Si Pisau Terbang Li Bab 84 : Mata yang Terbuka

Bab 84. Mata yang Terbuka
Lim Si-im terpekur lama, lalu ia mengangkat wajahnya. Kini wajahnya menjadi sangat tenang dan damai.
Katanya, “Tidak akan ada lagi kesempatan bagi kami untuk bertemu di kemudian hari.”

Sun Sio-ang mengerutkan alisnya. “Mengapa?” “Karena…..karena aku akan pergi ke tempat yang jauh.” “Kau……mengapa kau harus pergi?”
“Aku harus pergi!”

“Kenapa?” tanya Sun Sio-ang tidak mengerti. “Aku sudah mengambil keputusan yang bulat.” Sun Sio-ang tidak bisa berkata apa-apa lagi.
Lim Si-im tersenyum dan berkata, “Kelemahanku yang terbesar adalah selalu ragu-ragu. Mungkin inilah pertama kalinya aku bertekad bulat. Aku hanya berharap tidak ada orang yang membujukku untuk berubah pikiran.”

“Tapi…..tapi inilah pertama kalinya kita berjumpa. Paling tidak, ijinkanlah aku bertemu denganmu sekali lagi.
Masih banyak yang ingin kubicarakan denganmu,” pinta Sun Sio-ang.

Lim Si-im berpikir sejenak, lalu menjawab, “Baiklah. Kita akan bertemu lagi di sini, besok pagi-pagi sekali.”

Setelah mengatakan itu, Lim Si-im pun pergi.

Seolah-olah Sun Sio-ang adalah satu-satunya orang yang tersisa di bumi ini.

Selama itu, tidak setetes air mata pun keluar dari matanya. Namun kini, ia merasa matanya mulai basah.

Ia pun berkeputusan bulat.

Selama Li Sun-Hoan masih hidup, ia akan membawanya datang ke sini.

Sejak pertama kali bertemu dengan Li Sun-Hoan, ia sudah memutuskan untuk mendedikasikan seluruh hidupnya bagi laki-laki itu. Ia belum pernah meragukan keputusannya.

Tapi saat ini, ia merasa begitu egois. Jadi kini ia memutuskan bahwa ia akan mengorbankan kebahagiaannya demi Li Sun-Hoan!

Karena ia merasa bahwa Lim Si-im memerlukan Li Sun- Hoan lebih daripada dia.

‘Mereka berdua telah menderita begitu lama. Mereka berhak merasakan kebahagiaan sekarang. Apapun yang terjadi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mempersatukan mereka.’

‘Lim Si-im adalah miliknya. Tidak ada seorang pun yang berhak memisahkan mereka.’

‘Liong Siau-hun pun tidak berhak. Ia tidak pantas bagi Lim Si-im.’

‘Tapi aku……’

Dan ia pun berkeputusan bulat untuk tidak memikirkan dirinya sendiri. Ia menggigit bibirnya kuat-kuat dan menyeka air matanya. Lalu berkata pada dirinya sendiri, ‘Walaupun aku ingin menangis, aku harus menunggu sampai besok. Masih banyak yang harus dikerjakan hari ini…..’

Ia mengangkat dagunya.

Sekelilingnya gelap gulita. Malam telah larut. Namun, saat malam gelap gulita telah tiba, hari yang terang-benderang pun tidak lama lagi akan tiba.

Ada orang yang mengatakan bahwa hanya ada dua macam manusia di dunia ini: baik dan jahat.

Lim Sian-ji sudah pasti bisa digolongkan jahat, tapi bagaimana dengan Lim Si-im dan Sun Sio-ang?

Walaupun mereka adalah orang-orang yang baik, keduanya sangat berbeda.

Ketika persoalan dan kesulitan muncul, Lim Si-im hanya akan bertahan, dan bertahan….

Ia merasa bahwa kegagahan seorang wanita adalah untuk bisa terus bertahan.

Namun Sun Sio-ang berbeda. Ia akan selalu melawan!

Jika ia sungguh-sungguh menginginkan sesuatu, ia akan bertempur habis-habisan.

Ia adalah gadis yang tegas, cerdas, berani dan penuh percaya diri. Ia tidak takut mencintai, tidak takut membenci. Dan jika seluruh jiwanya diperiksa dengan seksama, tidak akan ditemukan setitikpun kegelapan ataupun kesedihan.

Karena orang-orang seperti dialah, dunia ini menjadi begitu hidup, maju tanpa kenal rintangan. ‘Wanita-wanita dunia ini memimpin umat manusia ke masa depan’.

Perkataan ini sungguh pantas bagi dirinya.

***

‘Kalau aku pergi dan mencarinya sekarang, ia pasti akan datang merangkak kepadaku.’

‘Tanpa diriku, tidak mungkin ia bisa terus hidup.’ Apakah Lim Sian-ji begitu yakin akan hal ini?
Memang ia pantas menjadi begitu yakin, karena ia tahu betul bahwa A Fei sungguh-sungguh mencintainya.

Tapi di manakah A Fei sekarang?

‘Ia pasti masih ada di pondok kecil itu, karena pondok itu adalah ‘rumah kami’. Barang-barangku masih ada di sana. Keberadaanku masih ada di sana.’

‘Ia pasti sedang menantikan kepulanganku.’ Tiba-tiba Lim Sian-ji merasa begitu rileks.
‘Mungkin selama dua hari terakhir ini ia tidak melakukan apapun juga kecuali minum arak. Mungkin rumah itu sudah berantakan sekarang. Mungkin mayat-mayat itu masih bergelimpangan di sana.’ Saat ia memikirkan itu, mengerutkan alis pun Lim Sian-ji tidak berani.

‘Tapi bagaimanapun juga, saat ia melihat aku, ia akan berusaha mati-matian untuk melakukan apa saja yang kuminta. Aku tidak perlu mengangkat seujung jaripun.’

Lim Sian-ji menghela nafas lega. Ketika wanita seperti dia sudah jatuh ke dasar jurang, namun masih ada tempat pelarian, masih ada orang yang menantikan kepulangannya dengan sabar, tidak heran ia merasa sangat bersuka cita.

‘Aku memang terlalu kejam padanya dulu. Aku sudah menekannya kelewat batas. Mulai sekarang aku akan memperlakukan dia dengan baik.’

‘Laki-laki itu seperti anak kecil. Jika kau ingin mereka berkelakuan baik, kau harus memberi mereka permen terlebih dulu.’

Tiba-tiba ia merasakan kehangatan dalam dadanya.

‘Kalau dipikir-pikir, dia bukanlah orang yang menyebalkan. Bahkan mungkin ia jauh lebih baik daripada semua laki-laki yang pernah kutemui seumur hidupku.’

Lim Sian-ji baru menyadari bahwa sebenarnya ia pun sedikit banyak telah jatuh cinta pada A Fei. Hanya terhadap A Feilah ia memiliki perasaan yang tulus. Semakin dipikirkannya, semakin ia menyadari betapa berbahagianya dia saat A Fei ada di sisinya.

‘Aku sungguh-sungguh harus memperlakukan dia dengan lebih baik mulai sekarang. Laki-laki seperti dia jarang ada di dunia ini. Mungkin aku tidak akan menemukan laki-laki lain yang seperti dia.’

Dan semakin dipikirkannya, semakin dalam ia menyadari bahwa ia tidak boleh membiarkan A Fei pergi dari hidupnya.

Mungkin selama ini sebenarnya Lim Sian-ji pun mencintainya. Tapi cinta A Fei terhadapnya sungguh jauh lebih besar dan dalam, sehingga Lim Sian-ji tidak menghargainya.

Jika ia tidak begitu dalam mencintai Lim Sian-ji, mungkin Lim Sian-ji akan lebih menginginkannya.

Inilah kelemahan manusia. Kontradiksi sifat dasar manusia.

Itulah sebabnya mengapa laki-laki yang pintar tidak akan menunjukkan seluruh perasaan mereka kepada wanita yang mereka cintai. Lebih baik mereka simpan di dalam hati.

‘A Fei, jangan kuatir. Mulai sekarang, aku tidak akan lagi menyakitimu. Aku akan setia mendampingimu tiap hari, tiap saat. Mari kita lupakan masa lalu, dan mulai dengan lembaran baru hidup kita.’ ‘Selama kau memperlakukan aku sama seperti dulu, mulai sekarang akulah yang akan menuruti semua perkataanmu.’

Tapi bisakah A Fei memperlakukan dia sama seperti dulu?

Lim Sian-ji mulai ragu, rasa percaya dirinya mulai memudar.

Belum pernah ia merasa seperti ini, karena belum pernah sebelumnya ia menyadari betapa berharganya A Fei bagi dirinya. Saat ini, ia bahkan tidak peduli apakah A Fei akan memperlakukannya dengan baik atau tidak.

Hanya pada saat seseorang begitu menginginkan sesuatu, ia akan sangat takut kehilangan.

Perasaan selalu ingin lebih dan selalu tidak puas adalah salah satu kelemahan umat manusia.

Yang lebih menyedihkan adalah, semakin banyak kita ingin, semakin besarlah rasa tidak puas itu.

Lim Sian-ji mengangkat kepalanya dan melihat pondok kecil yang berdiri sendirian di tepi jalan itu.

Ada cahaya dari dalam sana.

Ia berhenti sejenak. Dirobeknya lengan bajunya, dan dibersihkannya wajahnya dengan air hujan. Lalu dengan lembut dirapikannya rambutnya dengan jari-jemarinya. Ia tidak ingin A Fei melihatnya dalam kondisi yang menyedihkan.

Karena saat ini, ia tidak sanggup lagi kehilangan A Fei. Cahaya dalam pondok itu terlihat sangat terang.
Sebatang lilin menyala di atas meja.

Sepanci besar bubur tampak berada di samping lilin itu.

Rumah itu tidak tampak kotor atau berantakan seperti yang dibayangkan Lim Sian-ji. Tidak ada lagi mayat yang kelihatan. Bekas-bekas darah pun sudah tidak tampak.
Semuanya serba bersih dan rapi.

A Fei sedang duduk di depan meja sambil menghirup semangkuk bubur panas.

Ia selalu makan perlahan-lahan karena ia tahu benar bahwa makanan itu harus dihargai. Oleh sebab itulah ia makan perlahan, untuk menikmati setiap suapan.

Tapi sepertinya ia tidak sedang menikmati saat itu.

Di wajahnya tergambar kepahitan, seakan-akan ia makan dengan terpaksa.

Mengapa ia memaksa diri untuk makan? Apakah karena ia terpaksa makan demi bertahan hidup?

Malam sudah sangat larut. Seorang laki-laki duduk menghadapi meja sendirian sambil mengirup buburnya.

Jika kau tidak melihatnya sendiri, sangat sulit membayangkan betapa sedih dan memilukannya pemandangan ini.

Dengan perlahan pintu terbuka.

Saat ia melihat A Fei, ia merasakan kehangatan menjalari sekujur tubuhnya.

Ia sendiri tidak pernah menyangka bahwa ia bisa memiliki perasaan seperti ini.

Karena darahnya selalu dingin.

A Fei seperti tidak menyadari ada yang masuk ke rumah itu. Kepalanya masih menunduk, sibuk mengirup buburnya. Seolah-olah bubur itulah satu-satu hal yang nyata baginya di dunia ini.

Namun otot-otot wajahnya mulai menegang.

Lim Sian-ji tidak bisa menahan diri lagi. Ia memanggilnya, “Fei sayang….”

Suaranya masih tetap manis dan lembut seperti dulu.

Akhirnya A Fei mengangkat wajah dan memandangnya.

Matanya masih tetap bercahaya. Apakah karena air mata? Mata Lim Sian-ji pun mulai tampak basah. “Fei sayang, aku sudah kembali…..”

A Fei tidak bergerak, tidak menyahut.

Seolah-olah ia sudah membeku dan tidak bisa bergerak lagi.

Perlahan Lim Sian-ji berjalan ke arahnya dan berkata, “Aku tahu, kau pasti akan menungguku. Karena akhirnya aku menyadari bahwa kaulah satu-satunya yang baik kepadaku di dunia ini.”

Kali ini ia tidak berpura-pura.

Ia mengatakannya dari lubuk hatinya yang terdalam. Perasaannya terhadap A Fei sangat tulus.

Lanjut Lim Sian-ji, “Aku sadar sekarang bahwa semua orang yang lain hanya ingin memanfaatkan diriku….dan aku pun hanya memanfaatkan mereka. Oleh sebab itulah aku tidak peduli bahwa mereka itu memanfaatkan aku.
Tapi seberapa buruknya aku memperlakukan engkau, kau tetap setia kepadaku.”

Ia tidak memperhatikan perubahan di wajah A Fei.

Ia berjalan semakin dekat. Begitu dekat, sampai-sampai ia tidak melihat apa yang seharusnya terlihat jelas.

“Aku telah memutuskan bahwa aku tidak akan pernah menipumu lagi. Tidak pernah akan menyakitimu lagi. Apapun yang kau inginkan, akan kudengarkan, akan kulakukan, dan aku berjanji…..”

Prak! Sumpit di tangan A Fei patah menjadi dua.

Lim Sian-ji merengkuh tangan A Fei dan meletakkannya di dadanya.

Suaranya sungguh manis, semanis madu.

“Aku telah begitu bersalah padamu di masa lalu. Aku akan berusaha sekuat tenaga untuk memperbaikinya di kemudian hari. Aku ingin kau mengerti bahwa seluruh perbuatan baikmu terhadap aku tidaklah sia-sia belaka.”

Dadanya terasa hangat dan lembut.

Siapapun yang meletakkan tangannya di dada itu tidak akan mungkin ingin melepaskannya lagi.

Tapi tiba-tiba A Fei menarik tangannya.

Lim Sian-ji terperanjat. “Kau….kau….kau tidak menginginkan aku lagi?”

A Fei hanya menatapnya terdiam. Seolah-olah inilah pertama kalinya ia melihat Lim Sian-ji.

“Semua yang kukatakan itu benar adanya. Walaupun aku pernah bersama dengan laki-laki lain di masa lalu….aku tidak pernah punya perasaan apa-apa terhadap mereka. Itu semua palsu…..” Suaranya terhenti, karena saat itulah ia melihat ekspresi wajah A Fei.

A Fei kelihatan seperti ingin muntah.

Lim Sian-ji mundur dua langkah dan berkata, “Kau……kau tidak suka aku mengatakan yang sebenarnya? Apakah kau lebih suka aku berdusta?”

A Fei memandang lurus padanya cukup lama, dan akhirnya berkata, “Ada satu hal yang kurasa sangat ganjil.”

“Apa itu?”

A Fei bangkit berdiri dan berkata perlahan tapi pasti, “Bagaimana aku bisa jatuh cinta pada wanita seperti engkau!”

Lim Sian-ji merasa kejang seluruh tubuhnya. A Fei tidak mengatakan apa-apa lagi.
Ia tidak perlu mengatakan apa-apa lagi. Satu kalimat itu saja sudah cukup.

Sudah cukup untuk mengirim Lim Sian-ji ke neraka yang paling gelap.

Perlahan A Fei melangkah keluar.

Seseorang tidak mungkin dapat menahan rasa sakit, penghinaan dan olok-olok terus-menerus. Mungkin ada orang dapat menerima dibohongi terus- menerus, tapi ada batasnya orang bisa menerima penghinaan – ini berlaku untuk wanita, juga untuk pria.

Ini berlaku untuk istri, juga untuk suami.

Lim Sian-ji merasa hatinya terperosok semakin dalam, dan semakin dalam….

A Fei membuka daun pintu.

Tiba-tiba Lim Sian-ji melompat dan terpuruk dekat kakinya. Ia menarik lengan baju A Fei dan menangis tersedu-sedu, “Bagaimana mungkin engkau meninggalkan aku seperti ini….. Hanya engkaulah yang kumiliki sekarang…..”

Tapi A Fei tidak menoleh.

Perlahan ditanggalkannya bajunya yang terus diganduli oleh Lim Sian-ji.

Ia melangkah keluar dengan dada telanjang menerjang hujan.

Hujan yang sangat dingin.

Namun air hujan yang sangat bersih.

Akhirnya ia dapat melepaskan diri dari Lim Sian-ji. Melepaskan diri dari belenggu yang mengikat hatinya. Sama seperti baru saja membuang baju yang sudah lama dan usang. Lim Sian-ji masih berpegangan pada baju itu. Ia tahu benar bahwa tidak ada lagi tempat baginya untuk berpegangan.

‘Pada akhirnya, kau menyadari bahwa kau tidak memiliki apa-apa dan hidupmu begitu hampa….”

Air mata mengalir deras di wajahnya.

Saat itulah ia menyadari betul bahwa ia sebenarnya begitu mencintai A Fei.

Mungkin ia menyiksa A Fei karena ia mencintainya, dan karena ia tahu bahwa A Fei mencintainya.

Mengapa wanita suka menyiksa laki-laki yang paling mereka cintai?

Baru sekarang ia menyadari betapa berharganya A Fei dalam hidupnya.

Karena baru sekarang, ia kehilangan A Fei.

Mengapa wanita sering kali tidak menghargai apa yang mereka miliki, dan baru menyadari betapa berharganya sesuatu setelah semuanya hilang?

Mungkin laki-laki pun seperti ini.

Lim Sian-ji tertawa seperti orang kesurupan sambil merobek-robek baju A Fei di tangannya. ‘Apa yang kutakuti? Aku masih muda dan cantik. Kalau aku mau, aku bisa mendapatkan laki-laki manapun juga…. Aku bisa mendapatkan sepuluh laki-laki dalam sehari.’

Ia sedang tertawa, tapi tawanya terasa lebih memilukan daripada air mata.

Karena ia sebenarnya tahu, bahwa laki-laki memang mudah didapatkan, namun cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.

Bagaimanakah nasib Lim Sian-ji sekarang? Tidak ada yang tahu.
Seakan-akan ia hilang ditelan bumi.

***

Dua, tiga tahun kemudian, di kompleks pelacuran yang paling terkenal di ChangAn tersiar kabar ada seorang pelacur yang sangat unik. Ia tidak pernah minta bayaran. Yang diinginkannya hanya laki-laki.

Bahkan ada yang bilang bahwa ia melayani sedikitnya sepuluh laki-laki dalam sehari.

Awalnya, begitu banyak pria yang berminat kepadanya, namun sejalan dengan waktu, laki-laki yang menginginkannya pun semakin berkurang. Mungkin karena pelacur itu begitu cepat menjadi tua, tapi lebih mungkin karena lama-kelamaan orang menyadari bahwa ia bukan seperti manusia. Ia seperti induk serigala yang memangsa laki-laki bulat-bulat.

Ia bukan saja suka menghancurkan laki-laki, namun penyiksaan yang dilakukan terhadap dirinya sendiri jauh lebih mengerikan.

Ada orang bilang bahwa ia adalah wanita yang dulunya dijuluki ‘wanita tercantik di seluruh dunia’, Lim Sian-ji.

Tapi ia sendiri tidak pernah mengakuinya.

Beberapa tahun setelah itu, di sebuah daerah paling kumuh di ChangAn, terdengar lagi ada seorang wanita aneh yang menjadi cukup terkenal.

Ia bukan terkenal karena kecantikannya, tapi karena ia begitu buruk rupa. Sampai-sampai tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata.

Yang lucu adalah, ketika ia mabuk berat, ia selalu mengatakan bahwa dulunya ia adalah si ‘wanita tercantik di seluruh dunia’.

Tentu saja tidak ada yang percaya.

***

Hujan semakin dingin. Walaupun A Fei telah basah kuyup dari kepala hingga ujung kaki, entah mengapa ia merasa segar. Karena hujan telah membuatnya menyadari bahwa ia bukanlah sebatang kayu kering. Inilah pertama kalinya dalam dua tahun ini ia merasa begitu hidup.

Lagi pula, ia merasa begitu lega. Seakan-akan beban ribuan ton telah diangkat dari bahunya.

Sayup-sayup terdengar orang memanggil dari kejauhan, “A Fei…..”

Suaranya begitu pelan. Mungkin beberapa hari yang lalu, ia tidak akan bisa mendengar suara ini.

Tapi sekarang, matanya tidak lagi buta. Telinganya tidak lagi tuli.

Ia menghentikan langkahnya dan bertanya, “Siapa itu?”

Seseorang segera bergegas ke arahnya. Dengan dua kuncir panjang, dua mata besar.

Seorang gadis muda yang cantik. Ia kelihatan sangat kelelahan.

Akhirnya Sun Sio-ang menemukan A Fei.

Ia berlari ke arah A Fei dengan nafas tersengal-sengal, “Kau tidak mengenali aku lagi….”

A Fei segera memotong perkataannya, “Aku ingat siapa engkau. Kita bertemu dua tahun yang lalu. Kau sangat pintar bicara. Aku juga melihat engkau dua hari yang lalu, tapi kau tidak mengatakan apa-apa.”

Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Kelihatannya ingatanmu masih bagus.”

Hatinya merasa lega, karena ia melihat A Fei berdiri, bahkan berdiri tegap.

‘Ada orang yang bisa bangkit, seberapa kali pun mereka jatuh.’

Li Sun-Hoan dan A Fei memang benar-benar sehati sejiwa.

A Fei tahu apa yang akan ditanyakan gadis itu.

Tapi Sun Sio-ang tidak mengatakan apa-apa. Ia tidak tahu bagaimana harus bertanya.

Kata A Fei, “Katakan saja apa yang ingin kau katakan, karena kau adalah sahabat Li Sun-Hoan.”

Tanya Sun Sio-ang, “Apakah kau telah berjumpa dengannya?”

“Ya.”

“Di mana dia sekarang?”

“Dia tidak ada lagi hubungan dengan aku, mengapa kau menanyakannya?” Di masa lalu, jika ada orang yang berbicara tentang Lim Sian-ji kepadanya, ia selalu merasa tercekat. Mendengar namanya saja dapat membuat hatinya bergetar.

Namun kini ia terlihat sangat tenang.

Sun Sio-ang menatapnya menyelidik, lalu menghela nafas lega. “Ternyata kau benar-benar sudah terbebas dari belenggumu.”

“Belenggu?” tanya A Fei bingung.

“Setiap orang di dunia ini memliki kurungan dan belenggu mereka masing-masing. Tapi hanya sedikit saja yang dapat membebaskan diri.”

“Aku tidak mengerti.”

Kata Sun Sio-ang, “Kau tidak perlu mengerti. Yang penting kau sudah berhasil melakukannya.”

A Fei terdiam lama. Akhirnya ia berkata, “Ah, aku mengerti sekarang.”

“Kau sungguh-sungguh mengerti?. ” Kini Sun Sio-anglah
yang bingung. “Kalau begitu, aku ingin tahu, dengan cara bagaimana kau dapat membebaskan diri dari belenggumu?”

A Fei berpikir sejenak sebelum menjawab sambil tersenyum, “Mataku tiba-tiba terbuka.” ‘Mataku tiba-tiba terbuka’. Sungguh suatu kalimat yang sederhana. Tapi pada kenyataannya, sangat sulit untuk mengalaminya.

Waktu Sang Budha mengalami pencerahan di bawah pohon bodhi, ia pun mengalami mata yang tiba-tiba terbuka.

Bodhidharma bermeditasi selama sembilan tahun sebelum matanya terbuka.

Bagaimanapun kejadiannya, jika matamu sudah terbuka, pikiranmu pun akan terbebaskan dari segala macam persoalan. Tapi sebelum itu dapat terjadi, seseorang mau tidak mau harus mengalami berbagai macam pencobaan dan kesukaran hidup.

Kata Sun Sio-ang, “Kau pasti telah begitu menderita sebelum mencapai pencerahan itu.”

Namun kelihatannya A Fei tidak berminat untuk mendiskusikannya. Tiba-tiba ia bertanya, “Apakah Li Sun- Hoan menyuruhmu untuk mencari aku?”

“Tidak,” jawab Sun Sio-ang. “Di manakah ia saat ini?”
Sun Sio-ang terdiam. Senyumnya pun lenyap.

“Bagaimana keadaannya sekarang?” tanya A Fei mendesak. Wajah Sun Sio-ang bertambah kelam saat ia menjawab, “Sejujurnya, aku pun tidak tahu di mana tepatnya ia berada saat ini. Aku pun tidak tahu apakah ia masih hidup atau….”

Wajah A Fei langsung memucat. “Apa maksudmu?”

“Mungkin aku dapat menemukan di mana ia berada, namun hidupnya….”

“Ada apa dengan hidupnya?” Nada suara A Fei semakin tinggi.

Sun Sio-ang menatap matanya sambil berkata, “Hidup matinya terletak di tanganmu seorang!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar