur kemana?”
“Taysu kuatir dia kabur? Tak usah kuatir "
“bagaimana mungkin aku tidak kuatir?” Thiat Sui semakin sewot.
“Keluarga besar Toan berdiam di daratan Tionggoan. Selama dia berada di daratan dia gagah bagaikan seekor naga kecil, tetapi begitu bertemu air, mungkin sulit baginya merangkak keluar lagi.”
Sambil tersenyum, ia berpaling. Tiba-tiba dijumpai Ong Hui sedang melototkan mata, mendelik ke arahnya.
Siapakah pemuda berbaju ungu yang berdiri di ujung geladak perahu? Tanpa pikir panjang, siapa pun pasti dapat menduga, tentu saja dia adalah Hoa Hoa-hong.
Bila seorang perempuan selalu mencari gara-gara padamu, makan cuka oleh tingkah-polahmu, senang beradu mulut denganmu. Tentu saja perempuan semacam ini tak bakal kelewat bodoh.
Oleh sebab itu di kala kau sedang menghadapi masalah atau kesulitan, seringkali justru dialah yang akan muncul untuk menyelamatkan jiwamu.
Sejak awal Hoa Hoa-hong sudah menduga kalau Toan Giok bukan seekor bebek, tapi ayam.
Tak ada ayam yang bisa berenang. Kalau sudah tercebur, biasanya tinggal menunggu saat mampusnya.
Begitu berada dalam air, ia bergerak cepat bagaikan seekor ikan, sepasang matanya yang besar bulat bagaikan mata ikan duyung.
Akan tetapi kemana pun ia bergerak, tak dijumpai tubuh Toan Giok di seputar sana.
Bukankah dengan sangat jelas ia melihat Toan Giok tercebur ke air dan tenggelam? Mengapa tubuhnya bisa hilang tak berbekas?
Apakah tubuhnya berat bagai timbangan besi? Begitu tercebur langsung tenggelam ke dasar telaga?
Baru saja Hoa Hoa-hong ingin muncul ke atas permukaan untuk berganti napas, kemudian menyelam lagi ke dasar telaga, tiba-tiba ia merasa ada semacam benda menyelinap ke arah tengkuknya.
la segera berbalik melancarkan cengkeramen, benda itu segera menyelinap keluar dari cengkeraman tangannya, ternyata seekor ikan kecil.
Begitu dia membalikkan badan, kembali diliharnya seekor ikan besar sedang bergerak mendekat.
Anehnya, ikan besar itu mulai menggapai ke arahnya.
Ikan tak mungkin punya tangan, manusia beru memiliki sepasang tangan. Toan Giok memiliki sepasang tangan.
Tapi sekarang dia tampak jauh lebih gesit daripada seekor. Begitu membalikkan tubuh, ia sudah melesat jauh sekali dari posisi semula.
Sambil mengigigit bibir, sekuat tenaga Hoa Hoa-hong mengejar dari belakang, namun sayang, bagaimana pun dia mencoba, ternyata tetap gagal menyusulnya.
Sejak kecil gadis ini hidup di wilayah Kanglam. Sudah sejak dulu, ia suka bermain air, tapi kenyataannya sekarang, seekor itik ternyata tak mampu mengejar seekor ayam dalam air.
Kenyataan ini betul-betul membuatnya tak puas.
Dasar perahu yang begitu banyak, terlihat bagaikan wuwungan rumah yang berlapis-lapis dari bawah air.
Dia seakan sedang berlarian di antara wuwungan rumah, perasaannya sekarang tak jauh berbeda dengan perasaan di kale ia sedang berkejaran dengan menggunakan ilmu meringankan tubuh. Hanya satu yang berbeda, paling tidak ia butuh tempat untuk berganti napas, sebab bagaimana pun juga dia bukanlah seekor ikan.
Toan Giok pun bukan seekor ikan. Ketika berenang kian kemari, tiba-tiba ia mengeluarkan dua batang gelugu dari sakunya, ujung sini dikulum di mulut dan ujung yang lain muncul di atas permukaan untuk menghirup udara, lalu menyerahkan sisa yang satu ke arah Hoa Hoa-hong.
Dengan menggunakan batang gelugu itulah Hoa Hoa-hong menarik napas panjang. Sekarang dia baru tahu, ternyata hal yang paling membahagiakan bagi seorang manusia adalah hidup bebas di dunia dan menarik napas sebanyak-banyaknya. Karena bisa hidup dalam udara babas merupakan satu hal yang beruntung, karena itu sudah seharusnya merasa puas.
Dalam kehidupan manusia sebenarnya banyak terdapat pelajaran yang berharga, tapi seringkali pelajaran itu baru kau pahami bila suatu ketika kau telah mengalami kejadian yang paling menyiksa.
Di atas telaga Se-ouw alam mau pun benda yang ada di sekitamya indah bagaikan lukisan. Hampir setiap orang mengetahui akan hal ini, tapi orang-orang yang berada di balik keindahan bukan saja sulit dipandang. Bahkan jauh lebih keruh daripada dasar telaga dan hal ini jarang diketahui orang.
Orang yang bisa mengetahui semua keindahan itu tak bisa dibilang mereka beruntung, sebaliknya justru karena mereka sedang sial. Walaupun pengalaman pahit semacam ini sesungguhnya memang sulit dijumpai.
Ada begitu banyak manusia yang berpesiar di telaga Se¬ouw, namun ada berapa banyak di antara mereka yang pernah terjun ke dasar telaga?
Mereka menyelam dan berenang menjauhi tempat semula. Setiap kali berganti napas, bayangan dasar perahu yang tampak makin lama semakin sedikit jelas mereka telah tiba di sebuah tempat yang terpencil.
Saat itulah Toan Giok baru berenang naik ke atas dan muncul dari permukaan air.
Hoa Hoa-hong segera mengikut di belakangnya, ikut muncul di atas permukaan, kemudian dengan sepasang matanya yang besar, dia mengawasi wajah pemuda itu tanpa berkedip.
Toan Giok masih tersenyum, ia menarik napas panjang, seolah saat itu merasa gembira sekali.
Hoa Hoa-hong tak kuasa menahan diri, sambil menggigit bibir, tegurnya, "Kau masih bisa tertawa?"
"Asal manusia masih hidup, dia tentu bisa tertawa. Asal masih bisa tertawa, seharusnya banyaklah tertawa."
"Aku hanya heran, mengapa kau belum juga mati tenggelam?" sumpah Hoa Hoa-hong. Toan Giok hanya menatapnya tiba-tiba tidak bersuara lagi.
Terdengar Hoa Hoa-hong berkata lagi, “Sudah jelas kau adalah seekor ayam, kenapa secara tiba-tiba pandai berenang?”
Dari logat bicaranya, dia seolah berharap Toan Giok paling tidak harus tenggelam dan setengah mampus, kemudian memberi kesempatan kepadanya untuk datang menolong.
Namun kenyataan Toan Giok tidak memberi kesempatan kepadanya untuk menunjukkan kebolehannya. Oleh sebab itu dia merasa sangat marah.
Toan Giok masih menatapnya lekat-lekat tanpa bicara.
"Hey, kenapa kau terus menatap aku?" teriak Hoa Hoa-¬hong dengan suara lantang. "Kau anggap mukaku penuh bisul?"
Toan Giok tertawa, ujarnya sambil tersenyum, "Aku hanya secara tiba-tiba berpendapat, seharusnya kau berada dalam air lebih lama lagi." "Kenapa?” tak tahan Hoa Hoa-hong bertanya.
"Sebab sewaktu berada dalam air, kau kelihatan amat cantik dan menarik."
Dia tahu Hoa Hoa-hang pasti tak paham dengan maksudnya, maka kembali ia menjelaskan, "Sewaktu berada dalam air, matamu masih tetap nampak sangat besar, tapi sayang tak mampu buka mulut."
Mungkin di sinilah satu-satunya bagian yang paling menyenangkan bagi seekor ikan jantan ketimbang kaum lelaki. Sekalipun ikan betina bisa buka mulut pun, hal itu dilakukan untuk bernapas dan bukan untuk banyak bicara.
Oleh sebab itulah sekali lagi Toan Giek menyelam ke dalam air.
la tahu Hoa Hoa-hong pasti tak akan mengampuninya, berada dalam air jauh lebih aman baginya.
Kini Hoa Hoa-hong mau bicara pun, dia tak bakal mendengarnya lagi.
Tapi sayang dia bukanlah seekor ikan, cepat atau lambat harus muncul juga di atas permukaan.
Sambil menggigit bibir Hoa Hoa-hong menunggu di atas, menunggu sampai pemuda itu muncul lagi di atas permukaan. Siapa tahu, walau sudah ditunggu setengah hari pun belum Nampak juga dia muncul.
"Jangan-jangan bocah keparat itu mendadak kejang otot hingga tak mampu muncul di atas permukaan?"
Pada dasamya Hoa Hoa-hong memang seorang gadis yang tak sabaran, tak tahan ia menyelam kembali ke dalam air, kali ini dengan cepat ia berhasil menemukan Toan Giok.
Saat itu dia sedang menarik segumpal rumput air dengan sekuat tenaga, menariknya dari dasar telaga yang berlumpur.
Andaikata waktu itu mereka berada di atas permukaan, Hoa Hoa-hong pasti tak akan mengabaikan kesempatan baik ini. "Sinting", "Idiot", "Goblok" atau kata sebangsanya pasti sudah menerocos keluar dari mululnya. Untung tempat itu adalah di bawah air, oleh sebab itu dia hanya bisa mengawasinya.
Tiba-tiba ia menemukan benda yang sedang dibetotnya bukan segumpal rumput air, melainkan sebuah peti.
Lumpur maupun rumput air yang semula menempel di alas peti itu, kini sudah dibersihkan dari tempatnya.
Peti itu terlihat masih sangat baru, bahan kayu pun berkualitas tinggi, malah bagian atasnya dilapisi tembaga kuning.
Tembaga kuning itu pun masih tampak baru. Hal ini membuktikan kalau benda itu belum lama ditenggetamkan dalam air.
Siapa pun yang telah melihat benda itu, pasti tahu kalau peti itu tak mungkin berisikan pakaian rombeng atau benda tak berharga lainnya.
Peti berharga semacam ini kenapa bisa ditenggelamkan ke dasar telaga? Mengapa tak ada orang yang mengambilnya?
Hoa Hoa-hung segera membantu Toan Giok menyeret keluar peti itu.
Sesungguhnya dia memang terhitung seorang gadis yang besar rasa ingin tahunya. Menjumpai kejadian semacam ini, tentu saja dia tak akan melepaskan peluang itu begitu saja.
Apa isi peti itu? Apakah menyimpan sebuah rahasia yang sangat besar?
Bila ada orang melarangnya membuka peti itu, aneh bila dia tidak mengajak orang itu beradu jiwa
***
Jarak tempat itu dengan tepi telaga sangat dekat, tak lama kemudian mereka telah menyeret peti it naik ke daratan. Saat itulah Hoa Hoa-hong baru bisa menghembuskan napas lega, keluhnya, "Peti itu berat sekali."
"Benar, memang tak enteng."
"Jadi peti ini pasti bukan peti kosong." Toan Giok kembali mengangguk.
"Menurut dugaanmu, apa isi peti ini?” tanya Hon Hoa-hong lagi.
Toan Giok segera tertawa.
"Aku tidak memiliki mata sakti yang bisa melihat sejauh seribu li, kecerdasanku pun tak bisa melampaui Cukat Liang."
"Kalau begitu, kenapa kau tidak segera membukanya?” desak Hoa Hoa-hong sambil mengedipkan matanya.
“Kenapa mesti terburu napsu? Peti ini kan tak bakal kabur dari sini.” "Apalagi yang kau nantikan?" Hoa Hoa-hong semakin tak sabar.
"Paling tidak, tunggulah kita mencari tempat untuk berganti pakaian," sahut Toan Giok sambil tertawa.
Belum habis dia berkata paras muka Hoa Hoa-hong telah berubah jadi merah padam.
Akhirnya dia pun dapat melihat keadaan dirinya saat itu. Bila pakaian yang dikenakan seorang wanita tak lebih hanya sebuah baju yang sangat tips dan pakaian itu basah kuyup, maka keadaannya saat ini pastilah tak sesuai untuk tampil di hadapan seorang lelaki.
Apa mau dikata saat itu Toan Giok justru sedang mengamatinya, bagian tubuh yang sedang ia perhatikan pun kebetulan bagian-bagian yang tidak seharusnya terlihat orang lain.
Pikiran pertama yang terlintas dalam benaknya adalah secepat mungkin terjun kembali ke dalam air, pikiran kedua adalah mencongkel keluar sepasang mata bandit Toan Giok.
Tentu saja hal itu pun hanya berada dalam pikirannya saja.
Seluruh tubuhnya terasa mulai lemas dan kaku, lantaran tatapan mata pemuda itu. Dalam keadaan begini, dia paling hanya bisa bersembunyi di belakang peti itu.
Dengan wajah bersemu merah, umpatnya lirih, "Eh, sepasang mata banditmu memang tak bisa memandang ke arah lain?"
Ternyata tempat itu adalah sebuah tempat yang sangat indah, bahkan Toan Giok sendiri pun tidak menyangka di tengah hutan yang begitu sunyi ternyata terdapat sebuah rumah kecil yang sangat indah dan menawan. Rumah itu biar pun kecil namun tak kalah indah dan mewahnya daripada rumah kecil yang pernah dia datangi bersama Hoa Ya-lay semalam.
Hanya kali ini bukan Hoa Ya-lay yang mengajaknya ke sana, melainkan Hoa Hoa-hong, kelihatannya kaum wanita selalu memiliki lebih banyak akal daripada kaum lelaki.
Saat ini Hoa Hoa-hong sedang berganti pakaian di dalam. Hoa Hoa-hong belum mulai berganti pakaian.
Walaupun pakaiannya yang basah telah ditanggalkan, namun ia masih berdiri termangu-mangu di sana, termangu-mangu sambil mengawasi bentuk tubuh sendiri.
Di hadapannya persis terdapat sebuah cermin yang besar sekali. Di depan cermin itulah ia berdiri, berdiri sambil memandang bentuk tubuh sendiri.
Kini dia sudah bukan lagi seocang anak-anak.
Dada dengan payudara yang montok dan kenyal, pinggang yang ramping, sepasang paha yang mulus dan halus disertai kulit badan yang begitu mulus dan lembut bagaikan kain sutera.
Bahkan dia sendiri pun sulit untuk menemukan cacat atau kotoran yang melekat di badannya, jangankan orang lain, bahkan dia sendiri pun terkadang terangsang setiap kali memandang bentuk tubuh sendiri. Bagaimanakah perasaan Toan Giok bila menyaksikan tubuhnya yang bugil?
Tangan Hoa Hoa-hong mulai bergerak. Dengan lembut, dengan halus dan perlahan ia mulai meraba payudara sendiri, lalu meraba pinggangnya, terus turun ke bawah, meraba perut sendiri… semakin ke bawah kemudian... kemudian..
Daun jendela berada dalam keadaan tertutup, tirai bambu pun tertutup hingga ke bawah.
Tiba-tiba saja gadis itu merasakan sekujur badannya mulai panas, rasa panas yang aneh, rasa panas yang cepat menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tahun ini dia baru tujuh belas tahun.
Bukankah usia tujuh belas merupakan usia yang paling aneh, paling indah dan paling sensitif sepanjang hidup manusia?
Akhirnya Hoa Hoa-hong selesai berganti pakaian, ia keluar dari dalam kamar.
Kini dia mengenakan sebuah gaun panjang berwarna hijau apel, potongan mau pun jahitannya sangat pas dengan bentuk tubuhnya dan kebetulan semakin menonjolkan bentuk kematangan tubuh seorang gadis yang telah berusia tujuh belas tahun.
Pakaian yang dikenakan merupakan mode mutakhir dari kaum gadis muda saat itu, kulit tubuhnya yang memang halus dan lembut, kini dibedaki sedikit pupur yang amat tipis.