Si Pisau Terbang Li Bab 14 : Beberapa Hal Tak Bisa Dijelaskan

 
Bab 14. Beberapa Hal Tak Bisa Dijelaskan

Sahut Lim Sian-ji, “Jadi Dian-jitya belum bisa melihat bahwa ia mengenakan Kim-si-kah ?”

Mata Dian-jitya melebar. “Jadi itulah sebabnya saat Saudara Muo Yun memukulnya, malah tangannya sendiri yang terluka.”

Kata Lim Sian-ji, “Aku tidak berniat kembali ke bilikku malam ini. Namun kemudian aku teringat ada sesuatu yang penting tertinggal di sana. Pada saat aku akan kembali, Bwe-hoa-cat muncul.”

Di wajahnya yang ayu terbayang ketakutan yang sangat dan ia melanjutkan, “Saat itu aku belum melihatnya. Aku hanya merasa ada seseorang di belakangku. Waktu aku menoleh, ia telah menutup Hiat-to (jalan darah)ku.”

Kata Dian-jitya, “Jika demikian, ilmu meringankan tubuh orang ini pasti cukup tinggi.”

Lim Sian-ji mendesah. “Gerakannya seperti hantu saja. Aku bahkan tidak menyadari apa yang sedang terjadi saat ia menarik tubuhku. Lalu aku menyadari, ini pastilah Bwe-hoa-cat . Maka aku pun bertanya padanya, ‘Apa maumu? Mengapa tak kau bunuh saja aku?’”

“Apa jawabnya?”

Lim Sian-ji mengatupkan giginya kesal, lalu katanya, “Ia tidak mengatakan apa-apa. Ia hanya tertawa sinis.” Mata Dian-jitya langsung bersinar. “Jadi ia tidak bilang bahwa dialah Bwe-hoa-cat ?”

Sahut Lim Sian-ji, “Dia tidak perlu mengatakannya. Saat itu, aku berharap segera mati, namun sayangnya aku tak bertenaga lagi. Kemudian tiba-tiba, sesosok bayangan muncul di hadapan kami.”

Kata Dian-jitya, “Pasti orang itu adalah teman kecil kita di sini.”

Sahut Lim Sian-ji, “Betul, memang dia.”

Ia memandang A Fei dengan pandangan yang sangat berterima kasih. “Ia datang begitu tiba-tiba, sampai Bwe- hoa-cat pun terkejut. Segera dilepaskannya tubuhku jatuh ke tanah. Lalu aku mendengar dia bertanya, ‘Apakah engkau Bwe-hoa-cat ?’. Bwe-hoa-cat segera menjawab, ‘Kalau ya, kenapa? Kalau tidak, kenapa?
Siapa pun aku, kau akan mati sekarang juga.”

Sebelum ia selesai bicara, senjatanya sudah melesat dari mulutnya. Aku terkejut dan sangat ketakutan. Waktu aku melihat senjata itu terarah pada dada lelaki ini, aku yakin dia pasti akan mati. Namun anehnya, ia terluka pun tidak.”

“Setelah itu, aku hanya melihat kilatan pedang, dan Bwe- hoa-cat rebah ke tanah. Kecepatannya begitu rupa, tak terbayangkan.” Saat itu, semua mata tertuju ke arah pedang di pinggang A Fei. Tidak ada yang menyangka pedang itu dapat membunuh orang, apalagi membunuh Bwe-hoa-cat !

Dian-jitya pun menatap pedang itu lekat-lekat.

Lalu ia tersenyum. “Sepertinya kau memang sudah menunggu di sana.”

Sahut A Fei, “Benar.”

Kata Dian-jitya, “Maka waktu kau melihat mereka, kau segera mendekat dan bertanya apakah dia itu Bwe-hoa- cat ?”

“Benar.”

Dian-jitya tersenyum lagi. “Jadi kau suka ya bersembunyi dalam gelap, dan bertanya pada orang yang lewat apakah dia itu Bwe-hoa-cat ?”

A Fei menjawab, “Aku tidak punya waktu senggang begitu banyak.”

Dian-jitya bertanya lagi, “Tapi kalau kau sedang punya waktu senggang, apa yang kau tanya pada orang-orang yang lewat di jalan?”

Kata A Fei, “Mengapa aku harus menanyai mereka? Apa hubungannya mereka dengan aku?”

Dian-jitya tersenyum lagi sambil berkata, “Maka dari itu. Kalau kau ingin tahu siapa orang itu, kau akan bertanya, ‘Siapakah engkau?’. Seperti tadi kau bertanya pada Mo- in-jiu Kongsun-tayhiap. Kau tidak bertanya apakah dia itu Bwe-hoa-cat .”

Sahut A Fei, “Aku tahu dia bukan Bwe-hoa-cat . Mengapa aku harus bertanya lagi?”

Wajah Dian-jitya menjadi serius. Ia menunjuk pada mayat itu dan berkata, “Kalau begitu, mengapa kau bertanya pada orang itu? Mungkinkah kau sudah tahu bahwa ia adalah Bwe-hoa-cat ? Kalau kau sudah tahu, mengapa harus bertanya lagi?”

“Karena seseorang memberi tahu aku bahwa Bwe-hoa- cat akan muncul dalam hari-hari ini.”

Dian-jitya kini menatap Li Sun-Hoan lekat-lekat. “Siapa yang memberi tahu engkau? Apakah Bwe-hoa-cat sendiri? Atau sahabatnya?”

Dia tahu A Fei tak akan menjawab pertanyaan ini. Namun, hanya dengan bertanya, tujuannya sudah tercapai. Ia memang tidak memerlukan jawaban.

Ketika semua orang mendengar itu, mata mereka pun langsung terarah ke Li Sun-Hoan. Kini mereka menyadari bahwa semua ini adalah permaiLam-yang-hu telah direncanakan oleh Li Sun-Hoan dan A Fei.

Dian-jitya segera maju ke hadapan seorang pemuda dan bertanya keras, “Apakah kau adalah Bwe-hoa-cat ?” Pemuda itu menjadi sangat ketakutan dan gelagapan. “A…Aku…”

Sebelum perkataannya selesai, Dian-jitya menutup Hiat- to (jalan darah)nya. Ia memutar badannya dan berseru dengan sinis, “Hei, lihat! Aku telah menangkap seorang lagi bandit bunga Bwe.”

Ia melanjutkan dengan serius, “Semua orang di sini setuju bahwa tidaklah mudah menangkap Bwe-hoa-cat , bukan?”

Meledaklah tawa kerumunan orang itu. Mereka mulai bertanya-tanya di antara mereka sambil bercanda, “Apakah kau Bwe-hoa-cat ?”

“Sebenarnya, kau lebih mirip untuk jadi Bwe-hoa-cat .”

“Mengapa kini jadi ada makin banyak bandit bunga Bwe?”

Li Sun-Hoan mengeluh. Katanya pelan, “Toako, pergi sajalah.”

A Fei kelihatan sangat gusar, “Pergi?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Dengan adanya Tio-toaya dan Dian-jitya yang terkenal seantero dunia, mana mungkin seorang pemuda yang tidak dikenal bisa membunuh Bwe-hoa-cat ? Apapun yang kau katakan akan sia-sia belaka.” A Fei menggenggam pedangnya kuat-kuat. Katanya dingin, “Aku pun tak ingin bicara dengan orang-orang ini. Tapi pedangku….”

Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun kau bunuh mereka semua, tetap tidak ada yang akan percaya bahwa kau telah membunuh Bwe-hoa-cat . Tidakkah kau mengerti?”

Mata A Fei menjadi suram, “Kau benar. Kini aku mengerti. Aku mengerti….”

Li Sun-Hoan terkekeh. “Jika kau ingin jadi terkenal, kau harus ingat hal ini. Kalau tidak, cepat atau lambat kau akan berakhir seperti aku, menjadi seorang bandit bunga Bwe.”

Kata A Fei, “Jadi maksudmu, jika aku ingin jadi terkenal, aku harus mengikuti kehendak orang lain, bukan?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Tebakanmu sangat tepat. Jika kau biarkan para ‘pahlawan’ inilah yang mendapatkan semua pujian, mereka akan mengangkat engkau sebagai pemuda bermasa depan cerah. Lalu setelah 10 atau 20 tahun, setelah mereka semua mati, kau akan jadi terkenal.”

A Fei berdiri mematung untuk sekian lama, lalu ia tersenyum.

Katanya, “Sepertinya aku tak akan mungkin jadi terkenal.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Mungkin itu lebih baik.” Ketika ia melihat senyuman A Fei, senyum Li Sun-Hoan pun terasa lebih alami. Senyuman mereka seolah-olah sedang membicarakan masalah yang paling menarik di seluruh dunia.

Semua orang memandang kedua orang ini, tak menyadari apa permasalahan pada diri mereka. Tiba-tiba A Fei melayang ke samping Li Sun-Hoan. Ditariknya lengan Li Sun-Hoan dan berkata, “Ketenaran adalah masalah kecil. Namun hari ini kita bisa bertemu, itu harus dirayakan dengan arak.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Biasanya aku tak mungkin menolak minum arak. Tapi hari ini….”

Dian-jitya menyambungnya, “Sayangnya hari ini dia tidak bisa.”

A Fei berkata dengan dingin, “Kata siapa?”

Dian-jitya melambaikan tangannya. Dua orang bertubuh kekar maju. Salah seorang berkata, “Dian-jitya yang mengatakannya. Semua orang tunduk pada kata- katanya.”

Yang seorang lagi menyambung, “Yang membangkang, harus mati!”

Walaupun mereka kelihatannya seperti pelayan, kecepatan mereka maju ke muka menandakan bahwa ilmu silat mereka cukup tinggi. Selagi mereka masih berbicara, dua batang golok baja berputar sangat cepat, menjadi seperti dua pelangi terbang. Menggulung angin yang dahsyat, kedua golok ini menyambar ke arah A Fei. Satu dari kiri, satu dari kanan. Satu ke atas, satu ke bawah. Menebas secepat kilat ke pundak A Fei.

A Fei hanya menghadapi serangan mereka dengan tatapan dingin. Ia tidak bergerak sama sekali. Tiba-tiba terlihat sekilat cahaya. Dan sekilat lagi. Lalu terdengar dua jerit kesakitan. Dua golok terlontar ke udara. Kedua lengan kiri kedua orang itu memegangi lengan kanan mereka. Wajah mereka sungguh kesakitan. Darah mengalir deras dari antara jari-jari mereka.

Namun pedang A Fei masih terselip di pinggangnya. Tidak ada yang melihat dia menghunus pedangnya. Namun kini dari ujung pedangnya menetes darah segar.

Pedang yang luar biasa cepat! Senyum Dian-jitya pun lenyap.
A Fei berkata dengan tenang. “Kata-kata Tuan Ketujuh adalah perintah. Sayangnya, pedangku tidak patuh pada perintah. Dia hanya tahu membunuh orang.”

Wajah kedua orang itu sungguh terpana. Mereka mundur beberapa langkah sebelum lari keluar keluar. Pedang memang tak bisa memberi perintah, namun kadang- kadang mereka lebih efektif daripada perintah siapapun juga. A Fei menarik lengan Li Sun-Hoan. “Mari kita pergi minum arak. Aku tak percaya masih ada orang yang berani menghalangi kita.”

Sebelum Li Sun-Hoan menjawab, Liong Siau-hun bertanya, “Jika kau ingin dia pergi, mengapa tak kau buka saja Hiat-to (jalan darah)nya?”

Mulut A Fei terkunci. Hati Li Sun-Hoan tercekat. Ia teringat kejadian hari itu….

Hari itu A Fei menangkap Ang Han-bin dan meninggalkan dia untuk Li Sun-Hoan.

Hari itu Li Sun-Hoan pun merasa heran. Mengapa A Fei tidak menutup saja Hiat-to (jalan darah)nya? Kini ia mengerti sebabnya!

Pedang pemuda ini mungkin tiada tandingannya, tapi ia tidak tahu apa-apa tentang ilmu totok!

Hati Li Sun-Hoan langsung merosot, namun wajahnya tetap tenang. Katanya sambil tersenyum, “Hari ini aku tak punya uang untuk mentraktirmu.”

A Fei berpikir sejenak, lalu berkata, “Hari ini aku yang traktir.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak akan pernah minum arak yang tidak kubeli dengan uangku sendiri.”

A Fei menatapnya. Di wajahnya yang kaku tersirat kesedihan. Ia mengerti, Li Sun-Hoan tidak ingin membahayakan dirinya.

Jika ia tidak dapat membuka Hiat-to (jalan darah) Li Sun- Hoan, ia harus menggendong Li Sun-Hoan keluar. Jika ia menggendong Li Sun-Hoan, maka kemungkinan mereka berdua tak akan bisa keluar lagi selamanya.

Mata Dian-jitya berbinar lagi. Ia memandang wajah mereka satu per satu, lalu tersenyum dan berkata, “Li Sun-Hoan memang adalah pria sejati. Ia tidak mau menyeret orang lain jatuh bersamanya. Sobat muda, sudah saatnya kau pergi.”

Li Sun-Hoan tahu bahwa rase tua ini melihat di mana kelemahan A Fei. Oleh sebab itu ia berkata cepat, “Kau tak perlu memancing dia. Ia tak akan terpengaruh. Lagi pula, walaupun sambil menggendong aku, belum tentu kalian semua dapat mengalahkan dia.”

Ia melanjutkan lagi. “Kau pun tahu aku tak akan pergi dengannya. Jika aku pergi dengan dia sekarang, aku tak akan punya kesempatan untuk membersihkan Cayhe.”

Kata-kata ini ditujukan pada A Fei.

A Fei berdiri menatapnya, lalu berkata, “Kalau mereka berkata bahwa engkau adalah Bwe-hoa-cat , maka engkau pasti adalah Bwe-hoa-cat , bukan?”

Li Sun-Hoan tertawa. “Kata-kata sebagian orang memang tidak bisa dibedakan dari kentut yang besar.” A Fei bertanya, “Lalu mengapa kau harus peduli jika mereka hanya kentut?”

Tiba-tiba diputarnya tubuhnya dan diangkatnya Li Sun- Hoan, digendong di punggungnya. Saat itulah Dian-jitya bergerak. Bayangan tongkatnya terlihat menusuk ke sebelas titik Hiat-to (jalan darah) yang terpenting di dada A Fei. Jika ujung tongkatnya menyentuh tubuh A Fei sedikit saja, maka A Fei tidak akan mungkin bergerak lagi.

A Fei tidak berusaha menghunus pedangnya!

Ia memang seperti Li Sun-Hoan. Jika pedangnya terhunus, dia pasti meminta darah.

Namun saat ini, ia tidak tahu bagaimana caranya mengalahkan Dian-jitya.

Semua orang memandang bayangan tongkat Dian-jitya dengan tegang. Ilmu totok Dian-jitya adalah salah satu yang terbaik dalam dunia persilatan, namun sepertinya ia sulit sekali menundukkan anak muda ini.

Tio Cing-ngo berkata, “Membunuh Bwe-hoa-cat adalah penghargaan yang tertinggi. Mengapa ada orang yang menyia-nyiakan kesempatan baik ini?”

Sebelum kalimatnya selesai, tujuh orang telah menghunus senjata mereka. Semuanya tertuju pada Li Sun-Hoan. Lim Sian-ji segera menghampiri Liong Siau- hun dan berkata, “Losi, mengapa kau tak menghentikan mereka?” Liong Siau-hun menyahut, “Kau tidak bisa lihat bahwa Hiat-to (jalan darah)ku telah ditutup?”

Saat itu terdengarlah bunyi yang keras. Tiga orang telah jatuh ke tanah.

Akhirnya A Fei menghunus pedangnya!

Ia mungkin tak bisa melukai Dian-jitya, namun jika ada yang mencari kematian, pedangnya hanya dapat memberikan bantuan. Darah terlihat di sela-sela kilatan pedang. Jubah Li Sun-Hoan pun telah bersimbah darah.

Kini semua senjata telah disimpan kembali. Semua senjata, kecuali tongkat pendek Dian-jitya, yang serupa ular meliuk-liuk menyerang titik-titik Hiat-to (jalan darah) A Fei.

Lim Sian-ji mendesah dan berkata, “Tio-toaya adalah pria sejati. Tidak mungkin ia akan main keroyok.”

Mata Tio Cing-ngo langsung berbinar, katanya, “Tapi menghadapi orang macam Bwe-hoa-cat tak perlulah kita memperhatikan aturan dunia persilatan!”

Diraihnya tombak panjang yang berada di sampingnya. Langsung diserangnya punggung Li Sun-Hoan.

Ternyata reputasinya memang hanya kosong melompong. Gerakan Tio Cing-ngo cukup mengagumkan.

Tongkat dan tombak itu lebih panjang daripada pedang pendek A Fei, sehingga posisinya kurang menguntungkan. Dan lagi, ada seseorang di atas punggungnya.

Pada awalnya, Dian-jitya ingin mengambil keuntungan dari senjatanya yang lebih panjang untuk mengalahkan A Fei. Namun ia selalu luput pada saat yang terakhir, entah bagaimana.

Setelah begitu banyak jurus, ia baru menyadari bahwa anak muda ini tidak pernah menyerang sekali pun.
Namun gerakan A Fei sungguh luar biasa. Pada saat ia akan menutup Hiat-to (jalan darah) A Fei, anak muda ini bisa berkelit dengan misterius.

Dian-jitya cukup berpengetahuan dalam ilmu silat, namun ia tidak bisa menduga ilmu aliran mana yang digunakan anak muda ini.

Tiba-tiba terpikir olehnya suatu ide. Ia tersenyum. “Sobat muda, mengapa tak kau turunkan saja dia. Kalau tidak, sebelum dia menyeretmu jatuh bersamanya, kaulah yang akan menyeret dia jatuh bersamamu.”

A Fei mengertakkan giginya. “Jika kau ingin aku menurunkannya, mengapa kau terus menyerang aku?”

Dian-jitya segera menarik tongkatnya dan mundur beberapa langkah. Tombak Tio Cing-ngo pun terhenti di tengah jalan dan ditarik kembali.

A Fei tidak memandang mereka sama sekali. Didudukkannya Li Sun-Hoan pada sebuah kursi. Wajah Li Sun-Hoan merah padam. Namun dia berusaha keras menahan diri untuk tidak terbatuk. Ia kuatir kalau batuknya akan mengganggu konsentrasi A Fei.

A Fei memandang Li Sun-Hoan, lalu memutar badannya memandang Tio Cing-ngo dan berkata, “Aku menyesal akan satu hal. Waktu itu, mengapa tak kubunuh kau?”
Selagi berbicara, pedangnya pun terhunus. Kecepatan pedang ini memang tak terkatakan.
Bagaimana mungkin Tio Cing-ngo dapat menghindarinya.
Tepat saat darah akan tertumpah, terdengar suara dari luar, “Omitohud.” Selagi berbicara, sesosok bayangan dari luar masuk ke dalam. Waktu suku kata kedua terdengar, bayangan itu telah berada di belakang A Fei. Awalnya A Fei akan menyerang Tio Cing-ngo, namun tiba-tiba dibaliknya pedangnya ke arah sebaliknya, menyerang bayangan itu.

Setelah itu terdengar suara keras, pedangnya menghantam bayangan itu, yang ternyata adalah tasbih pendeta.

Pedangnya masih bergetar, namun A Fei tetap berdiri tidak bergeming.

Kini fajar telah tiba.

Berbarengan dengan sinar matahari pagi, enam pendeta berpakaian kelabu masuk ke dalam bangsal. Yang paling depan beralis putih, namun wajahnya masih terang dan pandangan matanya berbinar-binar. Dibukanya telapak tangannya. Tasbih itu pun kembali ke tangannya.

Setelah pulih dari rasa terkejutnya, Tio Cing-ngo menenangkan dirinya. Ia membungkuk di depan pendeta beralis putih itu. “Aku tidak tahu bahwa pendeta akan datang. Maaf aku tidak menyambutmu di luar.”

Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. Matanya terarah pada A Fei. Lalu katanya, “Pedangmu cepat sekali.”

Kata A Fei, “Jika pedangku tidak cepat, aku rasa kau datang tepat waktu untuk menunjukkan kepadaku arah ke neraka.”

Pendeta beralis putih itu berkata, “Aku hanya tak ingin melihat kematian lagi. Oleh sebab itu aku bergerak.
Walaupun pedangmu cepat, namun tidak akan lebih cepat daripada mata Sang Buddha.”

Sahut A Fei, “Apakah tasbihmu lebih cepat daripada mata Sang Buddha? Jika aku mati oleh tasbihmu, bukankah itu berarti kematian juga?”

Tio Cing-ngo memotong cepat, “Berani-beraninya kau bicara seperti itu pada seorang Hou-hoat-taysu (padri agung pembela agama)!”

Pendeta beralis putih itu hanya tersenyum. “Tidak apa- apa. Mulut anak muda ini setajam pedang juga.” Tiba-tiba Lim Sian-ji tersenyum dan berkata, “Sim-bi Taysu telah melepaskanmu. Cepatlah pergi sekarang.”

Tio Cing-ngo berkata dingin, “Kurasa dia tidak bisa lagi pergi sekarang!”

Sahut A Fei, “O ya? Kau kira kau bisa menghalangi aku sekarang?”

Sambil berbicara, ia telah melangkah ke luar. Wajah Tio Cing-ngo berubah. Katanya, “Pendeta….”
Dian-jitya cepat-cepat menyela, “Sim-bi taysu sungguh pemaaf. Ia hanya seorang pemuda. Biarkanlah ia pergi.”

Sim-bi berbicara dengan serius, “Aku datang setelah menerima surat dari Ciangbun-suheng Siau-lim-si, bahwa seorang murid Siau-lim-si, Cin Tiong, telah terluka parah. Maka aku segera datang.”

Tio Cing-ngo mendesah. Lalu melirik pada Li Sun-Hoan. “Sayang pendeta datang terlambat.”

Kini di luar sudah terang. Orang-orang mulai berlalu- lalang di jalan. A Fei berjalan di atas salju. Walaupun langkahnya ringan, hatinya sangat berat.

Lalu didengarnya suara orang berseru, “Tunggu! Tunggu!”

Suara itu jernih dan merdu. A Fei tidak perlu menoleh untuk tahu siapa yang mengerjar di belakang. Ini karena semua orang di jalan kini berhenti bicara dan berhenti berjalan. Mereka semua bengong seperti orang tolol memandang orang di belakang A Fei.

A Fei tidak menoleh. Ia terus berjalan.

Lalu tercium bau harum di belakangnya. Keharumannya sungguh memabukkan. Mau tidak mau, dipalingkannya wajahnya.

Lim Sian-ji masih tetap cantik dan menggairahkan. Mata A Fei masih sedingin salju.
Lim Sian-ji menundukkan kepalanya. Mukanya bersemu merah. “Aku ingin minta maaf. Aku….”

Kata A Fei, “Kau tak perlu minta maaf.”

Lim Sian-ji menggigit bibirnya. “Tapi orang-orang itu sungguh salah. Dan begitu kasar.”

Sahut A Fei, “Itu tidak ada hubungannya dengan engkau.”

Kata Lim Sian-ji, “Tapi kau telah menyelamatkan aku. Bagaimana aku….”

Sahut A Fei, “Aku menyelamatkanmu. Aku tidak menyelamatkan mereka. Aku tidak menyelamatkanmu untuk memohon maaf atas kesalahan mereka.”

Lalu ia bertanya lagi, “Ada lagi yang ingin kau katakan?” Lim Sian-ji terdiam. Ia tidak pernah bertemu dengan orang seperti ini. Ia selalu yakin bahwa gunung es sedingin apapun akan mencair di hadapannya.

Lalu A Fei berkata, “Selamat tinggal.”

Ia membalikkan badan dan berjalan lagi. Baru beberapa langkah, Lim Sian-ji berseru lagi, “Tunggu sebentar. Ada lagi yang hendak kusampaikan.”

Sahut A Fei, “Tidak perlu.”

Namun kata Lim Sian-ji, “Tapi…. jika sesuatu terjadi pada Li Sun-Hoan, siapakah yang harus kuberi tahu?”

A Fei menoleh cepat dan berkata, “Kau tahu kuil Sim di sebelah barat?”

Sahut Lim Sian-ji, “Jangan lupa, aku sudah tinggal di sini enam tahun.”

“Aku akan berada di situ. Sebelum gelap aku tak akan pergi.”

Lalu Lim Sian-ji bertanya, “Dan setelah malam?”

A Fei menengadah memandang langit. Katanya, “Jangan lupa, Li Sun-Hoan adalah sahabatku. Aku tidak punya banyak teman. Dan sahabat seperti Li Sun-Hoan, tidak mungkin dicari gantinya. Jadi kalau dia mati, dunia ini akan menjadi sangat membosankan.” Lim Sian-ji mengeluh. “Aku tahu kau pasti masih berencana untuk menyelamatkannya. Tapi tahukah engkau, sahabat sebaik apa pun tidak berharga sebesar nyawamu.”

A Fei memandang Lim Sian-ji dalam-dalam, langsung ke bola matanya. Katanya perlahan tapi tegas, “Aku sungguh-sungguh berharap kau tidak akan pernah mengatakannya lagi. Kali ini, aku akan berpura-pura tidak mendengar.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar