Si Pisau Terbang Li Bab 23 : Masuk Jebakan

  
Bab 23. Masuk Jebakan

Di malam yang dingin dan berangin kencang ini, Lim Sian-ji dan A Fei sampai di depan sebuah puri yang megah. Sambil menunjuk pada temboknya yang sangat tinggi itu, Lim Sian-ji berkata, “Ini adalah rumah Sin- losam. Ia dan saudara-saudaranya membuka lebih dari empat puluh usaha. Tapi sekarang, seluruh usaha itu menjadi miliknya karena kelima belas saudaranya yang lain telah masuk ke dalam peti mati!” Tanya A Fei, “Bagaimana mereka mati?”

Jawab Lim Sian-ji, “Secara resmi, mereka mati karena sakit. Tapi tidak ada seorang pun yang tahu apa yang sebenarnya terjadi. Aneh bukan kalau lima belas orang yang segar bugar bisa sakit dan mati semua dalam tiga tahun, sedangkan Sin-losam tidak kurang suatu apapun?”

A Fei tidak menjawab. Ia hanya berkata singkat, “Aku akan menemuinya besok malam.”

***

Dengan koordinasi tangan dan kaki yang baik, A Fei memanjat tembok itu.

Setelah dilewatinya, ia melihat sebuah taman yang luas dan beberapa rumah. Pada saat itu, hanya sedikit cahaya yang tampak, sebagian besar orang sudah tidur.

Lim Sian-ji menemukan seorang pelayan yang mau menggambarkan peta tempat itu untuknya. Jadi A Fei tahu pasti ke mana ia harus pergi.

Sin-losam masih terjaga. Rambut pengusaha yang licik itu sudah memutih, namun ia masih duduk di dalam cahaya lilin dengan sipoanya, menghitung pendapatannya.

Ia menghitung tidak terlalu cepat, karena jari-jarinya pendek dan gemuk. Bagaimana seorang dari keluarga kaya mempunyai tangan seperti seorang pekerja? Karena pada waktu ia masih kecil, ayahnya mengusir dia dari rumah, sehingga selama 5 tahun ia terlunta-lunta.
Tidak seorang pun tahu apa yang ia lakukan saat itu. Ada yang bilang ia jadi pengemis, ada yang bilang ia pergi ke Siau-lim-si, mengerjakan pekerjaan kasar dan belajar ilmu silat yang hebat di sana. Oleh sebab itu, waktu saudara-saudaranya meninggal, tidak ada seorangpun yang berani berbicara walaupun sebenarnya mereka curiga.

Tentu saja ia menyangkal semua tuduhan itu. Namun ia tidak bisa menyangkal kedua belah tangannya. Kedua belah tangan itu adalah bukti bahwa ia pernah belajar ilmu silat Thi-soa-ciang atau ilmu pukulan pasir besi dan telah mencapai taraf yang cukup tinggi. Kalau tidak, tidak mungkin kakaknya yang tertua mati selagi muntah darah.

A Fei mendorong jendela di kamar itu dan masuk ke dalam.

Reaksi Sin-losam boleh dibilang cepat, namun ketika ia sadar jendela kamarnya terbuka, A Fei telah berdiri di hadapannya. Ia tidak dapat percaya ada orang yang dapat bergerak secepat itu. Ia menjadi sangat ketakutan dan hanya bisa berdiri mematung.

A Fei memandangnya dingin dan bertanya, “Apakah kau Sin-losam?”

Sin-losam hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya.

Tanya A Fei, “Apakah kau tahu apa yang kuinginkan?” Ia terus mengangguk.

Tanya A Fei lagi, “Adakah yang ingin kau katakan?”

Kini Sin-losam berhenti mengangguk dan mulai menggeleng.

Pedang A Fei terhunus, namun di saat yang sama A Fei merasa ada kejanggalan. Hanya intuisi, seperti yang dimiliki hewan liar, seperti seekor kelinci dapat merasakan kehadiran seekor serigala liar. Tanpa mendengar apa pun juga, atau pun melihat bayangan si serigala.

Kini tanpa ragu-ragu A Fei mengacungkan pedangnya!

Secepat meteor, ditebaskannya pedang itu ke arah dada Sin-losam. Tapi yang terdengar adalah suara berdentang, seperti logam bertemu logam. Pedang itu mengenai lempengan logam, sehingga tidak dapat menembusnya.

Setelah serangan itu, Sin-losam segera berguling ke bawah meja. A Fei segera melompat untuk melarikan diri. Sayang, ia terlambat selangkah.

Sebuah jaring raksasa telah jatuh dari langit-langit. Jaring itu sebesar ruangan itu, sehingga siapapun yang berada di situ pasti akan terperangkap.

A Fei pun terperangkap. Anehnya ia tidak merasa panik atau ketakutan. Ia hanya merasa sedih, karena ia baru tahu bagaimana perasaan seekor binatang yang tertangkap oleh pemburu.

Seekor binatang tidak mungkin lolos dari perangkap pemburu.

Oleh sebab itu, A Fei tidak berusaha melepaskan diri. Ia tahu usaha itu sia-sia belaka.
Saat itu, dua bayangan turun ke atas jala itu, masing- masing membawa sebuah tongkat panjang. Kedelapan Hiat-to (jalan darah) A Fei segera ditutup.

Dua orang ini adalah Sin-kam Taysu dan Pek-hiau-sing dari Siau-lim-si.

Sin-losam sudah tidak ada di bawah meja lagi, karena di situ ternyata ada jalan rahasia.

Sudah jelas sekarang, ini semua adalah jebakan.

Wajah Pek-hiau-sing penuh kemenangan. “Aku tahu kau pasti datang ke sini. Kau menyerah sekarang?”

A Fei diam saja.

Walaupun ia masih bisa bicara, ia tidak merasa perlu untuk menjawab atau bertanya, “Bagaimana kau bisa tahu aku akan datang ke sini?” Matanya menatap kosong, seolah-olah pikirannya pun kosong.

Ia tidak bisa berpikir? Atau tidak mau berpikir? Atau tidak berani berpikir apa-apa?

Kata Pek-hiau-sing, “Aku tahu, kau berusaha menolong temanmu, Li Sun-Hoan, jadi kau berpura-pura menjadi Bwe-hoa-cat .”

A Fei berteriak, “AKULAH Bwe-hoa-cat . Aku tidak perlu berpura-pura. Aku tidak kenal siapa itu Li Sun-Hoan.”

Sahut Pek-hiau-sing, “Benarkah…. Sim-kam Suheng, ia bilang ialah Bwe-hoa-cat . Apakah kau percaya?”

“Tidak.”

Kata Pek-hiau-sing lagi, “Tapi ini cukup sulit dibuktikan. Sim-kam Suheng, tahukah kau siapa yang membunuh Hong-thian-lui?”

“Bwe-hoa-cat .” “Bagaimana dia mati?”
“Walaupun di tubuhnya ada tanda bunga Bwe, serangan yang mematikan adalah totokan pada Hian-ki-hiat.”

Kata Pek-hiau-sing, “Kalau begitu, Bwe-hoa-cat bukan hanya pesilat tangguh, namun Tiam-hiat (ilmu totok)nya pun sangat tinggi.” “Betul.”

Pek-hiau-sing tersenyum, menoleh pada A Fei. “Jika kau bisa menyebutkan nama kedelapan Hiat-to (jalan darah)mu yang baru saja aku tutup, kami semua akan percaya bahwa kaulah Bwe-hoa-cat dan kami akan segera membebaskan Li Sun-Hoan. Bagaimana?”

A Fei mengertakkan giginya kuat-kuat.

Pek-hiau-sing mendesah. “Kau memang sahabatnya yang setia. Untuk dia, kau rela mengorbankan nyawamu. Tapi seberapakah pentingnya engkau dalam pandangannya?
Jika kau dapat membujuknya keluar dari kamar itu saja sudah cukup bagus.”

***

Ada arak dalam cawan.

Li Sun-Hoan memegang cawan itu di tangannya.

Di sudut kamar tampak seorang pendeta kurus yang tampak sangat lemah. Walaupun ia sudah lewat setengah umur, wajahnya belum tampak tua. Ia kelihatan seperti seorang kutu buku.

Orang ini adalah Sim-si Taysu.

Walaupun ia adalah tawanan Li Sun-Hoan, ia tetap kalem, duduk tenang di sudut ruangan. Tiba-tiba Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata padanya, “Tak kusangka Siau-lim-si mempunyai arak selezat ini. Mau secawan?”

Sim-si Taysu menggelengkan kepalanya.

Li Sun-Hoan berkata, “Aku minum arak di depan jenazah Saudaramu. Apakah itu termasuk kurang ajar?”

Sahut Sim-si Taysu, “Secara umum, orang menggunakan arak untuk bersulang, di mana pun tempatnya. Kau sama sekali tidak kurang ajar.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Tidak heran kalau orang bilang, setelah masuk ke dalam biara, hatimu akan lebih lega.”

Wajah Sim-si Taysu yang tenang berubah sedikit, seperti berusaha menyembunyikan rasa pedih.

Ia menghela nafas, wajahnya penuh kesedihan. Apakah ia sedih untuk saudaranya yang telah meninggal, atau untuk keadaan dirinya saat itu, tidak ada yang tahu.

Li Sun-Hoan memandangi cawan araknya, lalu menghela nafas juga. “Sejujurnya, aku tidak menyangka bahwa kaulah yang menyelamatkan aku kali ini.”

Sahut Sim-si Taysu, “Aku tidak menyelamatkanmu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Empat belas tahun yang lalu, aku mengundurkan diri dari jabatanku di pemerintahan. Walaupun alasan resminya adalah bahwa aku sudah bosan berkecimpung dalam dunia politik, sesungguhnya, jika bukan karena tulisanmu yang mengatakan bahwa aku punya bersekongkol dengan para bandit, aku mungkin tidak akan berbulat hati untuk mengundurkan diri.”

Sim-si Taysu memejamkan matanya, lalu berkata, “Go Hun-ih yang gila kekuasaan itu sudah lama mati.
Mengapa kau mengungkit tentang dia kembali?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kau memang benar. Setelah seseorang masuk ke biara, ia menjadi seorang yang baru. Tetap saja, aku masih tidak bisa percaya bahwa kaulah yang menyelamatkan aku hari ini.”

Sim-si Taysu membuka matanya dan berseru, “Sudah kubilang, aku tidak menyelamatkan engkau. Karena tenaga dalamku lemah, maka aku tidak bisa lepas dari cengkeramanmu. Jangan berbicara seolah-olah kau berhutang padaku.”

“Tapi jika bukan kau yang memberiku tanda untuk masuk ke sini, aku tidak akan memilih untuk masuk ke ruangan ini. Dan jika kau berusaha lepas, tak mungkin aku benar-benar bisa menahanmu di sini.”

Mulut Sim-si Taysu komat-kamit, tapi tidak ada satu kata pun yang keluar.

Li Sun-Hoan tersenyum. “Pendeta kan tidak boleh berdusta. Lagi pula, hanya ada kita berdua di sini.” Sim-si Taysu pun tersenyum. “Walaupun memang aku berniat untuk menyelamatkanmu, itu bukan karena kejadian di masa lalu itu.”

Li Sun-Hoan tidak kelihatan terkejut. Ia hanya bertanya, “Lalu kenapa?”

Dari wajahnya, kelihatannya Sim-si Taysu tidak tahu harus menjawab apa.

Li Sun-Hoan tidak memaksanya. Ia lalu menghabiskan araknya.

Saat itu, seseorang dari luar berseru, “Li Sun-Hoan, lihat ke luar jendela!”

Ini adalah suara Sin-kam Taysu.

Ketika Li Sun-Hoan melihat ke luar jendela, wajahnya langsung berubah.

Tak pernah disangkanya bahwa A Fei akan jatuh ke tangan mereka.

Pek-hiau-sing hanya berdiri saja di situ dengan wajah sok tahu. Katanya, “Li Tamhoa, kurasa kau mengenalnya, bukan? Demi engkau, ia ingin dianggap sebagai Bwe- hoa-cat . Bagaimana kau akan berterima kasih padanya?”

Sin-kam Taysu berseru, “Jika kau ingin menyelamatkan dia, lebih baik kau keluar dan menyerah!” Tangan Li Sun-Hoan gemetar. Ia tidak melihat wajah A Fei, karena wajahnya menelungkup di tanah.
Kelihatannya ia terluka parah.

Sin-kam Taysu tiba-tiba mengangkat tubuh A Fei. “Li Sun-Hoan kuberi kau waktu empat jam. Jika kau tidak keluar dengan Gosuhengku, kau tak akan pernah melihat temanmu ini lagi.”

Pek-hiau-sing berkata, “Li Tamhoa, orang ini sangat memperhatikan engkau. Sepantasnya kau pun membalas kebaikannya.”

Li Sun-Hoan sungguh tidak tahu apa yang harus diperbuatnya.

Ia melihat bagaimana mereka menyeret A Fei seperti seekor anjing, dan melihat luka-lukanya akibat penganiayaan mereka.

Anak muda itu tidak mengucapkan sepatah katapun.

Ia hanya memandang sekilas ke arah jendela, wajahnya sungguh tenang. Seakan-akan berkata pada Li Sun-Hoan bahwa ia tidak takut mati.

Li Sun-Hoan mengeluh. “Sahabatku…. Aku tahu apa yang kau pikirkan. Kau tidak ingin aku menolongmu.”

Sim-si Taysu terus memandangnya, lalu tiba-tiba bertanya, “Apa yang akan kau lakukan?” Li Sun-Hoan minum tiga cawan lagi, baru menjawab, “Tentu saja aku akan menyerah. Kapan kau mau, silakan ikat aku dan bawa aku keluar.”

Kata Sim-si Taysu, “Kau pasti mati kalau keluar!” “Aku tahu.”
“Tapi kau masih mau keluar juga?” “Tentu saja.”
Jawabannya begitu pasti, tidak bisa didebat lagi. Kata Sim-oh Taysu, “Bukankah itu sangat bodoh?”
Li Sun-Hoan tersenyum. “Kita semua pernah berbuat kebodohan dalam hidup kita. Jika setiap orang mengambil keputusan yang benar, bukankah hidup ini akan menjadi terlalu membosankan?”

Sim-si Taysu merenungkan kata-kata ini, lalu berkata, “Kau memang benar. Kadang-kadang tidak ada jalan lain. Kau tahu dengan melakukan hal ini, kau pasti mati. Tapi, tetap saja kau harus melakukannya!”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Setidaknya kau tahu cara berpikirku.”

Lanjut Sim-si Taysu, “Persahabatan adalah yang terutama, lebih penting daripada hidup dan mati. Li Sun- Hoan memang benar-benar Li Sun-Hoan.” Li Sun-Hoan tidak memandangnya lagi, dan berkata, “Aku jalan duluan.”

Sim-si Taysu tiba-tiba berseru, “Tunggu dulu.”

Seolah-olah ia baru saja mengambil keputusan penting. Matanya menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. “Aku belum selesai bicara.”

“O ya?”

Kata Sim-si Taysu, “Tadi sudah kukatakan bahwa aku punya alasan lain menyelamatkanmu.”

“Benar.”

Kata Sim-si Taysu, “Ini adalah rahasia besar Siau-lim-si, dan menyangkut banyak orang, sehingga tadinya aku tidak ingin memberi tahu padamu.”

Li Sun-Hoan berdiri saja, mendengarkan.

Lanjut Sim-si Taysu, “Di Siau-lim-si ada begitu banyak buku langka. Sebagian kitab suci agama Budha, sebagian lagi buku-buku ilmu silat.”

“Tentu saja aku tahu.”

Kata Sim-si Taysu lagi, “Selama beberapa ratus tahun terakhir ini, segeLimtir orang berusaha untuk mencuri buku-buku ini dari Siau-lim-si, namun tidak ada yang berhasil. Walaupun pendeta tidak seharusnya membunuh, tetap saja, buku-buku ini adalah dasar kuil Siau-lim-si. Jadi setiap orang yang berusaha mencurinya akan menjadi sasaran kemarahan seluruh murid Siau-lim-si.”

Kata Li Sun-Hoan, “Aku hampir tidak pernah mendengar ada orang yang berani mencuri dari sini.”

Sahut Sim-si Taysu, “Kau orang luar, tentu saja kau tidak tahu secara detil. Sebenarnya Siau-lim-si pernah kecurian buku sebanyak tujuh kali. Satu buku adalah petunjuk untuk ketenangan hati dan yang lain adalah kitab ilmu silat tingkat tinggi.”

Li Sun-Hoan sungguh terkejut mendengarnya. “Siapa yang berbuat?”

Jawab Sim-si Taysu, “Anehnya, tidak ada tanda-tanda pencurian ataupun jejak apa pun yang dapat diselidiki.

Setelah dua pencurian yang pertama, kami telah meningkatkan penjagaan. Namun pencurian itu tetap berlanjut. Pada awalnya, Samkolah yang menjaga perpustakaan, namun sejak peristiwa itu ia mengundurkan diri.”

Kata Li Sun-Hoan, “Ini kan persoalan besar. Mengapa tidak tersiar ke mana-mana?”

Sahut Sim-si Taysu, “Justru karena ini adalah masalah yang sangat besar, Ciangbun-suheng sudah wanti-wanti pada semua orang yang tahu untuk tutup mulut. Jadi sekarang, termasuk engkau, hanya sembilan orang yang tahu akan hal ini.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Selain ketujuh pendeta utama, siapakah orang yang kedelapan?”

“Pek-hiau-sing.”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Orang ini benar-benar suka ikut campur urusan orang lain.”

Kata Sim-si Taysu lagi, “Setelah Samko mengundurkan diri, Jisuheng dan akulah yang menjaga perpustakaan, sejak setengah bulan yang lalu.”

Li Sun-Hoan bertanya, “Jika Sim-bi bertugas menjaga perpustakaan, mengapa dia pergi?”

Jawab Sim-si Taysu, “Sebab Jisuheng curiga bahwa Bwe- hoa-cat terlibat dalam pencurian itu, jadi ia pergi untuk menyelidiki. Siapa sangka ia tidak pernah kembali lagi.”

Setelah diam beberapa saat, Sim-si Taysu melanjutkan, “Aku dan Jisuheng adalah teman lama. Sebelum ia pergi, ia mengambil tiga kitab yang paling berharga dari perpustakaan dan menyembunnyikannya di tiga tempat. Hanya Ciangbun-suheng dan aku yang tahu tempat persembunyiannya.”

“Satu ada dalam ruangan ini bukan?” “Betul.” Kata Li Sun-Hoan, “Pantas saja mereka begitu enggan menyerbu ke sini.”

Kata Sim-si Taysu lagi, “Karena pencurian itu begitu aneh, aku dan Jisuheng berpendapat bahwa mungkin ada orang dalam yang terlibat.

Namun, walaupun kami berdua sudah curiga, kami tidak berani mengatakannya. Karena selain dari kami bertujuh pendeta utama, tidak ada seorang pun yang dapat mencuri kitab-kitab itu.”

Mata Li Sun-Hoan berbinar. “Jadi pencurinya pasti salah satu dari kalian bertujuh?”

Sahut Sim-si Taysu, “Kami tujuh bersaudara telah hidup bersama di sini selama lebih dari sepuluh tahun. Kami pun saling mempercayai satu dengan yang lain. Hanya saja…”

“Apa?”

“Sebelum Jisuheng pergi, ia sempat mengatakan padaku bahwa ia sangat curiga pada salah seorang dari kami bertujuh.”

Li Sun-Hoan bertanya cepat, “Siapa?”

Sim-si Taysu menggelengkan kepalanya. “Ia tidak menyebutkan namanya, karena ia tidak mau asal tuduh. Ia masih berharap bahwa pencurinya adalah Bwe-hoa-cat
.” Sampai di sini, tenggorokan Sim-si mengering, tak bisa bicara lebih lanjut.

Kata Li Sun-Hoan, “Aku mengerti perasaan Sim-si. Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan sementara si pencuri masih bebas berkeliaran, bahkan menyebutkan namanya pun tidak mau.”

Sim-si Taysu pun berkata, “Jisuheng pun telah berpikir demikian. Jadi sebelum ia pergi, ia sudah berpesan, jika sampai terjadi apa-apa pada dirinya, aku harus membaca buku hariannya. Nama orang yang dicurigainya tertulis di halaman terakhir.”

Li Sun-Hoan bertanya tidak sabar, “Lalu di mana buku harian itu?”

“Tadinya ada bersama dengan kitab-kitab berharga itu. Sekarang ada padaku.”

Ia mengeluarkan sebuah buku, yang kemudian segera direbut oleh Li Sun-Hoan. Seluruh buku itu berisi tentang ajaran-ajaran agama Budha, tidak ada tulisan tentang orang yang dicurigai.

Tanya Li Sun-Hoan, “Halaman terakhirnya sudah dirobek oleh si pencuri?”

Jawab Sim-si Taysu, “Bukan hanya itu. Kitab-kitab itu pun telah berubah menjadi kitab-kitab kosong!”

Kata Li Sun-Hoan, “Ini berarti si pencuri sudah tahu bahwa Jisuheng mencurigainya.” “Betul.”

“Tapi hanya engkau dan Ciangbun-suheng yang tahu tempat persembunyiannya. Jadi kau curiga….”

Kata Sim-si Taysu, “Tidak sepenuhnya. Jika si pencuri tahu bahwa Jisuheng mencurigainya, ia pasti akan membayangi Jisuheng kemana saja. Dengan cara itu, kemungkinan ia bisa mengetahui tempat persembunyiannya. Tapi….”

“Tapi apa?”

“Sebenarnya, sewaktu kau membawa Jisuheng kembali ke sini, ia masih hidup. Dan ia tidak seharusnya mati!”

Li Sun-Hoan kaget setengah mati.

Ia melihat Sim-si Taysu mengepalkan tangannya. “Walaupun aku bukan ahli tentang racun, aku telah belajar cukup banyak beberapa tahun terakhir ini dari buku-buku kami. Jadi, sewaktu aku melihat keadaan Jisuheng waktu ia sampai, aku tahu ia pasti akan tertolong. Paling tidak ia tidak mungkin mati secepat itu!”

Kata Li Sun-Hoan, “Jadi maksudmu…..”

Kata Sim-si Taysu, “Siapapun yang mencuri kitab-kitab itu, dialah yang membunuh Jisuheng.”

Tiba-tiba Li Sun-Hoan merasa ruangan itu menjadi sangat sempit, ia menjadi sulit bernafas. Ia mengelilingi ruangan itu untuk menenangkan diri, lalu bertanya, “Berapa orang yang datang menjenguknya?”

Jawab Sim-si Taysu, “Toasuheng, Sisuheng, dan Laksute.”

“Jadi salah satu dari merekalah pembunuhnya?”

Sim-si Taysu mengangguk. “Ini adalah petaka besar bagi biara ini. Seharusnya aku tidak mengatakannya padamu, namun aku tahu sekarang bahwa kau bukanlah orang yang mengkhianati sahabatmu. Jadi aku ingin kau….”

“Kau ingin aku membantumu menangkap si pembunuh?” “Betul.”
Li Sun-Hoan berpikir sejenak, lalu ia bertanya perlahan, “Bagaimana jika ternyata pembunuhnya adalah Sim-oh Taysu?”

Tubuh Sim-si Taysu menegang, keringat membasahi keningnya.

Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun seluruh murid Siau-lim-si akhirnya mengetahui bahwa pembunuhnya adalah Sim- oh Taysu, tidak ada seorang pun yang mau mengakuinya, bukan?”

Sim-si Taysu tidak menjawab, karena memang pertanyaan ini tidak butuh jawaban. Semua orang menganggap Siau-lim-si sebagai perguruan silat yang terhormat. Apa jadinya jika Ketua Siau-lim-si ternyata adalah seorang pembunuh?”

Li Sun-Hoan berkata lagi, “Walaupun aku bisa membuktikan bahwa pembunuhnya adalah Sim-oh Taysu, aku yakin kau tak akan mendukungku, demi mempertahankan reputasimu.”

Sim-si Taysu mendesah. “Kau benar. Demi reputasi Siau- lim-si, aku akan mengorbankan apapun juga.”

Tanya Li Sun-Hoan, “Lalu mengapa kau minta aku melakukannya?”

Jawab Sim-si Taysu, “Walaupun aku tidak mau merusak reputasi Siau-lim-si, jika kau bisa membuktikan siapa pembunuh Jisuheng, aku jamin ia akan mati bersama denganku.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bagaimana bisa seorang pendeta berbicara mengenai pembunuhan? Kelihatannya kau masih terikat dengan dunia luar.”

Sahut Sim-si Taysu, “Sang Budha sendiri pun pernah marah, apalah artinya seorang pendeta kecil.”

Kata Li Sun-Hoan, “Mendengar jawabanmu, aku sudah puas.”

Tanya Sim-si Taysu, “Kau sudah tahu siapa pembunuhnya?” Sahut Li Sun-Hoan, “Belum. Tapi aku tahu seseorang yang tahu.”

Kata Sim-si Taysu, “Si pembunuhnya pasti tahu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Selain si pembunuh, ada seorang lagi yang tahu. Orang itu berada di ruangan ini.”

“Siapa?”

Li Sun-Hoan menunjuk pada jenazah Sim-bi, “Dia!”

Kata Sim-si Taysu, “Sayang sekali, dia sudah tidak bisa berbicara.”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Kadang-kadang orang mati pun bisa bicara.”

Ia menyingkapkan kain yang menutupi tubuh Sim-bi. Sinar matahari menyinari wajahnya yang sudah berwarna abu-abu gelap.

Li Sun-Hoan bertanya, “Pernahkah kau melihat korban Ngo-tok-tongcu?”

“Tidak.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar