Si Pisau Terbang Li Bab 07 : Tidak Sengaja Melukai Anak Sahabat

 
Bab 07. Tidak Sengaja Melukai Anak Sahabat

Setelah Li Sun-Hoan minum arak, obat penawarnya bekerja lebih cepat. Setelah dua belas jam, tenaganya berangsur-angsur pulih.

Hari sudah mulai fajar. Sang Kusir sama sekali tidak terlelap, namun ia tetap bersemangat. Hanya saja karena minum terlalu banyak, kepalanya terasa berdenyut- denyut. Bwe-jisiansing memukul-mukul kepalanya, “Sialan. Sialan. Sudah pagi lagi.”

“Kenapa kalau sudah pagi?”

Kata Bwe-jisiansing, “Kalau sedang minum, hal yang paling kubenci adalah fajar. Selama di luar masih gelap, aku bisa minum selama-lamanya. Tapi kalau sudah tampak cahaya matahari, aku tidak bernafsu lagi untuk minum.”

Li Sun-Hoan masih berbaring. Di bibirnya terbayang seulas senyum. “Bukan hanya kau. Itu problem semua pemabuk.”

Sahut Bwe-jisiansing, “Kalau begitu, sebelum betul-betul terang, mari cepat-cepat kita minum arak ini.”

Li Sun-Hoan tertawa. “Kurasa kakakmu akan kesal melihat bagaimana kita minum.”

Sahut Bwe-jisiansing, “Makanya dia sudah tidur dari tadi. Kalau dia tidak melihat kejadiannya, ia takkan merasa gelisah.”

Li Sun-Hoan hendak minum lagi, namun ia mulai batuk- batuk.

Bwe-jisiansing memandangnya dan tiba-tiba bertanya, “Berapa lama suda kau batuk seperti ini?”

“Mungkin sepuluh tahun.” Bwe-jisiansing berpikir sebentar, lalu berkata, “Kalau begitu, seharusnya kau tidak minum lagi. Batuk terlalu banyak tidak baik untuk hatimu. Kalau kau terus minum….”

Li Sun-Hoan memotong sambil tertawa, “Tidak baik untuk hatiku? Hatiku sudah rusak total.”

Tiba-tiba ia berhenti bicara. Matanya menyelidik. Ia berkata perlahan, “Ada yang datang.”

Kata Bwe-jisiansing, “Orang yang datang pagi-pagi buta seperti ini pasti bukan tamu kakakku. Kurasa mereka datang mencari aku.”

Ia mendengar suara itu dengan jelas sekarang. Ada beberapa orang yang datang. Langkah mereka semua sangat ringan.

Dan seseorang berbicara lantang, “Apakah di sini betul Bwe-hoa-cau-tong (Klinik Keluarga Bwe)?”

Sesaat kemudian terdengarlah suara Bwe-toasiansing. “Datang pagi-pagi buta macam ini, kalian perampok atau pencuri?”

Orang itu menjawab, “Kami datang berkunjung, bukan untuk merampok atau mencuri. Kami membawa hadiah.”

Bwe-toasiansing tertawa dingin. “Datang membawa hadiah di pagi buta? Maksud kalian pasti tidak baik. Silakan pergi.” Kata orang itu sambil tertawa, “Jikalau demikian, aku harus membawa pulang lukisan Ong Mo-kiat ini.”

Sebelum kalimatnya selesai, pintu sudah terbuka lebar.

Bwe-jisiansing mengangkat alisnya, katanya, “Orang- orang ini menyelidiki kesukaan kakakku sebelum datang. Mereka pasti menginginkan sesuatu. Mari kita dengarkan apa permintaan mereka.”

Ia tidak keluar dari ruangan. Dibukanya pintu sedikit saja untuk melihat siapa yang datang.

Ada tiga orang. Yang pertama berusia tiga puluhan. Tubuhnya pendek, wajahnya seram. Matanya berkilat- kilat. Tangannya memegang sebuah kotak panjang.

Orang yang kedua wajahnya seperti buah prun. Jenggotnya panjang sampai ke pinggang. Ia mengenakan jubah ungu. Wajahnya gagah. Tampak seperti seorang pemimpin.

Yang ketiga adalah seorang anak berusia sepuluh tahunan. Mukanya bundar, matanya bundar. Ia mengenakan baju warna merah dengan leher bulu kelinci. Seperti Anak Merah kecil yang didandani.

Selain anak ini, kedua orang yang lain tampak kuatir dan tidak sabar.

Orang berwajah seram itu memegang kotak dan membungkuk ke arah Bwe-toasiansing. Katanya, “Lukisan ini dibeli oleh majikanku seharga 1000 tail emas. Telah diselidiki keasliannya. Bukalah.”

Mata Bwe-toasiansing memang tidak pernah lepas dari kotak itu. Namun sahutnya, “Tidak mungkin kau menghadiahkannya kepadaku dengan cuma-cuma. Apa yang kau inginkan?”

Orang itu tersenyum. “Kami hanya ingin tahu di mana Bwe-jisiansing berada.”

Bwe-toasiansing langsung bernafas lega, katanya, “Mudah saja.”

Segera disambarnya kotak itu dari tangan orang itu. Teriaknya, “Loji, keluarlah. Ada yang ingin bertemu.”

Bwe-jisiansing menghela nafas, menggelengkan kepala kesal. “Kurang ajar. Setelah kau dapatkan lukisan, kau tak peduli pada adikmu sendiri.”

Orang tua berjubah ungu dan orang berwajah seram itu langsung melihat Bwe-jisiansing. Wajah keduanya tampak gembira. Hanya anak kecil itu yang menggeleng- gelengkan kepalanya, lalu bertanya, “Lihatlah orang ini. Apakah dia kelihatan seperti orang yang bisa menyembuhkan?”

Sahut Bwe-jisiansing, “Aku tak bisa menyembuhkan orang yang sakit parah, tapi aku takkan membunuh orang yang sakit ringan. Aku ada di tengah-tengah.” Orang tua berjubah ungu itu kuatir anak itu akan salah bicara lagi, sehingga cepat-cepat dikatakannya, “Telah lama kudengar bahwa kau memiliki ‘tangan yang bisa menghadirkan musim semi’. Jadi aku datang, berharap bisa membawamu pergi sebentar. Berapa banyak uang yang kau minta, aku dapat membayarnya di muka.”

Bwe-jisiansing tertawa. “Sepertinya kau sudah paham dengan kebiasaanku. Tidakkah kau takut aku akan melarikan diri?”

Orang tua berjubah ungu terdiam, seakan-akan hendak berkata bahwa Bwe-jisiansing tidak mungkin dapat melarikan diri.

Orang yang pendek itu pun kemudian memaksakan diri tertawa, dan berkata, “Jika Bwe-jisiansing bersedia pergi, kami akan memberikan lebih daripada sekedar emas dan perak.”

Bwe-jisiansing melanjutkan lagi, “Selain pembayaran, tahukah kau bahwa aku punya kebiasaan lain? Perampok tak akan kurawat. Pencuri tak akan kesembuhkan.”

Orang pendek itu tersenyum sambil berkata, “Cayhe adalah Pah Eng. Walaupun aku bukan siapa-siapa, orang ini, Cin Hau-gi, Cin-loyacu cukup terkenal dalam dunia persilatan. Pasti Bwe-jisiansing pernah mendengar tentang dia.”

Sahut Bwe-jisiansing sambil memandang orang berjubah ungu itu, “Cin Hau-gi? Engkau adalah ‘Si Semangat Baja Terbentang ke Delapan Arah’ Cin Hau-gi?” Sahut Pah Eng, “Benar. Ia adalah majikanku.”

Bwe-jisiansing menganggukkan kepalanya, katanya, “Kelihatannya kau cukup bonafid. Baiklah. Datang beberapa hari lagi, dan mungkin aku akan pergi denganmu.

Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah itu telah melompat, dan berteriak, “Orang ini sombong betul. Hei, kenapa kita harus membuang-buang waktu berbicara dengan dia? Kita tangkap saja, masalah selesai.”

Pah Eng menarik baju anak ini, dan memaksakan untuk tersenyum. “Jika penyakitnya tidak kritis, tidak apalah menunggu beberapa hari. Tapi kita tidak dapat menunggu bahkan beberapa jam saja.”

Sahut Bwe-jisiansing, “Jadi pasienmu penting, dan pasienku tidak penting?”

Kata Pah Eng, “Maksud Bwe-jisiansing, kau punya pasien di sini?”

“Betul sekali. Sebelum aku memulihkannya aku tak bisa pergi.”

Pah Eng berkata terbata-bata, “Ta..tapi pasienku adalah putra tertua Cin Hau-gi. Ia adalah murid terbaik Siau-lim- si.”

Sergah Bwe-jisiansing tak senang, “Lalu kenapa kalau dia adalah putra Cin Hau-gi. Atau murid Siau-lim-si. Apakah menurutmu dia lebih berharga daripada pasienku?” Saat ini amarah Cin Hau-gi sudah meluap, tapi ia tidak bisa berkata apa-apa.

Mata Anak Merah itu berputar, lalu berkata tiba-tiba, “Bagaimana jika pasienmu mati?”

Bwe-jisiansing tertawa dingin, “Jika dia mati, tentu saja aku tak perlu lagi merawat dia. Sayangnya, dia tidak mungkin mati.”

Ang-hai-ji (Si Anak Merah) tertawa cekikikan, katanya, “Jangan terlalu yakin.”

Secepat kilat ia lari masuk ke ruang dalam. Bahkan Sang Kusir pun terpana. Pah Eng dan Cin Hau-gi hanya saling pandang, namun tidak mencegah anak itu.

Setelah ada di dalam ruangan, Anak Merah itu langsung melihat pada Li Sun-Hoan, katanya sombong, “Jadi kaulah pasien itu.”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Adik kecil, benarkah kau ingin aku mati sekarang juga?”

Ang-hai-ji menjawab, “Betul. Jika kau mati, maka si tua bangka itu bisa pergi merawat Cin-toako.”

Selagi ia masih berbicara, tiga anak panah kecil telah melesat dari lengan bajunya, terarah pada dahi dan tenggorokan Li Sun-Hoan. Kecepatan dan tenaganya kuat sekali. Tak ada yang mengira bahwa anak sepuluh tahun ini sungguh berbisa. Jika orang itu bukan Li Sun-Hoan, pasti ia sudah tergeletak mati.

Namun Li Sun-Hoan dengan tenang melambaikan tangannya dan menangkap ketiga panah itu. Katanya kemudian, “Kau masih sangat muda, tapi sudah begitu kejam. Aku tak bisa membayangkan seperti apa engkau setelah dewasa.”

Ang-hai-ji tertawa dingin. “Kau pikir hanya dengan mempertontonkan kepintaranmu menangkap panah, lalu kau bisa mengguruiku?”

Tiba-tiba, sambil membalikkan badan, dihunusnya sebilah pedang pendek. Dan sebelum berakhir kalimatnya, tujuh sabetan telah menyerang Li Sun-Hoan.

Anak ini bukan hanya cepat dan gesit, ia juga sangat berbahaya. Banyak pendekar yang lebih berpengalaman pun tak bisa menandinginya. Ia bertempur, seolah-olah lawannya adalah musuh bebuyutannya, dan satu-satunya keinginannya adalah melubangi tubuh Li Sun-Hoan dengan pedangnya.”

Kata Li Sun-Hoan, “Sungguh, anak ini akan tumbuh menjadi Im Bu-tek (Tokoh Yang Maha Kejam berikutnya.”

Kata Sang Kusir, “Walaupun julukan Im Bu-tek adalah Si Pedang Darah, ia tidak pernah membunuh orang yang tidak berdosa. Tapi anak ini….” Ang-hai-ji tersenyum seperti setan kecil. “Bagaimana dengan Im Bu-tek . Aku sudah membunuh orang sejak umur tujuh tahun. Bagaimana dengan dia?”

Ia melihat Li Sun-Hoan masih tetap duduk di tempat yang sama, maka diubahlah jurus-jurusnya. Semakin dahsyat dan mematikan.

Li Sun-Hoan tersenyum getir. “Betul sekali. Bahkan Im Bu-tek pun mungkin tidak sekejam ini dalam usia semuda engkau.”

Wajah Sang Kusir menjadi kelam. “Jika ia tumbuh dewasa, ia pasti berbahaya untuk masyarakat.
Mungkin….”

Ang-hai-ji telah mengeluarkan seratus jurus, namun belum juga bisa menang. Akhirnya ia menyadari bahwa dia telah bertemu lawan yang sangat tangguh. Ia merasa sangat marah, sampai matanya pun menjadi merah.
Dikertakkan giginya dan katanya, “Tahukah kau siapa orang tuaku? Jika kau lukai aku, mereka akan mencincangmu hidup-hidup.”

Li Sun-Hoan menjadi berang, katanya, “Jadi hanya kau saja yang boleh membunuh orang, tapi mereka tidak boleh melukaimu?”

Sahut Ang-hai-ji , “Jika kau memang punya nyali, silakan saja bunuh aku.”

Li Sun-Hoan merasa ragu-ragu untuk sesaat. Lalu katanya, “Aku masih tidak ingin membunuhmu, sebab engkau masih sangat muda. Dengan didikan yang baik, engkau masih ada kesempatan menjadi orang yang baik. Pergilah sekarang, sebelum aku berubah pikiran.”

Anak Merah inipun tahu bahwa kali ini dia tidak punya kesempatan untuk menang. Ditariknya pedangnya, lalu bertanya, “Ilmu silatmu sungguh hebat. Siapakah engkau? Mengapa aku belum pernah bertemu denganmu?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tanyakan Cayhe, supaya bisa membalas dendam?”

Tiba-tiba di wajah Ang-hai-ji terbayang senyum yang sangat lugu, katanya, “Kau tidak membunuhku, mengapa aku harus membalas dendam? Aku sungguh menghormati engkau. Aku telah mengeluarkan seratus tujuh jurusku, namun engkau tidak bergerak sejengkalpun.”

Mata Li Sun-Hoan bercahaya, “Kau ingin belajar dariku?”

Ang-hai-ji menjadi sangat girang, tanyanya, “Benarkah kau mau menerima aku sebagai muridmu?”

Li Sun-Hoan tersenyum. “Jika aku dapat membantu orang tuamu untuk menjagamu, mungkin kau masih punya kesempatan di kemudian hari.”

Sebelum ia selesai bicara, Anak Merah ini telah berlutut di hadapannya, katanya, “Didiklah aku, dan terimalah sembah sujud murid.” Waktu kata ‘murid’ diucapkannya, tiga kilat sinar melesat dari belakang bajunya.

Tubuh anak ini penuh senjata rahasia.

Li Sun-Hoan terkejut setengah mati. Jika ia belum berpengalaman, dan jika gerak refleksnya tidak secepat kilat, ia pasti sudah mati di tangan anak ini.

Ang-hai-ji , waktu melihat Li Sun-Hoan belum mati juga, segera bangkit, dan berteriak, “Kau pikir kau ini siapa? Berani-beraninya kau hendak mendidikku menggantikan orang tuaku. Kau pikir kau pantas jadi guruku?”

Wajah Sang Kusir menjadi sedingin es dan berkata, “Seseorang yang punya hati berbisa seperti ini, tidak pantas hidup.”

Li Sun-Hoan menghela nafas. Diputarnya telapak tangannya dan dihempaskannya ke depan.

Cin Hau-gi dan Pah Eng tahu bahwa Ang-hai-ji masuk ke dalam untuk membunuh orang. Namun seincipun mereka tidak bergerak.

Bwe-toasiansing melamun memandangi lukisan barunya. Tak peduli apapun yang sedang terjadi di dunia.

Sebaliknya Bwe-jisiansing bertanya, “Anak yang kalian bawa, saat ini sedang berusaha membunuh orang. Dan kalian diam saja?” Pah Eng mengangkat tangannya dan tersenyum. “Jujur saja, walaupun kami mau, kami tak dapat mencegahnya.”

Bwe-jisiansing tersenyum dingin, “Namun kalau dialah terbunuh hari ini, pedulikah engkau?”

Pah Eng tidak menjawab, namun tetap tersenyum.

Kata Bwe-jisiansing, “Melihat ekspresimu, aku tahu bahwa dalam pandanganmu ilmu silatnya cukup tinggi. Jadi hanya dialah yang dapat membunuh orang. Orang lain takkan sanggup membunuhnya, bukan?”

Pah Eng hanya dapat menahan tawanya. “Jujur saja, ilmu silatnya memang hebat. Banyak pesilat tangguh telah mati di tangannya. Dan lagi, ia punya ayah dan ibu yang hebat. Walaupun banyak orang telah dirugikan, mereka tak dapat berbuat apa-apa.”

“Jadi orang tuanya tidak mau mengaturnya?”

‘Untuk anak sepandai ini, orang tua sebaiknya tidak mengekang terlalu keras.”

Sahut Bwe-jisiansing, “Kau benar. Waktu orang tuanya melihat dia membunuh orang, mereka mungkin menegurnya di depan orang-orang. Namun dalam lubuk hati mereka, mereka lebih bahagia dari siapapun juga. Sayangnya, hari ini ia bertemu dengan pasienku. Hari ini hari sialnya.” Lanjut Bwe-jisiansing, “Pasienku hanya perlu mengibaskan tangannya, dan nyawa anak itupun akan melayang.”

Pah Eng tertawa. “Hanya mengibaskan tangannya untuk membunuh dia? Aku rasa tidak mungkin. Maksudmu, pasien itu adalah Li Tamhoa, Si Pisau Terbang pencabut nyawa, yang tak pernah luput?”

Bwe-jisiansing mendesah. “Jujur saja, pasienku ini memang Li Sun-Hoan.”

Waktu didengarnya kalimat ini, wajah Pah Eng langsung pucat pasi. Dia tertawa kering. “Mengapa kau…. bercanda seperti ini?”

Sahut Bwe-jisiansing, “Jika kau tidak percaya, lihat saja sendiri.”

Pah Eng segera merangsak ke dalam sambil berteriak, “Li-tayhiap, Li Tamhoa, sayangkanlah nyawanya!”

Bwe-jisiansing mengeluh. “Orang-orang yang mengaku gagah ternyata kosong melompong. Hanya hidup anak- anaknya sendiri yang dianggap berharga. Hidup orang lain tak ada artinya. Hanya mereka yang boleh membunuh. Orang lain tak boleh menyentuh mereka.”

Di wajah Cin Hau-gi yang tegang tiba-tiba terbentuk seulas senyuman. Ia berusaha keras untuk menahan senyumnya. Malahan berkata, “Jika Li Sun-Hoan berani membunuh anak itu, ia akan menyesal seumur hidup.”

Waktu telapak tangan Li Sun-Hoan maju, tidak tampak adanya gerakan yang aneh.

Walaupun Ang-hai-ji masih kecil, ia sudah berpengalaman. Ia melihat telapak tangan itu, namun tidak menghindar atau menangkis. Ia pikir, lawan hanya berusaha mengalihkan perhatiannya, dan jurus yang mematikan akan datang sesudahnya. Ia hanya terus menyabetkan pedangnya.

Telapak tangan itu tidak mengandung jurus, namun pedang dapat berubah arah sewaktu-waktu. Walaupun telapak tangan Li Sun-Hoan dapat memukul anak itu, pedang anak itu pun dapat melukai Li Sun-Hoan.

Jurus-jurus pedangnya sungguh hebat. Hanya sedikit pesilat saja yang mampu menandingi kecepatannya, tenaganya, ketepatannya, dan perhitungannya. Bukan gurunya yang hebat. Anak ini memang mempunyai bakat alami.

Tapi sayang, kali ini ia berhadapan dengan Li Sun-Hoan.

Walaupun telapak tangannya tidak mengandung jurus, gerakan sangat sangat cepat. Kecepatannya tak terbayangkan.

Jadi berapa banyak gerak tipu yang dikuasai Ang-hai-ji , ia takkan sempat menggunakannya. Sebelum pedangnya mengenai Li Sun-Hoan, telapak tangannya telah memukul dada anak itu.

Namun Ang-hai-ji tidak merasa sakit. Ia hanya merasa suatu sensasi yang aneh menjalar ke sekujur tubuhnya. Rasanya seperti sehabis minum arak hangat.

Pada saat yang sama, seseorang menubruk masuk sambil berteriak, “Li-tayhiap. Sayangkanlah nyawanya!”

Namun Ang-hai-ji telah telentang di tanah. Seakan-akan baru bangun dari tidur. Badannya terasa lemah sekali, dan ia tidak bisa bergerak.

Tanya Pah Eng kuatir, “Siauya Hun, engkau baik-baik saja?”

Ang-hai-ji menyadari ada sesuatu yang salah. Matanya merah. “Sep… sepertinya aku telah dilukai dengan dalam oleh orang ini. Cepat. Beritahu ayahku untuk datang membalas dendam.”

Lalu ia pun menangis meraung-raung.

Pah Eng tak tahu apa yang harus dilakukannya. Keringat bercucuran dari dahinya.

Sang Kusir berkata dingin. “Kungfu anak ini telah dimusnahkan, namun setidaknya ia tetap hidup. Itu hanya karena Siauyaku sungguh welas asih. Jika itu aku…..”

Pah Eng pura-pura tidak mendengar. “Jika kau ingin membalas dendam, silakan saja.”

Pah Eng diam saja. Lalu ia berlutut di depan Li Sun- Hoan.

Li Sun-Hoan terperangah, tanyanya, “Apa hubunganmu dengan anak ini?”

Sahut Pah Eng, “Cayhe Pah Eng. Li Tamhoa pasti tidak mengenal aku. Namun aku mengenal Li Tamhoa.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bagus. Jika orang tua anak ini ingin membalas dendam, beri tahu mereka untuk mencariku.”

Ang-hai-ji terus menangis meraung-raung, dan berteriak-teriak, “Kau jahat sekali! Berani-beraninya kau musnahkan kungfuku. Aku tidak mau hidup lagi… tidak mau hidup lagi.”

Sang Kusir membentaknya, “Ini pengajaran bagimu untuk tidak menyakiti orang lain. Jika kau mengerti, kau mungkin dapat hidup lebih lama. Kalau tidak, kau akan segera mati.”

Lalu terdengar seseorang berkata, “Kalau begitu, mengapa Li Tamhoa yang berdarah dingin belum mati juga?”

“Siapa itu?”

Seorang tua berjubah ungu masuk. “Sudah sepuluh tahun. Li Tamhoa tidak mengenaliku lagi?” Li Sun-Hoan tersenyum, sahutnya, “Oh, Si Semangat Baja Terbentang ke Delapan Arah, Cin-loyacu. Tak heran anak ini dapat membunuh tanpa ragu-ragu. Bersama denganmu, siapa yang tak dapat dibunuhnya?”

Cin Hau-gi menjawab dingin, “Kurasa orang yang kubunuh tak sampai setengah dari yang Li-heng (saudara Li) bunuh.”

Kata Li Sun-Hoan, “Cin-loyacu tak perlu merendah. Hanya saja, jika aku membunuh, itu karena aku adalah pembunuh berdarah dingin. Jika kau membunuh, itu demi keadilan dunia!”

Ia menjengek dan lanjutnya, “Jika anak ini berhasil membunuhku, kabar yang tersiar pasti adalah bahwa dia membunuh bukan karena berebut tabib, tapi karena dia dan Cin-tayhiap bahu-membahu memberantas kejahatan. Begitu kan?”

Walaupun Cin Hau-gi telah berpengalaman dan tahu bagaimana menjaga raut wajahnya tetap tenang, tak urung warna merah merayapi selebar wajahnya.

Ang-hai-ji yang tadinya mendengarkan dengan seksama, kini mulai meraung-raung lagi, “Paman Cin. Mengapa tak kau bunuh dia untuk membalaskan dendamku?”

Cin Hau-gi tersenyum dingin. “Jika orang lainlah yang melukaimu, pasti dendammu akan dibalaskan. Tapi karena orang inilah yang melukaimu, kau takkan bisa berbuat apa-apa.” Kata Ang-hai-ji , “Ke…kenapa?”

Cin Hau-gi memandang Li Sun-Hoan, lalu bertanya pada anak itu, “Tahukah kau siapa dia?”

Ang-hai-ji menggelengkan kepalanya dan berkata keras, “Aku hanya tahu dia adalah seorang penjahat kejam!”

Seulas senyum keji terbayang di wajah Cin Hau-gi. “Dia adalah ‘Si Pisau Kilat’ yang terkenal di seluruh dunia, Li Sun-Hoan. Dia dan ayahmu adalah saudara angkat sehidup semati!”

Waktu mendengar kata-kata ini Ang-hai-ji sangat terkejut, namun Li Sun-Hoan merasa hampir pingsan. “Siapa ayahnya?”

Pah Eng mendesah, katanya, “Ia adalah Liong Siau-in, anak tertua Liong-siya, Liong Siau-hun!”

[Penulisan nama ayah dan anak dalam huruf romawi sama persis. Untuk selanjutnya, untuk ayahnya akan ditulis sebagai Liong Siau-hun, dan untuk anaknya Liong Siau-in]

Saat itu, nyawa Li Sun-Hoan seperti terbang meninggalkan raganya. Matanya berkejap-kejap, dan air mata pun mengalir.

Ekspresi Sang Kusir pun berubah. Keringat mulai membasahi dahinya. Ia tahu benar tentang hubungan Li Sun-Hoan dengan pasangan Liong Siau-hun dan Lim Si-im. Sekaranga ia melukai putra mereka. Dapat dibayangkannya betapa hancur hati Li Sun-Hoan.

Kata Pah Eng, “Aku tak menyangka akan jadi seperti ini. Semuanya berawal ketika putra Cin-loyacu hendak menangkap Bwe-hoa-cat (Bandit Bunga Sakura).
Sayangnya ia terluka dalam pertempuran itu. Dengan obat-obatan kami yang terbaik, kami berhasil menyelamatkan nyawanya. Namun ia perlu pertolongan lebih lanjut untuk terus hidup. Kami tahu bahwa Si Tabib Sakti Bwe-jisiansing adalah ahli menyembuhkan luka nomor satu di dunia, terlebih khusus luka akibat senjata rahasia. Oleh sebab itulah kami datang. Siapa sangka malah jadi begini.”

Ia bicara pada dirinya sendiri, tak ada yang mendengarkan.

Bwe-jisiansing juga dapat merasakan kepdihan pada wajah Li Sun-Hoan. Ia memeriksa luka Ang-hai-ji , lalu bangkit berdiri. “Anak ini tak kurang suatu apapun. Ia dapat melakukan apa saja, sama seperti orang lain.”

“Bagaimana dengan ilmu silatnya?”

Sahut Bwe-jisiansing dingin, “Mengapa dia perlu ilmu silat? Masih ingin membunuh lagi?”

Kata Pah Eng, “Bwe-jisiansing, kau tidak paham. Liong- siya hanya punya satu putra, dan ia sangat berbakat dalam ilmu silat. Pasangan itu menaruh harapan yang begitu besar padanya. Berharap ia akan dapat membawa kehormatan bagi keluarganya. Jika mereka tahu, ia tidak bisa lagi belajar ilmu silat, betapa sedihnya hati mereka.”

Bwe-jisiansing tertawa dingin, “Kau hanya bisa menyalahkan pendidikannya yang sangat jelek. Membiarkan putra mereka menjadi begini kejam. Itu bukan salah orang lain!”

Li Sun-Hoan tidak menangkap satu pun kata percakapan ini.

Entah mengapa, ia tiba-tiba tenggelam ke masa lalu. Begitu banyak kenangan lama, yang tidak seharusnya dibangunkan, bermunculan satu per satu.

Ia ingat hari itu adalah hari ketujuh di tahun yang baru. Ia mempunyai sedikit urusan penting, sehingga ia harus pergi dari rumah sebelum perayaan tahun baru selesai.

Hari itu, juga turun salju. Lim Si-im memasak masakan yang khusus. Ia pun duduk menemani Li Sun-Hoan minum arak dan menikmati salju yang turun.

Lim Si-im tumbuh dewasa di rumahnya. Ayahnya adalah saudara laki-laki istri muda ayah Li Sun-Hoan. Sebelum mereka meninggal, mereka telah membicarakan tentang pernikahan anak-anak mereka.

Akan tetapi Li Sun-Hoan dan Lim Si-im tidaklah seperti anak-anak orang kaya pada umumnya, yang suka menjaga jarak. Mereka bukan hanya sepasang kekasih, mereka adalah sahabat karib. Walaupun sepuluh tahun telah berlalu, Li Sun-Hoan mengingat hari itu bagai hari kemarin saja.

Hari itu bunga Bwe mekar sangat indah. Namun senyum Lim Si-im yang sudah setengah mabuk jauh lebih indah daripada bunga Bwe. Hatinya yang lugu dipenuhi dengan sukacita dan kebahagiaan.

Namun…. tragedi menunggu di depan pintu.

Dalam perjalanan, musuh-musuhnya berkomplot dengan preman-preman lokal untuk membunuh dia. Walaupun sembilan belas orang dapat dibunuhnya, ia pun terluka. Mereka menangkapnya dan memasukkannya ke dalam kurungan.

Saat itulah Liong Siau-hun tiba.

Dengan tombak perak dirusaknya kurungan itu, sehingga nyawa Li Sun-Hoan selamat. Lalu dirawatnya luka-luka Li Sun-Hoan dengan sabar, sampai sembuh betul. Lalu diantarnya Li Sun-Hoan pulang.

Sejak saat itulah mereka menjadi sahabat karib.

Namun tidak berapa lama kemudian, Liong Siau-hun jatuh sakit. Orang yang kuat seperti dia, sakit parah dalam setengah bulan saja, tubuhnya menjadi sangat kurus.

Setelah ia bertanya berkali-kali, baru Li Sun-Hoan tahu bahwa penyakit Liong Xiau Yun disebabkan oleh Lim Si- im. Ia telah jatuh cinta, sampai hampir jadi gila. Ia tidak tahu bahwa Lim Si-im adalah tunangan Li Sun- Hoan. Oleh sebab itu, ia minta izin pada Li Sun-Hoan untuk boleh menikah dengan ‘sepupunya’. Ia berjanji, ia akan menjaganya sepenuh hati.

Bagaimana Li Sun-Hoan harus menjawabnya?

Namun bagaimana mungkin ia hanya berpangku tangan melihat penoLiongnya, sahabat karibnya, mati perlahan- lahan?

Di lain pihak, tidak mungkin ia bisa membujuk Lim Si-im untuk menikah dengan orang lain. Ia tidak mungkin mau.

Hatinya menjadi penuh duka cita, penuh kontradiksi. Ia hanya dapat menemukan sedikit ketenangan dalam arak. Setelah lima hari lima malam minum, akhirnya ia mengambil keputusan bulat. Keputusan yang paling pahit seumur hidupnya.

Ia memutuskan untuk membiarkan Lim Si-im meninggalkannya.

Ia harus memberikan jalan bagi Lim Si-im dan Liong Siau-hun untuk bertemu.

Ia mulai hidup tidak karuan. Walaupun Lim Si-im membujuknya untuk berubah, ia hanya tertawa saja. Bahkan membawa dua pelacur terkenal pulang ke rumah.

Setelah dua tahun, hati Lim Si-im akhirnya hancur luluh. Seluruh impiannya hancur berantakan. Rencana Li Sun-Hoan telah berhasil. Namun kemenangannya dipenuhi dengan kesedihan, dan rasa sakit bukan kepalang. Bagaimana mungkin dia dapat terus berada di sana dan terus melihat bunga Bwe itu?

Maka diberikannya seluruh rumah dan isinya sebagai hadiah pernikahan mereka. Lalu ia pergi sendirian. Telah diputuskannya, tak akan pernah ditemuinya Lim Si-im lagi.

Namun sekarang, ia telah melukai anak tunggal mereka.

Li Sun-Hoan menelan kenangan pahit ini, dan menelan air matanya. Ia bangkit berdiri dan berkata, “Di mana Liong-siya? Aku ikut engkau untuk menemuinya.”

Plakat bertuliskan ‘Li-wan (Taman Li)’ kini berganti menjadi ‘Hin-hun-ceng (perkampungan Hun berjaya)’. Namun tulisan di sebelah kiri kanannya masih terpampang.

‘Satu keluarga, tujuh kelulusan ujian (Cinsu)’ ‘Ayah anak, ketiganya menjadi Tamhoa’
Li Sun-Hoan memandangi tulisan ini, seakan-akan seseorang menendang perutnya.

Pah Eng telah menggendong Ang-hai-ji masuk. Cin Hau- gi pun menarik Bwe-jisiansing bersamanya. Namun orang-orang di sana menatap Li Sun-Hoan. Mereka semua heran mengapa orang asing ini memandangi tempat ini begitu rupa?
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

1 komentar

  1. Good