Si Pisau Terbang Li Bab 82 : Penghiburan dalam Keheningan

Bab 82. Penghiburan dalam Keheningan

Jika kau pernah memperhatikan dengan seksama seorang wanita yang hampir mati, maka kau pasti tahu bahwa bagian tubuhnya yang menjadi kaku paling terakhir adalah lidahnya. Ini karena bagian tubuh yang paling sensitif dalam tubuh wanita adalah lidahnya.

Kata Lim Sian-ji, “Seharusnya aku tahu kaulah yang akan membunuhku. Seluruh alasan mengapa ia membawaku ke sini adalah untuk menyaksikan engkau membunuhku dengan kedua tanganmu. Pada saat itu, barulah ia merasa puas.”

Tanya Siangkoan Kim-hong, “Dan apakah kau merasa puas bisa mati di tanganku?”

“Tergantung dari bagaimana kau akan membunuhku. Kuharap bukan kematian yang cepat. Dengan mati perlahan-lahan, barulah seseorang dapat menikmati rasa kematian yang sesungguhnya.”

Tiba-tiba Lim Sian-ji mulai tertawa. “Kan hanya ada satu kesempatan untuk mati. Walaupun aku harus menanggung kesakitan yang luar biasa, itu pasti menyenangkan.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Dan jika kau mati perlahan- lahan, kau masih bisa mengoceh satu dua kalimat lagi. Bicara memang bisa mengurangi sedikit kesakitan dalam kematian. Juga bisa mengurangi kengeriannya.”

“Tidak mungkin kau membunuhku dengan cepat bukan? Aku tahu kau menikmati melihat orang mati perlahan- lahan dan menderita. Dan selama ini, aku telah memperlakukan engkau dengan cukup baik, bukan? Aku telah mempercayakan seluruh kekayaan yang kudapatkan dengan susah-payah kepadamu, dan membiarkan engkau menggunakannya dengan bebas.
Waktu kau menyuruh orang membunuhku, itu sudah jelas bahwa kau sudah tidak menginginkan aku dalam hidupmu lagi.” “Benar. Kini kau tidak berharga sepeser pun. Oleh sebab itu, aku tidak ingin membunuhmu dan mengotori tanganku.”

Ia menendang wanita itu ke arah Li Sun-Hoan.

Kali ini Lim Sian-ji tidak bisa berkata apa-apa. Bajunya yang basah kuyup melekat erat pada tubuhnya.

Kemolekan lekuk tubuhnya tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata.

Memang dia adalah wanita tercantik sejagad raya. Ia bukan saja sangat mempesona, ia pun sangat pandai.

Ia sebenarnya bisa menjadi orang besar.

Namun kini, kematian yang layak pun tak bisa didapatkannya.

Seharusnya ia bisa menjadi seperti malaikat yang hidup bahagia di antara awan-awan, namun kini ia hanyalah seperti seekor anjing yang terpuruk dalam lumpur.

Bagaimana bisa sampai seperti ini?

Apakah ini karena ia tidak tahu menghargai apa yang dimilikinya?

Hujan bertambah lebat lagi.

Li Sun-Hoan hanya memandangi Lim Sian-ji yang merangkak dalam lumpur. Ia merasa sedih dan simpati. Bukan kepadanya, tapi pada A Fei.

Lim Sian-ji membawa kemalangan ini pada dirinya sendiri, tapi A Fei?

A Fei tidak melakukan apa pun yang salah.

Walaupun ia memilih orang yang salah untuk dicintai, ia sama sekali tidak salah untuk jatuh cinta.

Siangkoan Kim-hong memandang Li Sun-Hoan dan berkata, “Aku tidak membunuhnya karena aku merasa kau punya lebih banyak alasan untuk membunuhnya daripada aku. Jadi kuserahkan dia padamu.”

Li Sun-Hoan terdiam sampai lama. Akhirnya ia mengeluh panjang dan berkata, “Lagi-lagi kau meremehkan aku.”

Hening sejenak, lalu Siangkoan Kim-hong mengangguk perlahan. Katanya, “Benar, aku sudah meremehkan engkau. Kau pun tidak akan membunuhnya.”

Lalu ia pun menambahkan, “Untuk membunuh, kau memerlukan niat membunuh. Seluruh niat membunuhmu harus terfokus padaku. Buat apa menyia-nyiakannya untuk orang seperti dia.”

Kata Li Sun-Hoan, “Untuk membunuh, harus membunuh orang yang tepat. Untuk membunuh, harus membunuh di tempat yang tepat.”

“Ada yang salah dengan tempat ini?” tanya Siangkoan Kim-hong. “Tadinya sih tidak ada. Tapi sekarang ada.” “Apa yang salah?”
“Terlalu banyak orang di sini.”

“Hing Bu-bing membuatmu merasa tidak nyaman?” “Ya.”
Li Sun-Hoan tidak berusaha menutup-nutupi. Walaupun Hing Bu-bing tidak menyerangnya, ia tetap merupakan ancaman.

Karena pedangnya dapat keluar kapan saja. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang sanggup melawan gabungan kekuatan mereka berdua.

Siangkoan Kim-hong menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku mengerti maksudmu. Namun sekarang ia sudah datang, tidak ada yang bisa menyuruhnya pergi, bukan?”

Bagian kalimatnya yang terakhir ditujukan pada Hing Bu- bing.

“Benar,” jawab Hing Bu-bing.

Walaupun ia berdiri cukup jauh dari Siangkoan Kim-hong, siapapun yang melihat pasti tahu bahwa mereka berdua tampak seperti satu kesatuan, satu kekuatan adi daya yang tidak bisa dibendung. Li Sun-Hoan mendesah. Tiba-tiba ia teringat pada A Fei. Kalau saja A Fei ada di sini….

Siangkoan Kim-hong seolah-olah bisa membaca pikiran Li Sun-Hoan dengan tepat. Katanya, “Jika A Fei yang dulu ada di sini, mungkin kau masih punya kesempatan.
Sungguh sayang…..ia sungguh mengecewakan.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak pernah kecewa padanya. Berapa kali pun manusia jatuh, ia pasti akan bisa bangkit kembali.”

“Kau sungguh percaya ia adalah orang semacam itu?” “Tentu saja.”
Kata Siangkoan Kim-hong, “Sekalipun kau benar, pada saat ia bisa bangkit lagi, kaulah yang telah mencium tanah. Dan aku bisa menjamin, kali ini kau jatuh, kau tidak akan mungkin akan bangun lagi.”

Kata Li Sun-Hoan, “Sekarang…..”

Siangkoan Kim-hong menyelanya, “Sekarang kau tidak punya kesempatan sedikitpun.”

Tiba-tiba Li Sun-Hoan tertawa dan berkata, “Kalau begitu, paling tidak kau harus memberiku kesempatan untuk menentukan tempatnya. Orang yang hampir mati paling tidak boleh memilih tempat di mana ia akan mati.” Sahut Siangkoan Kim-hong, “Kau salah. Orang yang akan membunuhlah yang punya kekuasaan. Orang yang akan dibunuh tidak punya hak apapun juga. Namun…..”

Ia menatap Li Sun-Hoan dan melanjutkan, “Namun kali ini aku membuat perkecualian bagimu. Kau bukan hanya sahabat baik, kaupun adalah musuhku yang berharga.”

“Terima kasih,” kata Li Sun-Hoan. “Jadi di mana kau ingin mati?”
“Seseorang yang sudah menderita seumur hidupnya, pasti ingin mati dalam kenyamanan.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Mati itu tidak pernah nyaman.”

“Aku hanya ingin tempat yang tidak basah oleh air hujan, supaya aku bisa berganti pakaian. Aku tidak ingin mati basah kuyup di tempat kotor berlumpur seperti ini.”

Ia tersenyum dan menambahkan, “Sejujurnya, selain waktu sedang mandi, aku lebih suka tubuhku tetap kering.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Aku sudah sering mendengar bahwa kau sama sekali tidak takut mati, tapi aku tidak pernah percaya. Aku tidak percaya ada orang di dunia ini yang tidak takut mati. Namun sekarang…..aku bisa melihat bahwa yang kudengar itu benar adanya.”

“O ya?” “Kalau orang masih bisa bicara seperti itu walaupun tahu sebentar lagi akan mati, itu sungguh menunjukkan bahwa baginya tidak ada lagi perbedaan antara hidup dan mati. Oleh sebab itulah aku merasa agak aneh.”

“Aneh?”

“Satu-satunya yang harus ditakuti selama kita hidup adalah kematian. Tapi jika pada kematian pun kau tidak takut, mengapa kau harus pilih-pilih apakah kau basah atau kering waktu mati?”

Ia memandang Li Sun-Hoan dan melanjutkan, “Oleh sebab itu, aku pikir kau pasti punya maksud-maksud lain meminta ini.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Dan maksud apakah itu?”

“Mungkin ada orang yang akan berpikir bahwa kau hanya berusaha mengulur waktu. Karena untuk sebagian orang, pada saat mereka menghadapi kematian di depan mata, mereka akan terus berusaha dengan segala cara untuk menundanya, bahkan semenit saja. Mungkin mereka pikir akan ada semacam kesempatan atau seorang penyelamat akan datang, atau paling tidak mereka bisa hidup semenit lebih lama.”

“Dan kau pikir, itukah maksudku?”

“Tentu saja tidak. Aku tidak pernah meremehkanmu,” kata Siangkoan Kim-hong. “Kau tahu pasti bahwa tidak akan ada mujizat. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang dapat menyelamatkanmu. Dan juga, aku tahu bahwa kau tidak takut mati.”

“Kalau begitu, menurutmu apakah maksudku?”

“Kurasa kau hanya mencari kesempatan agar mereka berdua bisa lolos. Kau tahu pasti bahwa aku tidak akan membunuh siapapun sebelum membunuhmu. Seseorang tidak akan makan roti banyak-banyak kalau tahu ada hidangan yang lezat yang akan datang.”

Kata Li Sun-Hoan, “Perumpamaan yang buruk.” “Mungkin, tapi tidak meleset jauh.”
Li Sun-Hoan memaksakan diri untuk tersenyum. “Apakah kau peduli apakah kedua orang itu hidup atau mati?”

“Aku tidak peduli.” Memang bukan urusannya.
Kalau pun mereka hidup, mereka bukan ancaman baginya.

Jika ia ingin mereka mati, ia bisa membunuh mereka kapan pun juga.

Li Sun-Hoan tidak sanggup melihat pada Sun Sio-ang.

Tapi apapun yang akan terjadi, ia masih hidup saat ini. Ia masih bernafas. Itu sudah cukup baginya.

Apalagi yang dapat diperbuatnya bagi gadis itu?

“Tapi aku sudah bilang bahwa aku akan membuat perkecualian bagimu, karena kau berbeda dari orang lain,” kata Siangkoan Kim-hong. “Kau sudah hidup begitu bersih, paling sedikit aku harus memastikan kau tidak mati secara kotor, seperti anjing liar mati dalam lumpur.”

Mati. Bagaimana ia akan mati? Di mana ia akan mati? Ini semua tidaklah penting.
Yang terpenting adalah bahwa ia dapat mati dengan tenang.

Namun bagaimana dengan Sun Sio-ang?

Selama itu, ia tidak sanggup memandangnya. Ia tidak berani.

Karena ia tidak bisa memecahkan konsentrasinya.

Namun kini ia harus pergi. Gadis itu pasti tahu bahwa mungkin inilah terakhir kalinya ia bisa melihat Li Sun- Hoan. Ia bukan hanya akan pergi ke negeri asing, ia akan pergi meninggalkan dunia ini.

Bagaimana ia akan mengikuti Li Sun-Hoan kali ini?

Li Sun-Hoan kuatir ia akan memaksa pergi mengikuti dia dan mati bersama. Kalau ia melakukannya, Li Sun-Hoan mungkin harus memukulnya sampai pingsan atau menutup Hiat-to (jalan darah)nya dan perlahan-lahan membujuknya untuk terus hidup tanpa dirinya.

Akan menjadi adegan yang sangat sedih dan menyayat hati.

Li Sun-Hoan sungguh berharap ia tidak harus melakukannya. Sun Sio-ang sudah cukup mempunya beban yang berat yang harus dipikul dalam hatinya. Ditambah dengan beban yang lain, mungkin hatinya akan hancur berkeping-keping.

Walaupun ia adalah gadis yang berkemauan keras, hatinya agak lemah.

Sun Sio-ang tidak melakukan apa yang dipikirkan Li Sun- Hoan. Ia bahkan tidak menghampirinya untuk mengucapkan selamat tinggal.

Apa alasannya?

Akhirnya Li Sun-Hoan tidak dapat menahan diri dan menoleh memandangnya.

Gadis itu tidak jatuh pingsan, tidak bergeser sedikit pun dari tempat dia berdiri dari semula.

Ia menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat.

Walaupun wajahnya penuh dengan kepedihan, tatapan matanya masih tetap tenang dan teduh. Walaupun ia tidak mengatakan sepatah katapun, matanya seolah-olah berkata pada Li Sun-Hoan, ‘Kalau inilah yang harus kau perbuat, perbuatlah dengan konsentrasi penuh. Jangan biarkan diriku menghalangimu. Aku mengerti dan aku tidak akan menghalangimu. Aku percaya sepenuhnya kepadamu.’

Walaupun Li Sun-Hoan hanya memandangnya sekilas, beban yang berat dalam hati Li Sun-Hoan terangkat seketika.

Karena ia menyadari, betapa kuatnya gadis itu dan betapa ia tidak ingin Li Sun-Hoan menguatirkan dirinya. Tanpa Li Sun-Hoan harus membujuknya, ia pasti akan berusaha sekuat tenaga untuk terus hidup.

Ia hanya ingin menjadi sumber penghiburan dan kekuatan bagi Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan tidak dapat mengungkapkan dengan kata- kata, betapa ia berterima kasih pada Sun Sio-ang. Karena hanya dialah yang mengerti betapa besar arti pengertian dan dukungan Sun Sio-ang bagi dirinya saat itu.

Tiba-tiba ia menyadari betapa beruntungnya dia mengenal gadis itu.

Li Sun-Hoan sudah melangkah pergi. Langkahnya lebih mantap dan lebih tenang daripada waktu ia datang tadi.

Sun Sio-ang hanya memandangi kepergiannya tanpa bicara. Setelah sekian lama, ia menoleh ke arah Lim Sian-ji. Lim Sian-ji sedang berusaha keras untuk bangkit berdiri dari tanah yang berlumpur itu.

Ia berusaha sekuat tenaga untuk kelihatan anggun dan gagah, namun ia tahu bahwa usahanya itu sia-sia belaka. Karena itu, dalam hatinya ia merasa sangat kesal dan jengkel.

Sun Sio-ang memandangnya tanpa perasaan di wajahnya.

Tanpa perasaan adalah salah satu cara untuk menunjukkan rasa muak.

Lim Sian-ji tertawa dingin. Katanya, “Aku tahu bahwa saat itu kau memandang rendah padaku. Tapi kurasa, kau lebih buruk lagi daripada aku. Kau tahu sebabnya?”

Jawab Sun Sio-ang, “Tidak tahu.”

“Ia telah membunuh kakekmu, dan sekarang ia akan membunuh Li Sun-Hoan. Tapi yang bisa kau perbuat hanya berdiri di sini seperti sebatang kayu kering.”

“Lalu apa yang harus kuperbuat?”

“Pertanyaan itu seharusnya ditujukan pada dirimu sendiri…. Jangan bilang bahwa kau tidak tahu apa yang kau rasakan dalam hatimu.”

“Aku tahu.” Kata Lim Sian-ji, “Jadi seharusnya kau merasa sedih, menyesal, berduka cita.”

“Bagaimana kau bisa tahu bahwa aku tidak berduka? Waktu seseorang bersedih hati atau berduka cita, ia tidak harus menunjukkannya dengan kata-kata, namun dengan perbuatan,” jawab Sun Sio-ang.

“Lalu dengan apakah kau tunjukkan perasaanmu? Dengan perbuatan seperti apa?”

“Apakah yang dapat kuperbuat sekarang?”

“Kau tahu bahwa Li Sun-Hoan sedang berjalan menuju pada kematiannya. Setidaknya kau berusaha mencegahnya….”

“Kau pikir aku bisa mencegahnya?” Sun Sio-ang mendesah dan berkata, “Kalau aku melakukannya, pikirannya akan menjadi lebih kalut dan ia akan mati lebih cepat lagi.”

“Tapi kau…..kau tidak meneteskan setetes air mata pun.”

Sun Sio-ang terdiam sejenak sebelum menyahut, “Aku memang ingin menangis sekarang, ingin membanjiri wajahku dengan air mata. Namun saatnya belum tiba.”

Tanya Lim Sian-ji tidak mengerti, “Apa lagi yang kau tunggu?”

“Besok…..” “Setelah esok tiba, akan ada esok hari lagi.”

“Karena selalu akan ada hari esok, selalu akan ada harapan baru,” kata Sun Sio-ang.

Lalu perlahan ia melanjutkan, “Walaupun aku telah melakukan kesalahan, itu sudah berlalu dan aku harus hidup menanggung akibatnya. Walaupun aku ingin menangis meraung-raung, aku harus menunggu sampai besok. Karena ada yang harus kukerjakan hari ini!”

Hanya orang bodoh yang menangisi masa lalu.

Orang-orang yang gagah berani, mengakui kesalahan mereka, sehingga mereka memiliki kekuatan untuk menghadapi masa kini. Bukannya menenggelamkan diri dalam kubangan air mata.

Air mata tidak dapat menghapuskan penghinaan, tidak dapat memperbaiki kesalahan di masa lampau. Jika seseorang ingin memperbaiki kesalahan yang ia perbuat, satu-satunya yang dapat diperbuatnya adalah menggali semangatnya dan memulai segala sesuatu lagi dari awal, mulai saat ini.

Lim Sian-ji berdiri mematung.

Ia mengatakan segala sesuatunya hanya untuk membuat Sun Sio-ang sedih. Karena ia tahu Sun Sio-ang memandang rendah pada dirinya, ia pun ingin membuat Sun Sio-ang memandang rendah pada dirinya sendiri.

Tapi ia telah gagal. Sun Sio-ang jauh lebih kuat dan jauh lebih gagah daripada perkiraan Lim Sian-ji.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar