Si Pisau Terbang Li Bab 28 : Koin Pencabut Nyawa

  
Bab 28. Koin Pencabut Nyawa

Setelah beberapa lama, terdengar suara du, du, du, du…. dari arah jalan. Suara itu monoton dan membosankan.

Namun di tengah malam seperti itu, suara itu sungguh mencekam. Seakan-akan memukul-mukul hati manusia dengan tongkat.

Du, du, du…. bisa membuat orang yang mendengarnya jadi gila. Keempat orang berjubah kuning itu saling pandang, lalu keempatnya bangkit berdiri.

Dari kegelapan malam, muncul sesosok bayangan. Kaki kiri orang ini buntung, ia berjalan dengan tongkat.
Ketika cahaya suram dari warung itu menyinari wajah orang itu, terlihatlah rambutnya yang acak-acakan, wajahnya yang hitam seperti pantat panci dan penuh dengan bekas luka.

Matanya segitiga, alisnya tebal, hidungnya besar, mulutnya pun besat. Wajahnya sangat jelek, walaupun tanpa bekas-bekas luka itu.

Semua orang pasti jijik melihatnya.

Namun keempat orang berjubah kuning itu menghampirinya dan membungkuk dengan hormat.

Si kaki satu hanya mengibaskan tangannya.

Du, du, du…. orang itu berjalan masuk ke dalam warung.

Si Bungkuk Sun melihat bahwa orang inipun mengenakan jubah kuning dengan garis keemasan di bagian sampingnya.

Si kurus pun melihat dia masuk. Wajahnya langsung berubah. Si kaki satu memandang ke seluruh ruangan. Matanya berbinar waktu melihat si kurus. Katanya pada keempat orang itu, “Kalian telah bekerja keras.”

Walaupun wajahnya mengerikan, suaranya amat menyenangkan.

Keempat orang berjubah kuning itu hanya menjawab, “Ah, biasa saja.”

Si kaki satu bertanya, “Apakah mereka semua di sini?”

Salah seorang yang berjubah kuning itu menjawab, “Semuanya ada 49 orang. Mereka semua di sini.”

Si kaki satu bertanya lagi, “Apakah kalian yakin mereka semua datang untuk itu?”

Si tua berjubah kuning menjawab, “Aku telah memastikannya. Mereka semua datang dalam tiga hari terakhir ini. Jadi pasti mereka datang untuk itu. Kalau tidak, buat apa mereka datang ke sini?”

Si kaki satu mengangguk dan berkata, “Bagus kalau kau sudah memastikannya, jadi kita tidak akan menyakiti orang yang tidak berdosa.”

Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Tentu saja.”

Si kaki satu pun bertanya, “Jadi orang-orang itu sudah paham?”

Sahut si tua berjubah kuning, “Belum.” Si kaki satu pun berkata, “Kalau begitu mereka harus diberi tahu.”

“Ya.”

Ia berjalan keluar, lalu berkata, “Aku yakin kalian semua tahu siapa kami. Kami pun tahu pasti apa maksud kalian datang ke sini.”

Sambungnya, “Aku tahu kalian semua mendapatkan surat yang sama. Itulah alasannya kalian datang kemari.”

Orang-orang itu tidak bisa mengangguk, dan mereka pun takut salah bicara. Jadi tidak ada seorang pun yang menjawab.

Si tua berjubah kuning pun berkata lagi, “Tapi dengan kemampuan kalian, kalian tidak pantas datang. Oleh sebab itu, kalian semua harus berdiri di sini. Sampai kami menyelesaikan urusan kami, dan demi keselamatan kalian semua, berdirilah di sini dengan tenang. Kalian akan baik-baik saja.”

Ia terkekeh. “Aku yakin kalian tahu bahwa kecuali terpaksa, kami tidak akan melukai siapapun.”

Ketika ia mengatakan ini, seseorang terbatuk.

Orang itu adalah Cui-coa Oh Bi, si wanita genit berbaju hijau.

Supaya pinggangnya tetap tampak ramping, ia lebih baik kedinginan daripada mengenakan pakaian yang tebal. Ini adalah salah satu kebiasaan buruk yang dimiliki hampir setiap wanita.

Ia berpakaian sangat minim dan kebetulan hari ini angin bertiup cukup kencang. Ditambah lagi, ia berdiri paling depan, sehingga angin langsung menerpanya. Tidak heran, ia langsung masuk angin.

Sewaktu ia bersin, koin di atas kepalanya jatuh.

Terdengar bunyi ‘cring’ sewaktu koin itu jatuh ke tanah dan bergulir menjauh. Wajahnya langsung memucat, demikian pula wajah semua orang di situ.

Si tua berjubah kuning bertanya, “Kau tahu peraturan kami?”

Cui-coa Oh Bi menjawab terbata-bata, “Y….ya.”

Si tua berjubah kuning menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau seharusnya lebih berhati-hati.”

Seluruh tubuh Cui-coa Oh Bi gemetaran. “Itu adalah kecelakaan. Tolong ampuni nyawaku.”

Si tua berjubah kuning pun menyahut, “Aku pun tahu itu kecelakaan, tapi aku tidak bisa melanggar peraturan.
Siapa yang akan menaati peraturan jika orang bisa seenaknya melanggar? Kau sudah lama berkecimpung dalam dunia persilatan. Seharusnya kau sudah tahu.”

Cui-coa Oh Bi menoleh pada Pek-mo-kau Oh Hui, kakaknya. “Toako, kau… tidak mau menolong aku?” Pek-mo-kau Oh Hui memejamkan matanya. Otot wajahnya mengejang. “Aku bisa berbuat apa?”

Cui-coa Oh Bi tersenyum. “Aku mengerti…. Aku tidak akan menyalahkan engkau.”

Mata Cui-coa Oh Bi kini memandang Thi-jiang-siau-pa- ong Nyo Seng-cu. “Bagaimana dengan engkau, Yang sayang? Aku sudah akan pergi, adakah yang ingin kau katakan padaku?”

Mata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu terus memandang kosong ke tanah, tanpa perasaan.

Kata Cui-coa Oh Bi, “Kau bahkan tidak ingin melihatku?”

Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu memejamkan matanya.

Cui-coa Oh Bi tiba-tiba tertawa histeris sambil menuding Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu. “Kalian semua, lihat ini. Orang ini adalah kekasihku. Semalam ia berkata bahwa selama aku mencintainya, ia rela mati bagiku.
Tapi sekarang? Sekarang, melihat padaku pun tidak mau, seakan-akan aku akan menularkan penyakit….”

Tawanya sedikit demi sedikit berhenti, berganti dengan air mata yang turun membasahi pipinya. “Apa itu kasih sayang? Apa itu cinta? Untuk apa aku hidup sekarang? Lebih baik mati sekarang daripada terus hidup.”

Sambil berbicara, tubuhnya berguling di tanah sejauh beberapa meter dengan cepat dan disambitkannya sejumlah senjata rahasia Bintang Es ke arah si tua berjubah kuning itu.

Lalu tubuhnya segera melayang, berusaha melewati tembok.

Keahlian Cui-coa Oh Bi adalah meringankan tubuh dan senjata rahasia. Kepandaiannya di bidang ini sebetulnya cukup tinggi. Menyambitkan begitu banyak Bintang Es dengan cepat, akurat, dan sangat mematikan!

Si tua berjubah kuning itu hanya mengangkat alisnya sedikit lalu berkata, “Buat apa kau berbuat ini….”

Ia mungkin berjalan dan berbicara dengan lambat, namun gerakannya sungguh sangat cepat. Ketika kalimatnya selesai, ia pun sudah menangkap seluruh Bunga Es itu dengan lengan bajunya.

Pada saat Cui-coa Oh Bi akan melompat melewati tembok itu, ia merasa ada serangkum tenaga yang besar datang ke arahnya, sehingga ia malah menubruk tembok itu dan jatuh ke tanah. Seluruh tubuhnya mengeluarkan darah.

Kata si tua berjubah kuning, “Sebenarnya kau bisa mati dengan tenang, sayang….”

Tangan Cui-coa Oh Bi memegangi dadanya. Ia terbatuk dan terus terbatuk, mengeluarkan darah.

Si tua berbaju kuning pun berkata lagi, “Sebelum kau mati, akan kukabulkan satu permintaanmu.” Tanya Cui-coa Oh Bi, “Ini juga salah satu peraturanmu?” “Ya.”
“Apapun yang kuminta, akan kau kerjakan?”

Si tua menjawab, “Jika kau punya urusan yang belum selesai, kami akan menyelesaikannya. Jika kau ingin membalas dendam, kami dapat melakukannya untukmu.”

Ia terkekeh, lalu menyambung, “Jadi siapapun yang mati di tangan kami bisa dibilang cukup beruntung.”

Mata Cui-coa Oh Bi menjadi cerah. Katanya, “Karena aku memang harus mati, bolehkah aku memilih siapa yang akan membunuhku?”

Si tua berjubah kuning menjawab, “Tidak ada masalah. Siapa yang kau inginkan?”

Cui-coa Oh Bi menggigit bibirnya, dan berkata, “Dia, Thi- jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu!”

Wajah Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung memucat, katanya, “Apa maksudmu? Kau ingin membunuhku juga?”

Sahut Cui-coa Oh Bi, “Kau cuma berpura-pura sayang padaku, padahal aku betul-betul cinta padamu. Jika aku bisa mati di tanganmu, aku mati berbahagia.” Si tua berjubah kuning pun berkata, “Mudah sekali membunuh orang. Jangan bilang bahwa kau tidak pernah membunuh.”

Tangannya bergerak sedikit dan sebilah pisau pun keluar. Lalu ia berjalan dan memberikannya kepada Thi-jiang- siau-pa-ong Nyo Seng-cu. “Pisau ini sangat tajam. Tidak perlu menusuk dua kali untuk membunuh.”

Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menggelengkan kepalanya, katanya, “Aku tidak…..”

Sewaktu berbicara, koin di atas kepalanya pun jatuh ke tanah.

Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu langsung mengejang.

Cui-coa Oh Bi langsung tertawa terbahak-bahak. “Katamu kemarin, jika aku mati, kau pun tidak ingin hidup lagi. Kini, kau benar-benar akan mati bersamaku. Setidaknya sebagian kata-katamu benar juga.”

Tubuh Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu bergetar hebat, lalu ia berteriak, “Kau…..!!! Kau wanita tidak berperasaan…”

Ia segera menyambar pisau itu, berjalan cepat ke arah Cui-coa Oh Bi-toasiansingn menyayat leher Cui-coa Oh Bi. Darah muncrat membasahi tubuhnya.

Akhirnya dia menjadi tenang dan mengangkat kepalanya. Semua orang memandangnya dingin.

Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu menghentakkan kakinya, lalu menyayat lehernya sendiri dengan pisau yang sama. Tubuhnya menelungkup di atas tubuh Cui- coa Oh Bi.

Kini Si Bungkuk Sun mengerti mengapa orang-orang itu berjalan dan berdiri dengan aneh.

Peraturan orang-orang berjubah kuning ini sungguh mengerikan dan sulit dimengerti.

Namun si kurus tidak peduli sedikitpun. Seolah-olah hal seperti ini terjadi setiap hari.

Saat ini, si kaki satu bangkit berdiri, lalu berjalan ke arah meja si kurus dan duduk di hadapannya.

Si kurus pun mengangkat kepalanya dan memandang si kaki satu lekat-lekat.

Mereka tidak bicara sepatah kata pun, namun Si Bungkuk Sun merasa suatu peristiwa besar akan segera terjadi.

Mata kedua orang ini bagaikan pisau, saling menusuk hati satu sama lain.

Cukup lama mereka saling pandang, akhirnya si kaki satu tersenyum. Senyumnya sangat unik, sangat aneh. Bisa membuat orang lupa betapa jelek wajahnya, karena senyumnya begitu hangat dan lembut.

Ia tersenyum sambil berkata, “Sekarang aku tahu siapa engkau.”

“O ya?”

“Aku rasa kau pun tahu siapa kami.”

“Dalam dua tahun terakhir ini, rasanya tidak ada seorang pun yang tidak tahu siapa kalian.”

Si kaki satu terkekeh. Lalu dikeluarkannya selembar surat.

Surat itu tampak biasa saja, namun Si Bungkuk Sun ingin sekali tahu apa isi surat itu.

Si kaki satu berkata, “Aku rasa kau datang jauh-jauh karena surat ini juga, bukan?”

Si kurus menyahut, “Mungkin.”

Kata si kaki satu, “Katanya, lebih dari seratus orang menerima surat ini, namun tidak seorang pun yang tahu siapa pengirimnya. Walaupun sudah berusaha kuselidiki, aku tidak menemukan jejak apapun.”

Si kurus pun berkata, “Jika kau tidak berhasil menemukan jejaknya, tidak ada seorang pun yang bisa!” Kata si kaki satu, “Walaupun kami tidak tahu siapa penulisnya, kami tahu alasan dia menulis.”

“O ya?”

Si kaki satu menerangkan, “Ia berusaha mengumpulkan jago-jago silat ke tempat ini, supaya kita semua saling bertempur, dan pada akhirnya dialah yang memetik hasilnya.”

Tanya si kurus, “Kalau begitu, mengapa kau masih ada di sini?”

“Karena rencana yang sangat berbahaya itulah, kami harus datang.”

“O ya?”

Si kaki satu tersenyum. “Kami datang untuk memberi tahu semua orang alasan surat itu dikirimkan, supaya tidak seorang pun masuk ke dalam perangkapnya.”

Si kurus pun menyahut, “Betapa setia kawannya engkau.”

Si kaki satu seperti tidak menangkap nada sindiran dalam suara si kurus. Ia berkata, “Kami hanya ingin membuat persoalan besar menjadi kecil, dan persoalan kecil menjadi tidak ada, agar semua orang bisa hidup tenteram.” Si kurus pun berkata, “Sebenarnya, tidak ada yang tahu pasti apakah di sini betul-betul ada harta karun atau tidak.”

Sahut si kaki satu, “Oleh sebab itu, bukankah sangat disayangkan kalau seseorang kehilangan nyawanya hanya karena omong kosong ini.”

Si kurus pun menjawab, “Namun karena aku sudah berada di sini, sekalian saja aku lihat apa yang sebenarnya terjadi. Bagaimana mungkin hanya dengan beberapa kata seseorang berusaha membujukku untuk pergi?”

Wajah si kaki satu pun berubah tegang, katanya, “Jadi kau tidak mau pergi?”

Si kurus tertawa dingin. “Walaupun aku pergi, harta karun itu tidak akan jatuh ke tanganmu!”

Sahut si kaki satu, “Selain engkau, kurasa tidak ada lagi yang dapat menandingi kami.”

Ia menekan tongkat besinya dan terdengar suara berderak. Tongkatnya yang dua meter itu kini satu setengah meternya tertanam dalam tanah.

Si kurus berkata dengan dingin, “Ilmu silat kelas tinggi. Tidak heran dalam Kitab Persenjataan Pek-hiau-sing, tongkat besimu ada di urutan ke delapan.” Si kaki satu pun berseru, “Cambuk Ularmu yang terkenal itu ada di urutan ketujuh. Aku sudah lama ingin menjajalnya!”

Si kurus pun menjawab, “Aku pun sudah menanti- nantikan pertempuran ini!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar