Rahasia Mokau Kauwcu Jilid 16

 
Jilid-16

Bintang masih bercokol di angkasa raya. Sinar bintang yang pudar menyinari muka orang ini. Muka orang kelihatan memancarkan cahaya hijau. Tiada manusia yang mukanya bisa memancarkan sinar hijau seperti ini, kecuali dia mengenakan kedok muka yang terbuat dari tembaga hijau.

Memang orang ini menggunakan topeng tembaga hijau, di bawah pancaran sinar bintang, kelihatan menyeringai seram dan aneh, menakutkan. Tapi pakaian yang dia kenakan justru jubah sutra panjang yang tersulam indah. Di pinggangnya terselip tiga batang golok melengkung, golok sabit pendek. Sarung goloknya yang berwarna putih pucat penuh ditaburi mutiara dan berlian.

"Nah, sudah datang, akhirnya datang juga." Yap Kay menghela napas, "dia Tolka atau Putala?"

"Masa kau tidak bisa membedakan?"

Kini Yap Kay sudah melihat jelas, sulaman di atas jubah sutra orang ini melambangkan gada iblis yang berkuasa.

"Dia Tolka?"

"Mungkin dia bukan Tolka." "Lho, masih bukan?" "Duplikat Tolka seluruhnya ada tiga."

Apakah yang dimaksud dengan duplikat? Yap Kay tidak bertanya, kini dia sudah melihat satu.

Begitu angin lalu menghembus datang, sesosok bayangan orang tampak melayang masuk dari luar tembok, jubah panjangnya yang tersulam indah itu, dengan topeng yang menyeramkan pula, demikian pula diikat pinggang terselip tiga batang golok sabit yang penuh ditaburi batu-batu permata.

Hampir dalam waktu yang sama, dari belakang hutan bambu dan dari bawah payon rumah di sebelah samping sana muncul lagi dua orang. Dua orang yang mirip satu sama lain.

Baru sekarang Yap Kay betul-betul melongo. Dia menjublek sekian lama. Sungguh dia tidak bisa membedakan yang mana satu di antara empat orang ini adalah Tolka yang tulen.

"Umpama kau dapat membunuh tiga duplikatnya, satu yang tulen itu tetap akan bisa melarikan diri." kata Yap Kay.

Bak Kiu-sing tertawa dingin, jengeknya: "Setelah kemari jangan harap mereka bisa pergi."

"Darimana kau tahu bila dia benar-benar datang? Kau bisa membedakannya?"

"Aku tidak bisa membedakannya." Bak Kiu-sing tetap menyeringai dingin, "aku hanya tahu bahwa dia pasti dan tidak bisa tidak harus datang."

"Kenapa?

"Karena aku di sini." Yap Kay tidak bertanya lebih lanjut, juga tidak bisa mengajukan pertanyaan lagi. Dia melihat seorang tengah melangkah dengan menginjak sinar bintang.

Bubuk perak toh juga memancarkan sinar. Setiap langkah kakinya, tanah segera meninggalkan bekas telapak kakinya yang cetek.

Hanya mengandal tapak kaki ini apakah bisa membedakan betulkah dia ini Tolka yang tulen?

Akhirnya Yap Kay menghela napas, betapapun dia tidak bisa membedakan.

ooo)dw(ooo

Tiga orang mondar-mandir dengan menggendong tangan di pekarangan.

Seorang maju mendekat, juga menggendong tangan. Bukan saja dandanan mereka sama, sampaipun perawakan badan, gaya dan langkah kaki mereka sama.

Mengandal apa Bak Kiu-sing bisa membedakan mereka? Tolka akhirnya bersuara: "Ceng-shia Bak Kiu-sing?" Bak Kiu-sing manggut-manggut.

"Kaukah yang ingin aku kemari?" Bak Kiu-sing manggut-manggut. "Sekarang aku sudah datang." "Menggelindinglah pergi."

"Aku sudah kemari, masakah begitu gampang di suruh pergi." "Jadi kau ingin mampus di sini?" ancam Bak Kiu-sing.

Jari-jari Tolka sudah menjamah garan sebuah golok sabitnya.

"Sebetulnya tidak setimpal aku turun tangan kepadamu, tapi sekarang. "

"Sekarang kalau kau tidak turun tangan, maka kau akan mati. " kata Tolka.

Di mana sinar golok berkelebat, tahu-tahu goloknya sudah terlolos dari sarungnya. Golok sabitnya yang putih kemilau itu tahu-tahu sudah bergerak membacok tiga kali dalam waktu secepat kilat.

Bak Kiu-sing tidak bergerak, ujung jarinya tidak bergeming. Dia sudah melihat bahwa tiga kali bacokan orang ini hanya gertakan belaka. Tahu-tahu pergelangan tangan Tolka terbalik, jurus ke empat, tahu-tahu sudah membacok lagi. Sudah tentu kali ini bukan serangan gertak sambel.

Ujung goloknya memapas sobek ujung topi rumput Bak Kiu-sing yang lebar, menyerempet turun hanya setengah dim di depan ujung hidung Bak Kiu-sing. Kelihatannya muka Bak Kiu-sing bakal terbelah oleh bacokan ini. Sayang sekali samberan ujung goloknya masih terpaut setengah dim.

Ternyata Bak Kiu-sing tetap tidak turun tangan, tanpa bergeming, namun dia mengerut alis. Sekonyong-konyong sebintik sinar bintang melesat terbang memukul ke pundak Tolka. Bukannya Tolka tidak berkelit, namun sinar bintang ini datangnya luar biasa cepat, di luar dugaan lagi.

Begitu dia melihat bintang itu melesat datang, untuk berkelitpun sudah terlambat. Mendadak dia kertak gigi, tahu-tahu goloknya berputar balik terus menghunjam ke perutnya sendiri. Darah muncrat bagai air ledeng, pelan- pelan badannyapun roboh terkapar.

Bak Kiu-sing tetap tidak bergerak, ujung jarinyapun  tidak bergeming, namun sebuah bintang di tengah ke dua alisnya ternyata sudah lenyap. Ternyata tanpa bergerak, senjata rahasia ini sudah bisa ditimpukkan, cukup asal dia mengerut kening, orang yang diincar bakal melayang  jiwanya.

Yap Kay menghela napas, katanya: "Ternyata benar senjata piranti membunuh jiwa manusia."

"Tolka yang satu ini palsu." ujar Bak Kiu-sing. "Kau bisa membedakan?"

Bak Kiu-sing manggut-manggut, katanya dingin: "Kematian orang inipun hanya pura-pura saja."

"Ya, aku sendiripun bisa melihatnya," ujar Yap Kay, "golok iblis yang bisa menyurut mundur sendiri, bukan hanya sekali ini aku melihatnya, namun setiap kali tiada yang pernah menipuku."

Tawar kata Bak Kiu-sing: "Untuk menipu kau memang tidak gampang."

Tolka yang rebah dengan bercucuran darah ternyata benar-benar hidup kembali. Mendadak dia melompat bangun seraya mencabut golok yang lain terus menubruk maju. Tapi goloknya yang sudah terayun ke atas kepala itu sempat dia bacokkan, tahu-tahu sebintik bintang melesat terbang pula, telah menancap di tenggorokannya. Kembali dia terpelanting untuk tidak bangun lagi. Yap Kay tertawa, katanya: "Agaknya kali ini tidak pura- pura lagi."

"Sebetulnya dia tidak perlu mengantar kematian." ujar Bak Kiu-sing.

"Memang tidak setimpal kau turun tangan membunuhnya." "Tapi aku memang tidak turun tangan."

Memang, ujung jarinyapun tak pernah bergoyang, siapapun takkan bisa melihat jelas kapan dan cara bagaimana senjata rahasia bintang ini dia lepaskan, oleh karena itu sudah tentu si korban tak mampu meluputkan diri.

Yap Kay tertawa pula, katanya: "Agaknya yang dikatakan Siangkwan Siau-sian memang tidak salah."

"Apa yang dia katakan?"

"Katanya, kau adalah salah satu dari tiga orang yang paling menakutkan di dunia ini. Malah kau adalah orang yang paling ditakutinya."

Dingin suara Bak Kiu-sing: "Memang, tidak salah omongannya."

Di pekarangan sana ada tiga orang tertawa dingin, entah siapa. Tiga orang yang sama, semuanya menggendong tangan, berdiri di bawah pancaran sinar bintang.

Sorot mata Bak Kiu-sing setajam golok itu menyapu pandang ke arah kaki mereka, tiba-tiba tatapnya berhenti pada salah satu di antaranya, katanya dingin: "Tidak usah kau suruh orang lain menjual jiwa bagi dirimu."

"Aku maksudmu?" kata orang itu. "Ya, kaulah!", jengek Bak Kiu-sing.

Biji matanya bercahaya di bawah topi rumputnya, demikian pula sorot mata orang itupun bercahaya di balik topeng tembaga hijaunya. Sorot mata ke dua orang bentrok dan beradu sekeras golok dan pedang.

Orang ini tiba-tiba gelak-gelak, nada tawanya lebih dingin dari ujung golok, lebih tajam.

"Bagus! Tajam benar pandangan matamu. Cara bagaimana kau bisa membedakan diriku?"

"Bentuk badan kalian bisa dipalsukan, namun kepandaian di telapak kaki kalian takkan bisa ditiru."

Berapa tinggi kepandaian silatmu dan meninggalkan bekas telapak kaki sesuai dengan tingkat kepandaianmu. Semakin tinggi kepandaiannya, semakin cetek dan samar-samar bekas telapak kakinya. Dan kenyataan ini tak bisa dipalsukan lagi.

Baru sekarang Yap Kay paham kenapa tadi Bak Kiu-sing menaburkan bubuk perak di pekarangan.

Tolka pun menghembuskan napas dari mulutnya, katanya: "Tak nyana terhadap kepandaian ilmu perguruan kita, kaupun begitu hapal."

"Thian-mo-cap-sha-tay-hoat di dalam pandanganku, hakikatnya tidak berharga sepeserpun." jengek Bak Kiu- sing.

"Baik, baik sekali." ejek Tolka tertawa dingin.

Dia ulapkan tangan, dua orang yang lain segera mengundurkan diri. Tiba-tiba terlihat oleh Yap Kay tangan orang laksana tajamnya golok yang mengkilap di bawah sinar bintang. Jelas bahwa tangannya itu merupakan senjata ampuh yang piranti membunuh orang. Memang sesuatu alat yang bisa untuk membunuh. Itulah senjata tajam. Senjata tajam yang menamatkan jiwa.

Setiap orang Mo Kau pasti membedakan senjata tajam seperti itu yang mampu menamatkan jiwa musuhnya, karena senjata itu sudah bersatu padu dengan jiwa raganya. Paling kau hanya bisa merenggut jiwanya, dan di situlah justru letak yang paling mengerikan dari mereka. Kekuatan jiwa itu, bukankah merupakan kekuatan yang paling menakutkan di dalam dunia ini?

Yap Kay menghela napas. Dia tahu duel akan terjadi ini akhirnya akan merubah nasib banyak insan persilatan di kalangan Kang-ouw menghadapi situasi duel sengit bakal terjadi ini diapun menaruh perhatian besar.

Tapi dia hampir tidak tega untuk menyaksikan lagi, karena diapun tahu untuk membuat senjata tajam seperti itu, entah berapa keringat, darah dan air mata harus dikucurkan. Sungguh dia tidak tega menyaksikan kehancuran ini, karena akhir dari duel seru ini jelas adalah suatu kehancuran, antara hidup dan mati.

Sebelum kehancuran terjadi, suasana biasanya memang tenang tentram. Demikian pula keadaan pekarangan ini amat hening.

Memang hawa membunuh tidak kelihatan, tak bisa diraba dan tak bisa didengar. Orang yang bisa merasakan adanya hawa membunuh ini, maka indra dari orang itu sendiri pasti sudah terlalu tajam.

Mendadak Yap Kay rasakan sekujur badannya menjadi dingin. Rasa dingin yang meresap ke tulang sumsum, laksana pisau kecil meresap ke dalam tubuhnya. Nah, itulah hawa membunuh.

Topi rumput itu sudah koyak, namun tetap bercokol di atas kepala Bak Kiu-sing. Yap Kay tak bisa melihat mimik muka Bak Kiu-sing, tapi dia bisa melihat jelas sorot mata Tolka.

Kelopak mata Tolka mulai mengerut kecil memicing.

Mendadak dia bersuara: "Kini tinggal aku seorang saja."

Dua orang yang lain memang sudah mengundurkan diri keluar dari pekarangan ini.

"Tapi pihakmu masih ada dua orang."

"Yang berduel hanya ada satu." Yap Kay mendahului menjawab.

"Walau kau tidak turun tangan, kehadiranmu tetap merupakan ancaman juga."

"Kenapa?" "Karena pisaumu!"

"Pisauku tidak untuk membokong orang."

"Namun asal pisau itu ada, itu sudah merupakan ancaman bagi diriku."

"Jadi kau ingin supaya aku menyingkir?" "Kau tidak boleh menyingkir." "Kenapa?"

"Kita bertiga sudah kumpul di sini, sedikitnya harus ada dua orang yang mampus di sini."

"Setelah kau membunuh dia lalu hendak membunuh aku?" "Maka kau tidak boleh menyingkir."

"Memangnya kau ingin aku menyerahkan pisauku dulu lalu menunggu ajal di sini?"

"Aku hanya minta kau menerima dua syaratku." "Boleh kau sebutkan syaratmu."

"Tadi kau katakan kalian pasti tidak akan turun tangan bersama."

"Benar, tadi kukatakan demikian."

"Apa yang kau katakan, aku percaya, kau memang bukan manusia rendah yang menjilat ludahnya sendiri."

"Terima kasih!"

"Maka jikalau dia masih hidup, pisaumu tidak boleh kau keluarkan."

"Kalau dia mati?"

"Begitu kau melihat sejurus aku berhasil menamatkan jiwanya, kau boleh segera mengeluarkan pisaumu menyerang aku."

"Bagaimana baru boleh dinamakan sejurus berhasil menamatkan jiwa orang?"

"Asal tanganku berhasil mengenai badannya, itu namanya sejurus berhasil menamatkan dia." "Asal tanganmu mengenai badannya, maka dia pasti mampus?"

"Tanganku ini adalah senjata ampuh, alat yang bisa membunuh orang dalam satu jurus serangan, baru boleh dinamakan senjata tajam."

"Sekarang aku mengerti." "Kau mau terima syarat ini?"

Yap Kay menatapnya lekat-lekat, sorot matanya menampilkan perasaan aneh, lama sekali baru dia menarik napas dan berkata pelan-pelan: "Baik, kuterima, karena aku pernah hutang budi terhadapmu."

Tolka menatapnya juga, lama kemudian diapun bersuara kalem: "Kaupun pernah hutang budi terhadapku?"

"Kalau aku, tidak melupakan peristiwa tempo hari itu, tentu kaupun takkan melupakannya."

"Apakah akupun berhutang kepadamu?"

Yap Kay geleng-geleng, katanya: "Oleh karena itu, bila kali ini kau bisa membunuhku, akupun tidak akan menyalahkan kau."

"Baik sekali, beberapa patah kata-katamu ini aku memang tidak akan melupakan." seru Tolka. Tiba-tiba dia putar badan menghadapi Bak Kiu-sing, katanya dingin: "Hanya orang yang harus mampus pertama kali tetap kau!"

Bak Kiu-sing menyeringai, katanya: "Agaknya kau masih melupakan satu hal. Jikalau aku tidak yakin untuk bisa membunuhmu, masakah aku berani wakilkan dia mengundangmu kemari." "Mungkin kau memang ada sedikit keyakinan." ujar Tolka, "sayang kaupun melupakan satu hal."

"Hal apa yang kulupakan?"

"Tidak seharusnya kau membocorkan rahasiamu sendiri." "Rahasia apa?"

"Rahasiamu untuk membunuh manusia."

Bak Kiu-sing tertawa dingin, namun tanpa sadar matanya tertuju ke arah mayat yang menggeletak di tanah.

"Seharusnya tidak perlu kau membunuhnya dengan caramu ini, seharusnya kau gunakan jurus serangan simpananmu ini menghadapiku."

Tolka gelak-gelak. Siapapun di kala gelak-gelak, semangatnya tempur pasti mengendor, pertahanan dirinya rada lemah, maka sedikit banyak dia pasti lena. Begitu dia mulai tertawa, Yap Kay lantas merasakan orang menemukan titik kelemahannya, dan kelemahan atau kekosongan ini berarti kematian.

Di dalam waktu sekejap itu, tiba-tiba Bak Kiu-sing menubruk maju. Gerak tubuhnya enteng gesit dan lincah sekali laksana burung walet saja tangkasnya, namun serangannya justru ganas dan keras laksana paruh burung elang yang tajam dan keras laksana kilat menyambar. Dia sudah mengincar tepat titik kelemahan Tolka.

Tolka masih tertawa, tapi begitu Bak Kiu-sing menubruk maju, titik kelemahannya itu tiba-tiba lenyap pada saat-saat segawat itu, lubang kelemahannya itu secara ajaib sekali tiba-tiba tak kelihatan. Tahu-tahu tangannya sudah menunggu di sana. Tangan orang lain adalah tangan biasa, namun tangannya ini adalah senjata ampuh yang mampu membunuh orang.

Begitu menyerang, baru Bak Kiu-sing menyadari sasaran yang diincarnya bukan lagi titik kelemahan musuh, namun adalah tangan orang yang ampuh.

Tangan Bak Kiu-sing adalah tangan biasa, tiada orang yang mampu mengadu tangannya secara kekerasan dengan senjata ampuh lawannya. Ingin Bak Kiu-sing menarik balik jurus serangannya ini, namun sudah tidak keburu lagi, karena serangannya ini sudah dilandasi seluruh kekuatannya.

Bagitu tangannya mendekati tangan Tolka, seketika terasa adanya hawa membunuh dingin yang merangsang. Mirip dengan hawa pedang yang teruar keluar dari ujung pedang.

Tolka tertawa dingin.

Yap Kay malah menghela napas. Diapun tahu, tangan siapapun bila diadu dengan tangan Tolka, akibatnya pasti suatu tragedi yang mengenaskan. Hampir dia membayangkan betapa mengenaskan keadaan tangan Bak Kiu-sing yang hancur dan remuk itu.

Maka terdengarlah 'Plok....' telapak tangan ke dua pihak saling bentrok.

Ternyata tangan Bak Kiu-sing tidak hancur.

Di dalam waktu sesingkat itu, kiranya dia berhasil menarik balik seluruh kekuatan yang dia salurkan ke ujung tangannya. Agaknya latihannya sudah mencapai tingkat yang paling sempurna. Dalam saat genting dengan mudah dia bisa meritul balik seluruh tenaga yang sudah dia kerahkan menurut jalan pikirannya, sehingga serangan derasnya itu berubah menjadi tepukan ringan belaka, begitu ringannya hampir mirip telapak tangan orang yang meraba sesuatu. Rabaan tangan sudah tentu tidak akan bisa melukai orang lain, juga tidak bisa melukai diri sendiri.

Asalkan tenaga yang kau gunakan teramat lemah, umpama kau mengelus atau meraba pedang yang tajam luar biasapun tidak akan terluka.

Tolka tertegun. Tepukan ringan enteng ini ternyata betul-betul membuatnya terkejut bukan main seperti dipukul oleh kekuatan gugur gunung. Selamanya belum pernah dia menerima pukulan orang seringan ini.

Duel antara dua jago kosen, sering kali ditentukan dalam satu gebrakan saja untuk menentukan siapa menang atau kalah, karena segebrakan ini mengandung ribuan perubahan, perubahan yang tidak menentu dan aneh.

Letak keanehan dari tepukan tangan Bak Kiu-sing bukan pada gerak perubahannya yang cepat atau pukulannya terlalu berat. Hanya sejurus dia mampu menundukkan lawan hanya karena dia turun tangan dengan tepukan ringan.

Yap Kay lagi-lagi menghela napas. Dia anggap apa yang dia saksikan merupakan peristiwa besar dan pengalaman yang takkan terlupakan seumur hidupnya. Baru sekarang dia benar-benar mengerti perubahan, keanehan, dan intisari suatu ilmu silat. Memang luar biasa sekali, sulit dijajaki dan selamanya takkan ada batasnya.

Di saat-saat Tolka tertegun, meski hanya sekilas saja, tahu-tahu telapak tangan Bak Kiu-sing sudah menyisir naik menggesek punggung tangannya, tahu-tahu mencengkeram pergelangan tangannya, kembali hatinya tercekat, namun ia tidak menjadi gugup, sebelah tangannya yang lain tahu-tahu menyelinap balik dari bawah ke atas, dengan keras menabas ke sikut Bak Kiu-sing. Tapi kembali dia melupakan satu hal, bila pergelangan tangan orang, di mana Hiat-to penting badannya tercengkeram oleh musuh, walau kau membekal tenaga raksasapun takkan mampu dikerahkan lagi.

Yap Kay sudah mendengar suara tulang berkeretekan remuk, bukan tulang tangan Bak Kiu-sing, tapi tulang tangan Tolka.

Tolka menjerit kaget: "Kau. "

Hanya sepatah kata. 'Kau' itulah kata-kata terakhir dari hidupnya, karena tahu-tahu sebuah bintang sudah berada di tenggorokannya. Sebuah bintang yang dapat merenggut jiwa manusia.

Tiada suara, hening lelap, suara lirihpun tak terdengar, sampai anginpun seperti berhenti.

Tolka roboh di antara genangan darah sendiri, begitu badannya terkapar di tanah, badannya seketika lantas seperti mengkeret kering, tak ubahnya karet yang kepanasan.

Peduli dia seorang Eng-hiong, pahlawan gagah perkasa di masa hidupnya ataukah gembong iblis, kini tidak lebih dia hanya mayat yang bergelimang di antara ceceran darahnya belaka.

Orang mati tetap orang mati. Andaikata ada manusia yang paling ditakuti di jagat ini, setelah dia mati keadaannya tidak akan berbeda dengan manusia mati umumnya.

Hanya satu yang tidak, yaitu tangannya. Di bawah sinar bintang yang guram, tangannya masih kelihatan mengkilap, seakan-akan sedang menantang dan unjuk kegarangan terhadap Bak Kiu-sing.

'Walau kau membunuhku, menghancurkan aku, tetap kau tidak bisa menghancurkan tanganku ini. Sepasang tanganku tetap merupakan senjata terampuh yang tiada tandingannya di seluruh jagat.'

ooo)dw(ooo Tetap tidak menyalakan lampu.

Bak Kiu-sing berdiri di bawah bintang-bintang, berdiri tanpa bergeming. Setelah berduel, walau dia sebagai pihak pemenang, tetap dia akan merasakan kehampaan yang tak bisa dilimpahkan dengan perasaan atau kata-kata. Demikianlah keadaannya. Lama sekali baru dia berpaling.

Yap Kay tengah menghampiri.

Bak Kiu-sing mengawasinya, tiba-tiba bertanya: "Kau tidak ingin membuka topengnya?"

"Kukira tak perlulah." ujar Yap Kay menghela napas. "Kau sudah tahu siapa dia sebenarnya?"

"Aku kenal tangannya itu." ujar Yap Kay. Tangan yang memancarkan cahaya. Mengawasi sepasang tangan itu, tak urung Yap Kay menghela napas pula: "Memang tangannya ini merupakan senjata ampuh yang tiada bandingannya di kolong langit."

Selamanya takkan ada tangan seampuh itu dalam dunia ini.

Bak Kiu-sing berkata tawar: "Sayang sekali betapapun sesuatu alat senjata itu menakutkan, dia sendiri toh tidak mampu membunuh manusia."

Yap Kay mengerti kemana juntrungan kata-kata ini.

Yang membunuh orang memang senjata, tapi yang membunuh adalah manusia.

"Apakah senjata itu menakutkan?" ujar Bak Kiu-sing, "yang penting harus dipandang dulu di tangan siapa senjata ampuh itu."

Sudah tentu Yap Kay pun maklum akan lika-liku hal ini. "Jikalau jurus seranganku tadi sedikit menggunakan

tenaga lagi, kemungkinan sekali tanganku sudah dia hancurkan."

Yap Kay manggut-manggut, katanya: "Ya, mungkin sekali!" "Tapi seranganku itu terlalu enteng, dan di situlah letak

kunci kemenanganku."

"Permainanmu tadi memang hebat dan menakjubkan." puji Yap Kay sambil tertawa getir.

"Kunci kalah menang bagi seorang tokoh kosen dalam menghadapi musuh tangguh ada kalanya justru terletak pada jurus-jurus permulaannya itu." Yap Kay diam menepekur, tiba-tiba dia membongkok badan merenggut topeng yang dipakai di muka Tolka.

"Katanya kau sudah tahu siapa dia, kenapa masih ingin melihat mukanya juga?" tanya Bak Kiu-sing, "orang mati masakah elok dipandang?"

"Tapi aku memang ingin melihatnya. Sebelum dia ajal, apakah diapun tahu akan lika-liku ini?"

Topeng tembaga hijau, kelihatan memancarkan sinar mengkilap di bawah cahaya bintang nan guram.

Muka Lu Di pun kelihatan membesi hijau, namun sudah mengkeret berkeriput. Pada sorot matanya yang melotot keluar, penuh diliputi rasa kaget, takut dan tidak percaya. Kiranya sampai mati dia tetap tidak percaya akan satu hal. Suatu hal apa?

Yap Kay berkata sambil menghela napas: "Sampai mati agaknya dia tetap tidak percaya bila kau mampu membunuhnya."

Bak Kiu-sing menyeringai lebar, katanya dingin: "Justru karena dia tidak percaya, maka dia bisa mati."

"Ada kalanya seseorang memang sulit untuk memahami sesuatu hal sampai dia ajal. "

Masih ada sebuah hal yang masih belum dimengerti oleh Yap Kay.

"Kalau Tolka ternyata adalah Lu Di, lalu siapakah sebenarnya Putala alias Hu-hong-thian-ong itu?

ooo)dw(ooo Mayat sudah digotong pergi, tapi kamar itu masih belum dipasangi lampu.

"Setiap malam, kaupun tidak pernah memasang lampu?" tanya Yap Kay.

"Kenapa harus pasang lampu?" Bak Kiu-sing balas bertanya.

Lucu benar pertanyaan ini sampai Yap Kay melongo dibuatnya. Katanya kemudian menyengir: "Setiap orang setelah malam tiba, pasti pasang lampu, setelah ada penerangan baru bisa jelas melihat banyak yang dapat kita lihat."

"Tanpa pasang lampu, aku tetap juga bisa melihat jelas." jawab Bak Kiu-sing, lanjutnya: "Sembarang waktu kau boleh pergi, aku tidak menahanmu.

Yap Kay tertawa, katanya: "Tapi kau kan juga tidak mengusirku?"

"Aku tidak perlu mengusirmu." "Tidak perlu?"

"Bila saatnya tiba kau harus pergi, masakah kau akan tinggal di sini?"

"Kira-kira kapan baru tiba saatnya aku harus pergi?" "Setelah kau menemukan Hu-hong?"

Bercahaya mata Yap Kay, tanyanya: "Kau juga tahu siapa sebenarnya Hu-hong?"

Bak Kiu-sing tidak menjawab, dia malah balas bertanya: "Selama ini kau mengira Lu Di adalah Hu-hong-thian-ong?" "Karena dia memang laki-laki yang tinggi hati, congkak dan sombong!"

"Sekarang kau sudah berani memastikan bahwa dia bukan Hu-hong?"

"Hu-hong sudah terluka, sebaliknya Lu Di tidak."

Tadi Yap Kay sudah memeriksa mayat Lu Di dengan seksama, satu-satunya luka yang mematikan di badan Lu Di adalah serangan telak yang ditinggalkan oleh Bak Kiu-sing.

"Kau yakin benar bahwa Hu-hong sudah terluka?"

"Ada orang dengan mata kepalanya sendiri menyaksikan." "Siapa yang menyaksikan dengan mata kepalanya

sendiri?"

"Seseorang yang pasti boleh dipercaya."

"Agaknya tidak sedikit orang-orang yang kau percayai." "Aku tahu, memang itulah ciri khasku, sayang sekali, aku

selalu tidak bisa merubahnya."

Bak Kiu-sing tidak bicara lagi. Walau topinya sudah koyak, namun tetap masih bisa menutupi selebar mukanya, siapapun tetap tidak bisa melihat mimik mukanya, atau mungkin memang mukanya tidak menunjukkan perubahan perasaan hatinya?

Tak tahan Yap Kay bertanya: "Kenapa kau masih kenakan juga topimu yang robek?"

"Karena di luar masih ada anjing menyalak."

Yap Kay melengak, ujarnya: "Anjing menyalak di luar, apa sangkut pautnya dengan topi yang kau pakai?" "Aku pakai tidak topiku, apa pula sangkut pautnya dengan kau?"

Yap Kay tertawa geli. Tiba-tiba dia merasakan kelihatannya orang ini pendiam atau tidak suka bicara, yang benar dia adalah orang yang pandai bicara, kalau mau bicara, kadang-kadang malah bisa menyumbat mulut orang, sehingga bukan saja orang tidak mampu mendebat, orangpun segan mengajukan pertanyaan lebih lanjut.

Tapi Yap Kay justru masih punya banyak persoalan yang perlu dia utarakan, maka dia terpaksa harus bertanya pula. Sementara Bak Kiu-sing sedang mengikat tali di atas paku. Betul juga dia lompat di atas tali dan merebahkan diri. Dia benar-benar tidur enak dan nyaman di atas seutas tali. Di kala tidur, dia tetap menggunakan topinya itu.

Karena kamar itu memang kosong melompong, terpaksa Yap Kay berdiri saja. Sambil lalu dia buka suara ajak mengobrol: "Khabarnya, Ceng-shia adalah salah satu dari 36 gua dari To-keh (Taoisme). 'Gua langit, bumi bahagia'. Pemandangannya indah permai luar biasa."

Bak Kiu-sing diam saja.

"Tempat di mana kalian mengasingkan diri, tentu merupakan taman Firdaus di dalam bilangan dunia lain, entah kapan aku punya rejeki besar bisa berkunjung dan tamasya ke sana."

Bak Kiu-sing tetap tidak perdulikan ocehannya.

"Kabarnya belum pernah dia ada orang luar pernah masuk ke sana, kalianpun selamanya tak pernah berhubungan dengan dunia luar, namun sekali kau muncul di dunia ramai ini, langsung kau bisa menemukan Tolka. Kepandaianmu memang luar biasa."

Bak Kiu-sing pejamkan mata, napasnya menggeros, seakan-akan sudah pulas.

Namun Yap Kay belum putus asa, tanyanya: "Darimana kau bisa tahu bahwa Tolka adalah Lu Di? Cara bagaimana pula kau bisa menemukan dia?"

Tiba-tiba Bak Kiu-sing membalikkan badan, lompat turun terus beranjak keluar dengan langkah lebar.

Sudah tentu Yap Kay ikut keluar di belakangnya, tanyanya: "Kau hendak kemana?"

"Mencari sesuatu."

"Apa yang kau cari? Apakah mencari Putala? Kau bisa temukan dia?"

"Barang yang kucari, bila kau mau, boleh aku bagi separo untuk kau."

"Kemana kau hendak mencarinya?" "Di tempat ini saja."

"Barang apa yang dapat kau temukan di sini?"

Bak Kiu-sing tidak banyak mulut lagi, namun dia merogoh keluar sebuah botol kayu kecil lainnya. Botol itu berisi bubuk atau puyer juga, namun berwarna kuning gelap.

Puyer kuning itu dia taburkan di atas tanah dengan sebuah lingkaran, namun ada sebagian garis lingkaran yang dia kosongkan. Lalu dia menyingkir ke samping menunggu sambil berpeluk dada. Yap Kay tidak mengerti, tanyanya: "Apa sih yang kau kerjakan?"

"Aku sedang bikin makanan." "Bikin makanan?"

"Setiap orang kan harus makan, aku inipun manusia biasa."

Yap Kay ingin bertanya lagi, tapi tiba-tiba dilihatnya di pekarangan luar ada cahaya lampu.

Tampak seorang Hweshio tinggi kurus, tangan kiri menenteng lampion, tangan kanan menyanggah nampan kayu, dari luar dia melangkah masuk ke pekarangan. Mukanya masih menunjuk rasa takut, ragu-ragu, ingin maju namun tidak berani. Hwesio ini ternyata Goh-cu.

"Untuk apa kau kemari?" Bak Kiu-sing menegur. "Aku mengantar barang-barang ini."

"Barang apa?"

Goh-cu acungkan nampan kayu di tangan kanan, katanya: "Mayatnya sudah kumandikan dan masukkan ke dalam peti. Inilah barang-barang yang ku keluarkan dari kantong bajunya, semuanya ada di sini."

"Kau Hweshio ini kiranya jujur juga." jengek Bak Kiu-sing.

Goh-cu tertawa dingin, katanya: "Ada kalanya Hwesio memang ada yang tamak, namun dia tetap tidak akan berani melalap barang-barang milik orang yang sudah mati."

Pelan-pelan dia maju mendekat. Setelah meletakkan nampan kayu, tersipu-sipu dia berlari keluar. Hweshio memang selalu takut kesulitan, namun dia tidak suka mencampuri urusan orang lain.

Yap Kay berkata: "Agaknya seseorang, asal sudah menjadi Hwesio, ingin tidak jujurpun tidak bisa lagi."

"Oleh karena itu, lekaslah kau cukur rambutmu menjadi Hwesio, setelah jadi Hwesio, sedikitnya kau bisa hidup berusia lebih tua."

ooo)dw(ooo

Di dalam nampan itu terdapat lima golok sabit, sebuah lencana kemala, delapan butir mutiara dan sepucuk surat yang sudah terbuka sampulnya.

Di atas lencana itu ada diukir sebuah tongkat kebesaran pertanda kekuasaan. Setiap Su-toa-thian-ong dari Mo Kau pasti membawa sebuah lencana tanda pengenal kedudukan dan simbol kebesarannya.

Semua itu tidak perlu dibuat heran, yang aneh adalah sampul suratnya. Surat itu ditulis dengan darah, hanya ada puluhan huruf saja yang kira-kira berbunyi demikian:

TENGAH HARI TANGGAL 3 MASUK TIANG-AN. BERTEMU DI WAN-PING-BUN. HARAP DITUNGGU.

Dibawah surat tidak ada tanda tangan penulisnya, hanya dilukis sebuah gambar puncak gunung. Puncak tunggal alias Hu-hong.

Yap Kay pelan-pelan menghela napas, katanya: "Pastilah surat-surat Hu-hong yang ditujukan kepada Tolka, dia minta supaya Tolka menunggunya di Wan-ping-bun."

"Besok adalah tanggal 3." "Apa besok dia betul-betul datang?" Yap Kay ragu-ragu.

"Sudah tentu datang, dia kan belum tahu bahwa Tolka sekarang sudah ajal."

"Sekarang di mana dia? Apakah di sana tiada tinta bak atau alat lainnya? Kenapa dia menulis surat dengan air darah?"

"Surat darah biasanya mempunyai dua arti." ujar Bak Kiu-sing.

"Dua arti bagaimana?"

"Surat terakhir yang merupakan pesannya sebelum ajal, atau menandakan bahwa keadaannya teramat gawat dan perlu segera ditolong."

Tiba-tiba Yak Kay tertawa, katanya: "Mungkin lantaran dia terluka, bukankah ada darah yang mengalir dari luka- lukanya?"

"Orang-orang Mo Kau bila menulis surat darah, biasanya tidak pernah pakai darah sendiri."

"Kau kira surat ini tulen?" "Pasti tidak salah." "Darimana kau begitu yakin?" Bak Kiu-sing tutup mulut.

Pada saat itulah dari luar hutan bambu sana tiba-tiba terdengar suara berisik yang aneh kedengarannya. Suatu suara yang tidak bisa dilukiskan dan tidak enak didengarkan. Luar biasa. Siapapun yang mendengar suara ini pasti berdiri bulu romanya, seram dan giris, malah mungkin ada yang muntah-muntah pula.

Apa yang dilihat oleh Yap Kay justeru lebih menakutkan lagi dari suara itu. Mendadak dilihatnya entah berapa banyaknya ular-ular beracun, cecak, kelabang dan binatang- binatang beracun lainnya yang besar kecil tidak merata, ogat-oget merayap masuk dari luar hutan, langsung memasuki lingkaran bubuk kuning yang dibuat Bak Kiu-sing.

Serasa mual dan mengkeret perut Yap Kay, namun sedapat mungkin dia bertahan diri, tanyanya: "Inilah makanan yang kau buat?"

Bak Kiu-sing manggut-manggut, gumamnya: "Untuk makanku seorang sudah cukup, kalau untuk dua orang, jadi kurang banyak."

"Untuk dua orang?" teriak Yap Kay, "siapa lagi yang akan kemari?"

"Tiada orang lagi, biasanya aku jarang mentraktir orang." "Sekarang hanya kau seorang saja."

"Apa kau bukan manusia?"

Bergidik Yap Kay dibuatnya, katanya menyengir kecut: "Makanan seenak ini biarlah kau makan sendiri saja. Maaf, aku tidak mengiringi kau."

"Kau tidak sudi ikut menikmati makananku?"

"Aku.....aku masih ada janji, aku akan makan di luar saja.

Setelah kenyang nanti, aku kembali." Selama hidupnya belum pernah dia digebah lari oleh orang dengan ketakutan seperti itu, namun sekarang dia lari tidak kalah cepatnya dengan kelinci yang ketakutan.

Bak Kiu-sing tertawa gelak-gelak, katanya:" Kalau di luar kau kurang kenyang, boleh kau kembali makan nyamikan. Aku sediakan dua ekor kelabang yang gemuk-gemuk untuk kau."

Yap Kay sudah lompat keluar dari pagar tembok, tanpa menoleh lagi dia pergi.

Pertama kali inilah dia mendengar gelak tawa Bak Kiu- sing dari kejauhan, namun juga yang terakhir.

ooo)dw(ooo Warung nasi itu kecil, namun bersih.

Hari sudah gelap gulita, saat makan sudah lewat sejak tadi, maka kecuali Yap Kay, warung nasi itu tiada orang lain.

Yap Kay memesan dua macam sayuran dan sepoci arak. Sebetulnya dia tidak ingin minum arak. Mungkin secangkir arak masuk ke perutnya bisa menimbulkan kenangan pahitnya dan arak itu akan bercucuran berubah air mata. Sekarang bukan saatnya berduka, umpama ingin sedih hati, asalkan persoalan yang dihadapi sudah lalu.

Sayang sekali seseorang bila dia berusaha menekan perasaannya dengan paksa, di kala kau tidak minum arak, kau malah semakin besar hasratmu untuk minum dua tiga cangkir.

"Aku hanya minum dua cangkir saja," demikian dalam batin dia memperingatkan dirinya, tak boleh lebih banyak, malam masih cukup panjang, besok mungkin merupakan hari- hari yang paling sulit bagi dirinya.

Tapi setelah dua cangkir arak masuk perutnya, lantas dia merasakan banyak persoalan dalam dunia ini hakikatnya tidak segenting seperti apa yang barusan dia bayangkan. Oleh karena itu dia menambah dua cangkir lagi.

Mendadak teringat olehnya akan Ting Hun-pin, kalau Ting Hun-pin berada di sini, pasti akan mengiringi dia minum arak juga. Sering mereka berada di warung kecil seperti ini, minum dua cangkir dengan beberapa butir kacang goreng, menikmati malam nan tenang dan damai. Waktu itu dia selalu merasa kehidupan seperti terlalu tawar dan basi, terlalu tenang, namun baru sekarang dia menyadari akan kesalahan dirinya. Baru sekarang dia benar-benar merasakan menyadari ketenangan itu berarti kebahagiaan.

Kenapa setelah manusia kehilangan kebahagiaan baru menyadari, apakah kebahagiaan itu sebenarnya?

Angin dingin. Malam semakin larut. Di malam musim dingin nan dingin membeku ini seorang gelandangan yang kesepian, mungkinkah tidak akan mabuk?

Sunyi senyap. Bagi seseorang yang benar-benar sudah mengecap kebahagiaan, sunyi sepi tidak perlu ditakuti, malah kadang-kadang dianggapnya merupakan suatu kenikmatan. Tapi setelah kebahagiaan itu lenyap, dia akan mengerti kesepian itu adalah suatu yang amat menakutkan.

Yap Kay tengah merasakan kesakitan seperti ulu hatinya disayat-sayat. Jikalau mendadak dia mendengar jeritan keras yang mengerikan dari luar, dia pasti bisa mabuk, karena dia sudah tidak bisa mengendalikan diri lagi. Namun di saat cangkir ke tujuh sudah dia angkat, di tengah hembusan angin dingin itulah, tiba-tiba kumandang jeritan yang menyayat hati.

Jeritan itu kumandang dari arah Cap-hong-cu-lim-si. Warung nasi ini terletak di belakang Cap-hong-cu-lim-si. Begitu jeritan itu kumandang, laksana anak panah segera Yap Kay melesat keluar.

Maka dia melihat dua orang. Dua orang mati, seperti karung kosong yang dicantelkan di atas pagar, jubah sutra bersulam, dengan topeng tembaga menutup muka. Kedua mayat itu adalah duplikat Tolka.

Yap Kay menghela napas lega. Bukan dia tidak simpati dan kasihan, tapi terhadap kedua orang ini, memang dia tidak perlu merasa iba.

Mereka sudah pergi? Untuk apa pula kembali? Kalau mereka kembali, sudah tentu Bak Kiu-sing tidak akan biarkan mereka hidup. Hal ini tidak perlu dibuat heran dan kaget.

Yap Kay hanya menghela napas saja, namun setelah dia melihat seorang lagi adalah Bak Kiu-sing, baru dia benar- benar terkejut luar biasa. Sungguh tidak pernah terpikir olehnya, bahwa Bak Kiu-sing kinipun adalah seorang yang sudah melayang jiwanya.

ooo)dw(ooo

Tetap tiada penerangan di dalam pekarangan ini.

Bak Kiu-sing rebah di pekarangan yang gelap, badannya meringkel, menyusut mengecil seperti trenggiling. Yap Kay benar-benar melongo dan menjublek.

Dia tahu dua orang yang mati di atas tembok itu karena termakan oleh serangan Bak Kiu-sing, namun dia tidak habis mengerti bagaimana Bak Kiu-sing sendiripun bisa mati. Dia pernah saksikan ilmu silat Bak Kiu-sing.

Seorang tokoh silat kalau dia sudah mampu mengerahkan Lwekang-nya sesuai dengan jalan pikirannya, tidaklah mudah orang bisa membunuhnya. Apalagi Bak Kiu-sing cukup tabah, tenang dan berani, jarang ada orang yang bisa menandingi dia.

Siapakah yang membunuhnya? Siapa pula yang mampu membunuhnya?

Yap Kay berjongkok memeriksa. Topi rumput masih di atas kepalanya, namun sekarang dia sudah tidak bisa merintangi orang menanggalkannya.

Begitu topi orang terangkat, Yap Kay lantas melihat seraut muka coklat gelap. Kulit mukanya sudah mengkeret berkeriput, berubah dari bentuk asalnya, jelas dia mati lantaran keracunan. Lalu siapakah yang meracuni dia?

Tanpa bergeming Yap Kay berdiri di tempatnya. Angin dingin setajam pisau menyampok mukanya. Akhirnya dia mengerti kenapa jiwa Bak Kiu-sing melayang, namun dia tetap tidak mengerti, kenapa Bak Kiu-sing selalu mengenakan topi rumputnya ini.

Topi rumput ini tiada keistimewaannya. Demikian pula muka Bak Kiu-sing, tiada sesuatu yang perlu dirahasiakan dan pantang dilihat oleh Yap Kay, kecuali beberapa buah bintang-bintang di mukanya, diapun seperti manusia awam lainnya, bersahaja. Cuma kerut mukanya jauh lebih tua dari apa yang dibayangkan Yap Kay.

Seorang biasa dan topi yang biasa pula. Tapi apakah diantara yang biasa ini ada terselip sesuatu rahasia yang luar biasa?

Pelan-pelan Yap Kay teruskan topi rumput itu menutupi muka Bak Kiu-sing, katanya seorang diri: "Kenapa kau tidak meniru orang lain yang suka makan daging sapi? Sedikitnya daging sapi tidak akan meracunmu sampai mampus."

ooo)dw(ooo

Jenazah Bak Kiu-sing pun sudah diangkut ke belakang dan dibereskan.

Goh-cu merangkap kedua telapak tangannya di depan dada, katanya menghela napas: "Cuaca silih berganti tak menentu, manusia selalu dipermainkan rejeki dan elmaut, semogalah sang Buddha maha pengasih melindungi umatnya. Omitohud."

Mulutnya komat-kamit memanjatkan doa, namun mukanya sedikitpun tidak menunjukkan duka cita. Agaknya sedikitpun dia tidak simpati akan kematian Bak Kiu-sing.

Yap Kay tertawa, katanya: "Orang beribadah kok mengutuk orang malah?"

"Siapa yang mengutuk orang?" tanya Goh-cu. "Siapa lagi, kau!"

"Orang beribadah harus berhati bajik dan ikut berduka bagi kematian umatnya, tapi aku memang tidak merasa duka untuknya." "Kau Hwesio ini memang cerewet, namun apa yang kau katakan agaknya jujur juga."

"Bicara terus terang, jikalau karena aku ini sudak cerewet, sekarang aku sudah diangkat menjadi ketua di dalam Tay-siang-kok-si ini."

Yap Kay tertawa. Rasanya bukan saja Hwesio ini tidak mirip orang beribadah, diapun rada lucu.

Goh-cu tengah membaca mantram pula, mungkin mendoakan arwah Bak Kiu-sing mendapat tempat di sisi Thian.

Tak tahan akhirnya Yap Kay mengganggu mantramnya: "Hanya kau seorang saja yang mengurusi sembahyangan?"

"Hwesio yang lain sudah tidur. Tempat ini memang biara pemujaan, tapi orang yang sembahyangan di sini terlalu sedikit. Para Sicu yang sudi kemari, kebanyakan hanya untuk membayar kaul dan makan masakan tidak berjiwa, lihat-lihat pemandangan belaka."

Dengan menghela napas dia menambahkan, "Terus terang, biara di sini tidak ubahnya dengan sebuah rumah penginapan belaka."

Yap Kay tertawa pula, tiba-tiba dia bertanya: "Tahukah kau kenapa dia mati?"

Goh-cu geleng-geleng kepala. "Lantaran kau cerewet, maka dia mati!"

Berubah muka Goh-cu, katanya menyengir: "Sicu tentu sedang menggoda aku."

"Aku tak pernah berkelakar di hadapan orang mati." "Apakah Sicu tidak bisa melihatnya, dia mati keracunan." "Jadi kau bisa melihatnya?"

"Ular-ular yang ada di sini kebanyakan beracun, apalagi masih ada kelabang, kalajengking."

"Ada sementara orang sejak dilahirkan memang sudah berani makan Ngo-tok (Lima racun), betapapun beracunnya ular itu takkan bisa membuatnya mati keracunan."

"Tapi kecuali binatang-binatang beracun yang dia tangkap sendiri, dia tidak pernah makan barang lain."

"Kalau binatang-binatang berbisa itu hasil tangkapannya sendiri, kenapa setelah dimakan membuatnya mati keracunan malah?"

Goh-cu melongo, gumamnya: "Agaknya kejadian ini memang rada ganjil."

"Sebetulnya hal ini tidak perlu di buat heran." Goh-cu tidak mengerti.

"Dia memang mati keracunan oleh binatang-binatang beracun itu, namun lantaran badan binatang beracun itu dilumuri racun lain yang tak kuat ditahannya."

"Lalu siapa yang meracun dia?"

"Dua orang yang mampus di atas tembok itu." "Lalu apa sangkut pautnya dengan cerewetku?"

"Sudah tentu ada sangkut pautnya. Bila kau tidak cerewet, orang lain takkan tahu kalau dia biasa makan Ngo- tok." Memang, jikalau orang lain tidak tahu yang dia makan hanya Ngo-tok, bagaimana mungkin mereka melumuri jenis racun lain di atas binatang-binatang beracun itu.

Goh-cu kelakep.

"Kedua orang yang menaruh racun ingin membuktikan apakah dia betul-betul keracunan, tak kira sebelum dia ajal, dia masih mampu turun tangan menuntut balas kematiannya sendiri".

Penjelasan ini memang masuk akal.

"Orang seperti dia ini," ujar Yap Kay lebih lanjut, "siapapun bila bersalah terhadapnya, perduli dia hidup atau sudah mati, tetap tidak akan membiarkan orang hidup."

Goh-cu mengguman: "Di kala hidup adalah manusia galak, setelah mati tentu jadi setan jahat."

"Oleh karena itu kau harus selalu hati-hati," Yap Kay memperingatkan.

Berubah muka Goh-cu, katanya tergagap: "Aku. apa

yang harus ku jaga?"

Yap Kay menatapnya, katanya pelan-pelan: "Hati-hatilah bila mendadak dia melompat keluar dari layonnya, memotong lidahmu, supaya selanjutnya kau tidak cerewet lagi."

Semakin buruk muka Goh-cu, tiba-tiba dia putar badan seraya berkata: "Kepalaku pusing sekali, aku ingin segera tidur saja."

"E, eh, jangan kau pergi!" Yap Kay menahannya. Kelihatannya Goh-cu amat kaget, tanyanya: "Kenapa?" "Kalau kau pergi, siapa yang akan menyembahyangkan arwahnya ke alam baka?"

"Dia tidak memerlukan sembahyangan, orang seperti dia terang akan masuk ke neraka."

Sinar lampu minyak kelap-kelip. Ruang sembahyangan itu diliputi suasana seram nan dingin dan menggiriskan. Di tengah keremangan malam di dalam biara itu, seolah-olah ada setan-setan jahat yang gentayangan, tengah menunggu orang untuk memotong lidahnya.

Sekejappun Goh-cu sudah tak berani menunggu lagi, sampai kayu pemukul Bokhi di tangannyapun lupa diletakkan, cepat-cepat dia putar badan terus lari keluar, waktu tiba di ambang pintu, hampir saja terjerembab jatuh kesandung palang pintu.

Yap Kay mengawasi orang berlari keluar. Sorot matanya tiba-tiba menunjukkan perasaan aneh. Orang beribadah lazimnya tidak takut setan, kecuali dia pernah melakukan perbuatan yang menakutkan hatinya sendiri.

Memangnya perbuatan tercela apa yang pernah dia lakukan? Apa benar dia takut setan? Atau takut lainnya?

ooo)dw(ooo

Lima peti mati diplitur baru berderet di tengah ruang sembahyang.

Yap Kay masih belum pergi. Dia tidak takut setan, dia tidak pernah melakukan perbuatan tercela.

Dia berdiri di tengah hembusan angin lalu, mengawasi ke lima peti, mulutnya mengguman: "Biara ini jarang mengadakan upacara bagi arwah-arwah yang meninggal, namun peti-peti mati yang disimpan di sini tidak sedikit jumlahnya. Apakah para Hwesio di sini sebelumnya sudah meramalkan bahwa malam ini akan banyak orang mati di sini?"

Suaranya amat lirih, karena dia tahu semua persoalan ini tiada orang yang bisa mencari jawaban. Memang dia bicara untuk di dengar sendiri.

Pada saat itulah tiba-tiba Goh-cu berlari masuk pula dari luar. Mulutnya terpentang lebar, menjulurkan lidah seakan- akan ingin berteriak, namun suaranya tidak keluar.

Tiba-tiba didapati oleh Yap Kay bukan saja roman mukanya sudah berubah, warna lidah dan bentuknyapun sudah berubah, menjadi hitam legam. Jarinya menuding lidahnya sendiri, seperti mau bicara dengan Yap Kay,. Namun tidak kuasa bicara.

Yap Kay segera memburu maju, setelah dekat baru dilihatnya di atas lidahnya itu ada bekas gigitan ular beracun.

Lidahnya berada di dalam mulut, lalu bagaimana cara ular bisa menggigit lidahnya? Apakah di sini benar-benar ada setan jahat yang ingin menyumpal mulutnya?

Tiba-tiba Goh-cu mengeluarkan sepatah kata: "Pisau......pisau. "

"Kau ingin supaya aku mengiris lidahmu dengan pisauku?" tanpa merasa Yap Kay merinding sendiri waktu bicara.

Dilihatnya lidah Goh-cu semakin membengkak besar, napasnyapun semakin memburu, mendadak dia kerahkan seluruh tenaganya menggigit sekeras-kerasnya. Sepotong lidahnya seketika tergigit putus dan darahpun muncrat. Darahnyapun sudah berwarna hitam.

Akhirnya Goh-cu mampu menjerit ngeri, tapi tiba-tiba jeritannya terputus. Pelan-pelan dia tersungkur jatuh. Sebelum ajal, ternyata dia menggigit putus lidahnya sendiri.

Hweshio yang cerewet ini entah mati atau masih hidup, selanjutnya tidak akan cerewet lagi.

ooo)dw(ooo

Angin semakin dingin.

Yap Kay malah melangkah menyongsong hembusan angin. Keringat dingin yang membasahi badannya lekas sekali menjadi butiran es.

Sungguh diapun tak berani lama-lama tinggal di biara itu. Bukan dia takut kepada setan, tapi biara itu seperti menyembunyikan sesuatu yang menakutkan.

Sayup-sayup terdengar suara kentongan dari kejauhan.

Kentongan ketiga.

Sudah tidak kelihatan lampu menyala di dalam kota tua yang sudah kelelap di selimuti tabir malam. Di manapun kau sampai, kegelapan melulu yang menyambut kedatanganmu.

Kalau di musim panas, mungkin di malam selarut ini masih gampang orang mencari tempat untuk mengisi perut dan memanaskan badan dengan arak keras. Sayang sekali saat itu musim dingin. Mungkin karena kesulitan mencari minuman, selera Yap Kay bertambah besar. Ingin benar dia minum dua cangkir. Dengan menghela napas dia keluar dari jalanan itu, dia jadi kebingungan sendiri, entah ke arah mana dia harus pergi, sampaipun tempat untuk tidurpun tiada lagi bagi dirinya.

Pada saat itulah tiba-tiba didengarnya seseorang berkata sambil tertawa: "Aku tahu suatu tempat di mana kau bisa memperoleh arak. Kau mau ikut tidak?"

Walau ada sinar bintang, namun jalanan tetap gelap. Orang itu melambaikan lengan bajunya yang tertiup angin beranjak ke depan.

Yap Kay mengintil di belakangnya. Orang di depan itu tidak pernah berpaling. Yap Kay pun tidak bertanya, diapun tidak memburu dekat. Langkah orang di depan tidak terlalu lebar atau cepat, namun dia cukup hapal akan seluk-beluk jalanan di sini.

Yap Kay mengikuti langkah orang, putar sana, belok sini beberapa kali, arahnya sampai sudah tidak tertentu lagi. Akhirnya dilihatnya di depan sana dihadang pagar tembok tinggi. Agaknya pekarangan rumah di balik tembok itu amat luas panjang. Sekali mengebaskan lengan baju, dengan ringan orang itu melayang naik ke pagar tembok.

Bukan saja Ginkang orang ini tinggi, gerak langkah dan gaya badannyapun lincah, indah dan menakjubkan, sampaipun Yap Kay jarang melihat orang yang punya Ginkang setinggi itu.

Keadaan dibalik tembokpun gelap gulita, hembusan angin nan dingin membawa bau wangi yang menyegarkan badan. Tampak bayangan pohon berjajar, luas dan banyak, di mana- mana tumbuh pohon Bwe melulu. Setelah Yap Kay melompat ke dalam tembok, baru dia sadar bahwa tempat itu adalah Leng-hiang-wan yang pernah dia datangi, tempat kenamaan di kota Tiang-an.

Setelah mengalami pertempuran besar yang acak-acakan serta misterius tempo hari, taman nomer satu di kota Tiang-an yang biasanya ramai, kini menjadi sepi, tiada jejak manusia. Sinar lampupun tak kelihatan lagi. Hanya hembusan angin lalu saja yang membawa bau wangi. Daun-daun yang gemerisik laksana suara helaan napas.

Siapakah yang menghela napas? Apakah setan-setan gentayangan yang menjadi korban di dalam taman ini?

Leng-hiang-wan terkenal luas, rumit, dengan jalan-jalan yang simpang siur. Orang yang tak mengenal jalan bisa tersesat dan tak bisa keluar. Tapi orang di depan itu seperti hapal betul keadaan di sini. Yap Kay dipaksa ikut putar kayun sekian lamanya.

Setelah melewati sebuah pintu sabit, mereka tiba di sebuah pekarangan kecil. Di sinipun tiada orang, tiada lampu dan tiada suara.

(Bersambung ke Jilid-17) 
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar