Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 18

 
Jilid-18

Yang dikejar Yap Kay adalah si kakek.

Ginkang kakek ini teramat tinggi, sampaipun Yap Kay, sebetulnya belum tentu bisa mengejarnya.

Tapi gerak-gerik orang kelihatan sedikit kurang leluasa. Mungkinkah karena sebelumnya sudah mengendap luka-

luka yang amat parah?.

Apakah si kakek ini adalah penyamaran Hu-hong alias Puncak Tunggal yang terluka oleh Payung Sengkala Kek Pin?

Kali ini Yap Kay tidak menggunakan pisaunya. Bila tidak saking terpaksa dia tidak akan mau menggunakan pisaunya karena pisaunya tidak khusus untuk membunuh.

Namun Yap Kay sendiripun tidak kalah cepat dan tajamnya dari pisaunya itu. Pisau terbang.

Berurutan tiga kali lompatan turun naik berjarak, dia sudah berhasil mengejar kakek tua itu. Sekali jejak kaki dan badan meluncur tinggi ke depan, terus bersalto sekali, waktu turun lagi dia sudah menghadang di depan si kakek. Si kakek masih ingin menerjang ke jurusan lain, namun entah kenapa badannya tiba-tiba seperti mengejang dan bergemetaran, seakan-akan ada seutas cambuk yang tidak kelihatan melecut ke pundaknya dengan keras sekali.

Roman mukanya sudah dipoles dengan samaran bentuk lain, sudah tentu tidak kelihatan bagaimana mimik perasaannya saat itu. Tapi sorot matanya penuh diliputi derita dan kesakitan, amarah serta kebencian, laksana tajam golok matanya menatap Yap Kay.

Ternyata kali ini Yap Kay tidak tertawa, diapun prihatin. Mungkin dia ingin tertawa, namun tak bisa keluar tawanya. Karena dia sudah kenal siapa orang yang menyamar jadi kaek tua ini.

"Jikalau kau belum terluka, aku terang takkan bisa menyandakmu," kata Yap Kay menghela napas, "memang kenyataan Ginkang-mu tiada bandingannya di seluruh dunia."

Terkepal kencang tinju si kakek, tanyanya: "Kau sudah mengenaliku?"

Yap Kay manggut-manggut, katanya muram: "Jangan lupa, sebetulnya kita kan kawan baik, teman kental."

Kakek tua menyeringai dingin, ejeknya: "Aku tidak punya teman seperti tampangmu."

Dia masih ingin mengepal tinjunya kencang-kencang, membusungkan dada, sayang sekali badannya sudah mengkeret dan lunglai saking menahan kesakitan. Sampai sorot matanya yang tajam tadipun mulai pudar. Umpama kedua matanya itu memang seperti sebatang pisau, namun pisau yang sudah karatan. "Luka-lukamu amat berat," kata Yap Kay. Kakek itu kertak gigi, tidak bersuara.

Yap Kay menghela napas, katanya pula: "Setelah terluka parah, seharusnya tidak perlu kau merendam diri di dalam air panas."

Memang benar, dia sudah mengenali siapa kakek tua ini sebenarnya. Kecuali Hwi-hou si Rase Terbang Nyo Thian, siapa pula yang memiliki Ginkang sehebat itu dan betul- betul membuat Yap Kay takluk?

Seseorang hendak menyembunyikan luka-luka di badannya sendiri, ada tempat mana lagi yang lebih baik daripada berendam di dalam air panas?

Yap Kay berkata pula: "Tapi orang-orang Kang-ouw, siapapun takkan terhindar dari luka-luka, dan luka-luka itu bukannya sesuatu hal yang harus dibuat malu dan takut diketahui orang lain. Kenapa kau mengelabui aku?"

"Karena.............." Nyo Thian tidak kuasa meneruskan kata-katanya.

Apakah karena dia tidak mampu memberi penjelasan? Hakikatnya mulutnya tak kuasa membeber kedok aslinya sendiri?

"Kau mengelabui aku karena kau tentu mengira aku sudah tahu bila Hu-hong sudah terluka dan kau harus mengelabui aku lantaran kau adalah Putala Thian-ong alias Hu-hong si Puncak Tunggal dari Mo Kau."

Badan Nyo Thian mulai gemetar, namun sepatah katapun tak kuasa dia katakan. Apakah karena dia tahu hal yang dituduhkan atas dirinya tak mungkin di sangkal lagi?

Yap Kay menghela napas panjang, ujarnya: "Kepintaranmu selalu kukagumi. Oleh karena itu sungguh aku tidak habis mengerti, orang sepintar kau, kenapa justru sudi masuk anggota Mo Kau?"

Nyo Thian akhirnya mengeluarkan suara. Gelak tawa yang aneh dan tak bisa dilukiskan dengan rangkaian kata-kata.

Kekeh tawanya semakin keras, suaranya berkumandang dan bergema di udara, anehnya badannya malah semakin menyurut kecil, mengkeret menjadi kecil.

Di dalam waktu sekejap itu, seolah-olah dia sudah berubah menjadi seorang kakek tua yang sebenarnya. Begitu gelak tawa itu terputus dan berhenti, maka badannyapun tersungkur roboh.

ooo)dw(ooo

Sinar surya tetap cemerlang, namun Yap Kay sudah tidak merasakan kehangatan sinar surya lagi.

Sudah tentu Nyo Thian lebih tidak merasakan lagi. Dia mati dengan gelak tawanya.

Seseorang bila menjelang ajal masih bisa tertawa, sungguh bukan suatu hal yang gampang dilakukan. Akan tetapi sebetulnya dia tiada alasan untuk tertawa.

Bila rahasia seseorang terbongkar dan ditelanjangi secara terbuka, perduli dia masih hidup atau mau mati, jelas tidak akan bisa tertawa.

Lalu kenapa dia tertawa? Kenapa bisa tertawa? Jari-jari Yap Kay terasa dingin, jidatnya basah oleh keringat, keringat dingin. Terasakan olehnya di sela-sela gelak tawa Nyo Thian tadi, seolah-olah mengandung nada mengejek dan menghina yang aneh. Tapi dia tidak bisa menyelaminya, apa maksud gelak tawanya?

Perduli apa maksudnya, sekarang sudah tiada makna dan sudah tak berarti lagi, setelah orang mati, segala hak miliknyapun ikut lenyap, ikut kematiannya. Dan hanya satu hal saja yang dapat di bawa oleh orang mati, yaitu rahasia.

Apakah Nyo Thian pun membawa rahasia?

Orang mati kadang-kadang juga bisa bicara, cuma cara bicaranya saja yang berlainan.

Apakah diapun bisa mengutarakan rahasianya ini?

Orang hidup bicara dengan mulut, lalu dengan apa orang mati harus bicara?

Menggunakan luka-lukanya.

Luka-luka itu sudah membusuk, yang mengalir keluar dari luka-lukanya adalah darah yang berbau dan berwarna hitam, namun luka-lukanya ini tidak besar.

Jikalau Yap Kay tidak menyaksikan sendiri, sungguh takkan pernah dia mau percaya, luka-luka sebesar lubang jarum ini, ternyata bisa dan mampu merenggut jiwa si Rase Terbang Nyo Thian.

Angin menghembus dingin setajam pisau, namun suasana sepi lengang.

Pisau piranti membunuh bukankah juga tidak pernah mengeluarkan suara? Tapi suara yang didengar Yap Kay adalah langkah kaki yang berlari-lari mendatangi tergopoh-gopoh. Dia tidak berpaling, karena dia tahu siapa yang tengah mendatangi.

Yang mendatangi adalah si nenek yang lari ke jurusan lain tadi.

Pakaian yang dipakainya sekarang sudah tentu bukan baju lengan panjang dan gaun ketat warna hitam itu. Roman mukanya yang putih halus berbentuk bulat telur itu, sekarang sudah berganti corak lain. Hanya sepasang matanya saja yang tetap tidak berubah, sepasang mata nan sipit dinaungi alis lentik. Bila tertawa laksana gantolan yang mampu menggantol hati laki-laki.

Nyo Thian berada di depannya, di bawah kakinya, namun melirikpun dia tidak kepadanya. Dia menatap kepada Yap Kay, seolah-olah dengan tatapan mata tua ini hendak menggantol sukma Yap Kay.

Yap Kay menyingkap lengan baju sang korban lalu berdiri.

Lama sekali baru dia bersuara: "Dia sudah mati!" "Aku dapat melihatnya."

"Apakah dia laki-lakimu?" "Waktu dia masih hidup."

"Laki-lakimu sudah mati, perduli perempuan macam apapun, sedikit banyak pasti sedih hati." Yap Kay kini balas menatapnya. "Tapi kulihat kau sedikit sedihpun tidak."

"Memang aku ini seorang janda. Dia bukan laki-lakiku yang pertama, bukan hanya dia seorang saja orang mati yang pernah kulihat." demikian ujar janda Ong, "peduli kejadian apa, asal sudah biasa, maka hatipun takkan merasa duka lagi."

Walau dia menghela napas, namun siapapun yang mendengar akan tahu di dalam helaan napasnya itu sedikitpun tidak menandakan perasaan dukanya.

Yap Kay tidak bisa bicara apa-apa pula. Sedikitnya apa yang diucapkan memang benar, dan kata-kata yang benar itu biasanya sulit orang untuk mendebatnya.

Tiba-tiba janda Ong balik bertanya: "Kaukah yang membunuhnya?"

"Tentunya kau sudah tahu bahwa dia sudah terluka." "Tapi barusan dia masih segar bugar, kenapa sekarang

tahu-tahu sudah mati?"

"Karena luka-lukanya tidak berat, namun racun yang mengendap di badannya terasa amat parah."

"Oh..", Janda Ong bersuara dalam mulut.

"Walau dia gunakan obat-obatan menekan dan kendalikan kadar racun itu sehingga tidak melebar, tapi karena dia lari tadi, dia harus gunakan tenaga, maka kadar racunnya lantas bekerja dan kumat."

Tiba-tiba janda Ong tertawa dingin, katanya: "Tahukah kau siapa dia sebenarnya?"

Sudah tentu Yap Kay tahu.

"Tahukah kau bukan saja si Rase Terbang Nyo Thian memiliki Ginkang tinggi, malah diapun memiliki kepandaian serba bisa." "Mengobati luka-luka memunahkan racun adalah salah satu keahliannya."

"Tapi sekarang kau justru mengatakan dia mati keracunan?"

"Dalam dunia ini masih ada semacam racun yang tak mungkin dia punahkan, maka kemungkinan saja dia mati keracunan."

"Jadi bukan kau yang membunuhnya?"

"Selamanya aku tidak membunuh temanku sendiri." "Apa benar dia temanmu?"

Yap Kay menghela napas, katanya muram: "Asal dia sehari pernah menjadi temanku, selamanya adalah temanku."

Berputar mata janda Ong, tiba-tiba dia merubah sikap, katanya tertawa genit: "Akupun pernah dengar bahwa kau adalah temannya."

"Memang dia temanku." ujar Yap Kay.

"Tapi akupun ada pernah dengar orang bilang sepatah kata."

"Perkataan apa?"

"Istri teman tak boleh dipermainkan untuk main-main setelah teman mati." Tawanya genit dan matanyapun jeli, bercahaya laksana rembulan. Katanya pula: "Kalau tidak salah, kaupun pernah mengatakan perkataan ini."

Yap Kay tertawa getir. "Sekarang dia sudah meninggal, dan aku masih hidup segar bugar, kau........" Janda Ong tidak melanjutkan perkataannya.

Yap Kay tahu apa maksud perkataannya. Asal laki-laki tentu mengerti apa yang dimaksud.

Lama dia mengawasinya, tiba-tiba berkata: "Pernahkah kau melihat Han Tin?"

Sudah tentu janda Ong pernah melihatnya, katanya dengan tertawa: "Bocah itu sebetulnya juga ada naksir kepadaku, sayang begitu melihat dia, aku lantas muak."

"Kenapa?"

"Karena hidungnya." Yap Kay tertawa geli.

"Kelihatannya hidungnya itu mirip benar dengan terong yang busuk." kata janda Ong.

Yap Kay tersenyum, tanyanya: "Tahukah kau kenapa hidungnya itu berubah begitu jelek?"

"Apakah dipukul orang?" "Betul!"

"Kau tahu siapa yang memukulnya?"

"Bukan saja tahu, malah aku tahu jauh lebih jelas dari orang lain."

Janda Ong sudah mengerti, katanya tersenyum manis: "Tentu kaulah yang memukulnya sampai pesek, benar tidak?" "Benar!," ujar Yap Kay, "oleh karena itu, lebih baik kau lekas menyingkir, bawa jenazah laki-lakimu ini, kebumikan secara baik-baik."

Janda Ong merasa amat di luar dugaan, katanya: "Kau mengusirku? Kenapa?"

"Karena tanganku sedang gatal, kalau kau tidak lekas menyingkir, aku berani tanggung, cepat sekali hidungmu akan bisa ku rubah menjadi penyok seperti hidungnya Han Tin itu."

Seperti dikemplang muka janda Ong. Sesaat dia kemekmek melongo, tanpa bicara lagi. Agaknya dia cukup tahu diri, tersipu-sipu dia angkat badan Nyo Thian terus menyingkir.

Setelah orang memasukkan jenazah Nyo Thian ke dalam kereta dan mencongklangnya pergi, baru Yap Kay putar balik ke arah datangnya semula.

Langkahnya amat lambat. Di kala otaknya berpikir, biasanya dia berjalan pelan-pelan.

Keluar dari gang sempit itu, akhirnya dia tiba di jalan besar, di depan masih berkerumun banyak orang, mengerumuni sebuah kereta bobrok.

Song Lopan sudah mati di atas kereta, badannya hanya dilubangi oleh luka-luka sebesar jarum. Luka-lukanya tepat di tengah-tengah kedua alisnya.

Yap Kay mendesak ke tengah kerumunan orang, sebentar saja dia memeriksa, lalu mendesak keluar pula. Ternyata sedikitpun tidak terunjuk rasa kejut di mukanya, seakan- akan kejadia ini memang sudah berada dalam dugaannya. Akhirnya dia melangkah balik ke Wan-ping-bun.

Raksasa itupun sudah mati, sama-sama hanya terluka kecil sebesar jarum di tengah-tengah jidatnya. Luka-luka hanya sebesar jarum, namun si raksasa laksana menara ini mampu dibikinnya tak berkutik dan melayang jiwanya.

Orang-orang yang berkerumun menyaksikan kematian si raksasa ini lebih banyak.

Baru saja Yap Kay hendak menyingkir diam-diam, mendadak seseorang merenggut bajunya, katanya menyeringai dingin: "Kau tidak lolos lagi."

ooo)dw(ooo

Seseorang perduli pernah tidak melakukan perbuatan tercela atau melanggar hukum, kalau mendadak dia direnggut bajunya oleh seorang petugas hukum, seorang opas, siapapun pasti akan terkejut.

Orang yang merenggut baju Yap Kay ini adalah seorang opas yang memegang pentung pendek dengan topi beledru yang diberi kuncir merah.

Dari samping ada orang yang berteriak: "Yang berkelahi dengan Song Lopan tadi memang dia. "

"Aku sudah tahu memang dia. "

Opas itu ganti memegang pergelangan tangan Yap Kay, cara pegangnya menggunakan Siau-kim-na-jiu-hoat.

Kata opas tertawa dingin: "Kau menamatkan dua jiwa manusia, masih berani muncul lagi, tidak kecil ya nyalimu!"

Sudah tentu kalau mau Yap Kay gampang saja membebaskan diri dari pegangan tangan orang. Menghadapi ilmu Siau-kim-na-jiu-hoat yang ada 72 jalan itu, sedikitnya dia punya 144 macam cara untuk memecahkannya. Tapi dia tidak berbuat demikian. Dia mandah saja tangannya dipegang. Bukan dia takut menghadapi opas ini, namun dia patuh dan menghormati petugas hukum ini.

Peduli opas ini manusia macam apa, dia tetap sama patuh dan menghormatinya, karena yang dia hormati bukan pribadi opas, namun adalah undang-undang hukum yang diwakili oleh si opas untuk ditegakkan pada jalan yang lurus dan benar. Malah membela diri atau mungkir serta mendebatpun tidak.

Peristiwa serumit ini memang si opas takkan bisa memberi pengertian. Tak mungkin orang paham meski kau menjelaskan sampai ludahmu kering. Hakekatnya Yap Kay memang tidak bisa memberi sangkalan atau penjelasan. Di tempat seramai inipun bukan letaknya untuk dia bicara.

Lekas sekali opas itu sudah mengurusnya naik ke sebuah kereta, bentaknya beringas: "Jiwa manusia menyangkut firman Thian, undang-undang kerajaan harus ditegakkan, umpama kau punya nyali setinggi langit, akupun tak usah kuatir kau takkan mengaku."

Yap Kay menurut saja digusur naik kereta. Setelah kereta bergerak meluncur ke depan, tak tahan baru dia bertanya: "Sebetulnya apa keinginanmu atas diriku?"

"Peduli apa, ku sekap kau lebih dulu." "Lalu bagaimana?"

"Lalu kugunakan ayam muda membikin kaldu dicampur kolesom yang paling baik mutunya. Kubikinkan empat lima macam hidangan untuk teman arak Cu-yap-ceng yang kupanasi. Silahkan kau makan sekenyangmu."

Seketika bersinar kedua biji mata si opas, sorot mata yang senang dan geli, suaranyapun berubah lembut dan halus laksana hembusan angin sepoi-sepoi di musim semi.

Yap Kay menghela napas, katanya getir: "Sekarang terhitung aku sudah mengerti, kiranya kau hendak melolohku sampai mati."

ooo)dw(ooo

Tim ayam yang disedu dengan kolesom masih mengepulkan uap hangat. Enam masakan mengiring makan adalah sepiring daging kepala babi goreng, sepiring saos udang, sepiring ayam Pauhi, sepiring rebung goreng masak Haysom, semangkok sop telur burung dan sepiring sosis babi dicampur tiram goreng. Di samping itu ada pula sebungkus kacang kulit. Cu-yap-ceng ternyata sudah dihangatkan pula.

Bagi orang-orang daerah utara minum arak memang ada seninya. Bukan saja arak kuning harus diseduh baru diminum, demikian pula Cu-yap-ceng yang disuguhkan inipun menirukan cara yang berseni itu.

Tiga cangkir arak masuk perut, seketika pertempuran sengit di malam hari, luka-luka kecil yang mengeluarkan darah kental hitam, seakan-akan sudah terlupakan sama sekali oleh Yap Kay.

Siangkwan Siau-sian mengawasinya sambil bertopang dagu di seberang meja, katanya tertawa lebar: "Untuk meloloh kau sampai mati, agaknya bukan soal gampang." Yap Kay tidak bersuara, mulutnya tidak sempat menjawab.

"Walau cepat sekali kau melalap hidangan ini, namun arak sedikit yang kau minum."

Dengan ujung matanya Yap Kay melirik orang, katanya: "Sebetulnya kau hendak melolohku mati dengan arak  ini atau ingin aku menghabiskan hidanganmu sampai perutku pecah?"

"Sebetulnya aku ingin membuatmu kaget sampai mati," kata Siangkwan Siau-sian, "jelas kau tahu bahwa orang- orang di sekitar kejadian itu sama tahu bahwa barusan kau bertengkar dan berkelahi dengan Song Lopan dan si raksasa, ternyata kau masih berani putar kayun di tempat itu. Kiranya nyalimu memang keliwat besar."

"Kau kuatir aku dikenali orang dan ditangkap serta diserahkan kepada opas?"

"Bagaimana juga daripada terlibat banyak urusan lebih baik kau menghindarinya, kenapa harus mencari kesulitan?"

"Oleh karena itu kau lantas menyibukkan diri menyamar jadi opas pura-pura membekukku?"

"Sebetulnya aku sendiripun rada takut." "Apa yang kau takutkan?"

"Aku takut bila kesamplok dengan opas yang sungguhan."

Yap Kay menghela napas, katanya: "Tak kukira, ada juga sesuatu dalam dunia ini yang masih ditakuti Siangkwan Pangcu." "Memangnya kau kira hanya satu hal itu belaka yang selalu kutakuti?" ujar Siangkwan Siau-sian menghela napas.

"Apa lagi yang kau takuti?"

"Yang jelas akupun takut kepada Yap Pangcu." "Yap Pangcu?"

"Siapakah Yap Pangcu dari Hoa-seng-pang, masakah kau sudah melupakannya?"

Yap Kay tertawa besar, segera dia angkat cangkirnya terus tenggak secangkir penuh. Tiba-tiba dia bertanya: "Menurut pendapatmu, Hoa-seng (kacang) lebih baik atau Kim-ci (uang emas) lebih baik?"

"Aku tidak tahu," sahut Siangkwan Siau-sian, "yang jelas uang seketip cukup untuk membeli banyak kacang."

"Tapi sifat kacang itu sendiri sedikitnya ada yang lebih baik dari uang emas."

"Dalam hal apa kacang lebih baik dari uang emas?" "Kacang boleh dimakan."

Yap Kay menguliti sebutir kacang, terus dilempar ke atas dan dicaplok mulutnya waktu melayang jatuh. Pelan-pelan dikunyahnya, lalu meneguk araknya pula. Katanya: "Jikalau kau bisa mengiring arak dengan uang emasmu, baru aku betul-betul tunduk dan mengakui kau memang hebat."

"Apa yang kau katakan selalu rasanya memang masuk di akal."

"Sudah tentu, memangnya harus disangsikan?" "Sayang kau melupakan satu hal," ujar Siangkwan Siau- sian, "tanpa uang, tiada arak, tak bisa makan kacang."

Sekilas Yap Kay berpikir, akhirnya dia mengakui: "Apa yang kau katakan kedengarannya juga bukannya tidak beralasan."

"Sudah tentu," ujar Siangkwan Siau-sian senang.

"Tapi kaupun melupakan satu hal." ujar Yap Kay, "belum cukup kalau punya uang saja, uang emas itu sendiri belum tentu bisa membikin hidup manusia gembira."

Tanpa pikir Siangkwan Siau-sian lantas mengakui: "Oleh karena itu selama ini aku sedang berusaha mencarinya."

"Mencari apa?"

Siangkwan Siau-sian menatapnya, matanya nan indah selembut alunan air, katanya: "Mencari sesuatu yang benar- benar bisa membuat hatiku gembira."

Dingin suara Yap Kay: "Kecuali uang emas, apa pula yang ada dalam dunia ini bisa membuatmu gembira?"

"Hanya satu saja." "Apakah itu?" "Kacang!"

Yap Kay terloroh-loroh. Kembali dia membuka sebutir kacang, serta berkata tertawa: "Kau kembali melupakan satu hal, bahwa uang emas dan kacang hakikatnya bukan pasangan yang setimpal."

"Bukankah paku dan palu juga bukannya pasangan setimpal?" Yap Kay mengakui dan sepandangan.

"Tapi bilamana mereka berada bersama, semuanya sama- sama senang."

"Sama-sama senang?"

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut.

"Karena tanpa palu, paku itu tidak akan berguna, tiada paku, palu itu sendiripun tidak bisa menunjukkan manfaatnya." dengan tersenyum dia menambahkan: "Jikalau seorang tidak bisa mengembangkan bakat dan manfaat dirinya bagi orang banyak, itu berarti barang rongsokan yang tak berguna lagi. Bukankah barang buangan takkan bisa senang?"

Yap Kay setuju dan dapat menerima perumpamaan ini. "Oleh karena itu mereka hanya bersatu padu baru bisa

sama-sama senang."

Sorot matanya memandang tajam, meneliti mimik muka Yap Kay.

Yap Kay malah melengos menghindari tatapan orang. Dia menyingkir dari kenyataan?

Siangkwan Siau-sian meneruskan: "Aku tahu dalam hatimu pasti juga sudah mengerti, bahwa apa yang ku utarakan seratus persen memang beralasan."

Yap Kay tidak bisa menyangkal.

"Sekarang Tolka, Putala dan Panjapana sudah mati, tiga di antara Su-toa-thian-ong sudah mati. Walaupun rongsokan-rongsokan itu belum seluruhnya dihancurkan, tetap takkan berguna lagi." Kerlingan matanya selembut alunan ombak, kembali berubah setajam paku yang menancap di ulu hati orang. Tapi dia bukannya paku, dia hanyalah sebuah palu.

"Kalau Mo Kau sudah runtuh, di seluruh jagat raya ini, aliran atau golongan mana yang bisa berdiri menandingi kebesaran kita?"

"Kita?" seru Yap Kay melengak.

"Ya, kita!" ujar Siangkwan Siau-sian. Diapun tidak tertawa.

"Sekarang Kim-ci ditambah Hoa-seng, yang dilambangkan di dalam simbol persatuan ini bukan hanya kesenangannya saja."

Yap Kay tengah mengunyah kacang. Kacang biasanya dikunyah orang, sebaliknya kalau paku selalu di palu. Akan tetapi bilamana tiada manusia mengunyah, tetap kacang itu akan membusuk juga, kalau tiada orang yang memalu, paku itu sendiripun akhirnya bisa karatan.

Lalu apakah nilai kehidupan itu? Bukankah kacang memang harus dikunyah oleh orang? Demikian pula bukankah paku pasti harus di palu bila dimanfaatkan manusia? Lalu kehidupan atau manfaat mereka baru bisa berguna secara nyata.

Agaknya hati Yap Kay sudah tergerak dan mulai terbujuk.

Halus lembut suara Siangkwan Siau-sian: "Aku tahu di dalam benakmu pasi beranggapan bahwa aku menginginkan kau menjadi paku." "Memangnya kau tidak berpikir demikian?" tanya Yap Kay.

"Kau tentu bisa melihatnya, bahwa aku bukan sebuah palu yang menakutkan." kata Siangkwan Siau-sian seraya mengulur tangan mengenggam tangan Yap Kay.

Tangannya halus lembut laksana sutra.

Yap Kay menghela napas, katanya: "Kau memang bukan, sayang sekali. "

"Sayang sekali, di antara kacang dan uang emas itu, masih ada sebuah kelintingan?"

Yap Kay hanya menyengir kecut.

"Ting Hun-pin memang seorang gadis yang baik sekali, jikalau aku ini laki-laki, akupun akan mencintainya."

"Tapi kau bukan laki-laki." "Sedikitnya aku tidak membenci dia." "Apa benar?"

Siangkwan Siau-sian tertawa-tawa, katanya tawar: "Jikalau aku membenci dia, kenapa aku membawa kau untuk menemui dia?"

"Lalu kenapa?" tanya Yap Kay menatap muka orang. "Karena aku sekarang  sudah  mengerti,  laki-laki  seperti

dirimu,  bukan  hanya  seorang  perempuan  saja  yang boleh

memilikinya, kau tidak bisa di monopoli seorang perempuan, aku sendiri sudah tiada pengharapan seperti itu."

Tatapannya lebih manis, aleman, katanya pula merdu: "Uang emas bisa digembleng jadi sebuah kelinting, kelinting itupun bisa dipukul gepeng menjadi besi, lalu kenapa aku tidak bisa berubah menjadi satu orang sama dia?"

Yap Kay tetap menyingkir dari tatapan mata orang. "Umpama kata, kau dapat memandangku sama dia menjadi

satu orang, kita pasti bisa memperoleh kesenangan, kalau tidak. ?"

"Kalau tidak bagaimana?" tanya Yap Kay tak tertahan. "Kalau tidak Kim-ci (Uang emas), Hoa-seng (Kacang) dan

Ling-tang (Kelinting) bukan mustahil akhirnya akan sama- sama menderita dan hidup merana sepanjang umurnya."

Akhirnya Yap Kay berpaling mengawasinya.

ooo)dw(ooo Hari sudah mendekati magrib.

Matahari sudah sampai di garis cakrawala, pelan-pelan tapi pasti, sinarnya sudah tidak lagi dapat menembus tabir gelapnya malam yang turun pelahan-lahan, tetapi pasti akan menelan bumi. Dan sinar surya terakhir kali masih menyinari daun jendela itu, memancarkan cahaya kuning nan guram mirip sinar lampu yang terpasang di dalam rumah, hangat laksana di musim semi.

Kerlingan mata Siangkwan Siau-sian justru lebih hangat dan cemerlang dari cahaya surya terakhir menjelang senja ini. Mungkin musim semi adalah dia yang membawanya dtang.

Seorang perempuan yang bisa membawa datangnya musim semi, bukankah merupakan impian bagi setiap laki-laki yang merindukannya? Siangkwan Siau-sian menggigit bibir, katanya: "Gelagatnya belum pernah kau memandangku seperti kali ini."

"Aku. "

"Kau jarang mengawasi aku, maka kau belum jelas mengetahui hakikatnya perempuan macam apa aku ini, dan justru karena kau belum tahu perempuan macam apa sebetulnya aku ini, maka kau jarang mau melihati diriku."

Yap Kay mengakui kebenaran ini.

Kerlingan lembut mata Siangkwan Siau-sian kelihatan muram dan syahdu, katanya: "Aku tahu kau pasti beranggapan bahwa aku ini perempuan yang paling sembarangan, punya dan sering bergaul dengan banyak laki- laki, yang benar.....yang benar, kelak  kau  akan  tahu  sendiri. "

"Tahu apa?", tanya Yap Kay

Tertunduk kepala Siangkwan Siau-sian, katanya lirih: "Kelak kau akan tahu, kau bukan saja adalah laki-lakiku yang pertama, juga laki-lakiku yang terakhir."

Ini jelas bukan membual, seorang perempuan yang pintar, jelas tidak akan sudi membual karena bualannya itu sembarangan waktu mungkin saja terbongkar. Hal ini sekaligus membuktikan bahwa dia memang betul-betul seorang gadis yang cerdik.

Hati Yap Kay yang kukuh keras itu seakan-akan sudah luluh, tanpa sadar dia menggenggam kencang tangannya, katanya halus: "Tak perlu menunggu sampai kelam, sekarang juga aku sudah percaya." Bercahaya mata Siangkwan Siau-sian, segera dia berjingkrak berdiri serunya: "Hayolah, kita cari kelintingan."

"Dia..."

"Bahwa dia tahu menyembunyikan diri ke sini, pastilah kesadarannya belum lenyap seluruhnya, asal kita merawat dan mengasuhnya dengan baik dan hati-hati, dia pasti akan lekas sembuh."

Terunjuk rasa terima kasih pada pandangan mata Yap Kay, kelihatannya selama ini dia memang belum menyelami jiwa gadis ini sesungguhnya.

"Tadi, waktu aku keluar, dia sudah tidur lagi, aku suruh Han Tin menunggu dan melindunginya."

"Si gurdi itu?"

"Asal kau bisa menggunakannya, gurdipun banyak manfaatnya."

"Kau sudah bisa mempercayai dia?"

"Dia bukan laki-laki baik, tapi aku sudah yakin, dia pasti tidak akan berani berbuat sesuatu yang mendurhakai diriku."

Tempat di mana mereka minum arak, sudah tentu berada di Leng-hiang-wan juga, maka cepat sekali merekapun bisa sampai ke tempat Ting Hun-pin.

Melewati pintu di pojok tembok sana, mereka memasuki pekarangan di mana Ting Hun-pin menempati sebuah kamar.

Senjapun menjelang. Suasana dalam pekarangan tenteram, tenang dan damai. Pintu hanya dirapatkan saja, lampu belum di sulut di dalam kamar.

Melewati pekarangan kecil yang lengang itu, mereka tiba di depan pintu. Baru sekarang Siangkwan Siau-sian melepaskan tangan Yap Kay.

Bukan saja dia lembut, diapun prihatin dan telaten meladeni. Lelaki selalu haru dan bisa tunduk karena perempuan yang telaten meladeni.

"Dia tentu masih tidur nyenyak." "Bisa tidur adalah keberuntungannya."

Siangkwan Siau-sian tersenyum. Pelan-pelan dia mendorong daun pintu, Yap Kay ikut masuk di belakangnya, namun belum lagi kakinya melangkah ke kamar, tiba-tiba terasa olehnya badan Siangkwan Siau-sian berhenti dan kaku mengejang.

ooo)dw(ooo

Di dalam rumahpun sunyi lengang, tenang dan tenteram, kehangatan sinar surya masih terasakan di pojokan rumah sana, namun orang yang sebetulnya ada di rumah sudah tidak kelihatan lagi.

Ting Hun-pin hilang, demikian pula Han Tin lenyap.

Dengan terbelalak kaget Siangkwan Siau-sian mendelong mengawasi ranjang yang kosong. Saking gugup air matapun sudah bercucuran membasahi pipinya. Yap Kay malah lebih tenang dan tabah, dengan kalem dia menyulut lampu, lalu bertanya: "Kau menyuruh Han Tin menjaga di sini?"

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut. "Mungkinkah dia meninggalkan tempat ini?"

"Tidak mungkin! Aku berpesan wanti-wanti kepadanya, tanpa perintahku, dia tidak akan berani meninggalkan ini barang satu langkahpun."

"Kau yakin benar?"

"Dia tidak akan berani menentang kehendakku. Dia masih ingin hidup."

"Tapi kenyataan sekarang dia tidak berada di sini."

Pucat muka Siangkwan Siau-sian, ujarnya: "Kukira pasti ada sebabnya, pasti ada. "

"Menurut pendapatmu, karena apa dia pergi dari sini?"

Siangkwan Siau-sian tidak menjawab, dia tidak bisa memberi jawaban.

"Bukan saja dia pergi, malah diapun menggondol Ting Hun-pin, dia "

"Ting Hun-pin pasti bukan dia yang membawa pergi." tukas Siangkwan Siau-sian.

"Kau berani memastikan?"

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut. Dia memang bukan orang yang berani berkeputusan secara serampangan, analisa dan putusannya biasanya amat tepat.

"Pukulan batin dan rasa kagetnya terlalu berat, oleh karena itu hatinya selalu diliputi ketegangan, sekali-kali tidak boleh mengalami sedikit pukulan lahir batin lagi."

"Menurut pendapatmu, apa pula yang terjadi si ini, sehingga dia kaget, maka mendadak dia melarikan diri."

"Tentunya begitulah kejadiannya."

"Kalau dia melarikan diri, sudah tentu Han Tin harus mengejarnya."

"Oleh karena itu mereka berdua tidak berada di sini pula."

"Di kala dia pergi mengejar, kenapa tidak meninggalkan sesuatu tanda, supoaya kita bisa ikut mengejar menurut petunjuknya."

"Pasti mengejar secara mendadak dan tergopoh-gopoh, di dalam waktu sesingkat itu tidak sempat lagi untuk meninggalkan sesuatu petunjuk."

Yap Kay hanya menghela napas saja, tidak bertanya lebih lanjut. Biasanya memang dia bukan orang yang selalu panik dan kebingungan sendiri setiap menghadapi persoalan, selamanya dia tetap tenang dan tabah menghadapi peristiwa segenting apapun. Semakin besar tekanan dan peristiwa yang dia hadapi, semakin tabah dan mantap hatinya. Kata Siangkwan Siau-sian menggigit bibir: "Kalau dia pergi mengejar, perduli kucandak atau tidak, akhirnya pasti akan kembali memberi kabar."

"Ya!", kata Yap Kay.

"Sekarang umpama kita mau keluar mencarinya, juga tidak tahu kemana harus menemukan dia." demikian dia mengoceh sendirian "Oleh karena itu sementara kita hanya bisa menunggu saja di sini, menanti kabar."

Yap Kay tetap tenang-tenang seraya bersuara dalam mulut.

Siangkwan Siau-sian mengawasinya, akhirnya dia sendiri tidak sabar lagi, tanyanya: "Kelihatannya kau sendiri malah tidak gugup?"

"Buat apa gugup, apa gunanya gugup?" "Tidak ada gunanya?"

"Kalau tiada gunanya, kenapa aku harus gugup."

Kedengaran jawaban Yap Kay acuh tak acuh dan wajar, namun air mukanyapun sudah tidak seperti biasanya. Pelan- pelan dia duduk di pinggir ranjang setelah ada tempat buat duduk. Kenapa dia tidak merebahkan diri? Dan akhirnya memang dia merebahkan diri di atas ranjang.

Sebaliknya saking gelisah dan gugup Siangkwan Siau-sian tidak betah lagi duduk di kursinya, katanya mengerut alis: "Tempat ini terlalu dingin, lebih baik kita. "

Belum habis dia bicara, tiba-tiba Yap Kay berjingkrak bangun, seolah-olah dia terbacok golok saking kagetnya. Kebetulan dia menghadap ke arah lampu, tampak mimik mukanya seperti diiris pisau.

Selamanya belum pernah Siangkwan Siau-sian melihat mimik orang yang begitu kaget dan ketakutan. Sesaat dia melongo dengan jantung berdebar-debar, tanyanya memberanikan diri: "Ada apa?"

Yap Kay tidak bersuara, seakan-akan tenggorokannya sudah mengejang kaku sampai mulutnya tak kuasa terpentang lagi, sehingga suaranyapun tak bisa keluar.

Lekas Siangkwan Siau-sian maju menghampiri. Begitu dia tiba di depan ranjang, wajahnya nan cantik jelita seketika berubah hebat. Berbareng hidungnya mencium sesuatu bau yang aneh, bau yang memualkan dan bisa bikin orang muntah-muntah. Bau anyirnya darah.

Mereka tiada yang terluka dan mengeluarkan darah, lalu darimana datangnya bau amis ini?

Cari punya cari akhirnya ketemu, bau amis itu keluar dari bawah ranjang.

Darimana datangnya bau amis itu, kok bisa berada di bawah ranjang? Memangnya di bawah ranjang ada orang mati? Lalu siapakah yang mati di bawah ranjang?"

Ranjang dipan itu tidak terlalu besar, sekali angkat dengan gampang segera tersingkap. Beberapa pertanyaan itu lekas sekali sudah terjawab. Namun Yap Kay tidak mengulurkan tangan, lengannya kaku, jari-jarinya mengejang, sungguh dia tiada keberanian untuk mengangkat ranjang ini. Jikalau benar ada mayat di bawah ranjang, maka yang mati pasti adalah Ting Hun-pin.

Sementara itu Siangkwan Siau-sian sudah ulurkan tangan.

Memang benar di bawah ranjang ada sesosok mayat. Belum lama dia mati karena darah masih mengalir dan belum kering.

Ternyata yang mati bukan Ting Hun-pin, namun Han Tin. ooo)dw(ooo

Yap Kay melongo, Siangkwan Siau-sian terkejut dan menjublek.

Bagaimana mungkin yang mati malah Han Tin?

Yap Kay tidak mengira, Siangkwan Siau-sian tidak habis mengerti.

Bahwa kenyataan Han Tin sudah mati di sini, lalu dimana Ting Hun-pin?

Pelan-pelan Siangkwan Siau-sian menurunkan ranjang, pelan-pelan putar badan melangkah lambat-lambat ke jendela serta mendorongnya membuka.

Di luar jendela tabir malam hitam pekat, tanpa belas kasihan dia sudah menelan bumi bulat-bulat.

Menghadapi tabir malam yang tidak kenal kasihan ini, lama Siangkwan Siau-sian menepekur. Setelah menghirup napas segar, baru dia bersuara pula: "Ternyata dia membunuh Han Tin lebih dulu, baru melarikan diri."

"Kau kira diakah yang membunuh Han Tin?" "Kau kira bukan dia yang membunuhnya?" "Pasti bukan!"

"Kau bisa membuktikannya?"

"Ilmu silat banyak ragamnya, yang paling menakutkan dan paling manjur justru hanya satu."

"Satu yang mana?"

"Hanya ilmu silat piranti membunuh baru betul-betul kepandaian silat yang paling manjur."

Siangkwan Siau-sian manggut-manggut, dia dapat menerima pendapat ini. Diapun tahu banyak orang memiliki sifat tinggi hati, namun dia tidak bisa membunuh dan takut berani membunuh orang.

"Di dalam ilmu kepandaian untuk membunuh orang, jelas sekali Ting Hun-pin terpaut jauh dibanding Han Tin, dia bukan tandingan Han Tin."

"Oleh karena itu kau berani memastikan bahwa kematian Han Tin bukan karena Ting Hun-pin yang membunuhnya."

"Ya, pasti bukan!"

"Tapi sekarang Ting Hun-pin sudah pergi, Han Tin kenyataan sudah mati di sini."

Inilah kenyataan, siapapun takkan bisa mendebat dan menumbangkan kenyataan.

"Jikalau bukan Ting Hun-pin yang membunuhnya? Lalu siapakah yang membunuhnya?"

Memang tidak banyak tokoh-tokoh silat yang mampu membunuh Han Tin, apalagi kecuali Ting Hun-pin, tiada orang lain di dalam rumah ini. "Jikalau dia tidak mati, pasti tidak akan membiarkan Ting Hun-pin pergi, memangnya ada orang membunuhnya lebih dahulu baru menggondol pergi Ting Hun-pin?", Siangkwan Siau-sian mengutarakan pikirannya.

Siapa yang mampu menjawab pertanyaan ini?

Yap Kay bergerak ke arah jendela yang lain, diapun mendorong daun jendela. Lain jendelanya, namun tabir malam di luar jendela sama-sama gelap pekat, sama-sama dingin dan sama-sama tidak kenal kasihan.

Lama dia berdiri menjublek tanpa bergeming sedikitpun, sorot matanya segelap tabir malam yang menelan bumi di luar jendela.

Siangkwan Siau-sian tertunduk dan termangu-mangu, akhirnya dia menghela napas, katanya: "Tadi seharusnya tidak pantas kuajukan pertanyaanku."

Yap Kay diam saja.

"Satu hal yang paling penting sekarang adalah selekasnya berusaha menemukan Ting Hun-pin, dia. "

"Tidak perlu mencarinya," tiba-tiba Yap Kay menukas kata-katanya.

Siangkwan Siau-sian melengak keheranan, selamanya tak pernah terpikir olehnya bahwa Yap Kay bakal mengeluarkan perkataan ini. Tak tahan dia berpaling serta mengawasinya dengan kaget.

"Maksudmu, kita tidak perlu mencarinya?" "Ya, tidak perlu."

"Kenapa tidak mencarinya?" "Kalau sudah ada orang yang tahu di mana dia sekarang berada, kenapa susah-susah mencarinya?"

"Siapa yang tahu dimana sekarang dia berada?" "Kau!"

Siangkwan Siau-sian semakin kaget, serunya: "Maksudmu, bahwa aku tahu di mana dia berada?"

"Sudah kukatakan dengan jelas, kau sendiripun mendengar dengan terang."

Terbeliak mata Siangkwan Siau-sian mengawasi Yap Kay, tidak bergerak, tidak bersuara, seperti terlongong.

Yap Kay berkata: "Tiga dari Su-toa-thian-ong Mo Kau memang sudah mati, namun Hu-hong si Puncak Tunggal sendiri belum mati."

"Nyo Thian belum mati maksudmu?"

"Nyo Thian bukan Hu-hong, juga bukan Lu Di." "Apakah Nyo Thian tidak terluka?"

"Dia memang terluka, cukup parah malah, tapi orang yang terluka belum tentu pasti Hu-hong."

Memang, bola itu bundar, tapi belum tentu setiap benda bundar pasti bola.

"Jikalau dia bukan Hu-hong karena tidak berani memberitahu kepadamu kalau dia terluka, kenapa dia mengelabui kau?"

"Karena diapun menyangka aku adalah budakmu, dikiranya aku sudah masuk Kim-ci-pang." Siangkwan Siau-sian tiba-tiba menghela napas, ujarnya: "Apa yang kau katakan, sepatah katapun aku tidak mengerti."

"Kau harus mengerti, dan hanya kau saja yang mengerti." "Kenapa?"

"Karena orang yang turun tangan melukai dia adalah kau."

"Jikalau aku tidak memahami dirimu, pasti mengira kau sedang mabuk."

"Selamanya belum pernah aku berpikiran sejernih dan sesadar sekarang."

"Nyo Thian sebetulnya adalah pembantuku, kenapa aku turun tangan melukai dia?"

"Karena dia hendak membunuhmu lebih dulu."

Siangkwan Siau-sian tertawa, tawanya mirip sekali dengan senyuman Yap Kay dikala dia kehabisan akal bersikap apa boleh buat.

Namun kali ini justru Yap Kay tidak tertawa. Sikap dan mukanya kini selamanya tak pernah seserius seperti sekarang ini. Dengan muka sungguh-sungguh, dia berkata: "Sudah lama dia punya niat hendak membunuhmu, namun tiada kesempatan, terpaksa dia mencoba membunuhmu dengan menyerempet bahaya."

"Membunuh secara gelap?"

Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Mungkin dia menilai rendah ilmu silatmu, mungkin secara tidak sengaja dia menemukan dirimu terluka, maka dia berkeputusan menggunakan kesempatan ini untuk mencoba menyerempet bahaya."

Siangkwan Siau-sian diam saja, dia sedang pasang kuping. Dia tidak mendebat, seakan-akan dia anggap persoalan ini tidak perlu dia debat meski secara langsung menyangkut dirinya.

"Di kala dia berkeputusan turun tangan, tentunya terjadi pada malam tanggal satu yaitu malam tahun baru."

Siangkwan Siau-sian tertawa, katanya: "Jikalau hendak membunuh seseorang secara diam-diam, malam tahun baru memang waktu yang tepat dan paling baik."

"Waktu dia pergi membunuh, sudah tentu mengenakan kedok muka."

"Sudah tentu!" ujar Siangkwan Siau-sian.

Memang siapapun yang hendak jadi pembunuh secara diam-diam, pasti menutupi mukanya dengan secarik kain atau sapu tangan. Memangnya siapa yang sudi kebongkar kedok aslinya?

"Semula dia kira rencananya sudah matang, maka keyakinannya terlalu besar. Tak tahunya kepandaian ilmu silatmu jauh lebih tinggi dari apa yang dia bayangkan, oleh karena itu bukan saja dia tidak berhasil, malah dia kena kau lukai."

"Untuk membunuh aku, memang bukan suatu hal yang gampang."

"Tapi, kaupun agak menilai rendah dia." "Apanya yang kunilai rendah?" "Ginkangnya teramat tinggi, walau tidak tercapai keinginannya membunuhmu, dia tetap masih bisa melarikan diri."

"Hendak menangkap seekor rase yang bisa terbang, sudah tentu bukan kerja yang mudah."

"Kau kira dia sudah tersambit jarummu yang beracun, umpama bisa melarikan diri, pasti takkan bisa lari jauh. Siapa tahu dia ada memiliki obat mujarab yang khusus untuk mengobati macam-macam racun, ternyata obatnya itu sementara dapat mempertahankan jiwanya."

"Tapi asal aku bisa mencari tahu siapa-siapa yang terluka, aku akan segera tahu siapakah pembunuh gelap itu."

"Oleh karena itulah dia mengelabui aku, tidak berani memperlihatkan luka-lukanya kepadaku."

"Pasti dia menyangka akulah yang mengutusmu untuk menyelidiki siapakah pembunuh itu."

"Sudah tentu dia tidak pernah menyangka bahwa kau sudah tahu bahwa pembunuhnya adalah dia."

"Darimana aku tahu?"

"Dia kira janda Ong itu sudah tunduk lahir batin dan patuh kepadanya, dia kira janda Ong bisa menyimpan rahasianya, tak nyana. "

"Tak nyana janda Ong justru memberitahu rahasia ini kepadaku."

"Betapapun cerdik pandainya laki-laki, bukan mustahil bila akhirnya dia jatuh karena dijual dan dikhianati oleh perempuan." "Mungkin lantaran kaum laki-laki umumnya selalu menyangka perempuan adalah kaum lemah, perempuan semuanya bodoh."

Yap Kay manggut dan sependapat.

"Kalau aku sudah tahu bahwa dia itulah pembunuhnya, kenapa tidak kubunuh dia?"

"Karena untuk membunuh orang yang kau incar, biasanya kau suka meminjam tangan orang lain."

"Bisa meminjam senjata orang lain untuk membunuh seseorang yang diincarnya, memang suatu hal yang menggembirakan."

"Kalau kau gembira, sebaliknya aku tidak senang." "Kenapa?"

"Karena kali ini yang ingin kau pinjam adalah pisauku."

"Aku ingin meminjam pisaumu untuk membunuh Nyo Thian?"

"Hu-hong terluka, aku sedang mencari Hu-hong, kebetulan Nyo Thian pun terluka, malah dia tidak berani memberitahu tentang luka-lukanya itu kepadaku, soal lain tak ubahnya seperti satu tambah satu ditambah lagi satu, sudah tentu menjadi tiga."

"Oleh karena itu aku berpendapat bilamana kau bisa menemukan Nyo Thian, pasti bisa mengira bahwa dia itulah Hu-hong."

"Semula aku sendiripun hampir menyangka bahwa dia itulah Hu-hong." "Penjelasanmu yang panjang lebar ini kedengarannya masuk di akal, sayang kau melupakan satu hal."

"Satu hal apa?"

"Untuk membunuh orang pasti ada sebab musababnya. Untuk membunuhku, sudah tentu harus mempunyai alasan yang baik, karena siapapun harus tahu bahwa apa yang harus dia kerjakan bukanlah suatu kerja yang mudah."

Yap Kay membenarkan.

Memang bukan soal gampang untuk membunuh Siangkwan Siau-sian.

"Nyo Thian cukup tahu akan keadaan diriku, terhadapnya akupun cukup baik, kenapa dia berani menyerempet bahaya hendak membunuhku?"

"Akupun cukup mengenal watak dan karakternya, dia memiliki ambisi yang terlalu besar, karena ambisinya itulah maka dia mau masuk ke Kim-ci-pang."

Untuk pendapat Yap Kay ini, Siangkwan Siau-sian dapat menerimanya.

"Semakin mendalam dan tinggi kedudukannya, semakin jelas mengetahui betapa besar kekuatan Kim-ci-pang, maka semakin besar pula ambisinya."

"Sayang sekali sehari aku masih hidup, untuk selamanya ambisinya itu tidak akan terlaksana."

"Oleh karena itu, betapapun besar bahaya yang harus dia hadapi, akhirnya dia nekad untuk membunuh juga."

Ambisi memang tak ubahnya seperti air bah, begitu melanda, pasti takkan ada orang yang mampu mengendalikannya, sampaipun diri sendiri, takkan bisa menekan keinginan hati sendiri.

(Bersambung ke Jilid-19) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar