Bab 62. Rahasia Besar
Puncak bukit adalah tempat sangat gersang. Angin musim gugur bertiup tanpa kenal belas kasihan.
Tangan Hing Bu-bing tiba-tiba meraba gagang pedangnya….tapi ini tangan kanannya, bukan tangan yang biasa ia gunakan untuk memegang pedang. Di tangan ini, pedang tidak bisa disebut senjata yang mematikan.
Ia hanya meraba gagang pedang itu, lalu segera melepaskannya.
Langkahnya makin lambat, akhirnya berhenti. Seolah- olah inilah ujung jalan.
Saat itulah terdengar suara tawa Siangkoan Hui.
Siangkoan Hui sudah menyusulnya. Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Berhentilah bersandiwara!”
Hing Bu-bing menoleh. Matanya tidak menunjukkan perasaan apapun. Ia hanya menatap Siangkoan Hui lekat-lekat. Setelah cukup lama akhirnya dia berkata, “Kau pikir ini hanya sandiwara?”
Sahut Siangkoan Hui, “Sudah pasti cuma sandiwara. Kau berpura-pura menguntit Si Tua Sun. Padahal tidak ada maksudnya kau menguntit dia.” “Kalau begitu, mengapa aku menguntit mereka?” “Karena aku.”
“Karena kau?”
“Karena kau sudah tahu bahwa aku sedang menguntitmu.”
Hing Bu-bing menyahut dingin, “Itu karena kau yang tidak tahu bagaimana menguntit orang.”
Kata Siangkoan Hui, “Mungkin. Namun aku tahu bagaimana caranya membunuhmu. Tentu saja kau pasti tahu bahwa aku datang untuk membunuhmu.”
Hing Bu-bing memang tahu, oleh sebab itu dia tidak terkejut.
A Feilah yang terkejut.
Kedua orang ini sudah pasti berasal dari kelompok yang sama. Mengapa mereka ingin saling membunuh?
Siangkoan Hui bertanya, “Sepuluh tahun yang lalu aku sudah ingin membunuhmu. Kau tahu sebabnya?”
Hing Bu-bing diam saja…. Ia hanya bertanya, tidak pernah menjawab.
Siangkoan Hui menjadi semakin kesal. Matanya penuh dengan bisa dan berteriak, “Jika kau tidak ada, aku bisa hidup lebih bahagia. Kau bukan saja mengambil kedudukanku, kau bahkan mengambil ayahku. Setelah kau datang, kau merampas semua milikku!”
Hing Bu-bing menyahut dingin, “Yang salah kau sendiri. Aku selalu lebih hebat daripada engkau.”
Siangkoan Hui mengertakkan gigi. Katanya, “Kau tahu dalam lubuk hatimu bahwa itu bukanlah alasan yang sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah…..”
Siangkoan Hui berusaha menahan emosinya, namun gagal. Ia mulai berteriak dengan marah, “Karena kau adalah anak haram ayahku! Ibuku sampai mati saking sedihnya akibat perbuatan rendah ibumu!”
Mata Hing Bu-bing yang dingin dan kelabu tiba-tiba memicing, tampak seperti dua tetes darah.
Dua tetes darah kering yang sudah berubah warna.
Di atas bukit, rasa sedih juga terbayang di wajah A Fei. Sama seperti yang terbayang di wajah Hing Bu-bing, malah mungkin lebih dalam.
Lanjut Siangkoan Hui, “Kalian berdua telah menipuku selama ini. Kalian pikir aku tidak tahu?”
Ketika ia berkata ‘kalian berdua’, yang ia maksudkan adalah Hing Bu-bing dan ayahnya.
Ketika Siangkoan Hui mengucapkannya, ia hanya menyakiti dirinya sendiri, bukan orang lain. Ia merasa lebih sedih lagi, sehingga ia bisa menjadi lebih tenang. Siangkoan Hui berbicara lagi, “Aku sudah tahu semuanya pada waktu ia membawamu pulang. Sejak hari itulah, aku menunggu kesempatan untuk bisa membunuhmu.”
Kata Hing Bu-bing, “Kau tidak punya banyak kesempatan.”
Sahut Siangkoan Hui, “Walaupun aku punya kesempatan sebelum ini, aku pun tidak akan membunuhmu. Karena kau masih berguna. Tapi sekarang, tidak lagi.”
Ia tersenyum mengejek dan berkata, “Dulu kau adalah pedang di mata ayahku, pedang untuk membunuh. Ia tidak akan memaafkanku jika aku merusak senjatanya. Namun kini, kau tidak ada bedanya dengan besi rongsokan. Ayah tidak akan peduli akan hidup matimu lagi.”
Hing Bu-bing berpikir cukup lama, lalu mengangguk. Katanya, “Kau benar. Aku sendiri tidak peduli akan hidup dan matiku. Mengapa dia harus peduli?”
“Orang lain mungkin akan percaya pada bualanmu, namun aku tidak.”
“Aku membual?”
“Jika kau benar-benar tidak takut mati, mengapa kau melarikan diri?”
Tanya Hing Bu-bing, “Melarikan diri?” Kata Siangkoan Hui tidak sabar, “Sandiwara kecilmu menguntit Si Tua Sun. Itu hanya topengmu untuk menutupi fakta bahwa kau sedang melarikan diri.”
“O ya?”
“Jika kau sedang menguntit orang lain, aku pasti akan membiarkanmu menguntit mereka. Supaya kau tahu kemana mereka pergi atau menunggu waktu yang tepat untuk membunuh mereka. Baru sesudah itu aku akan membunuhmu.”
Ia tertawa dan melanjutkan lagi, “Sayangnya kau memilih orang yang salah. Karena kau tidak akan mungkin mengetahui ke mana mereka pergi, apalagi membunuh mereka. Kau tidak pantas menguntitnya karena kau tidak sepadan dengan dia!”
Hing Bu-bing tiba-tiba tersenyum. Katanya, “Mungkin…..”
Senyumnya tampak aneh, seolah-olah menyembunyikan suatu rahasia.
Tapi Siangkoan Hui tidak memperhatikan. Ia berkata, “Oleh sebab itu kau pasti hanya menguntit dia untuk menutupi hal lain. Kau hanya ingin menunda waktuku membunuhmu.”
Lalu ia menatap Hing Bu-bing lekat-lekat dan berseru, “Karena kau takut mati!”
“Takut mati?” “Sebelum ini kau tidak takut mati, karena memang tidak ada seorang pun yang mampu membunuhmu dulu.”
Terdengar suara ‘criing’, dan terlihat Liong-hong-siang- goan (Cincin Naga dan Burung Hong) di tangan Siangkoan Hui. Katanya dingin, “Namun kini, aku dapat membunuhmu kapan saja aku mau.”
Hing Bu-bing diam saja sampai cukup lama. Lalu ia berkata, “Sepertinya kau memang serba tahu.”
Sahut Siangkoan Hui, “Paling tidak aku jauh lebih pandai daripada yang kau sangka.”
Tiba-tiba Hing Bu-bing tertawa. “Sayangnya ada satu hal yang tidak kau ketahui.”
“Apa?”
Jawab Hing Bu-bing, “Tidak ada gunanya kau tahu segala sesuatu yang lain. Jika kau tidak tahu hal ini, kau pasti akan mati.”
“Jika itu adalah hal yang sangat penting, maka aku pasti mengetahuinya.”
“Ah, tapi kau tidak mungkin tahu. Karena itu adalah rahasia pribadiku. Dan aku tidak pernah mengatakannya kepada siapapun…..”
Tanya Siangkoan Hui, “Apakah kau ingin memberitahukannya kepadaku?” Jawab Hing Bu-bing, “Ya. Aku akan memberitahukannya kepadamu sekarang. Tapi ada satu syarat.”
“Apa?”
“Jika kuberitahukan padamu, maka kau harus mati!” Siangkoan Hui menatapnya, lalu tertawa keras-keras. Kata-kata Hing Bu-bing memang sangat menggelikan.
Bagaimana seseorang yang baru dibuat cacad dapat membunuh?
Di antara tawanya Siangkoan Hui berkata, “Kau ingin membunuhku dengan apa? Apa kau akan menggigitku sampai mati?”
Jawaban Hing Bu-bing sangat pendek, sangat tenang, hanya satu kata.
“Tidak.”
Tawa Siangkoan Hui mulai reda.
Sepertinya Hing Bu-bing tidak sedang berusaha menakut- nakuti ataupun sedang bercanda dengan jawabannya itu.
Kata Hing Bu-bing, “Untuk membunuh, aku gunakan tangan ini!”
Ia mengangkat tangannya, tangan kanannya. Siangkoan Hui masih tertawa, tapi kini sudah tampak dipaksakan. Katanya, “Tangan itu…. membunuh anjing pun tidak bisa.”
Kata Hing Bu-bing, “Aku hanya membunuh orang, tidak membunuh anjing.”
Siangkoan Hui berhenti tertawa. Liong-hong-siang-goan (Cincin Naga dan Burung Hong) telah meluncur ke depan.
Ada perkataan ‘Seinci lebih pendek, seinci lebih berbahaya’. Liong-hong-siang-goan (Cincin Naga dan Burung Hong) ini adalah semacam itu. Dan jurus ini, ‘Naga Terbang Menari Mengelilingi Burung Hong di Udara’, adalah jurus yang paling mematikan. Namun kalau seseorang belum terdesak hampir kalah, atau tidak tahu pasti bahwa musuhnya dapat menangkis serangan ini atau tidak, sebaiknya ia tidak menggunakan jurus ini. Sekali dipakai, musuh tidak akan bisa lolos.
Pada saat yang sama, cahaya pedang pun berkilat.
Pedang itu, dalam sekejap saja, sudah tertancap di leher Siangkoan Hui.
Ujung pedang itu masuk sampai lebih dari dua pertiga bagian leher.
Sepertinya Siangkoan Hui masih bisa bernafas. Urat-urat mulai tampak menonjol di keningnya. Bola matanya serasa hampir copot, menatap Hing Bu-bing. Dalam kematian sekalipun, ia tidak bisa percaya bagaimana pedang Hing Bu-bing dapat menusuknya.
Hing Bu-bing hanya menatapnya dingin. Katanya, “Tangan kananku lebih cepat daripada tangan kiriku. Itu rahasiaku!”
Pedang pun ditarik dan darah muncrat keluar.
Siangkoan Hui masih memandang Hing Bu-bing, penuh dengan rasa tidak percaya, rasa sedih, rasa kaget….
Ia masih tidak bisa percaya, sampai ia mati. Namun ia harus percaya.
Liong-hong-siang-goan (Cincin Naga dan Burung Hong) di tangan Siangkoan Hui mengenai lengan kiri Hing Bu- bing.
Lengannya yang patah.
Ia menggunakan lengan ini untuk menangkis serangan cincin Siangkoan Hui, lalu dengan cepat melakukan serangan balasan dengan tangan kanannya. Pedang pun langsung menembus leher Siangkoan Hui.
Serangan yang sangat licik.
Serangan itu pun sangat tepat. Sangat mematikan. Sangat keji. ‘Tangan kananku lebih cepat daripada tangan kiriku. Itulah rahasiaku!’
Ia tidak berdusta.
Namun kebenaran ini sangat sulit dipercaya, sangat mengagetkan.
Siangkoan Hui sudah hidup bersama Hing Bu-bing lebih dari sepuluh tahun. Tidak sekalipun ia pernah melihat Hing Bu-bing berlatih menggunakan tangan kanannya. Itulah sebabnya dalam kematian sekalipun ia tidak tahu darimana Hing Bu-bing mempelajari ilmu pedang dengan tangan kanannya.
Namun mau tidak mau ia harus percaya. Karena kematiannya telah menjadi bukti nyata.
Hing Bu-bing memandangi tubuh Siangkoan Hui. Ia terlihat sedikit kecewa.
Setelah lama memandang, akhirnya ia menghela nafas perlahan dan menggumam, “Mengapa kau ingin membunuhku? Mengapa aku harus membunuhmu?. ”
Ia memutar badan dan berjalan pergi.
Ia masih berjalan dengan gaya aneh, seolah-olah sedang berusaha membuat harmoni dengan sesuatu yang lain.
Kedua cincin itu masih tertancap di lengan kirinya. Ragu-ragu, terkejut, tidak percaya. Itulah perasaan A Fei saat itu.
Ilmu pedang Hing Bu-bing sangat mengerikan. Mungkin memang tidak lebih cepat daripada ilmu pedangnya, namun lebih mematikan, lebih penuh rahasia.
Apakah aku akan pernah bisa mengalahkannya?
Walaupun ini adalah fakta, ini adalah fakta yang tidak akan bisa diterima oleh A Fei!
Memandang punggung Hing Bu-bing seakan-akan membuat tingkat adrenalin A Fei meluap-luap dalam tubuhnya. Ia ingin sekali segera meloncat dan berlari turun bukit untuk mengejarnya.
Namun sebuah tangan menahan tubuhnya dari belakang. Tangan itu sangat tegas dan penuh tenaga.
A Fei menoleh dan menemukan mata Li Sun-Hoan yang tenang dan bersahabat.
Yang menahan kepergian A Fei bukanlah tangannya, melainkan matanya.
A Fei menundukkan kepalanya dan mengeluh. Katanya, “Mungkin dia memang lebih hebat daripada aku.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau hanya lebih buruk daripada dia dalam satu hal saja.”
“Apa itu?” “Demi membunuh, Hing Bu-bing bisa melakukan apa saja, termasuk mengorbankan nyawanya. Kau tidak bisa.”
A Fei terdiam cukup lama, lalu berkata, “Kau memang benar. Aku tidak bisa.”
Kata Li Sun-Hoan, “Kau tidak bisa, karena kau mempunyai perasaan. Ilmu pedangmu mungkin memang keji, namun kau adalah ahli pedang yang penuh perasaan.”
“Jadi…aku tidak mungkin bisa mengalahkan dia?”
Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya. Katanya, “Salah. Kau pasti bisa mengalahkannya.”
A Fei tidak berusaha memotong. Ia hanya mendengarkan.
Lanjut Li Sun-Hoan, “Dengan perasaan, seseorang dapat memiliki hidup. Dengan hidup, seseorang dapat memiliki jiwa, dapat berubah.”
A Fei berpikir lagi. Setelah sekian lama, akhirnya ia mengangguk dan berkata, “Aku mengerti sekarang.”
“Namun ini bukanlah hal yang terpenting.” “Lalu apa lagi?”
“Yang terpenting adalah bahwa kau tidak perlu membunuh dia. Kau tidak boleh membunuh dia” Tanya A Fei bingung, “Mengapa aku tidak perlu membunuh dia?”
“Karena ia sudah mati. Mengapa harus dibunuh lagi?”
“Kau benar. Hatinya sudah mati….jadi tidak perlu dibunuh lagi. Tapi mengapa aku tidak boleh membunuh dia?”
Li Sun-Hoan tidak menjawab. Ia malah balik bertanya, “Tahukah kau mengapa ia melatih tangan kanannya secara diam-diam?”
Tanya A Fei, “Menurutmu karena apa?”
“Menurut pendapatku, karena Siangkoan Kim-hong.”
Kata A Fei, “Ia bertempur secara frontal dengan Liong- hong-siang-goan (Cincin Naga dan Burung Hong) Siangkoan Hui. Ia ingin menemukan cara untuk mengalahkan Liong-hong-siang-goan.”
Sahut Li Sun-Hoan, “Pikiranku juga begitu.”
“Dengan begitu….jika suatu hari perlakuan Siangkoan Kim-hong terhadap dia berubah, Hing Bu-bing sudah mempunyai cara untuk membunuh Siangkoan Kim- hong.”
“Mungkin dia akan gagal, tapi paling tidak ia bisa mencoba.”
A Fei berhenti bicara. Matanya menjadi lebih santai. Sepertinya ia sedang berusaha menyembunyikan sesuatu.
Kata Li Sun-Hoan, “Alasan mengapa Liong-hong-siang- goan milik Siangkoan Kim-hong berada di urutan kedua dalam Kitab Persenjataan, bukanlah karena senjata itu sangat mematikan atau penuh tipu daya, namun karena senjata itu sangat pasti.”
“Pasti?”
“Ia telah berhasil melatih senjata yang paling berbahaya di dunia sampai pada taraf ‘pasti’. Itulah yang membuat Siangkoan Kim-hong berada di atas yang lain.
Kemampuan Siangkoan Hui masih jauh di bawah ayahnya.”
“Benarkah?”
“Siangkoan Hui benci sekali pada Hing Bu-bing, terutama karena Siangkoan Hui menganggap bahwa ayahnya tidak mengajarkan kepadanya ilmu-ilmu rahasia tingkat yang tertinggi. Ia malahan mengajarkannya kepada Hing Bu- bing.”
A Fei merenung.
Lanjut Li Sun-Hoan, “Jika Siangkoan Kim-hong tidak menggunakan jurus ‘Naga Terbang Menari Mengelilingi Burung Hong Di Udara’, kemungkinan besar Hing Bu-bing tidak akan dapat membunuhnya.”
“Mungkin benar.” “Namun Siangkoan Kim-hong mungkin akan menggunakannya, karena ia tahu bahwa lengan kiri Hing Bu-bing sudah patah, jadi ia tidak perlu terlalu waspada. Oleh sebab itu, Hing Bu-bing masih punya kesempatan untuk bisa membunuhnya.”
A Fei seperti baru saja terjaga dari mimpi. Ia tiba-tiba berseru, “Tapi apapun yang terjadi Siangkoan Kim-hong adalah ayah Hing Bu-bing!”
Sahut Li Sun-Hoan, “Tidak mungkin.” “Tapi kata Siangkoan Hui….”
Li Sun-Hoan memotongnya, “Itu hanya terkaan Siangkoan Hui. Terkaan yang salah.”
“Kalau begitu, mengapa ia mengatakan semua itu? Apakah dia bohong?”
“Ia memang tidak bohong. Ia hanya keliru menafsirkan hal-hal yang terjadi.”
“Keliru?”
Kata Li Sun-Hoan, “Ia bilang bahwa setelah kedatangan Hing Bu-bing, ayahnya seperti menjauhi dirinya. Ini memang benar. Tapi dia tidak menyadari bahwa ayahnya melakukan ini karena mencintainya.”
Tanya A Fei, “Bagaimana mungkin ayahnya menjauhi dia karena mencintainya?” “Karena Siangkoan Kim-hong memang bermaksud untuk membuat Hing Bu-bing sebagai mesin pembunuhnya.
Bisa dikatakan bahwa hidup Hing Bu-bing berakhir di tangan Siangkoan Kim-hong.”
A Fei berpikir sejenak. Lalu katanya, “Kau benar. Jika seseorang hanya hidup untuk membunuh, hidupnya pasti sangat menderita.”
“Itulah sebabnya Hing Bu-bing sudah mati saat ia bertemu Siangkoan Kim-hong.”
Lanjut Li Sun-Hoan lagi, “Namun Siangkoan Kim-hong juga adalah seorang manusia. Manusia mencintai anaknya sendiri dan tidak akan membiarkan anaknya mengalami siksaan semacam itu. Oleh sebab itulah, Siangkoan Kim-hong tidak mengajarkan ilmu silat yang tertinggi kepada Siangkoan Hui.”
Ia tertawa dan menambahkan, “Sayangnya Siangkoan Hui tidak pernah mengerti maksud ayahnya yang sesungguhnya.”
Kata A Fei tiba-tiba, “Kalau begitu, sebenarnya Siangkoan Hui pun mati di tangan ayahnya juga.”
Kata Li Sun-Hoan, “Jika seseorang menginginkan terlalu banyak, ia pasti akan membuat banyak kesalahan…..”