Si Pisau Terbang Li Bab 15 : Cinta Sejati

 
Bab 15. Cinta Sejati

Setelah hujan salju terus menerus untuk beberapa hari, matahari muncul kembali hari ini.

Namun cahayanya tidak sampai ke ruangan yang satu ini. Sungguh pun demikian, Li Sun-Hoan tidak putus asa. Ia tahu beberapa tempat di dunia ini tidak pernah merasakan cahaya matahari.

Lagi pula, ia kenal baik dengan keputusasaan.

Ia tidak tahu pasti apa yang akan dilakukan oleh Tian, Tio-lotoa dan yang lain terhadapnya. Ia malas memikirkan hal-hal seperti itu. Saat itu, Dian-jitya sedang mengantarkan para pendeta Siau-lim-si menemui Cin Hau-gi dan putranya. Mereka melemparkan Li Sun-Hoan ke sebuah gudang kosong. Akan tetapi, Liong Siau-hun diam saja.

Li Sun-Hoan tidak menyalahkan Liong Siau-hun. Liong Siau-hun punya alasannya sendiri. Lagi pula, ia pun tidak bisa berbuat apa-apa.

Li Sun-Hoan hanya berharap A Fei tidak kembali untuk menyelamatkannya. Ia tahu bahwa walaupun pedang A Fei sangat cepat, ilmu silatnya mempunyai banyak lubang kelemahan. Jika ia bertemu dengan orang seperti Dian-jitya atau Sim-bi Taysu, dan pedangnya tidak melihat darah pada gebrakan pertama, mungkin pedang itu takkan dapat melihat darah untuk selama-lamanya.

Hanya dalam waktu tiga tahun, A Fei akan dapat memperbaiki kekurangannya. Pada saat itulah ia tidak akan terkalahkan.

Jadi paling tidak dia harus hidup tiga tahun lagi.

Lantai di situ amat basah. Li Sun-Hoan terbatuk-batuk lagi. Ia berharap bisa minum arak.

Namun sekarang, harapan sesederhana itu pun tak bisa terwujud. Jika orang lain ada dalam posisinya, mungkin orang itu sudah menangis meraung-raung.

Namun Li Sun-Hoan malah tertawa. Ia berpikir bahwa beberapa hal di dunia ini sungguh menggelikan.

Rumah ini dulu adalah miliknya. Semua yang berada di sini adalah kepunyaannya. Tapi kini semua orang menganggap dia adalah seorang pencuri, bahkan mengurungnya di kamar sempit seperti ini seperti seekor anjing. Siapa yang menyangka? Tiba-tiba pintu terkuak.

Mungkin Tio Cing-ngo sudah tidak sabar lagi menunggu dan ingin membunuhnya sekarang juga?

Namun ternyata bukan Tio Cing-ngo yang datang. Ia mencium wangi arak. Dan dilihatnya tangan yang memegang botol arak.

Tangan itu kecil dan pergelangan tangannya tertutup oleh baju berwarna merah.

Tanya Li Sun-Hoan, “Siau-in, kaukah itu?”

Ang-hai-ji masuk sambil cekikikan. Ia memegang botol arak itu dengan kedua tangannya dan mencium wangi arak itu. Katanya sambil tersenyum lebar, “Aku tahu, kau pasti ingin minum arak, bukan?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Karena kau tahu aku ingin minum arak, kau membawakannya untukku, bukan?”

Ang-hai-ji mengangguk. Dituangnya arak itu ke dalam cawan, dan disodorkannya ke hadapan Li Sun-Hoan.
Baru Li Sun-Hoan membuka mulutnya, Ang-hai-ji menarik kembali tangannya. Lalu sambil tersenyum berkata, “Sebelum minum, kau harus menebak arak apakah ini.”

Li Sun-Hoan memejamkan matanya. Ditariknya nafas dalam-dalam, lalu berkata, “Ini adalah arak tua Tik-yap- jing. Arak kesukaanku. Jika aku tak mengenali arak ini, aku memang pantas mati.” Ang-hai-ji tersenyum. “Tak heran semua orang bilang bahwa Li-tamhoa adalah ahli dalam hal wanita dan arak. Jika kau ingin minum arak ini, maka jawablah pertanyaanku.”

“Apa pertanyaanmu?”

Senyumnya yang lebar kini lenyap.

Ia menatap wajah Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apa hubunganmu dengan ibuku? Apakah ia sangat menyukaimu?”

Wajah Li Sun-Hoan langsung berubah. Katanya, “Apakah kau sungguh-sungguh ingin tahu?”

Jawab Ang-hai-ji , “Mengapa seorang anak tidak boleh bertanya tentang ibunya?”

Li Sun-Hoan berkata dengan marah. “Tidakkah kau menyadari betapa ibumu mengasihi ayahmu dengan segenap hatinya? Mengapa kau malah berpikir sebaliknya?”

Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kau pikir kau bisa menyembunyikan ini dari diriku? Jangan mimpi.”

Dikertakkan giginya. “Waktu ibu mendengar apa yang terjadi padamu, ia menutup pintu kamarnya dan menangis tersedu-sedu. Waktu aku hampir mati pun, ia tidak menangis seperti itu. Maka aku bertanya sekarang. Kenapa?” Hati Li Sun-Hoan merosot jatuh. Ia merasa seperti segumpal lumpur, diinjak-injak oleh orang yang lewat. Setelah sekian lama, diteguhkannya hatinya. “Akan kuberitahukan padamu sekarang. Kau boleh meragukan siapapun juga. Tapi jangan ragukan ibumu. Karena tidak ada sesuatupun yang disembunyikannya. Sekarang, ambil arak itu dan pergi.”

Ang-hai-ji menatapnya. “Arak ini untukmu. Mana mungkin kubawa kembali?”

Ditumpahkannya secawan arak itu ke muka Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan tidak bergerak. Ia tidak memandang wajah Ang-hai-ji sama sekali. Ia hanya berkata, “Kau masih kecil. Aku tidak menyalahkanmu.”

Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kalaupun aku bukan anak kecil, apa yang dapat kau perbuat?”

Tiba-tiba dikeluarkannya sebilah pisau, dilambai- lambaikannya di depan wajah Li Sun-Hoan. “Lihat pisau ini baik-baik. Ini kan pisaumu. Ibu bilang bahwa jika aku mempunyai pisau ini, maka kau akan melindungi aku.
Tapi bisakah kau melindungi aku sekarang? Kau bahkan tidak bisa melindungi dirimu sendiri!”

Li Sun-Hoan mengeluh. “Kau benar. Lagi pula, pisau itu untuk membunuh, bukan untuk perLindungan.”

Wajah Ang-hai-ji memucat. Dengan berdesis ia berkata, “Kau telah membuatku cacad. Kini akan kubuat kau merasakan kesakitan yang sama. Kau….” Tiba-tiba terdengar suara dari luar. “Siau-in? Apakah kau ada di dalam?”

Suara ini hangat dan tenang. Namun ketika Li Sun-Hoan dan Ang-hai-ji mendengarnya, wajah mereka langsung berubah. Ang-hai-ji segera menyimpan pisaunya dan segera seulas senyum lugu menghiasi wajahnya. “Ibu, aku di sini. Aku membawa arak untuk Paman Li. Tapi waktu ibu memanggil, aku terkejut, Aku jadi tidak sengaja menumpahkan arak itu ke wajah Paman Li.”

Lim Si-im muncul di pintu. Matanya yang cantik tampak sembap, penuh kesedihan.

Namun waktu ia melihat Ang-hai-ji , wajahnya menjadi hangat. “Paman Li tidak mau minum arak sekarang. Dan kau pun harus tidur sekarang. Ayo.”

Ang-hai-ji berkata, “Paman Li tidak bersalah, bukan? Mengapa kita tidak menolongnya?”

Lim Si-im menjawab dengan lembut, “Anak kecil jangan berbicara seperti itu. Sana pergi tidur.”

Ang-hai-ji menoleh dan menatap Li Sun-Hoan, “Paman Li, aku harus pergi sekarang. Besok aku bawakan arak lagi untukmu.”

Li Sun-Hoan memandang senyum lugu anak itu dan keringat dingin pun membasahi sekujur tubuhnya.

Didengarnya Lim Si-im mendesah. “Awalnya aku kuatir ia akan mencoba melukaimu. Tapi sekarang….sekarang aku tidak kuatir lagi. Walaupun dia telah melakukan banyak kesalahan, ia adalah anak yang baik.”

Li Sun-Hoan hanya dapat tersenyum.

Lim Si-im tidak memandangnya. Setelah beberapa saat, ia berkata, “Dulu kau selalu menepati janjimu. Mengapa kau berubah?”

Li Sun-Hoan merasa tenggorokannya tersumbat, ia tidak bisa bicara.

“Kau berjanji tidak akan menemui Lim Sian-ji. Tapi mereka malah menemukanmu di bilik Lim Sian-ji.”

Li Sun-Hoan tertawa. Ia sendiri tidak tahu kenapa ia tertawa. Sambil memandangi kakinya ia berkata, “Aku ingat gudang ini dibangun baru lima belasan tahun yang lalu.”

“Ya.”

“Akan tetapi kini tempat ini terasa sangat tua. Jendelanya sudah pecah. Atapnya berlubang. Ini artinya bahwa sepuluh tahun memang waktu yang lama. Jika suatu bangunan bisa berubah, mengapa manusia tidak?”

Lim Si-im meremas-remas tangannya sendiri, lalu bertanya, “Sejak….Sejak kapan kau jadi seorang penipu?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku selamanya adalah seorang penipu. Hanya saja sekarang aku lebih berpengalaman.” Li Sun-Hoan tetap tersenyum. Tujuannya telah tercapai.

Ia ingin menyakiti wanita ini. Menyakitinya supaya ia pergi. Ia tidak akan menyeret siapapun jatuh bersama dengan dia. Jadi dia pasti tak berperasaan, menyakiti orang-orang yang dicintainya.

Karena inilah orang-orang yang disayanginya.

Menyakiti mereka sama dengan menyakiti diri sendiri. Walaupun senyum masih menghiasi bibirnya, hatinya telah hancur berantakan.

Ia memejamkan matanya rapat-rapat supaya air mata tidak keluar. Waktu ia membuka matanya, Lim Si-im masih ada di situ, sedang menatap langsung ke matanya.

“Me…Mengapa kau masih ada di sini?”

Sahut Lim Si-im, “Aku hanya ingin memastikan. Apakah kau… apakah kau memang Bwe-hoa-cat ?”

Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. “Apakah aku Bwe- hoa-cat ? Kau bertanya apakah aku Bwe-hoa-cat ….”

Kata Lim Si-im, “Walaupun aku tidak percaya, aku ingin mendengarnya dari mulutmu sendiri.”

Li Sun-Hoan masih tertawa. “Jika kau tidak percaya, mengapa masih bertanya? Jika kau tahu aku adalah penipu, mengapa bertanya juga? Jika aku berbohong satu kali, aku bisa berbohong seratus kali! Bahkan seribu kali!” Wajah Lim Si-im makin pucat. Seluruh tubuhnya gemetar.

Setelah sekian lama ia berkata, “Aku akan membebaskan engkau. Aku tidak peduli apakah kau itu Bwe-hoa-cat atau bukan. Aku tetap akan membebaskan engkau. Aku hanya berharap kali ini kau tak akan kembali lagi!”

Li Sun-Hoan berseru, “Berhenti! Kau pikir aku akan pergi melarikan diri seperti seekor anjing? Kau pikir orang macam apakah aku?”

Lim Si-im tidak menghiraukan dia. Ia mendekat untuk membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun-Hoan.

Saat itu terdengar suara berkata, “Si-im. Apa yang sedang kau lakukan?”

Itu suara Liong Siau-hun.

Lim Si-im menoleh dan menatap Liong Siau-hun. Ia berbicara sekata demi sekata, “Kau tidak tahu apa yang sedang kulakukan?”

Wajah Liong Siau-hun memucat, “Tapi….”

Kata Lim Si-im, “Tapi apa? Kaulah yang seharusnya melakukan ini! Sudah lupakah kau akan segala budi baiknya pada kita? Sudah lupakah kau akan masa lalu? Apakah kau akan berpangku tangan melihat dia mati seperti ini?” Liong Siau-hun meremas-remas tangannya. Lalu ia memukul-mukul dadanya. “Aku memang tidak punya nyali. Aku penakut. Aku pengecut. Tapi pikirlah sebentar saja. Bagaimana kita dapat melakukan ini? Jika kita melepaskan dia, apakah mereka akan melepaskan kita?”

Lim Si-im memandang suaminya seakan-akan memandang seorang yang tidak dikenalnya. Ia mundur beberapa langkah. “Kau telah berubah. Kau juga telah berubah… Dulu kau tidak seperti ini!”

Liong Siau-hun mendesah. “Kau memang benar. Aku telah berubah. Karena kini aku telah mempunyai anak dan istri. Apapun yang kuperbuat, merekalah prioritasku.”

Sebelum ia selesai bicara, istrinya sudah menangis. Di dunia ini tidak ada yang dapat menggerakkan hati seorang ibu lebih kuat daripada anaknya sendiri.

Liong Siau-hun berlutut di hadapan Li Sun-Hoan, wajahnya penuh dengan air mata. “Toako, aku telah mengecewakan engkau. Aku hanya dapat memohon pengampunanmu.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Mengampunimu? Aku tak mengerti apa maskudmu. Aku telah mengatakannya padamu. Ini bukanlah kesalahanmu. Jika aku ingin pergi, aku sudah pergi. Aku tidak memerlukan engkau untuk menyelamatkanku.” Ia masih memandangi kakinya, karena ia tidak tahan memandang wajah mereka berdua. Ia kuatir ia tak akan dapat membendung air matanya.

Liong Siau-hun berkata, “Toako, aku tahu penderitaanmu, namun aku jamin, mereka tidak akan membunuhmu. Kau hanya perlu bertemu dengan Sim-oh Taysu Tan Okngkau akan baik-baik saja.”

Li Sun-Hoan mengernyitkan keningnya. “Sim-oh Taysu? Apakah mereka berencana membawaku ke Siau-lim-si?”

Sahut Liong Siau-hun, “Benar. Cin Tiong adalah murid kesayangan Sim-oh Taysu. Tapi Sim-oh Taysu tak akan menuduh orang sembarangan. Lagi pula Cianpwe Pek- hiau-sing pun sedang berada di Siau-lim-si. Ia pun akan membantumu mendapatkan keadilan.”

Li Sun-Hoan diam saja. Ia melihat Dian-jitya datang. Dian-jitya memandangnya dengan senyum mengejek.
Pada saat Dian-jitya datang, sekejap Lim Si-im telah menenangkan dirinya, mengangguk sedikit lalu berjalan keluar.

Angin malam terasa menusuk tulang. Ia melangkah dua tindak, lalu berseru, “Anak In, keluarlah engkau.”

Ang-hai-ji muncul malu-malu dari balik gudang itu dan tersenyum takut-takut, “Bu, aku tidak bisa tidur, jadi….aku….” Potong Lim Si-im gemas, “Jadi kau antarkan mereka ke sini. Betul kan?”

Ang-hai-ji  tertawa dan menubruk ke pelukan ibunya. Tapi segera terlihat wajah ibunya yang murung, sehingga diurungkan niatnya. Ia berhenti dan menundukkan kepalanya.

Lim Si-im hanya memandangnya dengan terdiam. Ini adalah anak kesayangannya, darah dagingnya. Setetes air mata jatuh ke pipinya.

Setelah sekian lama, ia menghela nafas panjang. Ditengadahkannya wajahnya memandang ke langit dan berkata, “Mengapa kebencian jauh lebih sulit dilupakan daripada budi baik….”

***
Thi Toan-kah mengepalkan tangannya dan berjalan mondar-mandir di halaman sebuah kuil. Setelah sekian lama, api telah padam namun tidak seorang pun berniat menyalakannya lagi.

A Fei duduk di situ diam saja, tidak bergerak.

Thi Toan-kah berkata dengan gusat, “Aku sudah mengira, walaupun kau telah membunuh Bwe-hoa-cat , para ‘pahlawan besar’ itu takkan mau mengakuinya. Jika sekawanan serigala melihat sebongkah daging, bagaimana mungkin mereka mau melepaskannya?”

Kata A Fei, “Kau sudah memperingatkanku, namun aku tetap pergi. Aku harus pergi!” Thi Toan-kah mengeluh. “Untungnya kau pergi. Kalau tidak kau tidak akan tahu bagaimana muka para ‘pahlawan besar’ itu yang sebenarnya.”

Ia menoleh dan menatap A Fei lekat-lekat. “Kau benar- benar tidak melihat Tuanku?”

Sahut A Fei, “Tidak.”

Thi Toan-kah memandang onggokan kayu yang sudah tidak berapi itu dan mulai mondar-mandir lagi, sambil menggumam sendiri, “Aku ingin tahu apa yang sedang dilakukannya….”

Kata A Fei, “Dia tidak pernah mau orang menguatirkan dirinya.”

Thi Toan-kah tertawa lepas. “Benar sekali. Walaupun para ‘pahlawan’ itu menganggap dia seperti duri dalam daging, seperti paku yang mencucuk mata, tapi tidak seorang pun dari mereka berani menyentuhnya.”

A Fei hanya menggumam tidak jelas.

Thi Toan-kah melihat ke luar pagar. “Langit sudah cerah, aku harus pergi.”

Sahut A Fei, “Baiklah.”

Thi Toan-kah berkata, “Jika kau kebetulan bertemu dengan Tuanku, tolong sampaikan ‘Setelah Thi Toan-kah berhasil mengatasi permasalahannya, pasti ia akan kembali mencari Tuannya’.” Sahut A Fei, “Baiklah.”

Thi Toan-kah menatap wajahnya yang tirus, menggenggam tangannya, dan berkata, “Selamat tiggal.”

Walaupun di matanya terbayang kekuatiran, ia memutar badannya dan berjalan pergi tanpa menoleh lagi.

A Fei masih berdiri mematung di sini, namun di matanya yang bersinar tajam, kelihatan ada setitik kecil air mengambang.

A Fei segera memejamkan matanya, namun setetes air mata lolos dari sudut matanya, seperti tetesan embun dingin di padang rumput.

Ia tidak menceritakan pertemuannya dengan Li Sun- Hoan kepada Thi Toan-kah, karena ia tidak ingin Thi Toan-kah menggadaikan nyawanya untuk Li Sun-Hoan. Dialah yang akan pergi menggadaikan nyawanya untuk menyelamatkan Li Sun-Hoan!

Apakah harga sepotong nyawa dalam persahabatan?

Setelah sekian lama, cahaya matahari membentuk bayangan seseorang di halaman kuil itu. Bayangan yang hitam panjang itu datang menghampiri A Fei.

A Fei tidak membuka matanya, ia hanya bertanya, “Apakah engkau yang datang? Ada kabar apa?” Naluri A Fei memang bagaikan binatang buas. Yang datang memang adalah Lim Sian-ji. Sahutnya, “Kabar baik.”

Kabar baik?

A Fei hampir tidak bisa mempercayai bahwa masih ada kabar baik di dunia ini.

Sambung Lim Sian-ji, “Walaupun ia belum dibebaskan, setidaknya ia tidak ada dalam bahaya.”

“Oh?”

Lim Sian-ji menerangkan, “Dian-jitya dan yang lainnya hanya dapat menuruti usul Sim-bi Taysu untuk membawa dia ke Siau-lim-si. Ciangbun-jin Siau-lim-si, Sim-oh Taysu, selalu bersikap adil. Dan kudengar Pek- hiau-sing sedang berada di sana pula. Jika kedua orang ini tidak bisa membersihkan namanya, tak ada seorang pun di dunia yang bisa.”

Tanya A Fei, “Siapakah Pek-hiau-sing?”

Lim Sian-ji mengikik geli, “Orang ini adalah orang yang paling terpelajar di seluruh dunia. Tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu. Katanya dia bisa tahu apakah Bwe- hoa-cat itu asli atau palsu.”

A Fei terdiam beberapa saat. Tiba-tiba dibukanya matanya dan ditatapnya Lim Sian-ji lekat-lekat. “Tahukah kau orang yang paling menjijikkan di dunia itu orang macam apa?” Lim Sian-ji tersenyum. “Jangan-jangan yang kau maksud adalah lelaki munafik semacam Tio Cing-ngo itu?”

Sahut A Fei, “Pahlawan yang palsu memang pantas dibenci, namun yang paling menjijikkan adalah orang yang sok pintar.”

Tanya Lim Sian-ji, “Sok pintar? Apakah maksudmu seperti Pek-hiau-sing?”

Sahut A Fei, “Betul. Orang semacam ini selalu menganggap dirinya lebih daripada orang lain. Ia menganggap dirinya sangat pandai, tidak ada sesuatu pun yang ia tidak tahu. Hanya dengan kata-katanya ia bisa menentukan nasib orang lain. Namun sebenarnya seberapa banyak yang dia tahu?”

Lim Sian-ji berkata, “Tapi kata orang….”

A Fei tertawa dingin. “Hanya karena semua orang berkata bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu, akhirnya ia menipu dirinya sendiri. Dia jadi benar- benar percaya bahwa tidak ada sesuatu pun yang dia tidak tahu.”

Lanjut A Fei lagi, “Aku malah lebih mempercayai orang yang merasa tidak tahu apa-apa.”

Jika seseorang ingin memberikan kesan yang baik tentang dirinya, cara yang terbaik adalah membiarkan orang lain tahu bahwa ia menyukai dirinya sendiri. Lim Sian-ji telah menggunakan cara ini berulang kali. Namun kali ini ia tidak berhasil. A Fei memandang salju yang telah turun lagi. Lalu ia bertanya, “Kapan mereka akan membawanya pergi?”

Jawab Lim Sian-ji, “Besok pagi.”

Tanya A Fei, “Mengapa mereka menunggu sampai besok pagi?”

Sahut Lim Sian-ji, “Malam ini mereka mengadakan jamuan makan malam untuk Sim-bi Taysu.”

A Fei menoleh cepat dan menatap Lim Sian-ji dengan tajam, “Tidak ada alasan lain?”

Tanya Lim Sian-ji, “Mengapa harus ada alasan lain?”

Sahut A Fei, “Sim-bi Taysu tidak mungkin mau menyia- nyiakan satu hari hanya untuk makan malam.”

Lim Sian-ji memutar matanya. “Ia tidak ingin tinggal hanya karena makan malam. Ia harus menunggu karena malam ini akan datang tamu penting yang lain.”

“Siapa?”

Sahut Lim Sian-ji, “Thi-tiok siansing, (Pendekar Suling Besi).”

A Fei bertanya, “Thi-tiok siansing? Siapakah dia?”

Mata Lim Sian-ji melebar, ia sangat terkejut. “Kau tidak tahu siapa Thi-tiok siansing?” Kata A Fei, “Mengapa aku harus tahu siapa dia?”

Lim Sian-ji mengeluh. “Karena walaupun Thi-tiok siansing bukanlah yang Terhebat di dunia persilatan saat ini, ia tidak jauh dari posisi itu.”

“Oh.”

Lanjut Lim Sian-ji, “Katanya ilmu silat orang ini sungguh tinggi, bahkan tidak lebih rendah dari ketua Tujuh partai besar dunia persilatan.”

Pada saat berbicara, ia memperhatikan reaksi A Fei. Sekali lagi, A Fei mengecewakan dia.
Di wajahnya tidak terbayang rasa takut sedikit pun. Bahkan kini dia tertawa. “Jadi mereka membawa Thi-tiok siansing untuk mengatasi aku.”

Lim Sian-ji memandang ke bawah. “Sim-bi Taysu selalu merencanakan segala sesuatu dengan teliti. Ia kuatir….”

A Fei memotong ucapannya, “Ia kuatir aku akan pergi menyelamatkan Li Sun-Hoan, jadi dipanggilnya Thi-tiok siansing untuk menjadi pengawal.”

Kata Lim Sian-ji, “Walaupun mereka tidak memanggilnya, Thi-tiok siansing tetap akan datang.”

“Kenapa?” Jawab Lim Sian-ji, “Karena selir yang dikasihinya juga mati di tangan Bwe-hoa-cat .”

Lalu kata A Fei, “Jadi mereka akan makan malam sebelum pergi.”

Lim Sian-ji berpikir sejenak. “Atau mungkin…”

A Fei menyelesaikan kalimatnya, “Atau mungkin mereka takkan pernah pergi.”

Tanya Lim Sian-ji, “Mengapa?”

Sahut A Fei, “Jika istriku mati di tangan seseorang, aku tak akan membiarkannya hidup dan pergi ke Siau-lim-si.”

Wajah Lim Sian-ji berubah. “Kau kuatir bahwa begitu Thi- tiok siansing tiba ia akan segera turun tangan terhadap Li Sun-Hoan?”

“Mmmmm.”

Lim Sian-ji terdiam. Lalu ia mendesah, katanya, “Benar juga. Ada kemungkinan begitu. Thi-tiok siansing bukan orang yang bisa dibujuk. Jika ia sudah berniat turun tangan, bahkan Sim-bi Taysu tak akan dapat mencegahnya.”

Lalu A Fei berkata, “Kau sudah cukup berbicara. Sekarang kau boleh pergi.” Lim Sian-ji masih terus bertanya, “Apakah kau berencana menyelamatkan Li Sun-Hoan sebelum Thi-tiok siansing tiba?”

Sahut A Fei, “Apa pun yang kurencanakan, tidak ada sangkut-pautnya denganmu. Selamat tinggal.”

Lim Sian-ji terus mendesak, “Tapi kalau hanya dengan kekuatanmu seorang, tak mungkin kau dapat menyelamatkan dia!”

Dilanjutkannya lagi, “Aku tahu ilmu silatmu cukup tinggi, namun Dian-jitya dan Tio Cing-ngo pun bukan orang lemah. Dan lagi, masih ada Sim-bi Taysu yang merupakan orang Loji (Jisuheng) di Siau-lim-si. Tenaga dalamnya sangat murni….”

A Fei hanya memandangnya dingin, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

Lim Sian-ji terus bicara, “Hin-hun-ceng saat ini bisa dikatakan penuh dengan ahli-ahli silat. Jika kau ingin melakukan penyelamatan, itu… itu…”

A Fei melanjutkannya, “Itu tindakan gila, bukan?”

Lim Sian-ji menundukkan kepalanya, tidak berani menatap matanya.

A Fei tertawa keras-keras. “Setiap orang ada saatnya melakukan tindakan yang sedikit gila. Sekali-sekali saja, itu bukanlah hal yang buruk.” Lim Sian-ji menunduk lagi. “Aku tahu maksudmu.” “Oh.”
Kata Lim Sian-ji, “Tidak ada seorang pun yang menyangka kau akan berani bertindak di siang hari bolong. Pengawasan mereka pasti tidak terlalu ketat. Dan lagi, semalam mereka sangat sibuk. Mungkin mereka akan tertidur sampai siang….”

Kata A Fei, “Kau sudah bicara terlalu banyak….”

Sahut Lim Sian-ji, “Baik, aku akan pergi sekarang. Tapi kau…. kau harus berhati-hati. Jika terjadi sesuatu, jangan lupa ada seseorang di Hin-hun-ceng yang berhutang nyawa padamu.”

***

A Fei menunggu satu jam di luar Hin-hun-ceng.

Ia merunduk di sana, seperti menunggu di luar sarang tikus. Ujung rambut sampai kakinya tidak bergerak sama sekali. Yang bergerak hanya sepasang bola matanya yang setajam burung elang.

Angin dingin menyayat kulitnya, seperti pisau.

Namun ia tidak peduli sedikit pun. Waktu dia berumur sepuluh tahun, untuk menangkap seekor rubah ia menunggu di atas salju tanpa bergerak selama dua jam penuh. Saat itu dia bisa bertahan karena ia lapar. Jika ia tidak mendapatkan rubah itu, ia akan mati kelaparan. Untuk bertahan hidup, tidaklah sulit bagi manusia untuk menanggung penderitaan.

Namun menanggung penderitaan demi orang lain, supaya mereka bisa tetap hidup, tidaklah semudah itu. Hanya sedikit sekali orang yang dapat melakukannya.

Saat itu terlihat seseorang terhuyung-huyung keluar dari Hin-hun-ceng. Walaupun jaraknya cukup jauh, A Fei bisa melihat bahwa wajah orang ini burikan.

Ia tidak tahu bahwa orang burikan ini adalah ayah Lim Sian-ji, namun dia tahu bahwa orang ini adalah pelayan yang berkedudukan tinggi di Hin-hun-ceng.

Seorang pelayan biasa tak mungkin bersikap angkuh seperti itu. Dan jika ia bukan seorang pelayan, sikapnya pun tak mungkin angkuh seperti itu.

Perut orang ini sepertinya penuh dengan arak.

Kini ia sedang berjalan sempoyongan ke arah warung teh untuk membual besar-besaran. Tidak disangkanya, saat ia tiba di ujung gang, sebilah pedang telah terarah ke tenggorokannya.

A Fei sebenarnya tidak suka menggunakan pedangnya terhadap orang semacam ini. Tapi menggunakan pedang untuk berbicara kadang-kadang lebih efektif daripada menggunakan lidah. Ia berkata dingin, “Aku tanya satu kali, kau jawab satu kali. Jika kau tidak menjawab, akan kubunuh kau. Jika jawabanmu salah, akan kubunuh kau. Mengerti?”

Si burik ingin mengangguk, tetapi ia takut pedang itu malah akan menusuknya. Ia ingin berbicara, namun suaranya tidak keluar. Arak dalam perutnya telah berubah menjadi keringat dingin.

Tanya A Fei, “Aku bertanya, apakah Li Sun-Hoan masih berada di dalam Puri?”

Sahut si burik, “Ya….”

Bibirnya bergetar beberapa kali sebelum kata itu bisa terucapkan.

Tanya A Fei, “Di mana?”

Jawab si burik, “Di gudang kayu bakar.” Kata A Fei, “Antarkan aku ke sana!”
Si burik menjadi sangat ketakutan, “Bagaimana aku bisa mengantarkan kau ke sana…. Aku…Aku tidak tahu bagaimana….”

Kata A Fei, “Kau bisa memikirkan caranya.”

Tiba-tiba digerakkannya pedangnya. Terdengar bunyi ‘chi’, dan pedang itu menancap ke dinding.

Tatapan A Fei menembus mata si burik dan ia berkata dingin, “Kau bisa memikirkan suatu cara, bukan?” Gigi si burik gemeletuk. “Y…ya…”

Kata A Fei, “Bagus. Berbaliklah dan berjalanlah ke dalam. Jangan lupa, aku ada di belakangmu.”

Ini bukan kali pertama si burik mengajak temannya datang berkunjung. Jadi waktu A Fei mengikutinya dari belakang, si penjaga pintu tidak begitu memperhatikan.

Gudang kayu bakar itu tidak jauh dari dapur, namun dapur terletak jauh dari ruang utama. Karena tempat seorang pria bukanlah di dapur dan pemilik Hin-hun-ceng yang terdahulu adalah seorang pria sejati.

Si burik mengambil jalan pintas ke arah gudang kayu bakar. Mereka tidak bertemu dengan siapapun.
Walaupun ada yang memergoki, mereka akan berpikir kedua orang ini pasti sedang menuju ke dapur untuk mengambil makanan dan arak.

Dalam halaman yang sepi itu, tampak sebuah bangunan menyendiri. Di luar sebuah pintu yang sudah bobrok terlihat sebuah gembok yang besar.

Si burik berkata terbata-bata, “Tuan…Li-tayhiap terkunci di dalam sana. Tuan, Anda…”

A Fei menatapnya lekat-lekat, “Kurasa kau tak akan berani membohongi aku.”

Si burik tertawa gelisah, “Mana mungkin seorang pelayan berani berbohong. Aku tak berani menggadaikan kepalaku untuk berkelakar seperti itu.” Sahut A Fei, “Bagus.”

Setelah mengucapkan kata ini, ia mengulurkan tangan dan memukul jatuh si burik sampai pingsan. Ia berlari dan menendang pintu bobrok itu hingga terbuka.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar