Si Pisau Terbang Li Bab 36 : Perasaan yang Aneh

 
Bab 36. Perasaan yang Aneh

Keringat membasahi kening Na Kiat-cu.

Ia terus menerus gemetar sambil berteriak, “Ayo cepat sambitkan pisaumu! Segera bunuhlah aku!”

Kata Li Sun-Hoan, “Karena kau ingin membalaskan dendam In Gok, sudah tentu kau sangat mencintainya. Kini ia telah mati, kau pasti sangat menderita…..”

Ia memandang pisau di tangannya, lalu berkata dengan tenang, “Aku mengerti kesedihanmu. Aku sungguh mengerti…. Aku hanya ingin memberi tahu bahwa rasa sakit di hatimu tidak akan berkurang walaupun kau membunuh orang. Berapa orang pun yang kau bunuh, kesedihan itu akan tetap ada.”

Pisau itu berkilat dan melesat ke depan. Menghunjam dinding tepat di samping Na Kiat-cu. Kata Li Sun-Hoan, “Kau boleh pergi sekarang.” Na Kiat-cu hanya mematung di situ.

Setelah sekian lama, akhirnya ia bertanya, “Kalau begitu, bagaimana aku caranya mengurangi kepedihan hatiku?”

Li Sun-Hoan mendesah, lalu menjawab, “Aku tidak tahu jawabannya. Mungkin….. Mungkin jika kau dapat menemukan penggantinya, itu bisa menolong. Aku berharap kau bisa bertemu dengan orang itu.”

Na Kiat-cu menatapnya. Air mata bergulir satu per satu di pipinya.

Sun Sio-ang juga menatap Li Sun-Hoan.

Ia belum pernah bertemu dengan pria seperti ini dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa ada orang seperti ini. Ia memandangi tubuh Li Sun-Hoan lekat- lekat, berusaha menembus dadanya dan melihat hatinya.

Na Kiat-cu pergi. Ia pergi dengan tangis.

Pikiran Li Sun-Hoan melayang jauh sebelum akhirnya tersenyum. Katanya, “Kau pasti heran kenapa aku tidak membunuhnya.”

Sun Sio-ang diam saja.

Si Bungkuk Sun pun hanya menatap senjata aneh yang tergeletak di lantai. Ia pun diam saja.

Kata Li Sun-Hoan, “Menurutku, jika seseorang masih dapat menangis, artinya orang itu belum pantas mati.” Tiba-tiba Sun Sio-ang tersenyum. Katanya, “Aku tahu kau tidak suka membunuh orang, jadi aku tidak begitu heran waktu kau melepaskannya. Yang ingin aku tahu, kalau kau tidak mabuk, kenapa pura-pura mabuk?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kau kan ahli minum. Kau pasti tahu bahwa pura-pura mabuk lebih menyenangkan daripada benar-benar mabuk. Jika aku benar-benar mabuk, bukan hanya aku tidak akan menikmati acara ini, namun sakit kepala esok harinya pun sangat menyakitkan.”

Sahut Sun Sio-ang, “Mmm, masuk akal juga.”

Kata Li Sun-Hoan, “Tapi orang yang minum arak, suatu saat akan mabuk juga. Jadi kalau kau ingin melihat aku mabuk, akan ada banyak kesempatan di kemudian hari.”

Sun Sio-ang mendesah, lalu berkata, “Tapi aku tahu, karena aku melewatkan kesempatan ini, aku tak akan pernah bisa membuatmu mabuk lagi.”

Kata Li Sun-Hoan, “Sesungguhnya aku…”

Sebelum ia menyelesaikan kalimatnya, ia melihat Si Bungkuk Sun berjalan ke balik meja dan mulai menenggak arak langsung dari guci.

Ia telah minum lebih dari setengah, sebelum Sun Sio-ang berhasil merebut guci arak itu dari tangannya. Gadis itu menghentakkan kakinya dan berkata, “Dia saja lebih suka pura-pura mabuk daripada benar-benar mabuk.
Mengapa engkau dengan sengaja ingin mabuk?” Si Bungkuk Sun menjawab terpatah-patah, “Mabuk bisa melenyapkan sejuta kekuatiran. Sungguh… Sungguh lebih baik mabuk.”

Tanya Sun Sio-ang, “Kenapa?”

Si Bungkuk Sun pun berteriak kesal, “Kau mau tahu kenapa? Mari kuberi tahu. Karena aku tidak mau berhutang budi pada siapa pun! Lebih baik dia menusukku daripada menolongku!”

Lalu ia terkulai di kursi dan menutup wajahnya dengan kedua tangannya. “Li Sun-Hoan, oh Li Sun-Hoan.
Mengapa kau menolongku? Tidakkah kau tahu bahwa dulu nyawaku pun pernah diselamatkan orang? Tahukah kau mengapa aku berada di sini bertahun-tahun ini?”

Li Sun-Hoan ingin sekali bertanya, “Siapakah orang yang menyelamatkanmu dulu?”

“Mengapa kau mau berjaga di sini selama lima belas tahun?”

“Apa yang sebenarnya kau jaga?”

Namun suara Si Bungkuk Sun makin lama makin lemah. Apakah dia sudah mabuk? Atau ia sudah mulai terlelap?

Li Sun-Hoan memandang Sun Sio-ang. Ia pun ingin menanyakan pada gadis itu pertanyaan yang sama. Namun ketika dilihatnya matanya yang begitu bersemangat, begitu terang, begitu hitam berkilau, ia mengurungkan niatnya. Ia tahu ia tidak mungkin mendapatkan informasi dari gadis seperti itu.

Li Sun-Hoan hanya dapat menghela nafas panjang, lalu ia berkata, “Pamanmu memang adalah seorang pria sejati.”

Sun Sio-ang meliriknya dari sudut matanya. Ia tersenyum dan berkata, “Maksudmu, hanya seorang pria sejatilah yang dapat menjadi mabuk begini cepat?”

Kata Li Sun-Hoan, “Maksudku, hanya seorang pria sejatilah yang dapat menepati janjinya, apapun keadaannya. Hanya seorang pria sejati, yang tidak sudi menerima bantuan, yang mengorbankan dirinya demi kepentingan orang lain.”

Sun Sio-ang memutar matanya. Katanya, “Jadi itulah sebabnya kau juga berada di sini. Untuk melindungi seseorang, bukan?”

Li Sun-Hoan diam saja.

Kata Sun Sio-ang lagi, “Apapun yang terjadi, kau pun tidak akan pergi, bukan?”

Li Sun-Hoan tetap diam.

Sun Sio-ang pun berkata, “Apakah kau masih peduli pada A Fei? Apakah kau ingin menjumpainya? Bukankah ia sahabatmu?” Li Sun-Hoan tetap diam sampai cukup lama. Akhirnya ia menjawab, “Setidaknya ia dapat menjaga dirinya sendiri.”

Kata Sun Sio-ang, “Aku sudah sering mendengar bahwa Lim Sian-ji berwajah bagaikan malaikat, namun kehebatannya adalah menyeret laki-laki ke neraka.”

Lalu ia melanjutkan perlahan-lahan, “Apakah kau tidak kuatir bahwa ia akan menyeret sahabatmu ke neraka?”

Li Sun-Hoan mengatupkan mulutnya rapat-rapat.

Sun Sio-ang mendesah. Lalu katanya, “Aku tahu kau tidak akan pergi. Demi ‘dia’, kau dapat melupakan apapun juga. Apapun!”

Lalu matanya penuh dengan kelembutan dan kehangatan, memandangi Li Sun-Hoan. Tanyanya, “Mengapa kau tidak berusaha mencari penggantinya?”

Tubuh Li Sun-Hoan gemetar hebat dan ia pun mulai terbatuk-batuk lagi.

Kata Sun Sio-ang, “Jika kau tidak mau, aku tidak akan memaksamu untuk pergi. Namun setidaknya kau harus menemui kakekku.”

Di sela-sela batuknya Li Sun-Hoan bertanya, “Di…Di manakah beliau?”

Sahut Sun Sio-ang, “Ia berada di Tiangting (paviliun panjang) di luar kota.” Tanya Li Sun-Hoan, “Kenapa beliau ada di sana?”

Jawab Sun Sio-ang, “Karena Siangkoan Kim-hong akan lewat di sana.”

Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun Siangkoan Kim-hong lewat di sana, belum tentu kakekmu dapat bertemu dengannya.”

Sahut Sun Sio-ang, “Ah, sudah pasti mereka akan bertemu, karena Siangkoan Kim-hong tidak pernah naik kuda atau naik kereta. Ia sering berkata bahwa manusia punya kaki, oleh sebab itu mereka seharusnya berjalan.”

Li Sun-Hoan terkekeh, katanya, “Kau memang serba tahu.”

Sun Sio-ang membalasnya dengan senyuman. Lalu katanya, “Memang.”

Kata Siangkoan Kim-hong, “Kau bukan hanya tahu bahwa Siangkoan Kim-hong akan datang, namun kau juga tahu jalan mana yang akan dilaluinya. Kau bukan hanya tahu bahwa Lim Sian-jilah yang menulis surat itu, namun kau juga tahu di mana ia bersembunyi….”

Ia menatap mata gadis itu dalam-dalam, lalu bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu semuanya ini?”

Sun Sio-ang menggigit bibirnya. Lalu ia tersenyum dan menjawab, “Aku punya cara tersendiri. Tapi aku takkan memberitahukannya padamu!” ***

Malam yang gelap gulita.

Langkah Sun Sio-ang ringan dan cepat, seakan-akan ia tidak mengenal kata lelah. Ia tertarik pada segala sesuatu di dunia ini.

Ia sungguh-sungguh penuh dengan semangat hidup. Ia masih muda belia.
Li Sun-Hoan merasa ia sangat berbeda dengan orang yang berdiri di sampingnya, bagai langit dengan bumi.

Ia kagum pada gadis ini, mungkin sedikit iri hati. Waktu ia menyadari perasaan ini, ia jadi kaget sendiri.

Apakah betul aku sudah setua ini?

Ia tahu hanya seorang tua yang cemburu pada kebeliaan orang muda.

Katanya dengan tersenyum, “Jika aku berusia sepuluh tahun lebih muda, aku tidak akan berjalan begini dekat denganmu.”

Tanya Sun Sio-ang, “Kenapa?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Semua orang bilang aku laki-laki mata keranjang. Jika aku begini dekat dengan seorang gadis, orang-orang pasti akan berpikiran macam- macam.” Ia terkekeh sebelum melanjutkan lagi, “Untungnya, kini aku sudah tua bangka. Jika seseorang melihat kita, ia akan menyangka bahwa kita adalah ayah dan anak.”

Sun Sio-ang cemberut dan berseru, “Ayahku? Kau pikir kau setua itu?”

“Tentu saja.”

Tiba-tiba Sun Sio-ang tertawa terbahak-bahak. Tanya Li Sun-Hoan, “Mengapa kau tertawa?” Sahut Sun Sio-ang, “Aku menertawaimu.” “Kenapa?”
Jawab gadis itu, “Karena aku tahu sekarang bahwa kau takut padaku!”

Kata Li Sun-Hoan, “Apa? Takut padamu?”

Mata Sun Sio-ang bersinar terang bagai bintang di langit.

Ia tertawa polos dan berkata, “Kau berkata begitu karena kau takut padaku. Kau kuatir bahwa kau akan….akan baik padaku….Karena itu kau bilang bahwa kau adalah laki-laki tua bangka.”

Li Sun-Hoan hanya dapat tertawa getir.

Kata Sun Sio-ang lagi, “Sebenarnya, jika kau adalah lelaki tua bangka, aku pun adalah wanita tua bangka.” Ia tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berkata pada Li Sun-Hoan dengan halus, “Ketika orang merasa dirinya tua, maka saat itulah ia benar-benar menjadi tua.
Kakekku tidak pernah menganggap dirinya tua. Dan kau pun belum tua. Jadi jangan pernah berpikir seperti itu lagi.”

Li Sun-Hoan menatap matanya yang jernih. Tiba-tiba ia teringat pada Lim Si-im sepuluh tahun yang lalu.

Saat itu Lim Si-im pun sangat muda dan bersemangat. Tapi sekarang?
Li Sun-Hoan mengeluh dan menghindari tatapan gadis itu. Ia memandang ke kegelapan yang tidak berujung, lalu berkata, “Tiangting itu ada di depan sana, bukan? Ayo kita cepat ke sana.”

Dalam kegelapan malam, secercah cahaya lilin tampak dari paviliun itu. Samar-samar terlihat bayangan orang di dekat cahaya lilin itu.

Tanya Sun Sio-ang, “Kau lihat lilin itu?” “Ya.”
Kata Sun Sio-ang sambil tersenyum, “Kau tahu apa itu? Kalau kau tahu, aku akan benar-benar kagum padamu.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Itu kakekmu sedang mengisap pipanya.” Kata Sun Sio-ang, “Wah! Kau memang jenius!”

Li Sun-Hoan terkekeh. Entah mengapa, di depan gadis ini ia jadi lebih banyak tersenyum dan lebih sedikit batuk.

Kata Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong sudah datang belum ya? Atau kakek sudah mengantarkannya pergi?”

Ia jadi agak gugup dan menambahkan, “Ayo kita segera ke sana, supaya kita bisa….”

Sebelum kalimatnya selesai, Li Sun-Hoan telah menarik tangannya.

Hati Sun Sio-ang berdebar cepat, mukanya merah jengah.

Ia berusaha mencuri pandang ke arah wajah Li Sun- Hoan, dan terlihat olehnya wajah yang sangat tegang. Matanya terpaku pada sesuatu di kejauhan.

Dua titik sinar samar-samar terlihat. Dua lentera.
Lentera itu berwarna keemasan dan tergantung di ujung tongkat bambu yang kurus panjang.

Entah mengapa, lentera itu tampak misterius, tampak mengerikan.

Sekejap saja, Li Sun-Hoan telah membawa Sun Sio-ang bersembunyi di balik sebatang pohon dekat situ. Sun Sio-ang berbisik, “Kim-ci-pang (Partai Uang Emas)?” Li Sun-Hoan mengangguk.
Kata Sun Sio-ang, “Kelihatannya Siangkoan Kim-hong baru datang. Mungkinkah mereka menemui persoalan di tengah jalan?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin karena dia hanya punya sepasang kaki, jadi ia tidak bisa jalan begitu cepat.”

Di belakang dua lentera itu, dua lentera lagi datang menyusul.

Di antaranya tampak dua sosok manusia.

Keduanya tinggi besar. Keduanya mengenakan jubah berwarna kuning. Jubah orang yang di depan sangat panjang, hampir menyentuh tanah, namun sama sekali tidak memperlambat langkahnya.

Jubah orang yang di belakang sangat pendek, hampir- hampir tidak menutupi lututnya.

Orang yang di depan bertangan kosong, sepertinya ia tidak membawa senjata apapun.

Orang yang dibelakang membawa pedang, yang terselip di pinggangnya.

Li Sun-Hoan melihat bahwa gaya orang itu menyelipkan pedangnya sangat mirip dengan A Fei. Hanya saja A Fei menyelipkan pedangnya di tengah, dan pegangannya menghadap ke kanan.

Pedang orang ini terselip di sebelah kanan pinggangnya dan pegangannya menghadap ke kiri.

Mungkinkah orang ini kidal?

Li Sun-Hoan mengangkat alisnya.

Ia tidak suka bertarung dengan orang yang kidal. Jurus pedang orang itu berlawanan dengan orang yang normal, sehingga lebih sulit menghadapinya.

Lagi pula, sekali pedang itu keluar dari sarungnya, kecepatannya pasti luar biasa.

Li Sun-Hoan mengetahuinya karena begitu banyak pengalamannya di dunia persilatan. Ia tahu bahwa orang ini pasti adalah lawan yang sulit dikalahkan!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar