Si Pisau Terbang Li Bab 34 : Berita yang Mengejutkan

 
Bab 34. Berita yang Mengejutkan

Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya dan tersenyum. “Lihat, kau terus saja berbuat kesalahan. Tunggu sampai giliranmu.”

Lalu ia menambahkan, “Kau pasti tahu perangai Siangkoan Kim-hong. Harta karun biasa tidak akan menggerakkan hatinya. Tahukah kau apa yang diinginkannya?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Tidak.”

Kata Sun Sio-ang, “Karena ia mendengar bahwa dulu ayahnya bersahabat akrab dengan pesilat nomor satu dunia, Sim Long.”

[Sim Long adalah nama karakter utama dalam novel Gu Liong yang berjudul “Pendekar Baja”]

Kata Li Sun-Hoan, “Sim Long memang sahabat karib ayahku. Namun ia sudah lama mengundurkan diri dan hidup di pulau terpencil. Lalu apa hubungannya dengan peristiwa ini?”

Sun Sio-ang tersenyum. “Kelihatannya, kalau kau tidak diberi kesempatan bertanya, kau bisa jadi gila. Baiklah, tapi kau harus minum tiga cawan terlebih dulu.” Sepertinya, ia memang ingin Li Sun-Hoan jadi mabuk. Hanya saja, pertanyaannya sungguh mengejutkan dan jawabannya lebih mengejutkan lagi. Walaupun Li Sun- Hoan tahu apa yang diinginkannya, ia terus saja minum.

Lalu Sun Sio-ang pun melanjutkan, “Karena, ia mendengar bahwa sebelum Sim Long mengundurkan diri, ia memberikan dua kitab pusaka silat kepada ayahmu. Dengan belajar dari salah satu kitab itu saja, ilmu pisaumu sudah tidak ada tandingannya di dunia persilatan. Jika seseorang bisa belajar dari keduanya, bayangkan betapa hebat jadinya orang itu! Jadi bahkan Siangkoan Kim-hong sekalipun tak bisa melewatkannya.”

Li Sun-Hoan terdiam sejenak sebelum menjawab, “Jika ini memang benar, mengapa aku sendiri tidak tahu?”

Kata Sun Sio-ang, “Ini hanyalah kabar burung yang disiarkan oleh Lim Sian-ji. Sim Long kan orang yang sangat pandai. Mengapa ia sengaja meninggalkan kitab pusaka itu untuk dijadikan rebutan orang banyak?”

Ia tersenyum dan melanjutkan, “Sekalipun ia meninggalkan kitab pusaka, ia tidak akan meninggalkannya di rumahmu. Mengapa ia membawa kesulitan bagi sahabatnya?”

Li Sun-Hoan mendesah. “Betul juga.”

Sun Sio-ang mengejapkan matanya, lalu bertanya, “Aku ingin memberi kesempatan padamu untuk mengajukan pertanyaan. Oleh sebab ini, kau pasti bisa menjawab pertanyaanku yang satu ini.” Matanya memandang Li Sun-Hoan dengan polos. “Apakah ia masih satu-satunya wanita dalam hatimu? Apakah kau masih rela mati baginya? Aku tahu kau pasti paham siapakah ‘ia’ yang kumaksudkan.”

Li Sun-Hoan terdiam.

Ia tidak pernah menyangka Sun Sio-ang akan mengajukan pertanyaan ini.

Siapapun yang menanyakannya, ia tidak akan menjawabnya. Ini adalah rahasianya yang paling pahit, sakit hatinya yang paling dalam.

Mendengar pertanyaan ini sama dengan ditusuk dengan sembilu.

Ia tidak mengerti mengapa Sun Sio-ang harus menanyakannya.

Gadis-gadis muda memang selalu ingin tahu. Apakah itu alasannya?

Ia pasti tidak ingin menyakiti Li Sun-Hoan. Jika itu maksudnya, ia tidak mungkin memberitahukan padanya semua rahasia yang barusan diceritakannya itu.

Tapi siapakah sebenarnya dia? Bagaimana ia bisa tahu begitu banyak? Kakeknya sudah pasti orang yang sangat berpengaruh. Si Rambut Putih Sun, pasti bukan namanya yang sesungguhnya. Siapakah dia sebenarnya?

Siapa yang ditemuinya di luar kota? Apakah Siangkoan Kim-hong?

Di manakah A Fei dan Lim Sian-ji bersembunyi?

Li Sun-Hoan rela berbuat apa saja untuk mengetahui jawaban dari rahasia-rahasia ini!

Li Sun-Hoan duduk di situ sampai sekian lama, lalu menghela nagas panjang. “Ketika sepertinya tidak ada lagi cinta, ternyata cinta masih ada. Ketika cinta menjadi dalam, ternyata ia berubah dangkal…. Kejam? Atau sentimental? Siapa yang dapat menghakimi? Siapa yang dapat….”

Suaranya makin lama makin halus, sampai tidak terdengar lagi.

Sun Sio-ang mendesah dan berkata dengan lembut, “Mengapa kau lakukan ini pada dirimu sendiri?...Mengapa?”

Mereka terdiam cukup lama, lalu tiba-tiba Sun Sio-ang mengambil cawan arak dan meneguk isinya sampai habis. Ia tersenyum sambil berkata, “Baiklah, aku kalah kali ini. Kau boleh bertanya lagi.”

Wajah Li Sun-Hoan kini sungguh serius, dan ia bertanya, “Di manakah A Fei saat ini?” Sun Sio-ang tersenyum. “Aku tahu, kau pasti akan menanyakannya. Selain dari si ‘dia’, mungkin ia adalah orang yang paling kau sayangi.”

Kata Li Sun-Hoan, “Tentu saja. Siapa pun yang mempunyai sahabat seperti dia, pasti akan menguatirkan keadaannya.”

Sahut Sun Sio-ang, “Jika seseorang dapat mempunyai sahabat seperti dirimu, bukankah mereka juga pasti akan menguatirkan keadaanmu?”

Lalu ia tersenyum penuh rahasia dan mengeluarkan sepucuk surat. “Ini adalah tempat di mana A Fei kini tinggal. Ikuti saja peta ini dan kau pasti akan menemukan dia.”

Kata Li Sun-Hoan, “Terima kasih.”

Ini adalah kali kedua ia mengucapkan ‘terima kasih’ sepanjang hari ini.

Sun Sio-ang menatapnya. “Kau tidak mengucapkan terima kasih waktu kuberitahukan padamu rahasia yang terbesar. Kau tidak mengucapkan terima kasih ketika kuberitahukan siapa yang ingin membunuhmu. Mengapa sekarang kau berterima kasih?”

Li Sun-Hoan diam saja.

Kata Sun Sio-ang lagi, “Aku tahu jawabannya walaupun kau tidak memberi tahu. Alasannya adalah bahwa dengan peta ini kau dapat menemukan A Fei. Hanya dengan cara itu kau dapat menyelamatkannya. Kau dapat menasihatinya untuk tidak mencintai orang yang tidak pantas dicintai dan merusak dirinya sendiri. Kau berterima kasih padaku demi dia.”

Lanjutnya, “Alasan ini jugalah yang membuat kau berterima kasih pada Kwe ko-yang. Demi Lim Si-im…. Pernahkah kau berterima kasih pada seseorang demi dirimu sendiri?”

Li Sun-Hoan masih diam saja.

Sun Sio-ang hanya bisa mengeluh. “Kakekku pernah bilang, jika seseorang tidak pernah hidup untuk dirinya sendiri, hidup orang itu sungguhlah menyedihkan.”

Kini Sun Sio-ang pun berhenti bicara. Wajahnya tampak muram. Setelah sekian lama, terbayang senyuman di bibirnya.

“Namun jika seseorang hanya hidup untuk dirinya sendiri, betapa membosankannya hidupnya itu!”

Li Sun-Hoan minum secawan lagi, lalu bertanya, “Kakekmu sedang mengantar siapa?”

Sahut Sun Sio-ang, “Siangkoan Kim-hong.”

Jawaban ini sungguh membuat Li Sun-Hoan terhenyak.

Ia tidak tahan untuk tidak bertanya, “Siangkoan Kim- hong belum masuk ke dalam kota. Mengapa dia sudah akan pergi lagi?” Jawab Sun Sio-ang, “Karena kakek secara khusus ingin mengantarkan dia pergi. Bagaimana mungkin ia bisa menolak?”

Kata Li Sun-Hoan, “Maksudmu, kakekmu adalah….” Sampai di sini, ia mulai terbatuk-batuk lagi.
Ia membungkukkan badannya dan merasa kepalanya berkunang-kunang.

Si Bungkuk Sun sejak lama berdiri di sudut yang jauh, namun kini ia datang mendekati mereka. Katanya pada Li Sun-Hoan, “Kau sudah minum terlalu banyak hari ini, dan juga terlalu cepat. Lanjutkanlah permainan ini esok hari saja.”

Li Sun-Hoan malah bertanya kepadanya, “Kau tahu di mana Siangkoan Kim-hong?”

Jawab Si Bungkuk Sun, “Aku tidak tahu. Kelihatannya aku harus minum satu cawan arak juga.”

Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. “Tidak perlu. Kau kan tidak ikut dalam pertandingan ini. Kau tidak perlu mengikuti aturannya.”

Si Bungkuk Sun memandang Li Sun-Hoan dengan aneh, seakan-akan belum pernah kenal dengan orang ini sebelumnya.

Kata Li Sun-Hoan lagi, “Tapi aku tahu jawabannya. Siangkoan Kim-hong menganggap dirinya sebagai pesilat nomor satu di dunia. Ia sangat angkuh dan tidak memandang sebelah mata pada siapa pun juga. Namun kali ini, ia malah mau menuruti Si Tua Sun. Kau tahu kenapa?”

Jawab Si Bungkuk Sun, “Tidak.”

Kata Li Sun-Hoan, “Aku juga tidak tahu. Oleh sebab itulah aku harus bertanya, karena aku ingin tahu jawabannya.”

Kata Si Bungkuk Sun, “Kau bertanya terlalu banyak. Pantas saja kau mabuk.”

Li Sun-Hoan mengangkat cawan araknya dan bertanya pada Sun Sio-ang, “Nona Sun, siapakah sebenarnya Si Tua Sun?”

Sun Sio-ang tersenyum dan menjawab, “Si Tua Sun adalah ayah dari ayahku. Kakek kandungku.”

Li Sun-Hoan terbahak-bahak. “Betul. Betul. Kau memang betul sekali.”

Ia minum secawan penuh.

Setelah menghabiskannya, pandangannya menjadi kabur. Katanya, “Aku punya pertanyaan lagi.”

Mata Sun Sio-ang malah menjadi semakin terang. Ia terkekeh. “Tanyakanlah sebelum kau benar-benar mabuk.” Tanya Li Sun-Hoan, “Aku bertanya. Mengapa kau ingin aku mabuk? Mengapa….”

Sun Sio-ang mengisi cawan Li Sun-Hoan dengan arak, lalu menjawabnya dengan senyum lebar, “Karena kita sedang melangsungkan pertandingan minum arak.
Bukankah tujuannya adalah membuat lawan mabuk terlebih dahulu? Semua peminum suka melihat orang lain mabuk lebih dulu. Betul kan?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Itu betul, betul, betul….” Kali ini, ia benar-benar mabuk berat.
Si Bungkuk Sun maupun Sun Sio-ang tidak bersuara. Mereka berdua hanya menatap Li Sun-Hoan. Mereka tidak yakin apakah dia memang benar-benar mabuk atau hanya pura-pura.

Malam pun tibalah.

Si Bungkuk Sun menyalakan lilin. Ia berkata, “Sudah waktunya makan malam. Mungkin akan ada pelanggan yang lain.”

Sambil berbicara, ia melangkah cepat ke arah pintu dan menguncinya. Seakan-akan ingin menahan Sun Sio-ang di situ.

Sun Sio-ang tidak merasa keberatan.

Kunci itu sangat besar. Biasanya perlu waktu cukup lama bagi Si Bungkuk Sun untuk mengancingkannya di pintu. Namun hari ini, kelihatannya ia tiba-tiba menjadi kuat dan mengangkat kunci besar itu bagai mengangkat bulu ayam saja.

Sun Sio-ang tiba-tiba tersenyum. “Orang bilang Jicek (paman Kedua) bertenaga sangat besar. Sayang aku baru tahu sekarang.”

Si Bungkuk Sun memutar badannya. Ia mengangkat alisnya dan bertanya, “Siapa Jicekkmu? Apa kau juga sudah mabuk?”

Kata Sun Sio-ang, “Aktingmu memang sangat bagus. Tapi apakah kau ingin terus berakting sampai sekarang?”

Si Bungkuk Sun hanya menatapnya. Namun tatapannya sedingin es.

Bagaimana mungkin Si Bungkuk Sun bisa menatap seperti ini?

Jika Li Sun-Hoan melihat kedua mata ini, ia pasti akan merasa bangga, sebab ia tidak pernah melihatnya menatap orang seperti ini dalam dua tahun mereka bersama-sama.

Sayang sekali Li Sun-Hoan tidak bisa melihat apa-apa sekarang.

Kata Sun Sio-ang, “Aku yakin hari ini dia benar-benar mabuk, bukan cuma pura-pura.” Kata Si Bungkuk Sun, “Tahukah kau berapa besar ketahanannya terhadap alkohol? Bagaimana mungkin ia bisa mabuk secepat itu?”

Sahut Sun Sio-ang, “Kalau seseorang sedang jengkel, ditambah dengan tubuh yang lelah, bagaimana pun besarnya kekuatan minumnya, ia pasti cepat mabuk.”

Si Bungkuk Sun pun bertanya, “Mengapa kau ingin membuatnya mabuk?”

Sahut Sun Sio-ang, “Kau tidak tahu? Inilah yang diinginkan kakek.”

“O ya?”

“Sekarang orang sudah tahu di mana ia berada. Mereka pasti akan segera datang mencarinya. Itulah sebabnya mengapa kakek ingin menyembunyikan dia untuk sementara waktu.”

Sun Sio-ang menghela nafas dan melanjutkan, “Namun kau pasti tahu sifatnya. Bagaimana mungkin kita membawanya pergi kalau ia tidak mabuk?”

Si Bungkuk Sun berkata, “Sejujurnya, aku tidak mengerti sama sekali pikiran kekekmu.”

Tanya Sun Sio-ang, “Apa yang tidak kau mengerti?”

Kata Si Bungkuk Sun, “Waktu Li Sun-Hoan sendiri ingin bersembunyi, kakekmu terus mendorong dia untuk muncul kembali. Sekarang, waktu dia sudah muncul, kakekmu ingin menyembunyikan dia.”

Sun Sio-ang menggelengkan kepalanya. “Inilah kesalahanmu. Kakek hanya akan menyembunyikannya untuk sementara waktu.”

Lalu ia menatap Li Sun-Hoan yang tidak sadarkan diri dan tersenyum. “Tahukah kau mengapa begitu banyak orang yang menginginkan kepalanya?”

Si Bungkuk Sun tertawa dingin. “Siapa yang peduli? Selain Siangkoan Kim-hong, siapakah yang harus ditakutinya?”

Sahut Sun Sio-ang, “Kau salah lagi. Setiap orang yang menginginkan kepalanya pasti tahu apa yang mereka perbuat.”

Tanya Si Bungkuk Sun, “Apa benar? Coba kau sebutkan siapa saja mereka itu.”

Jawab Sun Sio-ang, “Lupakan dulu yang pria, mari kita mulai dengan yang wanita. Ada Si Budha Perempuan Mahagembira dan Na Kiat-cu….”

Sewaktu nama-nama ini disebutkan, Si Bungkuk Sun mengangkat alisnya.

Lanjut Sio-ang, “Pek-hiau-sing berat sebelah terhadap kaum pria, sehingga Kitab Persenjataannya tidak menyebutkan para wanita. Tapi aku yakin kau pasti tahu kedua iblis wanita ini, bukan?” Si Bungkuk Sun mengangguk.

Kata Sun Sio-ang, “Na Kiat-cu adalah kekasih Si Setan Hijau. Si Budha Perempuan Mahagembira adalah ibu angkat Ngo-tok-tongcu. Mereka telah mencari-cari Li Sun-Hoan sekian lama. Kalau mereka tahu ia ada di sini, mereka pasti akan langsung datang.”

Ia mendesah, lanjutnya, “Walaupun hanya salah satu dari mereka yang datang, Li Sun-Hoan pasti akan kerepotan.”

Si Bungkuk Sun mengambil lapnya dan mulai memebersihkan meja.

Setiap kali ia merasa kesal, ia berlaku seperti ini.

Kata Sun Sio-ang, “Sekarang mari kita menyebutkan yang pria.”

Ia memejamkan matanya dan mengacungkan jarinya. Katanya, “Siangkoan Kim-hong, Lu Hong-sian, Hing Bu- bing, dan….kau pasti tahu yang terakhir.”

[Bu-bing artinya Tidak Ada Kehidupan]

Si Bungkuk Sun terus membersihkan meja, mengangkat wajah pun tidak. Ia bertanya singkat, “Siapa?”

Sahut Sun Sio-ang, “Oh Put-kiu.” Si Bungkuk Sun berhenti mengelap dan mengangkat wajahnya melongo. Tanyanya, “Oh Put-kiu? Kau maksud Oh si gila?”

Kata Sun Sio-ang, “Betul sekali. Orang ini memang tampak gila. Senjatanya adalah pedang bambu.
Kudengar ilmu pedangnya segila orangnya. Kadang- kadang tampak hebat, kadang-kadang tidak karuan, tidak pantas dilihat. Oleh sebab itu, Pek-hiau-sing tidak mengikutsertakannya dalam Kitab Persenjataan.”

Si Bungkuk Sun menjawab, “Bagian yang payah itu cuma pura-pura, bagian yang hebat itu yang sesungguhnya.”

Setelah berpikir beberapa saat ia bertanya, “Tapi orang ini selalu menyendiri. Mengapa tiba-tiba ia ingin mengganggu Li Sun-Hoan?”

Kata Sun Sio-ang, “Kudengar, Liong Siau-hun yang memintanya. Oh si gila berhutang budi pada guru Liong Siau-hun.”

Kata Si Bungkuk Sun, “Sulit untuk menemukan orang seperti dia. Hebat juga Liong Siau-hun bisa menemukannya.”

Sahut Sun Sio-ang, “Itulah sebabnya mengapa Liong Siau-hun pergi dari rumahnya selama dua tahun ini.”

Tanya Si Bungkuk Sun, “Apakah Lu Hong-sian yang tadi kau sebutkan adalah yang berada di urutan nomor lima Kitab Persenjataan?” Sahut Sun Sio-ang, “Betul. Ia telah mempelajari ilmu silat yang aneh akhir-akhir ini. Dan ia ingin bertarung dengan semua pesilat yang urutannya berada di atas dia.”

Tanya Si Bungkuk Sun lagi, “Bagaimana dengan Hing…..Hing….”

“Hing Bu-bing? Hing Bu-bing adalah pesilat yang paling tangguh di bawah naungan Siangkoan Kim-hong.”

Si Bungkuk Sun mengerutkan keningnya. “Mengapa aku belum pernah mendengar namanya?”

Sahut Sun Sio-ang, “Ia baru muncul dua tahun terakhir ini. Menurut kakek, di antara pesilat-pesilat muda, ia dan A Fei adalah yang terbaik.”

“O ya?”

Kata Sun Sio-ang, “Ia juga menggunakan pedang, dan seperti A Fei, pedangnya pun luar biasa cepat, tepat dan mematikan! Selain itu, dia punya satu sifat lagi yang sungguh berbahaya.”

Si Bungkuk Sun terus menyimak dengan serius.

Lanjut Sun Sio-ang, “Ia jarang bertempur, namun sekali bertempur, ia seakan-akan tidak peduli lagi akan hidupnya sendiri. Tiap serangan adalah serangan berani mati. Karena ia disebut ‘Tidak Ada Kehidupan’, sudah tentu ia tidak peduli akan hidupnya.” Si Bungkuk Sun hanya terdiam. Lalu ia bertanya, “Di mana kakekmu?”

Jawab Sun Sio-ang, “Kami berjanji bertemu di luar kota…”

Ia tersenyum penuh kemenangan. “Kakek tahu aku akan menemukan cara untuk membawa Li Sun-Hoan ke sana.”

Si Bungkuk Sun hanya tersenyum dan menggelengkan kepalanya. “Kau memang betul-betul gadis kecil yang penuh akal bulus.”

Sun Sio-ang memonyongkan mulutnya. “Aku sudah hampir dua puluh tahun. Mengapa kau masih memanggilku gadis kecil?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar