Si Pisau Terbang Li Bab 35 : Manusia Pemakan Kalajengking

 
Bab 35. Manusia Pemakan Kalajengking

Si Bungkuk Sun mendesah dan berkata, “Kau betul-betul sudah dewasa kini. Terakhir aku melihatmu, kau baru berumur lima tahun…”

Lalu ia kembali mengelap meja.

Sun Sio-ang menundukkan kepalanya. Katanya, “Jicek, kau tidak pernah pulang ke rumah selama berapa, tiga belas atau empat belas tahun?”

Si Bungkuk Sun mengangguk. “Ya. Empat belas tahun. Beberapa hari lagi, akan genap empat belas tahun.” Tanya Sun Sio-ang, “Mengapa kau tidak pernah pulang dan menjenguk kami?”

Si Bungkuk Sun menggebrak meja dan berseru dengan lantang, “Aku sudah berjanji akan melindungi sebuah keluarga selama lima belas tahun. Kau boleh bertaruh bahwa aku akan melakukannya sampai genap!”

Kata Sun Sio-ang, “Oh begitu.”

Setelah sekian lama, Si Bungkuk Sun kembali mengelap meja.

Ketika ia mulai mengelap, matanya yang tajam dan bersinar terang itu langsung menghilang.

Inilah yang akan terjadi jika seseorang harus mengelap meja selama empat belas tahun.

Si Bungkuk Sun lalu bertanya pelan, “Bagaimana kabar yang lain?”

Sun Sio-ang tersenyum. “Mereka semua baik. Bibi Pertama dan Bibi Ketiga melahirkan tahun ini. Bibi Keempat punya anak kembar. Tahun Baru ini pasti sangat ramai.”

Dari sudut matanya, Sun Sio-ang bisa melihat mata Si Bungkuk Sun yang tampak sedih. Ia langsung berhenti bicara. Lalu dengan cepat ia menambahkan, “Semuanya berharap kau bisa pulang juga.” Si Bungkuk Sun memaksakan seulas senyum dan berkata, “Sampaikan pada mereka semua bahwa aku pasti pulang Tahun Baru berikutnya.”

Sun Sio-ang langsung bertepuk tangan. Katanya, “Bagus sekali. Aku ingat kaulah yang paling hebat membuat kembang api.”

Sahut Si Bungkuk Sun, “Aku pasti akan membuatnya untukmu tahun depan. Sekarang, kau lebih baik pergi cepat-cepat. Kakekmu akan merasa kuatir.”

Lalu ia memandang Li Sun-Hoan dan bertanya, “Bagaimana kau akan membawanya pergi?”

Sahut Sun Sio-ang, “Aku akan menggendongnya.”

Ia lalu bangkit berdiri dan terdengarlah seseorang membentak dengan bengis, “Kau boleh pergi, tapi si pemabuk ini harus tinggal!”

Suara ini adalah suara seorang wanita.

Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang telah mengawasi pintu depan dari tadi, namun suara ini terdengar dari arah belakang. Tidak ada yang tahu kapan wanita ini masuk.

Wajah Si Bungkuk Sun langsung tertekuk. Dilemparkannya lapnya.

Ia sudah mengelap meja selama empat belas tahun. Jika tiap hari ia mengelap dua puluh kali, maka dalam setahun ia sudah mengelap 7300 kali, atau 102.200 kali dalam empat belas tahun. Siapapun yang telah mengelap meja sebanyak ini, pasti mempunyai kekuatan yang besar.

Lagi pula, Cakar Elang Si Bungkuk Sun sudah malang melintang di dunia persilatan sejak lama. Waktu ia melemparkan lapnya, tenaganya tidak kurang daripada seorang pesilat yang melemparkan senjata rahasia.

Terdengar suara ‘Pang’, dan debu pun beterbangan ke seluruh ruangan. Lap itu membuat lubang besar di dinding belakang, namun orang yang berdiri di depan pintu tidak terluka sedikitpun.

Kelihatannya ia tidak bergerak. Namun jika ia benar- benar tidak bergerak, lap itu pasti sudah melubangi perutnya.

Entah bagaimana, lap itu bisa luput.

Mungkin karena pinggangnya sangat ramping sehingga mudah baginya untuk menghindar.

Yang membuat wanita ini sangat memikat bukan hanya pinggangnya yang ramping.

Kakinya panjang dan lurus. Dan bagian tubuhnya yang seharusnya berisi, memang tidak kurus, dan bagian yang seharusnya langsing, memang tidak gemuk.

Matanya panjang dan menawan, namun mulutnya besar dan bibirnya sangat tebal. Kulitnya putih mulus, namun kelihatan bersisik dan penuh bulu.

Ia tidak bisa dibilang wanita yang cantik, namun ia mempunyai pesona tersendiri.

Si Bungkuk Sun memutar badannya dan memandanginya.

Ia pun menatap Si Bungkuk Sun. Dari ekspresi wajahnya, seakan-akan ia menganggap Si Bungkuk Sun sebagai
laki-laki tergagah dan paling ganteng sedunia. Seakan- akan ia sedang memandangi kekasihnya.

Namun ketika matanya sampai pada Sun Sio-ang, tatapannya menjadi sedingin es.

Ia membenci semua wanita begitu rupa.

Si Bungkuk Sun terbatuk dua kali sebelum bertanya, “Na Kiat-cu (Si Kalajengking Biru)?”

Na Kiat-cu tertawa.

Waktu tertawa, matanya menjadi makin panjang dan sipit, seperti seutas benang yang panjang.

Katanya sambil tersenyum, “Kau memang orang yang berpengetahuan luas. Aku suka laki-laki seperti itu.”

Si Bungkuk Sun tetap bermuka masam dan tidak menjawab. Ia tidak suka berdebat dengan wanita, karena ia tidak tahu caranya.

Kata Na Kiat-cu, “Aku pun berpengetahuan cukup luas. Aku tahu siapa dirimu.”

Suara Si Bungkuk Sun menggelegar. “Jika kau tahu, mengapa masih bercokol di sini?”

Na Kiat-cu mendesah dan berkata, “Aku tahu kau tak akan membiarkan aku membawanya pergi begitu saja. Namun aku juga tidak ingin bertempur denganmu. Lalu bagaimana baiknya kita menyelesaikan persoalan ini?”

Tiba-tiba wanita itu melambaikan tangannya ke belakang dan berkata dengan tenang, “Ke sini.”

Si Bungkuk Sun melihat sesosok bayangan lain datang dari arah belakang.

Seorang lelaki bertubuh besar. Ketika Na Kiat-cu melambaikan tangannya, ia masuk ke dalam.

Pakaian laki-laki ini sangat apik dan kumisnya yang kemilau tercukur rapi. Di pinggangnya terselip sebilah golok bercincin sembilan yang mentereng.

Na Kiat-cu bertanya, “Tahukah kau siapa dia?”

Si Bungkuk Sun diam saja, namun Sun Sio-ang menjawab, “Aku tahu.” Na Kiat-cu sedikit heran. “Kau benar-benar tahu siapa dia?”

Jawab Sun Sio-ang, “Namanya Coh Siang-ih. Julukannya Hoat-pah-ong (Si Raja Perkasa).”

Na Kiat-cu memandang pada Hoat-pah-ong dan berkata, “Ternyata kau cukup terkenal juga. Gadis kecil pun mengenal engkau.”

Wajah Hoat-pah-ong terlihat sombong.

Kata Sun Sio-ang, “Aku tahu hampir semua orang terkenal dalam dunia persilatan. Yang aku tidak tahu adalah apa yang dikerjakannya dengan wanita seperti engkau.”

Na Kiat-cu tersenyum dan berkata, “Ia merayuku dalam perjalanan ke sini.”

Sun Sio-ang pun tersenyumdan berkata, “Apakah dia yang merayumu? Atau sebaliknya?”

Sahut Na Kiat-cu, “Sudah pasti dia yang merayuku. Walaupun kau tahu bahwa ia terkenal dan ilmu silatnya pun cukup tinggi, mungkin kau tidak tahu bahwa ia juga pandai merayu wanita.”

Si Bungkuk Sun mulai kelihatan gelisah. Ia lalu bertanya, “Mengapa kau membawanya kemari?”

Sahut Na Kiat-cu, “Coh Siang-ih adalah pesilat yang cukup tangguh. Ketika ia menggunakan jurus ‘Delapan Puluh Satu Tangan Golok Bercincin’, sebagian besar orang tidak dapat medekatinya.”

Si Bungkuk Sun hanya mendengus. “Hmmmh.”

Kata Na Kiat-cu lagi, “Jika aku bilang bahwa aku dapat membunuhnya dalam satu jurus, kau percaya atau tidak?”

Coh Siang-ih yang dari tadi berdiri dengan pongah menjadi terperanjat. “Apa katamu?”

Si Kalajengking Britu berkata dengan lembut, “Bukan masalah besar. Aku cuma bilang bahwa aku akan mengambil nyawamu.”

Wajah Coh Siang-ih langsung memucat. Setelah ragu- ragu sesaat, ia pun berkata, “Ah, kau bercanda saja.”

Na Kiat-cu mendesah lagi dan berkata, “Hanya karena kita melewatkan satu malam bersama, kau tidak percaya aku akan membunuhmu?”

Sahut Coh Siang-ih, “Bagaimana mungkin aku bisa begini buta? Di tempat tinggalku ada banyak kalajengking.”

Tanya Na Kiat-cu, “Dan kau pasti tahu kebiasaan unik kelajengking betina.”

Coh Siang-ih memaksakan untuk tersenyum, “Tapi kau kan bukan kalajengking.” Kata Na Kiat-cu, “Kata siapa? Aku memang adalah kalajengking. Kau tidak tahu?”

Coh Siang-ih cepat melompat mundur, dan menjungkirbalikkan meja di belakangnya. Namun keseimbangannya cukup baik, sehingga ia sendiri masih bisa berdiri.

Ia menghunus Golok Sembilan Cincinnya.

Ia sangat berpengalaman di dunia persilatan, jadi sudah pasti ia tahu siapakah Na Kiat-cu ini. Akan tetapi, ia tidak bisa percaya bahwa seorang wanita yang begitu mudah kena rayuannya adalah Na Kiat-cu sendiri.

Na Kiat-cu masih berkata dengan kalem, “Aku punya beberapa nasihat. Lain kali kalau kau merayu wanita, selidiki dulu latar belakangnya. Sayangnya….”

Ia mendesah lagi dan berjalan ke arah Coh Siang-ih. “Sayangnya tidak ada lain kali.”

Coh Siang-ih berteriak, “Stop! Jika kau mendekat lagi, akan kubunuh kau!”

Kata Na Kiat-cu sinis, “Baiklah. Bunuh saja aku. Aku sungguh berharap bisa mati di tanganmu.”

Coh Siang-ih menjerit keras, dan Golok Sembilan Cincinnya menebas dengan cepat.

Angin dari golok itu menderu seperti auman harimau. Tebasannya sungguh bertenaga kuat. Namun inilah gerakannya satu-satunya.

Terlihat kilau biru, Lintasan cahaya berwarna hijau pupus yang dingin melesat di depan mata. Coh Siang-ih rubuh. Bahkan jeritannya yang terakhir, terpotong setengah.

Tidak ada luka yang terlihat di tubuhnya, hanya dua titik darah di lehernya. Seakan-akan ia baru saja disengat kalajengking.

Si Bungkuk Sun dan Sun Sio-ang menyaksikan peristiwa itu tanpa suara. Keduanya tidak berusaha menengahi, karena memang tidak berniat untuk ikut campur.
Siapapun yang merayu wanita di tengah jalan, pasti bukan orang baik-baik.

Na Kiat-cu terus memandangi tubuh Coh Siang-ih.

Ia memandanginya cukup lama, seakan-akan sedang mengagumi hasil karyanya sendiri.

Lalu ia tertawa.

Sambil tertawa ia berkata, “Aku sudah bilang, aku hanya perlu satu gerakan saja. Sekarang kau percaya, bukan?”

Tidak ada yang menjawab.

Lanjutnya lagi, “Ilmu silatku cukup lumayan, bukan?” Masih tidak ada jawaban. Na Kiat-cu pun berkata lagi, “Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) In Gok berada di urutan ke sembilan dalam Kitab Persenjataan. Kalau Pek-hiau-sing memasukkan aku dalam kitabnya, ia pasti jatuh paling tidak ke nomor sepuluh.”

Itu benar, karena ia memang menyerang lebih cepat dan lebih mematikan daripada In Gok!

Na Kiat-cu memandang Si Bungkuk Sun, lalu berkata, “Kelihatannya ilmu silatku cukup untuk membawa si pemabuk ini pergi bersamaku, bukan?”

Si Bungkuk Sun menjawab dengan dingin, “TIDAK!”

Na Kiat-cu mengeluh. “Lalu aku harus berbuat apa untuk membawa pergi si pemabuk ini? Tidur denganmu?”

Si Bungkuk Sun berteriak keras dan kedua tangannya melesat ke depan.

Tangan kanannya menyerang seperti cakar dan tangan kirinya seperti tinju. Tinju kirinya penuh dengan tenaga halilintar. Cakarnya tampak seperti kait dan mengandung ribuan gerak tipu. Walaupun hanya dengan tangan kosong, kekuatannya sepuluh kali lebih besar dibandingkan dengan golok Coh Siang-ih.

Na Kiat-cu meliukkan pinggangnya dan tiba-tiba lenyap.

Ketika Si Bungkuk Sun menyerang, ia segera berpindah ke belakangnya. Untungnya, Si Bungkuk Sun adalah pesilat kelas atas. Ia segera menarik tangannya kembali, menarik balik kekuatan tinju dan cakarnya.

Salah satu hal yang paling sulit dilakukan dalam bertempur adalah membatalkan serangan. Karena kecepatan dan kekuatan tiap serangan, sulit untuk menghentikannya setengah jalan.

Namun Si Bungkuk Sun dapat melakukannya dengan mulus.

Jika itu orang lain, kemungkinan ia sudah terjengkang ke belakang, langsung ke dalam tangan Na Kiat-cu.

Untungnya Si Bungkuk Sun adalah seorang bungkuk. Jadi waktu ia menarik balik serangannya, semua kekuatannya terserap oleh punuknya.

Ia mengerutkan pundaknya dan menerjang ke belakang dengan punuknya.

Ini adalah jurusnya yang terkenal itu. Ia telah berlatih keras, sehingga punuknya telah menjadi sekeras baja. Dan terjangannya itu membawa tenaga yang sangat kuat.

Na Kiat-cu tahu benar jurus ini. Ia kembali meliukkan pinggangnya dan jubahnya yang panjang menari-nari di udara. Sekejap saja ia sudah kembali ke depan Si Bungkuk Sun. Lalu ia berkata, “Bukan saja kau berpengetahuan luas, ilmu silatmu pun luar biasa. Katakan saja, dan aku akan mengikut engkau ke mana pun engkau pergi.”

Si Bungkuk Sun pun berteriak, “Pergi saja ke neraka!”

Na Kiat-cu tersenyum manis dan berkata, “Jika aku mati, aku harus mati di atas ranjang!”

Di depan wanita seperti ini, setelah melihat senyum manisnya, seorang pria akan sulit mengerahkan seluruh tenaganya.

Ketika lawannya sulit mengerahkan seluruh tenaganya, tidak demikian halnya dengan dirinya sendiri. Oleh sebab itulah, dalam sepuluh tahun ini, entah berapa laki-laki mati di tangannya.

Sayangnya, hari ini lawannya adalah Si Bungkuk Sun. Si Bungkuk Sun tidak tertarik lagi pada wanita.

Seiring dengan teriakannya, Cakar Besi Si Bungkuk Sun pun melejit ke depan.

Na Kiat-cu mengibaskan lengan bajunya dan mundur beberapa langkah. Lalu berkata, “Tunggu sebentar.”

Si Bungkuk Sun menarik kembali serangannya dan bertanya, “Tunggu apa lagi?”

Kata Na Kiat-cu, “Karena kita akan bertempur, paling tidak kau harus melihat senjataku terlebih dulu.” Sebelum kalimatnya selesai, selintas cahaya biru terpancar dari lengan bajunya, menyerang ke arah Si Bungkuk Sun.

Si Bungkuk Sun mengangkat tangannya, hendak menangkap cahaya biru itu.

Ia selalu ingin menyelesaikan pertempuran secepatnya. Jadi, walaupun ia tahu kehebatan senjata Na Kiat-cu, ia masih berusaha menangkapnya. Si Bungkuk Sun yakin bahwa latihan Cakar Elangnya selama empat puluh tahun akan dapat mengalahkan senjata Na Kiat-cu. Lalu ia akan dapat mengalahkan wanita itu dengan hanya sekali pukul!

Namun mungkin ia sedikit terlalu percaya diri.

Sun Sio-ang berdiri di situ tanpa suara. Matanya tidak pernah lepas dari lengan baju Na Kiat-cu.

Matanya sangat tajam.

Ketika Lintasan cahaya biru itu berkelebat, ia segera tahu apa itu.

Ia belum pernah melihat senjata seaneh ini sebelumnya.

Senjata itu tampak seperti ekor kalajengking raksasa, panjang dan melingkar. Seakan lembut namun keras dan dapat meliuk dengan mudah.

Tentu saja Sun Sio-ang sangat yakin pada Cakar Elang pamannya. Namun ia pun tahu, jika tangannya kena senjata ini, pamannya akan dimakan hidup-hidup oleh si pemakan kalajengking ini.

Namun karena kecepatan serangan Na Kiat-cu, Sun Sio- ang tahu, ia tidak mungkin menghalanginya. Ia hanya tidak bisa percaya, mengapa pamannya begitu gegabah hendak memegang senjata itu langsung dengan tangan kosong.

Yang tidak disadari Sun Sio-ang adalah bahwa setelah empat belas tahun mengelap meja, Si Bungkuk Sun sudah gatal ingin bertempur. Kini kesempatan sudah terbuka, dan Si Bungkuk Sun pun tidak bisa bertempur setengah-setengah. Ia ingin meraih kemenangan secepatnya.

Sun Sio-ang menjerit.

Namun tangan itu bergerak lebih cepat daripada jeritannya. Ketika ia masih berteriak, tangan itu telah menangkap tangan Na Kiat-cu.

Terdengar bunyi berdentang dan cahaya biru itu pun terkulai ke tanah.

Ketika cahaya biru itu jatuh ke tanah, Si Kalajegking Biru pun mundur beberapa langkah. Ia bergerak mundur terlalu cepat, sehingga keseimbangannya hilang dan ia membentur dinding belakang.

Ruangan itu menjadi sunyi senyap seperti kuburan. Semua orang hanya berdiri mematung. Semuanya memandangi tangan itu. Mata Na Kiat-cu bukan hanya kaget, namun juga penuh rasa nyeri yang hebat.

Tangannya telah patah!
Ia menarik tangannya kembali perlahan-lahan. Saat itu seseorang bangkit berdiri dengan malas-
malasan. Orang ini adalah orang yang sudah mabuk berat itu, Li Sun-Hoan!

Dengan rasa gembira dan terkejut. Sun Sio-ang berseru, “Ternyata kau tidak mabuk!”

Li Sun-Hoan terkekeh dan berkata, “Aku tahu aku memang sedang bersedih, dan tubuhku memang letih. Namun aku memang sangat tahan minum arak.”

Sun Sio-ang menatapnya dengan perasaan campur aduk dalam hatinya. Bahkan ia sendiri pun tidak tahu perasaan apa saja yang ada di sana. Mungkin kaget? Atau gembira? Atau kagum? Atau mungkin penyesalan?

Ternyata ia sudah gagal membuat Li Sun-Hoan mabuk.

Na Kiat-cu menatap Li Sun-Hoan dengan penuh rasa takut.

Karena dilihatnya pisau di tangan Li Sun-Hoan. Pisau Kilat si Li! Pisau itu menjadi sangat mengerikan selama masih berada di tangan Li Sun-Hoan. Karena setelah pisau itu tidak ada lagi di sana, sang lawan tidak sempat lagi merasa ngeri.

Orang mati tidak lagi bisa merasa takut.

Satu-satunya suara yang terdengar di sana, adalah helaan nafas orang.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar