Si Pisau Terbang Li Bab 49 : Rencana Tiap-Tiap Orang

 
Bab 49. Rencana Tiap-Tiap Orang

Saat bicara, air mata turun membasahi wajahnya. Ia berkata pelan, “Kau tahu bahwa aku sudah mengembalikan uang yang dulu itu, sesuai dengan perkataanmu. Kau tidak percaya?”

A Fei menghela nafas panjang. Katanya, “Bukan aku tidak percaya. Hanya saja…..akulah yang harus mengurusmu. Aku tidak mau membiarkan kau yang bekerja mencari uang.”

Lim Sian-ji masih menangis sambil menyahut, “Tapi kita sudah saling mencintai. Tidak ada lagi ‘milikku’ atau ‘milikmu’ di antara kita. Bahkan hatiku adalah milikmu. Tidakkah kau tahu?” A Fei memejamkan matanya dan menggenggam tangan Lim Sian-ji erat-erat. Kalau saja ia dapat menggenggam tangan ini selamanya, A Fei tidak akan menginginkan apa-apa lagi.

Akhirnya A Fei jatuh tertidur.

Lim Sian-ji menarik tangannya dari genggaman A Fei.

Lalu ia berjalan ke kamarnya sendiri. Dari balik dadanya, ia mengambil sebuah botol kecil.

Ia menyedu secangkir teh. Lalu diambilnya sedikit bubuk dari botol itu dan meminumnya. Ia tidak pernah lupa minum bubuk itu setiap hari.

Bubuk ini terbuat dari mutiara yang ditumbuk sampai halus. Seorang wanita dapat mempertahankan kecantikannya dengan minum bubuk itu.

Sambil memandang botol di tangannya, Lim Sian-ji terkekeh sendiri.

Jika A Fei tahu berapa harga sebotol kecil bubuk mutiara ini, mungkin ia akan mati berdiri.

Ia tahu bahwa laki-laki begitu mudah dibohongi, terlebih oleh wanita yang dicintainya. Oleh sebab itu ia selalu menganggap bahwa laki-laki itu patut dikasihani, walaupun mereka lucu juga.

Ia belum pernah bertemu dengan seorang laki-laki pun yang tidak bisa diperdaya. Mungkin hanya satu….Li Sun-Hoan.

Setiap kali mengingat Li Sun-Hoan, perasaan Lim Sian-ji jadi jengkel.

Hari ini adalah tanggal lima bulan sepuluh.

Apakah Li Sun-Hoan sudah mati? Mengapa belum ada kabar?

Tiba-tiba terdengar langkah orang dari kejauhan. Dua orang pemuda datang membawa tandu. Mereka berjalan cepat ke arah rumah itu dan berhenti tepat di depan pintu.

Lim Sian-ji pun keluar tanpa suara. Ia mengunci pintu dan naik ke atas tandu. Diturunkannya tirai bambu yang menutupi jendela tandu itu. Tirai itu tidak rapat, sehingga ia bisa melihat ke luar, tapi orang di luar tidak bisa melihat ke dalam.

Tandu itu segera diangkat dan pergi dengan cepat.

Dekat rumah itu ada hutan yang cukup lebat. Dedaunan di sana belum lagi gugur. Di sebelah hutan itu ada sebuah kuil kecil. Di sebelah kanannya ada tanah pemakaman yang gundul.

Tandu itu berhenti di sana. Pemuda yang di depan mengambil lentera dari bawah tandu dan mengangkatnya di atas kepalanya. Pada lentera itu ada gambar bunga Bwe berwarna merah. Setelah lentera itu diangkat, embat sosok bayangan datang dari empat arah. Keempatnya datang ke arah cahaya ini.

Keempat orang ini bergerak sangat cepat, seolah-olah mereka tidak sabar menunggu sesuatu. Tapi waktu mereka tahu ada orang lain yang datang, langkah mereka melambat. Mereka saling pandang dengan pandangan menyelidik, juga dengan rasa permusuhan.

Orang yang datang dari arah hutan adalah seorang laki- laki setengah baya dengan wajah bulat. Ia mengenakan pakaian yang sangat indah, seperti seorang pedagang yang kaya raya.

Gerakannya menunjukkan bahwa ia mempunyai tenaga dalam yang sangat hebat.

Dua orang datang dari arah kuburan. Yang sebelah kanan adalah seorang laki-laki kecil yang bertingkah seperti seorang pencuri yang mengendap-endap. Namun jelas ilmu meringankan tubuhnya tidaklah rendah.

Yang sebelah kiri tidak jangkung tidak pendek, tidak gemuk tidak kurus. Pakaiannya pun biasa saja. Tidak ada yang istimewa dari seluruh penampilannya. Namun ilmu meringankan tubuhnya satu tingkat lebih tinggi daripada orang pendek di sebelahnya.

Orang yang datang dari arah kuil adalah yang paling muda, tapi tampaknya kedudukannya lebih tinggi dari yang lain. Walaupun menggunakan ilmu meringankan tubuhnya, ia tetap membuat langkah-langkahnya berat. Jelas bahwa orang ini memiliki ilmu silat yang paling tinggi di antara keempat orang itu.

Lim Sian-ji sudah tahu bahwa keempat orang ini akan datang. Ia tidak keluar dari tandu. Melongok keluar pun tidak. Ia hanya tersenyum dan berkata, “Kalian berempat sudah menempuh perjalaLam-yang-hu cukup jauh. Maaf tidak ada arak untuk menyambut kalian.”

Ketika mereka mendengar suara Lim Sian-ji, tanpa sadar keempatnya tersenyum. Mereka ingin mengatakan sesuatu, tapi setelah saling pandang, tidak seorang pun mengatakan apa-apa.

Kata Lim Sian-ji, “Aku tahu kalian berempat ingin bicara. Siapa yang akan mulai?”

Orang yang berpenampilan biasa memandang tanpa ekspresi. Kelihatannya ia takut mulai lebih dulu.

Si pemuda berjubah biru mengangkat alisnya. Ia menaruh tangannya di balik punggungnya dan segera memutar badannya. Ia menganggap orang-orang ini tidak sederajat dengannya, oleh sebab itu ia tidak sudi bicara di depan mereka.

Sun-hoan berwajah bulat tersenyum dan berkata kepada lelaki berjubah hitam, “Kau saja yang mulai duluan.”

Kelihatannya si jubah hitam tidak keberatan. Ia langsung maju ke depan tandu itu. Kata Lim Sian-ji sambil tersenyum, “Sejak pertemuan kita dua bulan yang lalu, kelihatannya ilmu meringankan tubuhmu sudah ada kemajuan. Selamat!”

Wajah si jubah hitam yang kelihatan jahat itu berbinar- binar dengan bangga. Katanya, “Terima kasih, Nona.”

Kata Lim Sian-ji, “Aku menyuruhmu melakukan dua hal. Sudah kau bereskan keduanya, bukan?”

Si jubah hitam mengeluarkan segepok uang kertas dari sakunya, dan diserahkannya dengan patuh kepada Lim Sian-ji. Katanya, “Aku sudah berhasil menagih semua hutang itu. Totalnya 9850 tail. Ginbio (uang kertas) ini berasal dari Bank ‘Tong-hok-ho’ di Propinsi Soasay.

Tangan Lim Sian-ji yang putih mulus terjulur dari dalam tandu dan mengambil kertas-kertas itu. Lalu sambil tersenyum ia berkata, “Maaf telah merepotkanmu. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikanmu.”

Si jubah hitam terkesima memandangi tempat tangan Lim Sian-ji keluar tadi. Ia tersadar dan tertawa terpaksa. Katanya, “Oh, tidak perlu berterima kasih. Kalau kau masih mengingatku, itu sudah cukup.”

Tanya Lim Sian-ji, “Bagaimana dengan si tukang cerita Si Tua Sun dan cucu perempuannya? Kau sudah menemukan lokasi mereka, bukan?”

Si jubah hitam menundukkan kepalanya dan berkata, “Aku telah membuntuti mereka. Namun tiba-tiba mereka menghilang begitu saja. Seperti….seperti hilang ditelan bumi.”

Lim Sian-ji diam saja.

Si jubah hitam tersenyum kaku dan berkata, “Gerak-gerik kedua orang ini sangat misterius. Mereka pura-pura tidak tahu ilmu silat, tapi sudah pasti tidak demikian. Jika Nona bersedia memberi sedikit lagi waktu, aku pasti akan menemukan lokasi mereka.”

Lim Sian-ji berpikir sejenak, lalu mendesah dan berkata, “Tidak usahlah. Aku memang sudah tahu kau tidak akan bisa membuntuti mereka. Jadi walaupun kau gagal, aku tidak menyalahkanmu. Sesudah ini, aku ada beberapa tugas lain untukmu.”

Si jubah hitam menghela nafas lega dan segera mundur ke belakang.

Si lelaki berwajah bulat memberi hormat kepada yang lain dan berkata, “Maafkan aku. Maafkan aku.”

Sambil berbicara ia berjalan ke depan tandu Lim Sian-ji.

Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, “Seorang pedagang memang selalu memiliki sopan santun yang tinggi. Kau tampak seperti Loya (tuan besar) saja.”

Orang ini tersenyum cerah dan berkata, “Ah, aku hanya pelayanmu Nona. Tanpa belas kasihan Nona, aku ini bukan apa-apa. Aku sama sekali tidak pantas disebut Loya (tuan besar).” Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, “Pelayan, majikan, apalah bedanya? Bisnisku adalah bisnismu juga. Jika kau terus bekerja dengan giat, tidak lama lagi usaha ini akan jadi milikmu sendiri.”

Wajah si lelaki bersemu merah.

Ia terus-menerus berterima kasih pada Lim Sian-ji, sebelum mengeluarkan setumpuk uang kertas dari sakunya dan menghaturkannya dengan hormat kepada Lim Sian-ji. Katanya, “Ini adalah penghasilan tahun lalu. Semuanya dalam bentuk uang kertas dari Bank ‘Tong- hok-ho” juga.”

Sahut Lim Sian-ji, “Ah, kau sudah bekerja begitu keras. Aku tahu kau memang orang yang sangat jujur dan rajin….”

Sambil berbicara Lim Sian-ji menerima kertas-kertas bank itu dan mulai menghitungnya. Tiba-tiba suaranya berubah bengis. Tanpa sedikit pun kelembutan ia berkata, “Mengapa cuma ada 6000 tail?”

Kata Sun-hoan, “6300 tail.”

Tanya Lim Sian-ji tajam, “Tahun sebelumnya berapa?” “9400 tail.”
“Dan sebelumnya lagi?”

Sun-hoan menyeka peluh yang mulai bercucuran. Jawabnya, “Kurasa….lebih dari 10000 tail.” Lim Sian-ji tersenyum sinis. Katanya, “Kau memang hebat. Kau sanggup membuat usaha itu semakin kecil saja tiap tahunnya. Beberapa tahun lagi kurasa aku bisa menutup saja toko-toko itu.”

Kini seluruh tubuh Sun-hoan basah kuyup oleh keringat. Ia berbicara terbata-bata, “Dua tahun terakhir ini, jubah kain satin tidak lagi digemari. Penghasilan dari kain popLim pun kurang bagus. Tapi aku yakin, tahun depan pasti lebih baik.”

Lim Sian-ji berpikir sejenak, lalu berkata dengan lembut, “Aku tahu kau sudah begitu bersusah-payah dua tahun terakhir ini. Sebaiknya kau kembali ke kampung halamanmu dan beristirahat.”

Wajah Sun-hoan langsung berubah total. “Ta…tapi, toko- toko itu….”

Sahut Lim Sian-ji cepat, “Jangan kuatir, akan kusuruh orang lain untuk mengurusnya.”

Kini wajah Sun-hoan sangat pucat dan penuh kemarahan. Ia mundur selangkah demi selangkah. Lalu tiba-tiba meloncat dan lari masuk ke hutan.

Setelah ia berlari beberapa langkah, terlihat sinar terang berkilat.

Di antara suara jeritan keras, darah mengucur deras ke tanah. Dan tubuhnya pun berdebam jatuh. Sebilah pedang baja berwarna hijau terlihat di tangan si pemuda berjubah biru. Darah menetes dari ujungnya.

Si baju abu-abu memandang pemuda itu sekilas, namun wajahnya tetap kaku. Katanya singkat, “Jurus pedang yang bagus.”

Si pemuda berjubah biru tidak menggubrisnya sedikitpun. Ia lalu membersihkan noda darah dari sol sepatunya.
Lalu diputarnya pedang itu dengan gaya yang indah sebelum dimasukkannya ke dalam sarungnya.

Si baju abu-abu pun tidak berkata apa-apa lagi. Ia berdiri di situ saja.

Ia menunggu sekian lama, sampai ia pasti bahwa si pemuda berjubah biru tidak akan berbicara. Lalu ia maju perlahan-lahan ke depan tandu.

Mungkin Lim Sian-ji tahu bahwa orang ini tidak dapat digerakkan dengan kata-kata manis. Oleh sebab itu ia segera menuju ke pokok pembicaraan. Katanya, “Apakah Liong Siau-hun sudah kembali ke Hin-hun-ceng?”

Si baju abu-abu menjawab, “Ya, sudah hampir dua minggu. Ia kembali bersama Oh Put-kiu, juga bersama dengan seseorang bershe Lu. Kudengar ia adalah saudara tiri Lu Hong-sian. Kelihatannya ilmu silatnya pun cukup tinggi.”

Tanya Lim Sian-ji lagi, “Bagaimana dengan Si Bungkuk Sun?” “Ia masih ada di warung itu. Ia menyembunyikan jati dirinya dengan sangat ketat. Tidak seorang pun tahu apa pun tentang dia.”

Kata Lim Sian-ji, “Namun aku tahu kau pasti dapat mengetahuinya cepat atau lambat. Tidak ada sesuatu pun yang dapat lolos dari pandanganmu.”

Si baju abu-abu tersenyum bangga. “Perkiraanku, si bungkuk itu ada hubungan keluarga dengan tukang cerita Si Tua Sun. Mungkin ia adalah ‘Si Gunung di Punggung, Si Penghancur Gunung’, Jisuheng Sun yang terkenal di masa lalu itu.”

Lim Sian-ji terlihat agak terkejut mendengar hal ini. Setelah berpikir-pikir, ia berkata, “Coba kumpulkan lagi informasi yang lebih banyak. Besok….”

Suaranya terdengar semakin lembut. Si baju abu-abu harus mendekat untuk bisa mendengarnya. Setelah mendengar beberapa kalimat, wajahnya yang selalu terlihat kaku menjadi berbinar-binar. Ketika ia melangkah pergi, langkah-langkahnya pun menjadi lebih ringan dan lebih hidup.

Lim Sian-ji memang sungguh tahu bagaimana menghadapi laki-laki.

Lalu lengan Lim Sian-ji keluar dari tandu itu dan memberi tanda pada si jubah hitam untuk datang mendekat.

Si jubah hitam berdiri di situ seakan-akan terhipnotis. Kata Lim Sian-ji dengan lembut, “Mendekatlah. Aku ingin bicara denganmu. Besok malam…..”

Ia berbisik mesra ke telinga si jubah hitam.

Si jubah hitam tersenyum bahagia sambil mengangguk- angguk. Sahutnya, “Ya…ya….ya… Aku mengerti….. Mana mungkin aku bisa lupa?”

Waktu ia berjalan pergi, seakan-akan tubuhnya bertambah tinggi satu meter.

Setelah orang itu tidak kelihatan lagi, si pemuda berjubah biru berjalan mendekat dan berkata dingin, “Nona Lim.
Kau benar-benar orang sibuk.”

Lim Sian-ji mendesah dan menyahut, “Apa lagi yang dapat kulakukan? Mereka semua tidak seperti engkau. Aku harus berhati-hati terhadap mereka.”

Ia mengulurkan tangannya dan merengkuh tangan pemuda itu. Ia berkata dengan manja, “Apakah kau masih marah?”

Wajah si pemuda tetap garang. “Mmmhh.”

Lim Sian-ji terkekeh geli. “Lihatlah dirimu. Seperti anak kecil saja. Ayo naik ke tandu, akan kuredakan amarahmu.”

Si pemuda berjubah biru masih ingin bersikap garang, namun akhirnya tidak tahan juga untuk tidak tersenyum. Saat itulah terdengar jeritan melengking…. Jeritan itu berasal dari dalam hutan.
Si jubah abu-abu sudah masuk ke dalam hutan, namun saat itu ia melangkah mundur satu-satu. Terlihat jejak darah mengikuti langkah mundurnya.

Si jubah hitam yang baru akan masuk ke dalam hutan jadi berhenti di tempat karena melihat pemandangan itu. Si jubah abu-abu tersungkur di depan kakinya.

Apakah si jubah abu-abu melihat hantu di dalam hutan? Hantu yang bisa membunuh?
Si jubah hitam tercekat. Ia mengambil pisau dari kakinya. Ia menatap ke arah hutan lebat itu, dan berkata dengan terbata-bata, “Siapa di sana?”

Tidak ada suara apapun yang menjawab. Setelah beberapa saat, seseorang keluar dari sana.

Orang ini sangat jangkung. Ia memakai topi bambu yang sangat lebar sampai menutupi seluruh wajahnya. Ia berjalan dengan sangat aneh. Ia pun menempatkan pedangnya di posisi yang tidak biasa. Pedang itu terlibat begitu saja di pinggangnya.

Pedang itu tidak panjang dan tidak bersarung. Wajah orang ini pun tidak menakutkan. Namun ketika si jubah hitam melihatnya, tubuhnya langsung gemetaran. Keringat dingin membasahi tangannya.

Orang itu memancarkan hawa pembunuhan yang sangat kuat.

Hing Bu-bing.

Karena Hing Bu-bing masih hidup, pasti Li Sun-Hoanlah yang mati.

Lim Sian-ji tersenyum menang.

Namun ia hanya tersenyum dalam hatinya. Wajahnya sangat ketakutan. Ia memeluk si pemuda erat-erat, katanya, “Orang itu mengerikan sekali. Tahukah kau siapa dia?”

Si pemuda berjubah biru memaksakan seulas senyum, katanya, “Tidak jadi soal dia itu siapa. Selama aku ada di sini, kau tak perlu merasa takut.”

Kata Lim Sian-ji, “Aku tidak takut. Aku tahu kau akan melindungi aku. Selama aku ada di sampingmu, tidak akan ada yang dapat menyakitiku.”

Si pemuda berjubah biru membusungkan dadanya. “Baik. Siapapun dia, jika dia berani mendekat, akan kucabut nyawanya!”

Sebetulnya ia sangat takut melihat hawa membunuh Hing Bu-bing. Tapi ia masih amat muda dan ia sama sekali tidak ingin terlihat lemah di hadapan wanita yang dicintainya.

Hing Bu-bing berdiri di hadapan si jubah hitam.

Si jubah hitam masih memegang pisaunya. Pisau yang telah menelan begitu banyak korban. Namun saat ini pisau itu tidak dapat menyerang.

Ia menatap mata Hing Bu-bing yang kosong.

Hing Bu-bing sendiri seperti tidak melihatnya. Ia hanya bertanya dingin, “Dapatkah pisau di tanganmu itu membunuh orang?”

Si jubah hitam diam mematung.

Pertanyaan itu terdengar bodoh. Namun karena seseorang menanyakannya, ia harus menjawab. Maka jawabnya, “Tentu saja bisa.”

Kata Hing Bu-bing, “Bagus. Bunuhlah aku.”

Si jubah hitam ragu-ragu sesaat, lalu berkata, “Kita kan bukan musuh. Mengapa aku harus membunuhmu?”

Sahut Hing Bu-bing, “Karena jika kau tidak membunuhku, akulah yang akan membunuhmu.”

Si jubah hitam mundur beberapa langkah. Ia mengertakkan giginya dan tiba-tiba pisau itu teracung ke depan secepat kilat. Saat pisaunya teracung, sebilah pedang pun berkilat di tengah gelapnya malam.

Terdengarlah suara jeritan keras. Hing Bu-bing masih berdiri dengan pedang di pinggangnya, seolah-olah tidak bergerak sedikitpun.

Betapa cepatnya pedang itu!

Si pemuda berjubah biru adalah seorang ahli pedang yang ternama. Ia selalu berpikir bahwa jurus pedangnya sangatlah cepat. Tak pernah terpikir olehnya ada yang lebih cepat lagi.

Sampai saat ini.

Lim Sian-ji melihat urat-urat di wajah pemuda itu menegang. Tiba-tiba dikendurkannya pelukannya dan berkata, “Pedang orang ini sangat terlalu dahsyat.
Kau…kau lari saja. Jangan pedulikan aku.”

Jika si pemuda berjubah biru itu sudah berusia empat puluh atau lima puluh tahun, ia pasti akan segera mengikuti perkataan Lim Sian-ji. Jika seseorang sudah hidup sekian lama, ia pasti tahu bahwa hidup itu jauh lebih berharga daripada wajah yang cantik. Jika ada yang berkata, ‘Hidup itu sangat berharga, namun cinta itu lebih berharga’, orang itu pastilah seorang muda yang masih hijau.

Dan orang seperti itu tidak mungkin hidup sampai lima puluh tahun. Si pemuda berjubah biru mengertakkan giginya dan berteriak, “Jangan kuatir. Akan kubereskan dia!”

Namun tidak ada semangat dalam kata-katanya. Ia pun tidak mulai menyerang.

Kata Lim Sian-ji, “Tidak…kau tidak boleh mati. Kau masih punya orang tua, istri dan anak-anak yang harus kau pikirkan. Larilah selagi masih ada kesempatan. Aku akan manahan dia sedapat mungkin. Aku tidak punya sanak saudara. Tidak ada yang peduli apakah aku hidup atau mati.”

Si pemuda berjubah biru meraung keras dan menerjang ke muka.

Lim Sian-ji pun tersenyum.

Jika seorang wanita menginginkan seorang laki-laki berkorban untuk dirinya, cara yang terbaik adalah dengan mengungkapkan rasa cintanya pada si lelaki. Bahwa ia rela berkorban jiwa raga demi si lelaki.

Lim Sian-ji sudah menggunakan cara ini ratusan kali. Selalu berhasil.

Kali ini, ia bukan hanya tersenyum dalam hati. Di wajahnya pun terlihat senyumnya yang cantik.

Karena ia tahu, inilah terakhir kali si pemuda berjubah biru dapat melihat senyumannya. Pemuda ini bukan hanya mahir ilmu pedang, namun pedangnya pun pedang pusaka.

Sekejap saja ia telah menyerang Hing Bu-bing lima kali. Namun ia tidak berkata apa-apa, karena ia menyadari perkataannya tidak akan berarti apa-apa.

Hing Bu-bing tidak menyerang.

Kelima serangan itu diarahkan ke tempat-tempat yang sangat berbahaya, namun tidak satupun mengenai sasaran.

Tiba-tiba Hing Bu-bing bertanya, “Apakah kau dari aliran Tiam-jong-pay?”

Si pemuda berjubah biru tertegun. Serangannya yang Keenam batal.

Ia tidak menyangka bahwa orang itu dapat mengenali jurus pedang gurunya yang istimewa.

Tanya Hing Bu-bing lagi, “Apa hubunganmu dengan Cia Thian-leng?”

Si pemuda berjubah biru menjawab terbata-bata, “Ia…Ia adalah guruku.”

Kata Hing Bu-bing singkat, “Aku telah membunuh Kwe ko-yang.” Kalimat ini seakan-akan berasal dari antah berantah. Sama sekali tidak berhubungan dengan percakapan mereka.

Namun si pemuda berjubah biru mengerti apa maksudnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar