Si Pisau Terbang Li Bab 51 : Peristiwa Aneh

  
Bab 51. Peristiwa Aneh

Kabut mulai menipis.

Hing Bu-bing masih berdiri tegak di tempat yang sama. Matanya yang kelabu dan mati tertuju pada embun yang menetes di salah satu sisi topinya.

Ia seperti tidak melihat Siangkoan Kim-hong yang berjalan keluar hutan sendirian.

Siangkoan Kim-hong pun tidak memandangnya. Ia berjalan terus melewati Hing Bu-bing dan berkata dengan ringan, “Ada kabut hari ini. Pasti hari baik.”

Hing Bu-bing terlihat ragu-ragu sesaat, lalu berkata, “Ada kabut hari ini. Pasti hari baik.”

Ia memutar badannya dan berjalan seirama di belakang Siangkoan Kim-hong. Seorang di muka, seorang di belakang. Keduanya lenyap ditelan kabut.

***

Jalanan sangat ramai, hampir seramai Jembatan Langit di Ibukota. Banyak macam barang yang bisa dibeli di sini. Hari belum lagi siang, namun para pedagang sudah mulai mendirikan tenda-tenda di tepi jalan. Macam-macam makanan, macam-macam orang menari dan menyanyi, macam-macam pembeli.

Perasaan Ling Ling meluap-luap melihat pemandangan yang meriah ini. Ia belum pernah merasa bahagia seperti ini.

Dia memang masih anak-anak.

Ia tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengajaknya ke tempat seperti ini.

Ada kepolosan anak-anak dalam hati kecilnya.

Melihat Li Sun-Hoan memegang gulali, Ling Ling ingin tertawa terbahak-bahak.

Mereka membeli beberapa tusuk gulali. Gulali yang berwarna merah cerah, seperti batu mirah besar yang berkilauan.

Semua anak gadis pasti suka perhiasaan. Ling Ling ingin membeli semua gulali itu. Sayangnya ia hanya punya dua tangan, dan tidak mungkin bisa membawa semuanya.

Seorang gadis tidak pernah merasa membeli terlalu banyak.

Li Sun-Hoan harus membantu membawakan sebagian. Sebenarnya, Li Sun-Hoan pun pernah membeli gulali. Tapi sudah lama sekali. Waktu itu, ia belum paham apa artinya duka lara, artinya kekuatiran.

Namun sekarang?

Yang pasti ia sedang menguatirkan sesuatu. Ia menatap seseorang. Ia sudah menatap orang itu sejak lama.

Orang itu berjalan di depannya. Ia mengenakan jubah yang kotor dan sepasang sandal jerami. Di atas kepalanya bertengger sebuah topi jerami yang besar. Orang ini terus menunduk, seolah-olah ia tidak ingin melihat atau dilihat orang.

Ia berjalan seperti orang bungkuk. Namun terlihat bahunya yang bidang. Kalau ia berdiri tegak, pasti ia akan kelihatan gagah.

Tapi orang ini tidak kelihatan luar biasa. Paling-paling ia hanya pesilat rendahan. Atau bahkan mungkin hanya seorang pengemis biasa.

Namun Li Sun-Hoan tertarik padanya sejak pertama kali melihatnya.

Ke manapun ia pergi, Li Sun-Hoan mengikutinya. Oleh sebab itulah kini mereka ada di jalanan itu.

Anehnya, bukan hanya Li Sun-Hoan yang menguntitnya. Sebetulnya Li Sun-Hoan berencana untuk menghampiri dan melihat wajahnya. Tapi tiba-tiba ia melihat ada orang lain yang menguntit pengemis itu.

Orang itu sangat kurus, sangat jangkung dan mempunyai langkah yang sangat ringan. Walaupun pakaiannya sederhana, mata orang itu bersinar terang, penuh dengan semangat dan tenaga.

Li Sun-Hoan tahu orang ini pasti bukan orang sembarangan.

Akan tetapi, orang itu tidak memperhatikan Li Sun-Hoan. Pandangannya hanya tertuju pada si pengemis. Ketika si pengemis mempercepat langkahnya, ia pun berjalan lebih cepat. Waktu si pengemis berjalan pelan-pelan, ia pun berjalan pelan-pelan. Waktu si pengemis berhenti, ia pun berhenti dan pura-pura merapikan bajunya atau mengikat sepatunya. Namun matanya tidak pernah lepas dari pengemis itu.

Orang ini memang mata-mata yang hebat.

Tapi mengapa ia memata-matai seorang pengemis?

Apa tujuannya? Apa hubungan orang ini dengan si pengemis?

Si pengemis sepertinya tidak tahu bahwa ia sedang dikuntit. Ia terus berjalan perlahan-lahan, tidak pernah menoleh ke belakang. Jika seseorang memberinya uang, ia menerimanya dengan sopan. Namun ia tidak pernah berusaha minta uang.

Mata Ling Ling berputar terus. Tiba-tiba ditariknya lengan baju Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah kita mengikuti pengemis itu?”

Gadis ini memang sangat pandai.

Li Sun-Hoan mengangguk dan berbisik padanya, “Oleh sebab itu kita harus bicara pelan-pelan.”

“Siapakah dia? Mengapa kita membuntutinya?” “Itu bukan urusanmu.”
Katan Ling Ling, “Itu sebabnya aku bertanya. Kalau kau tidak mau menjawab, aku akan bertanya keras-keras.”

Li Sun-Hoan mendesah, katanya, “Ia seperti teman lamaku.”

Ling Ling tampak terkejut. Katanya, “Teman lamamu? Apakah ia anggota Partai Pengemis?”

“Tidak.”

“Lalu siapakah dia?”

Wajah Li Sun-Hoan tampak kesal. “Walaupun kuberi tahu namanya, kau pasti tidak kenal.” Ling Ling terdiam sejenak, lalu tiba-tiba bertanya, “Ada orang lain yang membuntuti pengemis itu juga. Apakah kau melihatnya?”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Pandanganmu cukup cermat juga.”

Ling Ling pun terkekeh dan bertanya lagi, “Siapakah orang itu? Apakah ia temanmu juga?”

“Bukan.”

“O ya? Jadi apakah ia adalah musuh temanmu itu?” Jawab Li Sun-Hoan, “Mungkin….”
Tanya Ling Ling, “Lalu mengapa kau tidak memperingatkan temanmu itu?”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Temanku itu agak aneh tabiatnya. Ia tidak suka orang lain membantunya.”

“Tapi….”

Ling Ling tidak menyelesaikan kalimatnya.

Ia sudah sibuk memperhatikan sesuatu yang lain. Memandangnya dengan serius.

Jalan itu cukup panjang. Mereka baru berjalan separuh saja.

Si pengemis berjalan melewati tukang pangsit. Di dekatnya ada seorang penjual arak pikulan. Beberapa pembeli sedang minum dekat si penjual arak. Ada juga seorang peramal buta, wajahnya agak pucat.

Di seberang jalan berdiri seorang bertubuh kekar berjubah hijau.

Seorang penjual tahu pikulan membawa dua keranjang tahu yang bau lewat di dekatnya.

Terlihat pula seorang wanita yang sangat jangkung. Ia sedang melihat-lihat alat-alat rias dan keperluan menjahit. Tapi pada saat itu ia mengangkat wajahnya. Satu matanya sudah buta.

Ketika si pengemis berjalan mendekat….

Tiba-tiba si penjual arak menurunkan pikulannya. Si peramal buta menaruh cawan araknya.
Si lelaki kekar berjubah hijau berjalan keluar.

Si wanita bermata satu memutar badannya dengan cepat, hampir saja membuat alat-alat rias di sampingnya jatuh berantakan.

Selain orang kurus jangkung yang sejak tadi menguntitnya, orang-orang ini mengelilingi si pengemis.

Si penjual tahu tiba-tiba berjalan ke depan si pengemis, menghalangi langkahnya. Ada banyak orang lain di jalan itu. Namun orang-orang ini terlihat sangat menonjol. Bahkan Ling Ling pun merasa ada sesuatu yang ganjil. Wajah Li Sun-Hoan menjadi gelap. Ia sudah mengira sejak tadi bahwa si pengemis adalah Thi Toan-kah. Kini ia tidak ragu-ragu lagi.

Ia harus bersikap ekstra hati-hati.

Ia tahu orang-orang ini mempunyai dendam kesumat terhadap Thi Toan-kah. Mereka pasti telah merencanakan perangkap ini matang-matang. Tidak memberi jalan sedikit pun bagi Thi Toan-kah untuk lolos. Jika mereka tahu ada orang yang bermaksud menolong Thi Toan-kah, mereka pasti akan membunuh orang itu seketika.

Walaupun itu berarti mengorbankan nyawanya, Li Sun- Hoan tidak akan membiarkan Thi Toan-kah disakiti orang. Ia tidak berhutang pada banyak orang di dunia ini. Tapi Thi Toan-kah adalah salah satunya.

Li Sun-Hoan tidak bisa kehilangan sahabat seperti dia. Saat itu, orang-orang ini telah mengepung si pengemis.
Sekejap saja, tiga pisau yang sangat tajam telah mengancam tubuh si pengemis. Orang-orang lain di jalan itu segera menyadari apa yang terjadi, dan cepat-cepat berlalu.

Tidak ada seorang pun yang ingin terlibat peristiwa macam ini. Terdengar si peramal buta berkata dingin, “Ayo ikut dengan kami. Jangan bicara apapun juga. Mengerti?”

Si lelaki kekar berjubah hijau pun berkata, “Ikuti perintah kami, dan kau akan hidup sedikit lebih lama. Jika kau berbuat nekad, kau pasti akan mati seketika.”

Reaksi si pengemis sangat lamban. Setelah beberapa lama, barulah ia mengangguk.

Si wanita bermata satu mendorongnya dari belakang. Katanya, “Ayo jalan. Apa lagi yang kau tunggu?”

Karena dorongannya, topi jerami itu jatuh, dan terlihatlah wajah pengemis itu.

Wajahnya tampak kuning, seperti baru saja sembuh dari sakit parah. Hidungnya bengkok dan bersemu merah.
Mulutnya melebar, tersenyum tidak mengerti.

Apakah orang ini adalah Thi Toan-kah? Tentu saja bukan. Ia tampak seperti orang terbelakang.

Li Sun-Hoan ingin tertawa.

Si wanita bermata satu menjadi sangat marah. Serunya tidak sabar, “Gosuheng. Bagaimana ini bisa terjadi?”

Wajah si kurus jangkung pucat pasi. Katanya, “Tapi…..aku tadi yakin bahwa orang ini adalah Thi Toan- kah. Aku tidak pernah melepaskan pandanganku dari dirinya. Bagaimana mungkin….bisa jadi begini?” Si lelaki kekar berjubah hijau menampar wajah pengemis itu dan membentak, “Siapa kamu?”

Si pengemis masih tersenyum seperti orang bodoh. Katanya, “Aku ya aku. Kamu ya kamu. Mengapa kau memukul aku?”

Kata si penjual arak, “Mungkin dia adalah Thi Toan-kah yang sedang menyamar. Mari kucoba menanggalkan topengnya.”

Si peramal buta segera berkata, “Tidak perlu. Orang ini bukan Thi Toan-kah.”

Hanya wajah si buta saja yang tetap tenang dan dingin.

Si lelaki kekar bertanya, “Jisuheng, apakah kau mengenali suaranya?”

Sahut si buta, “Thi Toan-kah lebih baik mati daripada ditampar olehmu.”

Kata si kurus jangkung, “Orang ini pasti bersekongkol dengan Thi Toan-kah. Entah bagaimana, mereka pasti bertukar tempat, sehingga Thi Toan-kah bisa lolos.”

Si wanita bermata satu menjerit dengan marah, “Bagaimana kau dapat membiarkannya lolos begitu saja?”

Si kurus jangkung menundukkan kepalanya. Katanya, “Mungkin….waktu ia pergi ke kamar kecil. Tapi aku kan tidak bisa….” Si lelaki kekar berjubah hijau membentak si pengemis lagi, “Jadi kau bersekongkol dengan Thi Toan-kah ya. Akan kubunuh kau!”

Ia mengangkat pikulannya hendak menghajar si pengemis.

Saat itu, mau tidak mau Li Sun-Hoan harus campur tangan.

Pengemis itu mungkin memang terbelakang, mungkin juga tidak. Ia mungkin bersekongkol dengan Thi Toan- kah, mungkin juga tidak. Tapi paling tidak ia telah membantu Thi Toan-kah. Maka Li Sun-Hoan tidak bisa membiarkan dia mati begitu saja.

Lagi pula, Li Sun-Hoan ingin menanyakan tentang Thi Toan-kah kepada orang ini.

Tubuh Li Sun-Hoan menerjang ke depan.

Namun segera ia berhenti. Gerakan maju dan berhenti ini berlangsung sekedip mata saja. Tidak ada yang tahu bahwa ia sudah bergerak.

Kini ia tidak perlu lagi campur tangan.

Terdengar suara berderak dan pikulan si lelaki kekar berjubah hijau itu patah menjadi dua. Ia pun kehilangan keseimbangannya dan hampir terjungkal. Tidak ada seorang pun yang tahu bagaimana pikulan itu bisa patah. Wajah semua orang langsung tegang. Mereka sama-sama berteriak, “Siapa yang berani ikut campur?”

Seseorang yang berdiri di samping sebuah toko menjawab dengan tenang, “Aku.”

Semua orang menoleh le arah orang itu. Ia mengenakan jubah putih bagai pualam. Tangannya berada di balik punggungnya. Ia sedang melihat-lihat sangkar burung di depan toko itu.

Burung di sangkar itu berkicau riang.

Si jubah putih seakan-akan menganggap burung itu jauh lebih menarik daripada manusia. Ia tidak melirik sedikit pun pada orang-orang ini.

Di sudut matanya terlihat kerut-kerut kecil. Namun dengan alis yang lebat dan wajah yang putih bersih, laki- laki ini terlihat sangat gagah. Tidak seorang pun bisa menebak berapa usianya.

Si lelaki kekar berjubah hijau bertanya garang, “Jadi kau yang mematahkan pikulanku?”

Kali ini si jubah putih tidak menggubrisnya sama sekali.

Si lelaki kekar dan si wanita bermata satu menjadi sangat berang. Mereka ingin segera menghajar laki-laki ini.

Tiba-tiba si peramal buta berkata, “Berhenti.” Ia memungut kepingan perak dari tanah dan berkata dingin, “Walaupun tuan ini mematahkan pikulanmu, kepingan peraknya dapat membeli beratus-ratus pikulan yang baru. Kau seharusnya berterima kasih akan kebaikan hatinya, bukan malah marah-marah.”

Si lelaki kekar berjubah hijau melihat pada pikulan yang patah di tangannya, kemudian pada kepingan perak di tangan si buta. Ia tidak bisa percaya bahwa kepingan perak kecil itulah yang sudah mematahkan pikulannya.

Si jubah putih tiba-tiba tertawa. Katanya, “Baik. Kelihatannya kau lebih bijaksana daripada orang-orang yang bisa melihat. Kau boleh simpan perak itu.”

Si peramal buta menyahut dingin, “Mataku memang buta, tapi hatiku tidak. Aku tidak mengambil apa yang bukan hakku.”

Ia mengelus kepingan perak di tangannya dan melanjutkan, “Satu uang perak cukup untuk membeli satu pikulan baru. Kepingan perak ini paling tidak berharga 10 tail. Kau tidak perlu mengganti begini banyak.”

Sambil berbicara, ia menggosok-gosok kepingan perak itu menjadi batang kecil. Lalu dengan sentilan tangan kirinya, sebagian kecil batang itu putus. Kata si peramal buta, “Terima kasih untuk uang perak ini. Silakan kau ambil kembaliannya.”

Tangannya melambai dan sejalur perak terlihat mengalir di udara. Batang perak kecil itu melesat ke arah si jubah putih. Sambitan itu mengandung teknik ‘Seni Pedang Kebajikan Ganda’ dari Bu-tong-pay.

Sejalur cahaya perak itu terarah pada lima Hiat-to (jalan darah) utama di dada si jubah putih.

Ketika batang perak itu sampai dekat dada si jubah putih, tiba-tiba ia menjepit batang perak itu dengan tangan kanannya. Lalu dua jari yang memegang batang perak itu dengan lambat mengatup dan memotong batang perak itu.

Kata si jubah putih, “Jurus pedangmu cukup bagus juga. Tapi sayang agak terlalu lambat.”

Sambil mengucapkan tiap kata, dipotong-potongnya batang perak itu dengan jarinya. Ketika selesai bicara, 12 potongan perak telah jatuh ke tanah.

Ling Ling memperhatikan semuanya dari kejauhan. Ia ternganga melihatnya dan berkata, “Apakah tangan orang itu terbuat darah dan daging?”

Melihat potongan perak di tangan si buta, wajah semua orang menjadi kelabu. Semuanya terdiam.

Si jubah putih berkata dingin, “Sekali kulemparkan keping perak itu, itu sudah menjadi milikmu. Mengapa tak kau ambil?”

Si peramal buta tiba-tiba membungkuk dan memunguti potongan-potongan perak itu. Tanpa bicara ia memutar badan dan pergi. Semua orang yang lain pun pergi mengikutinya.

Ling Ling tersenyum dan berkata, “Paling tidak mereka tahu kapan harus pergi.”

Li Sun-Hoan masih muram. Tiba-tiba ia berkata, “Kau lihatkah toko pangsit itu?”

Jawab Ling Ling, “Tentu saja. Sudah sejak tadi aku ingin mencoba pangsit di situ.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Tunggu aku di situ.”

Ling Ling tampak ragu-ragu, lalu bekata, “Apakah kau masih ingin mengejar si pengemis itu?”

Si pengemis sudah mulai berjalan lagi. Ia tidak berterima kasih pada si jubah putih, juga tidak memandang siapa pun juga.

Seolah-olah tidak ada yang baru saja terjadi.

Li Sun-Hoan mengangguk dan menjawab, “Aku perlu menanyakan sesuatu padanya.”

Ling Ling menundukkan kepalanya dan bertanya pelan, “Aku tidak boleh ikut?”

Jawab Li Sun-Hoan singkat, “Tidak.”

Air mata Ling Ling sudah hampir menetes. Katanya, “Aku tahu apa yang kau perbuat. Kau bermaksud meninggalkan aku di sini.” Li Sun-Hoan mengeluh dan berusaha berbicara dengan lembut, “Aku juga ingin mencicipi pangsit di situ.
Masakan aku tidak kembali?”

“Baik. Aku percaya padamu. Jika kau berbohong, aku akan menunggumu di sini selama-lamanya.”

Si pengemis tidak berjalan cepat.

Li Sun-Hoan pun tidak terburu-buru mengejarnya. Ada begitu banyak orang di jalan itu.

Di tengah-tengah keramaian tidak leluasa bercakap- cakap. Lagi pula, ia merasa bahwa si jubah putih pun sudah mengawasinya. Seolah-olah kini ia lebih menarik daripada burung-burung itu.

Li Sun-Hoan juga ingin berjumpa dengan si jubah putih. Gayanya memotong batang perak dengan jarinya sangat menarik hati Li Sun-Hoan.

Tidak banyak orang memiliki kemampuan seperti ini.

Sebenarnya, belum pernah Li Sun-Hoan menjumpai seseorang dengan kekuatan jari seperti itu. Deskripsi Ling Ling memang sangat tepat.

Tangan orang itu memang tidak terlihat seperti darah dan daging.

Setiap pesilat tangguh yang menemui orang seperti dia, pasti ingin melakukan dua hal. Menantang dia berduel, atau minum bersama dengannya. Di hari-hari lain, Li Sun-Hoan pun tidak akan berbeda.

Tapi hari ini tidak. Ia telah berusaha mencari Thi Toan- kah sekian lama. Ia tidak dapat melepaskan kesempatan ini.

Si jubah putih berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Seolah-olah ingin menghalangi jalannya.

Untungnya, kerumunan orang segera mengerubungi si jubah putih. Mereka ingin melihat orang yang luar biasa ini. Li Sun-Hoan menggunakan kesempatan itu untuk menyelinap pergi.

Ketika ia melihat ke depan, si pengemis sudah sampai di ujung jalan dan berbelok ke kiri.

Jalan ini jauh lebih sepi. Dan jauh lebih pendek.

Li Sun-Hoan segera pergi ke sana, namun si pengemis sudah tidak tampak lagi. Li Sun-Hoan terus menyusuri jalanan di depan jalan pendek itu. Tetap tidak ada seorang pun yang kelihatan.

Ke mana perginya si pengemis itu?

Li Sun-Hoan memperlambat langkahnya dan mulai mencari dengan seksama.

Jalan itu adalah jalan belakang rumah-rumah orang. Seorang laki-laki duduk dekat sebuah pintu. Ia sedang menggosok-gosok sesuatu di dadanya. Sebelum ia melihat wajah orang itu, ia melihat topi jerami itu.

Jadi si pengemis pergi ke situ. Apa yang sedang dilakukannya?
Li Sun-Hoan tidak ingin si pengemis menjadi takut. Ia berjalan perlahan-lahan.

Namun si pengemis masih ketakutan juga. Ia segera berusaha menyembunyikan barang di tangannya.

Sayangnya, mata Li Sun-Hoan jauh lebih cepat daripada tangan si pengemis. Ia melihat bahwa si pengemis memegang sepotong perak. Satu potongan yang dipotong oleh si jubah putih.

Li Sun-Hoan tersenyum dan bertanya, “Bolehkah kutahu nama sahabat ini?”

Si pengemis menatapnya lama. Lalu ia menjawab, “Aku bukan sahabatmu. Kau bukan sahabatku. Aku tidak mengenalmu. Kau tidak mengenalku.”

Li Sun-Hoan masih tersenyum. Katanya, “Aku ingin bertanya padamu tentang seseorang. Aku tahu kau pasti mengenalnya.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar