Bag 03 : Tosu perempuan isteri Ku-tojin
Semua orang terperangah, terkesima, berdiri melongo dengan mata terbelalak, mereka memandang keheranan, apalagi ketika melihat gadis itu sebentar mencak-mencak gusar, sebentar lagi tertawa manis.
Saat ini Ceng-beng (waktu tengok kubur) baru lewat saat yang paling cocok untuk berpesiar di telaga. Sepanjang jalan mereka bertemu banyak orang, apalagi mendekati pintu biara, ada begitu banyak laki-perempuan, tua-muda yang bertumpah ruah di sana.
Di antara mereka ada pelancong yang datang dari tempat jauh, ada pula yang datang dari kota untuk pasang hio, ada lelaki tua yang berjualan lilin dan hio, ada juga nona cilik dengan keranjang bunga melati, di antara mereka ada yang bicara dengan tutur bahasa sopan dan halus, ada juga lelaki kasar dengan omongan busuk.
Padahal suasana semacam ini sangat lumrah, dapat kau jumpai dimana pun di dunia ini, orang dengan aneka-ragam penampilan pun nyaris bisa kau jumpai di seluruh dunia.
Hanya semacam manusia yang tak nampak, mereka tidak melihat ada Tojin, jangankan sekelompok, seorang Tosu pun tak nampak.
Memang aneh bila menjumpai Tosu berada di biara kaum hwesio.
Di sudut dinding, tampak ada dua orang Hwesio kecil sedang bersembunyi di pojokan sambil mencuri makan gula-gula mereka berdua baru saja menyelinap keluar dari dalam Hong-lin-si.
Toan Giok tak ingin melanggar pantangan para Hwesio, dia pun tak berani masuk ke dalam biara untuk mencari tahu, tapi untuk bertanya kepada dua orang Hwesio cilik rasanya memang tak masalah.
"Tolong tanya Siau-suhu berdua, apakah dalam biara terdapat seorang Tojin she Ku?" "Tidak ada"
"Belum pernah ada Tosu yang berani masuk ke pintu kami, kalau ada pun mereka pasti akan dihajar sampai kabur "
"Kenapa?"
"Karena ada banyak orang iri setelah melihat banyak peziarah berkunjung kemari, mereka selalu berniat merebut kekayaan biara, selalu mencari akal busuk untuk merampas
daerah kekuasaan kami” “Betul, bahkan guruku sering bilang, untuk cukur rambut saja para Tosu enggan, mana mungkin bisa menjadi seorang pendeta yang bersih hatinya dan suci pikirannya?"
"Konon ada Tosu yang punya bini!"
Tampaknya kedua Hwesio cilik ini belum lama menjadi pendeta. Kalau ditinjau dari mimik mukanya, mereka seolah menyesal mengapa bukannya menjadi Tosu yang diizinkan
berbini, sebaliknya malah menjadi Hwesio.
Toan Giok mulai tertarik, diam-diam ia sisipkan sebongkah perak ke dalam saku mereka dan berbisik, "Selewat dua hari, cari topi untuk menutupi kepala gundul kalian. Sana,
pergi ke rumah makan Sam-ya-wan dan cicipi ikan Song-so-hi, hidangan di sana sangat enak." Hwesio cilik itu meliriknya dua kejap, tiba-tiba mereka balik badan dan langsung kabur.
Hoa Hoa-hong tak bisa menahan geli, serunya sambil tertawa cekikikan, "Dasar orang jahat, kau hanya memikat orang untuk berbuat dosa."
"Masa makan ikan juga dosa?"
"Mana ada orang beribadah makan makanan berjiwa?"
"Daging arak hanya numpang lewat, sementara hati Buddha berada dalam hati, masa kau belum pernah mendengar perkataan ini?"
"Untung kau tak menjadi Hwesio. Kalau tidak, pastilah kau seorang Hoa-hwesio, Hwesio cabul!" "Seandainya harus menjadi pendeta, aku lebih suka menjadi seorang Tosu, tak bakaL menjadi
Hwesio."
"Kenapa?"
"Seharusnya kau tahu kenapa," jawab Toan Giok sambil tersenyum.
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong teringat kembali ucapan Hwesio cilik tadi, kontan dia mendelik, tapi kemudian katanya sambil tertawa tergelak, "Tadinya kusangka kau jujur dan polos, siapa
sangka kau pun bukan orang baik-baik."
Tiba-tiba lanjutnya setelah berhenti sejenak, "Tapi kau pun seorang IeIaki tolol." “Tolol?”
"Mendengar dari mana kalau dalam biara ini ada Tosu?" "Dari si tukang perahu."
"Memang kau kenal dia?" “Tidak!”
“Jadi karena dia menyuruh kau datang kemari mencari Tosu, maka kau pun datang kemari?
Kalau dia suruh kau mencari Nikoh di sini, apakah kau pun akan datang juga?"
Toan Giok tertegun.
‘Pantangan keenam, jangan gampang mempercayai perkataan orang!’
Tiba-tiba ia merasa dirinya lagi-lagi melanggar sebuah pantangan dari ayahnya.
"Bila para Hwesio yang kau hajar benar-benar anggota biara Siau-lim, jelas kerepotan yang bakal kau hadapi sangat besar, tapi biara Siau-lim adalah sebuah perguruan besar kaum lurus, rasanya mustahil mereka akan mencabut nyawamu hanya gara-gara urusan kecil ini."
Toan Giok tidak menjawab, dia hanya mendengarkan.
"Lagi pula," terdengar Hoa Hoa-hong melanjutkan, ''bila pihak biara Siau-lim betul-betul hendak menghukurn mati dirimu, Liong-cinjin dari gunung Bu-tong pun belum tentu
Mampu menolongmu, apalagi hanya seorang Tosu yang sama sekali tak dikenal!"
Kali ini Toan Giok menghela napas panjang.
Hoa Hoa-hong ikut menghela napas, terusnya, ''Manusia yang begitu gampang mempercayai perkataan orang macam ini, suatu saat dijua I orang pun mungkin kau tak sadar."
"Aku hanya mempercayai sesuatu hal," tiba-tiba Toan Giok menyela. “Percaya apa?" “Ucapan si tukang perahu itu pasti bukan hanya bertujuan menipu aku datang kemari dengan sia-sia."
"Jadi kau menganggap dia punya tujuan lain?"
"Benar!" Toan Giok mengangguk, "Jika ia berniat mencelakai aku, dapat dipastikan dia akan menyiapkan sebuah perangkap lebih dulu di tempat ini dan menunggu aku datang."
"Dan kau sudah datang?" tanya Hoa Hoa-hong sambil mengedipkan matanya. Toan Giok tertawa getir.
"Sayang, dimana letak perangkap itu pun hingga sekarang aku belum tahu," katanya. "Kalau kau bisa tahu, bukan perangkap namanya," seru Hoa Hoa-bong. Kemudian setelah
tertawa, tiba-tiba katanya lagi,
"Namanya perangkap, selamanya tak bakal kelihatan, maka kau baru bisa tercebur ke dalamnya."
"Jadi setiap waktu, aku dapat tercebur ke dalamnya?" "Benar."
Toan Giok ikut mengedipkan mata beberapa kali.
"Tapi aku tak kenal si tukang perahu itu. Bila manusia semacam dia ingin mencelakai aku, bukankah bisa jadi si kusir kereta yang ada di depan itu pun rekan komplotannya?"
"Ehm, kemungkinan itu selalu ada," jawab Hoa Hoa-hong serius.
"Kalau begitu, setiap orang yang berada di seputar sini, kemungkinan besar juga merupakan komplotannya?" kata Toan Giok sambil memandang sekejap sekeliling tempat itu.
"Ehm!"
Kontan sepasang mata Toan Giok melotot, serunya, "Bagaimana dengan kau? Adakah kemungkinan itu?"
"Justru akulah yang paling mungkin," teriak Hoa Hoahong sambil cemberut "Oh"
"Sekarang juga aku ingin melolohmu dengan arak racun, semangkuk demi semangkuk, melolohmu sampai kau mati keracunan!"
"Ai, rasanya mati keracunan memang lebih enak daripada mati tenggelam” Toan Giok menghela napas.
“Kau berani ikut aku?” tantang Hoa Hoa-hong sambil mendelik. “Kemana?”
Sambil menuding ke arah depan, sahut Hoa Hoa-hong, “Kelihatannya di depan sana ada warung arak, kau "
Mendadak kata-katanya terhenti setengah jalan.
Karena ia menemukan arah yang dituding jari tangannya adalah tiga huruf besar. Tiga huruf yang berbunyi, "Ku-tojin".
***
Kain hijau yang digantungkan jauh di atas tiang bambu telah memutih karena sering dicuci, di atas kain itu tertulis tiga huruf besar.
Ku-tojin! Tiga huruf yang besar sekali.
Ternyata Ku-tojin bukan nama seorang Tosu, Ku-tojin adalah nama sebuah warung arak. Warung arak ini merupakan sebuah bangunan kecil yang terdiri dari dua bangunan kayu.
Suasana dalam bangunan selain gelap juga lembab.
Selain tumpukan guci arak yang menggunung dalam ruang dalam, di luar bangunan rumah, di bawah tenda yang terbuat dari bambu pun tampak berjajar guci-guci arak yang amat besar. Di atas guci arak itu diberi papan kayu yang merupakan meja untuk tamu, sedang di sekelilingnya berjajar bangku kecil.
Memang banyak sekali warung arak semacam ini di kota hang-ciu yang besar dan padat. Dalam warung arak semacam ini, biasanya mereka hanya menyediakan arak dingin, tak ada hidangan panas, paling hanya tersedia kacang rebus, kedelai, garam atau hidangan ringan lain.
Oleh sebab itu kebanyakan tamu yang berkunjung adalah tamu-tamu berusia lanjut.
Bagi manusia semacam ini, cukup asal ada tempat untuk minum arak, lagi pula mereka seringkali berkunjung tak kenal waktu. Oleh sebab itu meski saat ini belum menjelang tengah hari, namun meja-meja di warung arak ini sudah tertata rapi.
Seorang bocah kudisan bermata juling menggotong keluar semangkuk besar wedang kacang yang masih panas, di depan meja sudah terlihat dua orang kakek sedang minum arak.
Sudah hampir setengah harian Hoa Hoa-hong dan Toan Giok masuk ke dalam warung itu, tapi si bocah kudisan itu belum juga datang mendekat untuk memberi pelayanan.
"Apakah kau adalah Lopan warung ini?" dengan nada menyelidik Toan Giok bertanya.
"Kalau aku adalah Lopan tempat ini, seharusnya warung ini kuubah namanya menjadi warung kudisan," jawab si kudis sambil melotot.
"Lalu siapa Lopannya?"
"Memangnya kau buta huruf?" si kudis balik bertanya sambil menuding tulisan di luar warung.
"Oh, ternyata di tempat ini benar-benar ada seorang Tojin bernama Ku-tojin," sahut Toan Giok kemudian sambil tertawa.
"Sebetulnya kalian datang untuk minum arak atau tidak?" tanya bocah kudisan itu melotot. "Kalau tidak minum arak, mau apa kami datang kemari?" balas Hoa Hoa-hong sambil melotot
pula.
"Berapa banyak arak yang kalian pesan?"
“Siapkan dulu dua puluh mangkuk arak Hoa-tiau, tuang ke dalam tabung arak."
Dengan matanya yang juling, si kudisan melotot sekejap ke arah gadis itu, lambat-laun mimik mukanya berubah sedikit lebih ramah.
Hanya sejenis orang yang paling dihormati dan disambut hangat di tempat ini, orang dengan takaran minum luar biasa.
Di samping meja kasir terlihat sepasang lian tergantung di sisi kiri dan kanannya. Sepasang lian itu berbunyi:
"Nasi takaran kecil membuat orang kelaparan, ikan dan arak wangi membuat usus tambah lebar."
Membaca tulisan itu, tak tahan Toan Giok bertanya, "Jadi di sini pun tersedia ikan masak cuka?"
“Tidak!" sahut si kudis. “Tapi sepasang lian itu "
“Lian adalah lian, ikan adalah ikan!" seusai bicara, si kudis segera berlaIu sambil mendelik, dia seolah malas melihat lagi ke Toan Giok.
Menghadapi perlakuan semacam ini, Toan Giok hanya bisa tertawa getir.
“Begitu buka suara, gaya setan cilik itu seolah sedang mencari orang untuk diajak berkelahi.
Entah siapa yang telah membuatnya mendongkol?"
"Benar, manusia macam begini memang amat langka, jarang bisa ditemui," sambung Hoa Hoa- hong sambil tertawa pula.
“Tapi aku pernah bertemu manusia antik macam begitu," bisik Toan Giok sambil mengedipkan matanya.
“Siapa?"
Toan Giok tidak menjawab, dia hanya tertawa. Kontan Hoa Hoa-hong mendelik, ancamnya sambil menggigit bibir, "Bila kau berani mengatakan orang itu adalah aku, hmm, aku benar-benar akan meracunimu sampai mampus!"
Tapi selesai berkata, dia malah tertawa geli sendiri.
Biarpun mereka baru berkenalan, tapi sekarang hubungan mereka berdua justru lebih akrab daripada sahabat yang telah kenal lama,
Pada saat itulah si kudis telah muncul kembali sambil membawa lima tabung arak, "Blam!", dia letakkan arak itu di atas meja kemudian balik badan dan berlalu.
Di atas meja memang sudah tersedia mangkuk kosong.
Toan Giok menuang dua mangkuk arak, baru saja dia hendak angkat mangkuk untuk diteguk. “Tunggu sebentar” tiba-tiba Hoa Hoa-hong menahan tangannya.
“Menunggu apa lagi?”
“Tentu saja aku tak benar-benar ingin meracunimu, tapi bagaimana dengan orang lain?” Toan Giok segera tertawa.
“Biarpun aku tak suka melihat tingkah laku setan cilik itu, masa dia pun menginginkan nyawaku?”
Hoa Hoa hong tidak tertawa. Dengan wajah cemberut tegurnya, “Memangnya kau sudah lupa, kedatanganmu kemari untuk mencari siapa?”
“Aku belum mabuk”
“Jika kau sudah terancam bahaya, memangnya Tosu gadungan yang menjual arak bisa menyelamatkan nyawamu?”
“Mungkin saja dia hanya menggunakan status sebagai penjual arak untuk merahasiakan asal- usulnya.
“Oleh karena itu kemungkinan besar dia adalah seorang jago lihai yang telah hidup mengasingkan diri”
“Benar”
“Oleh sebab itu ilmu silatnya mungkin sangat hebat” sambung Hoa Hoa-hong lagi. “Benar”
“Mungkinkah ia akan meracunimu lewat arak?”
Kalau si tukang perahu gagal menenggelamkan Toan Giok hingga mampus, bisa saja dia minta rekan komplotannya untuk meracuni pemuda itu sampai mati.
Kemungkinan semacam ini jelas ada.
Tampaknya bukan saja jalan pikiran Hoa Hoa-hong lebih cermat dan teliti, bahkan ia benar- benar menaruh perhatian padanya.
Toan Giok ingin bicara, tapi segera urung, sebab secara tiba-tiba ia melihat ada seseorang sedang mengawasi mereka.
Siapa pun itu orangnya, setelah melihat orang itu, tak tahan dia pasti akan melihatnya lagi beberapa kejap.
Tentu saja orang itu adalah seorang wanita, tentu saja wanita yang teramat cantik, bahkan amat menawan hati, dia pun amat pandai berdandan.
Wanita yang pandai berdandan belum tentu akan menggunakan bedak dan gincu tebal. Pada wajah oval perempuan yang cantik itu sama sekali tak nampak pupur atau pun gincu.
Tapi pakaian yang dikenakan sangat indah dan menawan, gaun berwarna hijau tua yang ketat dikombinasikan dengan baju atas yang serasi dengan potongan badannya. Bukan cuma bahannya berkualitas mahal, jahitan serta perpaduan warnanya pun sangat indah dan pas.
Konon berpakaian pun merupakan semacam ilmu, bukan pekerjaan gampang untuk memahami dan menguasai ilmu semacam itu. Dilihat dari usianya, perempuan itu sudah tidak termasuk muda, tapi dia memiliki kecantikan luar biasa, kematangan yang membangkitkan napsu siapa pun.
Perempuan seusia dia, ibarat sekuntum bunga yang baru mekar, indah, cantik dan mempesona. Toan Giok menatapnya, perasaan kagum seketika terpancar dari balik matanya.
Hoa Hoa-hong sedang mengawasi pemuda itu. Dari pancaran sinar matanya, ia segera mengetahui kalau ia sedang mengawasi wanita lain.
Oleh sebab itu dia pun ikut berpaling.
Secara kebetulan ia saksikan perempuan itu sedang tersenyum. Senyuman yang begitu matang dan cantik.
Hanya perempuan seusia dia yang mengerti mengulum senyuman semacam ini.
Kontan saja wajah Hoa Hoa-hong berubah cemberut, tegurnya dengan suara lirih, “Siapa perempuan itu?”
"Tidak tahu."
"Kau tidak mengenalnya?" Toan Giok menggeleng.
"Kalau memang tidak kenal, kenapa dia melemparkan senyuman kepadamu?" tanya Hoa Hoa- hong lagi.
"Ada sementara orang memang suka melempar senyum untuk orang lain, lebih baik tersenyum daripada setiap hari hanya memberi kesulitan pada orang," jawab Toan Giok tawar.
"Apakah sekarang kau sedang mencari masalah denganku?" Hoa Hoa-hong melotot besar.
Toan Giok tidak menanggapi, karena saat itu perempuan cantik tadi sedang berjalan menghampiri mereka berdua
Caranya berjalan, gayanya sewaktu melangkah, ternyata begitu indah dan mempesona. Dengan senyum manis menghiasi bibir, as berjalan menghampiri mereka berdua "Kelihatannya kalian berdua datang dari tempat jauh."
"Apa urusannya denganmu?" sela Hoa Hoa-hong cepat.
"Tentu saja tak ada urusan denganku," jawab perempuan itu masih dengan tersenyum. "Kalau memang tak ada urusan, buat apa kau bertanya?"
“Aku hanya sekedar bertanya."
"Apa gunanya bertanya?"
"Karena tamu yang mampir kemari biasanya hanya tamu langganan lama, jarang melihat ada orang asing macam kalian berdua."
"Tamu macam apa yang berkunjung kemari, memangnya ada sangkut-paut denganmu?" "Kalau soal ini memang ada," sahut perempuan cantik itu sambil tertawa.
"O, ya,.”
"Itulah sebabnya aku tahu nona pasti datang dari tempat jauh, Kalau tidak, masa kalian tak tahu siapakah aku?"
Ternyata dia pun sudah tahu kalau Hoa Hoa-hong adalah perempuan yang menyaru sebagai pria.
“Memangnya kau punya keistimewaan?" Hoa Hoa-hong semakin sewot, dia menegur sambil tertawa dingin.
"Kalau dibicarakan, memang ada sedikit keistimewaan." "Dimana keistimewaannya?"
“Tidak setiap wanita dapat kawin dengan seorang Tosu, benar bukan?" ujar perempuan itu sambil tertawa.
Hoa Hoa-hong melengak. "Apa kau bilang?" serunya. “Suamiku adalah Ku-tojin, oleh karena itu ada banyak orang secara diam-diam menjuluki aku sebagai Li-tosu, Tosu perempuan. Mereka takut aku memakai julukan itu, padahal aku amat senang panggilan semacam itu."
Ia tersenyum. Setelah berhenti sejenak, lanjutnya, "Kalau aku tak suka Tosu mana mungkin kawin dengan seorang Tosu?"
Kali ini Hoa Hoa-hong tak mampu bicara lagi. Bagaimana pun juga, memang tak banyak wanita yang mau kawin dengan seorang Tosu.
Toan Giok pun ikut tertawa.
Dia mulai merasa Tosu perempuan ini selain cantik, juga amat menawan.
Menyaksikan mimik muka pemuda itu, api amarah Hoa Hoa-hong berkobar makin besar, tiba- tiba dia sambar mangkuk arak didepannya lalu ditenggak habis.
“Wah ternyata nona pun pandai minum arak?" tegur Tosu perempuan itu. “Memangnya aku tak boleh minum?" teriak Hoa Hoa-hong keras.
“Aku hanya merasa heran, kenapa secara tiba-tiba nona tidak kuatir dalam arak telah dicampuri racun?”
Ternyata bukan saja matanya tajam, telinga nya pun amat panjang.
Paras muka Hoa Hoa-hong sedikit agak menghijau, karena rasa dongkol yang luar biasa.
Untunglah Tosu perempuan itu segera berganti topik pembicaraan, katanya, “Orang macam kalian, tentu bukan datang kemari hanya untuk minum arak, bukan?”
“Tepat sekali, cayhe memang khusus datang untuk menyambangi Ku-tojin,” jawab Toan Giok sambil tersenyum.
“Kau kenal dengannya?” “Sama sekali tidak”
“Berarti ada orang menyuruh kalian datang kemari?” “Benar!”
“Siapa yang menyuruh kau kemari?” “Aku sendiri pun tidak kenal”
Kelihatannya Tosu perempuan itu mulai tertarik dengan persoalan ini, katanya setelah mengedipkan matanya beberapa kali, “Macam apakah orang itu?”
“Seorang tukang perahu” “Tukang perahu?”
“Mungkin aslinya bukan, tapi sewaktu aku bertemu dengannya, ia memang seorang tukang perahu” Setelah tertawa getir, lanjutnya, “Bila aku sampai tercebur ke dalam air, mungkin saat ini sudah mati tenggelam”
Tiba-tiba Tosu perempuan menghela napas panjang. “Sudah kuduga, pasti dia!”
“Sebenarnya siapakah orang itu?”
“Orang itu dari she Kiau, mungkin tak akan ditemukan orang kedua di kolong langit yang begitu suka mencampuri urusan orang lain!”
“Aku setuju dengan pendapatmu!” seru Toan Giok sambil tertawa.
Tosu perempuan menatapnya cukup lama, kemudian bertanya lagi, “Benarkah dia yang minta kau datang kemari?”
“Ehm!”
“Kau telah membunuh orang?”
Toan Giok tidak tahan untuk tidak tertawa. Dengan tertawa sama arti dia telah menyangkal.
Siapa pun orang yang telah membunuh, tak nanti dia bisa tertawa sepolos dan secerah itu. “Dari tampangmu, kau tak mirip orang yang telah membunuh” ujar Tosu perempuan sambil
tersenyum. Dia menghembuskan napas lega, tapi dengan cepat tanyanya pula. “Apakah belakangan kau telah melakukan satu kasus besar?” Sekali lagi Toan Giok menggeleng, ia balik bertanya sambil tertawa, “Memangnya aku mirip perampok? Bandit? Begal?”
“Atau mungkin kau membawa barang merah hingga ada yang menincar” “Barang merah?”
“Barang merah artinya benda-benda mestika yang tak ternilai harganya, seperti intan permata, zamrud, batu mulia”
“Rasanya tidak juga”
Tosu perempuan berkerut kening.
“Lalu masalah apa yang telah kau perbuat?” tanyanya. “Masalah tidak ada, tapi kesulitan memang ada sedikit”
“Mungkin bukan hanya sedikit kesulitanmu, kalau tidak, mungkin Kiau losam akan menyuruh kau kemari”
“Aku hanya sempat menghajar beberapa orang”
“Siapa yang telah kau hajar?” “Beberapa orang hwesio”
“Hwesio? Hwesio macam apakah mereka?”
“Beberapa orang hwesio yang amat galak. Kalau didengar lagak lagunya, mereka seperti bukan berasal dari tempat ini”
“Apakah hwesio yang pandai bersilat?”
“Benar!” Toan Giok manggut-manggut, “Kelihatannya mereka seperti pandai menggunakan Siau-lim kun”
Untuk kesekian kalinya Tosu perempuan itu berkerut kening. Ujarnya kemudian, “Sewaktu akan keluar rumah, apakah tak ada yang memberitahu kepadamu, selama berjalan dalam Kangouw, lebih baik menghindari pertikaian dengan kaum pendeta, Tosu dan pengemis?”
“Pernah ada yang memberitahu, sayangnya tiba-tiba saja aku melupakannya,” sahut Toan Giok tertawa getir.
“Ai, rupanya kau pun kelewat temperamen, tak bisa mengekang hawa napsu, “ Tosu perempuan menghela napas panjang.
“Padahal seranganku tak kelewat berat, malah tak seorang pun yang sempat kulukai, aku tak lebih hanya memaksa mereka terjun ke dalam air!”
“Kenapa?”
“Karena tak terbiasa melihat mereka menganiaya orang.” “Siapa yang mereka aniaya?”
“Hanya…hanya seorang wanita”
“Sudah aku duga, pasti seorang wanita,” sela Tosu perempuan sambil tertawa, “Apakah wanita itu amat cantik?”
Agak bersemu merah wajah Toan Giok karena jengah, sahutnya tergagap, “Dia…dia memang tak jelek.”
“Siapa namanya?”
“Dia mengaku bernama Hoa Ya-lay.”
Untuk ketiga kalinya Tosu perempuan itu berkerut kening, bahkan keningnya dikerutkan kencang-kencang. Sampai lama kemudian baru bertanya, “Sebelum ini kau pernah kenal dengannya?”
“Jangankan kenal, bersua pun tak pernah”
“Kau hanya melihat beberapa orang Hwesio itu sedang menganiayanya, lalu tanpa bertanya hingga jelas kau sudah memaksa mereka tercebur ke dalam air?” Tanya Tosu perempuan itu lagi.
“Mereka memang tidak memberi kesempatan kepadaku untuk bicara” “Lalu?” “Lalu dia memaksa aku minum arak menemaninya” jawab Toan Giok dengan wajah bersemu merah.
“Kau pasti sudah minum kelewat banyak arak, bukan?” Tanya Tosu perempuan sambil menatap lekat wajahnya.
“Tak bisa dibilang kelewat sedikit”
“Kemudian?” “Kemudian..kemudian aku pergi” “Begitu sederhana?”
“Heeeh!”
“Benar kau tidak dirugikan?” “Benar, tak ada kerugian apa pun”
“Bila kau bukan kelewat pintar, nasibmu pasti sedang bagus!” puji Tosu perempuan sambil tertawa.
“Memangnya siapa wanita itu? Apakah banyak orang sering mengalami kerugian di tangannya?” Tak tahan Toan Giok bertanya.
Tosu perempuan menghela napas panjang, ujarnya, “Kau benar-benar tidak tahu? Dia adalah begal wanita yang amat kesohor namanya di wilayah selatan”
Toan Giok tertegun, untuk sesaat itidak bicara.
Kembali Tosu perempuan berkata, “Setelah berpisah dengannya kau pun bertemu Kiau losam?” “Betul, waktu itu fajar baru saja menyingsing” Toan Giok mengangguk membenarkan.
“Apakah waktu itu kau masih belum tahu orang macam apakah dia?”
Toan Giok tertawa getir.
“Aku hanya tahu, bukan saja dia menghendaki semua barang dalam sakuku, bahkan mengundangku mencebur ke dalam air telaga untuk mandi”
“Saat itu kau masih berada di atas perahunya?”
“Ya, dan perahu itu sekarang sudah tenggelam” untuk menunjukkan rasa sosialnya Toan Giok menghela napas.
“Ha ha ha, tapi kau tak mirip orang yang pernah tercebur ke dalam air,” seru Tosu perempuan sambil tertawa geli.
“Memang perahunya sudah tenggelam, tapi aku tak ikut tenggelam,” Tak tahan ia tertawa geli, lanjutnya, “Mungkin juga karena nasibku memang benar-benar sedang mujur”
“Ai, aku bilang mungkin dikarenakan nasibmu yang kurang mujur,” ujar Tosu perempuan itu sambil menghela napas.
“Kenapa?” Tanya Toan Giok tercengang.
“Seandainya kau benar-benar tercebur ke dalam air, munkin kesulitan di kemudian hari bakal ada sedikit lebih kecil”
“Aku tak mengerti?”
“Kau pernah mendengar nama Ceng-ong (Raja pendeta) Thiat-sui?” “Belum”
“Dulunya orang ini adalah murid Siau-lim-pay, tapi lantaran tak kuat menahan belenggu dan segala peraturan yang berlaku dalam biara, belakangan entah mengapa ternyata dalam gusarnya dia meninggalkan Siau-lim-pay dan mengangkat diri menjadi raja diraja kaum pendeta. Bayangkan saja, pihak biara Siau-lim-pay sendiri pun tak bisa berbuat banyak terhadapnya. Dari sini bisa disimpulkan orang macam apakah dirinya itu.”
“Aku lihat orang ini selain makhluk aneh, nyalinya juga cukup gede,” seru Toan Giok agak tertarik. “Orang ini sama seperti namanya, terkadang orangnya temperamen, berangasan dan kasar, terkadang dia halus dan pakai aturan, membikin orang susah meraba tabiat aslinya.”
“Kalau dilihat dari keberaniannya menantang Siau-lim-pay secara terang-terangan, jelas kungfunya sangat lihay.”
“Betul, konon ilmu silatnya terhitung jagoan nomor satu dalam Siau-lim-pay, hanya saying lantaran perangai dan sifatnya yang kelewat jelek, kedudukannya dalam biara Siau-lim selalu amat rendah”
“Atau mungkin lantaran hal ini, maka dia tak betah dan meninggalkan biara Siau-lim?”
“Padahal dia tak bisa dibilang orang jahat, hanya sifatnya memang kelewat kasar, latah, angkuh, jumawa dan pendendam. Saat tak pakai aturan jauh lebih banyak daripada saat dia pakai aturan. Barang siapa berani membuat kesalahan terhadapnya, jangan harap bisa hidup tenteram” Bicara sampai disini, kembali Tosu perempuan menghela napas, lanjutnya kemudian.
“Baru dua tiga bulan ia datang ke Kanglam, sudah ada tujuh-delapan orang jago Bu-lim kenamaan yang keok di tangannya. Konon asal dia turun tangan, maka lawannya kalau tidak mampus, pasti kehilangan sebuah lengan atau kakinya. Belum lama berselang Bu-ciu Toa-hau Pui Kong terkena sebuah sodokan tinjunya, setelah muntah darah hampir dua bulan lamanya, dia akhirnya mati di atas ranjang”
“Apakah Pui Kong yang kau maksud adalah Cianpwe yang konon telah berlatih ilmu Kim-ciong- cau (Sangkar genta emas) serta Thiat-poh-san (Jubah baja)?”
“Betul sekali” sahut Tosu perempuan sambil menghela napas, “Sampai orang yang telah berlatih Kim-ciong-cau saja tak kuat menahan pukulannya, apalagi orang lain?”
Toan Giok termenung beberapa saat, kemudian katanya, “Berarti keempat Hwesio yang kuhajar itu adalah anggota perguruannya?”
Tosu perempuan manggut-manggut.
“Sejak meninggalkan biara Siau-lim, dia mulai menerima murid secara besar-besaran. Barang siapa ingin bergabung dalam perguruannya, mereka harus menggunduli kepala seperti Hwesio, tapi setelah menjadi anggota perguruannya jangan kuatir ada orang berani menganiayanya. Oleh sebab itulah jumlah muridnya sekarang mungkin jauh lebih banyak daripada jumlah murid biara Siau-lim”
Setelah menghela napas, lanjutnya, “Bayangkan sendiri jika seseorang berani menyalahi orang semacam ini, apakah kerepotannya tidak besar?”
Toan Giok terbungkam tak sanggup berkata-kata lagi.
Kembali Tosu perempuan itu berkata, “Apalagi dalam kejadian ini, kesalahan bukan berada di pihaknya, melainkan di pihakmu”
“Di pihakku?”
“Sudah cukup banyak jago silat wilayah Kanglam yang jadi korban Hoa Ya-lay. Sekali pun Thiat Sui membunuhnya, hal ini pun lumrah dan merupakan tindakan adil. Tapi sekarang kau telah membela manusia semacam ini, bukankah sama artinya mencari penyakit buat diri sendiri?”
“Wah, tampaknya aku tak ingin mengaku salah pun sudah tak mungkin lagi,” Toan Giok tertawa getir.
“Sekarang Thiat Sui pasti sudah menganggap kau sebagai komplotan Hoa Ya-lay, maka dia pasti tak akan melepaskan dirimu.”
“Aku bisa memaklumi”
“Apakah kau sudah lupa, seringkali dia adalah seseorang yang tak pakai aturan?”
“Maka dari itu, kecuali aku digebuk sampai mati, rasanya memang sudah tak ada pilihan lagi!” “Mungkin masih ada sebuah jalan yang bisa kau tempuh”
“Jalan yang mana?” Dengan jari tangannya yang lentik, Tosu perempuan menuding ke depan. Yang dituding adalah sebuah pintu.
Pintu itu berada di dalam warung arak yang gelap, lembab dan sempit, berada di belakang meja kasir yang dipenuhi kacang rebus.
Tirai di depan pintu berwarna biru dan kotor oleh bekas minyak, di atasnya tertera tiga huruf besar: “Ku-tojin”
“Apakah Tojin masih tidur?” tanya Toan Giok.
“Sejak kemarin ia berjudi hingga sekarang, sama sekali belum tidur sekejap pun.” “Wah, hebat betul selera Tojin,” puji Toan Giok tertawa.
Tosu perempuan ikut tersenyum.
“Biar pun dia seorang setan judi, bahkan juga setan arak, tapi kesulitan apa pun yang sedang kau hadapi, pasti akan dihasilkan cara paling aneh dan antic untuk menyelesaikannya. Kiau losam memang tidak salah menyuruh kau mencarinya”
“Sekarang aku sudah boleh masuk untuk menemuinya?”
“Sahabat Kiau losam, sahabat kami juga, setiap saat kau boleh masuk ke dalam,” jawab Tosu perempuan sambil tertawa, “Hanya saja…”
Sesudah menghela napas, wajahnya memperlihatkan mimik muka apa boleh buat, lanjutnya, “BIasanya begitu si setan judi mulai bermain judi, biar langit ambruk pun dia tak bakal mendongakkan kepala memandangmu sekejap.”
“Aku bisa menunggunya di samping, menonton orang berjudi terkadang merupakan hiburan yang menarik”
Tosu perempuan itu menatapnya lekat-lekat, tiba-tiba ujarnya sambil tertawa, “Kelihatannya kau tertarik dengan masalah apa pun.”
Belum sempat Toan Giok buka suara, terdengar Hoa Hoa-hong menyela dengan nada dingin, “Perkataanmu tepat sekali! Diri dia sudah dijual orang pun, dia tetap merasa hal itu sangat menarik.”
Selama ini dia hanya duduk di samping sambil mendengarkan, tampaknya selama ini dia selalu merasa marah.
“Kau tak usah kuatir,” sahut Toan Giok sambil tertawa.
“Biar pun ada orang hendak menjualku, belum tentu ada yang suka membeli.”
“Perkataan ini pun tidak salah,” kata Hoa Hoa-hong lagi sambil tertawa dingin, “Siapa yang mau membeli orang goblok?”
“Benarkah aku seperti orang goblok?”
“Kau benar-benar hendak masuk ke dalam?”
“Kedatanganku memang khusus untuk menyambangi Ku-tojin” “Dan kau tak akan percaya biar orang lain mengatakan apa pun?” Toan Giok menghela napas panjang.
“Ai, bila kau tak percaya orang lain, mana mungkin orang lain mempercayaimu?”
Tiba-tiba Hoa Hoa-hong bangkit. Dengan wajah masam serunya, “Baik, kalau akan pergi, pergilah!”
“Dan kau?”
“Aku tak tertarik melihat orang main judi, aku terlebih tak ingin menemani orang goblok mengantar kematian, aku masih ada urusan,” seru Hoa Hoa-hong sambil tertawa dingin.
Dia sama sekali tidak menengok lagi ke arah Toan Giok, sekejap pun tidak. Sambil membalik badan, dia langsung beranjak pergi dari situ.
Toan Giok hanya mengawasinya, ternyata nona itu benar-benar pergi meninggalkan tempat itu. “Kau tidak menahan kepergiannnya?” tanya Tosu perempuan sambil mengedipkan matanya. Toan Giok menghela napas panjang.
“Bila seorang wanita sudah memutuskan akan pergi, tak seorang pun dapat menahannya.” “Siapa tahu dia tak sungguh-sungguh akan pergi”
“Kalau dia tak sungguh-sungguh akan pergi, buat apa pula aku menahannya?”
Sekali lagi Tosu perempuan itu tertawa.
“Ternyata kau memang sangat menarik, terkadang aku pun merasa setiap perkataanmu sangat masuk akal.”
“Sekarang aku hanya berharap nasibku betul-betul sedang mujur,” ucap Toan Giok sambil tertawa getir.
“Tapi aku tetap akan membujukmu satu hal,” tiba-tiba Tosu perempuan itu berkata serius. “Aku siap mendengarkan.”
“Setelah masuk ke dalam, jangan sekali-kali kau bertaruh dengan mereka. Kalau tidak, mungkin kau benar-benar akan mempertaruhkan dirimu sendiri”
Tentu saja Toan Giok tak akan berjudi, karena hal itu merupakan salah satu pantangan yang selalu diajarkan ayah kepadanya.
“Dalam sepuluh kali perjudian, Sembilan diantaranya adalah menipu. Dalam persilatan penuh tersebar kaum penipu, semakin menganggap dirinya pintar dan cekatan, makin parah kekalahan yang dideritanya. Sebelum kau tahu jelas asal-usul dan seluk-beluk orang lain, jangan sekali-kali pergi berjudi, jangan sekali-kali kau lakukan.”
Toan Giok memang bukan termasuk orang yang bakal sakit parah, kalau tidak berjudi, tentu saja dia tak akan ikut berjudi.