Si Pisau Terbang Li Bab 13 : Bencana yang Aneh

 
Bab 13. Bencana yang Aneh

Tanya Lim Si-im, “Jadi kau setuju?”

Li Sun-Hoan mengatupkan giginya. “Tak tahukah kau bahwa aku suka sekali menyakiti orang?”

Ia bangkit dan berkata, “Selamat malam.” Suara Lim Si-im bergetar. “Kau telah pergi, mengapa kau kembali lagi? Kami telah hidup dengan damai.
Mengapa….Mengapa kau harus kembali dan membuat kesulitan bagi kami?”

Li Sun-Hoan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengatupkan mulutnya. Namun bibirnya masih bergetar.

Suara Lim Si-im menjadi pedas. “Tak cukupkah engkau menghancurkan putraku? Kau harus menghancurkan adik angkatku juga?”

Wajahnya masih putih, masih cantik. Namun matanya penuh dengan luka, dengan kesakitan. Ia tidak pernah lepas kendali di depan orang lain sebelumnya.

Mungkinkah ini hanya demi Lim Sian-ji? Li Sun-Hoan tidak menoleh.
Ia tidak punya keberanian untuk menoleh, untuk memandang Lim Si-im.

Ia menuruni tangga dengan cepat, sambil berkata dengan tenang, “Sebenarnya kau tak perlu memohon. Aku tidak menyukai dia sama sekali!”

Lim Si-im mengawasi kepergiannya. Tubuhnya langsung lemas terkulai ke lantai.

*** 
Kolam itu telah menjadi es. Ada jembatan di atas kolam itu.

Li Sun-Hoan duduk di atas jembatan itu dan menatap kosong ke arah kolam.

Hatinya sama seperti kolam itu.

Ia dapat melihat secercah cahaya dari bilik Lim Sian-ji di kejauhan. Apakah Lim Sian-ji masih menantikan kedatangannya?

Ia tahu ada alasan mengapa Lim Sian-ji minta dia datang malam itu. Ia juga tahu bahwa kalau di datang, banyak hal menarik yang akan terjadi. Namun ia masih saja duduk di situ, hanya memandangi cahaya lilin itu dari kejauhan.

Ia mulai terbatuk-batuk lagi.

Tiba-tiba, terlihatlah sesosok bayangan dalam bilik itu. Li Sun-Hoan seketika mempersiapkan diri dan melesat ke sana.

Langkahnya begitu cepat tak terlukiskan. Namun waktu ia tiba di sana, bayangan itu telah menghilang.

Li Sun-Hoan berpikir-pikri, “Apakah aku salah lihat?” Ia membuka daun jendela dan berbisik, “Nona Lim.” Tidak ada jawaban. Li Sun-Hoan melihat ke dalam bilik. Terlihat ada arak tumpah di lantai. Dan di atas meja, terlihatlah setangkai bunga Bwe!

Bwe-hoa-cat !

Mungkinkah Lim Sian-ji telah tertawan oleh Bwe-hoa-cat
?

Li Sun-Hoan memungut cawan arak itu. Keringat mulai membasahi telapak tangannya.

Saat itulah terdengar suara yang lemah dan tiba-tiba lilin pun padam. Lalu datanglah ratusan senjata rahasia dari segala arah.

Namun dari seluruh senjata rahasia di dunia ini, apakah yang dapat menandingi Li si pisau terbang?

Li Sun-Hoan meliukkan tubuhnya, dan tangannya menangkap 18 macam senjata. Yang lain terpental oleh kakinya.

Lalu terdengar seruan keras dari luar.

“Bandit Bunga Bwe. Kau tak akan lolos hari ini. Keluar dan matilah kau!”

“Sehebatnya apapun engkau, kami masih dapat membuat engkau mati menderita!” “Aku tidak berbohong. Dian-jitya dari Lokyang Yang ada di sini. Demikian pula Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, Tio- toaya, dan Liong-siya.”

Li Sun-Hoan menggelengkan kepalanya tidak percaya. Lalu ia menggumam, “Dian-jitya benar-benar datang.”

Lalu terdengar seseorang berkata, “Kau sudah ada di sini, mengapa tidak keluar?”

Li Sun-Hoan berdehem, lalu berkata dengan suara berat, “Kalian sudah ada di sini, mengapa tidak masuk?”

Orang-orang di luar mulai berkasak-kusuk di antara mereka, “Sepertinya orang ini ingin memancing kita masuk ke dalam.”

Lalu sebuah suara menggelegar mengatasi hingar-bingar itu. “Bwe-hoa-cat hanya bisa mengendap-endap dalam kegelapan. Mana mungkin dia punya nyali untuk bertemu dengan kita semua.” Semua orang segera mengiakan ucapan ini dan mendesak orang yang di dalam untuk keluar.

Lalu mereka mendengar jawaban, “Memang benar, Bwe- hoa-cat suka mengendap-endap dalam kegelapan. Tapi apa hubungannya dengan aku?”

Suara yang menggelegar itu berkata, “Jika kau bukan Bwe-hoa-cat , siapakah engkau?” Suara yang lain berkata, “Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap, buat apa kita berdebat dengan dia? Tio-toaya tidak mungkin salah. Orang ini pastilah Bwe-hoa-cat .”

Tawa Li Sun-Hoan langsung meledak. “Tio Cing-ngo, aku tahu ini pasti perbuatanmu.” Di tengah tertawanya, ia melesat ke luar melalui jendela, ke tengah kerumunan itu. Semua orang mundur selangkah.

Lalu Liong Siau-hun berseru, “Semua berhenti. Ini adalah Toako, Li Sun-Hoan.”

Li Sun-Hoan langsung menatap Tio Cing-ngo. Ia tersenyum dan berkata, “Penglihatan Tio-lotoa memang sungguh tajam. Jika tangan dan kakiku kurang Lincah sedikit saja, aku pasti sudah menjadi mayat pengganti Bwe-hoa-cat .”

Wajah Tio Cing-ngo menjadi hijau. Ia menyahut dingin, “Seseorang bersembunyi di sini di tengah malam. Jika dia bukan Bwe-hoa-cat , siapa lagi? Bagaimana aku bisa tahu bahwa kau tiba-tiba sembuh dan diam-diam datang ke sini?”

Li Sun-Hoan menjawab dengan tenang, “Aku tidak perlu datang dengan diam-diam. Aku bisa pergi ke manapun aku mau. Lagi pula, bagaimana Tio-toaya bisa yakin bahwa aku tidak diundang oleh Si Nona?”

Tio Cing-ngo tertawa. “Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan Nona Lim. Tapi semua orang tahu, Nona Lim tidak mungkin ada di sini malam ini.” “O ya?”

Kata Tio Cing-ngo, “Untuk menghindari Bwe-hoa-cat , ia telah pindah tadi pagi.”

Kata Li Sun-Hoan lagi, “Jika demikian, paling tidak seharusnya kau memastikan dulu siapa orangnya, sebelum mulai menyerang.”

Sahut Tio Cing-ngo, “Dalam menghadapi penjahat seperti Bwe-hoa-cat , kita harus berinisiatif. Kalau tidak, ia pasti akan lolos.”

Semua kata-katanya terdengar logis dan benar. Tidak dapat dibantah.

Li Sun-Hoan tertawa keras. “Bagus sekali ‘berinisiatif’. Kalau saja aku mati hari ini di tanganmu, aku hanya dapat menyalahkan kesialanku, tak bisa menyalahkan engkau.”

Liong Siau-hun terbatuk dua kali, lalu memaksakan sebuah senyuman. “Mudah sekali melakukan kesalahan di malam gelap gulita. Lagi pula….”

Tio Cing-ngo memotong dengan dingin, “Lagi pula mungkin aku tidak melakukan kesalahan.”

Kata Li Sun-Hoan, “Oh? Maksudmu, akulah Bwe-hoa-cat
?”

Tio Cing-ngo tertawa sinis. “Mungkin, mungkin juga tidak. Semua orang hanya tahu ilmu meringankan tubuh Bwe-hoa-cat sangat hebat. Kecepatannya juga luar biasa. Namun apakah namanya Zhang, atau Li, tidak ada yang tahu.”

Kata Li Sun-Hoan, “Kau benar. Ilmu meringankan tubuhku memang cukup baik. Kecepatanku pun tidak jelek. Saat Bwe-hoa-cat muncul kembali pun bertepatan dengan kepulanganku. Kalau aku bukan Bwe-hoa-cat , pasti ada yang salah.”

Ia terkekeh. Lalu mentap Tio Cing-ngo. “Jika kau begitu yakin bahwa akulah Bwe-hoa-cat , mengapa tak kau tangkap aku sekarang?”

Tio Cing-ngo menjawab, “Tidak jadi soal kapan aku menangkapmu. Lagi pula, ada Dian-jitya dan Muo Yun di sini. Kau pikir kau bisa lolos?”

Wajah Liong Siau-hun langsung memucat. Katanya, “Ayolah. Ini hanya bercanda, bukan? Jangan keterlaluan. Aku berani jamin bahwa ia bukanlah Bwe-hoa-cat .”

Kata Tio Cing-ngo, “Tidak ada yang bercanda mengenai hal sepenting ini. Sudah sangat lama kalian berdua sudah tidak berjumpa. Bagaimana kau bisa yakin?”

Sahut Liong Siau-hun, “Tapi…tapi aku tahu persis orang macam apa dia.”

Seseorang tiba-tiba tertawa, “Kau mungkin kenal dengan seseorang, tapi kau takkan tahu isi hatinya. Liong-siya pasti pernah mendengar ucapan ini.” Orang ini kurus kering seperti batang bambu. Mukanya berkerut-kerut, seperti orang tua yang sakit. Namun suaranya sangat jernih. Ini adalah Kongsun Mo-in.

Seorang yang lain muncul dari belakangnya. Orang ini terlihat seperti Siauya yang kaya. Ia terkekeh dan berkata, “Betul sekali. Aku, Dian-jitya, adalah teman lama Li Sun-Hoan. Namun jika hal seperti ini terjadi, aku harus mengesampingkan persahabatan.”

Kata Li Sun-Hoan, “Walaupun aku punya banyak teman, aku rasa aku belum pernah berteman dengan orang yang berkedudukan sebegitu tinggi, seperti Dian-jitya.”

Wajah Dian-jitya berubah. Matanya memancarkan cahaya membunuh.

Semua orang dalam dunia persilatan sudah tahu bahwa kalau ia ingin membunuh, ia akan segera menyerang.
Akan tetapi, kali ini ia hanya berdiri di sana.

Kongsun Mo-in, Tio Cing-ngo dan Dian-jitya mengelilingi Li Sun-Hoan. Wajah ketiganya tampak tegang.

Namun mereka hanya dapat berdiri di sana, memandangi pisau di tangan Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan tidak memandang mereka sekilas pun. Ia hanya berkata, “Aku tahu, kalian bertiga sudah tidak sabar untuk membunuhku. Dengan membunuhku, kalian bukan hanya akan menjadi kaya raya dan mendapatkan wanita yang cantik, tapi nama kalian pun akan harum di kemudian hari.” Sahut Tio Cing-ngo, “Uang dan wanita tidaklah penting. Kami hanya ingin membunuhmu demi keadilan dalam dunia persilatan.”

Li Sun-Hoan tertawa terbahak-bahak. “Betapa sucinya! Betapa agungnya! Kau sungguh-sungguh hidup berpadanan dengan julukanmu, Tuan yang Terhormat.”

Ia menyentuh ujung pisaunya, lalu berkata lagi, “Lalu mengapa tak kau tangkap aku?”

Pandangan Tio Cing-ngo tak pernah lepas dari pisau itu. Ia tidak menjawab.

Li Sun-Hoan berkata lagi, “Oh, aku tahu. Tongkat Dian- jitya tidak ada tandingannya di dunia. Tio-lotoa pasti sedang menunggu Dian-jitya untuk memulai. Jadi, mengapa Tuan Dian-jitya hanya berdiri di sana saja?”

Kedua tangan Dian-jitya tetap berada di balik punggungnya. Seakan-akan ia tidak mendengar apa-apa.

Li Sun-Hoan bertanya lagi, “Apakah Tuan Dian-jitya sedang menunggu Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap untuk memulai? Ide yang cukup baik. Kepalan 14 Awan milik Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap punya ribuan variasi. Tentulah ia yang harus mulai.”

Kongsun Mo-in pun seakan-akan mendadak tuli. Ia tidak bergerak sedikitpun. Li Sun-Hoan tertawa lagi dan berkata, “Sungguh aneh. Ketiganya ingin membunuhku. Namun tidak seorang pun bergerak. Kenapa ya?”

Ketiga orang ini sungguh-sungguh sabar. Bagaimana pun Li Sun-Hoan mengolok-olok mereka, mereka tetap berdiri di sana tidak bergerak.

Memang ketiganya sungguh ingin membunuh Li Sun- Hoan secepatnya. Namun Pisau Kilat si Li tak pernah luput. Selama pisau itu ada di tangannya, siapakah yang berani bergerak?

Liong Siau-hun tiba-tiba tersenyum. “Toako, mereka ini cuma bercanda. Mari kita pergi minum arak saja.”

Ia berjalan menuju Li Sun-Hoan dengan senyum lebar. Ditariknya tangan Li Sun-Hoan.

Li Sun-Hoan terkejut luar biasa, dengan suara bergetar ia berkata, “Toako, kau….”

Ia ingin menghindar dari tarikan tangan Liong Siau-hun, namun terlambat.

Saat itu, hampir dengan tanpa suara tangan Dian-jitya muncul dari balik punggungnya. Sebatang tongkat pendek keemasan tergenggam di tangannya, dan memukul Li Sun-Hoan tepat di kakinya.

Tangan Li Sun-Hoan, walaupun tanpa pisau, masih tergolong salah satu yang terbaik di dunia. Namun karena tangannya ditarik oleh Liong Siau-hun, ia tidak berbuat apa-apa.

Setelah ia jatuh berlutut, Kongsun Mo-in segera menutup ketujuh Hiat-to (jalan darah) di punggungnya. Tio Cing- ngo lalu menendang dia dan Li Sun-Hoan pun terjengkang ke belakang.

Liong Siau-hun terlompat kaget dan berseru, “Mengapa kalian memperlakukan dia seperti ini? Cepat bebaskan dia.”

Tio Cing-ngo menjawab dingin, “Kami tak bisa mengambil resiko seperti itu.”

Kata Dian-jitya, “Maafkan kami, Tuan Liong.”

Kongsun Mo-in telah menghadang langkah Liong Siau- hun. Liong Siau-hun berusaha menyerang, namun tongkat Dian-jitya segera melumpuhkan kakinya.

Sebelum ia bisa berbuat apa-apa, Tio Cing-ngo segera menutup Hiat-to (jalan darah)nya.

Ketika Liong Siau-hun jatuh ke tanah, ia berkata, “Saudara Tio-lotoa, teganya kau….”

Kata Tio Cing-ngo, “Walaupun kita bersaudara, keadilan dalam dunia persilatan harus didahulukan. Kuharap kau bisa mengerti, supaya kau tidak terjerumus oleh orang- orang busuk macam dia.” Sahut Liong Siau-hun, “Namun dia tidak mungkin Bwe- hoa-cat .”

Kongsun Mo-in lalu berkata, “Liong-siya, kau memiliki rumah yang indah dan reputasi yang baik. Tidak perlu kau bersimpati terhadap orang semacam dia.”

Liong Siau-hun berkata, “Jika kau membebaskan dia, aku akan bertanggung jawab.”

Sahut Tio Cing-ngo, “Bagaimana dengan istrimu? Anakmu? Kau ingin melihat mereka terseret bersama dengan engkau?”

Tubuh Liong Siau-hun menggigil hebat.

Pisau Li Sun-Hoan masih ada di tangannya, namun ia tidak berkesempatan menggunakannya!

Akankah orang benar ini, pahlawan sejati ini, akan berakhir secara tragis seperti ini?

Liong Siau-hun menitikkan air mata. Katanya, “Toako, ini semua karena kesalahanku. Aku telah mencelakaimu.
Kakakmu telah mengecewakan engkau.”

Sesaat sebelum datangnya fajar adalah saat yang tergelap. Semua cahaya di bangsal pun tak dapat menerangi kegelapan yang pekat itu.

Sekelompok orang berkumpul di luar bangsal, bercakap- cakap di antara mereka. “Dian-jitya sungguh hebat. Kau lihat betapa cepat tongkatnya? Walaupun Liong-siya tidak ada, aku yakin Li Sun-Hoan tak akan mampu menangkisnya.”

“Lagi pula ada Tio-lotoa dan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap bersamanya.”

“Ya, benar. Tak heran, kata orang kaki Tio-toaya berharga 20 ribu tail emas. Tendangannya sungguh mengagumkan.”

“Bagaimana dengan pukulan Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap? Jika ia tidak menyerang begitu sigap, kurasa Li Sun-Hoan tidak akan jatuh secepat itu.”

“Dian-jitya, Tio-lotoa, Mo-in-jiu Kongsun-tayhiap. Hmmmh, Li Sun-Hoan sungguh sial bertemu mereka bertiga.”

“Walaupun demikian, jika bukan karena Liong-siya…..”

“Ada apa dengan Liong-siya? Apakah ia lebih dari sekedar sahabat bagi Li Sun-Hoan?”

“Liong-siya sungguh seorang sahabat sejati. Li Sun-Hoan amat beruntung memiliki saudara seperti dia!”

Liong Siau-hun duduk di atas sebuah kursi kayu merah dalam bangsal. Kata-kata terakhir itu seakan-akan menancap di hatinya seperti sebatang jarum. Wajahnya penuh dengan keringat. Dilihatnya Li Sun-Hoan terbaring di lantai, terus terbatuk- batuk.

Liong Siau-hun kembali menitikkan air mata. “Toako, semua ini salahku. Betapa sialnya engkau mempunyai sahabat seperti aku. A…Aku telah menghancurkan hidupmu.”

Li Sun-Hoan berusaha keras untuk berhenti batuk. Ia memaksakan diri tersenyum, dan berkata, “Toako, aku hanya ingin engkau tahu satu hal. Jikalau aku dapat mengulang kembali hidupku, aku tetap ingin menjadi sahabat karibmu.”

Liong Siau-hun kini tersedu-sedu. “Tapi…. jika tidak kutarik tanganmu, engkau tak mungkin….”

Li Sun-Hoan berkata dengan tulus, “Aku tahu, apapun yang kau perbuat adalah untuk kebaikanku. Aku hanya bisa berterima kasih.”

Kata Liong Siau-hun, “Mengapa kau tak menegaskan pada mereka bahwa kau bukanlah Bwe-hoa-cat ?
Mengapa kau….”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Hidup dan mati adalah soal kecil. Aku telah merasa puas hidup. Mengapa aku harus kuatir akan kematian? Mengapa aku harus menyembah- nyembah orang-orang kotor yang menyebalkan itu?”

Dian-jitya mendengarkan pembicaraan itu dengan seksama. Ia memandang mereka dan bertepuk tangan. “Bagus sekali. Hebat.” Kongsun Mo-in pun tertawa dingin. “Ia tahu kita tak akan melepaskan dia, apa pun yang terjadi. Jadi biarlah dia mengolok-olok kita, menghibur dirinya sedikit sebelum mati.”

Li Sun-Hoan menyahut dengan tenang, “Kau memang benar. Saat ini, aku hanya bisa memohon kematian.
Namun sekarang, tak ada lagi pisau di tanganku. Mengapa belum juga kalian bunuh aku?”

Wajah Kongsun Mo-in yang berkerut-kerut menjadi merah padam.

Tio Cing-ngo menyergah dengan tidak sabar, “Jika kami membunuh kau sekarang, kabar yang akan tersiar dalam dunia persilatan adalah bahwa kami hanya  membunuhmu demi kepentingan pribadi kami. Kami akan mengadilimu dengan adil.”

Li Sun-Hoan menghela nafas. “Tio Cing-ngo, aku sungguh mengagumimu. Walaupun hatimu busuk, kata- katamu sangat baik dan bijak. Dan kau pun mengatakannya dengan wajah yang jujur.”

Dian-jitya tertawa dan berkata, “Li-tayhiap, kau memang punya nyali. Jika kau memang ingin cepat mati, aku punya rencana.”

Kata Li Sun-Hoan, “Awalnya aku pun ingin berbicara denganmu, namun aku tak ingin mengotori mulutku.”

Dian-jitya tidak menggubris. “Jika kau ingin mati sedikit lebih cepat, tulislah surat pengakuan bahwa kau bersalah. Kami pun akan membuat kematianmu lebih mudah.”

Li Sun-Hoan segera menjawab tanpa pikir panjang. “Baik. Aku ucapkan. Kau tuliskan.”

Liong Siau-hun segera menyela, “Toako, jangan lakukan itu.”

Li Sun-Hoan terus saja berkata, “Kejahatanku terlalu banyak untuk dituliskan. Aku berpura-pura suci, walaupun hatiku sangat kotor. Aku berkomplot demi kekuasaan, merusak persahabatan, membokong orang lain, menggunakan cara-cara licik dalam bertempur, aku tidak punya integritas dan telah melakukan berjuta-juta perbuatan keji. Namun aku masih merasa bahwa aku adalah seorang pria sejati!”

Terdengar suara keras. Tio Cing-ngo menampar muka Li Sun-Hoan!

Li Sun-Hoan tersenyum. “Tidak apa-apa. Rasanya seperti digigit anjing gila saja.”

Tio Cing-ngo berseru dengan marah, “Keparat kau. Dengar baik-baik. Walaupun aku belum bisa membunuhmu sekarang, aku bisa membuatmu merasa lebih baik mati!”

Li Sun-Hoan hanya tertawa. “Kalau aku takut padamu, Tuan yang Palsu, aku bukanlah seorang pria sejati.
Gunakan saja cara penyiksaan yang engkau inginkan.” Sahut Tio Cing-ngo, “Bagus!”

Liong Siau-hun hanya dapat menggigil di kursinya. Katanya, “Toako, maafkan aku. Kau adalah seorang pahlawan, namun aku seorang pengecut. Aku…”

Kata Li Sun-Hoan, “Ini bukan kesalahanmu, Toako. Jika aku mempunyai anak dan istri, aku pun akan berbuat seperti engkau.”

Saat ini Tio Cing-ngo telah mencengkeram dia dan menarik otot-ototnya kuat-kuat. Rasa sakitnya sungguh tak terkatakan, namun Li Sun-Hoan tetap tersenyum.

Lalu terdengarlah seseorang berkata di luar, “Nona Lim, dari manakah engkau? Dan siapakah temanmu ini?”

Semua orang memandang ke arah Lim Sian-ji. Bajunya kusut, sebagian terkoyak. Ia berjalan masuk ke dalam bangsal itu.

Di sebelahnya tampak seorang pemuda. Di malam yang begitu dingin ia hanya mengenakan selembar baju tipis. Namun bahunya tetap tegak. Seolah-olah, tak ada sesuatu pun di dunia ini yang dapat membengkokkannya!

Ia masuk memanggul seorang mayat. A Fei!
Mengapa A Fei ada di sini? Hati Li Sun-Hoan berdegup kencang, tak tahu harus merasa gembira atau terkejut. Namun dipalingkannya wajahnya. Ia tidak ingin A Fei melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Ia tidak ingin A Fei bertindak bodoh demi dirinya. Namun A Fei telah melihatnya.
Wajahnya yang dingin menjadi bercahaya. Ia berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Tio Cing-ngo tidak menghalanginya. Ia tahu tingginya ilmu silat A Fei.

Namun Kongsun Mo-in tidak tahu. Segera ia halangi langkah A Fei dan membentaknya, “Kau kira kau ini siapa? Apa maumu?”

Sahut A Fei, “Memberimu pelajaran!”

Mendengar ini, Kongsun Mo-in segera menyerang.

Lim Sian-ji terkesima menatap Li Sun-Hoan, tak peduli pada yang lain. Sedangkan Liong Siau-hun tak ingin melakukan apa-apa lagi.

Anehnya, A Fei tidak berusaha mengelak.

Terdengar suara keras saat kepalan Kongsun Mo-in mendarat di dada A Fei. A Fei tidak bergerak seincipun, namun Kongsun Mo-in sungguh kesakitan, sampai- sampai ia jatuh berlutut. A Fei tidak menghiraukan dia. Ia berjalan lagi ke arah Li Sun-Hoan dan bertanya, “Apakah dia temanmu?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Kau pikir aku punya teman seperti itu?”

Saat itu, Kongsun Mo-in kembali menyerang. Tiba-tiba A Fei memutar tubuhnya, dan terdengar bunyi berdebum. Kongsun Mo-in telah terjengkang ke belakang beberapa meter.

Orang-orang tak dapat mempercayai penglihatan mereka. Siapa yang dapat percaya bahwa Si Kepalan Awan yang terkenal itu menjadi pecundang di hadapan anak muda ini.

Hanya Dian-jitya yang tertawa terbahak-bahak.
“Sahabat, kau cukup sigap. Anak-anak muda benar-benar telah menyusul kita yang tua.”

Ia membungkuk dan berkata, “Cayhe Dian-jitya. Siapakah namamu? Mungkin kita dapat bersahabat.”

A Fei menjawab, “Aku tak punya nama. Juga tak ingin bersahabat denganmu.”

Wajah semua orang di situ langsung berubah, namun Dian-jitya tersenyum saja. “Sayangnya, kau tidak pandai berteman.”

Kata A Fei, “O ya?” Dian-jitya menunjuk ke arah Li Sun-Hoan, “Apakah dia temanmu?”

“Ya.”

Dian-jitya bertanya, “Tahukah kau siapa dia?” “Tahu.”
Dian-jitya terkekeh. “Tahukah kau bahwa ia adalah Bwe- hoa-cat ?”

A Fei mengangkat alisnya, “Bwe-hoa-cat ?”

Kata Dian-jitya, “Memang sulit dipercaya. Namun kita harus mempercayai fakta.”

A Fei menatapnya. Tatapannya menembus ke dalam hatinya.

Lalu A Fei berkata dengan dingin, “Dia pasti bukan Bwe- hoa-cat .”

“Kenapa?”

Tiba-tiba dilepaskannya mayat yang sedari tadi dipanggulnya. Katanya, “Sebab inilah Bwe-hoa-cat yang sesungguhnya!”

Orang-orang langsung mengerumuni mayat itu.

Mayat itu kurus kering. Luka pisau di wajahnya membuat ia sulit dikenali. Dian-jitya tertawa lagi. “Katamu, inilah Bwe-hoa-cat yang sesungguhnya?”

Sahut A Fei, “Ya.”

Dian-jitya berkata, “Kau benar-benar masih hijau. Kau pikir semua orang akan percaya begitu saja? Kau pikir kami akan percaya karena kau datang membawa mayat dan berkata bahwa ialah Bwe-hoa-cat ?”

Sahut A Fei lagi, “Aku tidak pernah bohong. Dan aku tidak pernah dibohongi.”

Dian-jitya bertanya, “Kalau begitu, bagaimana kau bisa membuktikannya?”

Sahut A Fei, “Lihat saja mulutnya!”

Dian-jitya tertawa lagi. “Mengapa harus kulihat mulutnya? Apakah dia bisa bicara?”

Semua orang ikut tertawa. Walaupun mereka tidak merasa lucu, mereka tertawa juga karena Dian-jitya tertawa.

Tiba-tiba Lim Sian-ji maju dan berkata, “Aku tahu ia tidak bohong. Orang itu memang Bwe-hoa-cat .”

Dian-jitya bertanya, “O ya? Apakah mayat itu memberitahukan padamu?”

Lim Sian-ji menjawab, “Betul. Dia sendiri yang mengatakannya.” Ia segera melanjutkan sebelum ada yang menyela. “Sewaktu Cin Tiong mati, aku bisa melihat bahwa ia mati karena serangan senjata rahasia yang hebat. Tidaklah aneh jika dia tak dapat menghindarinya. Namun aku merasa aneh kalau seorang ahli kawakan seperti Go Bun- thian pun tidak dapat menghindarinya. Kini aku tahu mengapa.”

Mata Dian-jitya berkedip-kedip. “Oh? Jadi mengapa?” Jawab Lim Sian-ji, “Rahasianya ada pada mulutnya.”
Tiba-tiba diambilnya sebilah pisau untuk membuka mulut mayat itu. Ada sepucuk senjata di situ.

Kata Lim Sian-ji, “Senjata itu dilepaskannya pada saat ia berbicara. Tidak ada seorang pun yang siap menghadapi serangan semacam itu!”

Kata Dian-jitya, “Jika senjata itu ada dalam mulutnya, bagaiman ia bisa berbicara?”

Sahut Lim Sian-ji, “Ini adalah rahasia di dalam rahasia. Ia tidak memerlukan mulutnya untuk berbicara. Ia bisa berbicara dengan perutnya. Mulutnya hanya untuk membunuh orang!”

Apa yang dikatakannya memang kedengaran seperti bualan, namun orang terpelajar seperti Dian-jitya tahu bahwa keahlian semacam itu memang ada. Kabarnya, ilmu itu berasal dari Persia dan biasanya dipergunakan dalam pertujukan sirkus. Biasanya suara itu memang kedengaran aneh, tapi jika dilakukan dengan ilmu silat yang tinggi, suara itu akan terdengar lebih realistis.

Lim Sian-ji bertanya, “Sebelum Dian-jitya dan yang lain bertempur, ke mana arah pandangan kalian?”

Jawab Dian-jitya, “Sudah tentu ke arah tubuh lawan.” Lim Sian-ji bertanya lagi, “Bagian mana dari tubuhnya?” Jawab Dian-jitya, “Pundak dan tangannya.”
Lim Sian-ji tersenyum. “Betul. Itulah yang kumaksud. Waktu akan bertempur, ahli-ahli silat tak akan memperhatikan mulut lawan. Hanya jika anjing yang bertempur, mereka akan memperhatikan mulut lawannya. Tapi manusia kan bukan anjing. Mereka tidak menggigit.”

Semua orang terkekeh. Jika seorang yang sangat cantik seperti Lim Sian-ji mengatakan hal seperti ini, bagaimana mungkin seseorang tidak ikut terkekeh-kekeh?

Dian-jitya pun bertanya, “Bagaimana kau mengetahui rahasianya?”

Jawab Lim Sian-ji, “Aku baru tahu setelah ia menggunakan senjata rahasianya.”

Kini Dian-jitya yang terkekeh. “Jadi teman kita di sini adalah seekor anjing? Ia suka memperhatikan mulut lawannya?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar