Si Pisau Terbang Li Bab 17 : Sifat Aslinya Ketahuan

 
Bab 17. Sifat Aslinya Ketahuan

Sewaktu Liong Siau-hun mendengarnya, ia menundukkan kepalanya cukup lama.

“Besok…besok kau akan pergi. Aku….”

Kata Li Sun-Hoan, “Tak perlu repot-repot mengantar. Aku tidak suka mengantar kepergian orang dan akupun tidak suka orang berbuat begitu padaku. Waktu aku melihat air wajah orang saat mengantar, aku malah jadi ingin muntah.”

Ia terkekeh lalu melanjutkan, “Lagi pula, aku kan tidak pergi jauh. Mungkin dalam beberapa hari aku akan kembali.”

Liong Siau-hun pun kelihatan bersemangat lagi. “Kau benar. Waktu kau datang nanti, aku pasti akan menyambutmu. Lalu kita bisa mabuk bersama.”

Tiba-tiba terdengar suara seseorang berkata, “Kau tahu pasti dia tidak akan kembali. Mengapa kau masih membohongi dirimu sendiri?” Lim Si-im masuk. Wajahnya yang cantik kelihatan sangat rapuh.

Hati Li Sun-Hoan serasa ditusuk sembilu. Namun ia masih tersenyum. “Mengapa aku tidak akan kembali? Ini adalah tempat tinggal sahabat-sahabat karibku. Aku….”

Lim Si-im segera memotong dengan dingin, “Siapa sahabatmu? Kau sama sekali tidak punya teman di sini.”

Ia menuding ke arah Liong Siau-hun. “Kau pikir dia ini sahabatmu? Jika dia memang sahabatmu, seharusnya dia membebaskanmu sekarang juga.”

Liong Siau-hun berusaha membela diri, “Tapi dia….”

Lim Si-im memotong lagi, “Dia tidak mau pergi karena dia tidak mau kau mendapat kesulitan. Namun mengapa kau tidak melepaskan dia? Dia bisa memutuskan apakah dia mau lari atau tidak. Namun, kaulah yang harus memutuskan apakah kau akan melepaskan dia atau tidak.”

Ia tidak menunggu Liong Siau-hun untuk menjawab. Ia memutar badannya dan berlalu dari situ.

Liong Siau-hun berdiri dan berkata, “Apapun yang akan kau lakukan, aku harus melepaskan engkau.”

Li Sun-Hoan tertawa keras-keras.

Liong Siau-hun kelihatan bingung. “Meng…mengapa kau tertawa?” Sahut Li Sun-Hoan, “Sejak kapan kau mau diperintah oleh seorang wanita? Liong Siau-hun yang kuingat adalah seorang pria tulen. Bukan seorang pria lemah yang takut pada istrinya.”

Liong Siau-hun mengepalkan tangannya kuat-kuat. Bahkan air mata mulai tampak di sudut matanya. “Toako, kau… kau sangat baik padaku. Bukannya aku tidak tahu apa maksudmu. Hanya…hanya saja, bagaimana harus kubalas budimu?”

Kata Li Sun-Hoan, “Kebetulan aku perlu bantuanmu.”

“Apa yang kau perlukan? Katakan saja, aku lakukan apapun keinginanmu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Ingatkah kau pada pemuda A Fei yang datang semalam?”

“Tentu saja.”

Li Sun-Hoan berkata, “Jika ia terlibat kesulitan, tolong bantu dia.”

Liong Xiau Yun mendesah. “Bahkan dalam situasi seperti ini, kau masih begitu memperhatikan orang lain. Apakah kau pernah memperhatikan dirimu sendiri?”

Kata Li Sun-Hoan kering, “Katakan padaku, apakah kau akan melakukannya atau tidak.”

“Tentu saja akan kupenuhi permintaanmu. Tapi mungkin aku takkan pernah berjumpa dengan dia.” Li Sun-Hoan sangat terkejut. “Kenapa? Mungkinkah dia….”

Liong Siau-hun berusaha keras untuk tersenyum. “Kau melihat dai pergi kemarin. Apakah mungkin dia kembali lagi?”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Aku sangat berharap ia tidak kembali lagi. Namun aku tahu ia pasti datang.”

Liong Siau-hun bertanya, “Jika ia datang untuk menyelamatkanmu, mengapa dia belum tiba?”

Ia menarik nafas panjang dan melanjutkan. “Toako, aku tahu kau memperhatikan sahabatmu lebih dari apapun juga di dunia ini. Namun tidak semua orang seperti engkau.”

Li Sun-Hoan berusaha tersenyum. “Apa yang akan dilakukannya adalah keputusannya sendiri. Aku hanya berharap engkau mengingat bahwa ia adalah sahabatku, sewaktu engkau berjumpa dengan dia.”

Sahut Liong Siau-hun, “Sahabatmu adalah sahabatku juga.”

Tiba-tiba seseorang berteriak dari luar, “Liong-siya…. Liong-siya.”

Liong Siau-hun segera bangkit, namun segera duduk kembali. “Toako, kau….” Li Sun-Hoan tersenyum lalu berkata, “Aku tidak ingin minum lagi. Kau pergilah. Dan jangan lupa, besok kau tidak perlu mengantar.”

Liong Siau-hun berjalan keluar dan dilihatnya Dian-jitya berdiri di bawah pohon. Ia segera berjalan ke sana dan bertanya dengan berbisik, “Apakah kau berhasil menangkapnya?”

Sahut Dian-jitya, “Tidak.”

“Apa? Begitu banyak orang yang telah kau kerahkan, ditambah dengan Sim-bi Taysu Thi-tiok Siansing…. tidak dapat menyelesaikan satu anak muda saja?”

Kata Dian-jitya, “Tapi anak muda ini sangat luar biasa. Bahkan sedikit menakutkan. Ia tidak hanya telah melukai Kakak Tio-lotoa, kini ia pun melukai Thi-tiok Siansing!”

Liong Siau-hun menghentakkan kakinya. “Aku tahu anak muda ini tidak mudah ditundukkan. Tapi katamu Thi-tiok Siansing pasti dapat mengatasinya.”

Kata Dian-jitya, “Walaupun ia berhasil lolos, ia kena dilukai oleh telapak tangan Sim-bi.”

Sahut Liong Siau-hun, “Kalau begitu, ia tidak mungkin lari terlalu jauh. Mengapa tidak kau kejar dia?”

Dian-jitya berkata, “Pendeta-pendeta Siau-lim-si itu sedang mengejarnya. Begitu ada kabar baik, aku akan segera mengabarimu.” Kata Liong Siau-hun, “Aku akan pergi menyelidiki. Kau tempatkan seseorang untuk berjaga di sini.”

Di belakang pohon Bwe itu ada gunung-gunungan.

Setelah kedua orang itu pergi, seseorang muncul dari balik gunung-gunungan itu. Matanya yang cantik penuh dengan keheranan dan tidak percaya. Juga sakit hati dan kebencian.

Seluruh badannya menggigil, dan air mata membasahi wajahnya.

Hati Lim Si-im hancur berkeping-keping. Lalu dengan langkah mantap ia berjalan ke arah kamar Li Sun-Hoan.

Namun segera didengarnya ada langkah-langkah orang, sehingga Lim Si-im kembali bersembunyi di balik gunung- gunungan itu.

Dian-jitya membawa delapan orang ke situ dan berkata, “Jaga dia. Jangan biarkan seorang pun masuk ke sini.
Siapapun yang masuk, bunuh.”

Ia sedang tergesa-gesa hendak menangkap A Fei, sehingga belum habis kalimatnya, dia sudah berlari pergi.

Lim Si-im menggigit bibirnya. Begitu kerasnya sampai darah keluar.

Ia menyesali dirinya sendiri, mengapa malas berlatih ilmu silat. Kini ia baru menyadari bahwa ada hal-hal yang hanya dapat diselesaikan dengan bertempur.

Ia tidak punya ide bagaimana ia bisa masuk ke kamar itu.

Tapi tiba-tiba ia mendengar sesuatu. Langkah-langkah orang. Langkah itu tidak terlalu berirama, namun sangat cepat.

Lim Si-im menyadari, ini adalah Thi-tiok Siansing.

Ia mendengar Thi-tiok Siansing berseru nyaring, “Apakah orang she Li itu ada di kamar ini?”

Seorang penjaga menjawab, “Kami tidak tahu pasti.”

Thi-tiok Siansing berkata, “Kalau begitu, biarkan aku masuk dan memeriksa.”

Penjaga itu menjawab, “Dian-jitya berpesan bahwa tidak seorang pun boleh masuk.”

Kata Thi-tiok Siansing, “Dian-jitya? Siapa yang peduli? Tidakkah kalian tahu siapa aku?”

Penjaga itu memandang dengan curiga ke arah pakaian Thi-tiok Siansing yang belepotan darah. “Siapapun tidak boleh masuk.”

Thi-tiok Siansing menjawab, “Baiklah.” Ia mengangkat tangannya sedikit. Segenggam jarum pun segera melesat.

Mata Li Sun-Hoan terpejam, seakan-akan tertidur.

Tiba-tiba didengarnya jeritan orang kesakitan. Suara itu tidak terlalu keras, dan pendek saja.

Ia mengangkat alisnya. “Apakah ada yang sedang berusaha menolongku?”

Lalu ia melihat seseorang yang membawa seruling besi masuk ke kamarnya. Wajahnya penuh dengan hawa membunuh.

Pandangan Li Sun-Hoan berhenti pada seruling besi itu. “Thi-tiok Siansing.”

Thi-tiok Siansing memandangi wajahnya. “Hiat-to (jalan darah)mu tertutup?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Kau tahu, jika ada arak di hadapanku dan aku tidak minum, pasti artinya aku tidak bisa bergerak.”

Kata Thi-tiok Siansing, “Kalau kau tidak bisa bergerak, seharusnya aku tidak membunuhmu. Tapi aku harus membunuhmu.”

“Hah?”

Thi-tiok Siansing menatapnya lekat-lekat, “Engkau tidak ingin tahu sebabnya?” Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika aku bertanya, pasti engkau akan menerangkan dan menjadi marah. Jika kemudian aku berusaha membela diri, kau pasti tidak akan percaya, dan masih tetap akan membunuhku. Jadi buat apa
susah-susah bicara?”

Wajah Thi-tiok Siansing tiba-tiba menjadi sangat sedih. “Ju-ih, kau sungguh mati mengenaskan. Tapi paling tidak sekarang aku akan membalaskan dendammu.”

Ia mengangkat seruling besinya.

Li Sun-Hoan menghela nafas. “Ju-ih, waktu kau melihat aku, pasti kau akan sangat terkejut. Karena walaupun kau tidak mengenal aku, aku mengenalmu….”

Tiba-tiba Lim Si-im masuk ke dalam kamar itu. “Tunggu sebentar. Ada yang ingin kukatakan.”

Thi-tiok Siansing menoleh terkejut. “Nyonya? Aku sarankan agar kau tidak terlibat urusan ini. Tidak ada seorang pun yang boleh ikut campur.”

Wajah Lim Si-im menjadi hijau. “Aku tidak bermaksud mencegahmu melakukan apa yang kau inginkan. Tapi ini adalah rumahku. Jika seseorang harus dibunuh, biarkan aku yang melakukannya.”

”Tapi mengapa kau ingin membunuhnya?”

Sahut Lim Si-im, “Aku punya lebih banyak alasan untuk membunuhnya daripada engkau. Kau ingin membunuhnya untuk membalaskan dendam istrimu. Namun aku ingin melakukannya demi anakku. Aku hanya punya satu orang anak.”

Maksudnya sudah jelas. Thi-tiok Siansing punya lebih dari satu istri.

Thi-tiok Siansing berpikir cukup lama, lalu berkata, “Baiklah, kau boleh maju lebih dulu.”

Ia sangat percaya diri bahwa jarum suling besinya sangat cepat bagai kilat. Jadi walaupun Lim Si-im maju lebih dulu, ia masih dapat mendahuluinya membunuh Li Sun- Hoan. Namun ketika Lim Si-im berjalan melewatinya, ia tiba-tiba berputar dan menyerangnya.

Walaupun ilmu silat Lim Si-im cetek, ia pun bukan wanita yang lemah. Ia menggunakan seluruh kekuatannya mendorong dengan telapak tangannya. Lagi pula, Tuan Suling sama sekali tidak menyangka, jadi serangannya cukup ampuh.

Dan karena luka sebelumnya terbuka lagi, tubuh Thi-tiok Siansing gemetar hebat, darah mulai mengucur keluar dan akhirnya dia pingsan.

Lim Si-im sendiri sangat terkejut melihatnya, dan hampir ikut pingsan.

Li Sun-Hoan tahu bahwa dia tidak pernah menginjak seekor semut sekalipun! Kini, melihat Lim Si-im melukai seseorang, ia tidak tahu apakah ia harus merasa sedih atau gembira. Tapi ia menekan seluruh emosinya dan hanya berkata, “Mengapa kau datang lagi?” Lim Si-im mengambil nafas panjang beberapa kali untuk menenangkan diri. “Aku datang kembali untuk membebaskanmu.”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Apakah kau belum jelas juga? Aku tidak akan pergi.”

Kata Lim Si-im, “Aku tahu, kau tidak ingin pergi karena Liong Siau-hun. Tapi kau tidak tahu bahwa dia….dia….”

Tubuhnya mulai menggigil lagi, bahkan lebih dari sebelumnya. Ia mengepalkan tangannya kuat-kuat, sampai kuku-kukunya melukai kulitnya. Dengan segenap tenaganya ia berkata, “Ia telah mengkhianatimu. Ia bersekongkol dengan mereka semua.”

Setelah ia mengatakan itu, tenaganya habis terkuras. Jikalau tidak ada kursi di dekatnya, mungkin ia sudah jatuh rebah di tanah. Ia pikir Li Sun-Hoan pun pasti sangat terkejut.

Namun ternyata wajah Li Sun-Hoan tidak berubah sedikitpun. Malahan ia terkekeh. “Pasti ada kesalahpahaman. Bagaimana mungkin ia mengkhianati aku?”

Lim Si-im kembali mengumpulkan tenaganya dan berpegangan pada meja. Seluruh meja itu pun ikut bergetar.

Katanya, “Aku melihatnya dengan mataku sendiri, dan mendengarnya dengan telingaku sendiri.” Sahut Li Sun-Hoan, “Mata dan telingamu pasti salah.” Kata Lim Si-im gusar, “Kau tidak mempercayaiku?”
Li Sun-Hoan berkata dengan lembut, “Kau terlalu lelah dua hari belakangan ini. Jadi tidak heran kalau pikiranmu kacau. Pergilah beristirahat. Besok pasti kau akan kembali menyadari bahwa suamimu adalah laki-laki yang baik.”

Lim Si-im memandang dia. Pikirannya sungguh galau. Setelah sekian lama, akhirnya ia menelungkup di atas meja dan mulai menangis.

Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ia tidak mampu memandangnya. Suaranya bergetar, katanya, “Mengapa kau….”

Sebelum ia selesai bicara, ia mulai batuk-batuk. Kali ini darah ikut tersembur.

Akhirnya Lim Si-im tidak dapat lagi mengendalikan dirinya. Sepuluh tahun perasaan yang tertahan, meledak keluar saat itu.

Ia segera menubruk ke arah Li Sun-Hoan. “Jika kau tidak pergi, aku akan mati di hadapanmu.”

Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. Ia berkata perlahan- lahan, “Apa hubungannya kematianmu dengan diriku?”

Lim Si-im menengadah memandangnya. Suaranya sangat lemah. “Kau….kau….kau….” Setiap kali dia bicara satu kata, ia mundur selangkah. Tiba-tiba ia menabrak seseorang di belakangnya.

Wajah Liong Siau-hun terlihat kaku seperti baja.

Ia melingkarkan tangannya kuat-kuat di pinggang istrinya. Seakan-akan kuatir jika ia melepaskannya, istrinya akan pergi dan tak kembali lagi.

Lim Si-im memandang tangan suaminya. Setelah kembali tenang, ia berkata dengan dingin, “Lepaskan tanganmu. Dan ingatlah, jangan sekali-kali menyentuhku lagi.”

Akhirnya dilepaskannya pelukannya dan memandang istrinya, “Kau sudah tahu semuanya?”

Lim Si-im menjawab dingin, “Tidak ada rahasia yang abadi di dunia ini.”

“Kau…kau telah memberitahukan padanya?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Sebenarnya dia tidak perlu memberitahukan padaku. Aku sudah tahu dari semula.”

Awalnya Liong Siau-hun tidak punya muka memandangnya. Baru sekarang ia mengangkat kepalanya. “Kau sudah tahu?”

“Ya.”

“Sejak kapan?” Li Sun-Hoan menghela nafas. “Waktu kau menarik tanganku dan membiarkan Dian-jitya menutup Hiat-to (jalan darah)ku. Tapi…. walaupun aku tahu kau terlibat, aku tidak menyalahkanmu.”

Kata Liong Siau-hun, “Jika kau sudah tahu, mengapa kau tak mengatakan apa-apa?”

“Buat apa?”

Lim Si-im memandang Li Sun-Hoan. “Kau tidak mengatakannya karena aku, bukan?”

Li Sun-Hoan mengangkat alisnya. “Karena kau?”

Kata Lim Si-im lagi, “Kau tidak ingin menyakiti diriku, atau merusak keluarga kami. Karena keluarga ini adalah….”

Ia tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Air mata kembali membasahi wajahnya.

Tawa Li Sun-Hoan meledak tiba-tiba. “Mengapa wanita selalu berpikir bahwa segala sesuatu berputar mengelilingi mereka? Aku tidak mengatakannya karena aku tahu itu tidak ada manfaatnya. Aku juga tidak pergi karena aku tahu mereka tidak akan membiarkan aku pergi.”

Kata Lim Si-im, “Tidak peduli apa yang kau katakan sekarang. Karena aku sudah tahu….” Potong Li Sun-Hoan, “Apa yang kau tahu? Tahukah kau mengapa ia melakukannya? Ia kuatir kalau aku akan merusak keluarga kalian. Itu sebabnya ia melakukan semua ini! Karena dalam pandangannya, keluarga lebih penting dari apa pun juga di dunia ini. Ia merasa bahwa engkaulah orang yang paling berharga dalam hidupnya.”

Lim Si-im menatap dia lekat-lekat, lalu tiba-tiba juga tertawa terbahak-bahak. “Ia telah menghancurkanmu, tapi kau masih juga membelanya? Bagus. Kau memang sahabat sejati. Tapi, sadarkah engkau bahwa aku juga manusia? Tega-teganya kau berbuat seperti ini padaku!”

Li Sun-Hoan mulai terbatuk-batuk lagi. Darah mengotori sekelilingnya.

Kini Liong Siau-hun pun kehilangan kendali dan mulai berteriak. “Tadinya aku adalah kepala keluarga di sini. Tapi begitu kau muncul, aku merasa seperti seorang tamu. Aku mempunyai anak yang hebat. Tapi begitu kau datang, ia menjadi anak yang cacad.”

Li Sun-Hoan mendesah. “Kau benar. Seharusnya aku tidak datang kembali.”

Lim Si-im memejamkan matanya. Air mata terus mengalir membasahi seluruh wajahnya. “Jika kau pernah memikirkan aku sekejap saja, seharusnya kau tidak berbuat seperti ini.”

Sahut Liong Siau-hun, “Aku tahu. Tapi aku terlalu kuatir.” Lim Si-im bertanya, “Kuatir apa?” Jawab Liong Siau-hun, “Kuatir kau akan meninggalkan diriku. Walaupun kau tidak mengatakannya, aku tahu bahwa kau…. kau tidak bisa melupakan dia. Aku kuatir kau akan kembali ke dalam pelukannya.”

Lim Si-im melompat dari kursinya dan berteriak dengan marah, “Singkirkan tanganmu! Kau bukan hanya seorang yang licik, tapi kau pikir aku ini orang macam apa? Kau pikir dia itu orang macam apa?”

Lim Si-im bersimpuh di lantai dan menangis meraung- raung tidak terkendali. “Apakah kau sudah lupa bahwa aku… aku adalah istrimu?”

Liong Siau-hun berdiri mematung di tempatnya. Hanya air matanya yang bergulir di pipinya.

Li Sun-Hoan memandang mereka berdua dan berpikir dalam hatinya, “Salah siapakah ini semua? Siapa yang salah….”

***

Di tempat lain, A Fei merasa seperti berbaring di dalam gumpalan awan, tubuh terasa lemas dan melayang- layang di tengah semacam bau harum yang sedap.

Ia sudah mendusin, tapi rasanya seperti dalam mimpi.

Dalam mimpinya juga selalu ditemui salju, ladang belukar, binatang buas dan serentetan bencana dan penderitaan yang tak habis-habis.... Dan terdengar seseorang berkata, “Apakah kau sudah bangun?”

Suara ini sungguh merdu, sungguh lembut.

Waktu A Fei membuka matanya, ia melihat wajah seorang dewi. Wajah ini memiliki senyum yang termanis, yang terlembut di seluruh dunia. Matanya penuh dengan cinta kasih yang murni.

Wajah ini hampir mirip dengan ibunya.

Ia teringat waktu ia masih kecil dan jatuh sakit, ibunya selalu duduk di sampingnya seperti ini, dan mengawasi dia dengan sabar.

Namun itu sudah lama sekali. Sangat lama, sampai ia hampir melupakannya….

A Fei berusaha bangkit dari tempat tidur itu. “Di manakah aku?”

Waktu ia berusaha duduk, ia terjatuh rebah kembali.

Lim Sian-ji membantu ia duduk dengan telaten dan berkata dengan lembut, “Jangan kuatir di mana engkau berada. Anggap saja ini rumahmu.”

“Rumahku?”

Ia tidak pernah punya rumah. Kata Lim Sian-ji, “Aku rasa rumahmu pasti sangat hangat, karena kau memiliki ibu yang sangat baik. Ia pasti sangat lembut, sangat cantik dan kau sangat mencintainya.”

A Fei hanya duduk terdiam. Setelah beberapa saat ia berkata, “Aku tidak punya rumah, juga tidak punya ibu.”

Lim Sian-ji kelihatan bingun. “Tapi…tapi waktu engkau pingsan, kau terus-menerus memanggil ibumu.”

A Fei diam saja, tidak bergerak dan wajahnya pun tidak berubah. “Beliau sudah meninggal waktu aku berusia tujuh tahun.”

Walaupun wajahnya menatap kosong, matanya mulai basah.

Lim Sian-ji menunduk. “Maafkan aku. Aku…seharusnya aku tidak mengungkit kenangan sedih itu.”

Kemudian A Fei bertanya, “Apakah engkau yang menolongku?”

Sahut Lim Sian-ji, “Waktu aku tiba, kau sudah pingsan. Lalu aku membawamu ke sini. Selama kau berada di sini, aku berjanji tidak ada orang lain yang akan masuk.”

Kata A Fei, “Sebelum ibuku meninggal, beliau berpesan supaya aku tidak menerima kebaikan orang lain. Aku tidak pernah melupakannya. Namun sekarang….” Wajahnya yang kaku kini menjadi hidup dan ia berteriak, “Kini aku berhutang nyawa padamu!”

Lim Sian-ji menjawab dengan lembut, “Kau tidak berhutang apa-apa. Jangan lupa, kau pun pernah menyelamatkan nyawaku.”

A Fei terus mengeluh. “Mengapa kau tolong aku? Mengapa kau tolong aku?”

Lim Sian-ji memandangnya dengan sabar. Ia meletakkan tangannya di wajah A Fei. “Jangan pikir apa-apa sekarang. Nanti… nanti kau akan tahu mengapa aku…. aku menolongmu. Mengapa aku berbuat ini padamu.”

Tangannya benar-benar cantik. A Fei memejamkan matanya.
Ia tidak tahu bahwa ia dapat mempunyai perasaan seperti ini.

Ia bertanya, “Jam berapa sekarang?” “Belum tengah malam.”
A Fei berusaha bangkit lagi.

Lim Sian-ji bertanya, “Ke mana kau mau pergi?”

A Fei mengertakkan giginya. “Aku tak bisa membiarkan mereka membawa Li Sun-Hoan.” Kata Lim Sian-ji, “Tapi mereka sudah pergi.”

A Fei jatuh terduduk ke atas tempat tidur. Wajahnya berkeringat. “Tapi katamu ini belum tengah malam?”

Sahut Lim Sian-ji, “Memang betul. Tapi Li Sun-Hoan sudah dibawa pergi kemarin pagi.”

A Fei terpana. “Aku tidur begitu lama?”

Kata Lim Sian-ji, “Luka-lukamu sangat berat. Jika orang itu bukan engkau, aku rasa orang itu tidak akan dapat bertahan hidup. Jadi sekarang engkau harus patuh padaku dan menunggu sampai kesehatanmu pulih.”

“Tapi Li….”

Potong Lim Sian-ji cepat, “Jangan bicara tentang dia lagi. Keadaannya saat ini tidak segawat keadaanmu. Jika kau ingin pergi menolongnya, tunggu sampai luka-lukamu sembuh.”

Ia menggeser tubuh A Fei, sehingga kepala A Fei ada di atas bantal. “Jangan kuatir. Sim-bi Taysu sendiri yang membawa dia. Dia tidak akan menemui kesulitan di jalan.”

***
Li Sun-Hoan duduk di atas kereta, memandang Dian-jitya dan Sim-bi. Ia berpikir ini sungguh menarik, sehingga ia tidak dapat menahan senyumnya.

Dian-jitya menatapnya dan bertanya, “Apa yang lucu?” Sahut Li Sun-Hoan, “Aku hanya berpikir bahwa ini sangat menarik.”

“Apa yang menarik?”

Li Sun-Hoan menguap, memejamkan matanya, seolah- olah akan tidur.

Dian-jitya mengguncang-guncangkan tubuhnya. “Apa yang menarik pada diriku?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Maaf, aku bukan berbicara tentang engkau. Ada banyak orang yang menarik di dunia ini, tapi kau tidak termasuk. Kau sangat membosankan.”

Dian-jitya sungguh geram, tapi akhirnya dilepaskannya cekalannya.

Sim-bi tidak tahan untuk tidak bertanya, “Apakah menurutmu aku menarik?”

Ia tidak pernah bertemu dengan orang yang menanggap dia menarik.

Li Sun-Hoan menguap lagi. Katanya sambil tersenyum, “Aku berpikir kau cukup menarik karena sebelum ini aku belum pernah berada di kereta kuda bersama dengan seorang pendeta. Aku selalu berpikir bahwa pendeta tidak pernah naik kuda atau kereta kuda.”

Sim-bi juga tersenyum. “Pendeta kan juga manusia. Kami tidak hanya naik kereta kuda, kami juga perlu makan.” Kata Li Sun-Hoan, “Tapi jika mau duduk di atas kereta, mengapa tidak duduk dengan nyaman? Caramu duduk membuat orang berpikir bahwa kau mempunyai semacam penyakit kulit.”

Wajah Sim-bi langsung berubah. “Kau ingin aku menutup mulutmu?”

Sim-bi memandang Dian-jitya. Tangan Dian-jitya telah bergerak ke arah salah satu Hiat-to (jalan darah) Li Sun- Hoan. Ia tersenyum. “Jika aku menekan di sini, kau tahu apa yang akan terjadi, bukan?”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika kau menekan di situ, maka kau tidak akan mendengar banyak kisah yang menarik.”

Kata Dian-jitya, “Kalau begitu, aku rasa aku akan….”

Di tengah-tengah perkataannya itu, tiba-tiba kuda-kuda meringkik keras, dan berhenti.

Dian-jitya berteriak pada orang-orang yang di luar, “Apa yang terjadi? Apa…..”

Waktu ia menyingkapkan tirai dan melihat ke luar, wajahnya seketika pucat pasi.

Seseorang berdiri di atas salju. Tangan kanannya memegangi kereta kuda, sehingga kuda-kuda itu tidak dapat maju. Ia hanya berdiri di situ, tidak bergerak sedikitpun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar