Si Pisau Terbang Li Bab 83 : Cinta yang Dalam dan Luas

Bab 83. Cinta yang Dalam dan Luas

Setelah beberapa saat terdiam, Lim Sian-ji mencibir dan bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang harus kau kerjakan hari ini?”

“Kalau seorang wanita ingin mendukung kekasihnya, itu bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya. Tapi ia harus memberikan penghiburan dan kelegaan kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat kekasihnya merasa dirinyalah yang terpenting dalam hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Sio- ang.

“Itu saja?”

“Selain itu, apa lagi yang dapat kuperbuat baginya?” Memang tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Itu saja sudah cukup.

Laki-laki yang beruntung memiliki wanita seperti ini akan merasa puas sepenuhnya.

Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu kau sedang berusaha membuatku merasa sedih, tapi aku tidak menyalahkanmu. Aku merasa kasihan padamu.” “Kasihan padaku? Mengapa aku harus dikasihani?”

“Kau pikir kau masih muda, cantik, dan pandai. Kau pikir semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut di hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu dengan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai dan sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah kau menggebahnya pergi dan menganggapnya seperti seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu tidaklah banyak. Cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.”

Dengan lembut Sun Sio-ang melanjutkan, “Dan bila saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak berarti. Saat seorang wanita berada pada posisi seperti itu dalam hidupnya, ia sungguh patut dikasihani.”

Tanya Lim Sian-ji, “Kau….Kau pikir aku seperti itu?”

Suaranya bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar. Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?

Sun Sio-ang tidak menjawabnya. Ia hanya memandang dingin pada wajah Lim Sian-ji yang pucat dan gelisah, pada tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk daripada jawaban apapun yang mungkin diberikannya.

Lim Sian-ji tertawa tiba-tiba tiba-tiba. “Kau benar, aku memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak lebih daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi kalau sekarang aku pergi mencari dia, dia pasti akan merangkak kembali kepadaku.”

“Lalu mengapa tidak kau coba?” tantang Sun Sio-ang.

“Tidak perlu kucoba. Aku sudah tahu hasilnya. Ia tidak mungkin dapat hidup tanpa diriku.”

Walaupun bibirnya berkata begitu, tubuhnya sudah berputar dan melangkah pergi.

Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan berlari sekuat tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah baginya. Sun Sio-ang masih berdiri di situ sejenak sebelum memaLingkan wajahnya.

Bumi telah tertutup oleh kekelaman yang tiada berujung. Dari balik rintik air hujan muncul sesosok bayangan manusia….

Tidak ada yang tahu kapan orang itu datang, tidak ada yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.

Yang pertama terlihat oleh Sun Sio-ang adalah matanya. Mata seorang wanita.

Matanya tampak suram. Mungkin mata itu sudah begitu banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya sudah pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa kata- kata yang terkandung di dalamnya dapat membawa laki- laki yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata. Lalu tampaklah wajahnya.

Bukan wajah yang luar biasa cantik.

Wajah itu sangat pucat, seakan-akan sudah begitu lama tidak kena sinar matahari.

Tapi entah mengapa, saat Sun Sio-ang melihatnya, ia serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh bumi.

Rambutnya berantakan dan pakaiannya basah kuyup, seperti orang yang sedang putus asa. Namun anehnya, jika orang yang melihatnya, mereka tidak akan menyangka demikian.

Karena ia masih terlihat begitu muda, begitu anggun.

Apapun situasinya, ia dapat menyentuh perasaan orang lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang luar biasa.

Sun Sio-ang belum pernah melihat wanita ini sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia langsung tahu siapa dia.

Lim Si-im.

Hanya wanita seperti dialah yang dapat membuat orang seperti Li Sun-Hoan jatuh ke dalam jurang cinta begitu dalam.

Sun Sio-ang menghela nafas panjang. ‘Mengapa semua orang menganggap Lim Sian-ji adalah wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya. Bahkan saat ini pun, ia jauh lebih mempesona daripada Lim Sian-ji.’

Mungkin karena malam yang hujan, atau mungkin karena ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang sejujurnya.

Selera wanita terhadap wanita memang berbeda dari selera pria.

Lim Si-im pun sedang menatapnya. Perlahan ia berjalan mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona Sun, bukan?”

Sun Sio-ang mengangguk dan berkata, “Aku tahu siapa engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”

Lim Si-im tersenyum, senyum yang penuh derita.

Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’ yang disebut oleh Sun Sio-ang.

Kata Sun Sio-ang, “Jadi kau sudah berada di sini dari tadi.”

Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku datang untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah lama aku tidak pergi keluar rumah dan aku tersesat dalam perjalanan.” Ia tersenyum sedikit dan menambahkan, “Tapi tidak mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya bisa kusampaikan kepadamu.”

Suaranya pelan dan lembut. Seakan-akan ia perlu berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.

Tiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan kaku. Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak berperasaan.

Namun Sun Sio-ang sungguh memahami dirinya. Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan dalam hidupnya.

Sun Sio-ang merasa simpati yang begitu besar dalam hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu denganmu. Dan kau pun sudah jauh-jauh datang ke sini, mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu dengannya sekali lagi?”

“A….Aku tidak bisa.”

Awalnya memang ia ingin bertemu dengan Li Sun-Hoan. Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia kuatir akan perasaan yang akan timbul dalam hatinya.

Karena ia tahu pasti, jika ia bertemu dengan Li Sun-Hoan lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya lagi. Walaupun ia tidak mengatakannya, Sun Sio-ang paham sepenuhnya.

Kata Sun Sio-ang, “Sebelumnya aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mau menuruti semua perkataan orang lain dan membiarkan orang lain menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu bahwa ia bukan menuruti perkataan orang itu karena takut padanya, tapi karena mencintainya begitu rupa dan tahu bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi kebaikannya.”

Selama itu Lim Si-im berusaha keras menahan diri, tapi saat itu pertahanannya runtuh.

Air mata membanjiri wajahnya.

Karena setiap kata yang diucapkan Sun Sio-ang terus menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang jarum yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.

Ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, ‘Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti Lim Sian-ji. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang bersalah waktu dulu itu?’

Tadinya ia begitu geram pada Li Sun-Hoan, begitu benci padanya.

Hidupnya berakhir sedih dan tragis seperti ini, semuanya karena kesalahan Li Sun-Hoan! Tapi baru sekarang ia menyadari bahwa yang salah bukanlah Li Sun-Hoan, tetapi dirinya sendiri.

‘Mengapa waktu itu aku mendengarkan perkataannya? Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah dengan siapapun juga kecuali dia?’

Sun Sio-ang berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi aku tahu bahwa…..”

Lim Si-im menyelanya tiba-tiba, “Tapi sekarang aku tahu. Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa akulah yang salah.”

“Kenapa begitu?” seru Sun Sio-ang.

“Karena…..jika aku berani berbuat seperti engkau, sekuat dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti ini.”

“Tapi kau…..”

Kembali Lim Si-im memotongnya, “Sekarang aku tahu bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya engkaulah yang pantas untuknya.”

Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku…..”

Lim Si-im tidak memberinya kesempatan berbicara. “Karena hanya kau yang bisa menghibur dan mendukungnya. Apapun yang dilakukannya, kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi aku…..”

Ia mendesah, dan setetes air mata bergulir ke pipinya.

Sun Sio-ang terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan punya banyak kesempatan untuk bertemu dengannya.
Apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah lewat. Kini kalian berdua dapat….”

Lim Si-im memotongnya cepat, “Kau pikir ia masih punya kesempatan? Masih ada harapan?”

“Tentu saja masih ada!”

Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Mungkin semua orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa percaya dirinya, apa lagi harapannya?”

“Betul sekali,” sahut Lim Si-im.

“Tapi aku tahu pasti bahwa ia bersikap demikian hanya untuk memancing agar Siangkoan Kim-hong menjadi lengah. Jika Siangkoan Kim-hong mulai meremehkan lawannya, ia pun akan menjadi kurang hati-hati.”

Mata Sun Sio-ang berbinar dan menambahkan lagi, “Jika Siangkoan Kim-hong kurang hati-hati, Li Sun-Hoan pasti bisa mengalahkannya!” Lim Si-im mendesah dan berkata, “Ia punya rasa percaya diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga baginya. Aku rasa kau tidak menyadari seberapa pentingnya dirimu baginya.”

Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku menyadarinya.”

Ia tidak hanya yakin pada Li Sun-Hoan, ia pun yakin pada dirinya sendiri.

Lim Si-im memandang gadis itu dengan perasaan yang tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya merasa sangat berbahagia bagi Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan telah berkubang dalam kesedihan lebih dari setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat lelah. Hanya orang seperti Sun Sio-anglah yang dapat memberikan penghiburan kepadanya. Sekalipun ia bisa menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari nanti ia akan kalah.

Walaupun tidak ada orang yang dapat menjatuhkannya, ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!

Lim Si-im kembali mendesah dan berkata, “Bahwa ia bisa berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan, menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia pantas untuk berbahagia, tapi…..” Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Hing Bu-bing? Walaupun ia dapat mengalahkan Siangkoan Kim-hong, tidak mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan mereka berdua.”

Sahut Sun Sio-ang, “Mungkin Hing Bu-bing tidak akan menyerang sama sekali. Siangkoan Kim-hong sudah begitu yakin bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia tidak akan meminta bantuan Hing Bu-bing. Saat ia menyadarinya, sekalipun Hing Bu-bing ingin membantu, itu sudah sangat terlambat.”

Pemikirannya sungguh tepat. Ini adalah kesempatan Li Sun-Hoan satu-satunya.

Jika mereka ingin mengalahkan Li Sun-Hoan, ini juga satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun juga.

Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?

Kata Lim Si-im, “Jadi maksudmu, jika Hing Bu-bing tidak menyerang bersamaan dengan Siangkoan Kim-hong, Li Sun-Hoan masih punya kesempatan?”

“Benar.”

“Bagaimana kau bisa yakin bahwa Hing Bu-bing tidak akan menyerang?” “Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun Sio-ang. “Namun aku yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.”

“Meskipun kau benar, bagaimana kita bisa tahu apa yang terjadi selama dua jam ini?” tanya Lim Si-im kuatir.

“Sesuatu akan terjadi.” “Apa itu?”
“A Fei,” jawab Sun Sio-ang singkat.

Walaupun Lim Si-im tidak mengatakan apa-apa, wajahnya menunjukkan kekecewaan.

Semua orang pasti merasa kecewa terhadap A Fei.

Kata Sun Sio-ang, “Tidak seorang pun percaya padanya lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih mengenakan belenggu yang berat pada tubuhnya.”

“Belenggu?”

“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu orang yang dapat membebaskan dia dari belenggu itu.”

“Siapa?” tanya Lim Si-im penuh harap.

“Hanya pemukul genta yang dapat melepaskan ikatan genta.”

“Maksudmu…..Lim Sian-ji?” “Tepat sekali. Kalau ia bisa menyadari bahwa Lim Sian-ji tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”

Lim Si-im terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Mungkin kau benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali dalam waktu yang sangat singkat?”

Jawab Sun Sio-ang, “Untuk alasan lain mungkin dia tidak akan bisa, namun untuk Li Sun-Hoan ia pasti bisa.”

Lalu dengan perlahan ia menambahkan, “Untuk orang- orang yang sangat kita kasihi, kadang-kadang kita bisa membuat hal-hal yang luar biasa.”

Lim Si-im menghela nafas panjang. “Jadi begitu….”

Kata Sun Sio-ang, “Jadi sekarang aku harus pergi mencari A Fei dan memberitahukan padanya apa yang terjadi.”

“Tunggu…..ada lagi yang ingin kusampaikan padamu,” kata Lim Si-im tiba-tiba.

“Apa itu?”

“Sudah lama aku tidak pergi dunia luar, tapi aku tahu begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak merasa heran?” “Sama sekali tidak. Karena aku tahu kau memiliki putra yang sangat cerdas,” jawab Sun Sio-ang sambil tersenyum.

Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Apapun yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh sebab itu aku berharap kau dapat memberitahukan kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..” 

“Ia tidak pernah membenci siapapun juga. Kau seharusnya sudah tahu.”

Lim Si-im terdiam. Seolah-olah ada lagi yang ingin dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

Tanya Sun Sio-ang, “Apakah ini mengenai ‘Ensiklopedi LianHua’?”

Lim Si-im tampak terkejut. “Kau sudah tahu?”

Sun Sio-ang tersenyum dan menyahut, “Aku juga sudah memberitahukan kepadanya. Jisusiokku….”

“Benar. Waktu Tuan Wang datang, Tuan Sun juga ada bersamanya.”

“Jadi kitab itu memang ada padamu?”

“Ya. Tapi aku tidak pernah memberitahukan kepadanya selama ini.” “Mengapa?”

Jawab Lim Si-im, “Karena pada saat itu aku merasa bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya, malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi ilmu silat seseorang, akan semakin banyak persoalan yang timbul, jadi…..”

“Jadi kau tidak memberitahukan kepadanya karena kau ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang sederhana.”

“Itulah alasan utamanya. Tapi tidak seorang pun akan mempercayai aku…..”

“Aku percaya padamu,” kata Sun Sio-ang.

Ia mendesah dan menambahkan, “Jika aku ada di tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama.”

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami perasaan wanita lain.

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami bahwa seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi laki- laki yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin perbuatannya dianggap bodoh, namun di mata mereka, tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini.

Kata Lim Si-im, “Namun sekarang aku menyesal. Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.” “Kau menyimpannya demi kebaikannya sendiri,” kata Sun Sio-ang.

“Tapi…..kalau ia sempat mempelajari isi ‘Ensiklopedi LianHua’, sekalipun Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu- bing bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin terkalahkan.”

“Ah, jadi karena itu kau merasa bersalah. Karena itulah kau meminta maaf.”

Lim Si-im mengangguk. Katanya, “Aku tahu ia tidak akan menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup dengan diriku sendiri.”

“Tapi kau salah,” kata Sun Sio-ang. “Salah?”
“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi LianHua’, ia tetap bukan tandingan Siangkoan Kim-hong.”

“Kenapa?”

“Tahukah kau mengapa ilmu pedang A Fei begitu ditakuti orang?”

“Karena dia…..” Lim Si-im tidak tahu jawabannya.

“Ia bisa menjadi sangat cepat dan tepat karena ia sangat berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain. Sama seperti Li Sun-Hoan. Jika ia mempelajari ilmu silat yang lain, ia akan kehilangan fokus. Pisaunya tidak mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”

Lim Si-im kembali menundukkan kepalanya. “Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan menyampaikan perasaanku kepadanya.”

Kata Sun Sio-ang, “Kalian berdua akan punya kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan sendiri kepadanya?”
Setelah beberapa saat terdiam, Lim Sian-ji mengertakkan giginya dan bertanya, “Apa sih yang begitu penting yang harus kau kerjakan hari ini?”

“Kalau seorang wanita ingin mendukung kekasihnya, itu bukan berarti bahwa ia harus ikut serta dalam kematiannya, atau bahwa ia harus mati demi kekasihnya. Tapi ia harus memberikan penghiburan dan kelegaan kepada kekasihnya, supaya ia bisa melakukan apa yang harus dilakukannya dengan tenang. Ia harus membuat kekasihnya merasa dirinyalah yang terpenting dalam hidupnya, dan ia tidak merasa diabaikan,” kata Sun Sio- ang.

“Itu saja?”

“Selain itu, apa lagi yang dapat kuperbuat baginya?” Memang tidak ada lagi yang dapat dilakukannya.
Itu saja sudah cukup. Laki-laki yang beruntung memiliki wanita seperti ini akan merasa puas sepenuhnya.

Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu kau sedang berusaha membuatku merasa sedih, tapi aku tidak menyalahkanmu. Aku merasa kasihan padamu.”

“Kasihan padaku? Mengapa aku harus dikasihani?”

“Kau pikir kau masih muda, cantik, dan pandai. Kau pikir semua laki-laki di dunia ini akan bertekuk lutut di hadapanmu. Oleh sebab itu, pada saat kau bertemu dengan laki-laki yang sungguh-sungguh mencintai dan sayang padamu, kau tidak bisa menghargainya. Malah kau menggebahnya pergi dan menganggapnya seperti seorang tolol. Tapi suatu hari nanti kau akan menyadari bahwa orang yang sungguh-sungguh mencintaimu tidaklah banyak. Cinta sejati tidak dapat dibeli dengan kecantikan dan usia muda.”

Dengan lembut Sun Sio-ang melanjutkan, “Dan bila saatnya tiba, kau akan menyadari bahwa kau tidak memiliki apapun juga. Bahwa hidupmu kosong dan tidak berarti. Saat seorang wanita berada pada posisi seperti itu dalam hidupnya, ia sungguh patut dikasihani.”

Tanya Lim Sian-ji, “Kau….Kau pikir aku seperti itu?”

Suaranya bergetar. Seluruh tubuhnya pun bergetar. Apakah ia merasa kesal? Dingin? Atau takut?

Sun Sio-ang tidak menjawabnya. Ia hanya memandang dingin pada wajah Lim Sian-ji yang pucat dan gelisah, pada tubuhnya yang penuh lumpur. Jauh lebih buruk daripada jawaban apapun yang mungkin diberikannya.

Lim Sian-ji tertawa tiba-tiba tiba-tiba. “Kau benar, aku memang meremehkan dia dan menganggapnya tidak lebih daripada seorang tolol yang dimabuk cinta. Tapi kalau sekarang aku pergi mencari dia, dia pasti akan merangkak kembali kepadaku.”

“Lalu mengapa tidak kau coba?” tantang Sun Sio-ang.

“Tidak perlu kucoba. Aku sudah tahu hasilnya. Ia tidak mungkin dapat hidup tanpa diriku.”

Walaupun bibirnya berkata begitu, tubuhnya sudah berputar dan melangkah pergi.

Ia mengerahkan seluruh kekuatannya dan berlari sekuat tenaga, karena ia tahu bahwa inilah kesempatan terakhirnya. Jika kesempatan ini berlalu, berakhir sudah baginya. Sun Sio-ang masih berdiri di situ sejenak sebelum memaLingkan wajahnya.

Bumi telah tertutup oleh kekelaman yang tiada berujung. Dari balik rintik air hujan muncul sesosok bayangan manusia….

Tidak ada yang tahu kapan orang itu datang, tidak ada yang tahu sudah berapa lama ia berada di sana.

Yang pertama terlihat oleh Sun Sio-ang adalah matanya. Mata seorang wanita. Matanya tampak suram. Mungkin mata itu sudah begitu banyak mencucurkan air mata sehingga cahayanya sudah pudar. Namun kesedihan dan dukacita tanpa kata- kata yang terkandung di dalamnya dapat membawa laki- laki yang paling gagah sekalipun meneteskan air mata.

Lalu tampaklah wajahnya.

Bukan wajah yang luar biasa cantik.

Wajah itu sangat pucat, seakan-akan sudah begitu lama tidak kena sinar matahari.

Tapi entah mengapa, saat Sun Sio-ang melihatnya, ia serasa sedang melihat wanita yang tercantik di seluruh bumi.

Rambutnya berantakan dan pakaiannya basah kuyup, seperti orang yang sedang putus asa. Namun anehnya, jika orang yang melihatnya, mereka tidak akan menyangka demikian.

Karena ia masih terlihat begitu muda, begitu anggun.

Apapun situasinya, ia dapat menyentuh perasaan orang lain dengan pribadinya yang unik dan kekuatannya yang luar biasa.

Sun Sio-ang belum pernah melihat wanita ini sebelumnya, namun hanya dengan sekali pandang ia langsung tahu siapa dia.

Lim Si-im. Hanya wanita seperti dialah yang dapat membuat orang seperti Li Sun-Hoan jatuh ke dalam jurang cinta begitu dalam.

Sun Sio-ang menghela nafas panjang.

‘Mengapa semua orang menganggap Lim Sian-ji adalah wanita tercantik di dunia? Wanita inilah yang seharusnya mendapatkan predikat itu. Apalagi pada masa mudanya. Bahkan saat ini pun, ia jauh lebih mempesona daripada Lim Sian-ji.’

Mungkin karena malam yang hujan, atau mungkin karena ia adalah seorang wanita, tapi itulah pikirannya yang sejujurnya.

Selera wanita terhadap wanita memang berbeda dari selera pria.

Lim Si-im pun sedang menatapnya. Perlahan ia berjalan mendekat dan berkata, “Kau…..kau adalah Nona Sun, bukan?”

Sun Sio-ang mengangguk dan berkata, “Aku tahu siapa engkau. Aku sering mendengar tentang dirimu dari dia.”

Lim Si-im tersenyum, senyum yang penuh derita.

Tentu saja ia tahu siapakah ‘dia’ yang disebut oleh Sun Sio-ang.

Kata Sun Sio-ang, “Jadi kau sudah berada di sini dari tadi.” Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku mendengar bahwa ia akan berduel di sini, maka aku datang untuk berbicara sedikit kepadanya. Tapi sudah lama aku tidak pergi keluar rumah dan aku tersesat dalam perjalanan.”

Ia tersenyum sedikit dan menambahkan, “Tapi tidak mengapa. Apa yang tadinya akan kukatakan kepadanya bisa kusampaikan kepadamu.”

Suaranya pelan dan lembut. Seakan-akan ia perlu berpikir sebelum mengucapkan setiap kata.

Tiap kata yang keluar dari mulutnya jelas dan kaku. Orang yang mendengarnya berbicara saat itu mungkin akan menganggap bahwa ia adalah wanita yang tidak berperasaan.

Namun Sun Sio-ang sungguh memahami dirinya. Perkataannya terdengar dingin dan datar karena ia sudah begitu banyak menanggung kesedihan dan penderitaan dalam hidupnya.

Sun Sio-ang merasa simpati yang begitu besar dalam hatinya terhadap wanita ini. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Aku tahu bahwa ia ingin sekali bertemu denganmu. Dan kau pun sudah jauh-jauh datang ke sini, mengapa kau tidak mengikutinya untuk bertemu dengannya sekali lagi?”

“A….Aku tidak bisa.” Awalnya memang ia ingin bertemu dengan Li Sun-Hoan. Tapi saat dia tiba, sudah ada orang yang berada di sampingnya. Ia tidak ingin menunjukkan diri karena ia kuatir akan perasaan yang akan timbul dalam hatinya.

Karena ia tahu pasti, jika ia bertemu dengan Li Sun-Hoan lagi, ia tidak akan dapat mengendalikan dirinya lagi.

Walaupun ia tidak mengatakannya, Sun Sio-ang paham sepenuhnya.

Kata Sun Sio-ang, “Sebelumnya aku tidak mengerti mengapa ada orang yang mau menuruti semua perkataan orang lain dan membiarkan orang lain menentukan nasibnya. Baru sekarang aku tahu bahwa ia bukan menuruti perkataan orang itu karena takut padanya, tapi karena mencintainya begitu rupa dan tahu bahwa apapun yang diperbuat orang itu adalah demi kebaikannya.”

Selama itu Lim Si-im berusaha keras menahan diri, tapi saat itu pertahanannya runtuh.

Air mata membanjiri wajahnya.

Karena setiap kata yang diucapkan Sun Sio-ang terus menusuk ke dalam hatinya. Tiap kata bagaikan sebatang jarum yang menghunjam jauh ke dalam sanubarinya.

Ia pernah bertanya pada dirinya sendiri, ‘Aku tidak punya apa-apa lagi. Aku merasa hampa, sama persis seperti Lim Sian-ji. Tapi salah siapakah ini? Apakah akulah yang bersalah waktu dulu itu?’ Tadinya ia begitu geram pada Li Sun-Hoan, begitu benci padanya.

Hidupnya berakhir sedih dan tragis seperti ini, semuanya karena kesalahan Li Sun-Hoan!

Tapi baru sekarang ia menyadari bahwa yang salah bukanlah Li Sun-Hoan, tetapi dirinya sendiri.

‘Mengapa waktu itu aku mendengarkan perkataannya? Mengapa tak kukatakan dengan tegas kepadanya bahwa aku sungguh mencintainya dan aku tidak akan menikah dengan siapapun juga kecuali dia?’

Sun Sio-ang berkata dengan lembut, “Aku tidak tahu pasti apa yang terjadi di antara kalian berdua, tapi aku tahu bahwa…..”

Lim Si-im menyelanya tiba-tiba, “Tapi sekarang aku tahu. Sekarang, setelah bertemu denganmu, aku tahu bahwa akulah yang salah.”

“Kenapa begitu?” seru Sun Sio-ang.

“Karena…..jika aku berani berbuat seperti engkau, sekuat dan setegas engkau, aku tidak akan berakhir seperti ini.”

“Tapi kau…..”

Kembali Lim Si-im memotongnya, “Sekarang aku tahu bahwa aku tidak pantas menjadi istrinya. Hanya engkaulah yang pantas untuknya.” Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku…..”

Lim Si-im tidak memberinya kesempatan berbicara. “Karena hanya kau yang bisa menghibur dan mendukungnya. Apapun yang dilakukannya, kepercayaanmu kepadanya tidak pernah berubah. Tapi aku…..”

Ia mendesah, dan setetes air mata bergulir ke pipinya.

Sun Sio-ang terdiam beberapa saat. Lalu tiba-tiba ia tersenyum dan berkata, “Tapi di kemudian hari kau akan punya banyak kesempatan untuk bertemu dengannya.
Apapun yang terjadi di masa lalu itu sudah lewat. Kini kalian berdua dapat….”

Lim Si-im memotongnya cepat, “Kau pikir ia masih punya kesempatan? Masih ada harapan?”

“Tentu saja masih ada!”

Sun Sio-ang tersenyum dan berkata, “Mungkin semua orang beranggapan bahwa ia sudah kehilangan kepercayaan diri. Jika seseorang sudah kehilangan rasa percaya dirinya, apa lagi harapannya?”

“Betul sekali,” sahut Lim Si-im.

“Tapi aku tahu pasti bahwa ia bersikap demikian hanya untuk memancing agar Siangkoan Kim-hong menjadi lengah. Jika Siangkoan Kim-hong mulai meremehkan lawannya, ia pun akan menjadi kurang hati-hati.” Mata Sun Sio-ang berbinar dan menambahkan lagi, “Jika Siangkoan Kim-hong kurang hati-hati, Li Sun-Hoan pasti bisa mengalahkannya!”

Lim Si-im mendesah dan berkata, “Ia punya rasa percaya diri yang begitu besar karena kau begitu yakin pada dirinya. Dukungan dan semangatmu sangat berharga baginya. Aku rasa kau tidak menyadari seberapa pentingnya dirimu baginya.”

Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. “Aku menyadarinya.”

Ia tidak hanya yakin pada Li Sun-Hoan, ia pun yakin pada dirinya sendiri.

Lim Si-im memandang gadis itu dengan perasaan yang tidak terkatakan. Apakah itu iri hati? Cemburu? Atau kasihan pada dirinya sendiri? Atau mungkin, ia hanya merasa sangat berbahagia bagi Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan telah berkubang dalam kesedihan lebih dari setengah masa hidupnya. Hatinya pasti merasa sangat lelah. Hanya orang seperti Sun Sio-anglah yang dapat memberikan penghiburan kepadanya. Sekalipun ia bisa menang kali ini, akan tiba saatnya suatu hari nanti ia akan kalah.

Walaupun tidak ada orang yang dapat menjatuhkannya, ia pasti bisa menjatuhkan dirinya sendiri!

Lim Si-im kembali mendesah dan berkata, “Bahwa ia bisa berjumpa denganmu, itu adalah anugerah Tuhan, menggantikan seluruh penderitaan dalam hidupnya. Ia pantas untuk berbahagia, tapi…..”

Tiba-tiba ia bertanya, “Bagaimana dengan Hing Bu-bing? Walaupun ia dapat mengalahkan Siangkoan Kim-hong, tidak mungkin ia dapat mengalahkan serangan gabungan mereka berdua.”

Sahut Sun Sio-ang, “Mungkin Hing Bu-bing tidak akan menyerang sama sekali. Siangkoan Kim-hong sudah begitu yakin bahwa dia tidak mungkin kalah, sehingga ia tidak akan meminta bantuan Hing Bu-bing. Saat ia menyadarinya, sekalipun Hing Bu-bing ingin membantu, itu sudah sangat terlambat.”

Pemikirannya sungguh tepat. Ini adalah kesempatan Li Sun-Hoan satu-satunya.

Jika mereka ingin mengalahkan Li Sun-Hoan, ini juga satu-satunya kesempatan mereka – pisau terbangnya tidak akan memberikan kesempatan kedua bagi siapapun juga.

Pertanyaannya adalah, siapakah yang dapat memanfaatkan kesempatan yang satu-satunya ini?

Kata Lim Si-im, “Jadi maksudmu, jika Hing Bu-bing tidak menyerang bersamaan dengan Siangkoan Kim-hong, Li Sun-Hoan masih punya kesempatan?”

“Benar.” “Bagaimana kau bisa yakin bahwa Hing Bu-bing tidak akan menyerang?”

“Aku tidak bisa yakin,” jawab Sun Sio-ang. “Namun aku yakin setelah dua jam, tidak ada satu pun dari mereka yang bergerak.”

“Meskipun kau benar, bagaimana kita bisa tahu apa yang terjadi selama dua jam ini?” tanya Lim Si-im kuatir.

“Sesuatu akan terjadi.” “Apa itu?”
“A Fei,” jawab Sun Sio-ang singkat.

Walaupun Lim Si-im tidak mengatakan apa-apa, wajahnya menunjukkan kekecewaan.

Semua orang pasti merasa kecewa terhadap A Fei.

Kata Sun Sio-ang, “Tidak seorang pun percaya padanya lagi, tapi itu hanya karena saat ini ia masih mengenakan belenggu yang berat pada tubuhnya.”

“Belenggu?”

“Ya, belenggu. Dan hanya ada satu orang yang dapat membebaskan dia dari belenggu itu.”

“Siapa?” tanya Lim Si-im penuh harap. “Hanya pemukul genta yang dapat melepaskan ikatan genta.”

“Maksudmu…..Lim Sian-ji?”

“Tepat sekali. Kalau ia bisa menyadari bahwa Lim Sian-ji tidak pantas memperoleh cintanya, maka ia akan terbebas dari seluruh belenggu yang mengikatnya.”

Lim Si-im terdiam sejenak. Lalu ia berkata, “Mungkin kau benar. Namun ia telah jatuh begitu lama dan begitu dalam, bagaimana mungkin ia dapat bangkit kembali dalam waktu yang sangat singkat?”

Jawab Sun Sio-ang, “Untuk alasan lain mungkin dia tidak akan bisa, namun untuk Li Sun-Hoan ia pasti bisa.”

Lalu dengan perlahan ia menambahkan, “Untuk orang- orang yang sangat kita kasihi, kadang-kadang kita bisa membuat hal-hal yang luar biasa.”

Lim Si-im menghela nafas panjang. “Jadi begitu….”

Kata Sun Sio-ang, “Jadi sekarang aku harus pergi mencari A Fei dan memberitahukan padanya apa yang terjadi.”

“Tunggu…..ada lagi yang ingin kusampaikan padamu,” kata Lim Si-im tiba-tiba.

“Apa itu?” “Sudah lama aku tidak pergi dunia luar, tapi aku tahu begitu banyak tentang apa yang terjadi. Apa kau tidak merasa heran?”

“Sama sekali tidak. Karena aku tahu kau memiliki putra yang sangat cerdas,” jawab Sun Sio-ang sambil tersenyum.

Lim Si-im menundukkan kepalanya dan berkata, “Apapun yang terjadi, ia tetap adalah anakku. Tidak ada satupun dalam dunia ini yang kumiliki kecuali dia seorang….. Oleh sebab itu aku berharap kau dapat memberitahukan kepadanya, memintakan maaf kepadanya…..” 

“Ia tidak pernah membenci siapapun juga. Kau seharusnya sudah tahu.”

Lim Si-im terdiam. Seolah-olah ada lagi yang ingin dikatakannya, namun ia tidak tahu bagaimana harus memulainya.

Tanya Sun Sio-ang, “Apakah ini mengenai ‘Ensiklopedi LianHua’?”

Lim Si-im tampak terkejut. “Kau sudah tahu?”

Sun Sio-ang tersenyum dan menyahut, “Aku juga sudah memberitahukan kepadanya. Jisusiokku….”

“Benar. Waktu Tuan Wang datang, Tuan Sun juga ada bersamanya.”

“Jadi kitab itu memang ada padamu?” “Ya. Tapi aku tidak pernah memberitahukan kepadanya selama ini.”

“Mengapa?”

Jawab Lim Si-im, “Karena pada saat itu aku merasa bahwa ilmu silat tidak mendatangkan kebaikan baginya, malahan akan membahayakan dirinya. Semakin tinggi ilmu silat seseorang, akan semakin banyak persoalan yang timbul, jadi…..”

“Jadi kau tidak memberitahukan kepadanya karena kau ingin dia menjadi orang biasa, dengan kehidupan yang sederhana.”

“Itulah alasan utamanya. Tapi tidak seorang pun akan mempercayai aku…..”

“Aku percaya padamu,” kata Sun Sio-ang.

Ia mendesah dan menambahkan, “Jika aku ada di tempatmu, mungkin aku pun akan melakukan hal yang sama.”

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami perasaan wanita lain.

Hanya seorang wanitalah yang dapat memahami bahwa seorang wanita sanggup berbuat apapun juga demi laki- laki yang dicintainya. Di mata orang lain, mungkin perbuatannya dianggap bodoh, namun di mata mereka, tidak ada alasan lain yang lebih penting daripada ini. Kata Lim Si-im, “Namun sekarang aku menyesal. Seharusnya aku memberikan kitab itu kepadanya.”

“Kau menyimpannya demi kebaikannya sendiri,” kata Sun Sio-ang.

“Tapi…..kalau ia sempat mempelajari isi ‘Ensiklopedi LianHua’, sekalipun Siangkoan Kim-hong dan Hing Bu- bing bersama-sama menyerang dia, dia tidak mungkin terkalahkan.”

“Ah, jadi karena itu kau merasa bersalah. Karena itulah kau meminta maaf.”

Lim Si-im mengangguk. Katanya, “Aku tahu ia tidak akan menyalahkan aku, tapi jika aku…..jika aku tidak mengakui hal ini kepadanya, aku tidak akan dapat hidup dengan diriku sendiri.”

“Tapi kau salah,” kata Sun Sio-ang. “Salah?”
“Jika ia mempelajari isi “Ensiklopedi LianHua’, ia tetap bukan tandingan Siangkoan Kim-hong.”

“Kenapa?”

“Tahukah kau mengapa ilmu pedang A Fei begitu ditakuti orang?”

“Karena dia…..” Lim Si-im tidak tahu jawabannya. “Ia bisa menjadi sangat cepat dan tepat karena ia sangat berdedikasi pada pedangnya, lebih daripada orang lain. Sama seperti Li Sun-Hoan. Jika ia mempelajari ilmu silat yang lain, ia akan kehilangan fokus. Pisaunya tidak mungkin bisa menjadi secepat dan seakurat sekarang.”

Lim Si-im kembali menundukkan kepalanya. “Bagaimanapun juga, kuharap kau berkenan menyampaikan perasaanku kepadanya.”

Kata Sun Sio-ang, “Kalian berdua akan punya kesempatan untuk bertemu. Mengapa tak kau katakan sendiri kepadanya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar