Si Pisau Terbang Li Bab 77 : Rahasia Hin-hun-ceng

 
Bab 77. Rahasia Hin-hun-ceng

Lalu Li Sun-Hoan pun tersenyum dan berkata, “Yah, begitulah hidup. Kadang-kadang, walaupun tahu kau sedang berjalan menuju perangkap, kau harus terus berjalan maju.”

Kata Tuan Sun, “Benar. Jika itu adalah orang yang sangat kusayangi, aku pun akan masuk ke dalam perangkap itu.”

Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dengan kesal sambil memandang dua laki-laki itu. Katanya, “Walaupun kalian berdua bersedia ditipu, aku tidak mau!”

“Ah, kau pun sudah masuk perangkapnya. Kau pun telah curiga bahwa rambut itu adalah milik Nyonya Lim. Kau pun telah terusik. Jika kau harus berduel dengan seseorang sekarang, walaupun dia bukan tandinganmu, kau pasti akan kalah di tangannya,” kata Tuan Sun.

“Tapi….tapi…..”

Jika ia dihadapkan pada situasi seperti itu, ia tidak tahu apa yang akan diperbuatnya.

Siangkoan Kim-hong memang bermaksud mengacaukan pikiran Li Sun-Hoan. Apakah Li Sun-Hoan percaya itu adalah rambut Lim Si-im atau tidak, bukan masalah. Jika Li Sun-Hoan mulai berpikir, itu artinya rencana Siangkoan Kim-hong telah berhasil.

Bagaimana mungkin hal ini tidak mengganggu pikiran Li Sun-Hoan?

Wanita itu menghiasi setiap mimpinya. Bagaimana mungkin ia melupakannya begitu saja?

Walaupun ia tahu itu bukan rambut Lim Si-im, Li Sun- Hoan akan tetap merasa kuatir dan pikirannya akan kalut. Hanya karena Siangkoan Kim-hong telah berhasil membuat dia berpikir tentang Lim Si-im.

Masalahnya bukan terletak pada milik siapakah sehelai rambut itu, namun pada kepribadian Li Sun-Hoan.

Ini adalah satu-satunya cara mengatasi Li Sun-Hoan. Jika cara yang sama digunakan untuk orang lain, mungkin tidak akan berhasil sama sekali, karena orang lain mungkin tidak berpikir terlalu panjang dan dalam. Inilah sebabnya mengapa Siangkoan Kim-hong sangat berbahaya.

Ia tahu caranya mengatasi tiap-tiap musuh. Walaupun caranya sering kali tampak aneh, bahkan bodoh, caranya selalu terbukti efektif.

Karena ia memahami betul strategi tempur militer ‘Selalu menyerang pikiran lawan’.

Li Sun-Hoan duduk di lantai dan menyelonjorkan kaki dan tangannya.

Walaupun ia tidak mengatakan apa-apa, Tuan Sun dan Sun Sio-ang tahu benar apa yang berada dalam pikirannya: pergi ke Hin-hun-ceng untuk memastikan bahwa Lim Si-im berada di sana.

Sebelum memulai perjalanannya, ia harus melepas lelah terlebih dahulu.

Setiap kali ia membuat keputusan penting, ia selalu berusaha menenangkan tubuh dan pikirannya.

Ini adalah salah satu kebiasaannya. Kebiasaan yang sangat baik.
Sun Sio-ang memandang dia lekat-lekat.

‘Jadi ia belum melupakan wanita itu. Bahkan, wanita itu lebih penting daripada segala sesuatu. Tidak seorangpun dapat menggantikan tempatnya di hatinya….tidak juga aku.’

Mata Sun Sio-ang menjadi merah. Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah kau harus pergi?”

Li Sun-Hoan tidak menjawab.

Kadang-kadang tidak menjawab adalah jawaban yang terbaik.

“Ia harus pergi. Kalau tidak pergi, pikirannya tidak mungkin bisa tenang,” kata Tuan Sun.

“Tapi….bagaimana jika ia memang tidak ada di sana?” tanya Sun Sio-ang ragu.

Mata Li Sun-Hoan menjadi kelam, sekelam malam tanpa bulan. “Bagaimana pun juga, aku harus pergi. Apa yang akan terjadi kemudian akan kuputuskan kemudian.”

“Tapi jika kau pergi, artinya kau langsung masuk ke dalam perangkap Siangkoan Kim-hong,” kata Sun Sio- ang.

“Hmmm?”

“Tujuan Siangkoan Kim-hong adalah supaya kau pergi ke Hin-hun-ceng. Waktu duel sudah ditetapkan, yaitu esok hari. Hin-hun-ceng letaknya cukup jauh. Sekalipun kau dapat pergi ke sana dan pulang kembali sebelum waktu berduel, kau akan sangat kelelahan, sedangkan dia pasti sudah cukup beristirahat dan menghimpun tenaganya.” Kata Li Sun-Hoan datar, “Ada hal-hal yang kau tahu seharusnya tidak kau lakukan, tapi tetap saja kau lakukan.”

“Tapi jika kau pergi, itu sama saja dengan menyerahkan nyawamu kepadanya dengan cuma-cuma. Apakah dia betul-betul sangat berharga bagimu? Lebih berharga daripada nyawamu sendiri?” tanya Sun Sio-ang menusuk.

Li Sun-Hoan terdiam sejenak. Lalu ia mengangkat kepalanya dan memandang lurus pada Sun Sio-ang.

Mata Sun Sio-ang sudah basah oleh air mata. Ia segera memaLingkan wajahnya, menghindari tatapan Li Sun- Hoan.

Kata Li Sun-Hoan, “Aku hanya berharap kau mengerti hatiku. Jika kau ada pada posisiku, kau pasti akan berbuat sama. Dan jika kau berada dalam posisinya, aku pun pasti berbuat yang sama bagimu.”

Sun Sio-ang tidak bergeming, seakan-akan ia tidak mendengar apa yang baru saja dikatakan Li Sun-Hoan.

Namun air matanya mengalir semakin deras.

Ketika seorang wanita mencintai seorang laki-laki, ia ingin menjadi wanita satu-satunya dalam hidup sang pria. Ia tidak ingin siapapun juga berada dalam dunia mereka.

Tapi apapun yang terjadi, Lim Si-im sudah berada dalam hati Li Sun-Hoan sejak lama. Sun Sio-ang berdiri di situ tidak bergerak. Apakah perasaannya sekarang? Manis? Kecut? Atau pahit?

Tuan Sun menghela nafas panjang dan berkata, “Ada yang harus dilakukannya. Biarkanlah dia pergi.”

Sun Sio-ang mengangguk perlahan dan tersenyum. Senyum yang pahit, tapi paling tidak ia masih bisa tersenyum.

Dengan mata basah ia tersenyum dan berkata, “Tiba-tiba saja aku merasa sangat bodoh. Ia sudah mengenal wanita itu jauh sebelum ia mengenalku. Bahkan mereka sudah mengukir sejarah jauh sebelum aku ada dalam hidupnya. Jika ada orang yang boleh merasa kesal, dialah lebih berhak merasa kesal daripada aku.”

“Jika seseorang dapat mengakui bahwa dirinya bodoh, itu menunjukkan bahwa ia telah menjadi pandai,” kata kakeknya sambil tertawa.

“Tapi ada sesuatu yang harus kulakukan juga,” kata Sun Sio-ang.

“Apa itu?”

“Aku akan pergi bersamanya. Aku harus pergi bersamanya.”

“Itu tidak jadi soal, tapi…..” Tuan Sun berbicara sambil menoleh pada Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Dia bilang dia harus pergi, maka dia harus pergi.”

Kata Tuan Sun sambil tertawa, “Aku perlu waktu 60 tahun untuk belajar bahwa berdebat dengan wanita itu sia-sia saja. Kelihatannya kau belajar jauh lebih cepat.”

Li Sun-Hoan bangkit berdiri dan berkata, “Karena kita harus pergi, lebih baik kita pergi secepatnya. Kau…..”

“Jangan berasumsi bahwa semua wanita itu lamban dan pLim plan. Banyak wanita yang tegas seperti pria. Kalau sudah bilang pergi, ya pergi,” kata Sun Sio-ang.

Kata Tuan Sun, “Kalau kalian sudah tiba di sana, jangan lupa sekalian menengok Jisusiok dan melihat keadaannya.”

“Pasti, Kek,” kata Sun Sio-ang. Lalu ia melirik Li Sun- Hoan dan berkata, “Jika ia tidak ingin aku masuk bersamanya ke dalam Hin-hun-ceng, aku akan menunggunya di tempat Jisusiok.”

“Pendekar Kedua Sun sudah tinggal dekat Hin-hun-ceng lebih dari dua belas tahun. Apakah kalian tahu sebabnya?” tanya Li Sun-Hoan.

Ia selalu menganggap hal ini sangatlah aneh.

Dua belas tahun yang lalu adalah saat ia memutuskan untuk meninggalkan rumahnya untuk selama-lamanya. Pada saat yang hampir sama, Si Bungkuk Sun memutuskan untuk tinggal tepat di seberang Hin-hun- ceng. Ia sudah begitu lama memikirkannya, tapi tetap ia tidak menemukan apa hubungannya.

Si Bungkuk Sun tidak punya hubungan apa-apa dengan Keluarga Li. Ia pun tidak ada hubungan dengan Liong Siau-hun. Lim Si-im sudah menjadi yatim piatu dari kecil dan hidup bersama keluarga Li sejak itu.

Lim Si-im adalah gadis yang sangat pendiam. Mungkin seumur hidupnya ia tidak pernah meninggalkan Puri itu, tidak mungkin ia punya hubungan dengan orang penting dalam dunia persilatan.

Jika Si Bungkuk Sun hanya melaksanakan perintah seseorang, siapakah yang menyuruhnya berjaga-jaga tepat di muka Hin-hun-ceng?

Apa sebenarnya yang dijaga oleh Si Bungkuk Sun?

Mungkin hanya ada satu orang di muka bumi ini yang tahu jawaban semua pertanyaannya. Orang itu adalah Tuan Sun.

Ia hanya bisa berharap bahwa Tuan Sun mau memberitahukan kepadanya rahasia ini.

Namun ia harus kecewa.

Tuan Sun meletakkan pipa di bibirnya dan mulai mengisapnya.

Sun Sio-ang memandang sekejap pada kakeknya dan berkata, “Ada satu hal yang selalu kuanggap aneh.” Li Sun-Hoan memandang padanya dan menunggu ia melanjutkan perkataannya.

Lanjut Sun Sio-ang, “Liong Siau-in menebas putus tangannya sendiri di hadapan Siangkoan Kim-hong. Apakah kau mengetahuinya?”

Li Sun-Hoan mengangguk dan mendesah, “Ia memang anak yang agak aneh. Perbuatannya pun selalu sulit dimengerti.”

“Yang kuanggap aneh adalah bahwa ia bisa memotong tangannya sendiri.”

“Hah?”

“Pada saat itu, Siangkoan Kim-hong sudah hampir membunuh mereka. Maka ia bertindak lebih lebih dulu, supaya Siangkoan Kim-hong tidak jadi membunuh mereka. Dengan berbuat begitu, ia bukan saja menyelamatkan nyawanya sendiri, namun ia pun menjadi lebih terhormat karena ia berani mengorbankan diri demi menyelamatkan ayahnya.”

Sun Sio-ang mengeluh dan menambahkan, “Ini menunjukkan kepandaian dan kecerdikannya. Tapi memang ia selalu pintar dan banyak akal. Aku tidak heran akan hal itu.”

“Lalu, apa yang membuatmu merasa heran?” tanya Li Sun-Hoan. “Kau telah memusnahkan ilmu silatnya. Seharusnya, kekuatannya pasti lebih lemah daripada orang biasa. Setuju?”

Kata Li Sun-Hoan, “Aku sungguh tidak tahu apakah perbuatanku saat itu benar atau salah.”

Sun Sio-ang tidak menggubrisnya. “Tulang manusia itu tebal dan keras. Hanya orang-orang dengan kekuatan pergelangan tangan yang sangat kuatlah yang dapat memotong putus tangannya sendiri dengan sekali tebasan. Kecuali yang digunakan adalah pedang yang sangat sangat tajam atau pedang mustika.”

“Apakah pedangnya seperti itu?” “Sama sekali bukan!”
“Namun ia hanya menebas sekali dan tangannya langsung putus,” kata Li Sun-Hoan mulai tidak mengerti.

“Bahkan ia tidak kelihatan mengerahkan tenaga sedikitpun,” kata Sun Sio-ang.

“Ternyata pandanganmu jauh lebih tajam daripada aku. Setelah mendengarkan penjelasanmu, akupun merasa ada kejanggalan.”

“Lagi pula, jika orang biasa baru tertebas tangannya, tidak mungkin mereka sanggup menahan sakit. Orang biasa pasti langsung pingsan,” kata Sun Sio-ang. “Betul sekali. Orang yang kuat sekalipun tidak akan mampu menahan sakitnya, kecuali mereka mempunyai dasar tenaga dalam yang sangat kuat,” kata Li Sun- Hoan.

“Tapi, Liong Siau-in kan hanya seorang anak kecil yang lemah. Bagaimana mungkin ia dapat menahan rasa sakit tangannya tertebas?”

Li Sun-Hoan diam saja, namun matanya mengejap- ngejap, seakan-akan ia baru menemukan ide yang baru.

Kata Sun Sio-ang lagi, “Bukan saja ia bisa menahan rasa sakit yang demikian hebat, ia masih sanggup berbicara, bahkan memungut tangannya yang putus itu. Bagaimana orang biasa sanggup melakukan hal seperti ini?”

“Apa kau pikir ia sudah memulihkan kembali ilmu silatnya? Penampilannya yang kelihatan lemah itu cuma pura-pura saja?” tanya Li Sun-Hoan.
“Aku tidak tahu,” jawab Sun Sio-ang.  “Waktu aku memusnahkan ilmu silatnya, aku
mengerahkan tenaga cukup banyak. Tidak mungkin ia bisa pulih, kecuali…..”

Ia memandang Sun Sio-ang dan melanjutkan, “Kecuali kabar burung itu memang benar. Bahwa ada kitab ilmu silat yang sudah lama hilang yang tersembunyi dalam Hin-hun-ceng dan Liong Siau-in berhasil menemukannya.” “Aku tidak tahu.”

“Apakah alasan Pendekar Kedua Sun berjaga di depan Hin-hun-ceng lebih dari dua belas tahun ini ada hubungannya dengan kitab ilmu silat itu?”

“Aku tidak tahu,” kembali Sun Sio-ang menjawab demikian.

Kata Tuan Sun, “Kalau kau ingin dia tahu, mengapa tidak kau ceritakan saja selengkapnya?”

Sun Sio-ang memandang kakeknya dan berkata, “Aku takut diomeli.”

Tuan Sun tertawa dan berkata, “Satu-satunya cara membuat wanita menyimpan rahasia, adalah tidak memberitahukan rahasia itu kepada mereka.”

“Tapi aku kan tidak bilang apa-apa….”

“Caramu bahkan lebih baik lagi. Kau tidak perlu mengatakannya, tapi kau membuat aku harus mengatakannya,” kata Tuan Sun.

“Walaupun aku mengatakannya, aku kan cuma memberitahukan kepadanya. Dia kan bukan orang luar,” kata Sun Sio-ang membela diri.

“Ya, dia bukan orang luar.”

Waktu Li Sun-Hoan mendengarnya, ia tidak tahu harus merasa apa. Ia tahu bahwa ia sudah berhutang begitu banyak dalam hidupnya, sampai ia tidak tahu bagaimana harus membayarnya.

Ketika seorang wanita telah menganggap seorang pria bukan lagi orang luar, artinya ia telah menentukan pilihannya. Walaupun orang itu kemudian bertambah satu kakinya atau mukanya berubah menjadi kuda, ia tidak akan pernah bisa lolos lagi.

Nada suara Tuan Sun kini menjadi serius dan berkata, “Memang benar ada kitab ilmu silat yang tersembunyi dalam Hin-hun-ceng. Itu bukan hanya kabar burung.”

“Punya siapa? Mengapa aku tidak pernah tahu?” tanya Li Sun-Hoan.

Tuan Sun menyalakan pipanya lagi dan meniupnya. Asap putih bergulung-gulung ke segala arah. Ia bertanya, “Apakah kau pernah mendengar tentang Wang LianHua?”

“Tentu saja. Semua orang di dunia pernah mendengarnya.”

“Awalnya, Wang LianHua adalah musuh bebuyutan dari pendekar besar Sim Long. Baru belakangan mereka menjadi sahabat sehidup semati. Wang LianHua selalu merupakan tokoh antara baik dan jahat. Walaupun kadang-kadang jahat, ia tidak pernah betul-betul jahat. Walaupun kadang-kadang licik dan rakus, ia bisa juga menjadi adil dan setia. Ia pernah menyakiti Sim Long beberapa kali, namun Pendekar Shen selalu mengampuninya,” kata Tuan Sun.

[Kisah tentang Sim Long dan Wang LianHua diceritakan dalam karya Gu Liong yang lain, “Pendekar Baja”]

Kata Li Sun-Hoan, “Aku pun mendengar bahwa Wang LianHua akhirnya memutuskan untuk mundur dari dunia persilatan bersama dengan Sim Long dan pergi ke sebuah pulau di lautan lepas. Kejadiannya sudah lama sekali.”

“Betul. Akhirnya Sim Long berhasil membujuk Wang LianHua untuk berbalik ke jalan yang lurus.”

Ia mendesah, lalu melanjutkan, “Sangat mudah untuk membunuh seseorang, yang sulit adalah membuat orang berubah. Pendekar Shen memang adalah orang yang luar biasa. Jika kau dilahirkan beberapa tahun lebih awal, aku yakin kalian berdua pasti menjadi sahabat kental.”

Li Sun-Hoan tidak dapat menahan rasa kagum yang terpancar dari matanya terhadap Pendekar Sim Long. Ia tidak menyadari bahwa di kemudian hari, keharuman namanya dan kisahnya pun, juga kekaguman generasi yang akan datang terhadap dirinya, tidak lebih kecil daripada Pendekar Sim Long.

Kata Tuan Sun, “Sim Long memiliki bakat yang luar biasa, namun Wang LianHua pun bukan orang biasa. Kalau ia biasa-biasa saja, bagaimana mungkin ia bisa menjadi musuh bebuyutan Pendekar Shen?” Jika di antara dua manusia ada perbedaan besar dalam hal kepandaian dan bakat, mereka tetap bisa menjadi sahabat, namun mereka tidak mungkin menjadi musuh besar. Itulah sebabnya, hanya Siangkoan Kim-honglah yang layak menjadi musuh bebuyutan Li Sun-Hoan.

Kata Li Sun-Hoan, “Katanya ia adalah orang yang paling berbakat yang pernah hidup dalam dunia persilatan.
Bukan hanya dalam hal ilmu silat namun juga dalam ilmu pengetahuan. Pengetahuannya dalam berbagai bidang sangat luas dan dalam, tidak ada tandingannya.”

“Betul sekali. Ia sangat mahir dalam ilmu astrologi dan ramalan, musik, catur, sastra, juga kesenian. Ia pun ahli dalam bidang kedokteran dan juga penyamaran. Belum tentu sepuluh orang dapat mempelajari semua pengetahuannya, namun ia seorang diri mampu mendalami seluruhnya.”

Lanjut Tuan Sun lagi sambil mendesah, “Tapi karena minatnya terlalu luas, ia tidak mengkhususkan diri dalam ilmu silat. Kalau tidak, dengan kepandaian dan bakatnya, kurasa ia tidak akan dapat dikalahkan oleh Sim Long.”

Tiba-tiba Li Sun-Hoan teringat akan A Fei.

Apakah bakat A Fei lebih besar daripada Wang LianHua? Namun ia hanya berkonsentrasi pada satu bidang, pedang. Oleh sebab itu, ilmu pedangnya menjadi sangat dalam dan dalam proses menuju pada tingkatan tidak terkalahkan. ‘Sangat disayangkan, orang berbakat selalu memilih untuk melakukan hal-hal yang bodoh’.

Li Sun-Hoan mendesah dan tidak ingin memikirkannya lagi.

Kata Tuan Sun lagi, “Setelah Wang LianHua bertobat, ia menyadari bahwa apa yang telah dipelajarinya ternyata bukan hanya terlalu campur aduk dan acak-acakan, tapi juga sangat kontemporer. Awalnya ia ingin membakar saja ‘Ensiklopedi LianHua’ yang telah disusunnya.”

“Ensiklopedi LianHua?” tanya Li Sun-Hoan.

“Isinya adalah seluruh pengetahuan yang dipelajarinya seumur hidupnya,” papar Tuan Sun.

“Mengapa ia ingin membakarnya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar