Si Pisau Terbang Li Bab 27 : Makin Banyak Orang Aneh yang Datang

  
Bab 27. Makin Banyak Orang Aneh yang Datang

Hari ini si pemabuk tampak berbeda. Ia minum sangat sangat lambat. Matanya sangat terang. Tidak ada potongan kayu di tangannya dan secara khusus dipindahkannya lilin di mejanya ke tempat lain.

Matanya terus memandang ke pintu, seolah-olah menantikan kedatangan seseorang.

Namun waktu terus berlalu tanpa ada tamu lain yang datang.

Si Bungkuk Sun menguap. “Sepertinya sudah tidak akan ada tamu lagi. Aku rasa sudah waktunya tutup warung.”

Si pemabuk tertawa. Katanya, “Jangan buru-buru. Kujamin, hari ini bisnismu akan luar biasa.”

Si Bungkuk Sun bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu?” Jawab si pemabuk, “Karena aku bisa meramal.”
Ia memang benar-benar bisa meramal, karena sebentar saja, beberapa kelompok orang telah datang ke warung itu.

Kelompok yang pertama terdiri dari dua orang.

Yang satu adalah orang tua berambut putih, berbaju biru dan membawa sebuah pipa. Yang satu lagi adalah seorang gadis kecil, kelihatannya adalah cucu orang tua itu. Rambutnya yang hitam berkilauan itu dikuncir dua. Kedua matanya besar, lebih hitam dan lebih berkilauan daripada rambutnya.

Kelompok yang kedua juga terdiri dari dua orang.

Keduanya terlihat kotor dan berantakan, namun mereka berdua berbadan kekar dan mengenakan pakaian yang sama persis, dan membawa senjata yang sama pula.
Seperti pinang dibelah dua.

Kelompok yang ketiga terdiri dari empat orang.

Yang seorang bertubuh jangkung, yang seorang bertubuh pendek, yang seorang adalah seorang pemuda berbaju ungu dan membawa tombak di punggungnya, dan yang seorang lagi seorang wanita berbaju hijau yang mengenakan begitu banyak perhiasan. Wanita ini berjalan sambil menggoyangkan pantatnya seperti seorang gadis kecil. Padahal ia sudah cukup tua untuk menjadi ibu seorang gadis kecil.

Kelompok yang terakhir hanya terdiri dari satu orang.

Orang ini sangat sangat kurus. Ia membawa pedang lemas yang tersemat di pinggangnya.

Di ruangan itu ada lima meja, sehingga keempat kelompok ini sudah memenuhi seluruh warung. Si Bungkuk Sun menjadi sangat sibuk. Ia hanya bisa berharap besok warungnya tidak selaris ini lagi. Keempat kelompok orang ini hanya duduk-duduk sambil minum arak. Mereka berbicara sedikit saja. Kalaupun berbicara, mereka berbisik-bisik, seolah-olah takut yang lain akan mendengar.

Setelah beberapa saat, si pemuda bertombak mulai memandang si gadis berkuncir. Anehnya si gadis itu tampak tidak peduli.

Si pemuda itu tiba-tiba tertawa. “Apakah gadis ini seorang penyanyi?”

Si gadis berkuncir menggelengkan kepala, sehingga kuncirnya berkibar-kibar ke kiri ke kanan. Ia tampak makin cantik.

Kata si pemuda, “Walaupun kau bukan penyanyi, pastilah kau bisa menyanyi. Jika kau menyanyi dengan baik, aku akan memberimu hadiah.”

Si gadis berkuncir menyahut, “Aku tidak bisa menyanyi, aku hanya bisa bicara.”

“Bicara tentang apa?” “Tentang buku, atau cerita.”
Kata si pemuda, “Oh, itu lebih bagus. Tapi cerita macam apakah yang akan kau ceritakan? Pelajar dan gadis yang bertemu di taman? Anak perempuan menteri mencari jodoh?” Si gadis berkuncir menggelengkan kepalanya. Katanya, “Salah semua. Aku bercerita tentang kabar terbaru dan terhangat dari dunia persilatan.”

Si pemuda bertepuk tangan senang. “Hebat. Hebat. Aku jamin, cerita itulah yang paling diminati semua orang di sini. Ayo cepat mulai.”

Sahut si gadis berkuncir, “Tapi bukan akulah yang bisa, hanya kakekkulah yang akan bercerita.”

Si pemuda memandang si orang tua, lalu bertanya pada si gadis, “Lalu apa yang kau bisa?”

“Aku hanya dapat membantu kakekku.”

Si orang tua minum beberapa cawan arak, lalu mulai mengisap pipanya. Ia bekata perlahan-lahan, “Pernahkah kau dengar nama Li Sun-Hoan?”

Selain si pemuda, orang-orang lain di warung itu tidak memperhatikan kakek dan cucu ini. Namun ketika mereka mendengar nama Li Sun-Hoan disebut, telinga mereka langsung berdiri.

Si gadis berkuncir menjawab sambil tersenyum, “Tentu saja pernah. Ia adalah seorang pahlawan yang gagah, Li- tamhoa yang terkenal itu, bukan?”

Jawab si orang tua, “Tepat sekali.” Si gadis berkuncir berkata, “Kudengar Pisau Kilat si Li tidak pernah luput. Sampai hari ini, tidak ada seorang pun yang dapat lolos darinya. Apakah memang begitu?”

Sahut si orang tua, “Jika kau tidak percaya, kau boleh tanya pada si serba tahu Pek-hiau-sing, atau Ngo-tok- tongcu, dan kau pun akan mengerti apakah perkataan itu benar atau tidak.”

Tanya si gadis berkuncir, “Maksudmu Pek-hiau-sing dan Ngo-tok-tongcu sudah mati?”

“Ya. Mereka mati karena mereka tidak percaya akan perkataan itu.”

Orang kurus jangkung itu terbatuk perlahan, namun semua orang telah hanyut dalam cerita itu, sehingga mereka tidak memperhatikan.

Hanya si pemabuk yang tertelungkup di atas mejanya, sepertinya ia sudah mabuk berat.

Si orang tua menyeruput tehnya, lalu berkata, “Sayangnya, Li Sun-Hoan pun sudah mati.”

Si gadis berkuncir terperanjat, “Mati? Siapa yang begitu hebat bisa membunuh dia?”

Sahut si orang tua, “Dirinya sendiri!”

Si gadis berkuncir memandang kakeknya beberapa saat, lalu ia tersenyum. “Mana mungkin ia bunuh diri? Ia pasti masih hidup.” Si orang tua mendesah. Katanya, “Walaupun ia masih hidup, ia pun hidup seperti orang mati…. Sungguh sayang…..”

Si gadis berkuncir pun mendesah. Lalu bertanya, “Selain dia, siapakah lagi yang bisa disebut sebagai pahlawan?”

Kata si orang tua, “Pernahkah kau dengar tentang A Fei?”

Si gadis berkuncir menjawab, “Sepertinya pernah dengar.”

Matanya berputar, lalu ia melanjutkan, “Kudengar kecepatan pedangnya tiada duanya di dunia persilatan. Benarkah itu?”

Si orang tua balas bertanya, “Menurutmu bagaimanakah ilmu silat In Gok?”

Jawab si gadis berkuncir, “Dalam Kitab Persenjataan, Jing-mo-jiu (Tangan Setan Hijau) menduduki tempat kesembilan. Jadi pastilah dia sangat hebat.”

Tanya si orang tua lagi, “Bagaimana dengan Thi-tiok Siansing, Pendeta Sin-kam Taysu, Tio Cing-ngo dan Dian- jitya?”

Jawab si gadis berkuncir, “Mereka semua orang-orang terkenal dalam dunia persilatan. Semua orang tahu tentang mereka.” Kata si orang tua, “Jika pedang A Fei tidak terlalu cepat, bagaimana mungkin semua orang ini dikalahkannya?”

Tanya si gadis berkuncir, “Apa yang terjadi pada A Fei sekarang?”

Si orang tua menghela nafas. “Seperti Li-tamhoa, ia pun menghilang. Tidak ada yang tahu di mana ia berada.
Hanya saja, ia menghilang hampir bersamaan waktunya dengan menghilangnya Lim Sian-ji.”

“Lim Sian-ji? Maksudmu wanita yang katanya tercantik di seluruh dunia?”

Jawab si orang tua, “Betul sekali.”

Si gadis berkuncir pun berkata, “Oh, apakah cinta itu? Mengapa banyak orang terperangkap oleh cinta dan tidak dapat lepas…..”

Si pemuda menjadi tidak sabar dan berkata, “Jangan menyimpang dari cerita. Ayo cepat teruskan.”

Si orang tua menggelengkan kepalanya dan berkata, “Orang seperti A Fei dan Li Sun-Hoan sudah tidak ada lagi. Apa lagi yang dapat diceritakan tenTong Toknia persilatan? Sampai di sini saja.”

Si kurus tertawa dingin, “Mungkin kau salah.”

Kata si orang tua, “Maksudmu, kau punya cerita yang lebih baik?” Orang itu memandang ke sekelilingnya. “Aku tahu, sesuatu yang luar biasa akan terjadi sebentar lagi.”

Tanya si orang tua, “Kapan? Di mana?”

Si kurus menggebrak meja lalu berseru, “Sekarang, di sini!”

Waktu mendengar ini, kedua orang kembar dan kelompok empat orang itu menjadi pucat. Hanya si wanita berbaju hijau itu saja yang masih tersenyum. Katanya, “Aku tidak melihat ada sesuatu pun yang luar biasa yang sedang terjadi.”

Kata si kurus, “Menurut perhitunganku, setidaknya akan ada enam orang yang mati di sini SEKARANG!”

Si wanita baju hijau bertanya, “Enam orang yang mana?”

Si kurus minum araknya, lalu menjawab, “Pek-mo-kau (monyet berbulu putih) Oh Hui, Tay-lik-sin (malaikat bertenaga raksasa) Toan Kay-san, Thi-jiang-siau-pa-ong (si raja tombak) Nyo Seng-cu, Cui-coa (ular air) Oh Bi, dan Lam-san-sin-hou kedua Han bersaudara!”

Setelah disebutnya enam nama itu, dua bersaudara dan keempat orang dari kelompok yang ketiga itu pun segera bangkit. Mereka berteriak, “Kau pikir kau ini siapa?
Berani-beraninya kau omong kosong di sini!”

Suara yang terkeras sudah pasti adalah suara si orang berotot besar itu, Tay-lik-sin Toan Kay-san. Waktu ia berdiri, ia lebih jangkung daripada semua orang yang lain. Bahkan Lam-san-sin-hou kedua Han bersaudara yang tinggi besar pun lebih pendek setengah kepala.

Kelihatannya ia masih belum puas mengejek. “Aku rasa kaulah yang sedang sial hari ini. Kau tidak akan hidup lewat tengah malam….”

Belum selesai ia bicara, si kurus mengangkat kakinya menendang dan menampar pipinya tujuh belas kali.

Walaupun Tay-lik-sin Toan Kay-san punya dua tangan, ia tidak dapat menangkis tamparan itu. Walaupun ia punya dua kaki, ia tidak dapat mengelak dari tamparan itu.
Seakan-akan kepalanya dipukul sampai dia Linglung, tidak bisa bergerak.

Yang lain hanya bisa memandang dengan heran.

Namun orang itu berkata, “Kau pikir aku ini datang untuk membunuh kalian? Kalian ini tidak berharga untuk kubunuh! Aku hanya ingin memberi kalian pelajaran, supaya kalian belajar sopan santun dalam berbicara.”

Seraya berbicara, ia kembali ke tempat duduknya.

Kata Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu, “Tunggu dulu. Katakan, siapa yang akan datang untuk membunuh kami?”

Sambil bertanya, ia menghunus tombaknya tiba-tiba. Ditusukkannya ke arah si kurus.

Orang itu tidak melirik sedikitpun. Katanya, “Orang yang akan membunuh kalian sudah hampir tiba.”

Pinggang si kurus meliuk sedikit dan kini tombak itu telah terjepit di bawah ketiak si kurus. Thi-jiang-siau-pa-ong Nyo Seng-cu berusaha keras menariknya kembali, namun tidak berhasil. Wajahnya langsung memucat.

Si kurus kemudian berkata, “Karena kau tidak mungkin lolos, sebaiknya kau tunggu saja di sini dengan tenang.”

Mendadak ia kendurkan kepitannya, karena lagi membetot dengan bernafsu, keruan Nyo Seng-cu kehilangan imbangan badan, ia terjengkang ke belakang. Kalau Cui-coa Oh Bi, yaitu si nyonya berbaju hijau, tidak keburu menahannya, bisa jadi meja kursi akan ditumbuknya hingga berantakan.

Waktu ia periksa tombak sendiri, tombak itu sudah berubah menjadi toya. Entah sejak kapan ujung tombaknya telah hilang.

Terdengar suara berdesing dan kepala tombak itu sudah menancap di meja. Si kurus menuang arak lagi ke cawannya, seolah-olah tidak ada sesuatu pun yang baru saja terjadi.

Tetapi Keenam orang tidak bisa setenang si kurus. Wajah mereka sudah tidak ada warnanya. Mereka semua sedang berpikir, “Siapakah yang akan datang untuk membunuh kami? Siapa….”

Angin di luar bertiup makin kencang, sampai lentera di dalam pun bergoyang-goyang. Si kurus tetap duduk di situ tanpa bicara.

Siapakah orang ini?

Dilihat dari ilmu silatnya, ia pasti adalah salah satu tokoh dunia persilatan yang hebat. Namun mengapa mereka semua tidak mengenalnya?

Kenapa ia datang ke sini?

Tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya. Bagaimana mungkin mereka bernafsu untuk minum arak lagi?

Beberapa dari mereka sudah ingin kabur, tapi mereka tahu itu tindakan pengecut. Lagi pula, bagaimana mereka bisa kabur?

Oh Hui bertubuh kurus kecil, pada mukanya berbulu putih, maka berjuluk si monyet berbulu putih, mendadak ia berbangkit dengan sinar mata gemerdep, ia mendekati meja kedua Han bersaudara itu, ia memberi hormat dan menyapa, "Nama kebesaran Lam-san-siang-hou sudah lama kukagumi."

Cepat kedua Han bersaudara juga berdiri dan membalas hormat, Toa-hou, si harimau besar, Han Pan, menjawab, "Ah, terima kasih. Oh-tayhiap dan nona Oh berdua saudara juga terkenal menguasai Ginkang dan senjata rahasia yang tidak ada bandingannya, kami juga sudah lama sangat kagum."

"Terima kasih," sahut Oh Hui.

Di sebelah sana si ular air Oh Bi yang berbaju hijau itu pun mengangguk dengan tertawa genit sebagai tanda hormat.

Segera Oh Hui berkata pula, "Apabila Anda berdua tidak menolak, bagaimana kalau pindah saja ke sebelah sana untuk bicara lebih lanjut?"

"Baik, kami memang ada maksud demikian," jawab Han Beng, si harimau kedua.

Kedua kelompok ini bila bertemu di tempat lain, bisa jadi akan segera saling labrak mati-matian, tapi sekarang mereka harus menghadapi musuh yang sama, biarpun bukan sahabat juga berubah menjadi keluarga.

Sesudah berkumpul dan saling angkat cawan arak, lalu Oh Hui berkata pula, "Selama ini kalian tinggal di daerah timur, sedangkan kami bergerak di daerah selatan, sungguh tidak habis kupikir siapakah gerangan yang bermaksud menumpas kita sekaligus?"

"Ya, kami juga heran," jawab Han Pan.

"Dari nada ucapan sobat itu tadi, Kungfu orang yang hendak membunuh kita itu pasti sangat tinggi, mungkin kita memang bukan tandingannya," kata Oh Hui pula. "Tapi apa pun juga, gabungan beberapa orang bodoh akan menghasilkan seorang pintar. Dengan tenaga gabungan kita berenam rasanya masih dapat memberikan perlawanan yang memadai."

Serentak semangat kedua Han bersaudara terbangkit, seru Han Pan, "memang tepat ucapan Oh-heng. Jelek- jelek kita berenam juga tokoh daerahnya masing-masing, kita bukan patung, memangnya diam saja membiarkan kepala sendiri dipenggal orang?"

Segera Han Beng juga berseru, "Betul, seperti kata peribahasa, datang prajurit tahan dengan panglima, banjir air uruk dengan tanah. Jika dia betul-betul datang
.... Hehe "

Banyak orang memang membesarkan nyali, setelah enam orang bergabung, hati Toan Kay-san dan Nyo Seng-cu menjadi tabah juga. Mereka terus berceloteh,
yang ini memuji yang itu, yang itu mengumpak pula yang ini.

Mendadak terdengar orang menjengek di luar.

Wajah keenam orang ini langsung berubah. Dalam tenggorokan mereka seolah-olah tumbuh tumor, sehingga mereka tidak dapat bicara. Bahkan tidak dapat bernafas.

Si Bungkuk Sun amat ketakutan. Namun keenam orang ini lebih lagi ketakutannya.

Empat orang muncul di pintu. Keempat orang ini semuanya mengenakan jubah panjang berwarna kuning. Satu bermata besar, satu berhidung runcing. Merekalah orang yang datang tadi pagi.

Walaupun mereka sudah di depan pintu, tidak ada seorang pun yang masuk. Mereka berempat hanya berdiri di situ. Wajah mereka pun tidak menakutkan.

Si Bungkuk Sun tidak habis pikir mengapa keenam orang ini sungguh ketakutan melihat mereka. Dari wajah Keenam orang itu, seakan-akan empat orang yang baru datang itu bukan manusia, tapi setan dari neraka.

Mereka kini menjadi iri hati terhadap si pemabuk, karena ia tidak melihat apapun, mendengar apapun, sehingga sedikitpun ia tidak merasa takut.

Yang aneh adalah perilaku kelompok yang pertama. Si orang tua itu hampir tidak punya gigi lagi, dan si gadis kecil itu masih sangat muda. Seolah-olah angin sepoi- sepoi pun dapat menerbangkannya.

Namun kedua orang ini tidak menunjukkan sedikitpun rasa takut. Si orang tua masih terus minum arak.

Mereka hanya memandang sekilas ke arah empat orang itu, lalu minggir sedikit.

Seorang pemuda yang masih sangat muda masuk, tangannya ada di balik punggungnya. Ia berjalan pelan- pelan. Anak muda ini juga mengenakan jubah kuning panjang. Ia kelihatan sangat berwibawa, dan perilakunya penuh tata krama. Perbedaannya dengan keempat orang yang lain hanyalah bahwa jubahnya memiliki garis keemasan di bagian samping.

Akan tetapi, wajahnya sedingin es, tanpa perasaan sedikitpun. Matanya tertuju pada si jangkung kurus.

Si kurus tidak mempedulikan anak muda itu. Ia terus saja minum.

Si anak muda berrjubah kuning itu hanya tersenyum, lalu menoleh ke arah enam orang yang lain.

Keenam orang ini semuanya kelihatan terlebih buas daripada anak muda itu, tapi tersapu oleh sorot matanya, kaki keenam orang itu serasa lemas semua, berduduk saja tidak mantap.

Perlahan-lahan ia berjalan ke arah mereka, sambil mengeluarkan beberapa koin emas. Lalu diletakkannya koin itu ke atas kepala kepala Keenam orang itu, masing- masing satu.

Keenam orang itu seakan-akan berubah menjadi sebatang kayu. Mereka hanya menatap nanar waktu si anak muda meletakkan koin itu ke atas kepala mereka. Kentut saja tidak berani.

Si anak muda berbaju kuning itu masih punya beberapa koin lagi di tangannya. Ia lalu berjalan ke arah si orang tua dan si gadis muda. Si orang tua tersenyum. “Jika kau ingin minum arak, silakan saja. Aku yang bayar.”

Si orang tua kelihatan sudah agak mabuk. Pipinya menggembung seperti ada telur di dalamnya. Bibirnya membengkak, sehingga kata-katanya sulit dimengerti.

Si anak muda berjubah kuning itu menatap dia lekat- lekat dengan wajah kaku. Tiba-tiba ia menggebrak meja dan kacang goreng dalam piring pun berhamburan ke udara, lalu berjatuhan ke atas kepala si orang tua.

Si orang tua pasti ketakutan setengah mati, sampai- sampai ia tidak berusaha menghindar dari kacang-kacang itu. Namun sebelum kacang itu mengenai kepalanya, si anak muda mengebaskan lengan bajunya dan kacang- kacang itu pun kembali jatuh ke atas piring.

Si gadis berkuncir tertawa gembira. “Wah. Hebat sekali. Aku tidak tahu kalau kau bisa ilmu sulap. Bisakah kau mengulanginya sekali lagi? Jika kau mau, pasti kakekku tak akan keberatan mentraktirmu arak.”

Si anak muda berjubah kuning itu baru saja mendemonstrasikan ilmu silat tingkat tinggi, namun sayangnya kali ini ia bertemu dengan dua orang yang tidak tahu apa-apa. Bahkan menyangka dia sedang main sulap.

Tapi si anak muda ini tidak marah. Ia memandang sekejap pada si gadis berkuncir, dan tersenyum. Lalu ia pergi meninggalkan mereka. Tapi si gadis berkuncir berkata dengan tidak sabar, “Kenapa kau tidak mau mengulanginya sekali lagi? Aku ingin melihatnya lagi.”

Si kurus tiba-tiba tertawa. “Lebih baik kau tidak melihatnya terlalu sering.”

“Kenapa?”

Jawab si kurus, “Kalau kau tahu ilmu silat, sulapan itu akan membuatmu menjadi orang mati.”

Si gadis berkuncir melirik si anak muda berjubah kuning itu dengan sudut matanya, seakan-akan tidak percaya. Namun ia tidak berani bertanya apa-apa lagi.

Sementara itu si anak muda berjubah kuning itu sendiri tidak mendengar percakapan itu. Ia sudah berjalan menghampiri si pemabuk. Koin bergemerincing di tangannya.

Si pemabuk sudah mabuk berat dari tadi. Ia tidur saja seperti orang mati.

Si anak muda tertawa sambil mencekal rambutnya. Ia memandang wajah si pemabuk dan melepaskan pegangan pada rambutnya.

Kepala si pemabuk berdebam ke meja, namun ia terus tidur.

Si kurus berkata, “Mabuk dapat menyembuhkan banyak kekuatiran. Perkataan ini benar sekali. Lihat saja, keadaan si pemabuk ini lebih baik daripada keadaan Keenam orang yang sadar ini.”

Si anak muda berjubah kuning itu tidak menghiraukan perkataannya. Ia berjalan ke arah pintu.

Lucunya Keenam orang dengan koin emas di atas kepala mereka berbaris mengikuti dia. Seakan-akan mereka ditariknya dengan tali.

Wajah mereka semua murung. Mereka memandang kosong. Kaki mereka melangkah ke depan dan tubuh mereka tegak seperti tongkat, seolah-olah takut koin itu akan jatuh.

Si Bungkuk Sun sudah hidup berpuluh-puluh tahun, tapi baru kali ini ia melihat pemandangan seaneh ini.

Kalau mengingat ilmu silat mereka, seharusnya mereka bisa memberikan perlawanan. Mengapa mereka melihat si anak muda seperti tikus melihat kucing?

Si Bungkuk Sun sungguh tidak mengerti.

Tapi ia pun tidak kepingin tahu. Untuk orang setua dia, ada beberapa hal lebih baik ia tetap tidak tahu.

Sudah cukup lama tidak turun hujan, sehingga debu beterbangan saat angin bertiup.

Keempat orang berjubah kuning itu menggambar beberapa Lingkaran di tanah, ukurannya kira-kira sebesar mangkuk sup. Ketika Keenam orang itu sudah di luar, mereka tidak menunggu perintah, masing-masing langsung berdiri di dalam satu Lingkaran.

Mereka berdiri tegak seperti sebatang pohon.

Si anak muda berjubah kuning itu berjalan kembali ke arah warung, dan duduk di kursi yang tadinya diduduki Tay-lik-sin Toan Kay-san.

Wajahnya masih tetap dingin. Ia pun tidak berbicara sepatah katapun.

Beberapa menit kemudian, ada seorang berjubah kuning lagi yang masuk ke dalam warung.

Orang ini tampak lebih tua, satu telinganya sudah putus, satu matanya buta, dan wajahnya penuh amarah.

Dijubahnya pun ada garis emas di bagian sampingnya. Bersama dia datang sekelompok orang, ada yang jangkung, ada yang pendek, ada yang tua, ada yang muda.

Dari penampilan mereka, kelihatannya mereka adalah orang-orang yang cukup penting. Hanya saja wajah mereka terlihat sama dengan wajah Tay-lik-sin Toan Kay- san dan teman-temannya. Mereka pun lalu mengikuti orang berjubah kuning itu keluar dan masing-masing juga berdiri dalam sebuah Lingkaran.

Salah satu dari mereka berkulit gelap dan kurus kering. Wajahnya tampak sangat kacau. Ketika yang lain melihat dia, mereka semua memandangnya dengan aneh. Seakan-akan heran, mengapa ia ada di situ.

Si mata satu memandang sekilas pada Tay-lik-sin Toan Kay-san dan yang lain-lain, ia terkekeh. Lalu ia masuk ke dalam warung dan duduk di depan si anak muda.

Mereka saling pandang. Keduanya mengangguk, tapi tidak bicara apa-apa.

Tidak berapa lama kemudian, seorang berjubah kuning lagi datang.

Ia lebih tua lagi. Rambutnya sudah putih semua. Jubahnya pun bergaris emas dan di belakangnya tampak lebih banyak lagi orang.

Dari jauh ia tidak kelihatan istimewa, tapi setelah dekat, terlihat wajahnya yang hijau. Ditambah dengan rambutnya yang seluruhnya putih, ia tampak sangat menyeramkan.

Bukan hanya wajahnya yang hijau, tangannya pun hijau.

Orang-orang yang berdiri di luar memandangnya seperti melihat hantu. Nafas mereka tertahan, beberapa bahkan gemetaran.

Dalam satu jam saja, seluruh Lingkaran telah terisi dengan orang yang berdiri kaku, tidak berani bergerak atau bicara. Orang keempat berjubah kuning bergaris emas pun tiba. Yang terakhir ini adalah seorang tua yang tampak lemah. Ia lebih tua lagi dari orang yang tadi. Sampai-sampai berjalan pun susah. Tapi jumlah orang yang dibawanya adalah yang terbanyak.

Keempat orang ini duduk semeja, di tiap-tiap sisinya. Mereka duduk di situ tanpa berbicara.

Orang-orang di luar pun tida ada yang berbicara. Yang terdengar hanya suara nafas mereka.

Warung kecil ini sepertinya telah berubah menjadi kuburan. Bahkan Si Bungkuk Sun pun tidak tahan lagi! Namun si orang tua dan si gadis muda itu belum pergi juga.

Apakah mereka sedang menunggu pertunjukan sulap berikutnya?

Ini memang benar-benar pertunjukan yang sangat hebat!
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar