Si Pisau Terbang Li Bab 50 : Perangkap Kelembutan

 
Bab 50. Perangkap Kelembutan

Cia Thian-leng adalah ketua aliran Tiam-jong-pay. Ia dijuluki Si Pedang Pertama Langit Selatan. Ia tidak pernah menemukan lawan setanding dalam hidupnya, kecuali tiga kali dikalahkan oleh Kwe ko-yang. Tiga- tiganya, ia kalah telak.

Jika seseorang mampu membunuh Kwe ko-yang, sudah pasti ia lebih baik daripada Cia Thian-leng. Murid Cia Thian-leng bukanlah lawannya.

Wajah si pemuda berjubah biru menjadi muram.

Setiap orang bisa merasakan bahwa Hing Bu-bing bukanlah seseorang yang gemar menyombongkan diri.

Kata Hing Bu-bing, “Aku bisa membunuhmu dalam satu jurus. Kau percaya?”

Si pemuda berjubah biru hanya menggigit bibirnya. Ia tidak menyahut. Terlihat sebilah pedang berkelebat. Pedang Hing Bu-bing yang muncul entah dari mana.

Ujung pedang yang dingin itu berada tepat di depan leher si pemuda.

Kata Hing Bu-bing sekali lagi, “Aku bisa membunuhmu dalam satu jurus. Kau percaya?”

Keringat membasahi wajah si pemuda berjubah biru. Ia menggigit bibir kuat-kuat sampai berdarah. Lalu ia berteriak, “Bunuh saja aku!”

“Kau ingin mati?”

“Seorang pria sejati tidak takut mati. Silakan saja bunuh aku!”

Tanya Hing Bu-bing, “Jika aku tidak ingin membunuhku, apakah kau masih ingin mati?”

Si pemuda berjubah biru terhenyak.

Kalau tidak harus mati, siapakah yang ingin mati?

Kata Hing Bu-bing, “Aku tahu kau ingin mati demi wanita itu. Supaya ia berpikir bahwa kau adalah pahlawan penyelamatnya. Tapi jika kau benar-benar mati, apakah ia masih menyukaimu?”

Ia menambahkan dengan dingin, “Jika ia mati, masihkah kau mencintainya?” Si pemuda berjubah biru tidak bisa menjawab.

Ia merasa ujung pedang yang dingin itu menjauh dari lehernya.

Ia merasa seperti seorang tolol.

Kata Hing Bu-bing, “Dalam pandangan seorang wanita, seratus pahlawan yang mati lebih kecil nilainya daripada seorang pengecut yang masih hidup. Sama seperti dalam pandanganmu, seratus wanita cantik yang mati tidak ada harganya dibandingkan dengan seorang wanita yang hidup….. Mengertikah engkau?”

Si pemuda berjubah biru menyeka keringat dari wajahnya. “Aku mengerti.”

Tanya Hing Bu-bing, “Jadi apakah kau masih ingin mati?”

Si pemuda menjawab dengan wajah merah, “Hidup juga bukan hal yang jelek.”

Kata Hing Bu-bing, “Bagus. Akhirnya kau mengerti.”

Lanjutnya lagi, “Biasanya aku tidak suka bicara bertele- tele, namun hari ini aku sudah bicara begitu banyak, hanya supaya kau mengerti akan hal ini….. Sekarang kau sudah mengerti, jadi aku bisa membunuhmu.”

Si pemuda berjubah biru jadi terkejut. “Kau ingin membunuhku?” Sahut Hing Bu-bing, “Aturannya adalah aku hanya bertanya, tidak pernah menjawab. Tapi aku selalu membuat perkecualian bagi orang yang sebentar lagi akan mati.”

“Ta….Tapi kalau kau ingin membunuhku, buat apa kau katakan semua nasihat itu?”

“Karena aku tidak pernah membunuh orang yang ingin mati…. Jika kau memang ingin mati, aku tidak mendapat kepuasan apa-apa waktu membunuhmu.”

Maka si pemuda pun meraung keras dan segera menyerang dengan pedangnya.

Tapi teriakan itu terpotong pendek, karena saat ia mengangkat tangannya, pedang Hing Bu-bing sudah masuk ke dalam mulutnya. Ujungnya yang tajam dan dingin telah menembus lidahnya.

Rasanya asin.

Akhirnya ia merasakan kematian.

Pedang itu masuk kembali ke dalam sarungnya.

Hing Bu-bing punya kebiasaan yang baik. Ia selalu menyimpan pedang di dalam sarungnya setelah digunakannya. Seolah-olah ia tidak akan menggunakannya lagi dalam waktu dekat.

Ia tahu, jika orang melihat pedangnya berada dalam sarungnya, mereka akan menjadi lebih sembrono. Ia suka orang yang sembrono. Mereka biasanya mati lebih cepat.

Selama itu Lim Sian-ji hanya memandanginya, mengawasi setiap gerakannya. Di wajahnya terbayang seulas senyum yang lembut, seperti seorang gadis memandang kekasihnya.

Hing Bu-bing sedikitpun tidak memandangnya.

Lim Sian-ji berdiri dengan gaya menantang, namun Hing Bu-bing masih tetap mengacuhkannya.

Walaupun wajahnya masih tersenyum, Lim Sian-ji mulai merasa gelisah.

Ia merasa ada sesuatu yang tidak beres.

Setiap lelaki yang pernah tidur dengan dia akan berusaha memandangnya setiap ada kesempatan. Namun mata orang ini sengaja menghindarinya seperti menghindari racun.

Sebaliknya, kedua pengangkat tandu itu memandangi Lim Sian-ji sampai mata mereka seolah-olah akan copot sewaktu-waktu. Mereka tidak melihat sinar pedang yang berkelebat.

Tiba-tiba keduanya menjerit, dan pedang Hing Bu-bing telah kembali ke dalam sarungnya.

Kini ia berdiri di depan Lim Sian-ji. Matanya yang dingin dan mati tetap memandang ke kejauhan.

Hanya ada kegelapan pekat di kejauhan.

Lim Sian-ji mendesah, katanya, “Mengapa kau tidak mau memandangku? Apakah kau kuatir bahwa setelah memandangku, kau tidak sanggup membunuhku?”

Otot-otot di sekitar bibir Hing Bu-bing bergerak-gerak. Setelah sekian lama, akhirnya ia berkata, “Kau tahu bahwa aku datang untuk membunuhmu?”

Lim Sian-ji mengangguk dan berkata, “Aku tahu…. Betapapun dinginnya, kejamnya seseorang, kalau ia harus membunuh seseorang yang dicintainya, wajahnya pasti akan berbeda.”

Ia melanjutkan sambil tersenyum, “Aku hanya ingin menanyakan satu hal saja. Karena sebentar lagi aku akan mati, kau pasti mau menjawab, bukan?”

Hing Bu-bing diam saja. Namun akhirnya ia menyahut, “Tanyakan saja. Di depan orang yang sebentar lagi mati, aku tidak pernah berbohong.”

Lim Sian-ji menatap wajah Hing Bu-bing yang kaku dan bertanya, “Aku hanya ingin bertanya, siapakah yang menyuruhmu untuk membunuh aku? Apa alasannya?”

Hing Bu-bing mengepalkan tangannya kuat-kuat, lalu berseru, “Tidak ada yang menyuruh. Tidak ada alasan.” Kata Lim Sian-ji, “Pasti ada orang lain….karena kau pasti tidak ingin membunuhku….”

Lim Sian-ji tertawa dingin. Lalu ia berkata dengan suara pelan, “Aku tahu kau mencintaiku, dan kau tidak akan pernah menyakitiku.”

Hing Bu-bing mengepalkan tangannya makin kuat. Suara tulang yang gemeretak hampir bisa terdengar.

Namun wajahnya tetap kaku. Ia bertanya, “Apakah kau betul-betul tahu? Apakah kau sungguh yakin?”

Sahut Lim Sian-ji, “Ya, aku sungguh yakin. Jika kau tidak mencintaiku, kau tidak akan membunuh orang-orang ini.”

Hing Bu-bing diam saja, memberi kesempatan bagi Lim Sian-ji untuk terus bicara.

Sambung Lim Sian-ji, “Kau membunuh mereka….karena kau cemburu pada mereka.”

Dahi Hing Bu-bing berkerut. “Cemburu?”

Sahut Lim Sian-ji, “Setiap orang yang pernah menyentuhku, bahkan hanya melihatku, kau ingin membunuhnya. Itu namanya cemburu. Jika kau tidak mencintaiku, buat apa cemburu?”

Wajah Hing Bu-bing pucat seperti kertas. Ia berkata dengan dingin, “Aku hanya tahu bahwa aku ingin membunuhmu Dan jika aku ingin membunuh seseorang, orang itu tidak mungkin bisa hidup lebih lama!” Kata Lim Sian-ji, “Jika kau benar-benar ingin membunuhku, mengapa tak kau pandang diriku sama sekali? Kau takut?”

Tangan Hing Bu-bing memegang pedangnya erat-erat. Di bawah sinar bulan yang remang-remang sekalipun, terlihat jelas keringat membasahi wajahnya.

Keringat dingin.

Lim Sian-ji menatap wajahnya lekat-lekat. Perlahan-lahan ia berkata, “Melihatku saja kau tidak sanggup. Jika kau membunuhku, kau pasti akan menyesal.”

Ia mengulurkan tangannya, ingin melihat apa reaksi Hing Bu-bing.

Hing Bu-bing diam tidak bergeming.

Akhirnya, tangan Lim Sian-ji merengkuh tangan Hing Bu- bing. Dan ia segera menghambur ke pelukan lelaki itu.
Katanya, “Jika kau tidak dapat mengambil keputusan, bawalah aku padanya.”

Belaian Lim Sian-ji sangat lembut, dan ia benar-benar tahu kapan harus berhenti.

Nafas Hing Bu-bing memburu. Tampak jelas bahwa ia sangat gelisah. “Si…siapa yang ingin kau temui?”

Sahut Lim Sian-ji, “Orang yang menyuruhmu untuk membunuhku. Aku tahu aku akan dapat mengubah pikirannya….” Ia menggigit telinga lelaki itu dengan mesra. Katanya lagi, “Jangan kuatir, kau tidak akan menyesali keputusanmu ini.”

Hing Bu-bing tetap tidak mau memandangnya. Namun kepalanya menoleh ke arah hutan yang gelap itu.

Lim Sian-ji memutar bola matanya dan berbisik, “Apakah ia ada di dalam hutan?”

Hing Bu-bing tidak menjawab. Ia tidak perlu menjawab.

Lim Sian-ji berkata dengan lembut, “Baiklah, akan kutemui dia sekarang. Jika ia tetap tidak mau melepaskan aku, maka kau boleh membunuhku.”

Setelah Lim Sian-ji memutar badan, barulah Hing Bu-bing berani memandangi punggungnya. Di tengah-tengah tatapannya yang kelabu dan mati, untuk pertama kali terlihat sebersit perasaan.

Perasaan apakah itu? Bahagia? Sedih? Benci? Ia sendiri pun tidak tahu.
Tidak ada cahaya sama sekali dalam hutan itu.

Walaupun Lim Sian-ji berjalan pelan-pelan, ia tiba-tiba hampir menabrak seseorang.

Orang itu hanya berdiri saja di situ, seperti sebuah gunung. Seperti sebuah gunung es. Lim Sian-ji bisa saja menghindarinya, namun ia sengaja menubruknya. Tubuhnya jatuh ke dada orang itu.

Orang itu diam saja, tidak berusaha menahan tubuhnya supaya tidak jatuh.

Lim Sian-ji berusaha mengatur nafasnya dan berusaha mengembalikan keseimbangan tubuhnya. Katanya, “Di sini gelap sekali…. Maafkan aku.”

Jaraknya dari orang itu kira-kira satu kaki. Ia yakin bahwa orang itu dapat mencium wangi nafasnya. Ia sungguh yakin bahwa nafasnya dapat menggetarkan hati lelaki manapun.

Namun orang itu berbicara dengan tenang, “Apakah kau menggunakan cara ini juga supaya Hing Bu-bing tidak membunuhmu?”

Kata Lim Sian-ji, “Oh, engkaukah yang ingin membunuhku? Apakah engkau Siangkoan-pangcu?”

Jawab orang itu, “Ya. Aku juga bisa memberitahukan padamu bahwa cara ini tidak akan berhasil menaklukkan aku.”

Nada suaranya tidak dingin, tidak juga kejam, tapi datar saja, tanpa emosi. Perkataannya seolah-olah sedang dibacakan dari sebuah buku.

Tanya Lim Sian-ji, “Lalu cara apa yang dapat menaklukkanmu?” Jawab Siangkoan Kim-hong, “Jika kau masih punya cara- cara yang lain, silakan dicoba saja.”

Kata Lim Sian-ji, “Aku tahu bahwa kau bukan laki-laki yang mudah dirayu. Tapi mengapa kau menyuruh Hing Bu-bing untuk membunuhku?”

Sahut Siangkoan Kim-hong, “Seorang pembunuh yang terlatih tidak boleh berperasaan. Dan tidak mudah melatih seorang pembunuh yang kejam. Aku tidak ingin ia rusak hanya karena engkau.”

Lim Sian-ji tertawa. Katanya, “Tapi jika engkau membunuhmu, kerugianmu akan lebih besar.”

“O ya?”

“Karena aku lebih berguna daripada Hing Bu-bing.” “O ya?”
Sahut Lim Sian-ji, “Hing Bu-bing hanya tahu bagaimana caranya membunuh. Akupun tahu bagaimana caranya membunuh. Ia harus membunuh menggunakan pedang dan menumpahkan darah. Aku dapat membunuh tanpa senjata, tanpa ada darah.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Tapi ia bisa membunuh lebih cepat daripada engkau.”

“Bukankah kadang-kadang lebih baik membunuh perlahan-lahan?” Siangkoan Kim-hong termenung lama. Akhirnya ia bertanya, “Selain membunuh, apa kehebatanmu yang lain?”

Jawab Lim Sian-ji, “Aku punya banyak uang. Begitu banyak sampai tidak terhitung. Sangat banyak sampai tidak habis dibelanjakan.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Itu memang sangat hebat.”

Perkataannya seolah-olah mengandung senyum, karena ia tahu persis kegunaan uang yang banyak.

Sambung Lim Sian-ji, “Aku juga sangat pandai. Aku bisa membantumu dalam banyak masalah.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Kau benar. Orang bodoh tidak mungkin jadi kaya.”

“Selain itu, aku juga bisa memberikanmu satu hal yang lain….”

Suaranya semakin lembut sampai seperti berbisik saja. Lanjutnya, “Kalau kau laki-laki, kau akan segera tahu.”

Setelah berpikir sejenak, Siangkoan Kim-hong berkata, “Aku laki-laki.”

Kabut menyelimuti seantero hutan itu. Tubuh Hing Bu-bing terlibat oleh kabut itu. Ia berdiri diam tidak bergerak. Seolah-olah tubuhnya adalah sebatang pohon.

Kabut itu sangat tebal. Tidak ada sesuatupun yang terlihat.

Suara apakah itu? Erangan? Atau helaan nafas?

Kata Lim Sian-ji, “Sudah hampir fajar. Aku harus pulang.” Tanya Siangkoan Kim-hong, “Kenapa?”
“Seseorang menungguku.” “Siapa?”
“A Fei. Kau pasti pernah mendengar tentang dia.”

Sahut Siangkoan Kim-hong, “Tak kusangka kau belum membunuhnya. Kau membuang terlalu banyak waktu.”

Kata Lim Sian-ji, “Aku tak bisa membunuhnya. Juga tidak berani.”

“Kenapa?”

“Jika aku membunuhnya, Li Sun-Hoan pasti akan membunuhku.”

Siangkoan Kim-hong terdiam.

Lim Sian-ji menghela nafas. “Aku tahu kau belum membunuh Li Sun-Hoan. Kalau sudah, kau tidak akan menyuruh Hing Bu-bing untuk membunuhku. Kau masih membutuhkan Hing Bu-bing untuk membunuh Li Sun- Hoan, sehingga kau menginginkan dia dalam kondisi prima.”

Siangkoan Kim-hong berpikir lama sebelum menyahut, “Apakah kau benar-benar takut sekali pada Li Sun- Hoan?”

“Aku takut setengah mati padanya.” “Kau lebih takut padanya daripada aku?”
“Ya. Ia lebih parah daripada engkau. Karena aku masih dapat menggerakkan hatimu, tapi aku tidak dapat menyentuh hatinya.”

Ia mendesah dan menambahkan, “Ia tidak menginginkan apapun juga. Itulah yang membuat dia menjadi sangat berbahaya.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Tapi ia kan manusia juga. Ia pasti punya kelemahan.”

Sahut Lim Sian-ji, “Satu-satunya kelemahannya adalah Lim Si-im. Tapi aku tidak dapat menggunakan Lim Si-im untuk mengancamnya.”

“Kenapa?”

“Karena aku tidak yakin bisa berhasil. Setiap kali aku melihat Li Sun-Hoan memegang pisau, kepercayaan diriku melayang entah ke mana.” Ia menghirup nafas panjang dan melanjutkan, “Selama ia masih hidup, aku tidak bisa berbuat apa-apa terhadap A Fei.”

Siangkoan Kim-hong berpikir sekian lama, lalu berkata, “Jangan kuatir. Ia tidak akan hidup lama.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar