Si Pisau Terbang Li Bab 19 : Aneh tapi Nyata

 
Bab 19. Aneh tapi Nyata

Sim-bi yakin bubur itu tidak beracun, namun bagaimana pun juga, ia adalah seorang pendeta. Jadi sewaktu Dian- jitya sudah menghabiskan mangkuknya, ia masih pada suapan kedua.

Dian-jitya tersenyum. “Dengan kecepatan seperti ini, kita akan tiba di Siong-san besok pagi.”

Sim-bi juga terlihat lega. Katanya, “Akan ada murid- murid yang menyambut kita satu dua hari ini. Selama….”

Tiba-tiba ia berhenti bicara. Tubuhnya gemetar hebat, dan mangkuknya terjatuh dari tangannya. Buburnya tumpah membasahi bajunya.

Wajah Dian-jitya memucat. “Pendeta…. Kau…” “Ada racun dalam bubur ini?”
Sim-bi menghela nafas. Tidak sanggup bicara.

Dian-jitya mencekal baju Li Sun-Hoan. “Lihat wajahku. Apakah wajahku….”

Lalu ia terdiam, karena ia tahu tidak ada gunanya bertanya. Li Sun-Hoan mendesah. “Walaupun aku selalu menganggapmu memuakkan, aku tetap tidak ingin melihatmu mati.”

Wajah Dian-jitya putih seperti kertas. Tubuhnya gemetar, dan ia menatap Li Sun-Hoan. Lalu ia tertawa terbahak- bahak, “Walaupun kau tidak ingin melihatku mati, aku ingin melihatmu mati! Seharusnya aku sudah membunuhmu sejak lama!”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau pikir sekarang sudah terlambat untuk membunuhku?”

Dian-jitya mengertakkan giginya. “Benar. Terlambat untuk membunuhmu sekarang. Untungnya, belum terlalu terlambat.”

Tiba-tiba tangannya mencengkeram leher Li Sun-Hoan.

***

A Fei bangkit berdiri.

Wajahnya masih pucat, namun tubuhnya berdiri tegap.

A Fei berjalan mengelilingi kamar itu dua kali, lalu bertanya, “Apakah kau pikir ia akan sampai di Siau-lim-si dengan selamat?”

Kata Lim Sian-ji, “Kau tidak bisa bercakap-cakap lebih dari tiga kalimat tanpa menyinggung tentang Li Sun- Hoan, ya? Dapatkah kita tidak membicarakan dia? Mengapa kau tidak berbicara tentang aku? Atau tentang dirimu?”

A Fei memandangnya dengan tenang dan bertanya, “Apakah dia bisa sampai dengan selamat di Siau-lim-si?”

Apapun yang dikatakan Lim Sian-ji, ia hanya punya satu pertanyaan ini.

Lim Sian-ji tertawa. “Ah, kau. Aku benar-benar tidak bisa mengubahmu.” Ia menarik tangan A Fei untuk duduk di sampingnya, lalu katanya dengan manis, “Jangan kuatir. Mungkin saat ini ia sedang minum teh dengan Pendeta Sim-oh Taysu. Kau tahu, teh dari Siau-lim-si sangatlah terkenal.”

Akhirnya A Fei merasa tenang, bahkan tersenyum santai. “Dari yang aku tahu, walaupun ia sudah ditawan, ia tidak akan pernah minum teh.”

***

Li Sun-Hoan tidak dapat bernafas.

Wajah Dian-jitya juga tampak semakin aneh. Ia pun kini sulit bernafas. Namun sepertinya ia tidak bisa melepaskan cengkeramannya, sekalipun dalam kematian.

Li Sun-Hoan hanya merasa bahwa sekelilingnya menjadi gelap. Wajah Dian-jitya terlihat makin samar. Ia tahu, sebentar lagi ia akan mati. Dalam keadaan ini, ia pikir ia akan teringat akan banyak hal dalam hidupnya. Seseorang pernah memberitahu hal ini padanya.

Namun kenyataannya, saat ini ia tidak teringat apapun juga. Tidak ada kenangan pahit. Hanya ada sesuatu yang lucu. Ia jadi ingin tertawa.

Ia tidak pernah menyangka ia akan mati bersama-sama dengan Dian-jitya. Sepertinya Dian-jityalah yang akan menemaninya berjalan ke alam baka.

Tiba-tiba ia mendengar suara Dian-jitya. “Li Sun-Hoan, nafasmu panjang sekali. Mengapa kau tidak mati-mati?”

Sebenarnya Li Sun-Hoan ingin menjawab, “Aku menunggumu mati lebih dulu.”

Tapi ia tidak bisa mengatakannya. Bernafas pun ia tidak bisa.

Lalu terdengar suara keras. Sepertinya dari jauh, namun sepertinya juga berasal dari Dian-jitya.

Kini sekelilingnya menjadi terang kembali. Ia melihat Dian-jitya.
Dian-jitya telah tergeletak jatuh dari kursi kereta. Matanya yang mati masih menatap Li Sun-Hoan.

Terlihat Sim-bi bernafas tidak teratur, sepertinya ia baru saja menggunakan tenaga yang cukup besar. Li Sun-Hoan memandangnya beberapa saat, lalu bertanya, “Mengapa kau menyelamatkan aku?”

Sim-bi tidak menjawab. Ia malah terus membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan. “Sebelum Ngo-tok-tongcu datang, kau pergilah cepat.”

Li Sun-Hoan tidak bergerak sama sekali. “Mengapa kau menyelamatkan aku? Apakah sekarang kau sudah yakin bahwa aku bukan Bwe-hoa-cat ?”

Sahut Sim-bi, “Pendeta selalu tidak ingin tangannya berlumuran darah sebelum mati. Siapapun engkau, cepatlah pergi.”

Li Sun-Hoan memandangi wajah Sim-bi yang menghitam, lalu mendesah. “Terima kasih. Sayangnya, walaupun aku bisa melakukan begitu banyak hal, melarikan diri bukanlah salah satunya.”

Sim-bi berkata tergesa-gesa. “Ini bukan waktunya menjadi pahlawan. Tenaga dalammu belum pulih. Kau tidak akan dapat mengalahkan dia.”

Tiba-tiba kuda-kuda itu meringkik keras. Kusir kereta menjerit dan kereta mereka menabrak sebatang pohon.

Sim-bi tergeletak di samping kereta dan bertanya, “Mengapa kau belum pergi juga? Apakah kau ingin menyelamatkanku?” Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, “Jika kau bisa meyelamatkan aku, mengapa aku tidak bisa menyelamatkan engkau?”

Kata Sim-bi, “Namun kematianku tidak jauh lagi. Mengapa harus dipermasalahkan kapan aku mati?”

Kata Li Sun-Hoan, “Tapi kau belum mati, bukan?” Ia berhenti bicara dan mengeluarkan sebilah pisau. Sebilah pisau yang kecil, tipis.
Pisau Kilat si Li!

Senyum terbayang di bibir Li Sun-Hoan.

Kereta itu sudah terguling ke samping. Rodanya masih berputar, berderak-derak nyaring. Di tempat yang sunyi seperti itu, suara itu sungguh menyakitkan telinga.

Kata Li Sun-Hoan, “Roda ini perlu diminyaki.”

Dalam keadaan seperti ini ia masih berpikir bahwa roda itu perlu diminyaki! Sim-bi merasa orang ini sungguh aneh luar biasa.

Ia sudah hidup selama 60 tahun, tapi baru kali ini bertemu dengan orang seperti ini.

Li Sun-Hoan mendukung dia keluar dari kereta. Angin dingin menerpa muka mereka. Kata Sim-bi, “Kau tak perlu melakukan ini. Sudah…pergi saja.”

Malam ini tidak ada bulan. Sim-bi berusaha keras, namun tetap tidak bisa melihat apa-apa.

Terdengar Li Sun-Hoan berseru, “Apakah engkau Ngo- tok-tongcu?”

Tidak ada jawaban.

Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak ada di sini, maka kami akan pergi.”

Sim-bi bertanya, “Ke mana kita akan pergi?” “Kuil Siau-lim-si, tentunya.”
Sim-bi sungguh terkejut, “Siau-lim-si?”

Kata Li Sun-Hoan, “Kita sudah begitu bersusah-payah untuk pergi ke Siau-lim-si, bukan?”

Kata Sim-bi, “Ta…tapi sekarang kau tak perlu lagi pergi ke sana.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Sebenarnya, aku harus pergi ke sana.”

“Mengapa?”

“Karena di Siau-lim-si ada obat penawar untuk racun ini.” Sim-bi sungguh tidak habis pikir. “Kenapa kau menyelamatkan aku? Aku ini musuhmu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Aku menyelamatkanmu karena engkau adalah seorang manusia.”

Sim-bi mengeluh. “Jika kita benar-benar bisa sampai di Siau-lim-si, akan kuberitahukan pada semua orang bahwa kau sungguh tidak bersalah. Aku yakin sekarang, kau tidak mungkin adalah Bwe-hoa-cat .”

Li Sun-Hoan hanya tersenyum. Ia tidak mengatakan apa- apa.

Kata Sim-bi, “Sayangnya, jika kau terus menggendongku, kau tidak akan pernah sampai di Siau-lim-si. Walaupun Ngo-tok-tongcu tidak mau memperlihatkan dirinya, ia tidak akan membiarkan engkau lolos.”

Li Sun-Hoan terbatuk sedikit.

Kata Sim-bi lagi, “Dengan ilmu meringankan tubuhmu, kau mungkin bisa lolos. Mengapa kau harus membawa aku? Aku sudah sangat berterima kasih karena engkau berpikir untuk menyelamatkanku.”

Tiba-tiba terdengar suara tawa. “Wah. Seorang pendeta Siau-lim-si berteman akrab dengan Tamhoa, pemabuk yang gemar wanita. Siapa yang bisa percaya?”

Suara tawa kadang terdengar dekat, kadang terdengar sangat jauh. Tidak dapat di duga dari mana datangnya. Sim-bi bertanya, “Ngo-tok-tongcu?”

Suara itu menjawab, “Bagaimana rasanya bubur itu? Sedap, bukan?”

Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau ingin membunuhku, mengapa tidak keluar saja dan melakukannya?”

Ngo-tok-tongcu menjawab, “Aku tidak perlu keluar untuk membunuhmu.”

“O ya?”

“Sampai hari ini, aku sudah membunuh 392 orang. Tidak seorangpun dari mereka yang pernah melihat aku.
Bahkan bayanganku pun tidak mereka lihat.”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Kata orang kau adalah seorang cebol dan rupamu sangat buruk. Oleh sebab itu kau tidak ingin dilihat orang. Kelihatannya memang betul.”

Setelah hening beberapa saat, Ngo-tok-tongcu menjawab, “Aku akan membiarkanmu hidup sampai besok pagi.”

Li Sun-Hoan tertawa. “Tentu saja aku akan hidup sampai besok pagi. Tapi aku kuatir, tidak demikian dengan engkau.”

Sebelum ia selesai tertawa, terdengar bunyi seruling. Tiba-tiba tampak bayangan benda-benda besar dan kecil di atas salju. Ia tidak tahu benda apakah itu. Apapun benda itu, ia harus menahan nafasnya.

Kata Sim-bi, “Ketika Ngo-tok-tongcu muncul, tubuh orang-orang mulai membusuk. Jika kau tidak pergi sekarang, kapan lagi?”

Li Sun-Hoan seolah-olah tidak mendengarnya. Lalu katanya, “Katanya dia punya ribuan hewan beracun. Mengapa aku hanya lihat beberapa saja? Apa yang lainnya sudah mati?”

Suara seruling terdengar makin cepat. Beberapa hewan melata itu sudah merayapi kaki mereka. Sim-bi sudah hampir muntah.

Ngo-tok-tongcu lalu tertawa. “Ini adalah hewan-hewan kesayanganku, mereka mengandung tujuh macam racun. Mereka tidak hanya makan daging, tapi sesudah itu mereka akan menghabiskan tulang-tulangmu juga.”

Sebelum ia selesai bicara, sebilah pisau telah melesat! Sim-bi hampir terpekik.
Ia tahu, pisau Li Sun-Hoan adalah satu-satunya harapan mereka. Tapi Li Sun-Hoan tidak dapat melihat apa-apa.

Jika pisaunya meleset, matilah mereka berdua. Ia sedang bertaruh dengan nyawanya. Dan kesempatan mereka tipis sekali.

Sim-bi tidak menyangka Li Sun-Hoan akan mengambil resiko sebesar itu.

Saat itu kilau pisau telah tertelan kegelapan. Namun tiba- tiba kegelapan itu mengeluarkan jeritan yang melengking!

Seseorang keluar dari kegelapan itu.

Orang itu kelihatan seperti seorang anak kecil. Ia mengenakan baju pendek. Kakinya yang kecil bisa terlihat. Dalam malam musim dingin ini, ia tidak tampak kedinginan.

Kepalanya kecil, namun matanya bersinar tajam.

Matanya penuh dengan kemarahan dan ketidakpercayaan. Mata itu menatap Li Sun-Hoan lekat- lekat. Ia ingin bicara, namun kata-kata tak dapat keluar.

Sim-bi lalu melihat pisau kecil Li Sun-Hoan telah tertancap di lehernya. Ia tidak tahan untuk mencabut pisau itu. Waktu ia mencabutnya, darah menyembur ke luar.

Ngo-tok-tongcu akhirnya berkata, “Pisau yang sangat berbahaya.”

Saat itu, hewan-hewan itu telah merayapi tubuh Li Sun- Hoan dan Sim-bi. Namun kini mereka tidak bergerak lagi. Li si pisau terbang memang tidak ada duanya, namun mereka berdua tetap saja bisa dimakan hidup-hidup oleh hewan-hewan beracun itu.

Siapa sangka, ketika darah Ngo-tok-tongcu menyembur, hewan-hewan itu langsung melompat ke arah tenggorokannya.

Dalam waktu singkat, seluruh tubuhnya habis. Namun setelah hewan-hewan itu memakannya habis, mereka pun berhenti bergerak.

Sangat ironis bahwa Ngo-tok-tongcu mati oleh racunnya sendiri.

Sim-bi akhirnya menghela nafas lega. “Bukan saja pisaumu yang tidak ada duanya di dunia ini, namun ketenanganmu juga.”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Bukan masalah besar. Aku hanya berpikir bahwa hewan-hewan itu pasti akan tertarik pada darah. Sebenarnya, aku pun takut juga.”

“Kau pun merasa takut?”

Li Sun-Hoan tersenyum lagi. “Selain orang mati, adakah orang yang tidak pernah merasa takut?”

Sim-bi mendesah. “Kau memang sungguh luar biasa.” Suaranya lemah, dan akhirnya tubuhnya pun rebah.
Hari sudah pagi. Li Sun-Hoan duduk di samping Sim-bi, ia tertidur.

Ketika ia terbangun, ia menemukan sebuah kereta kuda yang bisa membawa mereka sampai ke kaki Siong-san (Gunung Siong). Lalu Li Sun-Hoan menggendong Sim-bi ke atas.

Dalam perjalanan ke atas, ia bertemu dengan sekelompok pendeta yang sedang mengumpulkan kayu bakar. Ketika mereka melihat seseorang naik ke atas gunung dengan ilmu meringankan tubuh, mereka langsung bersiaga.

Salah seorang bertanya, “Dari manakah engkau? Apakah engkau….”

Salah seorang yang lain melihat bahwa ia sedang menggendong seorang pendeta. Ia bertanya, “Apakah yang di punggungmu itu murid Siau-lim-si?”

Sebelumnya Li Sun-Hoan hanya berjalan biasa, namun ketika ia melihat pendeta-pendeta ini, ia melompat tinggi melampaui kepala mereka, dan terus berjalan ke atas.

Ketika kedua pendeta itu berusaha mengejar, Li Sun- Hoan telah menghilang.

Butuh kurang lebih dua jam untuk tiba di Siau-lim-si. Terlihat banyak pagoda, besar dan kecil. Ia tahu ini adalah hutan pagoda yang suci. Di sinilah semua ketua Siau-lim-si yang terdahulu dikuburkan.

Ini bukanlah tempat yang cocok untuk orang seperti dia. Tiba-tiba ia mulai terbatuk-batuk.

Lalu terdengar suara yang berkata, “Siapa yang berani memasuki wilayah suci Siau-lim-si? Kau benar-benar sombong.”

Kata Li Sun-Hoan, “Sim-bi Taysu terluka berat. Aku membawanya ke sini, supaya ia bisa diobati. Bawalah aku pada pendeta ketua.”

Tiba-tiba muncul begitu banyak pendeta. Salah seorang bertanya, “Bolehkah kutahu namamu?”

Li Sun-Hoan mendesah. “Cayhe (aku adalah) Li Sun- Hoan.”

Dalam hutan bambu, dua orang sedang bermain Go [semacam permainan catur].

Di sebelah kanan adalah seorang pendeta yang wajahnya agak aneh.

Di sebelah kiri adalah seorang tua yang kurus dan pendek. Matanya sangat terang dan tajam, membuat orang tidak memperhatikan lagi tubuhnya yang pendek. Ia sangat berwibawa.

Siapakah selain Pek-hiau-sing yang layak bermain Go dengan Sim-oh Taysu?

Ketika dua orang ini sedang bermain Go, tidak ada seorang pun yang dapat mengganggu. Namun ketika mereka mendengar kata ‘Li Sun-Hoan’, mereka berhenti. Sim-oh Taysu bertanya, “Di manakah dia?”

Pendeta yang membawa pesan itu menjawab bahwa ia berada di luar kamar Jisusiok.

Tanya Sim-oh Taysu, “Apa yang terjadi dengan Jisusiok?”

Pendeta itu menjawab, “Lukanya tidak terlalu berat. Saat ini, Gosusiok dan Keenam sedang merawatnya.”

Li Sun-Hoan berdiri di aula, ia melihat-lihat sekitarnya.

Ia merasa bahwa ada seseorang yang datang medekat, namun ia tidak berusaha menoleh.

Ketika mereka berada kurang lebih sepuluh langkah dari Li Sun-Hoan, Sim-oh Taysu dan Pek-hiau-sing berhenti. Walaupun Sim-oh Taysu telah mendengar tentang Li Sun-Hoan, inilah untuk yang pertama kalinya mereka berjumpa.

Ia tidak bisa percaya bahwa orang di depannya ini adalah pahlawan pengelana yang terkenal itu.

Ia mengamati Li Sun-Hoan dari kepala sampai ujung kaki. Tidak ada yang terlewatkan. Khususnya tangannya yang kurus panjang.

Apa istimewanya tangan itu?

Bagaimana sebilah pisau biasa dapat berubah menjadi pisau yang legendaris jika dipegang oleh tangan itu? Pek-hiau-sing pernah berjumpa dengannya sepuluh tahun yang lalu. Ia merasa Li Sun-Hoan tidak berubah sama sekali dalam sepuluh tahun ini, tapi ia merasa dirinya sudah berubah begitu banyak.

Pek-hiau-sing akhirnya tertawa, “Apa kabarmu, Li- Tamhoa?”

Li Sun-Hoan pun tertawa. “Tak kusangka, kau masih mengingatku.”

Sim-oh Taysu berkata, “Aku tidak tahu apakah engkau mengenalku.”

Kata Li Sun-Hoan, “Siapakah yang tidak tahu nama besar pendeta? Ketenaranmu telah tersiar ke seluruh dunia.
Aku merasa terhormat bisa bertemu denganmu hari ini.”

Kata Sim-oh Taysu, “Tidak usah merendah. Terima kasih kau telah membawa saudara seperguruanku kembali.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Itu bukan apa-apa.”

Kata Sim-oh Taysu lagi, “Sekarang aku adakan memeriksa keadaan Toako. Setelah itu kita bisa melanjutkan pembicaraan kita.”

Setelah ia pergi, Pek-hiau-sing tersenyum. “Para pendeta ini sungguh bisa mengendalikan perasaan mereka. Aku tidak mungkin bisa berbuat seperti itu.”

“Apa maksudmu?” “Jika seseorang telah melukai muridmu dan juga saudara seperguruanmu, bisakah engkau tetap bersikap sopan kepadanya?”

Kata Li Sun-Hoan, “Apakah maksudmu akulah yang melukai Sim-bi Taysu?”

Pek-hiau-sing meletakkan tangannya di belakang punggungnya. “Selain Li Tamhoa, siapakah yang dapat melukainya?”

Kata Li Sun-Hoan, “Jika aku melukainya, mengapa aku membawanya ke sini?”

Sahut Pek-hiau-sing, “Itulah. Kau memang sangat pandai.”

“O ya?”

“Siapapun juga yang melukai pendeta Siau-lim-si, akan dihantui persoalan seumur hidupnya. Ribuan murid Siau- lim-si akan mencarinya untuk membalas dendam.”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Pek-hiau-sing memang tahu segala sesuatu. Tidak heran, semua orang dalam dunia persilatan ingin bersahabat denganmu. Memang sangat menguntungkan untuk menjadi sahabatmu.”

Wajah Pek-hiau-sing tidak berubah. “Aku hanya menyatakan fakta.” Kata Li Sun-Hoan, “Namun kau lupa satu hal. Sim-bi masih hidup. Ia tahu siapa yang melukainya. Pada saat itu, kurasa kau harus menelan kembali kata-katamu.”

Pek-hiau-sing mendesah. “Jika perhitunganku benar, Sim-bi tidak akan punya kesempatan untuk bicara sepatah kata pun.”

Tiba-tiba terdengar suara bertanya, “Jika bukan kau yang melukai Sim-bi, siapa yang melukainya?”

Tidak jelas kapan ia kembali, namun wajahnya terlihat sangat dingin.

Kata Li Sun-Hoan, “Kau tidak tahu bahwa ia keracunan?”

Sim-oh Taysu tidak menjawab. Ia menoleh dan berkata, “Jitsute?”

Jitsute atau adik perguruan ketujuh yang dimaksudkan ialah Sim-kam Taysu.

Seorang pendeta berwajah kuning dan tampak seperti orang sakit menjawab, “Ia keracunan ‘Air Lima Racun’ dari Ngo-tok-tongcu. Racun ini tidak berbau dan tidak berasa. Tidak berwarna, seperti air. Jika tidak segera diberi penawar, ia akan segera membusuk.”

Li Sun-Hoan tertawa, “Kau sungguh hebat.”

Sin-kam Taysu berkata dengan dingin, “Aku hanya tahu ia keracunan Air Lima Racun. Aku tidak tahu siapa yang meracuninya.” Kata Pek-hiau-sing, “Benar sekali. Walaupun orang yang keracunan sudah mati, pelakunya masih hidup.”

Kata Sin-kam Taysu, “Ngo-tok-tongcu tidak punya dendam dengan Siau-lim-si, mengapa ia meracuni Jisuheng?”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Karena sebenarnya ia ingin meracuni aku.”

Kata Pek-hiau-sing, “Aneh sekali. Jika ia bermaksud meracunimu, mengapa engkau masih di sini? Mengapa yang mati adalah Jisuheng?”

Ia menatap Li Sun-Hoan. “Jika kau dapat menjelaskannya, aku akan menyembah engkau.”

Li Sun-Hoan berpikir lama, kemudian ia tersenyum. “Aku tidak dapat. Karena apapun yang kukatakan, kau tidak akan percaya.”

Kata Pek-hiau-sing, “Kau sendirilah yang membuat kami susah untuk percaya.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak bisa. Namun ada yang bisa.”

Sim-oh Taysu segera bertanya, “Siapa?”

Kata Li Sun-Hoan, “Sim-bi Taysu. Mengapa tidak kau tanyakan padanya setelah ia bangun.” Sin-kam Taysu berkata dengan dingin, “Jisuheng tidak akan pernah bangun lagi!”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar