Si Pisau Terbang Li Bab 75 : Antara Hidup dan Mati

 
Bab 75. Antara Hidup dan Mati

Suara itu monoton dan datar. Tidak tinggi, tidak rendah. Tidak mengandung emosi sedikitpun. Hiang Siong kenal baik dengan suara ini. Satu-satunya orang yang bersuara seperti ini adalah Hing Bu-bing!

Hing Bu-bing! Hiang Siong terperanjat. Ia menoleh perlahan….betul, Hing Bu-bing adanya!

Pakaiannya tampak lusuh. Ia kelihatan lelah dan letih. Namun matanya…..

Matanya yang kelabu mati masih tetap dingin seperti sedia kala. Tatapannya masih dapat membuat darah orang yang dipandangnya membeku seketika.

Hiang Siong mengalihkan pandangan dari matanya ke tangannya.

Tangan kirinya masih digendong dengan kain pembalut. Warnanya terlihat kelabu seperti abu, seperti tangan yang menggapai-gapai dari liang kubur.

Tangan ini dulu bisa membunuh, namun kini hanya membuat mual orang yang melihatnya.

Hiang Siong tertawa kecil dan berkata, “Walaupun aku mungkin tidak mengerti cara yang canggih membunuh orang, setidaknya aku masih bisa membunuh. Mungkin Hing-siansing tahu cara yang canggih membunuh orang, tapi sayangnya, membunuh tidak bisa dilakukan dengan mulut, harus dengan tangan.”

Mata Hing Bu-bing menyipit. Ia menatap Hiang Siong dan berkata perlahan, “Kau tidak melihat tanganku?”

“Ada banyak macam tangan. Apa yang kulihat adalah tangan yang tidak bisa membunuh.” “Kau pikir tangan kananku tidak dapat membunuh?”

“Ada banyak macam manusia juga. Ada yang mudah dibunuh, ada yang tidak.”

Tanya Hing Bu-bing, “Macam manakah engkau?”

Hiang Siong mengalihkan pandangannya dan berkata dingin, “Macam yang tidak bisa kau bunuh.”

Matanya penuh kebencian, seolah-olah ingin memancing Hing Bu-bing untuk menyerang. Seolah-olah mencari-cari alasan untuk membunuhnya.

Tiba-tiba Hing Bu-bing tertawa terbahak-bahak.

Ia sama seperti Siangkoan Kim-hong. Ia tampak lebih mengerikan saat tertawa.

Tanpa sadar Hiang Siong mundur selangkah.

Kata Hing Bu-bing, “Jadi selama ini kau membenciku?”

Hiang Siong mengertakkan giginya dan berkata, “Rasanya tidak banyak orang di dunia ini yang tidak membenci dirimu.”

“Dan kau ingin membunuhku?”

“Dalam hal ini, aku juga bukan satu-satunya.” “Lalu mengapa menunggu sampai sekarang?” “Kau harus menunggu kesempatan yang terbaik untuk membunuh. Seharusnya kau lebih mengerti akan hal ini daripada siapapun juga.”

Tanya Hing Bu-bing, “Dan kau pikir kesempatan itu sudah datang sekarang?”

Sahut Hiang Siong, “Benar.”

Hing Bu-bing mengeluh dan berkata, “Sayangnya aku punya rahasia yang tidak kau ketahui.”

“Rahasia apa?”

Mata Hing Bu-bing tertuju pada lehernya saat berkata, “Tangan kananku pun bisa membunuh. Sebenarnya, dibandingkan dengan tangan kiri, tangan kananku bisa membunuh lebih cepat!”

Saat mengucapkan kata yang terakhir, pedangnya telah menembus leher Hiang Siong!

Tidak ada yang melihat dari mana datangnya pedang itu dan bagaimana pedang itu menembus leher Hiang Siong.

Yang terlihat hanyalah selarik sinar dan semburan darah. Dengan suara ‘Ge’, nafas Hiang Siong berhenti. Matanya seolah-olah hendak melompat keluar.

Mata Si Golok Kepala Setan dan Si Pedang Pintu Kematian pun terlihat hendak melompat keluar.

Keduanya perlahan-lahan mundur ke arah pintu. Hing Bu-bing tidak menoleh. Ia berkata dingin, “Kalian berdua berpikir masih bisa pergi setelah mengetahui rahasiaku?”

Selarik sinar kembali berkelebat!

Darah muncrat membasahi lantai. Di bawah cahaya lentera, butiran-butirannya bagaikan untaian mutiara merah yang berkilauan.

Obat yang manjur rasanya selalu pahit, dan racun yang mematikan selalu manis bagai madu.

Ada hal-hal tertentu dalam hidup ini yang tidak dapat dimengerti….bahkan hal-hal yang sangat jelek dan menjijikkan, jika dilihat dari sudut pandang lain bisa tampak indah dan berharga.

Itulah sebabnya, pedang yang membunuh selalu tampak berkilau dan darah yang tercurah selalu tampak gemerlapan.

Itulah sebabnya ada pepatah, ‘Kecantikan pudar dalam sekejap mata. Hanya keahlian sejati yang bertahan abadi’.

‘Keahlian sejati’ tidak pernah tampak cantik.

Pedang yang membunuh sama saja dengan pisau pemotong sayuran. Dua-duanya terbuat dari baja yang sama. Perbedaannya adalah sedalam apa kau melihatnya. Ada juga pepatah yang mengatakan, ‘Biarkan aku menikmati sekejap saja kecantikan itu. Biarkanlah hal-hal yang abadi menunggu sampai selamanya, mereka tidak berguna bagiku’.

Beberapa saat yang lalu, Hiang Siong adalah Si Meteor Kembar Angin dan Hujan yang sangat disegani, Ketua Cabang Kedelapan Kim-ci-pang.

Tapi kini, ia hanyalah seorang mati. Tidak banyak berbeda dari orang-orang mati yang lain.

Hing Bu-bing memandangi mayatnya. Air mukanya berubah agak aneh. Seolah-olah baru pertama kali melihat orang mati.

Apakah ini pertama kalinya ia merasakan ‘kematian’?

Apakah setelah orang merasa benar-benar sebatang kara, barulah ia dapat merasakan ‘kematian’?

Lim Sian-ji menghela nafas panjang.

Ia telah menahan nafas sangat lama. Baru kini akhirnya ia berani menghembuskan nafas lega.

Ia tersenyum manis pada Hing Bu-bing dan berkata, “Aku tidak menyangka bahwa kau akan datang untuk menyelamatkan aku.”

Hing Bu-bing tidak mengangkat kepalanya. Ia menyahut dingin, “Kau pikir aku datang untuk menyelamatkanmu?” Lim Sian-ji mengangguk dan berkata, “Aku tahu maksudmu.”

Perlahan Hing Bu-bing mengangkat wajahnya dan berkata, “Apa yang kau tahu?”

“Kau menyelamatkan aku karena Siangkoan Kim-hong ingin membunuhku.”

Hing Bu-bing terus menatapnya.

“Kau membencinya. Jadi apapun yang direncanakannya, kau akan menggagalkannya.”

Hing Bu-bing masih terus menatapnya.

“Bahkan sekarang pun, aku tahu orang macam apakah engkau. Dan akupun tahu bahwa Siangkoan Hui mati dalam tanganmu.”

Mata Hing Bu-bing beralih pada pedangnya. Katanya, “Kau tahu terlalu banyak.”
Lim Sian-ji tertawa dan berkata, “Aku pun tahu kau tidak akan membunuhku. Karena jika kau membunuhku, kau melakukan apa yang diinginkan Siangkoan Kim-hong.”

Ia tersenyum lembut dan menambahkan, “Kau tidak hanya akan membiarkan aku hidup, kau juga akan membawaku pergi bersamamu. Betul kan?”

“Membawamu pergi bersamaku?” “Karena jika kau tidak ingin aku mati di tangan Siangkoan Kim-hong, dan kaupun tidak ingin aku membocorkan rahasiamu, kau tidak punya pilihan. Kau harus membawaku pergi bersamamu.”

Suaranya menjadi makin lembut dan merayu, “Sepenuh hati, aku rela pergi bersamamu. Ke mana pun juga kau pergi, aku akan ikut.”

Hing Bu-bing terdiam sesaat, lalu melirik A Fei. Seolah-olah ia baru menyadari A Fei ada di situ.
Lim Sian-ji pun meliriknya. Ia menghampiri A Fei dan mencium pipinya.

Lim Sian-ji tidak berbicara apa-apa lagi. Tidak ada lagi yang perlu dibicarakan.
Lalu ia pergi keluar mengikuti Hing Bu-bing. A Fei diam tidak bergerak.
Mulutnya terasa kering. Ia terus mematung.
Sinar matahari masuk melalui jendela. Hari sudah pagi. A Fei masih tidak bergerak. Ia terbaring di lantai basah kuyup oleh darah dari mayat di sampingnya.

Ia tergantung di antara hidup dan mati hanya dengan seutas benang……

***

‘Tanggal X X, sepuluh li di luar tembok barat, di bawah pohon dekat paviliun.

Siangkoan Kim-hong’

Musim dingin telah tiba. Angin barat bertiup merontokkan sisa-sisa daun kering yang tersisa di atas pohon.

Surat itu berwarna sama seperti daun kering yang menguning. Warna kuning yang membawa hawa kematian. Warna kuning yang membawa rasa kelayuan dan kengerian.

Surat itu hanya terdiri dari 17 kata. Singkat dan sederhana. Sama seperti cara Siangkoan Kim-hong membunuh. Tidak pernah banyak gaya.

Surat itu diantarkan oleh seorang pegawai penginapan. Setelah membacanya, tangannya terus gemetaran.

Sun Sio-ang menyambar surat itu dan membacanya. Rasa dingin mencekam merembes dari tulang punggungnya naik sampai ke bahu dan turun ke tangannya. Ujung-ujung jarinya tiba-tiba terasa kaku kedinginan. Besok…harinya adalah besok….

“Menurut kalender, besok bukanlah hari baik. Ada banyak hal yang salah,” gumam Sun Sio-ang.

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Mengapa harus cari hari baik untuk membunuh?”

Tatapan Sun Sio-ang tajam menusuk Li Sun-Hoan. Sampai sekian lama, lalu ia pun bertanya dengan lantang, “Bisakah kau membunuhnya?”

Mulut Li Sun-Hoan terkatup rapat. Senyum di bibirnya sedikit demi sedikit lenyap.

Tiba-tiba Sun Sio-ang bangkit berdiri dan keluar dari kamar itu. Li Sun-Hoan tidak dapat menerka apa yang akan diperbuatnya. Gadis itu segera kembali berlari masuk dengan kuas, tinta, dan kertas di tangannya.

Kuas yang bergagang mengkilap dan kertas berkualitas tinggi.

Ia tidak memandang Li Sun-Hoan saat berkata, “Kau bicara, aku menulis.”

Li Sun-Hoan terhenyak. “Apa yang kau ingin aku katakan?”

“Apakah kau punya keinginan yang belum kesampaian? Atau masalah yang belum selesai?” Suaranya sangat tenang, namun kuas di tangannya terlihat gemetar.

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Apakah kau mau aku mengatakannya sekarang? Aku kan belum mati.”

“Setelah kau mati, kau tidak bisa mengatakannya lagi padaku,” jawab Sun Sio-ang datar.

Selama itu, kepalanya terus menunduk. Matanya tertuju pada kuas di tangannya. Namun ia tidak dapat mengabaikan tatapan mata Li Sun-Hoan.

Mata gadis itu mulai basah. Ia menggigit bibirnya kuat- kuat dan berkata, “Kau boleh bilang apa saja. A Fei, contohnya. Adakah yang kau ingin aku katakan kepadanya? Atau adakah yang kau ingin aku perbuat baginya?”

Rasa pedih terbayang jelas dalam mata Li Sun-Hoan. Ia menghela nafas dan berkata, “Tidak ada.”

“Tidak ada? Sama sekali tidak ada?”

“Aku bisa saja menasihatinya untuk tidak membunuh seseorang, tapi bagaimana aku dapat membujuknya untuk tidak mencintai seseorang?”

“Bagaimana jika ada orang yang ingin membunuhnya?” tanya Sun Sio-ang.

Li Sun-Hoan tertawa pahit. “Sekarang ini, siapa yang ingin membunuhnya?” “Siangkoan Kim-hong…..”

“Jika Siangkoan Kim-hong telah membiarkan ia pergi. Tidak mungkin tiba-tiba saja ia mau membunuhnya sekarang. Kalau memang Siangkoan Kim-hong ingin membunuhnya, ia pasti sudah mati sejak lama.”

“Bagaimana di kemudian hari?” desak Sun Sio-ang.

Li Sun-Hoan memandang ke luar jendela, ke kejauhan, dan berkata perlahan, “Saatnya bangun tetap akan tiba, setelah mimpi yang paling panjang sekalipun. Jika saat itu tiba, ia akan mengerti segala sesuatu. Apapun yang kukatakan padanya saat ia masih tidur, tidak akan ada gunanya.”

Sun Sio-ang terdiam cukup lama, lalu berkata, “Bagaimana dengan dia?”

Seakan-akan Sun Sio-ang harus mengumpulkan segenap kekuatannya untuk mengatakan kalimat itu.

Tentu saja Li Sun-Hoan tahu siapa yang dimaksudkannya.

Rasa pedih di matanya terlihat semakin dalam. Tiba-tiba ia berjalan ke arah jendela dan membukanya.

Sun Sio-ang, dengan kepala tetap tertunduk, berkata lirih, “Jika kau….kau ada pesan untuknya, apa saja…..”

Li Sun-Hoan memotongnya cepat, “Tidak ada. Sama sekali tidak ada.” “Tapi kau…..”

Kata Li Sun-Hoan, “Selama ia hidup, akan ada orang yang menjaganya. Saat ia meninggal, akan ada orang yang mengurus penguburannya. Ia tidak memerlukan aku. Kematianku hanya akan membawa kelegaan baginya.”

Suaranya tenang, namun ia tidak memaLingkan wajahnya. Ia terus memandang ke luar.

Mengapa ia takut untuk menoleh?

Sun Sio-ang memandang tubuhnya yang kurus dari belakang. Setetes air mata jatuh ke atas kertas kosong itu.

Tanpa suara ia menyeka air matanya dan berkata, “Tapi pasti ada yang hendak kau katakan. Mengapa kau tidak mau memberitahukannya kepadaku?”

Li Sun-Hoan balik bertanya, “Mengapa kau begitu ingin aku bicara?”

“Kau beri tahu aku sekali saja dan aku akan mengingatnya selama-lamanya. Setelah kau meninggal, aku akan melaksanakannya satu per satu. Dan kemudian….”

Li Sun-Hoan segera berbalik dan bertanya, “Dan kemudian apa?”

“Dan kemudian aku pun akan mati!” jawab Sun Sio-ang. Ia berdiri tegak dan memandang lurus pada Li Sun-Hoan. Ia tidak memaLingkan wajahnya dan ia tidak berusaha menyembunyikan apapun juga.

“Meng….Mengapa kau ingin mati?”

“Aku tidak bisa menghindar dari kematian, karena setelah kau pergi, hidup akan lebih menderita daripada mati.”

Ia terus menatap Li Sun-Hoan tanpa berkedip.

Lalu gejolak hatinya mulai mereda dan tenang. Jelas sudah bahwa gadis itu telah bertekad bulat. Tidak ada orang yang bisa membujuknya untuk berubah pikiran.

Li Sun-Hoan merasa hatinya seperti ditusuk. Ia membungkuk dan mulai batuk-batuk keras.

Setelah batuknya mereda, Sun Sio-ang mendesah dan berkata dengan tenang, “Jika kau ingin aku terus hidup, kau tidak boleh mati…. Siangkoan Kim-hong belum tentu ingin bertemu denganmu untuk berduel. Ia pun cukup segan padamu.”

Tiba-tiba ia menghambur ke arah Li Sun-Hoan, meraih tangannya dan be kata, “Kita bisa lari, lari sejauh mungkin. Kita lupakan semuanya. Aku….Aku bisa membawamu pulang ke rumahku. Tidak ada yang tahu tempat itu. Sekalipun Siangkoan Kim-hong ingin mencarimu, ia tidak mungkin dapat menemukan engkau di sana.” Li Sun-Hoan tidak menjawab. Ia tidak mengatakan sepatah kata pun.

Ia hanya menatap gadis itu lekat-lekat.

Angin dingin berhembus masuk ke dalam kamar itu. Segulung asap ikut masuk memenuhi kamar itu dan menghalangi pandangannya.

Suara Tuan Sun yang bijak kedengaran memenuhi ruangan itu, “Apapun yang kau katakan, ia tidak akan melarikan diri.”

Sun Sio-ang menghentakkan kakinya dan berkata dengan kesal, “Bagaimana Kakek bisa tahu kalau ia tidak akan pergi?”

“Jika ia adalah macam orang yang melarikan diri, kau tidak akan mempunyai perasaan apa-apa terhadap dia.”

Sun Sio-ang terdiam, lalu membalikkan badannya dan menutup mukanya.

Li Sun-Hoan mengeluh dan berkata, “Cianpwe….”

Tuan Sun menyelanya dan berkata, “Aku tahu apa yang kau pikirkan, tapi….aku hanya bisa menasihatinya untuk tidak membunuh seseorang. Aku tidak bisa membujuknya untuk tidak mencintai seseorang….”

Cinta. Satu-satunya hal dalam hidup ini yang tidak dapat dipaksakan. Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Kali ini lebih keras dari sebelumnya.

***

‘Sepuluh li di luar tembok barat, di bawah pohon dekat paviliun.’

Paviliun itu bersegi delapan. Tempatnya tepat di kaki gunung, di sebelah luar hutan.

Hutan itu sudah gundul. Cat pada tiang-tiang paviliun itu pun telah mulai mengelupas.

Angin barat menderu-deru. Dataran yang luas itu terdiam dalam keheningan.

Li Sun-Hoan berjalan masuk keluar hutan. Sepertinya ia telah berjalan melewati setiap inci hutan itu.

‘Besok, harinya adalah besok.’

Matahari mulai condong ke barat. Hari akan segera berlalu.

Esok hari, di bawah matahari senja yang sama, seluruh permusuhan antara Li Sun-Hoan dan Siangkoan Kim- hong akan diselesaikan.

Ini akan menjadi pertarungan yang terhebat sepanjang sejarah! Li Sun-Hoan menghela nafas panjang dan mengangkat kepalanya. Matahari terbenam memancarkan sinarnya ke seluruh jagad raya, memenuhinya dengan keindahan dan keagungan yang tiada taranya.

Tapi, di mata seorang yang hampir mati, apakah matahari terbenam pun akan tampak indah?

Tuan Sun dan Sun Sio-ang duduk diam dalam paviliun itu. Tiba-tiba Sun Sio-ang bertanya, “Waktunya berduel masih lama. Mengapa ia datang ke sini begitu awal?”

“Dalam duel dua orang ahli, yang harus diperhitungkan bukan hanya kekuatan dan kelemahan ilmu silatnya, namun kau juga harus memperhatikan cuaca, keadaan sekitar, dan orang-orang lain. Karena Siangkoan Kim- hong memilih lokasi ini, ia pasti punya alasan,” jawab Tuan Sun.

“Apa alasannya?”

“Ia pasti sudah terbiasa dengan keadaan di tempat ini. Bahkan ia mungkin telah memasang perangkap di sini sebelumnya.”

“Jadi Li Sun-Hoan harus datang ke sini lebih dulu dan memeriksa keadaan sekitar, apakah Siangkoan Kim-hong telah memasang perangkap dan di mana ia memasangnya.”

“Benar sekali. Jenderal-jenderal jaman dulu pun selalu memeriksa medan laga sebelum perang yang penting berlangsung. Perang apapun itu, jika seseorang memeriksa dengan seksama medan laganya, ia pasti akan mempunyai keuntungan.”

“Tapi mengapa ia berjalan bolak-balik di tempat itu saja?” tanya Sun Sio-ang.

Jawab kakeknya, “Jalan bolak-balik pun ada maksudnya.” “Hah?”
“Ia ingin berjalan melewati setiap jengkal tanah di situ dan memeriksa keadaan permukaan tanah. Ia ingin tahu apakah tanahnya lembut atau keras, kering atau lembab.”

“Dan untuk apa dia tahu?”

“Karena tiap jengkal tanah itu berbeda dan dapat mempengaruhi kemampuan meringankan tubuhnya. Jika dengan tujuh puluh persen tenagamu, kau dapat melompat tujuh meter di atas tanah yang lembab, di atas tanah yang keras, kau dapat melompat sepuluh meter.”

“Perbedaannya tidak begitu jauh.”

Tuan Sun mengeluh. “Jika dua orang orang ahli bertempur, kesalahan mereka tidak boleh lebih besar dari satu inci!”

Tiba-tiba Li Sun-Hoan berjalan mendekat dan berdiri tepat di depan paviliun itu. Ia menghadap ke barat, ke arah terbenamnya matahari di atas hutan yang gundul itu. Dalam sosoknya terkandung segulung perasaan yang kuat, namun tidak seorang pun dapat menerka apa yang ada dalam pikirannya.

Sun Sio-ang tidak tahan untuk tidak bertanya pada kakeknya, “Dan sekarang apakah yang sedang dilakukannya, berdiri mematung seperti itu?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar