Si Pisau Terbang Li Bab 11 : Penyelamat dari Langit

 
Bab 11. Penyelamat dari Langit

Ketika si wanita mata satu mendengar seseorang berteriak dari luar, ia segera keluar dan bertanya, “Apa yang begitu penting sampai kau berteriak-teriak seperti oang kesurupan?”

Kata orang itu, “Aku baru saja bertemu dengan Tio Cing- ngo. Katanya orang she Thi itu ada….”

Sambil berbicara, dibukanya pintu dan masuk ke dalam. Begitu sampai di dalam ia tercekat dan mematung.
Orang yang hendak diceritakannya telah berada di situ. Si wanita mata satu terkekeh, “Kau tak menyangka, bukan?”

Orang itu menghembuskan nafas panjang dan berkata, “Kata Tio Cing-ngo, ia berada di rumah Liong Siau-hun. Tak kusangka….”

Dicekalnya tangan wanita itu, tanyanya, “Bagaimana kau bisa menemukan dia?”

Sahutnya, “Aku mendengar dari Si Kura-kura Tua dari Liong-sin-bio bahwa ia dan Li Sun-Hoan akan datang. Jadi kami membuntuti mereka. Awalnya aku takut pada Li Sun-Hoan, jadi aku tidak melakukan apa-apa. Siapa sangka, ia pergi meninggalkan Li Sun-Hoan?”

Orang yang terakhir datang ini mengenakan baju yang sobek-sobek. Dari kedelapan orang di rumah itu, hanya dia yang berpakaian seperti orang dunia persilatan.
Sebatang tombak menyembul di punggungnya.

Kemudian ia pun menatap Sang Kusir dan berseru, “Thi Toan-kah, masih ingatkah kau padaku?”

Thi Toan-kah mengangguk. “Apa kabar…”

Orang itu memotong cepat, “Aku baik-baik saja. Karena aku tak pernah berbuat bejad, aku tak pernah harus bersembunyi. Jadi kehidupanku lebih baik daripada kehidupanmu, bukan?” Si wajah burik berkata, “Samko, mengapa kau masih berbicara dengan dia? Bunuh saja dia sekarang. Bunuh dia sebagai persembahan bagi Lotoa.”

Pian Go menjawab, “Lojit, perkataanmu itu salah. Memang betul kita ada di sini untuk membunuh seseorang. Namun kita harus melakukannya dengan tata cara yang benar, sehingga tak ada seorang pun yang dapat menggugat kita.”

Si buta menambahkan, “Kita sudah menunggu selama tujuh belas tahun, menunggu sebentar saja tak akan membunuh kita.”

Setelah ia mengucapkan kalimat ini dua kali, tidak ada yang membantah lagi.

Si wanita mata satu bertanya, “Lalu bagaimana kita melakukannya?”

Jawab Pian Go, “Kita harus mengetahui keseluruhan kisahnya, dan kita pun harus mencari seorang hakim. Jika semua orang berpendapat bahwa orang she Thi ini pantas mati, maka kita akan membunuhnya.”

Si wajah burik melompat, katanya, “Kenapa banyak cingcong? Tak mungkin ada orang yang berpendapat bahwa ia tidak pantas mati.”

Sahut si buta dengan dingin, “Kalau begitu, apa salahnya kita bertanya?” Si wajah burik mengertakkan giginya, lalu berkata, “Siapa yang akan kau tanyai?”

Sahut Pian Go, “Orang yang kuundang terkenal akan keadilannya. Ia juga tak ada sangkut pautnya dengan kita ‘Tionggoan-pat-gi’ (Delapan Orang Benar dari Tionggoan) ataupun dengan Thi Toan-kah.”

“Katakan, siapa orang itu.”

Pian Go menjawab, “Orang yang pertama adalah Thi-bin- bu-su, Tio Cing-ngo. Orang ini adalah….”

Thi Toan-kah mendadak tertawa. “Kalian tidak perlu bersusah-payah. Bunuh saja aku dan selesai sudah urusannya. Aku mengakui aku telah mengkhianati Ang Thian-kiat. Aku tidak menyesal mati hari ini.”

Si wanita mata satu berkata, “Sepertinya dia tidak suka pada Tio Cing-ngo ini.”

Kata si buta, “Tio Cing-ngo memberitahukan keberadaan orang ini pada samko. Mungkin ada persoalan di antara mereka. Bagaimana dia bisa menilai permasalahan kita dengan adil?”

Sahut Pian Go, “Tidak apa-apa, karena aku membawa dua orang lagi selain dia. Yang satu adalah Cianpwe (tetua) Pena Cepat. Ia dianggap penulis terbaik saat ini. Dan lagi dia tidak punya hubungan apa-apa dengan dunia persilatan. Yang terakhir adalah seorang anak muda…” Si wanita mata satu bertanya sangsi, “Mungkinkah seorang anak muda bisa mengerti?”

Pian Go menyahut, “Walaupun pemuda ini baru dalam dunia persilatan, kepribadiannya sangat kuat dan tergolong pria sejati. Walaupun aku baru mengenalnya dua hari, aku yakin bahwa ia benar-benar bisa dipercaya.”

Si wanita mata satu itu tertawa dingin, dan berkata, “Kau bisa tahu orang macam apa dia dalam waktu dua hari?
Sepertinya kebiasaanmu dalam berteman belum berubah juga.”

Lalu tambahnya, “Kaulah juga yang dulu membawa orang she Thi ini ke sini. Katamu dia orang baik-baik. Jika dulu kita tidak menjadi sahabatnya, bagaimana mungkin Ang Thian-kiat bisa mati begitu muda?”

Pian Go menundukkan kepala dan terdiam.

Namun si buta berkata, “Apapun yang terjadi, lebih baik kalau ada beberapa saksi. Kita tidak boleh membunuh tanpa alasan.”

Ia tertawa dan melanjutkan, “Karena Samko telah membawa mereka datang, biarkanlah mereka masuk ke dalam.”

Thi Toan-kah bersumpah takkan membuka matanya lagi. Ia sungguh tidak ingin melihat tampang Tio Cing-ngo lagi. Ia juga bersumpah tak akan mengatakan satu perkataan pun.

Lalu didengarnya langkah kaki. Dua orang masuk ke dalam rumah itu.

Langkah orang yang pertama terdengar berat, menunjukkan tenaga dalamnya yang tinggi. ‘Lan-kun- pak-tui (Kepalan Selatan Kaki Utara)’. Tio Cing-ngo berasal dari utara, maka sebagian besar ilmu silatnya berada pada kakinya. Orang yang kedua bernafas dengan berat, menunjukkan bahwa jika ia tahu ilmu silat pun, ilmunya tidak tinggi. Ia tidak mendengar adanya langkah orang yang ketiga.

Mungkinkah langkah orang yang ketiga tidak terdengar sama sekali?

Si buta bangkit dan berkata, “Akibat kemalangan yang menimpa beberapa saudara kami di masa lalu, hari ini kami harus mengundang kalian bertiga datang ke sini, dan menunggu lewatnya badai salju. Aku sungguh minta maaf.”

Suaranya datar. Perkataannya tidak cepat, tidak pula lambat. Tidak ada seorang pun yang tahu apakah ia sedang bersungguh-sungguh atau berpura-pura.

Terdengar Tio Cing-ngo berkata dengan suaranya yang menggelegar, “Untuk membawa keadilan dalam dunia persilatan, mati sekalipun aku rela. Ih-jisiansing tak perlu sungkan.” Pembicaraan orang ini seharusnya terdengar berbobot dan tulus. Namun Thi Toan-kah malah ingin muntah setelah mendengarnya.

Terdengar suara lain berbicara dengan tenang dan tajam. “Aku hanya seorang penulis. Tapi aku sering mendengar kisah-kisah kepahlawanan dalam dunia persilatan. Aku bangga kalian di sini menganggap aku cukup berharga untuk menjadi seorang hakim.”

Kata si buta, “Aku berharap kau dapat menuliskan cerita ini selengkapnya, supaya jika di kemudian hari ada orang yang mengungkitnya, mereka akan tahu bahwa keputusan kita hari ini adalah benar.”

Penulis tua itu berkata, “Pasti. Setelah aku kembali, akan kutuliskan seluruh kebenarannya. Waktu Tuan Pian mengajak aku datang, itupun sudah terpikir olehku.”

Thi Toan-kah akhirnya mengerti mengapa Pian Go mengajak orang ini datang. Timbul rasa hormatnya karena ketelitian Pian Go yang begitu rupa.

Si wanita mata satu berkata, “Tapi siapakah Tuan ini? Sudikah engkau memperkenalkan namamu pada kami?”

Pertanyaan ini tertuju pada orang yang ketiga.

Orang ini tidak menjawab. Pian Go menjawab, “Temanku ini tidak suka diketahui namanya.”

Si buta berkata dingin, “Namanya tidak ada sangkut- pautnya dengan masalah ini. Kalau dia tidak mau mengatakan, kita pun tak perlu bertanya. Namun dia harus tahu nama kita.”

Pian Go segera berkata, “Kami adalah delapan bersaudara yang dijuluki ‘Tionggoan-pat-gi’ oleh orang- orang kalangan persilatan. Namun mereka terlalu berlebihan.”

Si buta memotong cepat. “Mereka tidak berlebihan. Walaupun ilmu silat dan wajah kami tidak menonjol, kami melakukan segala sesuatu dengan mengutamakan kebenaran.”

Kata Tio Cing-ngo, “Siapa yang tidak kenal ‘Tionggoan- pat-gi’?”

Si buta tidak menggubris, lanjutnya, “Aku adalah Ih Beng-oh. Dulu aku dijuluki ‘Sin-bok-ji-tian (Si Mata Cepat Halilintar)’. Sekarang….” Disambungnya sambil tersenyum, “julukanku adalah ‘Yu-gan-bu-cu (bermata tapi tak bisa melihat)’.”

Lalu si tabib berkata, “Kurasa kalian sudah mengenal Samte ‘Po-ma-sin-jian (Si Kuda Cepat Tombak Hebat’)’ Pian Go. Dan aku adalah Losi. Cayhe Kim Hong-pek.”

Si penulis berkata, “Dari logatmu, sepertinya kau dari Lam-yang-hu (Nan Yang).”

“Benar.” Si penulis berkata lagi, “Ada sebuah toko obat yang terkenal milik keluarga Kim di Lam-yang-hu. Aku pun pernah membeli obat dari sana satu kali. Apakah kau….”

Kim Hong-pek tertawa dan menyahut, “Apa istimewanya? Bahkan Juragan muda Ban-seng-wan pun sekarang berjualan ceker ayam.”

Penulis tua itu bertanya, “Yang manakah dia?” Penjual arak itu menjawab, “Sudah jelas aku.”
[Ceker ayam adalah masakan yang biasanya disantap sambil minum arak, sehingga beberapa penjual arak pun menjual ceker ayam]

"Cayhe Thio Seng-hun," kata si penjual arak pula, "si tukang kayu adalah Lakte (adik Keenam) kami, meski kapaknya sekarang cuma digunakan untuk memotong kayu, tapi dahulu terkenal sebagai Lip-pi-hoa-san (sekali tabas membelah gunung Hoa) "

"Dan aku Lojit (ketujuh), Cayhe Kongsun Uh, aku bernama Uh (hujan), sebab lubang burik pada mukaku mirip tetesan hujan," demikian si bopeng juga berucap.

Si penjual sayur kemudian berkata, “Dan aku Lopat (kedelapan), Cayhe Sebun Liat.”

Penulis itu bertanya, “Di manakah Lotoa kalian?”

Jawab Kongsun Uh, “Lotoa kami, Ang Thian-kiat, telah terbunuh. Ini adalah jandanya….” "Cayhe tidak sedap didengar, Li-tu-hou (si wanita jagal) Ang-toanio," tukas si perempuan bermata satu, "kuharap kau ingat baik-baik Cayhe."

Penulis itu tersenyum. “Walaupun aku sudah tua, ingatanku masih cukup baik.”

Ang-toanio berkata, “Kami ingin kau mengingat nama kami bukan supaya kami terkenal, namun agar kisah sedih kami didengar oleh banyak orang. Dengan cara ini, orang-orang dunia persilatan akan tahu kebenarannya.”

Kongsun Uh menambahkan, “Orang ini bernama Thi Toan-kah. Ia adalah pembunuh Lotoa kami!”

Kim Hong-pek berkata, “Kami saudara berdelapan, sangat dekat hubungannya. Walaupun kami punya pekerjaan masing-masing, kami berdelapan selalu berkumpul untuk merayakan tahun baru di rumah Lotoa.”

Thio Seng-hun menambahkan, “Kami berdelapan sangat berbahagia, sehingga kami tidak pernah berusaha mencari teman yang lain. Namun pada tahun itu, Samko datang membawa seseorang ke pertemuan tahunan kami. Katanya, orang itu adalah sahabatnya.”

Kongsun Uh memotong dengan nada getir, “Orang itu adalah keparat yang tak tahu terima kasih, yang menjual sahabatnya demi uang, Thi Toan-kah.”

Kim Hong-pek lalu berkata, “Lotoa adalah seseorang yang tidak takut mati. Waktu ia melihat bahwa Thi Toan- kah bersikap seperti seorang pria sejati, ia dengan tidak ragu-ragu memperlakukan Thi Toan-kah sebagai sahabat juga. Siapa sangka, ia bukan manusia, tapi seekor anjing!”

Thio Seng-hun menyambung ceritanya, “Setelah perayaan tahun baru, kami pun pergi, namun Lotoa menahannya untuk tinggal satu dua bulan lagi. Saat itulah ia diam-diam menghubungi musuh-musuh Lotoa. Mereka menyerang di malam hari dan membunuh Lotoa. Walaupun istrinya tidak mati, ia terkena luka yang serius.”

Ang-toanio berteriak, “Lihat bekas luka di wajahku ini! Luka ini hampir saja membelah wajahku menjadi dua. Jika mereka tahu aku belum mati, aku tak akan bisa lolos.”

Kongsun Uh berkata, “Hari itu, semua orang di rumah itu mati, sehingga tidak seorang pun tahu siapa pelakunya.”

Kim Hong-pek berkata, “Waktu kami tahu, kami meninggalkan segala sesuatu dan bersumpah untuk membalas dendam. Untunglah, Langit masih punya mata….”

Ang-toanio mengakhiri, “Kami sudah menceritakan kisah kami. Katakanlah sekarang, apakah orang ini pantas mati atau tidak.”

Tio Cing-ngo langsung menjawab, “Jika ceritamu benar, maka disayat menjadi seribu bagian pun belum cukup untuk membayar kesalahannya.” Kongsun Uh melompat bangkit dan berkata dengan marah, “Tiap kata adalah kebenaran. Jika kalian tidak percaya pada kami, tanyakanlah sendiri padanya!”

Thi Toan-kah berkata sambil mengatupkan giginya, “Aku sudah bilang dari dulu. Aku malu akan perbuatanku. Aku bersedia mati.”

Kongsun Uh berseru, “Dengar! Dia sendiri mengakuinya!” Penulis itu berkata, “Ia sangat licik dan kejam.”
Ang-toanio berkata, “Kalau begitu, kalian bertiga yakin bahwa dia pantas mati, bukan?”

Penulis itu menjawab dengan yakin, “Ya!”

Tio Cing-ngo berkata, “Jangan hanya bunuh dia, potong- potong dia jadi seribu bagian, supaya keadilan dalam dunia persilatan sungguh-sungguh ditegakkan.”

Lalu terdengar suara lain, “Kau terus-menerus mengatakan ‘dunia persilatan’. Apakah kau mewakili dunia persilatan?”

Suara itu tajam dan menusuk. Seperti pedang, dingin dan cepat.

Ini pertama kalinya ia berbicara dalam ruangan itu. Ini pasti si orang ketiga dapat berjalan tanpa suara itu.

Hati Thi Toan-kah berdegup kencang. Ia merasa kenal dengan suara ini. Ia terpaksa membuka matanya, dan terlihat olehnya bahwa orang yang duduk di sebelah Tio Cing-ngo adalah si anak muda kesepian, A Fei!

Fei-siauya (tuan Fei)? Mengapa kau ada di sini?

Pertanyaan itu hampir saja terucap dari bibir Thi Toan- kah, namun diurungkannya.

Perangai Tio Cing-ngo langsung berubah. “Maksudmu, dia tidak pantas mati?”

A Fei menjawab dingin, “Kalau aku merasa dia tidak pantas mati, apakah akan kaubunuh aku juga?”

Kata Ih Beng-oh, “Kami membawa kalian ke sini untuk keadilan. Jika kau mempunyai alasan yang kuat untuk melepaskannya, akan kami lakukan dengan segera.”

Tio Cing-ngo berkata, “Kurasa ia hanya mau membuat masalah. Mengapa harus berdebat dengan dia?”

A Fei memandangnya. Lalu ia berkata dengan tenang, “Kau bilang ia mengkhianati sahabatnya demi harta, tapi bukankah kau juga sama saja? Hari itu di rumah Tuan Ang, bukankah kau pun salah satu yang menyerang dia? Hanya saja Ang-toanio tidak melihatmu!”

Delapan bersaudara itu nampak sangat terkejut, tanya mereka, “Apakah benar begitu?”

Kata A Fei, “Ia ingin membunuh orang itu untuk membungkam mulutnya.” Tio Cing-ngo awalnya tetap tenang, namun kini ia mulai gemetar.

“Kau….”

Dengan sangat marah ia mulai menyerukan segala macam sumpah serapah. Baru belakangan dia menyadari kata-kata kotor itu tidak bermanfaat sama sekali.

Lalu ia tersenyum dingin dan berkata, “Tak disangka anak muda macam kau bisa berbohong tanpa berkedip. Tapi itu kan hanya perkataanmu saja. Tidak ada yang mau percaya!”

Kata A Fei, “O ya? Lalu mengapa kita percaya kata-kata mereka?”

Tio Cing-ngo berkata, “She Thi sudah mengakui perbuatannya. Tidakkah kau dengar?”

Sahut A Fei, “Aku dengar.”

Sebelum perkataannya, ujung pedangnya telah berada di depan leher Tio Cing-ngo.

Tio Cing-ngo telah bertempur ratusan kali. Tidak mudah untuk menyerangnya tanpa ketahuan. Namun entah bagaimana, ia bahkan tidak melihat kapan anak muda itu menarik keluar pedangnya!

Ia hanya melihat suatu bayangan samar, dan detik selanjutnya, pedang itu telah mengancam lehernya. Ia langsung mematung, lalu katanya, “A…Apa maumu?” Sahut A Fei, “Aku hanya ingin tanya. Hari itu di rumah Tuan Ang, apakah kau ada di sana?”

Tio Cing-ngo berteriak marah, “Apakah kau sudah gila?”

A Fei menyahut dengan tenang, “Jika kau tak mengaku, aku harus membunuhmu.”

Ia mengatakan kalimat itu dengan nada datar, seolah- olah sedang bercanda.

Keringat mulai membasahi muka Tio Cing-ngo. “A…Aku….”

Kata A Fei, “Lebih baik kau menjawab dengan benar. Berdoalah agar jawabanmu tidak salah.”

Semua orang di situ telah melihat pedang A Fei yang terselip di pinggang. Mereka semua berpikir pedang itu lucu sekali. Namun sekarang, tidak seorang pun berpikir demikian.

A Fei terus berbicara, “Ini adalah terakhir kalinya aku akan bertanya. Aku tak akan mengulangi lagi. Apakah kau membunuh Ang Thian-kiat?”

Tio Cing-ngo tak tahu harus menjawab apa dan akhirnya berkata, “Ya….”

Waktu ia menjawab demikian, kedelapan bersaudara itu terperangah, tak percaya pendengaran mereka. A Fei lalu tersenyum dan berkata, “Jangan kuatir. Dia tak ada sangkut-pautnya dengan kematian Ang Thian-kiat.”

Kini delapan bersaudara itu bengong memandang A Fei.

A Fei melanjutkan, “Aku hanya ingin menyampaikan satu hal. Jika seseorang mengakui kesalahannya dibawah tekanan, itu tidak dapat dijadikan bukti!”

Namun delapan bersaudara itu bertanya, “Kapan kami menekan dia?”

“Kau pikir kami memukulinya sampai dia mengaku?” “Jikalau demikian, mengapa ia tidak berkata apa-apa?”
Tiba-tiba Ih Beng-oh berkata, “Thi Toan-kah, jika kau merasa diperlakukan tidak baik, katakanlah sekarang.”

Thi Toan-kah hanya mengatupkan mulutnya rapat-rapat. Wajahnya penuh dengan kepedihan.

Kata Ang-toanio, “Karena kau tak bilang apa-apa, berarti kau telah mengakuinya. Kami tidak pernah mengancammu dengan pedang di lehermu.”

Thi Toan-kah berkata, “Fei-siauya (tuan Fei), aku tidak bisa bilang apa-apa. Maafkan aku. Kebaikan hatimu tersia-sia begitu saja.”

Sahut A Fei,”Apapun yang dia katakan, aku tidak percaya kalau dia orang semacam itu.” Kata Kongsun Uh, “Lihatlah fakta-faktanya. Kau tidak bisa mendebatnya.”

Ang-toanio tertawa dingin, “Siapa yang peduli apakah dia percaya atau tidak. Mengapa kita harus mempedulikan dia?”

Kim Hong-pek pun angkat suara, “Betul. Masalah ini tak ada sangkut-pautnya dengan dia.”

Ang-toanio berseru dengan kasar, “Kau pikir kau ini siapa? Mencampuri urusan kami.”

Si tabib juga berkata, “Bagaimana kalau kulukai dia? Apa yang akan kau perbuat?”

Si tabib paling jarang berbicara. Namun paling cepat bergerak. Sebelum selesai bertanya, kapaknya telah memotong dengan gerakannya yang paling terkenal, ‘Lip- pi-hoa-san (Membelah Gunung Huo’. Thi Toan-kah duduk diam, menunggu kapak itu membelahnya menjadi dua.

Penulis itu tercekat, disangkanya darah akan muncrat keluar.

Tak disangka, pada saat yang tepat, sebilah pedang berkilat dan memotong kapak itu menjadi dua! Sepotong jatuh di depan Thi Toan-kah. Delapan bersaudara itu menyaksikan rentetan kejadian itu dan tak seorang pun mempercayai penglihatan mereka. Sebelum ada yang sempat bicara, pedang A Fei telah sampai ke depan leher si tabib. Waktu A Fei menyerang Tio Cing-ngo, mereka tidak menganggapnya sungguh-sungguh. Namun saat ini, semuanya terlihat sangat terkejut dan ketakutan.

Mereka tidak bisa percaya ada pedang dengan kecepatan seperti itu!

Namun A Fei sendiri bersikap biasa saja. Dibantunya Thi Toan-kah bangkit, lalu katanya, “Mari kita minum arak.”

Kongsun Uh, Kim Hong-pek dan Pian Go segera menghalangi jalan mereka.

Kata Kim Hong-pek, “Kau hendak pergi sekarang? Tidak semudah itu.”

A Fei menyahut dengan tenang, “Apa yang kau ingin aku lakukan? Membunuhmu?”

Tiba-tiba Ih Beng-oh mendesah, “Biarkanlah mereka pergi.”

Kata Ang-toanio berang, “Bagaimana kita membiarkan dia pergi? Semua usaha kita sia-sia…”

Ih Beng-oh melanjutkan, “Kau boleh pergi. Ini adalah cara dunia persilatan. Siapa yang memiliki pedang tercepat, dialah yang benar.”

Sahut A Fei, “Terima kasih untuk pengarahanmu. Aku tak akan pernah lupa.” Ang-toanio kini tersedu-sedu, “Bagaimana bisa kau lepaskan dia… Bagaimana bisa kau lepaskan dia!”

Wajah Ih Beng-oh membatu. “Apa yang kau inginkan? Kau ingin dia membunuh kita semua?”

Kata Pian Go, “Jisuheng memang benar. Selama kita masih hidup, kita dapat membalas dendam di kemudian hari.”

Tiba-tiba Ang-toanio melompat dan merenggut bajunya. “Kau masih punya nyali untuk berbicara? Ini satu lagi ‘kawanmu’. Ini sudah kali kedua….”

Kata Pian Go, “Kau benar. Akulah yang membawanya. Aku akan bertanggung jawab.” Sambil mengatakan ini, ia keluar dari ruangan.

Nyonya tercekat, lalu berteriak, “Samko, kembalilah!”

Segera ia mengejar keluar, namun Pian Go sudah tidak terlihat lagi.

Ih Beng-oh mendesah dan berkata, “Biarkanlah dia pergi. Kuharap ia dapat bertemu dengan temannya.”

Mata Kim Hong-pek berbinar, “Maksudmu…”

Sahut Ih Beng-oh, “Jika kau sudah tahu siapa yang kumaksud, mengapa bertanya lagi?” Kata Kim Hong-pek, “Jika Samko benar-benar dapat menemukan dia, bagaimana pun cepatnya pedang anak muda ini, ia tidak akan mungkin lolos.”

Tio Cing-ngo tiba-tiba tertawa. “Sebenarnya Tuan Pian tidak perlu mencari orang itu.”

“O ya?”

Sahut Tio Cing-ngo, “Dalam dua hari ini, tiga orang akan datang ke sini. Walaupun anak muda itu punya tiga kepala Tan Oknam tangan, aku jamin ketiga kepalanya akan copot seketika!”

Tanya Kim Hong-pek, “Siapa ketiga orang itu?”

Kata Tio Cing-ngo, “Jika kusebutkan nama mereka, mungkin kau pun akan mati berdiri.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar