Si Pisau Terbang Li Bab 87 : Lahir Kembali

Bab 87. Lahir Kembali

A Fei terdiam sekejap, lalu menjawab, “Tidak ada pedang yang cukup baik untuk bisa menghadang Siangkoan Kim- hong.”

Sun Sio-ang pun merenung sejenak dan menyahut, “Lalu…..apa yang harus kita perbuat untuk mengalahkannya?” A Fei tidak menjawab.

A Fei tahu apa yang harus diperbuat untuk mengalahkan Siangkoan Kim-hong, namun kata-kata tidak bisa keluar dari mulutnya.

Ada banyak kata-kata di dunia ini yang tidak bisa keluar dari mulut manusia.

Sun Sio-ang mengeluh, katanya, “Dan kau pun harus menghadapi banyak orang di samping Siangkoan Kim- hong.”

Tanya A Fei, “Aku hanya ingin tahu, apakah kau yakin bahwa Siangkoan Kim-hong memang ada ke sini?”

“Kurasa dugaanku cukup akurat.” “Mengapa?”
“Karena di sini, ia bisa berbuat apa saja tanpa diketahui orang luar.”

Tanya A Fei, “Bisa mengalahkan Li Sun-hoan adalah prestasi yang sangat membanggakan. Mengapa ia ingin menyembunyikannya dari orang lain?”

“Kalau seseorang sedang menikmati apa yang disukainya, ia tidak ingin dilihat oleh siapapun juga.”

“Aku tidak mengerti.” Sun Sio-ang berusaha menjelaskan, “Apa makanan yang paling kau sukai?”

“Aku suka semua makanan sama saja.”

“Kalau aku, aku sangat suka kacang kenari. Setiap kali aku makan kacang kenari, rasanya seperti berada di nirwana. Terlebih lagi di malam musim salju yang dingin. Aku suka bersembunyi dan menikmati kacang kenariku sendirian.”

Ia terkikik geli dan melanjutkan, “Tapi kalau ada orang di sampingku yang melihat aku makan, kacang kenari itu jadi tidak senikmat kalau aku makan sendirian.”

“Jadi maksudmu Siangkoan Kim-hong menganggap bahwa membunuh Li Sun-hoan adalah suatu kenikmatan?”

Sahut Sun Sio-ang, “Itulah sebabnya, aku pun yakin bahwa Siangkoan Kim-hong tidak akan membunuh Li Sun-hoan dengan segera.”

“Kenapa?”

“Kalau aku hanya punya sebuah kacang kenari, tentu saja aku akan lambat-lambat memakannya. Semakin lambat aku makan, semakin lama kenikmatan itu dapat kurasakan. Karena aku tahu, berat rasanya setelah kacang kenari itu habis.”

Perasaan yang hampa. Namun ia tidak sanggup menucapkan kata ‘hampa’ itu.

Lanjut Sun Sio-ang, “Di mata Siangkoan Kim-hong, hanya ada satu Li Sun-hoan di dunia ini. Setelah ia membunuhnya, ia pasti akan merasa sama seperti aku setelah memakan kacang kenariku yang terakhir. Tapi aku tahu akan lebih berat lagi Siangkoan Kim-hong.” 

Perlahan A Fei menyelipkan pedang bambu itu di ikat pinggangnya. Tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Kurasa tidak akan berat perasaanku setelah membunuhnya.”

Sebelum kalimatnya selesai, ia telah melangkah pergi dengan cepat.

Ia tidak berlari tergesa-gesa karena ia ingin siap pada saat sampai di sana. Dalam menghadapi orang seperti Siangkoan Kim-hong, persiapan adalah kunci utama.

Tibalah ia di pekarangan itu. Lalu A Fei menegangkan ototnya dan melemaskannya kembali dengan perlahan- lahan. Ini adalah cara yang terbaik untuk menenangkan dan mempersiapkan diri.

Akhirnya ia melangkah menapaki anak tangga dan menuju ke pintu gerbang itu.

Tiba-tiba, entah dari mana beberapa orang bermunculan
– semuanya ada delapan belas orang, semuanya berjubah kuning. Mereka adalah pasukan garis depan Kim-ci-pang. Ilmu silat mereka semua sulit ditemukan tandingannya.

A Fei menarik nafas panjang dan berkata, “Walaupun aku tidak ingin membunuh, aku tidak bisa bertoleransi pada orang yang menghadang jalanku.”

Seseorang menjawab dengan suara dingin, “Aku tahu siapa kau! Dan memangnya kenapa kalau kami menghadang jalanmu?”

“Maka kau akan mati!”

Suara itu tertawa mengejek. “Membunuh anjing pun kau tidak akan mampu!”

Sahut A Fei tenang, “Aku tidak suka membunuh anjing, dan kau pun bukan anjing.”

Tidak ada kelebat sinar yang tampak, karena pedang bambu memang tidak memantulkan cahaya.

Namun pedang bambu pun bisa membunuh. Paling tidak, di tangan A Fei pedang bambu pun bisa membunuh.

Sebelum tawa orang itu selesai, pedang bambu itu telah menembus lehernya.

Tapi sekarang, pedang bambu itu malah tampak berkilauan.

Berkilau karena tetes-tetes darah segar! Sepasang Potlot Sang Hakim, Kait Kembar, Golok Sembilan Cincin, dan lima senjata yang lain menyerbu A Fei dengan tenaga serangan yang hebat.

Sepasang goliong menyambar cepat ke arah pedang bambunya.

Sun Sio-ang merasa agak kuatir. Ia tahu bahwa pengalaman tempur A Fei kurang baik. Ia selalu menghadapi musuhnya satu lawan satu. Sangat jarang ia dikepung dan diserang oleh beberapa orang sekaligus.

Pedangnya memang cukup cepat untuk menghadapi satu lawan, namun apakah cukup cepat juga untuk menghadapi banyak lawan sekaligus?

Sun Sio-ang ingin sekali bergegas ke sana untuk memberikan bantuan.

Namun sebelum ia sempat bergerak, ia telah melihat tiga orang tergeletak di tanah.

Sun Sio-ang bisa bersumpah bahwa ia melihat sepasang golok itu menebas pedang bambu A Fei, tapi entah bagaimana, yang tergeletak di tanah itu bukanlah A Fei.

Hanya si pemegang Potlot Sang Hakim yang mengetahui apa sebabnya.

Jurus menutup jalan darahnya selalu sangat akurat, dan juga bertenaga besar. Ia yakin sekali, jurusnya akan mengenai tubuh A Fei. Tapi beberapa saat saja sebelum potlot di tangannya mengenai tubuh A Fei, ia merasa seluruh tenaganya lenyap.

Pedang bambu A Fei telah menembus lehernya.

A Fei hanya lebih cepat sekejap saja daripada dia. Tapi sekejap itulah yang menentukan.
Akhirnya, Sun Sio-ang pun terjun dalam pertempuran itu. Tubuhnya menelusup dengan lincah ke sana kemari, bagaikan seekor kupu-kupu yang cantik.

Di antara jago-jago wanita dalam dunia persilatan, banyak yang berilmu tinggi dalam hal meringankan tubuh dan senjata rahasia, karena keduanya tidak memerlukan banyak tenaga. Sangat jarang ditemukan jago wanita yang ahli dalam hal tenaga dalam dan pukulan telapak tangan.

Sun Sio-ang pun tidak terkecuali.

Senjata rahasianya terbang melesat dengan cepat, namun gerakan tubuhnya lebih cepat lagi. Posisi langkahnya tidak lazim dan sangat rumit. Tidak mungkin ada orang yang bisa menangkapnya.

Ia masih yakin bahwa ilmu pedang A Fei hanya bisa digunakan untuk menghadapi satu lawan dan tidak cukup jika digunakan untuk melawan banyak orang. Cara A Fei memainkan pedangnya memang sangat unik. Sama sekali berbeda dari ilmu-ilmu pedang dari perguruan besar yang sering kita lihat.

Karena dalam jurusnya tidak ada menebas atau memotong. Yang ada hanya menusuk.

Hanya menusuk untuk membunuh.

Tapi entah bagaimana, A Fei dapat menusuk ke segala arah, dan ia dapat menusuk dari berbagai posisi.

Tusukannya bisa dimulai dari dadanya, kakinya, bahkan telinganya!

Ia dapat menusuk ke depan, ke belakang, ke kiri, ke kanan.

Tiba-tiba seseorang berguling ke arahnya dari belakang, dan bagaikan badai salju, berbagai macam senjata pisau beterbangan ke arah A Fei.

Golok Penjelajah Bumi!

Ilmu golok ini sungguh sulit dipelajari, namun jika seseorang berhasil menguasainya dengan baik, kekuatannya bukan main-main.

Tapi A Fei seakan-akan mempunya mata di belakang kepalanya. Dengan lincah ia berkelit dari tombak yang menusuk dari depan dan melontarkan tusukan kuat dari bawah pinggangnya ke belakang, menusuk orang yang menggunakan jurus Golok Penjelajah Bumi itu. Tepat di lehernya!

Pada saat yang sama, seseorang melompat ke depan dari belakang si pemegang tombak. Dengan senjata di kedua belah tangannya, ia mengeluarkan jurus ‘Mendorong Gunung Maju ke Depan’ ke arah A Fei.
Jurusnya sangat unik, dan senjatanya lebih unik lagi.

Senjatanya adalah ‘Gada Emas Sayap Burung Hong’.

Senjata ini sangat jarang dijumpai. Gagangnya dipenuhi oleh duri-duri tajam. Walaupun gada itu biasanya digunakan untuk memukul, tapi bisa juga digunakan untuk mengangkat dan melukai musuh dengan ujungnya.

Orang yang tidak beruntung, yang terkena serangan senjata ini, pastilah tubuhnya akan terkoyak habis.

Seharusnya A Fei segera melompat ke belakang untuk menghindari serangan itu.

Tapi jika ia melakukannya, ia akan kehilangan momentum menyerang, dan beberapa senjata yang lain bisa melukainya!

Tapi sudah tentu ia tidak bisa balik menyerang secara langsung. Gada Emas Sayap Burung Hong dapat merobek-robek tubuhnya dengan mudah.

Ini terlihat jelas bagi siapapun yang menyaksikan. Tapi pada saat A Fei kelihatannya sudah di ujung tanduk, tiba-tiba tubuhnya melesat ke udara.

Sun Sio-ang sempat melihatnya dari sudut matanya dan ia memekik tertahan.

Pada saat itulah, pedang A Fei menusuk ke bawah dari kakinya. Sepasang gada itu pun teracung ke atas.

Bsst! Ujung pedang bambunya telah tertancap di leher lawannya.

Gada Emas Sayap Burung Hong itu hanya terpaut beberapa inci saja dari dada A Fei. Namun orang yang memegangnya tiba-tiba merasakan sesuatu yang aneh di lehernya dan ia pun tersungkur ke tanah. Dengan segenap kekuatannya sekalipun, ia tidak bisa mengacungkan gadanya lebih ke atas sedikit lagi.

Bola matanya seolah-olah akan melompat keluar. Ia tidak bisa lagi mengendalikan otot-otot di tubuhnya. Dari pinggang ke bawah, rasanya terasa sangat dingin.
Kakinya lemah lunglai dan ia pun tersungkur ke tanah. Hanya wajah ketakutannya yang masih terpatri di situ.
Ia tidak bisa percaya ada pedang secepat dan seakurat itu dalam dunia ini!

Tapi kini ia pun tidak mungkin lagi dapat memungkirinya.

Tiba-tiba, keheningan mencekam segala penjuru. Tidak seorang pun bergerak lagi. Semuanya terpana memandang kematian Si Gada Emas Sayap Burung Hong yang mengenaskan itu. Semuanya bisa mencium bau anyir yang keluar dari tubuhnya yang mati.

Beberapa dari mereka mulai bergolak perutnya, serasa ingin muntah.

Tapi mereka bukan ingin muntah karena bau anyir itu. Mereka muntah karena tercekam rasa takut. Seolah-olah baru saat itulah mereka tahu betapa mengerikan dan mengenaskannya ‘kematian’ itu.

Bukan karena mereka takut mati. Hanya saja mati dengan cara seperti itu sungguhlah mengenaskan.

A Fei pun tidak melanjutkan serangannya. Ia berlalu dari kerumunan orang itu.

Ada sembilan orang yang tersisa, dan pandangan kesembilan pasang mata itu mengikuti langkah A Fei saat ia berlalu dari situ.

Salah seorang dari mereka membungkukkan badannya dan mulai muntah-muntah. Seorang yang lain menjerit seram. Seorang yang lain lagi tersungkur ke tanah dan kejang-kejang.

Ada juga yang segera berlari ke kamar kecil.

Bagaimana Sun Sio-ang dapat menahan diri untuk tidak menangis dan tidak ikut muntah-muntah? Hatinya sungguh dicekam oleh ketakutan yang sangat, juga oleh kesedihan. Ia tidak bisa mengerti mengapa hidup manusia bisa tiba-tiba menjadi begitu tidak berharga dan rendah.

A Fei terus melangkah maju dengan pedang di tangannya.

Darah masih menetes dari ujungnya.

Pedang ini bukan saja dapat merenggut nyawa manusia, namun juga bisa melucuti harga dirinya.

Pedang yang sangat kejam!

Namun bagaimana dengan si ahli pedang? Sebuah pintu besar menyambutnya di ujung sana. Pintu itu tertutup rapat, dan terkunci dari dalam.
Ini adalah kediaman pribadi Siangkoan Kim-hong. Ia sedang menunggu di dalam. Demikian pula Li Sun-hoan.

Siangkoan Kim-hong belum keluar. Artinya Li Sun-hoan belum mati.

Sun Sio-ang penuh dengan rasa suka cita dan ia pun segera menghambur ke depan pintu itu.

Tapi tubuhnya mendadak mengejang! Pintu itu terbuat dari besi, dan paling tidak tebalnya satu kaki. Tidak ada seorang pun di seluruh dunia ini yang dapat menjebolnya.

Dan sudah tentu, Siangkoan Kim-hong pun tidak akan begitu saja membuka pintu dan mempersilakan mereka masuk.

Sun Sio-ang merasa kepalanya berkunang-kunang, seakan-akan ia baru saja melangkah dari tepi jurang ke dalam neraka yang tidak berujung.

Ia tidak sanggup berdiri tegak lagi, dan ia pun tersungkur di depan pintu itu. Ia pun menangis meraung-raung.

Rencananya sudah gagal. Seluruh usahanya tidak membuahkan hasil apapun.

Mungkin lebih baik kalau ia sudah gagal di permulaan. Tapi, ia sudah berhasil sampai sejauh ini dan tiba-tiba saja harapannya putus begitu saja. Sungguh menyakitkan.

Kekecewaan semacam ini sangat sulit untuk ditanggung.

A Fei yang tadinya berdiri dengan tenang, kini meraung bagaikan binatang buas yang terluka, dan dengan kekuatan penuh ia menyeruduk ke arah pintu besi itu.

Namun ia langsung terpental, lalu tersungkur pula ke tanah. Dengan cepat ia kembali berdiri dan menusukkan pedangnya dengan sekuat tenaga. Pedang bambu itu pun patah menjadi dua.

Tidak ada sebilah pedang pun yang dapat menembus pintu besi itu, apalagi sebilah pedang bambu!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar