Si Pisau Terbang Li Bab 03 : Mustika yang Menggoyahkan Hati Manusia

 
Bab 03. Mustika yang Menggoyahkan Hati Manusia

Li Sun-Hoan memandang sekali lagi. Leher ‘Singa Emas’ telah ditusuk!

Namun badannya masih berdiri tegak! Artinya, siapa pun pembunuhnya, ia memiliki keahlian pedang yang tinggi. Ketepatannya! Kecepatannya!

Setelah pedang si pembunuh menembus leher ‘Singa Emas’, ia segera menariknya kembali, tanpa sedikit pun tenaga tambahan.

‘Singa Emas’ terlihat sedang siaga, bahkan sampai setelah pedang itu menembus lehernya, ia tidak bergerak sama sekali. Tubuhnya terkesan santai.

Bukan main cepatnya pedang itu! Li Sun-Hoan sungguh terkejut. Ia tahu, ‘Singa Emas’ sudah terkenal lebih dari 20 tahun, dan tidak pernah terlibat persoalan besar. Jasa ekspedisinya pun sangat terkenal. Ini menandakan bahwa ia patut dikagumi. Akan tetapi, tanpa bisa memberi perlawanan, seseorang berhasil menusukkan pedang ke lehernya.

Menusukkan pedang pada boneka kayu, menariknya kembali, dan menjaga boneka kayu itu tetap berdiri saja adalah sangat sulit.

Li Sun-Hoan berputar dan masuk ke dalam warung. Hanya ada satu meja yang berisi mangkuk-mangkuk makanan. Tapi makanan itu belum disentuh sama sekali. Demikian juga araknya.

Keempat murid Ngo-tok-tongcu (Si Anak 5 Racun) juga telah menjadi mayat!

Kepala mereka mengarah ke luar, dan kaki ke arah dalam. Wajah mereka penuh keceriaan. Mereka pun mati dengan tusukan sebilah pedang di tenggorokan!

Lalu dilihatnya Ki-jisiansing di sudut ruangan. Tangannya memegang erat sebuah senjata rahasia.

Namun sebelum ia sempat menyambitkannya, ia pun mati dengan tusukan pedang di lehernya.

Li Sun-Hoan tidak tahu apakah ia harus merasa kaget atau senang. Ia hanya bisa menggumam, “Pedang yang sangat, sangat cepat.” Jika ini terjadi dua hari yang lalu, ia tidak akan tahu siapakah orang yang memilki keahlian pedang semacam ini. Dulu memang ada ahli pedang dengan julukan Soat- eng-cu (Si Elang Salju). Ia dianggap nomor satu di dunia persilatan. Memang ia memliki ketepatan dan kecepatan, tapi yang jelas ia tidak telengas seperti ini. Di samping itu, ia sudah lama mengundurkan diri dan tidak mungkin datang ke tempat ini hari ini.

Jago-jago silat masa lalu, seperti Sim Long, Him Mau-ji, Ong Lian-hoa, mereka semua dikabarkan sudah mati atau telah mengundurkan diri. Dan lagi, tak ada di antara mereka yang jago pedang!

Selain orang-orang ini, Li Sun-Hoan tidak tahu siapa lagi yang memiliki keahlian semacam ini, sampai hari ini. Hari ini ia tahu.

Orang itu tak lain adalah anak muda yang misterius dan penyendiri, A Fei!

Li Sun-Hoan memejamkan matanya, membayangkan bagaimana A Fei masuk ke ruangan ini. Keempat ‘anak’ itu pasti mengerubunginya. Namun sebelum mereka bisa bergerak, pedang A Fei – cepat bagai kilat dan mematikan bagai ular – telah menembus leher mereka.

Ki-jisiansing masih berdiri di samping, menunggu saat yang tepat untuk menyambitkan senjata rahasianya. Ia memang terkenal ahli meringankan tubuh dan senjata rahasia. Li Sun-Hoan menghela nafas. “Mainan. Seseorang berkata pedangnya adalah mainan.”

Tiba-tiba matanya tertuju ke dinding. Ia melihat ada huruf-huruf terukir di sana.

“Kau membunuh Cukat Liu untukku. Aku membunuh mereka untukmu. Aku tidak lagi berhutang padamu. Aku tahu tidak baik untuk berhutang!”

“Aku hanya membunuh satu orang untukmu. Namun kau bunuh enam untukku. Kau tahu seseorang tak boleh berhutang. Lalu mengapa kau buat aku berhutang padamu?” gumam Li Sun-Hoan. Lalu ia terus membaca.

“Walaupun kubunuh lebih banyak orang untukmu, situasinya berbeda. Satu orang yang kau bunuh, sama dengan enam yang kubunuh. Jadi kau tidak berhutang padaku.”

Mau tidak mau, Li Sun-Hoan tergelak. “Caramu menghitung memang tidak pandai. Jangan sampai kau punya usaha dagang di kemudian hari.”

Di dinding juga ada tanda panah menunjuk ke ruang dalam. Li Sun-Hoan bergerak ke arah anak panah itu. Waktu ia masuk ke dalam ruangan itu, tiba-tiba sebilah pedang menyambutnya! Sebilah pedang yang mengkilat, dengan ujung pedang mengarah ke dadanya!

Orang yang memegang pedang adalah seorang tua. Jenggotnya tidak panjang, namun kerut-merut terlukis di seluruh wajahnya. Ia menudingkan pedangnya dan berseru, “Siapa kau?”

Ia ingin membentak lebih keras, namun tidak bisa karena ia gemetaran.

Li Sun-Hoan segera mengenalinya. Ia tersenyum. “Tak ingatkah kau padaku?”

Orang tua itu menggelengkan kepalanya.

Kata Li Sun-Hoan, “Tapi aku ingat engkau. Kau pemilik warung ini kan? Sepuluh tahun yang lalu aku datang beberapa kali untuk minum arak.”

Mata orang tua itu tidak lagi menyelidik, tapi pedangnya masih menuding ke dada Li Sun-Hoan. “Siapa namamu?”

“Sheku Li.”

Orang tua itu lalu menghembuskan nafas lega. Pedangnya jatuh berdentang ke lantai. “Jadi kau adalah Li… Li Tamhoa. Aku sedang menunggumu.”

“Menungguku?”

Sahut orang tua itu, “Seorang anak muda yang gagah datang ke sini dan membunuhi orang-orang jahat. Ia membiarkan aku hidup. Ia mengatakan kau akan berkunjung. Ia ingin aku menyerahkan seseorang kepadamu. Kalau tidak, ia akan membunuhku.”

“Di mana orang itu?” “Di dapur.”

Dapur itu cukup luas. Dan sangat bersih. Ada seseorang di sana, terikat pada sebuah kursi. Orang itu kecil kurus, dan tampak bulu-bulu keluar dari telinganya.”

Li Sun-Hoan sudah tahu bahwa A Fei pasti membiarkan orang itu hidup untuk diinterogasi. Namun orang ini sungguh terkejut melihat Li Sun-Hoan. Mukanya langsung memucat, tapi tak bisa bicara. Memang A Fei telah mengikatnya kuat-kuat dan menyumpal mulutnya dengan kain.

Ia takut orang ini berusaha menakut-nakuti atau berusaha menyuap si orang tua. Saat itu Li Sun-Hoan baru menyadari bahwa A Fei sangat teliti.

Namun mengapa tak ditotoknya saja orang itu?

Pisau Li Sun-Hoan berkilat, dan sekejap saja kain yang menyumpal mulut orang itu telah lepas. Orang itu hampir pingsan.

Ia ingin memohon belas kasihan, namun mulutnya sangat kering, ia tidak bisa bicara.

Li Sun-Hoan pun tidak memaksanya. Ia duduk, dan meminta orang tua itu membawakan araknya yang terbaik.

“Namamu?” Wajah orang itu kini tampak kuning. Ia berusaha membasahi bibirnya dengan lidahnya, dan menjawab dengan tergagap, “Cayhe Ang Han-bin.”

Kata Li Sun-Hoan, “Aku tahu kau bisa minum. Ini minumlah secawan.”

Ia memutuskan tali belenggu orang itu, dan menyorongkan cawan arak padanya. Orang itu sungguh tercengang. Ia takut untuk menerimanya, tapi takut juga untuk menolaknya.

Li Sun-Hoan tertawa. “Jika ada orang menawariku arak, takkan pernah kutolak.”

Ang Han-bin menerima cawan itu. Tangannya masih gemetaran. Akhirnya diminumnya cawan itu.
Setengahnya tumpah membasahi bajunya.

Li Sun-Hoan mengeluh. “Sayang sekali. Jikalau kau meniru aku, berlatih mengukir dengan pisau, tanganmu tak akan gemetar. Mengukir kayu membuat seseorang menjadi tenang dan stabil. Ini rahasia kecilku.”

Lalu dituangnya lagi arak ke dua cawan, dan sambil tertawa berkata, “Ingatlah, jangan menyia-nyiakan arak yang lezat.”

Kali ini Ang Han-bin menyambut cawan itu dengan kedua tangannya. Takut menumpahkannya lagi, ia minum seluruhnya sekali teguk.” Kata Li Sun-Hoan, “Bagus sekali. Aku tidak tahu banyak hal dalam hidup ini, tapi aku telah memberitahukan kepadamu dua pelajaran yang berharga. Bagaimana kau akan berterima kasih padaku?”

Jawab Ang Han-bin, “A..aku…”

Lalu kata Li Sun-Hoan, “Kau tak perlu berbuat apa-apa. Berikan saja barang itu padaku dan aku akan merasa puas.”

Ang Han-bin menarik nafas, “Barang apa?” Sahut Li Sun-Hoan, “Kau tidak tahu?”
Ang Han-bin memaksakan untuk tersenyum, “Aku sungguh-sungguh tidak tahu.”

Li Sun-Hoan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kupikir orang menjadi lebih jujur setelah mereka minum. Kau sungguh-sungguh mengecewakanku.”

Ang Han-bin hanya bisa tersenyum kecut, “Tuan L…Li, pastilah ada kesalahpahaman. Saya benar-benar tidak tahu.”

Wajah Li Sun-Hoan menegang. “Kau minum arakku, lalu kau tipu aku? Kembalikan arakku sekarang juga.”

Jawab Ang Han-bin, “Baiklah. Aku akan pergi membeli arak.” Li Sun-Hoan berkata, “Aku ingin dua cawan yang sudah kau minum, bukan arak yang kau beli.”

Ang Han-bin berusaha tenang, ia menyeka keringat dengan lengan bajunya, lalu berkata terputus-putus, “Ta..tapi, arak itu sudah ada dalam perutku. Bagaimana aku mengembalikannya?”

Jawab Li Sun-Hoan, “Gampang saja.”

Pisau itu berkilat lagi, dan tiba-tiba ujungnya telah sampai di depan perut Ang Han-bin.

Tambahnya dengan dingin, “Karena arak itu sudah ada dalam perutmu, tinggal kubuka saja untuk mengambilnya kembali.”

Wajah Ang Han-bin menjadi putih seperti kertas, tapi ia masih memaksakan diri untuk tersenyum. “Li-tayhiap, mengapa kau berkelakar?”

Li Sun-Hoan menjawab tajam, “Apakah aku kelihatan sedang bercanda?”

Ditekannya pisau itu sedikit ke perut Ang Han-bin, dan darah keluar sedikit.

Karena hanya pengecut yang biasa berbohong, dan waktu pengecut melihat darahnya sendiri ia akan berkata-kata dengan jujur. Wajah Ang Han-bin masih tersenyum, seakan-akan ia tidak merasa sakit sedikitpun. Mata Li Sun-Hoan berkedip, dan tangannya berhenti menekan. Pengecut ini ternyata tidak bisa diancam dengan pisau, namun Li Sun-Hoan tidak memperlihatkan kekagetannya.

Sebaliknya ia tersenyum dan berkata, “Kau telah masuk dalam dunia persilatan cukup lama, bukan?”

Ang Han-bin tidak menyangka akan pertanyaan itu. Ia meneguhkan hatinya dan menjawab dengan senyum, “20 tahun sudah.”

Lalu kata Li Sun-Hoan, “Jadi kau pasti tahu ada beberapa mustika di dunia ini yang diketahui banyak orang, tapi hanya sedikit yang pernah melihatnya. Salah satunya….”

Ditatapnya Ang Han-bin lekat-lekat, dan dilanjutkan kalimatnya perlahan-lahan, “ialah Kim-si-kah . Katanya baju ini tidak tembus senjata, dan tak dapat terbakar. Karena kau sudah berkecimpung selama 20 tahun, pastilah kau pernah mendengarnya.”

Wajah Ang Han-bin kini tampak seperti kain pel. Ia segera melompat, hendak melarikan diri.

Gerakannya sangat gesit, dalam sekejap saja ia telah sampai di pintu. Hanya saja, waktu ia hendak keluar, Li Sun-Hoan menghadangnya.

Ang Han-bin mengertakkan giginya, berbalik dan menghunus tombak rantai peraknya. Bagai ular, tombak itu menyerang ke arah Li Sun-Hoan. Mungkin sudah 20-30 tahun ia melatih ilmu tombak ini. Waktu ia memainkan jurus ini, rantai peraknya menjadi lurus, menggulung angin dan menyambar ke arah tenggorokan Li Sun-Hoan.

Terdengar bunyi ‘Tang’. Li Sun-Hoan hanya mengangkat tangannya yang masih memegang cawan arak, dan menggunakan cawan itu untuk menangkis ujung tombak.

Tombak itu tidak memecahkan cawan.

Li Sun-Hoan tersenyum dan berkata, “Jika ada seseorang yang berusaha membujukku untuk berhenti minum, akan kutunjukkan padanya keuntungan minum arak. Dan bahwa cawan arak pernah menyelamatkan jiwaku.”

Ang Han-bin berdiri mematung. Keringat bertetesan di wajahnya bagai air hujan.

Kata Li Sun-Hoan, “Jika kau tidak ingin bertempur lagi, tanggalkan Kim-si-kah itu. Anggaplah itu pembayaran atas dua cawan arak.”

Ang Han-bin bertanya, “Kau sungguh-sungguh menginginkannya?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku bukannya menginginkan barang itu. Kau telah mencurinya di depan hidungku. Ini berarti kau memang punya keahlian. Tapi tak seharusnya kau membual dan mengatakan pada orang lain bahwa akulah pencurinya. Aku tidak suka difitnah.” “Kau benar. Aku memang mengambil barang itu. Dan barang itu memang Kim-si-kah . Tapi, tapi…”

Ia sangat gelisah, sampai-sampai air matanya pun mengalir.

Li Sun-Hoan berkata, “Kim-si-kah adalah mustika yang memberi perLindungan. Apa kegunaannya bagimu? Aku dapat membunuhmu dengan satu sambitan. Mengapa kau menghabiskan tenagamu untuk mempertahankannya?”

Lanjutnya lagi, “Ini bukanlah barang yang seharusnya kau miliki. Jikalau kau berikan barang ini padaku, mungkin kau dapat hidup beberapa tahun lagi.”

Jawab Ang Han-bin, “Aku pun tahu aku tidak cukup berharga untuk mustika itu. Namun aku tidak mengambilnya untuk diriku sendiri.”

Li Sun-Hoan terkejut, “Jadi kau mencurinya untuk orang lain? Siapakah dia?”

Ang Han-bin menggigit bibirnya. Saking kerasnya, sampai darah keluar.

Li Sun-Hoan berkata dengan tenang, “Aku punya macam- macam cara untuk memaksa orang berbicara, namun aku tak suka cara-cara itu. Jadi aku sungguh berharap kau tidak memaksaku untuk menggunakannya.”

Akhirnya Ang Han-bin menghembuskan nafas. “Baik. Aku akan bicara.” Kata Li Sun-Hoan, “Lebih baik kau mulai dari awal.”

Ang Han-bin mulai bicara. “Pernahkah kau dengar Sin- thau (MaLing Sakti) Te Ngo? Ia bukan siapa-siapa, jadi mungkin Li-tayhiap tidak tahu.”

Li Sun-Hoan tertawa. “Aku tahu dia, bahkan mengenalnya cukup akrab. Ilmu meringankan tubuh dan jurus-jurus kungfunya cukup hebat. Lagian dia juga suka minum.”

Lanjut Ang Han-bin, “Kim-si-kah (Rompi Benang Emas) ini dicurinya dari suatu tempat.”

“O ya? Lalu bagaimana bisa sampai padamu?”

Jawab Ang Han-bin, “Ia dan Cukat Liu adalah sahabat karib. Kami berjumpa dengan dia beberapa waktu lalu dan minum bersama. Waktu dia mabuk berat, ia keluarkan rompi itu untuk pamer. Cukat Liu sungguh iri hati, dan….”

Wajah Li Sun-Hoan mengeras. “Kalian bisa melakukan hal serendah itu, tapi mengapa tak berani mengakuinya?”

Ang Han-bin menundukkan kepala. “Te Ngo tahu bahwa semua orang di dunia persilatan menginginkan Kim-si- kah ini. Seharusnya ia tidak mabuk.”

Li Sun-Hoan menyahut dingin, “Bukannya dia tidak seharusnya mabuk. Seharusnya dia tidak berkawan dengan orang yang salah.” Wajah Ang Han-bin yang pucat bersemu merah.

Kata Li Sun-Hoan, “Kim-si-kah ini dikabarkan sebagai satu dari ‘Tiga Mustika Dunia Persilatan’. Tapi sebenarnya fungsinya tidak banyak. Mungkin hanya berguna sewaktu dua jago silat bertempur. Orang biasa yang memilikinya, lebih mungkin mati karena barang ini. Jadi, aku tak bisa mengerti mengapa orang sangat menginginkannya. Pasti ada alasan lain, bukan?”

Jawab Ang Han-bin. “Ya, ada satu rahasia. Namun rahasia ini bukan rahasia lagi, karena….”

Sampai di situ, pemilik warung membawa masuk dua botol arak. Katanya sambil tersenyum, “Ini adalah arak yang istimewa. Pembesar Tamhoa sebaiknya minum secawan sebelum melanjutkan.”

Li Sun-Hoan tersenyum pahit. “Jika kau ingin aku sering datang ke sini, jangan kau panggil aku seperti itu. Tiap kali aku mendengarnya, aku kehilangan selera minum.”

Cawan arak masih ada di tangannya. Ia tuang arak itu secawan penuh. Tercium bau harum arak, dan suasana hatinya pun membaik. Pujinya, “Sungguh arak istimewa.”

Ia minum arak, dan mulai batuk-batuk.

Orang tua itu menarik kursi untuk Li Sun-Hoan duduk. Katanya, “Batuk itu buruk untuk kesehatan. Hati-hatilah.”

Orang tua itu tersenyum dan melanjutkan bicaranya, “Akan tetapi, arak ini cocok sekali untuk menyembuhkan batuk. Jika kau meminumnya, kujamin kau tak akan batuk lagi.”

Li Sun-Hoan tertawa, “Jika arak dapat menyembuhkan batuk, itu baik sekali. Mengapa kau tak minum secawan juga?”

Kata orang tua itu, “Aku tidak minum arak.”

Li Sun-Hoan bertanya, “Kenapa? Penjual pangsit lebih suka makan bakpao. Jadi penjual arak lebih suka minum air putih?”

Jawab orang tua itu, “Biasanya aku minum satu dua cawan. Tapi aku tidak bisa minum arak ini.”

Tiba-tiba matanya bersinar licik.

Li Sun-Hoan pura-pura tidak melihat. Ia terus tersenyum dan bertanya, “Mengapa?”

Mata orang tua itu terpaku pada pisau di tangannya, dan berkata, “Karena jika aku minum arak itu dan menggunakan sedikit tenaga, aku akan mati keracunan.”

Lidah Li Sun-Hoan kelu.

Namun Ang Han-bin menjadi gembira, “Tak kusangka kau mau menolongku. Akan kuberi kau hadiah yang besar nanti.”

Orang tua itu menjawabnya dingin, “Tak usah kau berterima kasih padaku.” Perangai Ang Han-bin berubah, walaupun senyumannya tidak hilang. “Cianpwe, kau sungguh pandai menyembunyikan jati dirimu. Kurasa kau juga menginginkan….”

Saat berbicara, dihunusnya tombak rantai peraknya.

Tubuh kecil orang tua itu tiba-tiba bertambah tinggi satu kaki. Diputarnya tangan kirinya dan ditangkapnya ujung tombak itu. Bentaknya, “Kau pikir kau cukup hebat untuk bertarung denganku?”

Orang tua penakut ini dalam sekedipan mata telah berubah menjadi orang lain. Wajahnya pun menjadi bercahaya.

Ang Han-bin melihat wajahnya yang aneh, dan teringat pada seseorang. Ia langsung mulai memelas. “Cianpwe, jangan ambil nyawaku. Aku tidak mengenali Cianpwe sebagai…”

Tapi ia terlambat. Kepalan kanan si orang tua telah tertuju padanya. Setelah terdengar suara ‘Bang’, tubuh Ang Han-bin mencelat ke atas, dan rantai di tangannya putus menjadi dua. Darah langsung mengalir waktu tubuhnya menghantam tembok.

Kekuatan pukulan ini sungguh luar biasa.

Li Sun-Hoan menghela nafas dan menggelengkan kepalanya. “Sudah kukatakan. Dengan memilki Kim-si- kah ini, kau akan mati lebih cepat.” Orang tua itu melempar tombak yang tinggal separuh itu ke lantai, lalu memandangi tubuh Ang Han-bing. Kerut- merutnya muncul lagi.

Kata Li Sun-Hoan, “Kau sudah tidak membunuh selama 20 tahun, bukan?”

Orang itu memandangnya dan berkata, “Tapi aku belum lupa caranya.”

Li Sun-Hoan bertanya, “Apakah harus membunuh untuk hal semacam ini?”

Jawab orang tua itu, “Dua puluh tahun yang lalu, aku tidak butuh alasan untuk membunuh.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Namun dua puluh tahun telah lewat. Bersembunyi selama dua puluh tahun tidaklah mudah.
Mengumbar identitasmu hanya untuk ini, sungguh disayangkan.”

Orang tua itu bertanya, “Jadi kau tahu siapa aku?”

Li Sun-Hoan tertawa. “Kau seharusnya tidak lupa. Dua puluh tahun yang lalu Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe sangatlah terkenal. Namun ia berani membawa lari istri kepala Perserikatan 72 Pelabuhan Daerah Selatan (Kanglam).
Keberanian semacam ini patut dikagumi.”

Kata orang tua itu, “Bahkan dalam keadaanmu seperti ini, kau masih sanggup bicara semacam itu.” Sahut Li Sun-Hoan lagi, “Jangan berpikir aku sok pintar. Seorang laki-laki yang berani mempertaruhkan nyawa demi wanita yang dicintainya patut dianggap laki-laki sejati. Selama ini aku sangat menghormati engkau. Tapi sekarang….”

Ia menggeleng-gelengkan kepalanya. “sekarang aku sangat kecewa, karena kupikir kau bukanlah orang yang licik. Kau hanya berani meracuniku. Tak berani menantangku bertarung.”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memandang padanya sesaat. Sebelum ia berbicara, terdengar tawa seorang yang lain, katanya, “Kau tak boleh menyalahkan dia. Mengenai ilmu racun, ia tidak tahu apa-apa.”

Suara ini milik seorang wanita. Merdu sekali.

Li Sun-Hoan tertawa. “Kau benar. Aku harusnya sudah tahu bahwa ini adalah buah karya Jiang-wi Hujin. Li Sun- Hoan sungguh merasa puas dapat mati di tangan seorang ratu kecantikan dari dua puluh tahun silam.”

Suara itu terkikik saat berkata, “Dasar perayu. Jika aku bertemu engkau dua puluh tahun yang lalu, mungkin aku takkan melarikan diri dengan dia.”

Sambil tertawa ia keluar.

Setelah dua puluh tahun, ia tidak tampak terlalu tua. Matanya masih tetap memikat, giginya putih bersih, namun pinggangnya…. Sebenarnya, tak bisa dikatakan bahwa ia punya pinggang. Bentuk tubuhnya seperti gentong.

Reaksi Li Sun-Hoan seperti baru saja menelan sebutir telur bulat-bulat.

Jadi inikah Jiang-wi Hujin? Ia tak bisa mempercayai penglihatannya.

Jiang-wi Hujin mengenakan mantel warna merah. Parfumnya dapat tercium dari jarak satu kilometer.

Ia memandang Li Sun-Hoan sambil tertawa manis dan berkata, “Betapa gagahnya Li-Tamhoa. Tak heran kau begitu terkenal. Aku belum pernah bertemu dengan orang segagah engkau dalam dua puluh tahun belakangan. Namun dua puluh tahun yang lalu…”

Ia menghela nafas sebelum melanjutkan, “dua puluh tahun yang lalu aku hidup bergelimang harta. Orang- orang muda yang gagah memohon-mohon untuk berkencan denganku. Jika mereka dapat memandangku dan bercakap-cakap semenit saja, mereka merasa bagaikan di awang-awang. Kalau kau tidak percaya, tanya saja dia.”

Wajah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terlihat muram, ia tidak ingin bicara.

Li Sun-Hoan memandang leher Jiang-wi Hujin dan lemak yang menggelambir, lalu menoleh pada Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe dan merasa sedikit kasihan. Ia baru tahu bahwa hidup laki-laki ini dalam dua puluh tahun terakhir tidaklah bahagia.

Jiang-wi Hujin mengeluh lagi. “Namun dua puluh tahun ini sangat berat bagiku. Aku harus terus bersembunyi dalam kamar yang sumpek, karena takut keluar. Aku sangat menyesal lari dengan si tolol ini.”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe juga mengeluh. “Siapa di sini yang tidak menyesal?”

Jiang-wi Hujin membanting kakinya dan berteriak, “Apa katamu? Ulangi lagi kalau berani! Wanita terhormat seperti aku merelakan kedudukannya yang nyaman untuk tinggal di gubug reyot denganmu. Seorang ratu kecantikan, telah kau rusak sampai seperti ini. Dan kau masih berani bilang kau menyesal?”

Hidung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe seakan-akan keluar asap, namun ia diam saja.

Jiang-wi Hujin kemudian berkata lagi, “Li-Tamhoa, katakan padaku apakah laki-laki ini punya hati? Kalau aku tahu akan jadi begini, aku lebih baik sudah bunuh diri.”

Ia mengejap-ngejapkan matanya, tapi sayang air mata tak bisa keluar.

Li Sun-Hoan tersenyum, “Tapi untungnya nyonya tidak mati. Kalau tidak, aku pasti menyesal telah hidup.”

Jiang-wi Hujin tersenyum bangga, “Kau begitu ingin bertemu denganku?” Sahut Li Sun-Hoan, “Tentu saja. Di mana dapat kutemukan kecantikan yang begini gemuk?”

Wajah Jiang-wi Hujin memucat, namun Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tak bisa menahan gelak tawanya.

Kata Li Sun-Hoan lagi, “Sesungguhnya nyonya pun tak memerlukan Kim-si-kah . Karena sekali pun kau dipotong menjadi dua, rompi itu tak akan muat.”

Jiang-wi Hujin menggertakkan giginya dan berkata, “Aku sebaiknya tidak membuatmu mati perlahan-lahan.”

Ia mencabut sebatang jarum yang amat tipis dari sela- sela rambutnya dan berjalan ke arah Li Sun-Hoan. Li Sun-Hoan tetap duduk, tidak bergerak.

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lalu berkata, “Kita kan sudah mendapatkan rompi itu, mari kita pergi saja. Kenapa kita harus mengurusi dia?”

Jiang-wi Hujin membentak, “Kau tidak usah mencampuri urusanku!”

Li Sun-Hoan benar-benar tak sanggup bergerak, ia hanya bisa menatap si nyonya.

Siapa sangka, pada saat jarum itu hendak menembus mata Li Sun-Hoan, tiba-tiba Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menendang dari belakang. Begitu keras, sampai si nyonya terpental ke langit-langit.

Waktu ia jatuh lagi ke tanah, ia sudah hampir mati. Li Sun-Hoan sungguh terperanjat. Ia tak bisa tidak bertanya, “Kau membunuhnya demi aku?”

Dengan marah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menjawab, “Dua puluh tahun sudah aku harus menahan diri mendengar ocehannya. Aku hampir gila. Kalau aku tidak membunuhnya sekarang, mungkin setengah tahun lagi, akulah yang akan mati.”

Kata Li Sun-Hoan, “Bukankah ini yang kau inginkan? Tak ingatkah kau dua puluh tahun silam….”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe memotongnya, “Kau kira akulah yang merayunya?”

“Jadi bukan kau?”

“Waktu aku bertemu dengannya, aku sungguh tidak tahu bahwa ia adalah istri Nyo si jenggot. Makanya aku mau….”

Dua kali ia menghela nafas panjang, lalu melanjutkan, “Siapa yang menyangka bahwa sebetulnya dialah yang memaksa aku membawanya pergi. Saat itu, Nyo si jenggot telah mengutus 20 jago-jago silat ke tempatku. Aku harus pergi.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Setidaknya ia mencintaimu. Kalau tidak mengapa ia melakukannya?”

“Cinta padaku? Hei, hei.” Dikertakkan giginya sambil tertawa sumbang. “Sesudah itu, baru aku tahu bahwa ia memanfaatkan aku.
Ternyata, waktu suaminya pergi untuk urusan bisnis, ia mempunyai kekasih gelap, dan melahirkan anaknya. Ia tidak tahu bagaimana harus mengaku pada suaminya, jadi ia mengambil uang dan melarikan diri dengan kekasihnya.”

Li Sun-Hoan terkejut, “Masa iya? Sepertinya masih ada lagi lanjutannya.”

Sambung Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Lalu siapa sangka kekasihnya itu mencuri perhiasan yang dibawa si nyonya, lalu kabur begitu saja? Ia tidak mendapatkan lelaki itu, tidak juga mendapatkan uangnya. Tapi untunglah ia bertemu denganku.”

“Jika kau sudah tahu, mengapa kau tidak membeberkannya?”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa getir, “Waktu aku tahu, semua sudah terlambat. Diucapkannya waktu ia mabuk berat. Aku tak bisa lagi mengatakan apa-apa, sekalipun aku mau.”

“Bagaimana dengan anak itu?” Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe terdiam.
Li Sun-Hoan bertanya lagi, “Setelah kau tahu, kau seharusnya langsung membunuhnya. Apa yang kau tunggu?” Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tetap diam.

Kata Li Sun-Hoan, “Aku kan hampir mati. Mengapa tak kau beritahu padaku?”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe berpikir agak lama, lalu menjawab, “Ada untungnya membuka warung arak. Aku bisa mendengar macam-macam berita. Tahukah kau apa berita yang sedang hangat saat ini?”

Sahut Li Sun-Hoan, “Aku tidak punya warung.”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe menengok ke kiri kanan, seakan- akan takut ada orang yang ikut mendengarkan. Lalu ia berbicara dengan suara kecil, “Tidakkah kau dengar? Dari tiga puluh tahun yang lalu, yang tiada tandingannya
Bwe-hoa-cat beraksi kembali!”

Rasa tertarik Li Sun-Hoan langsung muncul ketika nama Bwe-hoa-cat diucapkan.

Kata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lagi, “Waktu Bwe-hoa-cat merajai dunia persilatan dulu, kau masih sangat kecil. Mungkin kau tidak tahu kehebatannya. Tapi kuberitahu kau sekarang, tidak seorang pun tahu siapa sebenarnya orang ini. Bahkan Pangcu Tiam-jong-pay, si jago pedang nomor wahid saat itu, Go Bun-thian, mati di tangannya.

Orang ini berpindah sangat cepat secara misterius. Go Bun-thian baru saja menurunkan titah untuk membunuhnya, keesokan harinya Go Bun-thian sudah mati. Hanya saja….” Kembali ia menengok kanan kiri. Seakan takut jika Bwe- hoa-cat muncul dari balik punggungnya.

Tapi tak ada seorang pun yang muncul. Bahkan suara salju yang turun ke atas atap dapat terdengar. Barulah Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe lega dan melanjutkan lagi, “di dadanya ada 50 lubang dengan bentuk bunga Bwe. Tiap lubang sangat kecil, seperti lubang jarum. Semua orang tahu ini adalah lambang Bwe-hoa-cat . Tapi tak seorang pun tahu senjata rahasia macam apakah ini, karena tidak seorang pun yang bertempur dengannya masih hidup.
Satu hal yang pasti, ia adalah seorang laki-laki.” “O ya?”
Jawab Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe, “Karena selain menyukai harta benda, ia juga suka memperkosa gadis-gadis.
Semua orang dalam dunia persilatan, golongan putih dan hitam, semua benci padanya, tapi tidak ada seorang pun sanggup mengalahkannya. Setiap kali seseorang berkata ia akan turun tangan, orang itu pasti mati dalam tiga hari. Semuanya dengan tanda itu di dadanya.”

Li Sun-Hoan menegaskan, “Jadi semua orang yang mati di tangannya mendapat tanda itu di dadanya?”

“Ya. Dada adalah perLindungan utama tubuh manusia, namun Bwe-hoa-cat selalu menyerang ke sana, tanpa kecuali. Seolah-olah jika tidak dilakukannya, orang takkan tahu betapa hebatnya dia.”

Maka tertawalah Li Sun-Hoan. “Itulah sebabnya kau pikir dengan memakai rompi itu kau dapat menghadapi Bwe- hoa-cat . Dan dengan menangkapnya, kau bisa kembali terkenal. Semua orang akan berterima kasih padamu.
Dan tidak ada seorang pun yang akan mengungkit masa lalumu.”

Mata Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe bercahaya dan ia berkata, “Katanya, kalau kau dapat menghindar dari serangan pertamanya, kau akan menang.”

Wajahnya penuh kegembiraan dan ia pun melanjutkan, “Karena serangan pertamanya TIDAK PERNAH gagal, ia tidak pernah memikirkan serangan berikutnya. Ia menjadi terbuka untuk diserang balik.”

Sahut Li Sun-Hoan, “Sangat masuk akal.”

Ci-bin-ji-Liong Sun Gwe tertawa senang, “Kalau tidak masuk akal, buat apa orang berlomba-lomba mendapatkan rompi ini.”

Kata Li Sun-Hoan lagi, “Tapi kau sudah menjalani kehidupan yang tenang dua puluh tahun ini. Buat apa terjun lagi ke dunia persilatan?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar