Si Pisau Terbang Li Bab 39 : A Fei

 
Bab 39. A Fei

Bulan masih tergantung di langit malam.

Air terjun di bawah sinar bulan tampak berkilauan bagaikan perak.

Li Sun-Hoan mengikuti aliran air, berjalan perlahan- lahan. Ia tidak ingin sampai di rumah A Fei sebelum fajar, supaya tidak mengganggu tidurnya.

Ia tidak suka mengganggu orang lain.

Namun siapapun boleh mengganggunya, setiap saat. Ia tidak akan marah.

Si nenek tidak mungkin adalah Lim Sian-ji yang menyamar.

Jadi di manakah Lim Sian-ji?

Li Sun-Hoan mengucek-ucek matanya, “Apakah aku sudah gila?”

Akhirnya matahari pun terbit di ufuk timur. Musim gugur sudah hampir berlalu, dan bunga Bwe mulai bermekaran. Jauh di dalam hutan itu terdapat sebuah rumah kayu.

Li Sun-Hoan memandangi hutan itu seperti orang tolol.

Dekat pohon-pohon Bwe itulah sumber mata air sungai itu.

Air itu mengalir dari atas gunung, melewati hutan itu. Pemandangan itu tampak seperti lukisan.

Dalam lukisan itu tampak sosok seseorang.

Li Sun-Hoan tidak dapat melihat wajah orang itu, namun terlihat ia berpakaian rapi. Ia mengenakan jubah baru berwarna hijau dan rambutnya pun tersisir rapi.

Ia memikul ember berisi air dari dalam hutan ke dalam rumah kayu itu.

Bentuk tubuh orang itu serupa dengan A Fei, namun Li Sun-Hoan tidak yakin betul bahwa orang itu adalah A Fei.

Ia segera bergegas menuju rumah itu.

Pintunya terbuka dan di dalamnya tidak ada suatu kemewahan sama sekali. Namun segala sesuatu bersih mengkilap.

Terlihat sebuah meja persegi model lama untuk makan 8 orang. Si pemuda berjubah hijau itu mengambil lap dari embernya dan mulai menggosok meja. Ia menggosok meja itu lebih perlahan dan lebih telaten daripada Si Bungkuk Sun. Seolah-olah ia tidak ingin ada sebutir debu pun yang menempel di situ.

Li Sun-Hoan berjalan menghampirinya dari belakang. Punggung orang itu serupa benar dengan punggung A Fei.

Tapi ia tidak mungkin A Fei.

Li Sun-Hoan sama sekali tidak bisa membayangkan A Fei menggosok meja. Ia hanya ingin bertanya kepada orang ini di manakah A Fei.

Li Sun berdehem, dan berharap orang ini menoleh.

Gerak refleks orang ini sangat lamban, tapi akhirnya ia menoleh juga.

Li Sun-Hoan terhenyak.

Orang yang tidak mungkin A Fei ini ternyata….adalah A Fei.

Wajah A Fei tidak berubah. Matanya masih besar, hidungnya masih lurus. Ia masih terlihat tampan, bahkan lebih tampan dari sebelumnya.

Namun ekspresinya telah berubah. Berubah sama sekali.

Ia telah kehilangan daya tariknya, kegagahannya, kemurungannya. Ia kini tampak lemah, tampak kaku. Ia mungkin terlihat lebih tampan dan lebih resik sekarang, namun karismanya sudah lenyap tak berbekas.

Apakah orang ini betul-betul A Fei?

Li Sun-Hoan tidak bisa terima, sungguh tidak bisa terima bahwa pemuda rapi dengan lap itu adalah A Fei yang dikenalnya!

A Fei juga melihat Li Sun-Hoan.

Sepertinya ia tidak mengharapkan orang yang datang itu adalah Li Sun-Hoan. Mukanya mengejang. Perlahan- lahan ia tersenyum…..untungnya senyumnya belum berubah.

Li Sun-Hoan pun tersenyum.

Walaupun wajahnya tersenyum, hatinya merosot ke bawah.

Mereka hanya saling pandang sambil tersenyum. Tidak ada yang bergerak atau bicara, namun mata mereka mulai basah dan memerah…. Setelah sekian lama, akhirnya A Fei berkata, “Ternyata kau.”

Kata Li Sun-Hoan, “Ya, ini aku.” “Kau akhirnya datang.”
“Ya, akhirnya aku datang.” “Aku tahu kau akan datang.” Mereka berbicara perlahan-lahan dengan suara serak. Sampai di situ, keduanya kembali terdiam.

Namun saat itu, A Fei menghambur ke luar dan Li Sun- Hoan menghambur ke dalam. Kedua orang ini bertemu di tengah, hampir bertabrakan. Mereka berjabat tangan dengan hangat.

Keduanya hampir berhenti bernafas. Lalu Li Sun-Hoan berkata, “Apa kabarmu dua tahun ini?”

A Fei mengangguk-anggukkan kepalanya dan menjawab, “A….Aku baik. Kau bagaimana?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Aku? Ah, sama saja.”

Ia mengambil botol arak dan tersenyum sambil berkata, “Lihat, aku masih saja minum. Bahkan sepertinya batukku sudah habis tersapu oleh arak yang kuminum. Kau….”

Sebelum ia bisa meneruskan, Li Sun-Hoan sudah terbatuk-batuk lagi.

A Fei hanya memandangnya tanpa suara. Setitik air mata mengambang di sudut matanya.

Tiba-tiba terdengar suara, “Hei, mengapa kau tidak persilakan Li-heng duduk? Tidak sopan mengajak tamu mengobrol sambil berdiri.”

Akhirnya Lim Sian-ji muncul. Ia pun sama sekali tidak berubah.

Ia masih tetap begitu muda, begitu cantik. Senyumnya masih sangat menawan, sangat manis. Matanya masih bercahaya bagai bintang di langit.

Ia berdiri di situ menatap Li Sun-Hoan dengan hangat. Lalu ia berkata dengan lembut, “Sudah hampir dua tahun. Mengapa kau tidak datang lebih cepat? Apakah kau sudah lupa akan kami?”

Ia berbicara seakan-akan Li Sun-Hoan sudah tahu lama tentang tempat ini, hanya belum punya waktu untuk berkunjung.

Li Sun-Hoan tersenyum dan menyahut, “Bagaimana aku bisa datang jika kau tidak menyiapkan tandu untuk mengantarku ke sini?”

Lim Sian-ji mengejapkan matanya dan berkata, “Kini kau bicara tentang tandu. Aku jadi ingin naik tandu suatu hari nanti. Hanya ingin tahu bagaimana rasanya.”

Mata Li Sun-Hoan bersinar, tanyanya, “Kau belum pernah naik tandu?”

Lim Sian-ji menunduk dan berbisik, “Bagaimana mungkin orang seperti aku sanggup membayar kemewahan macam itu?”

Kata Li Sun-Hoan, “Namun aku melihat seseorang naik tandu semalam. Orang itu mirip benar denganmu.” Matanya menatap Lim Sian-ji lekat-lekat.

Sedikit pun Lim Sian-ji tidak menunjukkan rasa panik. Ia hanya tersenyum. “Kalau begitu pasti aku ngeLimdur semalam….ya kan?”

Pertanyaan ini ditujukan pada A Fei.

A Fei langsung berkata, “Ia selalu tidur awal setiap malam. Ia tidak pernah keluar setelah hari gelap.”

Li Sun-Hoan merasa hatinya dipeLimtir.

Ia tahu bahwa A Fei tidak akan berbohong padanya. Namun jika Lim Sian-ji memang ada di rumah, siapakah wanita dalam tandu itu?

Lim Sian-ji berjalan ke sisi A Fei dan merapikan jubahnya. Dengan hangat ia bertanya, “Apakah nyenyak tidurmu semalam?”

A Fei hanya mengangguk.

Lim Sian-ji berkata lagi, “Ajaklah Li-heng jalan-jalan sementara aku memasak.”

Lim Sian-ji memandang Li Sun-Hoan dan berkata, “Bunga Bwe sudah mulai bermekaran. Aku tahu bunga Bwe adalah kesukaan Li-heng , bukan?”

***

Cara berjalan A Fei pun sudah berubah. Dulu tubuhnya selalu tegak dan otot-ototnya rileks.

Orang lain menganggap berjalan adalah suatu beban, namun bagi A Fei adalah relaksasi.

Tapi kini tubuhnya tidak lagi tegak. Pikirannya seperti ada pada hal lain yang membuatnya merasa gelisah.

Jadi otot-ototnya pun tidak bisa rileks.

Setelah berjalan beberapa lama, Li Sun-Hoan tetap diam. Ia tidak tahu harus bicara apa.
Ia ingin sekali bertanya pada A Fei, “Mengapa kau datang ke sini? Apakah Lim Sian-ji telah mengubah kebiasaannya? Apa jadinya dengan harta yang dirampoknya?”

Namun satu pertanyaan pun tidak diucapkannya.

Ia tidak ingin membangkitkan kenangan lama A Fei.

Setelah sekian lama, akhirnya A Fei bicara. “Aku minta maaf.”

Li Sun-Hoan mendesah dan berkata, “Kau berpura-pura menjadi Bwe-hoa-cat untuk menyelamatkan aku. Kau bersedia mengorbankan hidupmu demi aku. Mengapa kau minta maaf?”

A Fei tidak menggubris. Ia hanya melanjutkan, “Seharusnya aku berpamitan sebelum pergi.” Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau pasti punya alasannya. Aku tidak menyalahkanmu.”

Kata A Fei, “Aku tahu aku sudah berbuat kesalahan, namun aku sungguh tidak dapat membunuhnya. A…Aku tidak dapat meninggalkannya.”

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Cinta adalah kodrat manusia. Tidak ada yang salah dengan cinta. Mengapa kau menyalahkan dirimu sendiri karena kau jatuh cinta?”

Sahut A Fei, “Ta…..Tapi….”

Tiba-tiba ia menjadi sangat emosional dan berseru, “Tapi aku merasa telah bersalah padamu dan juga pada para korban Bwe-hoa-cat .”

Li Sun-Hoan terdiam sejenak, lalu bertanya dengan curiga, “Tapi ia sudah berubah, bukan?”

Sahut A Fei, “Sebelum kami pergi, ia telah mengembalikan semua hasil rampokannya kepada pemiliknya yang sah.”

Kata Li Sun-Hoan, “Lalu apa lagi yang salah? Tiap orang berhak mendapat kesempatan kedua.”

Li Sun-Hoan tidak ingin melanjutkan topik ini lagi, sehingga ia berkata, “Lihat, bunga Bwe sudah mulai bermekaran.”

Sahut A Fei pendek, “Ya.” Li Sun-Hoan bertanya, “Kau tahu ada berapa banyak bunga di pohon itu?”

“Tujuh belas.”

Maka wajah Li Sun-Hoan pun menjadi murung, sama seperti hatinya.

Dulu ia pun pernah menghitung bunga-bunga Bwe.

Hanya orang yang sangat kesepian yang menghitung bunga-bunga Bwe.

A Fei mengangkat kepalanya dan berkata, “Lihat, ada satu lagi yang mulai mekar. Mengapa mereka mekar begitu cepat? Lebih cepat mereka mekar, lebih cepat mereka mati.”

***

Rumah kayu itu mempunyai lima kamar. Satu ruang duduk, satu gudang, satu dapur dan dua kamar dengan tempat tidur.

Kamar tidur yang besar berdekorasi sangat anggun. Di dalamnya terdapat meja rias yang cukup besar.

Kata A Fei, “Lim Sian-ji tidur di sini.”

Kamar yang kecil juga sangat bersih, namun begitu sederhana.

Kata A Fei, “Ini kamarku.” Li Sun-Hoan terkejut dalam hatinya.

Ia baru tahu bahwa selama dua tahun ini, A Fei dan Lim Sian-ji tidur di kamar yang terpisah. Dan A Fei adalah pemuda normal.

Ia sungguh terkejut, namun ia sangat mengagumi A Fei.

A Fei tersenyum dan berkata, “Kau pasti heran kalau mendengar bahwa aku tidur sangat banyak dalam dua tahun ini.”

“O ya?”

Kata A Fei, “Aku selalu pergi tidur tepat setelah hari mulai gelap, dan tidurku nyenyak sekali sampai keesokan paginya. Aku tidak pernah terjaga sedikit pun di tengah malam.”

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Kalau hidupmu teratur, tidak heran kau bisa tidur nyenyak.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar