Si Pisau Terbang Li Bab 40 : Tidak Setia

 
Bab 40. Tidak Setia

Kata A Fei, “Aku sudah hidup damai sejahtera dua tahun ini…. Aku belum pernah merasa sedamai ini. Ia…. Ia begitu baik padaku.”

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Aku gembira mendengarnya. Aku sungguh gembira….” Ia tidak ingin A Fei merasa bahwa senyumnya tidak wajar, jadi sambil berbicara ia memaLingkan wajahnya. Ia memandang ke sekelilingnya dan bertanya, “Di mana pedangmu?”

Jawab A Fei, “Aku sudah tidak menggunakan pedang.” Li Sun-Hoan sungguh terkejut dan bertanya, “Kenapa?”
Sahut A Fei, “Pedang adalah senjata, dan itu hanya akan membangkitkan kenangan lama.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Apakah ia membujukmu untuk melakukan ini?”

Sahut A Fei, “Ia juga bersedia meninggalkan semua  masa lalunya, supaya kami bisa memulai hidup baru kami dengan bersih.”

Li Sun-Hoan mengangguk-angguk. “Baik. Baik. Baik….”

Ia ingin bicara lagi, namun tiba-tiba suara Lim Sian-ji terdengar berseru dari dalam rumah, “Makan siang sudah siap. Mari masuk untuk makan.”

Jenis masakannya tidak banyak, namun semuanya masakan istimewa.

Ia sungguh heran Lim Sian-ji dapat mempersiapkan masakan seperti ini.

Selain makanan, di meja pun ada botol arak. Namun isinya adalah teh. Kata Lim Sian-ji, “Di tempat terpencil seperti ini, kita tidak punya arak. Kami hanya dapat menyiapkan teh untukmu.”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Untungnya, aku bawa arak sendiri….”

Ia mencari-cari ke sekelilingnya, dan akhirnya ditemukannya botol arak yang dibawanya. Ia menuang ke cawannya, lalu berkata pada A Fei, “Mari, kutuangkan secawan untukmu.”

A Fei diam saja.

Tiba-tiba ia berkata, “Aku sudah tidak minum arak lagi.”

Li Sun-Hoan kembali terperanjat dan berkata, “Tidak minum arak lagi? Kenapa?”

Wajah A Fei tampak kaku.

Kata Lim Sian-ji, “Alkohol tidak baik untuk tubuh. Apakah bukan begitu, Li-heng ?”

Li Sun-Hoan berpikir sejenak dan berkata, “Betul sekali. Jika kau terus minum arak, mungkin kau akan jadi seperti aku. Jika aku dapat kembali ke sepuluh atau dua puluh tahun yang lalu, mungkin aku pun tidak akan minum arak.”

A Fei hanya menunduk dan mulai makan. Ia tidak berkonsentrasi pada makanannya. Ia menyumpit sebuah bakso, tapi bakso itu terlepas dan jatuh ke meja.

Kata Lim Sian-ji, “Lihat, kau seperti anak kecil saja. Tidak hati-hati.”

A Fei memungut bakso itu.

Kata Lim Sian-ji lagi, “Kau masih mau makan barang yang sudah jatuh ke meja?”

Ia mengambil bakso yang lain dan menyuapkannya ke mulut A Fei.

Makan malam lebih lezat lagi daripada makan siang.

Li Sun-Hoan tidur di kamar A Fei dan A Fei tidur di ruang duduk.

Lim Sian-ji secara khusus menyiapkan seprai yang baru dan bersih untuk A Fei dan menaruh baju tidur bersih di atas tempat tidurnya.
“Aku suka Fei sayangku ganti baju setiap hari.” Sebelum pergi tidur, ia mengambil air dan mengawasi A
Fei mencuci mukanya. Sesudah itu, ia mengambil handuk
dan menyeka wajah dan telinga A Fei.

Ketika A Fei berbaring untuk tidur, ia memastikan selimut A Fei terpasang rapi menutupi tubuhnya.

“Hari ini agak dingin, jangan sampai kau masuk angin.” Ia melayani A Fei dalam segala hal. Mungkin seorang ibu pun tidak melayani anaknya setelaten ini.

Seharusnya A Fei sangat berbahagia.

Namun Li Sun-Hoan tidak tahu apakah A Fei sebenarnya sedih atau bahagia.

Ia pun tidak tahu apakah keadaan ini lucu atau menyedihkan.

A Fei segera terlelap.

Namun Li Sun-Hoan tidak bisa tidur. Ia tidak pernah pergi tidur seawal ini sejak ia berusia tiga tahun. Ia tidak bisa tidur seawal ini sekalipun jiwanya terancam.

Kamar Lim Sian-ji pun sudah sepi. Sepertinya ia pun sudah tidur.

Li Sun-Hoan mengenakan jubahnya dan keluar dari kamarnya.

Ia ingin berbincang-bincang dengan A Fei.

Namun tidur A Fei sangat pulas. Ia sudah mengguncang- guncang A Fei, namun pemuda itu terus tidur.

Bahkan seekor babi pun tidak mungkin tidur seperti ini, apalagi A Fei yang selalu siaga.

Li Sun-Hoan berdiri memandangi A Fei. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. “Ia selalu pergi tidur awal setiap malam…. Ia tidak pernah pergi keluar sesudah gelap.”

“Tiap malam aku tidur tepat setelah hari mulai gelap, dan tidak pernah terbangun sampai keesokan paginya.”

Li Sun-Hoan ingat bahwa mereka makan sup iga babi malam itu. Masakan itu sangat sedap dan A Fei makan banyak. Lim Sian-ji juga membujuk Li Sun-Hoan makan sup itu banyak-banyak.

Tapi dalam sup itu ada rebung dan Li Sun-Hoan tidak suka rebung. Namun ia bukan jenis orang yang suka menampik kebaikan hati orang.

Jadi ia memberikan supnya pada A Fei sewaktu Lim Sian- ji pergi ke dapur untuk memeriksa makanan.

Ia teringat bahwa waktu Lim Sian-ji kembali, ia tersenyum melihat mangkuk Li Sun-Hoan yang telah kosong.

Obat tidur apa yang ada dalam sup itu?

Ternyata A Fei tidur nyenyak setiap malam karena obat tidur.

Tentunya ia tidak akan tahu apa yang dilakukan Lim Sian-ji di malam hari.

Tapi kenapa Lim Sian-ji tidak menaruh racun dalam makanan itu? Ah, tentu saja karena A Fei masih berguna untuknya.

Li Sun-Hoan menjadi amat berang. Ia memutar badannya dan menggedor pintu kamar Lim Sian-ji kuat- kuat.

Tidak ada jawaban.

Li Sun-Hoan belum pernah menendang pintu kamar orang sebelumnya.

Namun hari ini ia membuat pengecualian.

Tidak ada seorang pun dalam kamar itu. Ke mana perginya Lim Sian-ji?

Li Sun-Hoan merasa, pasti Lim Sian-ji berada di rumah yang ia datangi semalam.

Waktu ia tiba di sana, ia menimbang-nimbang apakah ia sebaiknya menggerebek masuk atau tidak.

Waktu ia masih berpikir-pikir, tiba-tiba pintunya terbuka.

Seseorang keluar dari sana dan seperti Siangkoan Hui, wajahnya berseri-seri bahagia walaupun nampak sedikit lelah.

Cahaya di rumah itu menyinari wajahnya.

Li Sun-Hoan sebenarnya jarang terkejut, namun kali ini hatinya terguncang melihat wajah orang itu. Orang itu adalah Kwe ko-yang!

Terlihat tangan dari dalam menggenggam tangan Kwe ko-yang.

Mereka sepertinya sedang saling membisikkan salam selamat tinggal.

Setelah beberapa saat, akhirnya Kwe ko-yang pun pergi.

Ia berjalan perlahan-lahan dan beberapa kali menoleh ke belakang, seolah-olah belum ingin pergi dari situ.

Namun pintu sudah tertutup.

Apakah ini adalah pintu ke surga atau ke neraka?

Li Sun-Hoan merasa sedih bercampur marah. Ia sedih karena memikirkan A Fei, dan merasa marah untuk A Fei.

Ia belum pernah merasa marah seperti ini seumur hidupnya.

Ia ingin segera muncul dan memberitakan semua sandiwara ini, namun ia tidak melakukannya. Karena Kwe ko-yang adalah sahabatnya, seorang pria sejati.

Ia melihat Kwe ko-yang menatap ke langit dan menghela nafas panjang.

Setelah berjalan beberapa langkah, ia berhenti dan berseru nyaring, “Siapa yang bersembunyi? Tunjukkan dirimu!” Kwe ko-yang memang betul-betul pesilat kelas atas. Kesigapan dan kewaspadaannya jauh di atas Siangkoan Hui.

Di mana pun ia berada, ia tetap berpikir jernih. Namun ia pun tidak menyangka bahwa orang yang sedang bersembunyi di situ adalah Li Sun-Hoan.

Warung arak di kaki gunung itu tidak jauh dari rumah itu. Kedua orang ini tidak bicara banyak dalam perjalanan.
Mereka juga tidak membicarakan hal-hal yang tidak perlu.

Namun beberapa hal harus dibicarakan cepat atau lambat.

Mereka duduk di atas atap warung arak itu dan mulai minum.

Li Sun-Hoan sudah pernah minum arak di berbagai macam tempat, tapi baru kali ini di atas atap. Ia merasa, tempat ini sangat cocok untuk minum arak.

Kini isi guci arak tinggal setengah.

Kwe ko-yang tiba-tiba berkata, “Kau…Kau pasti tahu apa yang kulakukan dalam rumah itu, bukan?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau adalah seorang laki- laki normal.”

Tanya Kwe ko-yang lagi, “Kau pun tahu siapa yang berada dalam rumah itu, bukan?” “Ya.”

Kata Kwe ko-yang, “Aku…..tidak sering datang ke sana.” “O ya?”
“Aku hanya mengunjunginya di saat aku sedang jengkel.” Li Sun-Hoan hanya mengangguk.
Kata Kwe ko-yang lagi, “Aku mengenal banyak wanita, namun ialah yang terbaik.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Tahukah kau orang macam apa wanita itu?”

Kwe ko-yang minum arak seteguk lalu menyahut, “Aku sudah kenal dia cukup lama.”

“Bagaimana ia memperlakukanmu?”

Sahut Kwe ko-yang, “Bagaimana ia memperlakukanku? Wanita macam itu memperlakukan setiap pria sama saja. Ia hanya melihat apakah pria itu berguna untuknya atau tidak.”

“Jadi kau tahu dia hanya memanfaatkanmu?”

“Tentu saja. Tapi aku tidak keberatan, karena aku pun memanfaatkannya. Tidak ada salahnya membayar sedikit untuk kepuasan.” Kata Li Sun-Hoan, “Memang cukup adil. Tapi….apakah kau menyadari bahwa ini dapat menyakiti orang lain?”

“Siapa?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Tentu saja laki-laki yang sungguh mencintainya.”

Kwe ko-yang mengeluh dan berkata, “Kadang-kadang aku sungguh tidak mengerti mengapa wanita selalu menyakiti pria yang paling mencintainya.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin karena wanita hanya dapat menyakiti pria yang mencintainya. Jika pria itu tidak mencintainya, ia tidak akan peduli apa pun yang diperbuat wanita itu.”

Kwe ko-yang tersenyum dan berkata, “Sepertinya kau sungguh mengerti tentang wanita.”

Kata Li Sun-Hoan, “Tidak ada seorang pria pun yang mengerti tentang wanita. Jika seorang pria menyangka ia mengerti, ia akan mendapatkan penderitaan yang berlipat ganda dalam hidupnya.”

Kwe ko-yang terdiam beberapa saat sebelum bertanya, “A Fei sungguh-sungguh mencintainya?”

“Ya.”

Kata Kwe ko-yang, “Aku tahu ia adalah sahabat A Fei dan kau adalah sahabat A Fei.” Li Sun-Hoan diam saja.

Lanjut Kwe ko-yang, “Namun aku bukan sahabat A Fei. Aku bahkan belum pernah bertemu dengan dia.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tidak perlu menjelaskan. Ini bukan kesalahanmu.”

Kwe ko-yang terdiam lagi. Lalu bertanya, “Apakah A Fei masih bersama dengan dia?”

“Ya.”

Li Sun-Hoan mendesah, lalu menambahkan, “Walaupun A Fei mencintainya lebih daripada engkau, hubungan mereka tidak seintim engkau dengan dia.”

Kwe ko-yang terbelalak. “Maksudmu mereka tidak pernah…..”

Li Sun-Hoan tersenyum pahit. “Ia mau melakukannya dengan semua laki-laki, kecuali A Fei.”

“Kenapa?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Karena A Fei menghormatinya dan tidak pernah memaksa. Ia bagaikan seorang dewi bagi A Fei. Lim Sian-ji ingin menjaga kesan ini.”

Lanjutnya, “Namun wanita dilahirkan untuk dicintai, bukan untuk dihormati. Jika seorang pria menghormati wanita yang tidak pantas dihormati, ia hanya akan mendapatkan sakit hati dan penderitaan.” Tanya Kwe ko-yang, “Jadi pria ini, A Fei, sungguh tidak tahu apa yang dilakukan wanita ini?”

“Sama sekali tidak.”

“Mengapa tidak kau beritahukan padanya?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Walaupun aku memberitahu, ia tidak akan percaya. Ketika seorang pria jatuh cinta, telinganya menjadi tuli, matanya menjadi buta. Bahkan seorang pandai akan menjadi bodoh.”

Kata Kwe ko-yang, “Kau ingin aku yang memberitahu padanya?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Ia adalah seorang pemuda yang hebat. Ia pun adalah sahabatku. Aku tidak ingin ia menyia-nyiakan hidupnya demi wanita semacam itu.”

Kwe ko-yang diam saja.

Kata Li Sun-Hoan lagi, “Aku belum pernah minta tolong sebelumnya, namun kini….”

Kwe ko-yang memotongnya cepat, “Tapi….apakah dia akan percaya padaku?”

Kata Li Sun-Hoan, “Setidaknya Lim Sian-ji tidak bisa menyangkal hubungannya denganmu.”

Kwe ko-yang bangkit berdiri dan berkata, “Baik. Aku ikut denganmu.” Li Sun-Hoan menjabat tangannya erat-erat dan berkata, “Terima kasih. Aku yakin kau pun akan bersahabat karib dengan A Fei.”

Kata Kwe ko-yang, “Aku cuma butuh satu sahabat. Aku sudah begitu berterima kasih bisa mendapatkan sahabat seperti engkau.”

***

Rumah kayu itu sudah kosong!

Tilam A Fei masih ada di ruang duduk. Sisa teh semalam pun masih ada di atas meja. Namun sup dalam kuali sudah habis ludes.

Kamar Lim Sian-ji masih sama dengan semalam. Angin berhembus membuat pintu yang dijebol Li Sun-Hoan semalam melambai-lambai.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar