Jilid 23 : Bertemu Kakek Telaga Dingin lagi
KINI aku sedang menjalankan titah dari ibuku untuk segera berangkat ke kota Ceng kang guna menjumpai ayahku, sekalipun harus menempuh mara bahaya, tugas ini tak bisa kutunda dengan begitu saja”
“Haaah…. haaaah…. haaaah….” Thong-thian Kaucu segera tertawa terbahak bahak” Meskipun kau memiliki keberanian untuk melanjutkan perjalanan dengan menempuh bahaya, tetapi pun-kaucu merasa tidak lega membiarkan engkau lanjutkan perjalanan seorang diri”
Dari pembicaraan yang selama ini berlangsung, Hoa Thian-hong dapat menarik kesimpulan bahwa Thong- thian Kaucu mempunyai maksud jelek terhadap dara ayu itu, dengan gusar ia mendengus lalu serunya, “Hmmm! Musuh tangguh sedang berada diambang pintu, kau sebagai kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw bukanya memikirkan perkumpulannya yang berada dipintu gerbang kehancuran, sebaliknya malah mencampuri urusan orang lain…. apakah engkau tak takut kalau perbuatanmu itu akan ditertawakan orang?” Dengan wajah berubah dan mata melotot besar Thong-thian Kaucu berpaling, kemudian serunya ketus, “Kau sibocah cilik, tahu apa? Saat ini situasi amat kritis dan masing-masing pihak sekarang berusaha merebut posisi yang lebih menguntungkan dengan menggunakan kecerdikan-nya masing-masing, andaikata Jin Hian berhasil menawan putri sulung dari Pek Siau-thian ini, dengan adanya sandera di tangan maka apa yang dia minta pasti akan dikabulkan oleh orang she Pek itu…. coba bayangkan apakah urusan ini tidak menyangkut soal keamanan dari pihak Thong-thian-kauw? Apakah pun kaucu tidak pantas untuk mengurusinya?”
“Benar juga perkataan itu,” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “Seandainya pihak Hong-im-hwie berhasil menguasai Sin-kie-pang, maka dengan kekuatan gabungan dua perkumpulan yang maha besar, pihak Thong-thian-kauw pasti akan mengalami kehancuran total.”
Sementara itu Pek Soh-gie telah berkata, “Kecerdasan kaucu benar-benar mengagumkan hati siau li, tolong tanya apakah maksud kaucu dan apa pula yang musti siau li lakukan sekarang….”
“Turutilah anjuran dari kaucu dan jadilah tamu dari perkumpulan Thong-thian-kauw untuk sementara waktu, dengan cepat aku akan mengirim orang untuk memberi kabar kepada ayahmu agar dia datang menjemput sendiri dirimu….” Setelah mendengar perkataan itu, adalah Hoa Thian- hong tentang apa yang sedang terjadi, bukannya gusar dia malah tertawa, katanya, “Haaah…. haaah…. suatu rencana yang amat bagus, suatu siasat yang benar-benar licik, rupanya bicara pulang pergi selama ini tujuannya tidak lain adalah engkau sedang menjalankan rencana besarmu…. agaknya kau hendak menganggap nona ini sebagai saudara agar pangcu dari Sin-kie-pang menuruti kemauanmu….”
“Hmmm! bukan begitu, saja,” tukas kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw dengan alis berkerut, “engkaupun akan sekalian kuringkus, agar orang tuamu serta komplotanmu bisa kupergunakan pula tenaganya”
“Seandainya Sin-kie-pangcu serta sahabat dan kerabat keluarga Hoa kami tak mau menuruti kemauanmu, apa yang hendak kaulakukan?”
“Hmmm! gampang sekali, kalau memang demikian keadaannya maka jiwa kalian berdua tak bisa diselamatkan lagi!”
Hoa Thian-hong segera tertawa terbahak-bahak. “Haaah…. haaaah…. haaaaah…. cara kerjamu benar-
benar terkutuk dan memalukan sekali, aku rasa Jin Hian pribadi belum tentu mempunyai jalan pikiran serendah itu, ditinjau dari hal ini bisa ditarik kesimpulan bahwa kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw ada lah manusia yang paling tak tahu malu diantara tiga kekuatan besar” “Hmmm! Siapa yang berhasil dia jadi raja, siapa yang gagal dia jadi buronan, siapa tinggi siapa rendah tak bisa ditetapkan dengan perkataan semacam itu!”
“Haah…. haah…. haaah…. pendapat yang tinggi, pendapat yang tinggi…. meskipun aku orang she Hoa tidak becus, namun aku tak sudi menyerah kalah dengan begitu saja, silahkan kaucu turun tangan, aku ingin sekali minta beberapa petunjuk darimu!”
“Hmm! aku sebagai ketua dari suatu kekuatan besar tak sudi turun tangan melayani kurcaci macam engkau!”
Sambil berkata dia segera angkat senjata hudtimnya dan dikebutkan ke arah kawanan tosu cilik berjubah merah itu.
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya.
“Kau anggap sebuah barisan pedang yang begini kecil benar-benar mampu mengurung kami….” teriaknya.
Bentakan keras berkumandang di angkasa, cahaya tajam berkelebat menyilaukan mata, tiba-tiba selapis hawa pedang yang amat tajam mengurung datang dengan hebatnya.
Hoa Thian-hong melototkan matanya, ia lihat kabut pedang yang menyelimuti tempat itu rapat sekali seolah- olah dari enpat penjuru memancar masuk sinar perak yang amat tajam, begitu cepat datangnya serangan itu hingga tahu-tahu sudah tiba di depan mata. Dalam keadaan dan apa boleh buat, terpaksa dia enjotkan badan dan berkeling ke samping.
Belum sempat tubuhnya berdiri tegak, tiba-tiba terasa beberapa desiran angin tajam kembali membokong tubuhnya dan mengancam jalan darah penting di belakang pinggang.
Buru-buru ia tekuk pinggang ke depan, menyalurkan hawa pukulan dan putar badan mengirim satu serangan dengan jurus Kun Siu Ci sau untuk membendung datangnya ancaman angin dingin dari belakang itu.
Sementara itu Pek Soh-gie yang masih tetap berdiri di sisi lapangan, tiba-tiba diserang oleh seorang tosu cilik baju merah dengan sebuah totokan kilat, ia jadi kaget dan buru-buru loncat ke belakang untuk menghindar, dalam waktu singkat kedua orang itu segera terjerumus di dalam kepungan delapan orang tosu cilik dengan barisan pedangnya yang lihay itu.
Hoa Thian-hong yang harus menerima kekalahan dalam satu jurus belaka, diam-diam merasa amat terkejut, ia segera pertingkat kewaspadaannya untuk menjaga segala kemungkinan yang tidak diinginkan.
Dengan telapak kiri mainkan jurus Kun siu ci sau untuk melak ukan pertahanan, tangan kanannya diam-diam disaluri dan siap melancarkan serangan dengan jurus ‘menyerang sampai mati’ yang diketahui amat ampuh dan mengerikan itu. Sebagai pemuda yang, berpengalaman dan tenaga dalamnya cukup sempurna, setelah bertempur beberapa jurus dia mulai bisa menangkap gerak-gerik kedelapan orang tosu cilik baju merah itu, ia tahu bahwa mereka memiliki serangkaian ilmu pedang yang amat sakti dengan kematangan yang luar biasa, bila harus bertempur satu lawan satu mungkin mereka masih bukan tandingannya, tetapi setelah bergabung di dalam barisan pedang Kan Lee kiam tin ini maka kehebatan-nya sungguh luar biasa.
Di tengah pertempuran, bayangan tubuh kedelapan orang tosu cilik baju merah itu mendadak lenyap tak berbekas, yang terrlihat hanyalah cahaya pedang yang berkelebat silih berganti, kian lama pertempuran itu berlangsung barisan pedang itupun bergerak semakin cepat, dengan sendirinya daya tekanan pun semakin hebat sehingga jauh diluar dugaan Hoa Thian-hong….
Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie yang terjebak dalam barisan itu lama kelamaan jadi gugup dan gelagapan, mereka merasa keteter hebat dan tak mampu bergerak lebih banyak.
Untung tujuan lawan ingin menangkap mereka dalam keadaan hidup, sehingga setiap saat terancam bahaya mereka selalu berhasil meloloskan diri dalam keadaan selamat kendati begitu keadaan mereka cukup mengcemaskan.
Tiba-tiba terdengar Thong-thian Kaucu berteriak dengan suara keras, “Pek Soh-gie, pedang dan golok tak bermata kalau kau mau menyerah dan mengaku kalah maka jiwamu bisa selamat, tetapi kalau tetap membandel, jangan salahkan kalau sampai jiwamu terancam”
Pek Soh-gie tetap berlagak pilon dan seolah-olah tidak mendengar sesuatu di tengah pertarungan ia tetap bekerja keras menangkis serta membendung datangnya ancaman ancaman pedang yang muncul dari empat penjuru….
Pada dasarnya kepandaian silat yang dia kuasahi hanya ilmu mempertahankan diri, justru karena itulah kepandaian tersebut se gera menunjukkan manfaatnya dalam kerubutan barisan pedang itu.
Lain keadaannya dengan Hoa Thian-hong, ilmu pukulan tangan kirinya hanya khusus digunakan untuk menyerang belaka, di bawah perubahan barisan Kan Lee Kiam tin yang serba rumit dan membingungkan ia jadi kewalahan sendiri, sebaliknya ilmu totokan Ci yu jit ciat di tangan kanannya tak mampu mengimbangi permainan telapak kirinya yang begitu cepat dan gencar itu….
Dalam waktu singkat pertempuran sudah berlangsung ratusan jurus banyaknya, tampak cahaya tajam memancar keempat penjuru, hawa pedang membumbung ke angkasa, cahaya tajam yang menyilaukan mata memancar keluar dari barisan Kan Lee kiam tin itu dan menelan tubuh Hoa Thian-hong berdua….
Kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw yang menonton jalan-nya pertempuran itu dari sisi lapangan diam-diam merasa senang hati setelah menyaksikan kemenangan berada di pihaknya, setelah menyaksikan pula kecantikan wajah Pek Soh-gie yang begitu menawan hati, tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya.
“Gadis itu begitu cantik dan menawan hati, dalam seratus tahun sulit untuk menemui perempuan semacam ini, sedang Hoa Thian-hong adalah pemuda berbakat yang bisa di pakai tenaganya, aku tak boleh bertindak gegabah sehingga melukai kedua orang itu….”
Berpikir sampai disitu ia segera enjotkan bidan dan menerjang masuk ke dalam barisan, jari tangannya bekerja cepat melancarkan sebuah totokan ke arah tubuh Pek Soh-gie.
Sementara itu putri sulung dari Pek Siau-thian ini sudah tak kuasa menahan diri, ketika Thong-thian Kaucu melancarkan serangannya ia tak mampu melakukan perlawanan lagi. Tampak bayangan manusia berkelebat lewat, tahu-tahu jalan darah Gi sim nya jadi kaku dan sambil menjerit tertahan robohlah tubuhnya terkulai ke atas tanah.
Thong-thian-kauw bekerja cepat, ia segera menyambar pinggangnya dan mengepit di bawah ketiak, senjata hud-timnya berkelebat kemuka langsung menyapu tubuh Hoa Thian-hong.
Pemuda itu sangat gusar, tubuhnya dengan cepat menyingkir ke samping menghindarkan diri dari kebutan tersebut, telapaknya lang sung membabat ke depan. Serangan yang dilancarkan dalam keadaan marah ini sungguh luar biasa sekali, sulit bagi Thong-thian Kaucu untuk melayani dengan begitu saja, suara bentakan segera berkumandang diangkat, cahaya pedang yang menyilaukan mata meluncur datang dari depan belakang kiri maupun kanan, begitu gencar serangan itu memaksa Hoa Thian-hong harus menarik kembali serangannya sambil loncat ke samping.
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dia putar senjata hud-timnya, kemudian laksana kilat berkelebat kemuka.
Sebelum Hoa Thian-hong sempat melakukan suatu tindakan, dua buah jalan darahnya tahu-tahu sudah ditotok oleh kebutan tersebut, kakinya jadi lemas dan tak tahan lagi ia roboh terjengkang ke atas tanah.
Semua kejadian itu berlangsung dalam sekejap mata, angin malam masih berhembus sepoi-sepoi. cahaya bintang bertaburan di angkasa, fajar sama sekali belum menyingsing.
Air muka Thong-thian Kaucu berseri-seri, ia memandang sekejap ke arah Pek Soh-gie yang berada dalam kepitannya, dari balik mata memancarkan sorot cahaya yang mengandung birahi.
Setelah jalan darah kakunya tertotok, Pek Soh-gie kehilangan semua tenaganya dan tak bisa berkutik, ketika ia sadar dan menyaksi kan dirinya berada dalam pelukan orang, wajahnya berubah jadi merah karena jengah, rasa malu dan marah bercampur aduk membuat gadis itu hampir saja menangis.
Dalam keadaan begini ia tak bisa berbuat lain kecuali pejamkan mata rapat-rapat dengan wajah hijau kepucat- pucatan, diam-diam ia merasa menyesal sekali….
Hoa Thian-hong sendiri berbaring di atas tanah dengan mata melotot bulat, ia memandang ke arah Thong-thian Kaucu dengan sorot mata dingin penuh kegusaran, ingin sekali dia loncat bangun dan melancarkan serangan dengan sepenuh tenaga, tapi sayang, jalan darahnya tertotok dan ia tak mampu melakukan apa yang diinginkannya itu.
Dalam keadaan begini pemuda tersebut hanya bisa mengatur napas sambil berusaha untuk membebaskan diri dari pengaruh totokan.
“Hoa Thian-hong!” terdengar kaucu dari perkumpulan Thong-thian-kauw itu berseru, “menurut laporan anak buahku, katanya kau malang melintang di dalam dunia persilatan tanpa tandingan, menurut penglihatanku berita yang tersiar dalam dunia persilatan tak bisa dipercaya sama sekali”
“Tak usah banyak bacot” tukas Hoa Thian-hong dengan mata melotot, “mau cincang mau bunuh, cepat lakukan!”
“Haah…. haaah…. haah….” Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak sambil mengelus jenggotnya, “hanya beberapa orang bocah cilik saja tak mampu menangkan, buat apa engkau melakukan penjalanan di dunia persilatan serta mencari nama di kolong langit?”
Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya, dengan gusar ia berseru, “Seorang lelaki boleh dibunuh tak sudi di hina, engkau sebagai ketua dari suatu perkumpulan besar apakah tidak malu merosotkan derajat sendiri dengan sikap seperti itu?”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, ia duduk kembali di atas tandunya dan meletakkan tubuh Pek Soh- gie disampingnya, kemudian kepada tosu cilik yang membawa senjata Ji gi titahnya, “Totok jalan darah Sam yang nya!”
Toosu cilik itu mengiakan dengan hormat lalu berjalan menghampiri si anak muda itu, dia ambil keluar tiga batang jarum perak yang panjangnya dua cun kemudian di tancapkan di atas jalan darah Gi cung, Gi ji serta Jit kan tiga buah jalan darah penting.
Setelah jarum itu ditusuk ke dalam tubuhnya, dengan gerakan yang cekatan sekali dia tepuk bebas jalan darah sang pemuda yang tertotok.
Setelah tiga urat pentingnya terkunci maka hawa murni tak dapat disalurkan lagi, dalam keadaan begini sekalipun seorang jago lihay yang memiliki tenaga dalam amat sempurnapun akan berubah menjadi seorang manusia lemah yang sama sekali tidak bertenaga. Cara ini aneh sekali dan hanya Thong-thian Kaucu seorang yang memahami. Hoa Thian-hong berusaha mencoba beberapa kali tapi setiap kali hawa murninya tak mampu dikerahkan keluar, akhirnya dia menghela napas panjang dan tanpa mengatakan sepatah katapun menantikan hukuman yang akan dijatuhkan kepadanya.
Thong-thian Kaucu tertawa, dia ketuk gagang hud- timnya di atas tandu, empat tosu cilik baju kuning itu segera menggotong tandu tadi dan diiringi bunyi musik aneh, berangkatlah rombongan itu balik melalui jalan semula….
Hoa Thian-hong dengan digotong oleh dua orang tosu cilik baju merah berjalan di belakang tandu itu, sepanjang perjalanan otaknya berputar terus memikirkan semua ke jadian yang dialaminya selama sehari ini….
Pagi tadi ia masih menjadi tamu terhormat dari Giok Teng Hujin. waktu itu keadaannya begitu agung dan penuh wibawa.
Kemudian tengah hari…. terbayang kembali kejadian ditepi laut, dimana Giok Teng Hujin munculkan diri di depannya dalam keadaan telanjang ia gelengkan kepala berulang kali, rasa malu dan menyesal muncul dalam hati kecilnya.
Terbayang akan diri Giok Teng Hujin, tanpa terasa dia angkat kepala dan menengok ke arah Pek Soh-gie yang berbaring di atas tandu, ia temukan ketika itu Thong- thian Kaucu yang berada disisinya dengan mengamati tubuh gadis itu dengan sorot mata aneh, ia segera teringat akan soal pedang emas, pikirnya, “Menurut petunjuk dari Giok Teng Hujin, katanya pedang itu semuanya terdiri dari dua batang yakni pedang jantan dan pedang betina, menurut dia pedang yang betina sekarang tersimpan di dalam pedang pusaka milik Thong-thian Kaucu….”
Berpikir sampai disini tanpa terasa sinar matanya segera dialihkan ke arah kanan di mana tosu cilik baju merah itu memegang sebilah senjata pedang pusaka, ditinjau dari warna sarung pedangnya yang coklat dan antik bisa dibayangkan bahwa pedang itu tentulah sebilah pedang mustika….
Tapi…. benarkah pedang emas berada di dalam pedang pusaka itu? dan Thong-thian Kaucu sendiri tahukah tentang persoalan ini?
Kemudian ia teringat kembali akan nenek baju abu- abu yang munculkan diri secara mendadak, ia teringat kembali ketika pipinya di tampar dengan keras….
Pikirnya di dalam hati, “Aaaai….! Seharusnya dari dulu aku mesti tahu diri, berbicara tentang adat istiadat aku tidak terlalu terikat oleh adat yang tetek bengek tak karuan itu, sebaliknya tentang ilmu pedang aku hanya mengandalkan sejurus ilmu pukulan belaka, bukan saja ilmu pedang sudah kulupakan, tiga jurus ilmu totokan dari Ci yu jit ciat pun tak berhasil kuyakini….”
Makin kupikir ia semakin menyesal hingga tanpa terasa keringat mengucur keluar membasahi tubuhnya, kini ia sudah tertawan dan mati hidupnya sukar diramalkan, kemungkinan bagi dirinya untuk merubah semua kesalahan itu kian menipis.
Sementara ia sedang menyesal dan kecewa sambil berusaha mencari akal untuk meloloskan diri, tiba-tiba suara musik berhenti dan suasana berubah jadi sunyi senyap.
Ia segera menengadahkan ke atas, tampaklah sebuah kuil yang megah dengan atap hijau tembok merah muncul di depan mata.
Beberapa saat kemudian rombongan imam itu sudah berada diruang dalam, sambil bangkit dari tandunya Thong-thian Kaucu segera, memerintahkan, “Bawa nona itu masuk istana Yang sim tian dan jebloskan Hoa Thian- hong ke dalam penjara bawah tanah!”
Mendengar perintah itu Hoa Thian-hong serta Pek Soh-gie tanpa sadar saling bertukar pandangan, sorot mata mereka berdua sama-sama memancarkan kecemasan, bibir bergerak seperti mau mengucapkan sesuatu namun tak sepatah katapun yang diutarakan keluar.
Tampaklah empat orang tosu cilik itu segera menggotong tandu itu dan membawa Pek Soh-gie berlalu dari sana, sebaliknya dua orang tosu yang lain segera menggusur tubuh Hoa Thian-hong menuju ke arah bela kang istana….
Di belakang bangunan kuil itu didirikan sebuah rumah yang terbuat dari batu, disanalah biasanya Thong-thian Kaucu memenjarakan buronannya, setelah tiba disana kedua orang tosu baju merah itu segera serahkan Hoa Thian-hong kepada petugas penjara, oleh sang petugas pemuda itu dijebloskan ke dalam sebuah ruang batu yang kecil dan bertirai besi.
Ruangan itu luasnya hanya delapan depa, ampat penjuru tiada jendela kecuali sebuah lubang hawa sebesar mangkuk di atas pintu baja, karena itu meskipun di tengah hari namun suasana dalam ruangan itu tetap gelap gulita dan terasa lembab sekali.
Terdengar bunyi suara gemerincingan yang menggema memecahkan kesunyian, pintu ruangan ditutup dari depan. Hoa Thian-hong melihat ruangan itu kosong melompong, kecuali ia sendiri tak nampak ada benda lain lagi yang berada disitu.
Diam-diam segera pikirnya, “Asal ketiga batang jarum perak yang menancap di atas dadaku bisa kucabut keluar, niscaya penjara batu yang kecil ini tak mampu mengurung diriku, cuma….” dia lepaskan pakaiannya dan meraba ketiga batang jarum perak itu, terasalah benda- benda itu menancap ke dalam tubuhnya hingga lenyap, bila dihari biasa asal dia mengerah kan tenaga dalam di atas jarinya maka jarum itu akan segera tercabut keluar, tapi sekarang hawa murninya tak mampu disalurkan maka tindakan semaeam itupun tak mungkin bisa dilakukan.
Dengan putus asa pemuda itu hanya bergumam seorang diri, “Waaah…. kalau aku mati di tempat ini, hal itu benar-benar tak ada harganya….” Setelah termenung sebentar, ia berpikir lebih jauh, Bulan tujuh tanggal lima belas pihak perkumpulan Thong-thian-kauw akan mengadakan pertemuan Kian ciau tay-hwee…. Hmmm! pertemuan Kian ciau tay hwee…. hanya akan berlangsung tujuh delapan hari lagi, waktu itu pelbagai aliran akan saling berjumpa, pelbagai keluarga yang bermusuhan akan bertemu satu sama lainnya pada waktu itu pembicaraan yang tidak cocok akan mengakibatkan banjir darah…. mayat akan bertumpuk bagaikan bukit…. dalam menghadapi pertemuan yang begini pentingnya, apa ibu akan hadir atau tidak….
Terbayang akan ibunya, ia merasa rindu bercampur sedih, rasa ingin hidup semakin menjadi…. dia ingin cepat-cepat lolos dari tempat itu dan bertemu kembali dengan ibunya.
Mendadak suara gemerincingan berkumandang dari luar ruangan.
Satu ingatan berkelebat dalam benaknya, seolah-olah dia melihat Giok Teng Hujin dengan sanggulnya yang tinggi serta gaunnya yang panjang sedang munculkan diri diternpat itu.
Suara gemerincingan sekali demi sekali berkumandang terus tiada hentinya, jantung terasa berdebar semakin keras, lama kelamaan ia mulai tak kuasa menahan diri…. Beberapa saat kemudian suara langkah kaki yang santai berhenti tepat di depan pintu ruangannya, diikuti pintu besi itupun dibuka orang….
Hoa Thian-hong mengintip keluar lewat celah pintu yang terbuka, namun tidak nampak seorang manusiapun berada disana, tanpa terasa ia bertanya dengan suara lirih, “Siapa?”
Gelak tertawa yang rendah dan berat bergema diseluruh ruangan, suara tertawa itu begitu dingin dan menyeramkan seakan-akan muncul dari liang salju yang amat dalam, Hoa Thian-hong jadi merinding dan bulu kuduknya tanpa terasa pada bangun berdiri.
Tiba-tiba pintu besi dibuka orang, seorang imam perawakan tinggi dengan sebilah pedang tersoren pada punggungnya bagaikan sukma gentayangan murcul di depan pintu.
Hoa Thian-hong dengan tajam menatap imam itu beberapa saat lamanya, tiba-tiba ia teringat kembali siapakah orang itu, tanpa te rasa sambil tertawa nyaring serunya, “Oooh…. aku kira siapa yang datang, tak tahunya adalah Ang Yap tootiang…. selamat datang, selamat datang….”
Ang Yap toojin mendengus dingin, sambil menyeringai seram serunya, Hoa Thian-hong, kau tak mengira bukan, bakal menjumpai hari seperti ini….?” Hoa Thian-hong mengerutkan alisnya lalu tertawa, katanya, “Kenapa musti ini hari? Kalau engkau hendak membalas dendam silahkan saja untuk turun tangan….”
“Huuuh….! dalam keadaan begini kau masih bisa bicara keras? Kalau sucoumu sudah turun tangan…. Hmmm! Mungkin kau tak kuat menahan diri”
Sembari berkata perlahan-lahan imam itu maju ke depan.
Dari sikap lawannya dingin menyeramkan, diam-diam Hoa Thian-hong terkejut juga, pikirnya, “Kedatangannya pasti mengandung maksud maksud tertentu, tosu tua ini tentu akan menyiksa dan membunuh aku untuk melampiaskan rasa dendamnya….”
Setelah tiga buah jalan darahnya disumbat oleh tusukan jarum perak, segenap kepandaian silatnya tak mampu digunakan lagi, sekalipun mara bahaya mengancam di depan mata namun ia tak mempunyai kemampuan untuk melarikan diri.
Kiranya Ang Yap toojin secara diam-diam menaruh hati kepada Giok Teng Hujin, siapa tahu pihak perempuan sama sekali tidak punya minat terhadap dirinya, membuat hasrat yang terbenam itu selalu gagal un tuk mencapai apa yang dikehendakinya.
Setelah melihat kemesraan yang di perlihatkan Giok Teng Hujin terhadap Hoa Thian-hong, rasa dengki dan cemburunya kontan berkobar dalam benak imam itu, rasa marah dan iri tadi berkecambuk terus kian lama kian bertambah tebal sehingga akhirnya hawa amarahnya tadi dilampiaskan pada si anak muda she Hoa.
Suatu ketika pukulan Sau yang ceng kie yang dilancarkan Hoa In telah mengakibatkan ia menderita luka parah dan sampai saat itu belum juga sembuh, kejadian ini semakin membuat imam itu mendendam Hoa Thian-hong hingga merasuk ketulang sumsum, ia bersumpah dalam hatinya hendak membinasakan musuh cintanya itu dalam keadaan apapun jua.
Criiing….! Suara gemerincingan bergema memenuhi angkasa, perlahan-lahan Ang Yap Toojin meloloskan pedangnya, dengan sorot mata memancarkan hawa nafsu membunuh dan muka menyeringai menyeram-kan, serunya, “Manusia she Hoa, kau pingin mati atau pingin hidup?”
“Eeei…. aneh sekali pertanyaanmu itu!” kata sang pemuda dengan alis berkerut, “bukankah engkau bermaksud menghabisi jiwaku? Apa gunanya mengajukan penawaran tersebut?”
Ang Yap Toojin tertawa dingin.
“Heeeh…. heeeh…. jika engkau ingin hidup, tentu saja Too-ya dapat memberikan sebuah jalan kehidupan bagimu, cuma jalan itu sempit dan kecil sekali, aku takut engkau tak punya keberanian untuk melewatinya!”
“Aku orang she Hoa tidak memiliki kemampuan apa- apa, tapi aku rasa masih memiliki sedikit keberangan untuk menghadapi segala kejadian yang bakal menimpa diriku, coba katakanlah bagaimana sempit dan ke-cilnya jalan tersebut? Seandainya aku merasa sanggup untuk melewatinya, aku orang she Hoa pasti akan mencobanya”
Ang Yap Toojin menggetarkan ujung pedangnya di atas raut wajah Hoa Thian-hong, ujarnya sambil tertawa menyeringai.
“Jika dibicarakan sebenarnya tidak begitu menakutkan, bilamana engkau ingin hidup maka Too-ya akan merobek raut wajahmu yang tampan itu, agar Ciong Lian-khek mendapat kawan berwajah busuk macam diri mu itu!”
mendengar perkataan tersebut, dalam benak Hoa Thian-hong segera terbayang kembali raut wajah Ciong Lian-khek yang penuh bercodet dan bekas bacokan senjata itu, wajah yang menyeramkan membuat hati pe muda itu jadi bergidik, pikirnya di dalam hati, “Sungguh aneh sekali peristiwa ini, apa sih sangkut pautnya antara wajahku dengan rasa dendamnya?”
Tiba-tiba satu ingatan berkelebat dalam benaknya, tanpa sadar ia berteriak.
“Oooh….! Sekarang aku mengerti”
“Hmm! engkau belum tentu mengerti,” jengek Ang Yap toojin dengan suara dingin.
Hoa Thian-hong tersenyum. “Kedatanganmu kesini adalah masuk secara pribadi dan tanpa sepengetahuan ataupun seijin kaucu kalian, karena kau takut tidak mendapat persetujuan dari sang kaucu untuk mencabut jiwaku, maka muncullah ingatan dalam benakmu untuk merusak raut wajahku ini agar rasa dendam yang berkecamuk dalam dadamu bisa dilampiaskan, bukankah begitu?”
“Heeeeh…. heeeh…. heeeh…. tebakanmu memang sama sekali tidak salah,” jawab Ang Yap Toojin sambil tertawa seram, ”tapi tahukah engkau bahwa Too-ya pun sudah mengambil keputusan Untuk ber buat nekad? Asal engkau ingin mati maka Too-ya akan segera memenggal batok kepala ku kemudian kabur jauh-jauh dari tempat ini, perduli amat dengan kaucu atau bukan!”
“Oooh….! rupanya rasa benci orang ini terhadap diriku sudah terlalu mendalam” pikir Hoa Thian-hong di dalam hati, “waah…. berabe juga ini, apa yang musti kulakukan?”
Setelah berpikir sebentar, dia alihkan kembali sorot matanya menatap tajam raut wajah imam tersebut, ia temukan bahwa ketika itu sepasang matanya telah berubah jadi merah membara, bibirnya bergetar keras sekali dengan air mukanya berubah jadi begitu mengerikan macam malaikat pembunuh dari neraka, sadarlah pemuda itu bahwa apa yang diucapkan lawannya mungkin sekali dapat dilakukan benar-benar.
Maka diapun lantas mengangguk sambil ujarnya sungguh-sungguh, “Kalau begitu…. baiklah, akan kupikirkan sebentar….” “Too-ya malas untuk menunggu terlalu lama!” bentak Ang Yap Toojin sambil menggerakkan senjata pedangnya.
Hoa Thian-hong berlagak pilon dan seolah-olah tidak mendengar perkataan itu pikirnya, “Meskipun raut wajah Ciong Lian-khek cianpwee sudah rusak dan menjadi buruk, akan tetapi ia tetap merupakan seorang lelaki sejati, ia tetap merupakan seorang pendekar besar yang berjiwa pahlawan…. urusanku belum sempat kuselesaikan semua, aku tak boleh mati dengan begitu saja…. aku harus berusaha untuk mempertahankan hidupku agar semua pekerjaan yang tertunde bisa kuselesaikan….”
Berpikir sampai disitu, ia terbayang kembali akan pinangan dari Pek Siau-thian untuk putri bungurnya, lalu teringat pula akan perbuatan Giok Teng Hujin dirinya…. setelah berpikir sebentar akhirnya dia mengambil keputusan, dengan terus terang ujarnya.
“Ang Yap, akan menyerah kalah…. anggap saja ini hari engkau lebih lihay dariku, si1ahkan merusak raut wajahku ini dengan ujung pedangmu itu…. aku orang she Hoa sudah ambil keputusan untuk memilih jalan kehidupan saja….
Rupanya Ang Yap Toojin merasa tercengang dan diluar dugaan mendengar keputusan dari lawannya, setelah tertegun sejenak ia segera menengadahkan ke atas dan tertawa seram. “Haahh…. haahh…. bagus sekali! rupanya kau si bangsat cilikpun merupakan manusia kurcaci yang takut mati!”
Tubuhnya menerjang maju ke depan, pedangnya dikebaskan dan…. Sreeet! langsung membacok wajah pemuda itu.
Keputusan Hoa Thian-hong untuk mengorbankan raut wajahnya dan mempertahankan kehidupan diambil karena keadaan yang terpaksa dan mendesak sekali, melihat datangnya sambaran cahaya pedang yang menyilaukan mata, hati terasa tercekat, tak mungkin bagi dirinya untuk menghindarkan diri lagi dari bacokan tersebut, terpaksa ia pejamkan matanya rapat-rapat.
Criiing….! terdengar bunyi gemerincingan yang amat nyaring berkumandang memenuhi seluruh angkasa, pintu besi di depan penjara seolah-olah didorong oleh suatu kekuatan yang maha besar, tiba-tiba terbentang lebar dengan sendirinya.
Begitu keras bunyi gemerincing tersebut sehingga membuat Ang Yap Toojin maupun Hoa Thian-hong merasakan telinganya jadi amat sakit sekali, imam setengah baya itu segera menghentikan gerakan pedangnya di tengah udara sedang Hoa Thian-hong pun membuka matanya kembali, tubuh mereka berdua sama- sama tergetar keras, pada saat yang ber samaan pula mereka sadar bahva diluar pintu ada orang, hanya tak tahu jago lihay darimanakah yang telah muncul disitu? Sementara itu pantulan suara yang amat nyaring tadi masih mendengung tiada hentinya diseluruh penjuru ruang penjara itu, dari kedahsyatan suara pantulan tersebut Ang Yap Toojin semakin yakin kalau orang yang bersembunyi di balik pintu adalah seorang jago lihay berkepandaian tinggi, dalam kejutnya dan kedernya timbul pikiran dalam benak imam tersebut untuk mengundurkan diri dari tempat itu.
Tetapi ia merasa amat membenci terhadap Hoa Thian- hong, rasa dendamnya sudah merasuk ketulang sumsum, meskipun berada dalam keadaan gugup dan kacau pikiran, namun imam tersebut tak rela melepaskan Hoa Thian-hong dengan begitu saja, pedangnya segera digetarkan kembali dan langsung menusuk ke arah ulu hati si anak muda itu.
Hoa Thian-hong sangat terperanjat, dalam keadaan yang kritis dan sargat berbahaya itu dia himpun sisa tenaga yang dimilikinya dan segera lompat ke arah samping.
“Binatang, sungguh besar nyalimu!” mendadak serentetan suara bentakan keras yang amat nyaring berkumandang memenuhi angkasa.
Weeesss….! diiringi suara benturan keras, tiba-tiba pintu baja itu terpentang lebar.
Semua peristiwa itu berlangsung hampir pada saat yang bersamaan, ketika mendengar suara bentakan, Ang Yap Toojin merasa hatinya tercekat, tanpa sadar tangannya jadi lemas dan tusukan pedangnya pun jadi miring ke samping hingga menyambar dada sebelah kiri lawannya.
Selesai melancarkan tusukan tersebut, tanpa memandang sekejappun ia segera putar badan dan kabur keluar dari ruangan itu.
Mendadak…. dihadapannya muncul seorang manusia aneh berperawakan tinggi basar, berambut panjang bagaikan akar dan berlengan tunggal menghadang tepat di depan pintu.
Keempat anggota badan manusia aneh itu! ada tiga yang cacad, tinggi badannya mencapai empat depa dan persis menyumbat seluruh pintu masuk itu, mulutnya besar dengan sepasang mata memancarkan Cahaya biru, satu-satunya anggota badan yang masih utuh hanyalah tangan kirinya, waktu itu dalam genggaman tangan kirinya mencekal sebilah pedang baja yang besar dan berat sekali.
Ang Yap Toojin amat terperanjat, tanpa berpikir panjang dia segera enjotkan badan dan melayang ke tengah udara, laksana anak panah yang terlepas dari busnrnya ia menerjang keluar dari ruangan itn lewat atas kepala manusia aneh tadi.
Terdengar manusia aneh itu tertawa seram. “Heeeh…. heeeh…. kau anggap bisa berlalu dari sini
dengan begitu saja?” Pedang baja ditangannya disodok lalu di tebas ke bawah, di tengah jeritan kesakitan sepasang kaki Ang Yap Toojin seketika kutung jadi dua, darah dan daging berhamburan ke atas tanah, tubuh iman tersebut dengan sepasang kaki yang kutung langsung muluncur keluar dari ruangan dan terhempas ke atas tanah.
Pada dasarnya luka dalam yang diderita iman tersebut belum sembuh, sekarang setelah mendapat luka baru lagi, ia jatuh tak sadarkan diri.
Hoa Thian-hong sendiri merasa sangat terkejut setelah menyaksikan peristiwa itu, dia lupa akan luka pedang yang dideritanya…. lewat beberapa saat kemudian pikirannya baru bisa ditenangkan, sambil tertawa paksa serunya engkau, telah berhasil mengelesaikan masa penderitaanmu selama sepuluh tahun”
Kiranya manusia aneh itu bukan lain adalah kakek telaga dingin Giu It Bong yang selama ini dikurung dalam markas besar perkumpulan Sin-kie-pang, saat itu dia mengenakan sebuah jubah pendek berwarna biru, pinggangnya terikat seuntai tali serat yang kecil sedang raut wajahnya menunjukkan kegembiraan yang amat tebal.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengerutkan alisnya lalu tertawa terbahak-bahak, tidak melihat ia menggerakkan tubuhnya, tahu-tahu manusia aneh itu sudah berada dihadapan Hoa Thian-hong, sambil ayun pedang bajanya ia menegur dengan suara lantang, “Bocah keparat! Sekarang kau masih bernama Hong-po Seng ataukah bernama Hoa Thian-hong?” Pemuda itu tersenyum.
“Aku telah pulihkan kembali raut wajah asliku, tentu saja bernama Hoa Thian-hong”
Setelah berhenti sebentar, dengan wajah serius ia melanjutkan, “Terima kasih atas bantuan dari Loocianpwe, berkat pertolongan itu boanpwee telah telah berhasil menyelamatkan raut wajahku ini!”
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus dingin. “Hmmm….! Selamanya aku tak sudi menolong orang
tanpa mengharapkan imbalan siapa tahu kalau justru
karena pertolonganku ini maka engkau akan ketimpa bencana?” Hoa Thian-hong tertawa. “Sudah banyak gelombang dahsyat dan angin topan yang kuhadapi, terhadap keselamatan pribadiku aku sudah memandang terlalu tawar…. kau tak usah menakut-nakuti diriku lagi, aku bukan orang yang jeri menghadapi bencana….” serunya.
Tiba-tiba dadanya terasa sakit, ia segera tundukkan kepalanya, tampaklah luka bacokan didadanya mencapai lima cun dalamnya, meskipun tidak sampai melukai tulang tetapi darah segera mengalir keluar tiada hentinya, sebentar saja separuh bagian bajunya telah basah kuyup dengan darah.
Dengan wajah mengejek kakek telaga dingin Ciu It- bong tertawa seram, akhirnya dia angkat jari tangannya menotok beberapa buah jalan darah di atas dada pemuda itu, darah yang mengalir keluar dari mulut lukapun segera jauh berkurang.
“Waah…. merepotkan loocianpwee….” seru Hoa Thian- hong sambil tertawa.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong melototkan sepasang matanya bulat-bulat, dari sikapnya seakan-akan menunjukkan bahwa ia segan untuk turun tangan menolong pemuda itu, tapi sebentar kemudian ia berubah pikiran, tidak menunggu pemuda itu menyelesaikan kata-katanya, ia telah membuka pakaian pemuda tadi lalu mencabutkan pula jarum jarum perak yang mengunci jalan darahnya.
Meskipun jarum itu menancap di dalam daging, tapi bagi Ciu It-bong seorang jago lihay yang punya tenaga besar, tindakan itu dilakukan gampang sekali, dalam waktu singkat ketiga batang jarum perak yang mengunci jalan darahnya itu sudah dicabut semua.
Buru-buru Hoa Thian-hong duduk bersila di atas tanah kemudian mengatur pernapasan dan pulihkan kembali tenaga dalamnya.
“Bajingan cilik!” terdengar kakek telaga dingin Ciu It- bong menegur dengan suara kasar, “apakah Pek Kun-gie sudah kau bunuh?”
“Loocianpwee, kau tidak merasa pertanyaanmu itu kau ajukan dengan percuma….” Kakek telaga dingin Ciu It Beng mendengus dingin, ia ulurkan tangannya ke depan dan serunya kembali, “Mana pedang emas itu? Berikan kepadaku!”
Hoa Thian-hong tertawa.
“Pedang emas itu belum berhasil kudapatkan, tapi sudah kudengar kabar berita mengenai senjata mustika itu, kemungkinan besar pada bulan tujuh tanggal lima belas nanti dikala pertemuan besar Kian ciau Tay hwee diselenggarakan, pedang emas itu akan muncul kembali di depan umum!”
Kakek telaga dingin Ciu It-bong mendengus, dia cengkeram bahu si anak muda itu dan bentaknya dengan suara dalam, “Ayoh mengaku terus terang! pedang emas itu sudah terjatuh di tangan siapa?”
“Aku sendiripun tak tahu begitu pasti,” jawab Hoa Thian-hong sambil menggertak gigi menahan rasa sakit dibahunya, “sebelum saatnya tiba, aku tak berani bicara secara Sembarangan”
“Kau berani mempermainkan aku?” teriak Ciu It-bong teramat gusar, kelima jarinya mencengkeram semakin kencang.
Hoa Thian-hong yang tulang bahunya dicengkeram keras-keras-keras merasa sekujur badannya jadi sakit hingga keringat dingin mengucur keluar tiada hentinya, darah segar yang menyembur keluar dari mulut, luka didadapun memancar semakin deras. Buru-buru bentaknya keras, “Lepas tangan.” Kakek telaga dingin Ciu It-bong mengendorkan cengkeramannya, kemudian berseru, “Ayoh cepat jawab, pedang emas itu terjatuh di tangan siapa?”
ooooOoooo
PEDANG emas itu berada di tangan Thian Ik tosu tua itu, kau punya kemampuan untuk merampasnya kembali?” teriak Hoa Thian-hong dengan gusar.
“Dari mana kau bisa tahu?” seru Ciu It-bong dengan sepasang mata melotot bulat.
“Hmmm mau percaya atau tidak terserah kepadamu, kalau engkau merasa tidak percaya pergilah menghadap Thian Ik tosu tua itu dan tanyakan sendiri kepadanya, coba lihat apa yang dia jawab!”
Ciu It-bong tersenyum.
“Thian Ik sihidung kerbau itu sedang repot karena ingin mengawasi putri sulungnya Pek looji, sekarang dia tak ada waktu luang, mau bertanya nanti saja kita baru menghadapi”
Air muka Hoa Thian-hong berubah hebat, dia loncat bangun dari atas tanah dan teriaknya .
“Loocianpwee, mari cepat kita kesana!”
“Hmmm! budi kebaikan apa sih yang telah diberikan Pek Siau-thian kepadamu?” jengek Ciu It Boog dengan suara dingin, “toh yang ketimpa urusan adalah putrinya Pek Loji? Kenapa kau musti gelisah macam begitu?”
“Pek Soh-gie adalah seorang gadis yang halus, berbudi dan baik hati, kita tak boleh berpeluk tangan belaka membiarkan dia ketimpa malang….!”
Ciu It-bong kontan tertawa dingin sualah mendengar parkataan itu.
“Heehh…. heeehhh…. heehhh…. Pek Siau-thian tidak setia kawan, setelah melihat barang pusaka, memenjarakan diriku selama se puluh tahun lamanya, untuk membalas dendampun tak sempat, kenapa aku musti menolong putrinya? haaah…. haaaah…. haaah justru aku malah gembira sekali melihat dia akan menerima pembalasan…. Hmm! aku bu kan anak jadah yang tak punya otak, segan aku untuk menolong gadis itu!”
“Hmmm! akupun terlalu goblok” seru Hoa Thian-hong dengan gusar, “sepantasnya kalau aku menyadari bahwa engkau bukan manusia budiman yang bisa diajak kompromi…. bicara dengan engkau sama halnya memetik khiem di depan kerbau!”
Sebagai penutup kata, tangannya langsung menyambar pedang baja di tangan orang.
Ciu It-bong tarik kembali pedang bajanya ke belakang dan berseru, Eeei, perkataanmu tak bisa dipercaya, enghiong hoohan macam apakah dirimu itu?” “Sejak kapan aku mengingkari perkataan ku sendiri?” teriak Hoa Thian-hong dengan penuh kegusaran, hatinya gelisah sekali karena ingin menolong kesucian dari Pek Soh-gie.
Rupanya Ciu It-bong sengaja henkak mengulur waktu, setelah tertawa mengejek, jawabnya perlahan-lahan, “Bukankah kau telah menyanggupi untuk membunuh Pek Kun-gie….”
“Aku punya keinginan tapi tenaga tak memadahi, apa yang musti kulakukan?”
“Dan kaupun pernah berjanji akan carikan pedang emas untuk menolong aku lepas dari kurungan….”
Hoa Thian-hong semakin gelisah, serunya, “Pedang emas itu belum berbasil kudapatkan!”
“Setahun demi setahun dilewatkan dengan begitu saja, seharusnya kau pergi kesitu dan menjenguk mati hidupku!”
“Aku tidak sebebas seperti apa yang kau bayangkan!” bentak sang pemuda itu sambil meraung gusar, habis berkata dia loncat ke depan siap menerjang keluar dari pintu.
Ciu It-bong putar pedang bajanya menciptakan sekilas cahaya tajam yang menyilaukan mata, begitu dahsyat setangan itu memaksa Hoa Thian-hong harus membatalkan maksudnya dan menghentikan gerakan tubuhnya secara paksa. Kegusaran yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong sukar dibendung lagi, dengan wajah mendongkol teriaknya, “Kalau engkau tak mau tolong orang, akupun tidak memaksa, tapi tidak sepantasnya kalau engkau menghalangi jalan pergiku….”
“Haaah…. haaah….” Ciu It-bong tertawa terbahak- bahak, “inilah hukuman yang ditimpahkan Thian kepada Pek Siau-thian, kau harus tahu bahwa ilmu silatmu masih terlalu cetek, kau masih bukan tandingan dari Thian Ik si hidung kerbau itu…. percuma saja engkau pergi kesitu, sebab paling banter jiwamu ikut melayang….
Hmmm….Hmmm…. apa kau anggap puterinya Pek Siau- thian bisa ditolong?”
Hoa Thian-hong merasa darah panas dalam rongga dadanya bergolak keras setelah membayangkan bahwa Pek Soh-gie seorang gadis yang berhati mulia sebentar lagi bakal dinodai oleh seorang tosu siluman secara brutal, ia tak dapat menahan diri lagi, sambil membentak keras telapak kirinya diayun kemuka nelancarkan sebuah pukulan dengan jurus Kun-siu-ci-tauw.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong jadi bergirang hati melihat pemuda lawannya menyerang dengan menggunakan jurus ajarannya, ia berseru sambil tertawa, “Bagus sekali!”
Sambil melepaskan pedang bajanya, ia sambut datangnya serangan itu dengan jurus Kun-siu-ci-tauw pula. Sepasang telapak saling membentur satu sama lainnya menimbul-kan suatu ledakan yang amat keras, Ciu It- bong segera mengepos tenaga dan hawa pukulannya yang sebesar tujuh bagian kontan menggulung keluar dengan hebatnya.
Dalam keadaan begini Hoa Thian-hong tidak punya minat untuk bertarung melawan, dirinya, ketika suasana jadi tegang mendadak ia menggetarkan pergelangannya dan memunahkan daya tekanan seberat beberapa ribu kati itu hingga lenyap tak berbekas, meminjam kesempatan itu tubuhnya melesat ke tengah udara membentuk gerakan busur kemudian meluncur keluar dari balik ruangan itu.
“Keparat licik!” teriak kakek telaga dingin Ciu It-bong setengah menjerit, ia sambar pedang bajanya lalu mengejar dari belakang.
Hoa Thian-hong mengenjotkan badannya di atas tanah, setelah melirik sekejap ke arah Ang Yap Toojin yang kakinya telah kutung dan baru saja mendusin dari pingsannya itu, bagaikan anak panah yang terlepas dari busurnya dia lari keluar dari tempat itu.
Para imam penjaga penjara telah roboh tertotok jalan darahnya oleh Ciu lt Bong, pintu terali besi terbentang lebar dan seakan-akan sama sekali tak ada penjaganya, Hoa Thian-hong segan memeriksa tempat itu dengan teliti, bagaikan hembusan angin dalam sekejap mata ia sudah menerjang keluar dari rumah penjara. Sementara itu fajar telah menyingsing dan seluruh jagad terang benderang oleh sinar sang surya yang berwarna keemas-emasan, Hoa Thian-hong menghembuskan napas panjang lalu menengadah dan bersuit nyaring, dengan tangan kanan ia tekan mulut luka didadanya, kemudian setelah menentukan arah dia meluncur ke arah sebuah bangunan loteng yang megah.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong menggunakan pedang baja itu sebagai pengganti tongkat, tubuhnya bergerak bagaikan hembusan angin dan menguntit terus di belakang Hoa Thian-hong dengan ketat.
Sewaktu mendengar suitan nyaring itu, ia tertawa dan segera menegur, “Hey bocah cilik, tenaga dalammu telah mendapat kemajuan yang amat pesat, apakah hasil dari teratai beracun itu?”
“Benar! hasil dari teratai racun empedu, tapi….” Ia berpaling sekejap ke belakang, lalu berpikir,
“Rupanya pedang bajaku dipergunakan sebagai
pengganti tongkat, tidak aneh kalau ia tak mau mengembalikan kepadaku”
Sementara itu Ciu It-bong sudah berkata lagi sambil tertawa keras, “Hey bocah cilik, aku dengar katanya Teng Hujtn telah berhasil kau gaet sehingga tergila-gila kepadamu, kenapa sekarang menaruh perhatian pula terhadap Pek Soh-gie?”
Merah jengah selembar wajah Hoa Thian-hong, dengan gusar bentaknya, “Kentut busukmu!” Meskipun sudah tua, Ciu It-bong selamanya tak tahu adat, maka ucapan yang diutarakan Hoa Thian-hong terhadap dirinyapun kian lama kian bertambah kasar dan tak sopan.
“Hoa Thian-hong, berhenti!” tiba-tiba terdengar suara bentakan keras berkumandang.
Bersamaan dengan bentakan tersebut, dari arah depan muncullah seorang tosu cilik berbaju merah, rupanya tosu cilik itu tahu akan kelihayan lawannya, sebelum tiba dihadapan pemuda itu pedangnya telah dicabut keluar dari sarungnya.
Hoa Thian-hong menatap tajam raut wajah orang itu, dengan cepat dia dikenali kembal iimam cilik itu sebagai salah satu diantara delapan imam cilik baju merah yang memainkan barisan Kan Lee Kian tin.
Dalam hati segera pikirnya, “Thian Ik tosu tua itu merupakan salah satu diantara pembunuh ayahku, cepat atau lambat aku pasti akan melangsungkan petarungan secara terbuka dengan dirinya, barisan pedang Kan Lee Kian tin tersebut luar biasa hebatnya, aku harus mematahkan lebih dahulu sebuah kaki dari barisan itu….”
Setelah ingatan tersebut berkelebat dalam benaknya, ia segera keraskan hati dan ayunkan telapak kirinya siap melancarkan serangan.
Gerakan tubuh imam kecil baju merah itu cepat bagaikan hembusan angin, dalam sekejap mata telah tiba di depan mata. ketika dilihatnya Hoa Thian-hong tidak menghentikan langkah kakinya, ia segera membentak gusar, pedangnya laksana kilat ditusuk ke arah ulu hatinya.
Setelah kemarin malam jatuh kecundang di tangan orang, sampai ini hari rasa mendongkol dalam hati Hoa Thian-hong masih belum tersalur keluar, ia segera mendengus dingin, sepasang kakinya merendah ke bawah dan tubuhnya bergeser dua depa ke samping pinggang digoyang-kan dan telapaknya langsung menggaplok punggung lawan.
Baru saja imam cilik baju merah itu merasakan tusukan pedangnya mengenai sasaran kosong, tiba-tiba ia merasa munculnya segulung daya tekanan yang maha berat menumbuk punggungnya, hal ini membuat ia jadi terperanjat.
Dalam gugup dan gelisahnya, cepat-cepat ia gulingkan badannya ke atas tanah dan meloloskan diri dari hantaman telapak pemuda itu.
Kakek telaga dingin Ciu It-bong tertawa dingin, ejeknya, “Huuh….! Kepandaian mu masih belum sempurna.
Sambil berkata dengan seenaknya saja dia lancarkan sebuah pukulan menghantam punggung imam cilik baju merah itu
Blaaam….! di tengah benturan keras, punggung si iman cilik baju merah itu terhajar telak oleh serangan tersebut, seketika itu juga jantungnya tergetar putus dan berhenti berdetak, sambil menjerit ngeri, binasalah iman itu seketika itu juga.
Kedua orang itu menggunakan gerakan serangan yang sama, bedanya bukan terletak pada enteng atau beratnya tenaga pukulan juga bukan tercepat atau lambatnya serangan, melainkan terletak pada kesempurnaan tenaga dalamnya serta ketepatan dalam melakukan serangan.
Ketika melancarkan pukulan tadi, bukan saja Ciu It- bong bisa mengatur waktunya dengan tepat bahkan arah yang dituju serta saat mengirim pukulan bisa diatur sedemikian rupa sehingga waktu serangan tersebut dilancarkan maka sulit bagi lawannya untuk menghindarkan diri atau melarikan diri dari sana.
Hoa Thian-hong kagum sekali terhadap ilmu silat yang dimiliki Ciu It-bong, ketika menyaksikan kakek itu melayang di udara dengan begitu enteng, segera serunya, “Heh, jangan keburu bangga dulu, hati-hati kalau sampai ditertawakan orang….”
selesai berkata, ia lanjutkan kembali gerakan tubuhnya meluncur ke arah depan.
Beberapa saat kemudian sampailah pemuda itu di depan sebuah bangunan loteng yang tinggi, di depan loteng itu terpancang sebuah papan nama yang bertulisan: Yang sim tiam, tiga huruf besar terbuat dari emas, ke tempat inilah Pek Soh-gie dibawa oleh kawanan iman baju merah kemarin malam. Sementara ia masih celingukan, dari balik ruang loteng tiba-tiba muncul kembali serombongan iman cilik baju merah, dengan senjata terhunus mereka lari keluar dari ruangan dan langsung mengepung si anak muda itu….
Hoa Thian-hong tidak memberi waktu bagi iman-imam cilik tersebut untuk menyusun barisan pedangnya lagi, dia ikut menerjang ke depan dan langsung melancarkan sebuah pukulan ke arah seorang iman kecil yang berada dipaling depan, bentaknya, “Thian Ik-cu, cepat gelinding keluar dari sarangmu! Ciu It-bong telah datang untuk menagih pedang emas!”
“Bajingan yang tak tahu diri!” bentak iman cilik baju merah yang lari mendekat lebih dahulu itu dengan suara gusar, “tahukah engkau tempat apakah ini? Siapa suruhn kamu berteriak seenaknya sendiri?”
Sementara pembicaraan masih berlangsung kedua belah pihak telah melakukan pertempuran sebanyak dua puluh jurus lebih, Hoa Thian-hong menyumbat pintu keluar istana itu dan tidak membiarkan pihak lawannya sempat mengatur barisan pedang.
Tujuh orang imam cilik baju merah itu segera mengepung Hoa Thian-hong rapat-rapat, namun setelah kehilangan daya tekanan dari barisan Kan Lee Kiam tin maka untuk beberapa saat lamanya mereka tak mampu berbuat apa-apa terhadap si anak muda itu.
Hoa Thian-hong yang harus bertempur melawan tujuh bilah pedang mustika, terpaksa musti mengerahkan segenap tenaganya untuk mempertahankan diri, darah segar yang mengucur keluar dari mulut luka didadanya menyembur semakin deras, dalam keadaan begitu ia harus menutup mulut lukanya dengan tangan kanan, sedang telapak kiri diputar sedemikian rupa menahan serangan dari musuhny.
Ciu It-bong yang menonton jalannya pertarungan itu dari sisi lapangan, segera berteriak keras dengan wajah berseri-seri, “Hey, keparat cilik, bagaimana dengan ilmu silat hasil ciptaanku ini….?”
Setelah bertempur beberapa saat lamanya hawa amarah yang berkobar dalam dada Hoa Thian-hong makin memuncak, mendengar ucapan itu dia segera meraung keras, “Huuuh…. . cuma menghadapi beberapa orang imam cilikpun tak bisa digunakan dengan baik, kau masih bisa merasa bangga…. tak tahu malu!”
Ciu It-bong jadi amat gusar, dia lemparkan pedang baja ditangannya ke arah pemuda itu dan bentaknya, “Hmmm! aku ingin lihat ilmu pedang ajaran bapakmu mempunyai kelihayan sampai di mana!….”
Pedang baja yang di sambit ke depan itu laksana anak panah yang terlepas dari busur, diiringi sekilas cahaya hitam langsung meluncur ke arah Hoa Thian-hong.
Seorang imam cilik baju merah menghadang di tengah jalan, ketika mendengar datangnya desiran tajam, buru- buru ia menyingkir ke samping, tatkala menyaksikan ada sebilah pedang baja sedang meluncur dari sisi tubuhnya tanpa berpikir panjang dia segera lancarkan sebuah babatan.
Traaaang….! di tengah suara bentrokan nyaring yang bergema di angkasa, imam cilik baju merah itu merasa lenganya tergetar kaku, cekallan-nya jadi enteng dan tahu-tahu pedang pusaka dalam genggamannya telah patah jadi beberapa bagian, kutungan pedang itu segera tersebar di atas tanah….
Tenaga dalam yang dimiliki Ciu It-bong benar-benar luar biasa sekali, walaupun pedang itu terkena sebuah tangkisan akan tetapi gerakannya sama sekali tidak berubah, seperti sedia kala senjata itu langsung meluncur ke arah Hoa Thian-hong.
Dengan cekatan pemuda itu menyingkir ke samping lalu mencekal gagang pedangnya, mengikuti gerakan tadi ia bacok batok kepala seorang imam cilik baju merah yang berada dihadapannya.
Serangan yang dilancarkan dengan meminjam sisa tenaga sambitan dari Ciu It-bong ini benar-benar luar biasa sekali, serangan itu meluncur datang dengan kecepatan bagaikan sambaran kilat.
Tak sempat lagi bagi imam cilik baju merah itu untuk menghindarkan diri, dalam keadaan begitu terpaksa ia harus angkat pedangnya sambi1 balas membabat pergelangan tangan lawannya.
Walaupun Sin-kie-pang, Hong-im-hwie serta Thong- thian-kauw sama-sama merupakan perkumpulan kalangan hitam dalam dunia persilatan namun berhubung anggota perkumpulan Thong-thian-kauw seringkali mengganggu anak gadis orang dan melakukan perbuatan-perbuatan yang amoral, maka rasa benci Hoa Thian-hong terhadap mereka jauh lebih tebal daripada terhadap perkumpulan lain, sekarang melihat pihak lawannya balas melancarkan satu sabatan, ia tidak berubah jurus malah mengerahkan tenaga dalamnya makin hebat, pergelangan tangannya ditekan ke bawah dan langsung membacok tubuh iman-imam tersebut.
Satu pihak melancarkan satu bacokan ke arah batok kepala lawannya sedang dipihak lain mengebaskan pedang mustikanya membabat pergelangan orang, nampaknya kedua belah pihak akan sama-sama menderita luka, pada saat yang kritis itulah tiba-tiba Hoa Thian-hong menekan pedang bajanya ke bawah dengan kecepatan yang luar biasa ia mendahu1ui musuhnya.
“Aduuuh….!” jeritan ngeri yang menyayatkan hati berkumandang memenuhi angkasa, tubuh imam cilik baju merah itu terbelah jadi dua bagian dan roboh binasa ke atas tanah, darah segar berhamburan di lantai membuat pemandangan terasa memuaskan sekali.
Menerima pedang, membinasakan musuh semua gerakan dilakukan dalam sekejap mata dan siapapun tak menyangka kalau dalam detik yang amat singkat pemuda itu mampu membereskan jiwa seorang imam cilik yang lihay.
Pedang baja yang berat itu sudah dua tahun lamanya berada di tangan Ciu It-bong, setelah pedang itu terjatuh kembali ke tangan nya tanpa sadar semangat bertempur dari pemuda itu bangkit kembali.
Dengan langkah yang lebar ia segera menerjang maju ke depan, pedang baja berputar keempat penjuru…. jurus demi jurus dilancarkan secara gencar mendesak lawan-nya, begitu bersemangat pemuda itu melan- carkan serangan hingga tidak sadar kalau darah yang mengucur keluar dari dadanya bertambah deras.
Dalam Waktu singkat keenam Orang iman cilik baju merah itu sudah didesak hingga kalang kabut dan tak mampu mempertahankan diri lagi, jangan dibilang untuk mengatur barisan pedang Kan Lee kiam tin, tena-ga untuk melancarkan serangan balasanpun sudah tak dipunyai lagi.
Tiba-tiba terdengar Ciu It-bong tertawa dingin, lalu berkata, “Huuuuh….! aku mengira ilmu pedang dari Hoa Goan-siu sampai dimana lihaynya…. ternyata cuma begitu saja!”
Sambil menggertak gigi Hoa Thian-hong membungkam dalam seribu bahasa, dengan penuh semangat dia melayani serangan-serangan musuhnya.
Ketidak munculan Thong-thian Kaucu selama ini membuat Hoa Thian-hong semakin gelisah, dia kuatir Pek Soh-gie sudah keburu diperkosa oleh iman tua cabul itu, dalam keadaan begini dia cuma berharap bisa cepat- cepat bereskan beberapa orang iman cilik itu serta
mener-jang masuk ke dalam ruang istana. Tetapi rombongan iman cilik baju merah itu merupakan anak murid yang dididik langsung oleh Thong-thian Kaucu , ilmu silat mereka luar biasa sekali, walaupun dengan adanya pedang ditangan, keadaan dirinya laksana harimau tumbuh sayap, namun untuk membereskan iman- iman cilik itu bukanlah suatu pekerjaan yang gampang.
Dalam pada itu empat penjuru disekeliling tempat itu telah dipenuhi dengan para iman yang bersenjata lengkap, mereka bersiap sedia melakukan pertarungan, ada pula yang melihat gelagat kurang baik segera masuk keruang istana untuk memberi laporan.
Mulut luka di atas dada Hoa Thian-hong merekah makin besar, darah mengalir terus tiada hentinya, namun ia tetap tidak merasa, hal ini membuat Ciu It-bong yang menyaksikan jalannya pertarungan dari sisi lapangan diam-diam mengerutkan dahinya.
Ketika itulah dari balik pintu istana Yau sim tian berjalan keluar seorang imam cilik baju merah, sambil mengangkat tinggi-tinggi sebilah senjata Ji gi yang terbuat dari batu kumala hijau serunya dengan suara lantang, “Atas titah dari kaucu, diperintahkan semua murid perkumpulan untuk menghentikan pertempuran, dan mempersilahkan Ciu Loo-cianpwee masuk ke dalam ruangan istana!”
Enam orang imam cilik baju merah yang sedang bertempur segera menghentikan serangannya dan loncat mundur ke belakang. Imam cilik yang memegang senjata Ji gi tadi perlahan- lahan turun dari undakan batu, setelah memberi hormat kepada Ciu It-bong, ujarnya penuh kesopanan, “Tecu Cing Lian memberi hormat untuk Ciu Locianpwee!”
“Kenapa?” teriak Ciu It-bong dengan mata melotot, “sepasang kakiku telah kutung apakah sepasang kaki dari Thian Ik sihidung kerbau itupun juga ikut kutung?”
“Tiga orang cosu ya dari perkumpulan kami yang sudah lama mengasingkan diri baru saja berkunjung tiba, saat ini kaucu sedang mendampingi beliau bertiga, karena itu ia tidak bisa menyambut sendiri kedatangan locianpwee, atas kekurangan adat ini harap locianpwee suka memberi maaf!”
Ciu It-bong tertawa seram.
“Heeehhh…. heeehhh…. heeehhh…. akupun sudah lama mengasingkan diri dan belum lama berselang baru tinggalkan tempat pertapaan, ketiga orang cou su ya kalian itu tak akan membuat diriku jadi gentar”
Setelah berhenti sebentar, ia lantas menegur, “Apakah engkau adalah murid didikan langsung dari Thian Ik-cu?”
Semua murid baju merah dalam perkumpulan kami adalah murid didikan langsung dari Kaucu”
“Hmm! bagus sekali!” seru Ciu It-bong ketus, “aku adalah kenalan lama dari suhu kalian, ayoh cepat carikan sebuah kursi dan perintahkan empat orang imam cilik baju merah untuk menggotong aku masuk ke dalam istana!”
Imam cilik yang bernama Cing Lian itu berpikir sebentar, kemudian kepada para imam cilik baju merah yang berada di bawah tangga serunya, Ciu Loocianpwee adalah sahabat karib dari kaucu kita, berhubung gerak- gerik dia orang tua leluasa…. harap kalian segera mencari sebuah kursi dan menggotong Loocianpwee ini masuk istana!”
“Keparat cilik” teriak Ciu It-bong dengan mata melotot dan wajah menyeringai seram, tajam amat selembar mulutmu itu…. Hmmm! Suatu ketika aku akan suruh engkau menyaksikan sendiri apakah gerak-gerikku cukup leluasa atau tidak”
Cing Lian pura-pura tidak mendengar, beberapa saat kemudian sebuah kursi telah disiapkan dan digotong oleh empat orang imam ci lik baju merah, serunya, “Ciu loocianpwee, silahkan duduk!”
Ciu It-bong mendengus, ia loncat keudara dan melayang di atas kursi lalu duduk tak berkutik disana. Cing Lian buru-buru membawa jalan dan di bawah gotongan keempat orang imam cilik tersebut berangkatlah mereka masuk keruang istana.
Istana Yang sim tian adalah tempat kediaman dari Thong-thian Kaucu , lotengnya bertingkat tiga dan penuh dihiasi aneka lukisan yang indah, bangunan itu begitu megah dan mewah seakan-akan keraton tempat kediaman kaisar, pada setiap pintu masuk serta tikungan strategis, seorang imam berbaju kuning dengan senjata tersoren melakukan penjagaan.
Hoa Thian-hong sambil mencekal pedang bajanya mengikuti di belakang orang-orang itu, sebentar saja mereka sudah tiba diloteng tingkat ketiga dan mendekati sebuah ruangan dengan sinar yang redup.
Dipintu depan berdirilah dua orang iman cilik baju kuning, ketika melihat munculnya orang-orang itu mereka segera menyingkap horden dan membuka tabir di depan pintu.
Cing Lian melangkah masuk ke dalam ruangan, serunya sambil memberi hormat”
“Lapor kaucu, Ciu Locianpwee telah tiba!”
Thong-thian Kaucu segera munculkan diri di depan pintu, setelah memberi hormat, ujarnya sambil tertawa, “Ciu heng, selama bertemu muka…. maapkanlah pinto kalau aku tak bisa menyabut dirimu dari depan”
Ciu It-bong tertawa dingin.
“Hidung kerbau tua, besar amat lagakmu!”
Thong-thian Kaucu tertawa terbahak-bahak, dengan sorot mata yang tajam ia menatap sekejap wajah kakek telaga dingin, lalu sambil tertawa serunya, “Ciu neng, panjang amat usiamu…. sungguh mengagumkan!
Sungguh mengagumkan!” Ia menyingkir ke samping dan mempersilahkan tamunya masuk,
Ciu It-bong mendengus dingin, ujung bajunya berkibar terhembus angin, tubuhnya segera meloncat turun dari atas kursi dan melayang masuk ke dalam ruangan.
Hoa Thian-hong diam-diam merasa kagum juga melihat kegesitan kakek aneh itu walaupun anggota badannya tinggal satu yang utuh, tanpa terasa semangatnya berkobar kembali, dengan langkah lebar dia ikut masuk ke dalam ruangan.